Anda di halaman 1dari 29

INTOKSIKASI OPIOID Fadillah Nur Herbuono *, Wahyu Hendarto ** ABSTRACT An opioid is a chemical that works by binding to opioid receptors,

which are found principally in the central nervous system and the gastrointestinal tract. The receptors in these organ systems mediate both the beneficial effects and the side effects of opioids. The analgesic effects of opioids are due to decreased perception of pain, decreased reaction to pain as well as increased pain tolerance. The side effects of opioids include sedation, respiratory depression, and constipation. Opioids can cause cough suppression, which can be both an indication for opioid administration or an unintended side effect. Physical dependence can develop with on going administration of opioids, leading to a withdrawal syndrome with abrupt discontinuation. Opioids can produce a feeling of euphoria, and this effect, coupled with physical dependence, can lead to recreational use of opioids by many individual. Intoxication acute of opioid can cause syndrome like coma, bradypneu, and miosis. Cause of died from intoxication is central depression of respiratory. All opioid effects can readily be reversed with an opioid antagonist such as naloxone or naltrexone. These competitive antagonists bind to the opioid receptors with higher affinity than agonists but do not activate the receptors. This displaces the agonist, attenuating and/or reversing the agonist effects. However, the elimination half-life of naloxone can be shorter than that of the opioid itself, so repeat dosing or continuous infusion may be required, or a longer acting antagonist such as nalmefene may be used. Keyword : Intoxication, Opioid, Antagonist
* Co ass Anestesi Fakultas Kedokteran Trisakti Periode 8 Oktober 10 November 2012 ** Pembimbing Kepaniteraan Klinik Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUD Kota Semarang 1

ABSTRAK Opioid adalah obat kimia yang bekerja dengan mengikat reseptor opioid , yang ditemukan terutama dalam sistem saraf pusat dan saluran pencernaan. Reseptor ini dalam sistem organ mempunyai efek yang menguntungkan dan juga memiliki efek samping. Efek analgesik opioid disebabkan oleh penurunan persepsi nyeri, penurunan reaksi terhadap rasa sakit serta meningkatkan toleransi nyeri. Efek samping opioid termasuk sedasi , depresi pernafasan , dan sembelit. Opioid dapat menyebabkan supresi batuk, yang dapat menjadi indikasi untuk administrasi opioid atau efek samping yang tidak disengaja. Ketergantungan fisik dapat berkembang dengan administrasi yang terus menerus opioid, yang mengarah sindrom putus obat. Opioid dapat menghasilkan perasaan euforia, dan efek ini, ditambah dengan ketergantungan fisik, dapat menyebabkan penyalahgunaan opioid oleh banyak orang. Keracunan akut opioid menyebabkan sindrom yang ditandai dengan koma, bradypnea dan miosis. Central depresi pernafasan adalah penyebab kematian prinsip yang terkait dengan keracunan ini. Semua efek opioid dengan mudah dapat diatasi dengan antagonis opioid seperti nalokson atau naltrexone. Antagonis ini kompetitif mengikat ke reseptor opioid dengan afinitas yang lebih tinggi daripada agonis tetapi tidak mengaktifkan reseptor. Kata kunci : Keracunan, Opioid, Antagonist

PENDAHULUAN Sumber opium, zat zat dari opium yang belum diolah, dan morfin bersumber dari bunga opium Papaver somniferum. Tanaman ini telah digunakan selama lebih dari 6000 tahun, dan penggunaanya terdapat dalam dokumen dokumen

kuno Mesir, Yunani, dan Romawi. Yang menarik pada opium ialah bahwa sampai pada abad ke 18 belum ada perhatian akan kecenderungan adiksi opium.1 Dasar dari farmakologi modern telah diletakkan oleh Sertner, seorang ahli farmasi Jerman, yang mengisolasi suatu zat alkali murni yang aktif dari opium pada tahun 1803. Hal ini peristiwa penting dimana telah dimungkinkan untuk menstandarisasi potensi suatu produk alamiah. Setelah melakukan pengujian pada dirinya sendiri dan beberapa kawannya, Sertner mengajukan morfin untuk senyawa ini, yang berasal dari bahasa Yunani ; Morpheus yang berarti mimpi dari Dewa (God of dreams).2 Analgesik opioid terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri, meskipun juga memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain. Yang termasuk golongan opioid adalah alkaloid opium, senyawa sintetik dengan sifat farmakologik menyerupai morfin. Obat yang mengantagonis efek opioid disebut antagonis opioid.3 OPIOID Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptornya. Opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang sering digunakan dalam anastesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri paska pembedahan.4 Reseptor opioid yang terdapat didalam susunan saraf pusat sama baiknya dengan yang ada di sepanjang jaringan perifer. Reseptor reseptor ini normalnya distimulasi oleh peptida endogen (endorphins, enkephalins, dan dynorphins) diproduksi untuk merespon rangsangan yang berbahaya. Dalam dokumen dokumen yunani nama nama dari reseptor opioid berdasarkan atas bentuk dasar agonisnya.5 Ada empat jenis utama reseptor opioid yaitu mu (), delta (), kappa () dan sigma (). Keempat jenis reseptor termasuk pada jenis reseptor yang berpasangan

dengan protein G, dan memiliki sub tipe: mu1, mu2, delta1, delta2, kappa1, kappa2, dan kappa3. Karena suatu opioid dapat berfungsi dengan potensi yang berbeda sebagai suatu agonis, agonis parsial, atau antagonis pada lebih dari dari satu jenis reseptor atau subtipe reseptor maka senyawa yang tergolong opioid dapat memiliki efek farmakologik yang beragam.2

Mu () (agonis morphine) reseptor reseptor Mu terutama ditemukan di batang otak, dan thalamus medial. Reseptor reseptor Mu bertanggung jawab pada analgesia supraspinal, depresi pernapasan, euphoria, sedasi, mengurangi motilitas gastrointestinal, ketergantungan fisik. Yang termasuk bagiannya ialah Mu1 dan Mu2, yang mana Mu1 berhubungan dengan analgesia, euphoria, dan penenang, Mu2 berhubungan dengan depresi pernapasan, preritus, pelepasan prolaktin, ketergantungan, anoreksia, dan sedasi. Ini juga disebut sebagai OP3 atau MOR (morphine opioid receptors).

Kappa () (agonis ketocyklazocine) reseptor reseptor Kappa dijumpai di daerah limbik, area diensephalon, batang otak, dan serabut saraf spinal, dan bertanggung jawab pada analgesia spinal, sedasi, dyspnea, ketergantungan, dysphoria, dan depresi pernapasan. Ini juga dikenal dengan nama OP2 atau KOR (kappa opioid receptors).

