Anda di halaman 1dari 49

PRESENTASI KASUS

[DEMAM BERDARAH DENGUE]

Pembimbing : Dr. Yahya Lubis, SpA

Disusun Oleh : Novy Yanthi 030.05.159

ILMU KESEHATAN ANAK RSUD KOJA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI PERIODE 29 NOVEMBER 2010 5 FEBRUARI 2011 1

STATUS PASIEN

I.

IDENTITAS 1. Identitas Pasien : Nama pasien Jenis kelamin Agama Alamat Umur Tanggal masuk RS Koja No. Rekam Medik : An. R P : Perempuan : Islam : Jl. Hidup Baru RT 07/02 : 8 tahun 6 bulan 10 hari : 7 Desember 2010 : 00.08.52.37

2. Identitas Orang Tua Ayah Nama / Umur Agama Alamat Pekerjaan Pendidikan Penghasilan Hub. Pasien : Tn. R / 32 tahun : Islam : Jl. Hidup Baru RT 07/02 : Karyawan : STM : Rp 2.000.000 /bulan : Ayah kandung

Ibu Nama Agama Alamat Pekerjaan Pendidikan Penghasilan Hub. Pasien : Ny. I / 30 tahun : Islam : Jl. Hidup Baru RT 07/02 : Ibu rumah tangga : SD : (-) : Ibu kandung 2

II.

ANAMNESIS Dilakukan secara allo-auto anamnesis terhadap pasien dan kedua orang tua pasien pada tanggal 8 Desember 2010 pukul 16.00 WIB.

1. KELUHAN UTAMA Demam sejak 3 hari sebelum masuk RS Koja.

2. KELUHAN TAMBAHAN Mual dan muntah Nyeri ulu hati Nafsu makan menurun Sakit kepala dan pegal-pegal Batuk kering

3. RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT Os demam sejak 3 hari sebelum masuk RS Koja, mendadak yang dirasakan terus-menerus siang dan malam, suhu tinggi dengan perabaan tangan dan disertai menggigil, demam turun hanya jika diberi obat penurun panas (Paracetamol). Selain itu os juga merasa kepalanya sakit berdenyut serta badannya pegal-pegal. Selama demam, os batuk-batuk tidak berdahak. Dua hari sebelum masuk RS Koja os mualmual dan muntah setiap masuk makanan (nasi dan bubur), juga nyeri di ulu hati, menurut ibunya sejak sakit nafsu makan os berkurang. Buang air besar dan buang air kecil lancar, buang air besar berwarna hitam disangkal. Perdarahan dari hidung maupun gusi disangkal. Bercak kemerahan pada tangan dan kaki disangkal, rasa sesak juga disangkal. Os belum pernah mengalami gejala seperti ini dan belum pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya. Keluarga dan teman sekelas os tidak ada yang mengalami gejala seperti ini.

4. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU Penyakit Alergi Cacingan Demam Berdarah Demam Thypoid Umur Penyakit Difteria Diare Umur 9 bulan Penyakit Jantung Ginjal Umur -

Kejang

1x, 2 tahun

Darah

Kecelakaan

Radang paru

1 tahun 9 Otitis Morbili Tuberkulosis bulan, sembuh Parotitis Kesan : Pasien pernah dirawat di rumah sakit oleh karena diare pada umur 9 bulan dan oleh karena kejang pada umur 2 tahun. Pasien pernah menderita flek paru pada umur 1 tahun 9 bulan sudah menjalani pengobatan flek paru selama 6 bulan dan dinyatakan sembuh. Operasi Lainnya -

5. RIWAYAT KEHAMILAN/KELAHIRAN Morbiditas kehamilan KEHAMILAN Perawatan antenatal Tempat kelahiran KELAHIRAN Penolong persalinan Cara persalinan Rutin periksa ke bidan Rumah sakit Bidan Spontan Tidak ditemukan kelainan

Masa gestasi

Lebih bulan (10 bulan) Berat lahir 2.700 gram Panjang badan 50 cm

KELAHIRAN Keadaan bayi Langsung menangis Bayi berwarna merah Kelainan bawaan tidak ada Kesan : Riwayat perawatan antenatal selama kehamilan baik dan tidak bermasalah. Bayi lahir spontan tanpa penyulit, keadaan bayi waktu lahir baik.

6. RIWAYAT PERTUMBUHAN/PERKEMBANGAN Pertumbuhan gigi I : usia 8 bulan Psikomotor Tengkurap : usia 4 bulan Duduk Berdiri Berjalan Bicara : usia 7 bulan : usia 9 bulan : usia 12 bulan : usia 12 bulan (Normal : 3-4 bulan) (Normal : 6 bulan) (Normal : 9-12 bulan) (Normal : 13 bulan) (Normal : 9-12 bulan) (Normal : 5-9 bulan)

Baca dan Tulis: usia 4 tahun Kesan : Riwayat tumbuh kembang pasien baik.

7. RIWAYAT MAKANAN Umur (bulan) 02 ASI/PASI Buah/Biskuit + 2 bulan, 24 + (pisang, 1 buah, 2x/hari) 46 + + 6-8 + 4 bulan (2x/hari) + 7 bulan (3x/hari, @1/2 mangkuk kecil) 8 10 10 12 + + + + Bubur Susu Nasi Tim -

Kesan : Kualitas dan kuantitas makanan cukup

8. RIWAYAT IMUNISASI Vaksin BCG DPT / DT POLIO CAMPAK HEPATITIS B Dasar (Umur) Ketika lahir 2 bulan 2 bulan 9 bulan Ketika lahir 1 bulan 5 bulan 4 bulan 4 bulan 6 bulan 6 bulan Ulangan (Umur)

Kesan : Imunisasi dasar pasien lengkap, tetapi belum mendapat imunisasi ulangan.

9. RIWAYAT KELUARGA Ayah Nama Perkawinan Ke Umur Saat Menikah Pendidikan Terakhir Agama Suku Bangsa Keadaan Kesehatan R 1 22 tahun STM Islam Sunda Baik Ibu I 1 20 tahun SD Islam Sunda Baik

Pasien anak pertama dari dua bersaudara, adik pasien perempuan umur 6 tahun.

10. RIWAYAT PERUMAHAN/SANITASI Saat ini os tinggal bersama kedua orang tuanya dan adik perempuannya di rumah kontrakan, terdiri dari dua kamar tidur, satu kamar mandi, dapur, dan ruang tengah. Ventilasi rumah baik, penerangan cukup. Di depan rumah pasien banyak pohon rindang, 10 meter dari rumah pasien terdapat tempat pembuangan sampah. Air dari air PAM. Ibu pasien tidah tahu apakah ada tetangganya yang menderita demam berdarah.

III.

PEMERIKSAAN FISIK Dilakukan pada tanggal 7 Desember 2010 pukul 20.00 WIB.

Keadaan umum Kesadaran

: tampak sakit sedang : compos mentis

Status antropometri : Berat Badan Tinggi Badan : 22 Kg : 120 cm :

Kesan status gizi

BB/U x 100 % = 22/27 x 100 % = 81 % (Gizi Baik) TB/U x 100 % = 116/130 x 100 % = 89,2 % (Tinggi Kurang) BB/TB x 100% = 22/20 x 100 % = 110 % (Normal)

Berdasarkan data di atas maka dapat disimpulkan bahwa status gizi pasien baik dengan tinggi badan kurang. Tanda Vital :

Tekanan darah : 110/80 mmHg Nadi Suhu Pernapasan : 86 x/menit, volume cukup, irama reguler : 36,7 C : 20 x/menit, reguler, tipe torako-abdominal

Kepala

: Normosefali, ubun-ubun tidak cekung, rambut hitam, distribusi

merata, tidak mudah dicabut. Mata : Pupil bulat isokor, refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya

tidak langsung +/+, konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik. Hidung : Bentuk normal, nafas cuping hidung tidak ada, sekret -/-, tidak ada

septum deviasi. Telinga Bibir Mulut : Normotia, serumen -/-, sekret -/-. : Tidak ada kelainan bentuk, tidak kering, tidak sianotik : lidah tidak kotor, mukosa faring tidak hiperemis, uvula letak di

tengah, tonsil tidak hiperemis, ukuran T1-T1, kripta tidak melebar, dedritus -/-. 8

