Anda di halaman 1dari 4

Tantangan Dinarisasi oleh : Zaim Saidi, Direktur Eksekutif PIRAC Republika Online, Senin, 22 Juli 2002 Meski tidak

secara eksplisit, Dodik Siswantoro dalam opininya, Dolarisasi Versus Dinarisasi (Republika, 2/7), tampaknya ingin ikut mempromosikan dinar emas sebagai alternatif sistem moneter dunia. Selain tidak eksplisit, tulisan Dodik juga belum disertai argumentasi yang meyakinkan. Pada akhir tulisannya secara retorik Dodik bahkan mempertanyakan strategi yang sarat ''dengan romantisme sejarah'' ini. Tulisan berikut merupakan tanggapan dan catatan bagi Dodik bahwa dinarisasi (istilah Dodik) adalah strategi yang tepat dalam menghadapi dolarisasi yang merugikan banyak pihak tersebut. Pertama, strategi dinarisasi tidak semata-mata berdasarkan romantisme sejarah dan tradisi masa lampau. Dinar emas, beserta ''pasangannya'' dirham perak, pantas untuk dikembalikan karena merupakan antidote ampuh sistem riba yang merajalela karena sistem ribawi yang ditopang oleh segi tiga kaki ''uang kertas-bunga-dan utang''. Memang untuk memahaminya kita perlu melongok sejarah sebentar. Kemunduran banyak negara Islam, dan kehancurannya di kemudian hari, diawali dengan ditinggalkannya pemakaian uang emas dan perak. Uang kertas yang menggantikannya yang, secara inheren, membawa riba dan kezaliman adalah instrumen ampuh musuh-musuh Islam dalam menaklukkannya. Ketika imperialisme dan kolonialisme politik atas bangsa-bangsa Muslim berakhir di awal abad ke-20, dimulailah imperialisme dan kolonialisme ekonomi dan finansial yang jauh lebih dahsyat kekuatannya itu, sampai detik ini. Uang kertas adalah alat politik penaklukan yang kekuatannya melampaui senjata fisik apa pun. Dengan sistem perbankan (pembangunan) sebagai kuda troya, uang kertas memungkinkan politik utang dalam sistem ribawi yang diterapkan oleh Barat untuk menjerat negeri-negeri Muslim sangat efektif. Saksikanlah kemerdekaan politik Tunisia, Mesir, bahkan daulah Utsmaniah di Eropa, di abad ke-19 itu, digantikan oleh penjajahan kembali melalui utang. Persis seperti yang kita alami hari-hari ini, jeratan utang IMF dan Bank Dunia telah menafikan sama sekali makna kemerdekaan politik kita sebagai bangsa berdaulat, bukan? Marilah kita sederhanakan masalah ini barang sedikit. Apa yang membedakan selembar kertas bergambar Soekarno-Hatta, berwarna merah, yang bernilai Rp 100.000, dengan selembar kertas lain bergambar Kapitan Pattimura, berwarna biru, bernilai Rp 1000? Seorang murid kelas 3 SD pun memberikan jawaban: gambarnya! Mengapa lembar yang pertama lantas bernilai seratus kali yang kedua? Pertanyaan yang sama dapat kita ajukan atas selembar kertas lain, berwana abu-abu kehijauan, yang bernilai 1 US$. Mengapa nilainya menjadi 10.000 kali satu unit mata uang kita yang bernama rupiah ini? Semua itu terjadi karena uang kertas adalah artifisial. Keberadaannya, tinggi rendah nilainya, sahtidaknya, ditentukan oleh satu pihak tertentu. Dulu ketika negara masih kuat politik (ke-)uang(-an) semuanya ditentukan oleh bank sentral, tapi kini ketika kedaulatan negara semakin tipis, oleh lembaga-lembaga keuangan internasional. Uang kertas yang dapat diciptakan -- secara harfiah maupun dalam sistem sirkulasi -- setiap saat ini menjadi mesin utang yang tak kenal berhenti berputar. Megaproyek semerusak apa pun, dalam ekonomi busa (bubble economy) sebesar