Delta () (agonis delta-alanine-delta-leucine-enkephalin) reseptor reseptor Delta lokasinya luas di otak dan efek efeknya belum diketahui dengan baik. Mungkin bertanggung jawab pada psykomimetik dan efek dysphoria. Ini juga dikenal dengan nama OP1 dan DOR (delta opioid receptors).

Sigma () (agonis N-allylnormetazocine) reseptor reseptor Sigma bertanggung jawab pada efek efek psykomimetik, dysphoria, dan streshingga depresi.2,6

1. KERJA OPIOID PADA RESEPTOR OPIOID

Obat

Reseptor mu ()

delta () Agonis Agonis Agonis Lemah Agonis Lemah

kappa ()

Peptida Opioid Enkefalin Agonis (endorfin) Agonis Dinorfin Agonis Lemah Agonis Kodein Agonis Lemah Morfin Agonis Metadon Agonis Meperidin Agonis Fentanil Agonis Agonis Antagonis Buprenorfin Agonis Parsial Pentazosin Antagonis/Antagonis Nalbufin Antagonis Nalokson Parsial Antagonis Antagonis

Agonis lemah

Agonis Agonis Antagonis Antagonis

Tabel 1. Reseptor Opioid (dikutip dari daftar pustaka no.1)

2. KLASIFIKASI OBAT GOLONGAN OPIOID Penggolongan opioid lain adalah opioid natural (morfin, kodein, pavaperin, dan tebain), semisintetik (heroin, dihidro morfin/morfinon, derivate tebain) dan sintetik (petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil dan remifentanil). Sedangkan berdasarkan kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat Opioid dapat digolongkan menjadi agonis, antagonis, agonis antagonis (campuran).2

Struktur Dasar

Agonis Kuat

Agonis Lemah Campuran sampai Sedang agonis antagonis Nalbufin Buprenorfin

Antagonis

Fenantren

Morfin Hidromorfon Oksimorfon Metadon Meperidin Levorfanol

Kodein Oksikodon Hidrokodon Propoksifen Difenoksilat

Nalorfin Nalokson Naltrekson

Fenilheptilamin Fenilpiperidin Morfinan

Butorfanol
5

Benzomorfan

Pentazosin

Tabel 2. Klasifikasi Obat Opioid dan Antagonis Opioid (dikutip dari daftar pustaka no.1)

Nama Generik

Nama Produk (mg)

Perkiraan dosis (mg) 10 1,5 1,5 10 60-100 0,1 0,02 Dititrasi 2-3 30 60 4,5 16 60-120 30-502 10 0,3 2

Durasi Analgesia (jam) 4-5 4-5 3-4 4-6 2-4 1-1,5 1-1,5 0,25-0,75 4-5 3-4 3-4 3-4 4-5 83-4 3-6 4-8 3-4

Ketergantungan Kemungkinan Penyalahgunaan Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Sedang Sedang Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah

Morphine Hydromorphone Oxymorphone Methadone Meperidine Fentanyl Sulfentanil Alfentanil Levorphanol Codeine Oxycodone Dihydrocodeine Propoxyphene Pentazocine Nalbuphine Buprenorphine Butorphanol

Dilaudid Numorphan Dolophine Demerol Sublimaze Sufenta Alfenta Levodromoran Percodan Drocode Darvon Talwin Nubain Buprenex Stadol

Tabel 3 : Analgesik Opioid yang Umum (dikutip dari daftar pustaka no.1)

2.1 MORFIN DAN ALKALOID OPIUM Opium atau candu adalah getah Papaver somniferum L yang telah dikeringkan. Alkaloid asal opium secara kimia dibagi dalam dua golongan, (1) golongan fenanteran, misalnya morfin dan kodein dan (2) golongan benzilisokinolin, misalnya noskapin dan papaverin.3 2.1.1 FARMAKODINAMIK 2.1.1.1 SUSUNAN SARAF

a. Narkosis Morfin dosis kecil (5-10 mg) menimbulkan euphoria pada pasien yang sedang menderita nyeri, sedih dan gelisah. Sebaliknya, dosis yang sama pada orang normal sering kali menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir atau takut disertai mual dan muntah. Morfin menimbulkan pula rasa kantuk, tidak dapat berkonsentrasi, sukar berpikir, apatis, aktivitas motorik berkurang, ketajaman penglihatan berkurang dan letargi, ekstremitas terasa berat, badan terasa panas, muka gatal dan mulut terasa kering, depresi nafas dan miosis. Dalam lingkungan yang tenang orang yang diberikan dosis terapi (15- 20 mg) morfin akan tertidur cepat dan nyenyak disertai mimpi, nafas lambat dan miosis.3 b. Analgesia Opioid menimbulkan analgesia dengan cara berikatan dengan reseptor opioid yang terutama didapatkan di SSP dan medulla spinalis yang berperan pada transmisi dan modulasi nyeri. c. Eksitasi Morfin dan opioid lain sering menimbulkan mual dan muntah, sedangkan delirium dan konvulsi lebih jarang timbul. d. Miosis Morfin dan kebanyakan agonis opioid yang bekerja pada reseptor dan menyebabkan miosis. Miosis ditimbulkan oleh perangsangan pada segmen otonom inti saraf okulomotor. Pada intoksikasi morfin, pin point pupils merupakan gejala yang khas. Dilatasi berlebihan hanya timbul pada stadium akhir intoksikasi morfin, yaitu jika sudah ada asfiksia. Morfin dalam dosis terapi mempertinggi daya akomodasi dan menurunkan tekanan intraokuler, baik pada orang normal maupun pada pasien glaukoma. e. Depresi nafas

Morfin menimbulkan depresi napas secara primer dan bersinambung berdasarkan efek langsung terhadap pusat nafas dibatang otak. Pada dosis kecil morfin sudah menimbulkan depresi nafas tanpa menyebabkan tidur atau kehilangan kesadaran. Dosis toksik dapat menyebabkan frekuensi nafas 3-4 kali/menit dan kematian pada keracunan morfin hampir selalu disebabkan oleh depresi nafas. Faktor yang meningkatkan resiko depresi pada ventilasi7 : High opioid dose Low lipid Solubility of opioid Concomitant administration of parenteral opioids or other sedatives Lack of opioid tolerance Advance age Increase intrathoracic pressure

f. Mual muntah Efek emetic morfin terjadi berdasarkan stimulasi langsung pada emetic trigger zone di area postrema medulla oblongata, bukan oleh stimulasi pusat emetic sendiri. Dengan dosis terapi (15 mg morfin sub kutan) pada pasien yang berbaring, jarang terjadi mual dan muntah, tetapi 40% pasien berobat jalan mengalami mual dan 15 % pasien mengalami muntah.3 2.1.1.2 SALURAN CERNA a. Lambung Morfin menghambat sekresi HCl, tetapi efek ini lemah. Selanjutnya morfin menyebabkan pergerakan lambung berkurang, tonus bagian antrum meninggi dan motilitasnya berkurang sedangkan sfingter pylorus berkontraksi. diperlambat. b. Usus halus Akibatnya pergerakan isi lambung ke duodenum