Leher

: KGB leher tidak teraba membesar, kelenjar tiroid tidak teraba

membesar, trakea letak normal. Toraks Jantung Paru : : BJ I N/ BJ II N/ Reguler, Murmur (-) Gallop (-) : Suara nafas Vesikuler, Rhonki -/- Wheezing -/: : Perut kembung : Soepel, turgor baik, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan

Abdomen Inspeksi Palpasi epigastrium (+) Perkusi Auskultasi

: Tympani di seluruh kuadran abdomen, Shifting dullness (+) : Bising usus (+) normal :

Ekstremitas

Atas : akral hangat, sianosis (-), edema (-), deformitas (-) petekie (-) Bawah: akral hangat, sianosis (-), edema (-), deformitas(-) petekie (-)

Tulang Belakang : tidak ada kelainan Susunan Saraf : Tanda rangsang meningeal (-), Refleks fisiologis (+),

Refleks patologis (-) Kulit : Turgor dan elastisitas normal, warna kulit putih, kelembaban

normal, tidak ada edema, tidak ada ruam. Tes Rumple Leed : Dilakukan tanggal 8 Desember 2010 timbul ptekie pada fossa cubiti

IV.

PEMERIKSAAN PENUNJANG A. LABORATORIUM i. Darah Lengkap


06/12/10 06/12/10 13,0 7.800 37 % 35.000 () 07/12/10 12,4 7.400 35 % () 41.000 () 08/12/10 12,2 6.200 37 % 89.000 () 4,60 80 27 33 09/12/10 12,7 6.700 39 % 202.000 Nilai normal 12,0-16,0 g/dl 4.100-10.900/uL 36-46 % 140.000-440.000 /uL 4.0-5.0 juta/uL 80-100 fL 26-34 pg 31-36 g/dL

Hemoglobin Leukosit Hematokrit Trombosit Eritrosit VER (MCV) HER (MCH) KHER (MCHC) Hitung Jenis Basofil Eosinofil Batang Segmen Limfosit Monosit LED RDW

14,0 7.910 40,2 % 46.000 () 5,24

0,741 0,12

0 0 0

0-2 % 0-5 % 2-6 % 47-80 % 13-40 % 2-11 % <15 mm/jam 11,6-14,8

37,8 35,9 25,5 5

26 66 8 7 13,9

Kesan : Trombositopenia, Ht = {(40,2 35) / 35} X 100% = 14,85 % 10

ii. Imunoserologi (06/12/2010) IgM Dengue (+) / positif IgG Dengue (+) / positif

iii. Widal (06/12/2010) B. S. typhi O : (-) / negatif S. paratyphi A 0 : (-) / negatif S. paratyphi B 0 : (-) / negatif S. paratyphi C 0 : (-) / negatif PEMERIKSAAN PENCITERAAN Rontgen Thoraks (9/12/2010) Posisi RLD : Kesan efusi pleura dextra

V.

RESUME

An. R P, perempuan, umur 8 tahun 6 bulan, masuk ke RS Koja dengan keluhan demam sejak 3 hari SMRS, demam tinggi terus-menerus, disertai menggigil, demam turun jika diberi Paracetamol. Os juga mengeluh batuk kering, sakit kepala, pegal-pegal, mual-muntah, nyeri ulu hati, dan nafsu makan menurun. BAB hitam, bercak kemerahan, perdarahan hidung dan gusi, rasa sesak disangkal. 11

Pada pemeriksaan fisik pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, tanda-tanda vital dalam batas normal, terdapat distensi abdomen, terdapat shifting dullnes, dan nyeri tekan pada regio epigastrium. Pemeriksaan Rumple Leed menunjukkan hasil positif. Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin didapatkan gambaran

trombositopenia, pemeriksaan imunoserologi IgM dan IgG Dengue positif. Pada pemeriksaan rontgen thoraks terdapat efusi pleura dextra.

VI.

DIAGNOSIS BANDING 1. 2. 3. Demam berdarah dengue grade I (Demam hari ke-4) Demam Chikungunya Demam Typhoid

VII.

DIAGNOSIS KERJA Demam berdarah dengue grade I (Demam hari ke-4)

VIII.

ANJURAN PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan darah rutin /24 jam

IX.

PENATALAKSANAAN a. Non-Medikamentosa Tirah baring Observasi tanda-tanda vital Banyak minum (1-2 liter/hari) Cegah perdarahan (jangan sikat gigi dulu)

b. Medikamentosa RL 16 tetes/menit Cefotaxime 3x500 mg (iv) Ranitidin 2x15 mg (iv) Paracetamol 1x1Cth (k/p)

12

X.

PROGNOSIS Ad vitam : ad bonam

Ad sanationam : ad bonam Ad fungsionam : ad bonam

XI. Tanggal
08/12/10

FOLLOW UP Subyektif
Demam (+) Batuk (+), dahak kering Perdarahan spontan (-) Kembung (+) Sesak(-)

Obyektif
KU: tampak sakit sedang KS: compos mentis T: 36,4 0C RR: 40 x/menit HR: 108 x/menit Kepala: Normocephali Mata: CP-/- SI-/Hidung: nch-,sekret-/Telinga: DBN Mulut : DBN Leher : DBN Paru : SN Vesikuler, Rh-/-, Wh-/Cor : S1N/ S2N/ Reguler, M (-), G (-) Abdomen : supel, BU(+)N, NT epigastrium (+), Shifting dullness (+) Ekstremitas : akral hangat (+) Kulit : turgor baik Rumple Leed (+)

Analisa
DBD grade I (Demam hari ke-5)

Perencanaan
- IVFD RL 16 tpm 20 tpm - Cefotaxime 3x500 mg (iv) - Ranitidin 2x15 mg 2x20 mg (iv) - PCT syr 1x1Cth (k/p) - Diet Lunak Karbohidrat 1500 kcal, Protein 25 gram - Darah rutin /24 jam

09/12/10

Demam (+) Sesak (-) Batuk kering (+)

KU: tampak sakit sedang KS: compos mentis T : 36,3 C RR: 32 x/menit
0

DBD grade I (Demam hari ke-6)

- IVFD RL 20 tpm - Cefotaxime 3x500 mg (iv) - Ranitidin 2x20 mg (iv) - PCT syr 1x1Cth (k/p)

13

Kembung (-)

HR: 80 x/menit Kepala: Normocephali Mata: CP-/- SI-/Hidung: nch-,sekret-/Telinga: DBN Mulut : DBN Leher : DBN Paru : SN Vesikuler, Rh-/-, Wh-/Cor : S1N/ S2N/ Reguler, M (-), G (-) Abdomen : supel, datar, BU(+)N, Shifting dullness (+) Ekstremitas : akral hangat (+) Kulit : turgor baik

- Darah rutin /24 jam - Diet teruskan

10/12/10

Demam (-) Sesak (-) Batuk kering (+) Kembung (-)

KU: baik KS: compos mentis T : 36,3 C RR: 28 x/menit HR: 80 x/menit Kepala: Normocephali Mata: CP-/- SI-/Hidung: nch-,sekret-/Telinga: DBN Mulut : DBN Leher : DBN Paru : SN Vesikuler, Rh-/-, Wh-/Cor : S1N/ S2N/ Reguler, M (-), G (-) Abdomen : supel, datar, BU (+)N Ekstremitas : akral hangat (+) Kulit : turgor baik
0

DBD grade I (Demam hari ke-7)

Boleh pulang Terapi oral : - Xanvit 1x1 Cth - Alcoplus 3x1/2 Cth - Paracetamol 1x1 Cth (k/p)

14

TINJAUAN PUSTAKA DEMAM BERDARAH DENGUE

PENDAHULUAN
Infeksi virus dengue merupakan salah satu penyakit dengan vektor nyamuk (mosquito borne disease) yang paling penting di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini mempunyai spektrum klinis yang bervariasi antara penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile illness), demam dengue (DD), demam berdarah dengue (DBD), sampai demam berdarah dengue disertai syok (dengue shock syndrome = DSS). Gambaran manifestasi klinis yang bervariasi ini memperlihatkan sebuah fenomena gunung es, dengan kasus DBD dan DSS yang dirawat di rumah sakit sebagai puncak gunung es yang terlihat di atas permukaan laut, sedangkan kasus dengue ringan (silent dengue infection dan demam dengue) merupakan dasarnya. Infeksi dengue dapat disebabkan oleh salah satu dari keempat serotipe virus yang dikenal (DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4). Infeksi salah satu serotipe akan memicu imunitas protektif terhadap serotipe tersebut tetapi tidak terhadap serotipe lain, sehingga infeksi kedua akan memberikan dampak yang lebih buruk. Hal ini dikenal sebagai fenomena yang disebut antibody dependent enhancement (ADE), dimana antibodi akibat serotipe pertama memperberat infeksi serotipe kedua. Mengingat infeksi dengue termasuk dalam 10 jenis penyakit infeksi akut endemis di Indonesia maka seharusnya tidak boleh lagi dijumpai misdiagnosis atau kegagalan pengobatan. Menegakkan diagnosis DBD pada stadium dini sangatlah sulit karena tidak adanya satupun pemeriksaan diagnostik yang dapat memastikan diagnosis DBD dengan sekali periksa, oleh sebab itu perlu dilakukan pengawasan berkala baik klinis maupun laboratoris.