apa pun, dapat terus dipacu. Dan untuk mencegah keruntuhannya, sambil pada saat yang sama mereguk keuntungan sebesarnya, sistem utang-piutang (pembangunan) ribawi yang zalim ini pantang berhenti. Sebaliknya, mata uang bimetal, emas dan perak, adalah uang yang mengikuti fitrah. Tak sebuah pun negara, termasuk daulah Islam di bawah Nabi Muhammad SAW maupun para khalifahnya, perlu merumuskan undang-undang khusus untuk menetapkan sistem ini. Bahkan, dalam prakteknya, sistem bimetal tidak memerlukan satu aturan atau sistem pengendalian pun. Yang diperlukan bagi berlakunya sistem mata uang bimetal hanyalah kebebasan bagi setiap orang untuk memiliki dan menggunakannya, baik sebagai komoditas maupun alat tukar (uang). Berdasar pengalaman ribuan tahun, secara alamiah, umat manusia menemukan emas dan perak, di antara beragam pilihan komoditas yang pernah dicoba, sebagai mata uang yang paling pas dan cocok. Genggamlah sekeping koin dinar emas atau dirham perak di tangan Anda. Timbang dan bawalah ke manapun Anda pergi, ke London, New York, Paris, Tokyo, atau Jakarta. Sekeping dinar tetaplah 4.25 g emas 22 karat, dan sekeping dirham adalah 3 g perak murni. Bahkan bila gambar dan coraknya Anda ubah-ubah, bertuliskan kalimah syahadah maupun bergambar Soekarno-Hatta atau George Washington, nilainya akan tetap. Emas Cikotok sama bermutu dan nilainya dengan emas Inggris atau Afrika Selatan. Maka, emas dan perak, dinar dan dirham, tidak mungkin bisa dimanipulasi oleh negara ataupun lembaga keuangan internasional mana pun -- kecuali dipalsukan. Kedua, sekali dinar dan dirham kembali dipakai oleh seluruh umat manusia di muka bumi ini, sebagian besar persoalan umat manusia tidak mustahil akan terselesaikan dengan sendirinya. Kalau saja bangsabangsa di dunia saat ini mendukung dan mengikuti kepemimpinan PM Malaysia, Mahathir Muhammad, memakai dinar dan dirham dalam perdagangan internasional, posisi tawar negara-negara pengutang akan naik. Kekuatan ekonomi dan finansialnya akan berangsur pulih. Kurs mata uang tidak lagi jadi persoalan. Pertukaran harta, minyak, kayu, barang pertanian, tambang, dan sebagainya dari negeri-negeri ini bahkan akan diperoleh kembali dalam bentuk harta lain, berupa emas dan perak. Kolonialisme dan imperialisme melalui politik utang seketika akan dapat kita hapuskan. Pada saat yang sama sebagai mata uang yang tak mengenal batas negara dan kebangsaan, dinar akan mempersatukan umat seluruh dunia. Ketiga, para pendukung dinarisasi telah menyusun strategi implementasi sampai pada tingkat yang praktis. Berbagai kelompok masyarakat telah mengamalkan pemakaian dinar dan dirham di lebih dari 20 negara, termasuk Indonesia. Pencetakan koin-koin emas ini terus bertambah setiap harinya. Standarisasi tentang spesifikasi dinar emas ini pun telah disepakati sesuai usulan WITO (World Islamic Trading Organization). Sementara itu, strategi struktural oleh negara terus dilanjutkan oleh Malaysia. Pemerintahan Mahathir maju terus dalam soal dinarisasi ini. Langkah terbaru Mahathir adalah menyelenggarakan Konperensi Internasional ''Dinar Emas dalam Perdagangan Multilateral'', yang akan diselenggarakan oleh Institute of Islamic Understanding (IKIM), Malaysia, pada 22-23 Oktober 2002, di Kuala Lumpur. Konperensi ini akan menandai kesiapan teknis implementasi dinarisasi dalam perdagangan internasional dengan pemerintah Malaysia sebagai lokomotifnya. Di luar ketiga argumen rasional di atas dapat ditambahkan argumen keempat, yakni tuntutan hukum Islam. Sebagaimana diisyaratkan oleh ulama Taqyudin An-Nabhani, memakai dinar emas berarti