Mengurangi sekresi empedu dan pankreas, dan memperlambat pencernaan makanan di usus halus. Pada manusia, morfin mengurangi kontraksi propulsive, meninggikan tonus dan spasme periodic usus halus. c. Usus besar Morfin mengurangi atau menghilangkan gerakan propulsi usus besar, meninggikan tonus dan menyebabkan spasme usus besar, akibatnya penerusan isi kolon diperlambat dan tinja menjadi lebih keras. Daya persepsi korteks telah dipengaruhi morfin sehingga pasien tidak merasakan kebutuhan untuk defekasi. d. Duktus koledokus Dosis terapi morfin, kodein, dihidromorfinon dan metildihidromorfinon menimbulkan peninggian tekanan dalam duktus koledokus; dan efek ini menetap selama 2 jam atau lebih. 2.1.1.3 SISTEM KARDIOVASKULAR Pemberian morfin dosis terapi tidak mempengaruhi tekanan darah, frekuensi maupun irama denyut jantung. Perubahan yang terjadi adalah akibat efek depresi pada pusat vagus dan pusat vasomotor yang baru terjadi pada dosis toksik. Tekanan darah turun akibat hipoksia pada stadium akhir intoksikasi morfin. Morfin dan opioid lain melepaskan histamine yang merupakan factor penting dalam timbulnya hipotensi. 2.1.1.4 OTOT POLOS LAIN Morfin menimbulkan peninggian tonus, amplitudo serta kontraksi ureter dan kandung kemih. 2.1.1.5 KULIT Dalam dosis terapi, morfin menyebabkan pelebaran pembuluh darah kulit, sehingga kulit tampak merah dan terasa panas terutama di flush area (muka, leher, dan dada bagian atas). Keadaan tersebut mungkin sebagian disebabkan
9

oleh terjadinya penglepasan histamin oleh morfin dan seringkali disertai kulit yang berkeringat. 2.1.1.6 METABOLISME Morfin menyebabkan suhu badan turun akibat aktivitas otot yang menurun, vasodilatasi perifer dan penghambatan mekanisme neural di SSP. Kecepatan metabolisme dikurangi oleh morfin. Hiperglikemia timbul tidak tetap akibat penglepasan adrenalin yang menyebabkan glikogenolisis. Setelah pemberian morfin volume urin berkurang, disebabkan merendahnya laju filtrasi glomerulus, alir darah ginjal, dan penglepasan ADH.3 2.1.1.7 LAIN LAIN Opioid dapat memodulasi system imun dengan mempengaruhi proliferasi limfosit, pembentukan antibodi, dan kemotaksis. 2.1.2 FARMAKOKINETIK Morfin tidak menembus kulit utuh, tetapi dapat diabsorbsi melalui kulit luka. Morfin juga dapat menembus mukosa. Dengan kedua cara pemberian ini absorbs morfin kecil sekali. Morfin dapat diabsorbsi usus, tetapi efek analgetik setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgetik yang timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Mula kerja semua alkaloid opioid setelah suntikan IV sama cepat, sedangkan setelah suntikan subkutan, absorbsi berbagai alkaloid opioid berbeda beda. Morfin dapat melintasi sawar uri dan mempengaruhi janin. Ekresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan keringat. Morfin yang terkonjugasi ditemukan dalam empedu. Sebagian sangat kecil dikeluarkan bersama cairan lambung. 2.1.3 INDIKASI 2.1.3.1 TERHADAP NYERI

10

Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengananalgesik nonopioid. Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai : a. Infark Miokard b. Neoplasma c. Kolik renal atau kolik empedu d. Oklusio akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau koroner e. Perikarditis akut, pleuritis dan pneumothoraks spontan; dan f. Nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri pascabedah Sebagai medikasi praanestesi, morfin sebaiknya hanya diberikan pada pasien yang sedang menderita nyeri. Bila tidak ada nyeri dan obat praanestetik hanya untuk menimbulkan ketenangan atau tidur, lebih baik digunakan phenobarbital atau diazepam. 2.1.3.2 TERHADAP BATUK Penghambatan refleks batuk yang tidak produktif dan hanya iritatif. Akan tetapi dewasa ini penggunaan anlagesik opioid untuk mengatasi batuk telah banyak ditinggalkan karena telah banyak obat-obat sintetik lain yang efektif dan tidak menimbulkan adiksi. 2.1.3.3 EDEMA PARU AKUT Morfin intravena dapat dengan jelas mengurangi/menghilangkan sesak nafas akibat edema pulmonal yang menyertai gagal jantung kiri. Mekanisme tersebut tidak jelas tetapi mungkin berhubungan dengan berkurangnya pikiran cemas oleh karena sesak nafas dan rasa gelisah dan menurunnya cardiac preload (pengurangan tonus vena) dan afterload (menurunnya resistensi perifer.2
11

2.1.3.4 EFEK ANTIDIARE Alkaloid morfin berguna untuk menghentikan diare berdasarkan efek langsung terhadap otot polos usus. 2.1.4 EFEK SAMPING Morfin dapat menyebabkan mual dan muntah terutama pada wanita berdasarkan idiosinkrasi. Bentuk idiosinkrasi lain ialah timbulnya eksitasi dengan tremor, dan jarang jarang delirium; lebih jarang lagi konvulsi dan insomnia. Berdasarkan reaksi alergik dapat timbul gejala seperti urtikaria, eksantem, dermatitis kontak, pruritus dan bersin. Morfin dan opioid lain juga harus digunakan dengan hati hati bila daya cadangan nafas ( respiratory reserve) telah berkurang, misalnya pada emfisema, kifoskoliosis, korpulmonal kronik dan obesitas yang ekstrim3. 2.1.5 INTOKSIKASI AKUT Pasien akan tidur, sopor atau koma jika intoksikasi cukup berat. Frekuensi nafas lambat, 2 4 kali/menit, dan pernafasan mungkin berupa Cheyne Stokes. Pasien sianotik, kulit muka merah tidak merata dan agak kebiruan. Tekanan darah yang mula mula baik akan menurun sampai terjadi syok bila nafas memburuk, dan ini dapat diperbaiki dengan memberikan oksigen. Pupil sangat kecil (pin point pupils), kemudian midriasis jika telah terjadi anoksia. Pembentukan urin sangat berkurang karena terjadi pengelepasan ADH dan turunnya tekanan darah. Suhu badan rendah, kulit terasa dingin, tonus otot rangka rendah, mandibula dalam keadaan relaksasi dan lidah dapat menyumbat jalan nafas. Pada bayi mungkin timbul konvulsi. Kematian biasanya disebabkan oleh depresi nafas. 2.1.6 TOLERANSI ,ADIKSI DAN ABUSE Pada dasarnya adiksi morfin menyangkut fenomena berikut : a. Habituasi, yaitu perubahan psikik emosional sehingga pasien pasien ketagihan akan morfin