15

ETIOLOGI(1)
Virus dengue termasuk group B arthropod borne virus (arboviruses) dan sekarang dikenal sebagai genus adalah Flavivirus, family Flaviviridae, yang mempunyai empat serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe yang lain. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi dengan 3 bahkan 4 serotipe selama hidupnya. Keempat jenis serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat.

PENULARAN(2), (3)
Terdapat tiga faktor yang

memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies yang lain juga dapat menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk Aedes aegypti dewasa memiliki ukuran sedang dengan tubuh berwarna hitam kecoklatan. Tubuh dan tungkainya ditutupi sisik dengan gari-garis putih keperakan. Di bagian punggung (dorsal) tubuhnya tampak dua garis melengkung vertikal di bagian kiri dan kanan yang menjadi ciri dari spesies ini. Sisik-sisik pada tubuh nyamuk pada umumnya mudah rontok atau terlepas sehingga menyulitkan identifikasi pada nyamuk-nyamuk tua. Ukuran dan warna nyamuk jenis ini kerap berbeda antar populasi, tergantung dari kondisi lingkungan dan nutrisi yang diperoleh nyamuk selama perkembangan. Nyamuk jantan dan betina tidak memiliki perbedaan dalam hal ukuran nyamuk jantan yang umumnya lebih kecil

16

dari betina dan terdapatnya rambut-rambut tebal pada antena nyamuk jantan. Kedua ciri ini dapat diamati dengan mata telanjang.(3) Aedes aegypti bersifat diurnal atau aktif pada pagi hingga siang hari. Penularan penyakit dilakukan oleh nyamuk betina karena hanya nyamuk betina yang mengisap darah. Hal itu dilakukannya untuk memperoleh asupan protein yang diperlukannya untuk memproduksi telur. Nyamuk jantan tidak membutuhkan darah, dan memperoleh energi dari nektar bunga ataupun tumbuhan. Jenis ini menyenangi area yang gelap dan benda-benda berwarna hitam atau merah.(3) Nyamuk Aedes tersebut dapat mengundang virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada gigitan berikutnya. Sekali virus dapat masuk dan berkembang biak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4-7 hari (intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul.

EPIDEMIOLOGI(1), (4)
Istilah haemorrhagic fever di Asia Tenggara pertama kali digunakan di Filipina pada tahun 1953, pada tahun 1958 meletus epidemi penyakit serupa di Bangkok. Setelah tahun 1958 penyakit ini dilaporkan berjangkit dalam bentuk epidemi di beberapa negara lain di Asia Tenggara. Di Indonesia DBD pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Di Jakarta kasus pertama dilaporkan pada tahun 1969, kemudian DBD berturut-turut dilaporkan di Bandung (1972), Yogyakarta (1972). Epidemi pertama di luar Jawa dilaporkan pada tahun 1972 di Sumatera Barat dan Lampung, disusul Riau, Sulawesi Utara, dan Bali (1973). Pada tahun 1974 epidemi dilaporkan di Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Pada tahun 1993 DBD telah menyebar ke seluruh propinsi di Indonesia. Pada saat ini DBD telah menyebarluas di 17

kawasan Asia Tenggara, Pasifik Barat, dan daerah Karibia. Berdasarkan jumlah kasus DBD, Indonesia menempati urutan kedua setelah Thailand. Jumlah kasus di Indonesia sebagai berikut ; tahun 1996 jumlah kasus 45.548 orang dengan jumlah kematian sebanyak 1.234 orang, tahun 1998 jumlah kasus 72.133 orang dengan jumlah kematian sebanyak 1.414 orang (terjadi ledakan), tahun 1999 jumlah kasus 21.134 orang, tahun 2000 jumlah kasus 33.443 orang, tahun 2001 jumlah kasus 45.904 orang, tahun 2002 jumlah kasus 40.377 orang, tahun 2003 jumlah kasus 50.131 orang, tahun 2004 sampai tanggal 5 Maret 2004 jumlah kasus sudah mencapai 26.015 orang dengan jumlah kematian sebanyak 389 orang.(4) Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan penyebaran kasus DBD sangat konpleks, yaitu (1) Pertumbuhan penduduk yang tinggi, (2) Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali, (3) Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan (4) Peningkatan sarana transportasi.

PATOGENESIS(1), (2), (5)


Patogenesis DBD dan DSS (Dengue Shock Syndrome) masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori patogenesis yang banyak dianut pada DBD dan DSS adalah : 1. Hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) Atau hipotesis immune enhancement : menyatakan bahwa secara tidak langsung pasien yang mengalami infeksi kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5 tahun, mempunyai resiko lebih besar untuk mendapatkan DBD/DSS. Antibodi yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari IgG yang berfungsi menghambat peningkatan replikasi virus dalam monosit, yaitu enchanting-antibody dan neutralizing antibody. Pada saat ini dikenal 2 jenis antibodi yaitu (1) Kelompok monoklonal reaktif yang tidak mempunyai sifat menetralisasi tetapi memacu replikasi virus, dan (2) Antibodi yang dapat menetralisasi secara spesifik tanpa disertai daya memacu replikasi virus. Antibodi non-neutralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan menyebabkan terbentuknya 18

kompleks imun pada infeksi sekunder dengan memacu replikasi virus. Teori ini pula yang mendasari pendapat bahwa infeksi sekunder virus dengue oleh serotipe dengue yang berbeda cenderung menyebabkan manifestasi berat. Dasar utama hipotesis ialah meningkatnya reaksi imunologis (the immunological enhancement hypothesis) yang berlangsung sebagai berikut : (a) Sel fagosit mononuklear yaitu monosit, makrofag, histiosit, dan sel Kupffer merupakan tempat utama terjadinya infeksi virus dengue primer. (b) Non neutralizing antibody baik yang bebas dalam sirkulasi maupun yang melekat (sitofilik) pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus dengue pada permukaan sel fagosit mononuklear. Mekanisme pertama ini disebut mekanisme aferen. (c) Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononuklear yang telah terinfeksi. (d) Selanjutnya sel monosit yang mengandung kompleks imun akan menyebar ke usus, hati, limpa, dan sumsum tulang. Mekanisme ini disebut mekanisme eferen. Parameter perbedaan terjadinya DBD dengan dan tanpa renjatan ialah jumlah sel yang terkena infeksi. (e) Sel monosit yang telah teraktivasi akan mengadakan interaksi dengan sistem humoral dan sistem komplemen dengan akibat dilepaskannya mediator yang mempengaruhi permeabilitas kapiler dan mengaktivasi sistem koagulasi. Mekanisme ini disebut mekanisme efektor.