mengamalkan hukum syari'ah. Sebab uang dalam Islam, sebagaimana ibadah dan muamalah lain, berhubungan dan terikat dengan hukum syara'. Keharaman menimbunnya, kewajiban mengeluarkan zakatnya, adanya hukum-hukum pertukaranmya, diamnya rasul untuk melakukan transaksi dengannya, serta keterkaitannnya dengan diyat dan potong tangan dalam pencurian, telah menjadikan uang sebagai suatu masalah -- yang pendapat atasnya sangat tergantung kepada nash syara'. Dan, sebagaimana kita pahami bersama, syara' menyatakan uang dengan hukum-hukum yang terkait dengan semua itu adalah dalam bentuk emas dan perak. Ini membuktikan bahwa uang dalam Islam harus berupa emas dan perak.

Devaluasi Rupiah dan Prospek Dinar-Dirham Agus Wahid, Direktur Eksekutif The International Institute of Islamic Thought Indonesia (IIIT-I) Rabu, 28 September 2005 Keterpurukan rupiah terhadap dolar AS mendorong sebagian masyarakat kita melirik mata uang dinar dan dirham. Hal yang dapat dipahami. Sebab melemahnya rupiah bukan hanya mendestabilkan masalah ekonomi makro dan mikro, tapi membuat masyarakat dari berbagai lapisan harus menelan pil pahit akibat devaluasi rupiah. Harga berbagai jenis barang dan jasa naik antara 2,5 hingga 30 persen. Lalu, apakah penggunaan mata uang dinar yang berbahan utama emas 22 karat dan dirham yang berbahan utama perak dapat menyelamatkan destruksi rupiah? Secara empirik, dinar dan dirham belum pernah menyulitkan negara dan bangsa yang menggunakannya. Dan secara teoritik --hal ini yang jauh lebih menarik-- dinar dan dirham terbebas dari tindakan spekulatif dan inflasi, bahkan tindakan pemalsuan. Dinar dan dirham tak bisa dimainkan sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan. Celah memperdagangkannya memang masih ada. Tapi ketiadaan margin dari transaksinya membuat ketidakmauan para spekulan di manapun. Inilah makna utama mendasar keseimbangan nilai intrinsik dengan nilai nominal pada dinar dan dirham. Layak dilirik Mencermati keunggulannya, dinar dan dirham layak kita lirik lebih jauh untuk digunakan sebagai alat transaksi dan sebagai penambah mata uang yang berlaku seperti halnya Saudi Arabia yang tetap memberlakukan real, di samping dinar dan dirham. Sebuah renungan yang perlu dijawab, bagaimana prospek persebaran dinar dan dirham? Ada dua variabel yang perlu kita sorot. Variabel pertama, cukup memberi harapan konstruktif. Dalam perspektif kepentingan nasional Indonesia, dinar dan dirham punya prospek yang cukup cerah. Dilandasi jumlah populasi masyarakat Muslim dan pengalaman pahit devaluasi rupiah terhadap dolar yang merusak sendi ekonomi makro dan mikro, maka kecil kemungkinan terjadi penolakan. Dalam perspektif regional, baik wilayah Asia Tenggara atau Timur Tengah, kita saksikan jumlah populasi yang lebih fantastik. Bagaimanapun, jumlah 755.366.031 jiwa untuk seluruh penduduk Timur Tengah adalah angka yang sangat gemuk, menjanjikan, dan prospektif jika digarap serius. Tingkat permintaan dinar dan/atau dirham akan jauh lebih ''hiperbolik'' jika dikaitkan dengan kegiatan perdagangan luar negerinya (ekspor-impor). Menurut data Islamic Development Bank (IDB), sekadar data pendukung sampai menjelang tahun 2000-an saja, volume ekspor seluruh negaranegara Islam anggota IDB mencapai 377,9 miliar dolar AS, sedangkan impornya mencapai 382,2 miliar dolar AS. Mata uang tunggal Satu hal yang cukup menarik dicatat, pendayagunaan dinar dan dirham secara fantastik praktis akan mengurangi ketergantungan tunggal terhadap dolar AS. Makna reflektifnya adalah akan semakin kecilnya kemungkinan negara-negara pengguna dinar dan dirham setiap saat digoyang produsen dolar AS, juga para fund manager --yang sejauh ini terus malakukan spekulasi secara destruktif untuk kepentingannya sendiri. Kian mengecilnya ketergantungan terhadap dolar AS --dengan demikian-- akan berkorelasi konstruktif terhadap upaya stabilisasi ekonomi makro dan mikro. Inilah spirit perlindungan kebangsaaan terhadap kepentingan nasional yang seharusnya menjadi warna baru nasionalisme saat ini. Jika kita tengok ke belahan lain (negara-negara Eropa), tampaknya spirit menjaga stabilitas ekonomi makro itulah yang akhirnya menyepakati mata uang euro. Euro adalah jawaban konstruktif atas ketergantungan tunggal terhadap dolar AS. Kita perlu mencatat, meski dolar masih berlaku sebagai salah satu alat transaksi di belahan Eropa, tapi munculnya euro mampu mengurangi secara signifikan kedigdayaan dolar. Eropa mampu memberlakukan euro. Mampukah negara-negara yang mayoritas berpenduduk Muslim memberlakukan dinar atau dirham? Sikap politik ini sebagai variabel kedua tidak mudah. AS sebagai produsen dolar akan merasa terlecehkan citra nasionalnya jika negara-negara Islam bergerak merapatkan barisan demi kesatuan mata uang. Jika sang adidaya AS tersinggung, ia tak akan diam. Ia akan mengabaikan hak demokrasi masing-masing negara --termasuk dalam hal penggunaan mata uangnya-- dengan menggencarkan sejumlah rekayasa destruktif. Salah satunya --atas nama kelestarian lingkungan dan sejumlah dalih taktis lainnya-- AS akan memberlakukan sejumlah prosedur yang akan mempersulit kepentingan para eksportir asal negara-negara bermata uang dinar-dirham baru. Mencermati reaksi AS ini, sebuah pertanyaan yang harus dijawab adalah mampukah negara-negara yang siap memberlakukan dinar-dirham ini mengurangi ketergantungan tunggal ekspornya ke AS? Secara objektif, tantangan itu tidak mudah dijawab karena sudah menikmati sekian lama manisnya ekspor ke belahan AS. Dan bagi negara-negara Islam itu sendiri pun --sangat boleh jadi-- tak rela memutuskan hubungan ekspor ke AS. Sekadar data, komunikasi bisnis mereka ke negara-negara industri termasuk ke AS mencapai 210,7 miliar dolar AS. Angka yang fantastik ini --secara bisnis ataupun psikologis-- akan membuat dirinya terus terjerat dan sulit keluar dari ketergantungannya. Namun demikian --sebagai refleksi kuatnya nasionalisme dalam arti luas-- para kepala pemerintahan dari negara-negara Islam ataupun para pebisninya perlu mencari pasar baru, misalnya di belahan Eropa sebagai alternatif negara tujuan ekspor. Jika perlu, antarnegara Islam itu sendiri menciptakan ikatan hubungan ekspor-impor. Barangkali, sudah saatnya, negara-negara Islam membangun ''Pasar Bersama Dunia Islam'' di mana masing-masing dipersilakan mengeksplorasi keberadaan pasar bersama itu secara konstruktif. Hingga menjelang tahun 2000-an, hubungan bisnis antarnegara Islam --boleh jadi karena belum ada Pasar Bersama