12

b. Ketergantungan fisik, yaitu kebutuhan akan morfin karena faal dan biokimia tubuh tidak berfungsi lagi tanpa morfin c. Adanya toleransi Toleransi ini timbul terhadap efek depresi, tetapi tidak timbul terhadap efek eksitasi, miosis teratur. Jika pecandu menghentikan penggunaan morfin secara tiba-tiba timbulah gejala putus obat atau gejala abstinensia. Menjelang saat dibutuhkannya morfin, pecandu tersebut merasa sakit, gelisah dan iritabel, kemudian tertidur nyenyak. Sewaktu bangun ia mengeluh seperti akan mati dan lebih gelisah lagi. Pada fase ini timbul gejala tremor, irritabilitas, lakrimasi, berkeringat, menguap, bersin, mual, midriasis, demam, dan nafas cepat. Gejala ini makin hebat disertai timbulnya muntah, kolik dan diare. Frekuensi denyut jantung dan tekanan darah meningkat. Pasien merasa panas dingin disertai hiperhidrosis. Akibatnya timbul dehidrasi, ketosis, asidosis dan berat badan pasien menurun. Kadang timbul kolaps kardiovaskular yang bisa berakhir dengan kematian. Bahaya terbesar didapat pada heroin sebab heroin menimbulkan euphoria. Untuk menimbulkan addiksi terhadap kodein diperlukan dosis besar. Dengan dosis besar ini gejala yang tidak menyenangkan sudah terjadi sebelum timbul adiksi.8 2.1.7 INTERAKSI OBAT Efek depresi SSP beberapa opioid dapat diperhebat dan diperpanjang oleh fenotiazin, penghambat monoamine oksidase dan antidepresi trisiklik. Beberapa derivate fenotiazin meningkatkan efek sedasi, tetapi dalam saat yang sama bersifat antianalgetik dan meningkatkan jumlah opioid yang diperlukan untuk menghilangkan nyeri. Dosis kecil amfetamin meningkatkan efek analgetik dan dan efek pada usus. Toleransi timbul setelah 2-3 minggu. Kemungkinan timbulnya toleransi lebih besar bila digunakan dosis besar secara

13

euphoria morfin dan dapat mengurangi efek sedasinya. Selain itu didapatkan sinergisme analgetik antara opioid dan obat obat sejenis aspirin.3 2.1.8 SEDIAAN DAN PASOLOGI Sediaan yang mengandung alkaloid murni dapat digunakan untuk pemberian oral maupun parenteral. Yang biasa digunakan ialah garam HCI, garam sulfat, atau fosfat alkaloid morfin, dengan kadar 10 mg/ml. Pemberian 10 mg/70 kgBB morfin subkutan dapat menimbulkan analgesia pada pasien dengan nyeri yang bersifat sedang hingga berat, misalnya nyeri pasca bedah. Efektivitas morfin per oral hanya 1/6 1/5 kali efektifitas morfin subkutan. Pemberian 60 mg morfin per oral member efek analgetik sedikit lebih lemah dan masa kerja lebih panjang daripada pemberian 8 mg morfin IM. Kodein tersedia dalam bentuk basa bebas atau dalam bentuk garam HCl atau fosfat. Satu tablet mengandung 10, 15 atau 30 mg kodein. Efek analgetik yang ditimbulkan oleh kodein oral kira kira 1/3 dari efek analgetik yang ditimbulkan setelah pemberian parenteral. Dosis tunggal 32 mg odein per oral memberikan efek analgetik sama besar dengan efek 600 mg asetosal. Pemberian kedua obat ini bersamaan akan menyebabkan potensiasi. Dosis kodein sebagai antitusif ialah 10 mg untuk orang dewasa. Dosis ini setara dengan dosis morfin 2-4 mg. untuk menimbulkan emesis digunakan 5 -10 mg apomorfin subkutan. 2.2 MEPERIDIN DAN DERIVAT FENILPIPERIDIN LAIN Meperidin yang juga dikenal sebagai petidin, secara kimia adalah etil-1-metil4-fenilpiperidin-4-karboksilat. 2.2.1 FARMAKODINAMIK Efek farmakodinamik meperidin dan derivate fenilpiperidin lain serupa satu dengan yang lain. Meperidin terutama bekerja sebagai agonis reseptor . Obat lain yang mirip dengan meperidin ialah piminodin, ketobemidon, dan fenoperidin. 2.2.1.1 SUSUNAN SARAF PUSAT
14

Meperidin menimbulkan analgesia, sedasi, euphoria, depresi nafas dan efek sentral lain. - Analgesia Efek analgetik meperidin serupa dengan efek analgetik morfin. Efek analgetik meperidin mulai timbul 15 menit setelah pemberian oral dan mencapai puncak dalam 2 jam. Efek analgetik yang timbul lebih cepat setelah pemberian sub kutan atau IM yaitu dalam 10 menit, mencapai puncak dalam waktu 1 jam dan masa kerjanya 3 5 jam. Efektivitas meperidin 75 100 mg parenteral kurang lebih sama dengan morfin 10 mg. Pada dosis ekui analgetik, sedasi yang terlihat sama dengan sedasi pada morfin. Pemberian meperidin kepada pasien yang menderita nyeri atau cemas, akan menimbulkan euphoria. Berbeda dengan morfin, dosis toksik meperidin kadang kadang menimbulkan perangsangan SSP misalnya tremor, kedutan otot dan konvulsi. Efek tersebut sebagian besar disebabkan oleh metabolitnya yaitu normeperidin. - Saluran nafas Meperidin dalam dosis ekuianalgetik menimbulkan depresi nafas sama kuat dengan morfin dan mencapai puncaknya dalam 1 jam setelah suntikan IM. Kedua obat ini menurunkan kepekaan pusat nafas terhadap CO2 dan mempengaruhi pusat yang mengatur irama nafas dalam pons. Berbeda dengan morfin, meperidin terutama menurunkan tidal volume, sedangkan frekuensi nafas kurang dipengaruhi. Sebaliknya, morfin terutama menimbulkan penurunan frekuensi nafas. Perubahan frekuensi nafas lebih mudah dilihat daripada perubahan tidal volume, sehingga efek depresi oleh meperidin tidak disadari. - Efek neural lain Pemberian meperidin secara sistemik menimbulkan anesthesia kornea, dengan akibat menghilangnya refleks kornea. Berbeda dengan morfin, meperidin tidak mempengaruhi diameter pupil dan refleks pupil. Seperti morfin dan metadon, meperidin meningkatkan kepekaan alat keseimbangan yang merupakan dasar
15