19

Sebagai tanggapan terhadap secondary heterologous infection tersebut terjadi : i. Aktivasi sistem komplemen sehingga dikeluarkan zat anafilatoksin yang

menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan terjadi perembesan plasma dari ruang intravaskuler ke ekstravaskuler (plasma leakage), hipovolemia, syok. Perembesan plasma pada DBD mengakibatkan adanya cairan dalam rongga pleura dan rongga peritoneal yang berlangsung cepat selama 24-28 jam. ii. Agregasi trombosit yang terjadi akibat perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit menyebabkan pengeluaran ADP (adenosin diphosphat), sehingga trombosit melekat satu sama lain, dan akhirnya menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga jumlah trombosit menurun (trombositopenia). Apabila kejadian ini berlanjut, akan menyebabkan kelainan fungsi trombosit sebagai akibat adanya mobilisasi trombosit muda dari sum-sum tulang. Agregasi trombosit juga akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulasi konsumtif (DIC), yang ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degradation products), sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan. iii. Disisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin dan memacu permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat DIC), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.

20

2.

Hipotesis kedua menyatakan bahwa virus dengue seperti halnya semua virus binatang yang lain, secara genetis dapat berubah sebagai akibat dari tekanan pada seleksi sewaktu virus yang melakukan replikasi pada tubuh manusia maupun nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dan viremia, virulensi dan potensi terjadinya wabah. Selain itu ada beberapa strain virus yang mempunyai kemampuan untuk menimbulkan wabah lebih besar. Hipotesis ini didukung oleh data epidemiologis dan laboratoris.

PATOFISIOLOGI
a. Volume plasma(1) Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakan antara DD dengan DBD ialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, penurunan volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia, serta diastesis hemoragik.

Penyelidikan volume plasma pada kasus demam berdarah dengue dengan menggunakan 131 Iodine labelled human albumin sebagai indikator membuktikan bahwa plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai dari permulaan masa demam dan mencapai puncaknya pada masa syok. Pada kasus berat, syok terjadi secara akut, nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. 21

Meningginya nilai hematokrit pada kasus syok menimbulkan bahwa syok terjadi akibat kebocoran plasma ke daerah ekstravaskular (ruang interstisial dan rongga serosa) melalui kapiler yang rusak. Bukti yang mendukung ialah meningkatnya berat badan, ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritonium, pleura, dan perikardium. b. Trombositopenia(1) Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada sebagian besar kasus DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai terendah pada masa syok. Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesens dan nilai normal biasanya tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit. Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit diduga akibat meningkatnya destruksi trombosit. Dugaan mekanisme lain trombositopenia ialah depresi fungsi megakariosit. Penyebab peningkatan destruksi trombosit tidak diketahui, namun beberapa faktor dapat menjadi penyebab yaitu virus dengue, komponen aktif sistem komplemen, kerusakan sel endotel dan aktivasi sistem pembekuan darah secara bersamaan atau secara terpisah. Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD. Tabel mengenai hubungan jumlah trombosit dengan risiko perdarahan Jumlah Trombosit (sel/l) >100.000 50.000-100.000 20.000-50.000 <20.000 <10.000 Risiko Tidak ada risiko tinggi Risiko trauma mayor Risiko trauma minor Risiko perdarahan spontan Risiko perdarahan yang mengancam nyawa

22

c. Sistem koagulasi dan fibrinolisis(1) Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan demam berdarah dengue. Masa perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin parsial yang teraktivasi memanjang. Beberapa faktor pembekuan menurun, termasuk faktor II, V, VII, VIII, X, dan fibrinogen. Pada kasus DBD berat terjadi peningkatan fibrinogen degradation products. Penelitian lebih lanjut faktor koagulasi membuktikan adanya penurunan aktivitas Antitrombin III. Kelainan fibrinolisis pada demam berdarah dengue dibuktikan dengan penurunan aktifitas -2 plasmin inhibitor dan penurunan aktifitas plasminogen. Seluruh penelitian diatas membuktikan bahwa pada demam berdarah dengue stadium akut telah terjadi proses koagulasi dan fibrinolisis. Koagulasi Intravaskular Diseminata (DIC) juga secara potensial dapat terjadi pada demam berdarah dengue tanpa syok. Pada masa dini demam berdarah dengue, peran Koagulasi Intravaskular Diseminata tidak menonjol dibandingkan dengan perubahan plasma tetapi apabila penyakit memburuk sehingga terjadi syok dan asidosis maka syok akan memperberat Koagulasi Intravaskular Diseminata. Syok dan Koagulasi Intravaskular Diseminata akan saling mempengaruhi sehingga penyakit akan memasuki syok ireversibel disertai perdarahan hebat, terlibatnya organ-organ vital yang biasanya diakhiri dengan kematian. d. Sistem komplemen(1) Penelitian sistem komplemen pada demam berdarah dengue memperlihatkan penurunan kadar C3, C3 proaktivator, C4, dan C5, baik pada kasus yang disertai syok maupun tidak. Hasil penelitian radioisotop mendukung pendapat bahwa penurunan kadar serum komplemen disebabkan oleh aktivasi sistem komplemen. Aktivasi ini menghasilkan anafilatoksin C3a dan C5a yang mempunyai kemampuan menstimulasi sel mast untuk melepas histamin dan merupakan mediator kuat untuk menimbulkan peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan volume plasma, dan syok hipovolemik. Bukti-bukti yang mendukung peran sistem komplemen pada penderita demam berdarah dengue ialah ditemukannya kadar histamin yang meningkat dalam urin 24 jam,

23

adanya kompleks imun yang bersirkulasi, dan adanya korelasi antara kadar kuantitatif kompleks imun dengan derajat berat penyakit.

SPEKTRUM KLINIS(2)
Infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya tahan tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Dengan demikian infeksi virus dengue dapat menyebabkan keadaan yang bermacam-macam, mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan, yang tidak spesifik (undifferentiated febrile illness), Demam Dengue (DD), atau bentuk yang lebih berat yaitu Demam Berdarah Dengue (DBD).
Bagan I. Spektrum Klinis Infeksi Virus Dengue (Sumber : WHO, 1997)(2)

a.

Demam Dengue (Dengue Fever)(1), (2) Setelah masa tunas berkisar antara 4-6 hari (rentang 3-14 hari), gejala prodromal

yang tidak khas seperti nyeri kepala hebat, nyeri belakang bola mata, nyeri berbagai bagian tubuh, anoreksia, rasa menggigil, dan malaise. Dijumpai trias sindrom, yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota badan, dan timbulnya ruam (rash). Pada demam suhu umumnya antara 39-40 0C, timbul mendadak, pada beberapa penderita dapat dilihat bentuk kurva suhu yang menyerupai pelana kuda atau bifasik, tetapi pada penelitian selanjutnya bentuk kurva ini tidak ditemukan pada semua pasien sehingga tidak dapat dianggap patognomonik. Demam menetap antara 5-7 hari. Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu naik pertama kali, yaitu 24

pada hari sakit ke 3-5, berlangsung selama 3-4 hari. Ruam bersifat makulopapular yang menghilang pada tekanan. Ruam terdapat di dada, tubuh serta abdomen, menyebar ke anggota gerak dan muka. Ruam tersebut kemudian menghilang tanpa bekas dan selanjutnya timbul ruam merah halus pada hari ke-6 atau ke-7 terutama di daerah kaki, telapak tangan dan kaki. Selain itu, dapat juga ditemukan petekia. Kelainan darah tepi demam dengue ialah leukopenia selama periode pra-demam dan demam, neutrofilia relatif dan limfopenia, disusul neutropenia relatif dan limfositosis pada periode puncak penyakit dan pada masa konvalesens. Eosinofil menurun atau menghilang pada permulaan dan pada puncak penyakit, hitung jenis neutrofil bergeser ke kiri selama periode demam, sel plasma meningkat pada periode memuncaknya penyakit dengan terdapatnya trombositopenia. Darah tepi menjadi normal kembali dalam waktu 1 minggu. Demam Dengue yang disertai dengan perdarahan harus dibedakan dengan Demam Berdarah Dengue, dimana pada Demam Dengue tidak dijumpai kebocoran plasma. Hasil pemeriksaan serologis (dengue rapid test) untuk infeksi akut primer menunjukkan peninggian (positif) IgM. Selain itu manifestasi klinis DD menyerupai berbagai penyakit, misalnya infeksi virus Chikungunya, demam tifoid, leptospirosis, dan malaria. Diagnosis dapat dibantu dengan pemeriksaan serologis atau isolasi virus. b. Demam Berdarah Dengue (DBD) (1), (2) Demam Berdarah Dengue ditandai oleh 4 manifestasi klinis, yaitu demam tinggi, perdarahan, terutama perdarahan kulit, hepatomegali, dan kegagalan peredaran darah (circulatory failure). Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakan DBD dari DD ialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma, trombositopenia, dan diastesis hemoragik. Bentuk klasik dari DBD ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7 hari, disertai dengan muka kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri otot, tulang, sendi, mual, dan muntah sering ditemukan. Beberapa penderita mengeluh nyeri menelan dengan farings hiperemis ditemukan pada pemeriksaan, namun jarang ditemukan batuk pilek. Biasanya ditemukan juga nyeri perut dirasakan di epigastrium dan dibawah tulang iga. Demam tinggi dapat menimbulkan kejang demam terutama pada bayi. 25

Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji tourniquet (Rumple leede) positif, kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena atau pada bekas pengambilan darah. Petekia halus ditemukan tersebar di daerah ekstremitas, aksila, wajah, dan palatum mole, yang biasanya ditemukan pada fase awal dari demam. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih jarang ditemukan, sedangkan perdarahan saluran cerna hebat lebih jarang lagi dan biasanya timbul setelah renjatan yang tidak dapat diatasi. Hati biasanya membesar dengan variasi dari just palpable sampai 2-4 cm di bawah arcus costae kanan. Sekalipun pembesaran hati tidak berhubungan dengan berat ringannya penyakit namun pembesar hati lebih sering ditemukan pada penderita dengan syok. Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase demam, pada saat ini terjadi penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai dengan gangguan sirkulasi yang bervariasi dalam berat-ringannya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi ringan perubahan yang terjadi minimal dan sementara, pada kasus berat penderita dapat mengalami syok. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi. Jumlah trombosit < 100.000 /uL ditemukan antara hari sakit ke 3-7. Peningkatan kadar hematokrit merupakan bukti adanya kebocoran plasma, walau dapat terjadi pula pada kasus derajat ringan meskipun tidak sehebat dalam keadaan syok. Jumlah leukosit bisa menurun (leukopenia) atau leukositosis, limfositosis relatif dengan limfosit atipik sering ditemukan pada saat sebelum suhu turun atau syok. Hipoproteinemi ataupun hipoalbuminemi dapat memperkuat kebocoran plasma. Asidosis metabolik dan peningkatan BUN ditemukan pada syok berat. Pada pemeriksaan radiologis bisa ditemukan efusi pleura, terutama sebelah kanan. Berat-ringannya efusi pleura berhubungan dengan berat-ringannya penyakit. Pada pasien yang mengalami syok, efusi pleura dapat ditemukan bilateral.

Patokan diagnosis DBD (WHO, 1975) berdasarkan gejala klinis dan laboratorium : Klinis Demam tinggi mendadak dan terus-menerus selama 2-7 hari. 1. Manifestasi perdarahan, minimal uji tourniquet positif dan salah satu bentuk perdarahan lain (petekia, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan mukosa, perdarahan gusi), hematemesis dan atau melena. 26

2. Pembesaran hati 3. Syok yang ditandai oleh nadi lemah dan cepat disertai tekanan nadi menurun ( 20 mmHg), tekanan darah menurun ( 80 mmHg) disertai kulit yang teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari, dan kaki, pasien menjadi gelisah, dan timbul sianosis di sekitar mulut. Laboratorium Trombositopenia dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit < 100.000/uL ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-7 sakit, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit. Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari peningkatan nilai hematokrit > 20 % dibandingkan dengan nilai hematokrit pada masa sebelum sakit atau masa konvalesen. Ditemukannya dua atau tiga patokan klinis pertama disertai trombositopenia dan hemokonsentrasi sudah cukup untuk klinis membuat diagnosis DBD. Dengan patokan ini 87 % kasus tersangka DBD dapat didiagnosis dengan tepat, yang dibuktikan oleh pemeriksaan serologis, dan dapat dihindari diagnosis berlebihan. Demam Demam sebagai gejala utama terdapat pada semua kasus dan merupakan alasan mengapa orang tua membawa anaknya berobat oleh karena khawatir akan keadaan anak yang demam. Karakteristik demam pada DBD yaitu, demam tinggi mendadak, terus-menerus, berlangsung 2-7 hari, naik turun, tidak mempan dengan obat antipiretik. Kadang suhu tubuh sangat tinggi mencapai 40 0C dan dapat terjadi kejang demam. Akhir fase demam merupakan fase kritis pada DBD. Pada saat fase demam cenderung menurun dan pasien tampak seakan sembuh, hati-hati karena fase tersebut dapat merupakan awal kejadian syok. Biasanya pada hari ketiga demam, hari ke 3, 4, 5 adalah fase kritis yang harus dicermati karena dapat terjadi syok. Kemungkinan terjadi perdarahan dan kadar trombosit dapat sangat rendah (< 200.000 /uL). Manifestasi Perdarahan Penyebab perdarahan pada pasien DBD adalah vaskulopati, trombositopenia, dan gangguan fungsi trombosit, serta koagulasi intravaskular yang menyeluruh. Jenis perdarahan yang terbanyak adalah perdarahan kulit seperti uji tourniquet (uji Rumple Leede/uji bendung)

27

positif, petekia, purpura, ekimosis, dan perdarahan konjungtiva. Perdarahan lain yaitu epistaksis, perdaraha gusi, melena, dan hematemesis. Uji torniquet positif sebagai manifestasi perdarahan kulit paling ringan yang merupakan tanda fragilitas kapiler yang meningkat. Perlu diingat bahwa hali ini juga dapat ditemukan pada penyakit virus lain (misalnya campak, demam chikungunya) infeksi bakteri (tifus abdominalis) dan lain-lain. Uji tourniquet positif akan banyak kegunaanya apabila secara klinis diduga DBD, oleh karena pada awal perjalanan penyakit 70,2 % kasus DBD mempunyai hasil uji tourniquet positif. Uji tourniquet positif apabila terdapat lebih dari 10 petekia pada area 1 inci persegi (2,8 cm x 2,8 cm) di lengan bawah bagian depan (volar) termasuk pada lipatan siku (fosa cubiti). Pembesaran Hati (Hepatomegali) Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit, bervariasi dari hanya sekedar dapat diraba (just palpable) sampai 2-4 cm di bawah lengkungan iga kanan. Proses pembesaran hati, dari tidak teraba menjadi teraba, dapat meramalkan perjalanan penyakit DBD. Derajat pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit, namun nyeri tekan pada daerah tepi hati, berhubungan dengan adanya perdarahan. Nyeri perut lebih tampak jelas pada anak besar dari pada anak kecil. Pada sebagian kecil kasus dapat dijumpai ikterus. Syok (Sindrom Syok Dengue/SSD) Manifestasi syok pada anak terdiri atas : 1. Kulit pucat, dingin, dan lembab terutama pada ujung jari kaki,tangan, dan hidung, sedangkan kuku menjadi biru. Hal ini disebabkan oleh karena sirkulasi yang tidak adekuat menyebabkan perangsangan sistem simpatis. 2. Anak yang semula rewel cengeng dan gelisah lambat laun kesadarannya menurun menjadi apatis, sopor, dan koma. Hal ini disebabkan kegagalan sirkulasi serebral. 3. Perubahan nadi, bak frekuensi maupun amplitudonya. Nadi menjadi cepat dan lembut sampai tidak dapat dirabaoleh karena kolaps sirkulasi. 4. Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang. 5. Tekanan sistolik pada anak menurun menjadi 80 mmHg atau kurang. 6. Oliguria sampai anuri karena menurunnya perfusi ke arteri renalis.

28

Syok terjadi pada saat atau setelah demam turun, yaitu di antara hari sakit ke 3-7. Pasien seringkali mengeluh nyeri perut sebelum timbul syok, dan menjadi tanda bahaya oleh karena kemungkinan besar terjadi perdarahan gastrointestinal. tatalaksana syok harus dilakukan secara tepat oleh karena bila tidak pasien dapat masuk dalam syok berat (profound shock), tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak dapat diraba. Dengan diagnosis dini dan penggantian cairan adekuat, syok biasanya teratasi dengan segera, tatalaksana syok yang tidak adekuat akan menimbulkan komplikasi asidosis metabolik, hipoksia, perdarahan gastrointestinal hebat dengan prognosis buruk. Sebaliknya dengan pengobatan tepat, masa penyembuhan cepat sekali terjadi, pasien menyembuh dalam waktu 2-3 hari dan selera makan yang membaik dan pengeluaran urin yang cukup merupakan petunjuk prognosis baik.