Dunia Islam-- hanya tercatat 35,9 miliar dolar AS (ekspor) dan hanya 39,4 miliar dolar AS (impor). Sebuah catatan yang cukup memprihatinkan dalam konteks kerja sama ekonomi dan bisnis antarnegara Islam. Kita berasumsi, pengalihan tujuan ekspor berhasil diwujudkan. Atau -setidaknya-- Pasar Bersama Dunia Islam terealisasi. Akankah AS diam? Tetap. Ia akan bereaksi negatif. Instrumen pengereman melalui amputasi peluang ekspor akan ditindaklanjuti dengan manuver lain yang --bisa jadi-- lebih jauh dan sadis: politicking dalam bentuk mengacaukan situasi politik domestik. Langkah yang dimainkan bukan penciptaan konflik bilateral dan bersifat langsung dengan AS, tapi rekayasa konflik internal, meski instrumen yang dimainkannya sektor moneter. Dari pintu moneter, akan memanas suhu politik sebagai akibat ketidakpercayaan publik terhadap negara yang tidak mampu mengatasi gejolak ekonomi dan moneter. Bisa juga, melalui aksi politik, yakni dukungan (keberpihakan) terhadap kekuatan separatis atau yang berpotensi besar untuk melakukan pemisahan diri dari Pusat. Jika kita meneropong sejumlah manuver AS dengan berbagai trik-trik jahatnya, maka prospek pemberlakuan dinardirham tetap dipertanyakan, terutama jika diharapkan menjadi mata uang regional yang berlaku di negara-negara Islam, misalnya. Karenanya, agenda pemberlakuannya harus lebih realistis: memenuhi permintaan domestik, terutama dalam kerangka menjawab instabilitas ekonomi makro yang dampaknya memprihatinkan bagi kepentingan ekonomi mikro. Dengan argumen nasionalisme baru ini, kiranya sang produsen dolar akan memberikan kelonggaran tertentu. Di sinilah --jika Pemerintah mengeluarkan regulasi (perizinan) penggunaan mata uang dinar-dirham yang sah sebagai alat transaksi-- maka persebarannya di Tanah Air akan terlihat. Pada akhirnya, persebaran luasnya akan ikut mengurangi inflasi yang selama ini terus membuntuti, juga tidak terombang-ambing oleh ulah para spekulan. Dan itulah kontribusi nyata sistem moneter syariah yang ikut memperkuat sistem perekonomian nasional, sekaligus memperingan beban ekonomi masyarakat.

Menyambut Dinar-Dirham Irfan Syauqi Beik, Dosen FEM IPB dan Mahasiswa Program Doktor Ekonomi Syariah IIU Malaysia Handi Risza Idris, Dosen STIE SEBI Sesungguhnya, ide untuk menjadikan dinar emas sebagai mata uang bersama negara Islam yang digunakan sebagai alternatif alat pembayaran dalam transaksi perdagangan, telah diajukan dalam persidangan Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Kuala Lumpur, Malaysia, 10 Oktober 2003 lalu. Ide tersebut dilontarkan Perdana Menteri Malaysia saat itu, Dr Mahathir Mohamad. Usulan tersebut kembali menggema pada Konferensi ke-12 mata uang ASEAN di Jakarta pada 19 September 2005. Kali ini penggagasnya adalah Menteri Negara BUMN, Sugiharto. Beliau menilai bahwa dengan kondisi keuangan yang diliputi oleh ancaman inflasi setiap saat dan serangan spekulan yang unpredicted, maka penggunaan dinar-dirham perlu menjadi pertimbangan kita semua (Republika, 21 September 2005). Sejarah emas Emas, dalam sejarah perkembangan sistem ekonomi dunia, sudah dikenal sejak 40 ribu tahun sebelum Masehi. Hal itu ditandai penemuan emas dalam bentuk kepingan di Spanyol, yang saat itu digunakan oleh paleiothic man. Dalam sejarah lain disebutkan bahwa emas ditemukan oleh masyarakat Mesir kuno (circa) 3000 tahun sebelum