timbulnya mual, muntah dan pusing pada mereka yang berobat jalan. Seperti morfin dan metadon, meperidin tidak berefek antikonvulsi. Meperidin menyebabkan pengelepasan ADH. 2.2.1.2 SISTEM KARDIOVASKULER Pemberian dosis terapi meperidin pada pasien yang berbaring tidak

mempengaruhi sistem kardiovaskular, tidak menghambat kontraksi miokard dan tidak mengubah gambaran EKG. Pasien berobat jalan mungkin menderita sinkop disertai penurunan tekanan darah, tetapi gejala ini cepat hilang jika pasien berbaring. Sinkop timbul pada penyuntikan meperidin IV karena terjadi vasodilatasi perifer dan penglepasan histamine. Seperti morfin, meperidin dapat menaikkan kadar CO2 darah akibat depresi napas; kadar CO2 yang tinggi ini menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak sehingga timbul kenaikan tekanan cairan serebrospinal. 2.2.1.3 OTOT POLOS - Saluran Cerna Efek spasmogenik meperidin terhadap lambung dan usus kecil lebih lemah daripada morfin. Kontraksi propulsive dan non propulsive saluran cerna berkurang, tetapi dapat timbul spasme dengan tiba-tiba serta peninggian tonus usus. Seperti morfin, kodein dan metadon, meperidin menimbulkan spasme saluran empedu. Meperidin lebih lemah daripada morfin, tetapi lebih kuat daripada kodein dalam menimbulkan spasme saluran empedu. Meperidin tidak menimbulkan konstipasi sekuat morfin, sehingga meperidin tidak berguna untuk pengobatan simtomatik diare. - Otot Bronkus Meperidin dapat menghilangkan bronkospasme oleh histamine dan metakolin, namun pemberian dosis terapi meperidin tidak banyak mempengaruhi otot bronkus normal. Dalam dosis besar obat ini justru dapat menimbulkan bronkokonstriksi.
16

- Ureter Setelah pemberian meperidin dosis terapi, peristaltik ureter berkurang. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya produksi urin akibat dilepaskannya ADH dan berkurangnya laju filtrasi glomerulus. - Uterus Meperidin sedikit merangsang uterus dewasa yang tidak hamil. Aktivitas uterus hamil tua tidak banyak dipengaruhi oleh meperidin; dan pada uterus yang hiperaktif akibat oksitosin, meperidin meningkatkan tonus, menambah frekuensi dan intensitas kontraksi uterus. Jika meperidin diberikan sebelum pemberian oksitosin, obat ini tidak mengantagonis efek oksitosik. 2.2.2 FARMAKOKINETIK Absorbsi meperidin setelah cara pemberian apapun berlangsung baik. Akan tetapi kecepatan absorbsi mungkin tidak teratur setelah suntikan IM. Kadar puncak dalam plasma biasanya dicapai dalam 45 menit dan kadar yang dicapai sangat bervariasi antar individu. Setelah pemberian secara oral, sekitar 50% obat mengalami metabolism lintas pertama dan kadar maksimal dalam plasma tercapai dalam 1 2 jam. Setelah pemberian meperidin IV, kadarnya dalam plasma menurun secara cepat dalam 1 2 jam pertama, kemudian penurunan berlangsung dengan lambat. Metabolism meperidin terutama berlangsung dihati. kemudian sebagian mengalami konjugasi . N-demetilasi Pada manusia, meperidin mengalami hidrolisis menjadi asam meperidinat yang menghasilkan normeperidin, yang kemudian dihidrolisis menjadi asam normeperidinat dan seterusnya asam ini dinkonjugasi pula. Masa paruh meperidin + 3 jam.3 2.2.3 INDIKASI - Analgesia Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih
17

pendek daripada morfin. Misalnya untuk tindakan diagnostik seperti sistoskopi, pielografi retrograd, gastroskopi dan pneumoensefalografi. Pada bronkoskopi, meperidin kurang cocok karena efek antitusifnya jauh lebih lemah daripada morfin. Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetrik dan sebagai obat praanestetik. Untuk menimbulkan analgesia obstetric dibandingkan dengan morfin, meperidin kurang menyebabkan depresi nafas pada janin. Tetapi sebagai medikasi praanestetik masih dipertanyakan perlunya suatu analgesic opioid pada pasien yang tidak menderita nyeri. 2.2.4 EFEK SAMPING, KONTRAINDIKASI, DAN INTOKSIKASI Efek samping meperidin dan derivate fenilpiperidin yang ringan berupa pusing, berkeringat, euphoria, mulut kering, mual, muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi. Kontraindikasi penggunaan meperidin menyerupai kontraindikasi terhadap morfin dan opioid lain. Pada pasien penyakit hati dan orang tua harus dikurangi karena terjadinya perubahan pada disposisi obat. Selain itu dosis meperidin perlu dikurangi bila diberikan bersama antipsikosis, hipnotik sedative dan obat obat lain penekan SSP. Depresi nafas oleh meperidin dapat dilawan oleh nalorfin atau nalokson. Pada pecandu meperidin yang telah kebal akan efek depresi, pemberian meperidin dalam dosis besar dapat menimbulkan tremor, kedutan otot, midriasis, refleks hiperaktif, dan konvulsi. Bila terjadi gejala perangsangan terhadap meperidin obat dihentikan dan diganti dengan opioid lain (misal morfin) untuk mengatasi nyeri, dan ditambahkan antikonvulsan benzodiazepine bila diperlukan. 2.2.5 ADIKSI DAN TOLERANSI Toleransi terhadap efek depresi meperidin timbul lebih lambat dibanding dengan morfin. Timbulnya toleransi lambat bila interval pemberian lebih dari 3 4 jam. Toleransi tidak terjadi terhadap efek stimulasi dan efek mirip atropin.