Pembagian derajat DBD menurut WHO 1997 Demam diikuti gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi Derajat I perdarahan ialah uji Tourniquet yang positif. Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau Derajat II perdarahan lain. Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan Derajat III nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, dan anak tampak gelisah. Syok berat (profound shock) nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah Derajat IV tidak terukur.

Catatan : Adanya trombositopenia disertai hemokonsentrasi membedakan DBD derajat I/II dengan DD Pembagian derajat penyakit dapat juga dipergunakan untuk kasus dewasa.

PEMERIKSAAN PENUNJANG(1), (2)


1. Hematologi 29

a. Jumlah Trombosit Penurunan jumlah trombosit menjadi < 100.000 /uL atau kurang dari 1-2 trombosit/LPB dengan rata-rata pemeriksaan dilakukan pada 10 LPB. Umumnya trombositopenia terjadi sebelum ada peningkatan hematokrit dan sebelum suhu turun. Jumlah trombosit 100.000 /uL biasanya ditemukan pada hari ketiga sampai ketujuh. Pemeriksaan trombosit perlu diulang sampai terbukti normal kembali. b. Kadar Hematokrit Peningkatan nilai hematokrit menggambarkan hemokonsentrasi selalu dijumpai pada DBD, merupakan indikator terhadap perembesan plasma, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan hematokrit secara berkala. Pada umumnya peningkatan hematokrit didahului oleh penurunan trombosit, dengan peningkatan trombosit 20 % mencerminkan peningkatan permeabilitas kapiler dan perembesan plasma. Nilai hematokrit selalu berubah seiring penggantian cairan maupun adanya perdarahan. c. Jumlah Leukosit Jumlah leukosit normal, tetapi biasanya menurun dengan dominasi sel neutrofil. Selanjutnya pada akhir fase demam, jumlah leukosit dan sel neutrofil menurun sehingga jumlah limfosit secara relatif meningkat. Peningkatan jumlah sel limfosit atipikal atau limfosit plasma biru > 4 % di daerah tepi dapat dijumpai pada hari sakit ketiga sampai ketujuh. d. Pemeriksaan laboratorium Lain Kadar albumin menurun sedikit dan bersifat sementara; hipoproteinemia; hiponatremia; eritrosit dalam tinja hampir selalu ditemukan; serum komplemen menurun; penurunan -antiplasmin (2-plasmin inhibitor) hanya pada beberapa kasus; pada sebagian besar kasus disertai penurunan faktor koagulasi dan fibrinolitik yaitu fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III; sedikit peningkatan dari serum aspartat aminotransferase (SGOT dan SGPT); pada kasus berat dijumpai disfungsi hati, penurunan kelompok vitamin K-dependent protrombin seperti faktor V, VII, IX, dan X; waktu tromboplastin parsial dan waktu protrombin memanjang; asidosis metabolik berat dan peningkatan kadar urea nitrogen terdapat pada syok berkepanjangan. 2. Radiologi

30

Pada foto toraks dalam posisi lateral dekubitus kanan (DBD derajat III/IV dan sebagian besar derajat II) didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan. Selain itu asites dan efusi pleura dapat juga dideteksi dengan pemeriksaan Ultra Sonografi (USG).

3.

Diagnosis Serologi(1), (2), (6) Setelah satu minggu tubuh terinfeksi virus dengue, terjadi viremia yang diikuti oleh

pembentukan IgM-antidengue. IgM hanya berada dalam waktu yang relatif singkat dan akan disusul segera dengan pembentukan IgG. Pada kira-kira hari kelima infeksi terbentuklah antibodi yang bersifat menetralisasi virus (neutralizing antibody/NT). Titer antibodi NT akan naik dengan cepat, kemudian menurun secara lambat untuk waktu yang lama, biasanya seumur hidup. Setelah antibodi NT, akan timbul antibodi yang mempunyai sifat menghambat hemaglutinasi sel darah merah angsa (haemaglutination inhibiting antibody/HI). Titer antibodi HI itu naik sejajar dengan antibodi NT, kemudian turun secara perlahan-lahan, tetapi lebih cepat daripada antibodi NT. Antibodi yang terakhir, yaitu antibodi yang mengikat komplemen (complement fixing antibody/CF), timbul sekitar hari kedua puluh. Titer antibodi itu naik setelah perjalanan penyakit mencapai maksimum dalam waktu 1-2 bulan, kemudian turun secara cepat dan menghilang setelah 1-2 tahun.

31

Pada dasarnya diagnosis konfirmasi infeksi virus dengue ditegakkan atas hasil pemeriksaan serologik atau hasil isolasi virus. Dasar pemeriksaan serologis membandingkan adalah membandingkan titer antibodi pada masa akut dengan konvalesens. Tehnik pemeriksaan yang dianjurkan WHO ialah pemeriksaan HI dan CF. Kedua cara itu membutuhkan dua contoh darah. Contoh darah pertama diambil pada waktu demam akut, sedangkan yang kedua pada masa konvalesens, 1-4 minggu dalam perjalanan penyakit. Dalam praktik sukar sekali didapatkan contoh darah kedua karena pasien yang telah sembuh sehingga tidak bersedia diambil darahnya. Dengan demikian diambil kebijaksanaan untuk mengambil darah sebanyak 3 kali. Pertama, sewaktu masuk rumah sakit, kedua pada waktu meninggalkan rumah sakit, dan ketiga 1-4 minggu setelah perjalanan penyakit. Apabila hanya diperoleh satu contoh darah, penafsiran akan sulit atau bahkan sering tidak mungkin dilakukan. Dikenal 5 jenis uji serologi yang dipakai untuk menunjukkan adanya infeksi virus dengue, misalnya : 1. Uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI test) Merupakan uji serologis yang dianjurkan dan sering dipakai dan dipergunakan sebagai gold standard pada pemeriksaan serologis. Meskipun begitu, terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan pada uji HI ini : (a) Uji HI sensitif tetapi tidak spesifik, artinya tidak dapat menunjukkan tipe virus apa yang menginfeksi, (b) antibodi HI bertahan sangat lama dalam tubuh (sampai > 48 tahun), sehingga sering dipakai dalam studi seroepidemiologi, (c) untuk diagnosis membutuhkan kenaikan titer konvalesens 4x lipat dari titer serum akut atau titer tinggi (> 1280) baik pada serum akut atau konvalesens dianggap sebagai positif infeksi dengue yang baru terjadi (recent dengue infection). 2. Uji Komplemen fiksasi (CF test) Uji komplemen fiksasi jarang digunakan sebagai uji diagnostik rutin, oleh karena cara pemeriksaan yang rumit dan memerlukan tenaga yang berpengalaman. Berbeda dengan antibodi HI, antibodi CF hanya bertahan beberapa tahun saja (2-3 tahun). 3. Uji Neutralisasi (NT test) Merupakan uji yang paling sensitif dan spesifik untuk virus dengu. Uji neutralisasi memakai cara yang disebut Plague reduction Neutralization Test (PRNT) yang berdasarkan adanya reduksi dari plak yang terjadi. Antibodi neutralisasi dideteksi 32

hampir bersamaan dengan HI antibodi dan bertahan lama (> 4-8 tahun). Tetapi uji neutralisasi juga rumit dan memerlukan waktu yang cukup lama sehingga tidak dipakai secara rutin. 4. IgG dan IgM Elisa Merupakan uji serologi yang banyak sekali dipakai, untuk mengetahui kandungan IgG dan IgM dalam serum pasien. Terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan : (a) IgM baru timbul pada hari ke 4-5 infeksi dengue dan diikuti oleh timbulnya IgG, (b) apabila hasil uji terhadap IgM masih negatif, maka dapat diulang, dan apabila pada hari ke-6 sakit hasil masih negatif maka dilaporkan sebagai negatif, (c) IgM dapat bertahan lama di dalam darah sampai 2-3 bulan setelah infeksi, (d) uji IgM tidak boleh dipakai sebagai satu-satunya uji diagnostik untuk pengelolaan kasus, harus disertai dengan uji IgG, (e) mempunyai sensitifitas sedikit di bawah uji HI, dengan kelebihan hanya memerlukan satu serum akut saja dengan spesifisitas yang sama dengan uji HI, (f) pada saat ini juga telah beredar uji IgM/IgG Elisa yang sebanding dengan uji HI dan sedikit lebih spesifik seperti IgM/IgG Dengue Blot.