masehi. Sedangkan sebagai mata uang, emas mulai digunakan pada zaman Raja Lydia (Turki) sejak 700 tahun sebelum Masehi. Sejarah penemuan emas sebagai alat transaksi dan perhiasan tersebut kemudian dikenal sebagai barbarous relic (JM Keynes). Lahirnya Islam sebagai sebuah peradaban dunia yang dibawa dan disebarkan Rasulullah Muhammad SAW telah memberikan perubahan yang cukup signifikan terhadap penggunaan emas sebagai mata uang (dinar) yang digunakan dalam aktivitas ekonomi dan perdagangan. Pada masa Rasulullah, ditetapkan berat standar dinar diukur dengan 22 karat emas, atau setara dengan 4,25 gram (diameter 23 milimeter). Standar ini kemudian dibakukan oleh World Islamic Trading Organization (WITO), dan berlaku hingga sekarang. Saat ini, fakta menunjukkan bahwa ada ketidakseimbangan aktivitas perdagangan internasional, yang terjadi akibat tidak berimbangnya penguasaan mata uang dunia, dan ditandai semakin merajalelanya dolar AS. Kondisi tersebut kemudian diperparah dengan kemunculan Euro sebagai mata uang bersama negara-negara Eropa. Fakta pun menunjukkan bahwa negara-negara Islam memiliki ketergantungan sangat tinggi terhadap kedua mata uang tersebut, terutama dolar AS. Bahkan, dalam transaksi perdagangan international saat ini, dolar AS menguasai hampir 70 persen sebagai alat transaksi dunia (AZM Zahid, 2003). Dengan didirikannya World Trade Organization (WTO) pada 1 January 1995 sebagai implementasi dari pelaksanaan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan putaran Uruguay, maka liberalisasi perdagangan menjadi konsekuensi yang tidak dapat dielakkan. Tentu saja, semua negara harus siap terlibat dalam skenario global ini, termasuk negara berkembang yang notabene mayoritas Muslim. Pertanyaan besar yang kemudian harus dijawab adalah seberapa besar dampak dan keuntungan yang akan diraih negara-negara Islam dalam pasar internasional. Penulis berpendapat bahwa ide pemunculan emas sebagi alat transaksi dalam perdagangan internasional ini sesungguhnya merupakan jawaban untuk mengurangi ketergantungan negara-negara Islam terhadap dominasi dua mata uang dunia tersebut (dolar AS dan Euro). Selain itu, ide ini juga dapat digunakan sebagai alat untuk meminimalisasi praktik-praktik spekulasi, ketidakpastian, hutang, dan riba. Terutama yang selama ini terjadi pada aktivitas di pasar uang, di mana hal tersebut terjadi sebagai akibat dari penggunaan uang kertas (fiat money), sehingga menjadi dilema tersendiri bagi negara-negara Islam. Penulis percaya, komitmen untuk menggunakan mata uang bersama dengan memulainya dari transaksi perdagangan, akan banyak memberikan manfaat signifikan. Mekanisme Penggunaan emas sebagai alat transaksi perdagangan internasional dapat dilakukan melalui perjanjian pembayaran bilateral (bilateral payment arrangement) maupun perjanjian pembayaran multilateral (multilateral payment arrangement). Perjanjian pembayaran produk yang diperdagangkan akan melalui tahapan dan mekanisme yang melibatkan bank umum, bank sentral, dan custodian emas (penyimpan emas). Ada empat tahapan yang dilalui dalam mekanisme transaksi perdagangan tersebut. Pertama, adanya perjanjian dagang antara importir dan eksportir yang berada di dua negara yang berbeda, dengan kejelasan kondisi barang dan jumlah barang yang akan ditransaksikan. Tentu saja, sesuai dengan syariat Islam, akad yang terjadi