18

Gejala putus obat pada penghentian tiba tiba penggunaan meperidin timbul lebih cepat tapi berlangsung lebih singkat daripada gejala setelah penghentian morfin dengan gangguan sistem otonom yang lebih ringan.8 2.2.6 SEDIAAN DAN PASOLOGI Meperidin HCl tersedia dalam bentuk tablet 50 mg dan 100 mg, dan ampul 50 mg/ml. meperidin lazim diberikan per oral atau IM. Pemberian meperidin IV menimbulkan reaksi lebih sering dan lebih berat. Pemberian meperidin subkutan menyebabkan iritasi lokal dan indurasi; pemberian yang sering dapat menyebabkan fibrosis berat jaringan otot. Pemberian 50 100 mg meperidin parenteral dapat menghilangkan nyeri sedang atau hebat. Efektifitas meperidin oral kurang, dan diperlukan dosis yang relative lebih besar dari dosis parenteral. Alfaprodin, tersedia dalam bentuk ampul 1 mL dan vial 10 mL dengan kadar 60 mg/mL. Difenoksilat. Derivate meperidin ini berefek konstipasi jelas pada manusia. Obat ini dikenal sebagai antidiare. Tersedia dalam bentuk tablet dan sirop yang mengandung 2,5 mg difenoksilat dan 25 g atropine sulfat tiap tablet atau tiap 5 mL sirop. Dosis yang dianjurkan untuk pengobatan diare pada orang dewasa 20 mg per hari dalam dosis terbagi. Loperamid. Seperti difenoksilat obat ini memperlambat motilitas saluran cerna dengan mempengaruhi otot sirkuler dan longitudinal usus. Obat ini berikatan dengan reseptor opioid sehingga diduga efek konstipasinya diakibatkan oleh ikatan loperamid dengan reseptor tersebut. Efek samping yang sering dijumpai ialah kolik abdomen, sedangkan toleransi terhadap efek konstipasi jarang sekali terjadi. Sebagian besar obat dieksresi bersama tinja. Kemungkinan disalahgunakan obat ini lebih kecil dari difenoksilat karena tidak menimbulkan euphoria seperti morfin dan kelarutannya rendah. Loperamid tersedia dalam bentuk tablet 2 mg dan sirup 1 mg/5 mL dan digunakan dengan dosis 4 8 mg/hari.

19

Fentanil dan derivatnya. Contoh : sulfentanil, alfentanil, dan remfentanil merupakan opioid sintetik dari kelompok fenilpiperidin dan bekerja sebagai agonis reseptor . Fentanil banyak digunakan utnuk anestetik karena waktu untuk digunakan untuk anestetik karena waktu untuk mencapai puncak analgesia lebih singkat dibandingkan morfin dan meperidin (sekitar 5 menit), efeknya cepat berakhir setelah dosis kecil yang diberikan secara bolus, dan relative kurang mempengaruhi kardiovaskular. Fentanil dan derivatnya paling sering digunakan IV, meskipun juga sering digunakan secara epidural dan intratekal untuk nyeri paska bedah atau nyeri kronik. Dengan dosis lebih besar atau pemberian infus lebih lama efek analgetik bertahan lebih lama. Efek euphoria dan analgetik fentanil diantagonis oleh antagonis opioid, tetapi secara tidak bermakna diperpanjang masanya atau diperkuat oleh droperidol yaitu suatu neuroleptik yang biasanya digunakan bersama sebagai anestetik IV. Seperti agonis reseptor lainnya fentanil dan derivatnya dapat menimbulkan mual, muntah, dan gatal. Kekakuan otot, yang mungkin terjadi setelah penggunaan semua narkotik, lebih sering terjadi bila fentanil atau derivatnya diberikan secara bolus. Kekakuan otot dapat dikurangi dengan menghindarkan/memperlambat pemberian secara bolus, dan induksi anestesi dengan obat nonopioid. Depresi respirasi lebih cepat timbul dibandingkan agonis reseptor lainnya. Fentanil dan derivatnya dapat mengurangi frekuensi jantung dan sedikit menurunkan tekanan darah. Akan tetapi karena obat obat ini tidak melepaskan histamine dan pengaruh langsung depresi miokard minimal, maka dosis tinggi fentanil dan sulfentanil sering digunakan sebagai anestetik pada operasi kardiovaskular, atau untuk operasi pada pasien dengan fungsi jantung yang buruk. 2.3 METADON DAN OPIOID LAIN 2.3.1 FARMAKODINAMIK 2.3.1.1 SUSUNAN SARAF PUSAT
20

Efek analgetik 7,5 10 mg metadon sama kuat dengan efek 10 mg morfin. Dalam dosis yang tunggal, metadon tidak menimbulkan hipnosis sekuat morfin. Dosis ekuianalgetik menimbulkan depresi nafas yang sama kuat seperti morfin dan dapat bertahan lebih dari 24 jam setelah dosis tunggal. Seperti morfin, metadon berefek antitusif, menimbulkan hiperglikemia, hipotermia dan penglepasan ADH. - Otot polos Metadon menimbulkan relaksasi sediaan usus dan menghambat efek spasmogenik asetilkolin atau histamin. Efek konstipasi metadon lebih lemah daripada morfin. Seperti morfin dan meperidin, metadon menimbulkan spasme saluran empedu pada manusia dan hewan coba. Ureter mengalami relaksasi, mungkin karena telah terjadi antidiuresis. Miosis yang ditimbulkan metadon lebih lama daripada miosis oleh morfin. Pada pecandu metadon timbul toleransi efek miosis yang cukup kuat. 2.3.1.2 SISTEM KARDIOVASKULAR Metadon menyebabkan vasodilatasi perifer sehingga dapat menimbulkan hipotensi ortostatik. Pemberian metadon tidak mengubah gambaran EKG tetapi kadang kadang timbul sinus bradikardia. Obat ini merendahkan kepekaan tubuh terhadap CO2 sehingga timbul retensi CO2 yang dapat menimbulkan dilatasi pembuluh darah serebral dan kenaikan tekanan serebrospinal. 2.3.2 FARMAKOKINETIK Metadon diabsorbsi secara baik oleh usus dan dapat ditemukan dalam plasma setelah 30 menit pemberian oral, kadar puncak dicapai setelah 4 jam. Metadon cepat keluar dari darah dan menumpuk dalam paru, hati, ginjal, dan limpa; hanya sebagian kecil yang masuk otak. Kadar maksimal metadon dalam otak dicapai dalam 1 2 jam setelah pemberian parenteral dan kadar ini sejajar dengan intensitas dan lama analgesia. Sebagian besar metadon yang diberikan akan ditemukan dalam urin dan tinja sebagai hasil biotransformasi yaitu pirolidin dan pirolin.
21

