Anda di halaman 1dari 3

A.

Latar Belakang Permasalahan Fertilitas di Jepang Demografi Jepang ditandai dengan penurunan tingkat kelahiran secara terus menerus dan peningkatan harapan hidup yang menyebabkan penduduk Jepang makin menua. Penurunan tingkat fertilitas juga menyebabkan turunnya jumlah penduduk. Di antara negara-negara maju, Jepang termasuk negara yang memiliki angka fertilitas terendah. Menurut Yoshida, profesor ekonomi di Universitas Tohoku, angka kelahiran mulai menunjukkan penurunan sejak 1975. Jika terus menyusut, penduduk Jepang diperkirakan akan punah dalam 1000 tahun ke depan. Tingkat pertumbuhan penduduk Menurut perkiraan Biro Statistik Jepang, penduduk Jepang pada 1 Desember 2009 berjumlah 127.530.000 orang (62.130.000 laki-laki dan 65.410.000 perempuan), dibandingkan populasi Desember 2008 terjadi penurunan sebesar 0,12% (150.000 orang). Jika hal ini terus-menerus terjadi ini mengakibatkan masalah yang besar bagi Jepang. Banyak hal yang melatar belakangi rendahnya angka fertilitas ini, antara lain: 1. Bergesernya nilai anak di dalam keluarga 2. Pertumbuhan ekonomi 3. Penundaan pernikahan (bankonka), yang menjadi gejala paling umum. Gejala penundaan pernikahan ini melanda wanita muda di seluruh Jepang. Umur rata-rata pertama menikah wanita muda Jepang pada tahun 1994 adalah 26,2 tahun. Apabila dikonsentrasikan hanya pada kota besar seperti Tokyo maka akan didapati angka 28 tahun. Bankonka disebabkan oleh semakin terbukanya kesempatan wanita untuk terjun ke dunia kerja dan semakin besarnya kesempatan melanjutkan pendidikan ke tingkat pendidikan tinggi. Sehingga wanita muda Jepang cenderung menunda pernikahannya. Wanita yang melanjutkan ke pendidikan tinggi, cenderung untuk tidak menikah selama masih kuliah. Setelah lulus pun, mereka bekerja terlebih dahulu untuk beberapa tahun. Kemudian ada yang memutuskan untuk menikah dan ada juga yang tidak. Mereka yang menunda pemikahannya disebut bankonka (kecenderungan menunda pernikahan), sedangkan yang terus tidak menikah disebut shogai mikon (seumur hidup tidak menikah). Di saat negara-negara di belahan dunia mengalami populasi penduduk yang semakin meningkat, Jepang justru menghadapi masalah lain yaitu

penyusutan penduduk yang disebabkan oleh fertilitas yang rendah. Padahal di sisi lain Jepang merupakan salah satu Negara dengan usia harapan hidup tertinggi di dunia. Bahkan jumlah orang Jepang yang berusia 100 tahun atau lebih mencatat rekor lebih dari 25.600 orang. Jepang saat ini menempati urutan teratas dengan jumlah lanjut usia (lansia) lebih banyak dibandingkan dengan angka kelahiran bayi disana. Ini dapat dilihat dari perubahan populasi dalam bentuk piramida seperti di bawah ini.

Piramida penduduk tahun 1950 menunjukkan bahwa Jepang memiliki piramida penduduk muda (expansive) ditandai dengan angka kelahiran tinggi dan angka kematian rendah. Pada piramida tahun 2012, populasi warga lanjut usia adalah 29.290.000 dan merupakan 23,1 % dari total populasi. Sedangkan penduduk usia 0-14 tahun hanya 13,2 %. Pada tahun 2050 diprediksi penduduk usia 0-14 tahun hanya sekitar 8,6% dan menggambarkan bahwa jumlah penduduknya akan menyusut. Dengan adanya penyusutan ini, Jepang bisa dikategorikan sebagai decaying country atau Negara yang menuju kepunahan. Total rasio kelahiran di Jepang terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Berikut data statistik dimana angka kelahiran di Jepang lebih rendah dibandingkan dengan angka kematian.

Angka kelahiran yang lebih rendah dari angka kematian akan menimbulkan bahaya yang besar, yakni menumpuknya penduduk usia tua sementara populasi anak-anak semakin berkurang. Jika terus menerus terjadi, maka Jepang akan kehilangan perannya sebagai kekuatan ekonomi dunia karena sedikit anak yang dilahirkan berarti mengurangi pekerja di masa depan.

http://www.digilib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-20157742.pdf http://www.scribd.com/doc/141603802/jurnal-fertilitas-jepang-docx

Anda mungkin juga menyukai