harus bebas dari unsur-unsur gharar, maysir, dan riba. Kedua, setelah melakukan perjanjian dagang, kemudian pihak importir akan mengeluarkan letter of credit (LC) untuk melakukan pembayaran melalui bank yang sudah ditunjuknya. Selanjutnya, pihak eksportir akan menerima letter of credit (LC) dari bank tersebut. Ketiga, pihak bank yang ditunjuk oleh importir akan segera melakukan pembayaran kepada bank sentral dengan menggunakan mata uang lokal yang kemudian akan mengakumulasikan transaksi kedua negara dengan standar emas hingga masa kliring. Keempat, setelah masa kliring selesai, bank sentral negara importir akan mentransfer emas senilai dengan transaksi perdagangan kedua negara kepada pihak custodian emas yang telah ditunjuk, untuk selanjutya diserahkan kepada bank sentral negara eksportir. Bank sentral negara eksportir ini selanjutnya akan melakukan pembayaran dalam mata uang lokal kepada bank yang telah ditunjuk oleh eksportir. Kemudian bank tersebut akan menyerahkannya kepada pihak eksportir. Mekanisme di atas jelas memiliki kelebihan dibandingkan dengan menggunakan mata uang asing lainnya. Kedua negara tidak akan mengalami fluktuasi nilai mata uang, yang seringkali menjadi hambatan dalam transaksi perdagangan. Bahkan, telah banyak fakta yang menunjukkan bahwa fluktuasi mata uang dapat mengakibatkan kehancuran perekonomian sebuah negara. Dengan mekanisme tersebut pula, stabilitas perekonomian akan lebih mudah dicapai, mengingat nilai emas yang relatif lebih stabil. Sehingga diharapkan, volume perdagangan antarnegara Islam dapat berkembang. Di sinilah dituntut peran OKI dan Islamic Development Bank (IDB) untuk dapat merumuskan konsep yang lebih matang terhadap gagasan ini. Keuntungan secara politis akan dirasakan oleh negara-negara Islam, karena nilai tawar yang dimilikinya terhadap Barat dan kekuatan lainnya menjadi semakin tinggi. Meskipun demikian, harus diakui bahwa mekanisme tersebut juga memiliki kelemahan-kelemahan. Kelemahan pertama, ketersedian emas yang tidak merata di antara negara-negara Islam, sehingga dapat menimbulkan ketimpangan dan kesenjangan. Kelemahan kedua, masih tingginya ketergantungan dunia Islam terhadap produk yang dihasilkan oleh negara-negara non-Muslim (baca: Barat), terutama terhadap produk-produk industri dengan teknologi tinggi. Kelemahan ketiga, nilai transaksi perdagangan yang masih sangat kecil sesama anggota OKI, yang menyebabkan signifikansi emas menjadi tidak terlalu substantif. Untuk itu, komitmen dan kesungguhan para pemimpin dunia Islam beserta pemerintahannya sangat dibutuhkan. Sebagai negara Muslim terbesar di dunia, sudah sepantasnya jika Indonesia diharapkan dapat memainkan peran yang lebih aktif, konstruktif, dan produktif. Indonesia memiliki peluang untuk mendorong terealisasinya blok perdagangan OKI, meskipun tantangan dan hambatannya tidak sedikit, terutama dari negara-negara Barat melalui kaki tangan mereka (IMF dan Bank Dunia). Jika saja blok perdagangan ini dapat terwujud, maka bisa dibayangkan bahwa dunia Islam akan menjadi salah satu center of power yang strategis dan diperhitungkan, sehingga kondisi unipolar akan kembali berganti menjadi multipolar. Namun demikian, hal tersebut kembali berpulang pada Presiden SBY beserta tim ekonominya, maukah mereka menjadi inisiator proses tersebut? Wallahu a'lam.

Anda mungkin juga menyukai