2.3.3 INDIKASI - Analgesia Jenis nyeri yang dapat dipengaruhi metadon sama dengan jenis nyeri yang dapat dipengaruhi morfin. Dosis ekuianalgetik metadon kira kira sama dengan morfin, tetapi ada yang berpendapat bahwa metadon sedikit lebih kuat daripada morfin. Dosis ekuianalgetik metadon kira kira sama dengan morfin, tetapi ada yang berpendapat bahwa metadon sedikit lebih kuat daripada morfin. Efek analgetik mulai timbul 10 20 menit setelah pemberian parenteral atau 30 60 menit setelah pemberian oral metadon. Masa kerja metadon dosis tunggal kira kira sama dengan masa kerja morfin. Obat ini menyebabkan depresi napas pada janin sehingga tidak dianjurkan sebagai analgesic pada persalinan. Metadon juga digunakan sebagai pengganti morfin atau opioid lain (misalnya heroin) untuk mencegah atau mengatasi gejala gejala putus obat yang ditimbulkan oleh metadon tidak sekuat dari yang ditimbulkan oleh morfin atau heroin tetapi berlangsung lebih lama, dan timbulnya lebih lambat. - Antitusif Metadon merupakan antitusif yang baik. Efek antitusif 1,5 2 mg per oral sesuai dengan 15 20 mg kodein, tetapi kemungkinan timbulnya adiksi pada metadon jauh lebih besar daripada kodein. Oleh karenanya dewasa ini penggunaannya sebagai antitusif tidak dianjurkan atau telah ditinggalkan. 2.3.4 EFEK SAMPING Metadon menyebabkan efek samping berupa perasaan ringan, pusing, kantuk, fungsi mental terganggu, berkeringat pruritus, mual dan muntah. Seperti pada morfin dan meperidin, efek samping ini lebih sering timbul pada pemberian oral daripada pemberian parenteral dan lebih sering timbul pada pasien berobat jalan. Terapi intoksikasi akut metadon sama dengan terapi intoksikasi akut morfin.9 2.3.5 TOLERANSI DAN KEMUNGKINAN ADIKSI

22

Toleransi metadon dapat timbul terhadap efek analgetik, mual, anoreksia, miotik, sedasi, depresi napas dan efek kardiovaskular, tetapi tidak timbul terhadap konstipasi. Toleransi ini lebih lambat daripada konstipasi. Toleransi ini lebih lambat lambat daripada toleransi terhadap morfin. Timbulnya ketergantungan fisik setelah pemberian metadon secara kronik dapat dibuktikan dengan cara kronik dapat dibuktikan dengan cara menghentikan obat atau dengan memberikan nalorfin.8 2.3.6 SEDIAAN DAN PASOLOGI Metadon dapat diberikan secara oral maupun maupun suntikan, tetapi suntikan subkutan menimbulkan iritasi lokal. Metadon tersedia dalam bentuk tablet 5 dan 10 mg serta sediaan suntikan dalam ampul atau vial dengan kadar 10 mg/mL. Dosis analgetik metadon oral untuk dewasa berkisar antara 2,5 15 mg, tergantung dari hebatnya nyeri dan respons pasien, sedangkan dosis parenteral ialah 2,5 10 mg.

2.4 PROPOKSIFEN 2.4.1 FARMAKODINAMIK Propoksifen berefek analgetik karena kerja sentralnya. Propoksifen terutama terikat pada reseptor meskipun kurang selektif dibandingkan morfin. Propoksifen 65 100 mg secara oral memberikan efek yang sama kuat dengan 65 mg kodein, sedangkan 130 mg propoksifen parenteral menimbulkan analgesia yang sama kuat dengan 50 mg meperidin parenteral. Tetapi propoksifen menimbulkan perasaan panas dan iritasi ditempat suntikan. Seperti kodein kombinasi propoksifen sengan asetosal berefek analgesik yang jauh lebih baik daripada jika masing masing obat diberikan tersendiri. Obat ini tidak berefek antitusif. 2.4.2 FARMAKOKINETIK

23

Propoksifen diabsorbsi setelah pemberian oral maupun parenteral. Seperti kodein efektifitas jauh berkurang jika propoksifen diberikan per oral. Biotransformasi propoksifen dengan cara N-demetilasi yang terjadi dalam hati. 2.4.3 INDIKASI Propoksifen hanya digunakan untuk mengobati nyeri ringan hingga sedang, yang tidak cukup baik diredakan oleh asetosal. Kombinasi propoksifen bersama asetosal berefek sama kuat seperti kombinasi kodein bersama asetosal. Dosis propoksifen untuk orang dewasa biasanya 4 kali 65 mg sehari, dengan atau tanpa asetosal. 2.4.4 EFEK SAMPING Pada dosis terapi propoksifen tidak banyak mempengaruhi system kardiovaskular. Pemberian 130 mg propoksifen per oral pada orang dewasa sehat tidak banyak mengubah reaksi terhadap CO2. Dengan dosis ekuianalgetik insiden efek samping propoksifen seperti mual, anoreksia, sembelit, nyeri perut dan kantuk kurang lebih sama dengan kodein. Dosis toksik biasanya menimbulkan depresi SSP dan depresi nafas, tetapi jika dosis lebih besar lagi timbul konvulsi. 2.4.5 ADIKSI Timbulnya adiksi terhadap propoksifen lebih propoksifen lebih kecil

kemungkinannya daripada terhadap kodein. Penghentian tiba tiba pada terapi dengan propoksifen akan menimbulkan gejala putus obat ringan. Dosis oral propoksifen yang besar (300 600 mg) menimbulkan efek subyektif yang menyenangkan, tetapi tidak serupa dengan efek morfin. Obat ini cukup iritatif pada pemberian subkutan, sehingga tidak digunakan secara parenteral.8 3. ANTAGONIS OPIOID Obat obat yang tergolong antagonis opioid umumnya tidak menimbulkan banyak efek kecuali bila sebelumnya telah ada efek agonis opioid atau bila opioid endogen sedang aktif misalnya pada keadaan stress atau syok. Nalokson
24

merupakan prorotip antagonis opioid yang relative murni, demikian pula naltrekson yang dapat diberikan per oral dan memperlihatkan masa kerja yang lebih lama daripada nalokson. Kedua obat ini merupakan antagonis kompetitif pada reseptor , , dan , tetapi afinitasnya terhadap reseptor jauh lebih tinggi.10 3.1 FARMAKODINAMIK Efek tanpa pengaruh opioid. Pada berbagai eksperimen diperlihatkan bahwa nalokson (1) Menurunkan ambang nyeri pada mereka yang biasanya ambang nyerinya tinggi. (2) Mengantagonis efek analgetik placebo (3) Mengantagonis analgesia yang terjadi akibat perangsangan lewat jarum akupunktur Efek subyektif yang ditimbulkan nalorfin pada manusia tergantung dari dosis, sifat orang yang bersangkutan dan keadaan. Pemberian 10 15 mg nalorfin atau 10 mg morfin menimbulkan analgesia sama kuat pada pasien dengan nyeri paska bedah. Efek tersebut diduga disebabkan oleh kerja agonis pada reseptor . Nalorfin dan levalorfan juga menimbulkan depresi nafas yang diduga karena kerjanya pada reseptor . Berbeda dengan morfin, depresi napas ini tidak bertambah dengan bertambahnya dosis. Kedua obat ini, terutama levalorfan memperberat depresi nafas oleh morfin dosis kecil, tetapi mengantagonis depresi napas akibat morfin dosis besar. Efek dengan pengaruh opioid Semua efek agonis opioid pada reseptor diantagonis oleh nalokson dosis kecil (0,4 0,8 mg) yang diberikan IM atau IV. Frekuensi napas meningkat dalam 1 2 menit setelah pemberian nalokson pada pasien dengan depresi nafas akibat agonis opioid, efek sedatif dan efek terhadap tekanan darah juga segera dihilangkan. Pada dosis besar, nalokson juga menyebbakan kebalikan efek dari efek psikomimetik
25

dan disforia akibat agonis antagonis. Antagonisme nalokson ini berlangsung selama 1 4 jam, tergantung dari dosisnya. Antagonisme nalokson terhadap efek agonis opioid sering disertai dengan terjadinya fenomena overshoot misalnya berupa peningkatan frekuensi napas melebihi frekuesni sebelum dihambat oleh opioid. Fenomena ini diduga berhubungan dengan terungkapnya (unmasking) ketergantungan fisik akut yang timbul 24 jam setelah morfin dosis besar. Terhadap individu yang memperlihatkan ketergantungan fisik terhadap morfin, dosis kecil nalokson SK akan menyebabkan gejala putus obat yang dapat berat. Gejala ini mirip dengan gejala akibat penghentian tiba tiba morfin, hanya timbulnya beberapa menit setelah penyuntikan dan berakhir setelah 2 jam. Berat dan lama berlangsungnya sindrom ini tergantung dari dosis antagonis dan beratnya ketergantungan. 3.2 FARMAKOKINETIK Nalokson hanya dapat diberikan parenteral dan efeknya segera terlihat setelah penyuntikan IV. Secara oral nalokson juga diserap, tetapi karena hampir seluruhnya mengalami metabolisme lintas pertama maka harus diberikan parenteral. Obat ini dimetabolisme dihati, terutama dengan glukoronidasi. Waktu paruhnya kira kira 1 jam dengan masa kerja 1 4 jam. Naltrekson efektif setelah pemberian per oral, kadar puncaknya dalam plasma dicapai dalam waktu 1 -2 jam, waktu paruhnya sekitar 3 jam dan masa kerjanya mendekati 24 jam. Naltrekson lebih poten dari nalokson, pada pasien adiksi opioid pemberian 100 mg secara oral dapat menghambat efek euphoria yang ditimbulkan oleh 25 mg heroin IV selama 48 jam. 3.3 TOLERANSI DAN KETERGANTUNGAN FISIK Toleransi hanya terjadi terhadap efek yang ditimbulkan oleh sifat agonis, jadi hanya timbul pada efek subyektif, sedatif dan psikotomimetik dari nalorfin. Penghentian riba tiba pemberian nalorfin kronis dosis tinggi menyebabkan
26

gejala putus obat yang khas tetapi lebih ringan daripada gejala putus obat morfin. Nalokson, nalorfin dan levalorfan kecil kemungkinannya untuk disalahgunakan sebab : a. Tidak menyebabkan ketergantungan fisik b. Tidak menyokong ketergantungan fisik morfin c. Dari segi objektif dianggap sebagai obat yang kurang menyenangkan bagi para pecandu. 3.4 INDIKASI Antagonis opioid ini dindikasikan untuk mengatasi depresi nafas akibat over dosis opioid.pada bayi yang baru dilahirkan oleh ibu yang mendapat opioid sewaktu persalinan, atau akibat tentamen suicide dengan suatu opioid; dalam hal ini nalokson merupakan obat terpilih. Obat ini juga digunakan untuk mendiagnosis dan mengobati ketergantungan fisik terhadap opioid. 3.5 SEDIAAN DAN PASOLOGI Nalorfin HCl ( Nafin HCl ), tersedia untuk penggunaan parenteral, masing masing mengandung 0,2 mg nalorfin/mL untuk anak, 5 mg nalorfin/mL untuk orang dewasa. Juga tersedia levalorfan 1 mg/mL dan nalokson 0,4 mg/mL. Pada intoksikasi opioid diberikan 2 mg nalokson dalam bolus IV yang mungkin perlu diulang. Karena waktu paruh yang singkat, dosis ini diulang tiap 20 60 menit, terutama pada keracunan opioid kerja lama misalnya metadon. Cara lain ialah memberikan dosis 60% dari dosis awal. Untuk mengatasi depresi nafas oleh opioid pada neonatus biasanya diberikan dosis awal 0,01 mg/kgBB IV, IM atau SK yang dapat diulang tiap 3 5 menit bila respons belum tampak. Tergantung dari beratnya depresi nafas dosis ini dapat diulang tiap 30 90 menit. 1

KESIMPULAN

27

Opioid sebagai analgesia narkotik yang sering digunakan dalam anastesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri paska pembedahan. Opioid mempunyai potensi yang berbeda sebagai suatu agonis, agonis parsial, atau antagonis pada lebih dari dari satu jenis reseptor atau subtipe reseptor maka senyawa yang tergolong opioid dapat memiliki efek farmakologik yang beragam. Intoksikasi opioid menyebabkan sindrom yang ditandai dengan koma, bradypnea dan miosis. Depresi pusat pernafasan adalah penyebab kematian prinsip yang terkait dengan intoksikasi ini. Nalokson, inhibitor kompetitif terhadap reseptor mu-opioid, merupakan obat penawar untuk intoksikasi opioid.

DAFTAR PUSTAKA

1. Katzung, Betram G. Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi 10, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Jakarta : EGC; 2010; 28-29. 2. "Opioid receptors". IUPHAR Database. International Union of Pharmacology. 2008. 3. Gunawan, Sulistia G, dkk, Farmakologi dan Terapi, Edisi 5, Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : UI Fakultas Kedokteran; 2009; 183-6. 4. Colvin L, Forbes K, Fallon M; Difficult pain. BMJ. 2006; 332 (7549):1081-3. Available at http://www.medicalnewstoday.com/info/oic/what-are-opioids.php . Accessed on November 3, 2012. 5. Girdlestone D, Cox BM, Chavkin C, Christie MJ, Civelli O, Evans C, et al. "Opioid receptors. The IUPHAR Compendium of Receptor Characterization and Classificatio, Second Edition. London: IUPHAR Media; 2000; 321333. 6. Available at http://ningrumwahyuni.wordpress.com/2009/09/04/keracunan-opiat/ . Accessed on November 3, 2012.

28

7. Stoelting, Robert K, Simon C.H. Handbook of Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practise, Second Edition. USA : LWW; 2005; 151-154. 8. Available at http://en.wikipedia.org/wiki/Opioid . Accessed on November 3, 2012. 9. Increase in Fatal Poisonings Involving Opioid Analgesics in the United States. Available at http://www.medscape.com/viewarticle/709744 . Accessed on November 3, 2012. 10. Martin WR. "Opioid antagonists". Pharmacol. Rev. 19 (4): 463521. PMID 4867058. Available at http://pharmrev.aspetjournals.org/cgi/pmidlookup? view=long&pmid=4867058 . Accessed on November 3, 2012.

29

Anda mungkin juga menyukai