33

5. NS1-Ag tes Virus dengue merupakan virus RNA rantai tunggal, terdapat empat serotipe yang berbeda yaitu DEN1,DEN2,DEN3 dan DEN4 yang semuanya terdapat di Indonesia. Virus dengue memiliki genom 11 kb yang mengkode 10 macam protein virus yaitu tiga protein struktural (C/protein core, M/protein membrane, E/protein envelope) dan tujuh protein nonstruktural (NS1,NS2a,NS2b,NS3,NS4a,NS4b,NS5). NS1-Ag tes adalah tes untuk deteksi protein non struktur NS-1 Ag yang ada dalam sirkulasi dan dapat mendeteksi ke empat serotipe. Keunggulannya dapat mendeteksi virus lebih awal, mulai dari hari ke-1 demam sampai demam hari ke-9 dan mempunyai sensitivitas DEN-1 : 88,9%, DEN-2 : 87,1%, DEN-3 : 100%, DEN-4 : 93,35%.(6) 4. Isolasi Virus Beberapa cara isolasi yang kini dikembangkan : Inokulasi intraserebral pada bayi tikus putih albino umur 1-3 hari, Inokulasi pada biakan jaringan mamalia (LLCMK2) dan nyamuk A. Albopictus, Inokulasi pada nyamuk dewasa secara intratorasik/intraserebral pada larva. 5. Deteksi Antigen Virus atau RNA Virus

DIAGNOSIS BANDING(2)
a. Pada awal perjalanan penyakit, diagnosis banding mencakup infeksi bakteri, virus, atau parasit, seperti; demam tifoid, campak, influenza, demam chikungunya, hepatitis, leptospirosis, dan malaria. Adanya trombositopenia disertai

hemokonsentrasi dapat membedakan DBD dengan penyakit lain. b. Demam berdarah dengue harus dibedakan dengan demam chikungunya (DC), dimana DC biasanya dapat menyerang seluruh anggota keluarga dan penularannya mirip dengan influenza. Pada DC serangan demam mendadak, masa demam lebih pendek, suhu lebih tinggi, hampir selalu disertai ruam makulopapular, injeksi konjungtiva, dan lebih sering dijumpai nyeri sendi. Proporsi uji Tourniquet positif, petekia, dan epistaksis hampir sama dengan DBD, tetapi pada DC tidak dijumpai perdarahan gastrointestinal dan syok. c. Perdarahan seperti ptekia dan ekimosis ditemukan pada beberapa penyakit infeksi, misalnya sepsis, meningitis meningokokus. Pada sepsis, sejak semula pasien sakit berat, demam naik turun, dan ditemukan tanda-tanda infeksi. Terdapat leukosistosis 34

serta dominasi sel PMN (pergeseran ke kiri pada hitung jenis). Pada meningitis meningokokus jelas terdapat gejala rangsang meningeal dan kelainan pada pemeriksaan cairan serebrospinalis. d. Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD Derajat II, oleh karena didapatkan demam disertai perdarahan bawah kulit. Pada hari-hari pertama diagnosis ITP sulit dibedakan dengan penyakit DBD, tetapi pada ITP demam cepat menghilang, tidak dijumpai leukopenia, tidak dijumpai

hemokonsentrasi, tidak dijumpai pergeseran ke kanan pada hitung jenis. Pada fase penyembuhan DBD jumlah trombosit lebih cepat kembali normal pada ITP.

KOMPLIKASI(1), (2)
1. Ensefalopati Dengue Ensefalopati dengue pada umumnya diduga terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan, disfungsi hati, udem otak, perdarahan kapiler serebral, gangguan metabolik seperti hipoksemia atau hiponatremia serta trombosis pembuluh darah otak sementara sebagai akibat dari koagulasi intravaskular diseminata (KID). Pada ensefalopati dengue kesadaran pasien menurun menjadi apati atau somnolen, dengan atau tanpa kejang, dan dapat terjadi pada DBD/DSS. Untuk memastikan ensefalopati bila ada syok, maka syok harus diatasi terlebih dahulu. Pungsi lumbal dapat dikerjakan setelah syok teratasi dan kesadaran tetap menurun (hati-hati bila jumlah trombosit < 50.000 /uL). Selain itu juga dapat dijumpai kenaikan kadar serum transaminase (SGOT/SGPT), PT dan APTT memanjang, kadar gula darah menurun, alkalosis pada pemeriksaan gas darah, dan hiponatremia. Dalam dua dekade terakhir makin banyak laporan DBD yang disertai gejala ensefalopati dikemukakan dari beberapa negara di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Adanya kasus ensefalopati dengue menandakan betapa bervariasinya gejala klinis pasien DBD dan bahwa patokan klinis yang digariskan WHO tidak selalu dijumpai. Persentase ensefalopati dengue tertinggi terdapat pada golongan umur 1-4 tahun (yaitu pada golongan umur tersering terjadinya kejang demam pertama kali). Oleh karena itu di daerah endemis DBD perlu diperhatikan (1) pada setiap kasus demam disertai kejang dan pasien dengan diagnosis klinis ensefalitis perlu dicari kemungkinan adanya manifestasi 35

perdarahan dan (2) sekiranya pasien jatuh dalam syok kita harus waspada terhadap kemungkinan DSS. 2. Kelainan ginjal Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat syok yang tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik meskipun jarang. Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syok diobati dengan menggantikan volume plasma intravaskular, penting diperhatikan apakah benar syok telah teratasi dengan baik. Diuresis merupakan parameter yang penting dan mudah dikerjakan, untuk mengetahui apakah syok telah teratasi. Diuresis diusahakan minimal > 1 ml/kgBB/jam. Oleh karena bila syok belum teratasi dengan baik, sedangkan volume cairan telah dikurangi dapat terjadi syok berulang. Pada keadaan syok berat sering dijumpai acute tobular necrosis, ditandai penurunan jumlah urin, dan peningkatan kadar ureum dan kreatinin. 3. Udem paru Udem paru adalah komlikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian cairan yang berlebihan (overload). Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima sesuai panduan yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan udem paru oleh karena perembesan plasma masih terjadi. Akan tetapi apabila pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskular dan cairan masih diberikan (kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit) pasien akan mengalami distres pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan ditunjang dengan gambaran udem paru pada foto dada. Gambaran udem paru harus dibedakan dengan perdarahan paru.

TATALAKSANA(1), (2)
A. Demam Dengue (DD) (2) Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam pasien dianjurkan : Tirah baring, selama masih demam Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan Untuk menurunkan suhu menjadi < 39C, dianjurkan pemberian parasetamol

Dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirop, susu, disamping air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari 36

Monitor suhu, jumlah trombosit danhematokrit sampai fase konvalesen.

Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda penyembuhan. Meskipun demikian semua pasien harus diobservasi terhadap komplikasi yang dapat terjadi selama 2 hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan oleh karena kemungkinan kita sulit membedakan antara DD dan DBD pada fase demam. Perbedaan akan tampak jelas saat suhu turun, yaitu pada DD akan terjadi penyembuhan sedangkan pada DBD terdapat tanda awal kegagalan sirkulasi (syok). Komplikasi perdarahan dapat terjadi pada DD tanpa disertai gejala syok. Oleh karena itu, orang tua atau pasien dinasehati bila terasa nyeri perut hebat, buang air besar hitam, atau terdapat perdarahan kulit serta mukosa seperti mimisan, perdarahan gusi, apalagi bila disertai berkeringat dingin, hal tersebut merupakan tanda kegawatan, sehingga harus segera dibawa segera ke rumah sakit. Demam Berdarah Dengue (DBD) (1), (2) Perbedaan patofisiologik utama antara DBD dengan penyakit lain adalah peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma dan gangguan hemostasis. Maka keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada bagian mendeteksi secara dini fase kritis yaitu saat suhu turun yang merupakan fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis disertai pemantauan perembesan plasma dan gangguan hemostasis. Prognosis DBD terletak pada pengenalan awal terjadinya perembesan plasma, yang dapat diketahui dari peningkatan kadar hematokrit. Terdapatnya peningkatan hematokrit 20 % mencerminkan perembesan plasma dan merupakan indikasi untuk pemberian cairan. Larutan garam isotonik atau Ringer Laktat dapat diberikan sebagai cairan pengganti awal sesuai dengan berat ringannya penyakit. Fase Demam Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD, bersifat simtomatik dan suportif, yaitu dengan pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila sulit diberikan per oral (anak tidak mau minum, muntah, nyeri perut) maka cairan intravena perlu diberikan. Antipiretik kadang dibutuhkan, tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi lama demam pada DBD. Parasetamol direkomendasikan untuk mempertahankan suhu di bawah 39 0C dengan dosis 10-15 mg/kgBB/kali atau dapat disederhanakan seperti pada tabel : 37

B.

Tabel Dosis Parasetamol Menurut Kelompok Umur Umur (tahun) Parasetamol (tiap kali pemberian) Dosis (mg) <1 13 46 7 12 60 60 - 125 125 - 250 250 - 500 Tablet (1 tab = 500 mg) 1/8 1/8 1/4 1/4 -1/2 1/2 - 1

Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi, anoreksia, dan muntah. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, air, teh manis, sirop, susu, ASI pada bayi, serta larutan oralit. Sebaiknya hindari cairan yang berwarna coklat atau merah untuk menghindari salah interpretasi bila pasien muntah. Diberikan minum 50 ml/kgBB dalam 4-6 jam pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi anak dapat diberikan cairan rumatan 80-100 ml/kgBB dalam 24 jam berikutnya. Bila terjadi kejang demam, disamping antipiretik dapat diberikan antikonvulsif selama masih demam. Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi. Periode kritis yaitu pada waktu transisi, yaitu pada saat suhu turun pada umumnya pada hari ke 3-5 fase demam. Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu menggambarkan derajat kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan cairan intravena. Hematokrit harus diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak terlalu sensitif, dapat dipertimbangkan dengan menggunakan Hb Sahli dengan estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb. Penggantian Volume Plasma Penggantian volume plasma harus diberikan dengan hati-hati. Kebutuhan cairan dihitung untuk 2 atau 3 jam pertama, sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit). Tetesan dalam 24-48 jam berikutnya harus disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit, dan jumlah volume urin. Secara umum volume yang dibutuhkan adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8 %. 38

Indikasi pemberian cairan intravena : (a) anak dengan syok; (b) anak yang terusmenerus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak mungkin diberikan minum per oral; (c) nilai hematokrit yang cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala. Apabila terdapat hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi jenis cairan yang diberikan harus sama dengan plasma. Volume dan komposisi cairan yang diperlukan sesuai cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu cairan rumatan + defisit 6% (5 sampai 8%), seperti tertera pada tabel di bawah ini : Kebutuhan Cairan pada Dehidrasi Sedang (defisit cairan 5 8 %) Berat Badan Masuk RS (kg) <7 7-11 12-18 > 18 Jumlah Cairan (ml/kgBB/hari) 220 165 132 88

Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan berat badan pasien serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan derajat hemokonsentrasi yang terjadi. Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal untuk anak umur yang sama. Kebutuhan cairan rumatan dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel Kebutuhan Cairan Rumatan Berat Badan (kg) 10 10 20 > 20 Jumlah cairan (ml) 100 per kgBB 1000 x kg (diatas 10 kg) 1500 + 20 x kg (diatas 20 kg)

Jumlah cairan rumatan diperhitungkan untuk 24 jam. Oleh karena kecepatan perembesan plasma tidak konstan (perembesan plasma terjadi pada saat suhu turun), maka volume cairan pengganti harus disesuaikan dengan kecepatan dan kehilangan plasma, yang dapat diketahui dari pemantauan kadar hematokrit. Penggantian volume yang berlebihan terus-menerus setelah perembesan plasma berhenti akan mengakibatkan distres pernafasan sebagai akibat udem paru. Demikian pula pada saat fase konvalesens terjadi reabsorbsi cairan 39

ekstravaskular, akan menyebabkan edema paru dan distress pernafasan apabila cairan intravena tetap diberikan Larutan kristaloid yang direkomendasikan WHO adalah larutan ringer laktat (RL) atau dekstrosa 5 % dalam larutan ringer laktat (D5/RL), ringer asetat (RA) atau dekstrose 5 % dalam larutan ringer asetat (D5/RA), NaCl 0,9% atau dekstrosa 5 % dalam larutan garam faali. Sedangkan larutan koloid yang dianjurkan adalah dekstran-40 dan plasma darah. C. Demam Manajemen Syok (DSS)(1), (2) Pasien harus dirawat dan segera diobati jika dijumpai tanda-tanda syok. Cairan pengganti adalah pengobatan yang utama, yang berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien anak akan cepat mengalami syok dan sembuh kembali segera dalam 48 jam. Penggantian Volume Plasma Segera Pengobatan awal cairan intravena larutan ringer laktat 20 ml/kg BB. Tetesan diberikan secepat mungkin maksimal 30 menit. Apabila setelah 30 menit syok teratasi, cairan disesuaikan 10 ml/kgBB/jam. Apabila syok belum dapat teratasi dan/atau keadaan klinis memburuk setelah 30 menit pemberian cairan awal, tetesan ringer laktat tetap dilanjutkan 1520 ml/kgBB ditambah dengan koloid (dekstran 40 atau plasma 10-20 ml/kgBB/jam, maksimal 30 ml/kgBB). Apabila terjadi perbaikan tetesan ditukar kembali dengan kristaloid dengan tetesa 20 ml/kgBB/jam. Apabilaa setelah pemberian cairan kristaloid dan koloid syok masih menetap sedangkan kadar hematokrit menurun, tetapi masih > 40 %, maka berikan darah volume kecil (10 ml/kgBB/jam), dan apabila terdapat perdarahan masif berikan darah segar 20 ml/kgBB dan lanjutkan cairan kristaloid 10 ml/kgBB/jam.Setelah keaaan klinis membaik, tetesan cairan dikurangi bertahap sesuai dengan keadaan klinis dan kadar hematokrit. Observasi klinis, tekanan darah, nadi, jumlah urin dikerjakan tiap jam (jumlah urin 1 ml/kgBB/jam merupakan indikasi keadaan sirkulasi yang membaik), serta pemeriksaan hematokrit dan trombosit tiap 4-6 jam sampai keadaan umum membaik. Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun dibanding nilai Ht sebelumnya. Pada umumnya cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam syok teratasi untuk mencegah terjadinya reabsorbsi cairan berlebih dari ekstravaskular. 40

Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit Hiponatremia danasidosis metabolik sering menyertai pasien DBD/SSD, maka analisis gas darah dan kadar elektrolit harus selalu diperiksa pada DBD berat. Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya DIC, sehingga tatalaksana pasien menjadi lebih kompleks. Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan dilakukan koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan sebagai akibat DIC, tidak akan tejadi sehingga heparin tidak diperlukan.

Pemberian Oksigen Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua pasien syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan masker, tetapi harus diingat pula pada anak seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker oksigen.

Transfusi Darah Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan pada setiap pasien syok, terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged shock). Pemberian transfusi darah diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata. Kadangkala sulit untuk mengetahui perdarahan interna (internal haemorrhage) apabila disertai hemokonsentrasi. Penurunan hematokrit (misalnya dari 50% menjadi 40%) tanpa perbaikan klinis walaupun telah diberikan cairan yang mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan. Pemberian darah segar dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan karena cukup mengandung plasma, sel darah merah dan faktor pembesar trombosit. Plasma segar dan atau suspensi trombosit berguna untuk pasien dengan DIC dan perdarahan masif. DIC biasanya terjadi pada syok berat dan menyebabkan perdarahan masif sehingga dapat menimbulkan kematian. Pemeriksaan hematologi seperti waktu tromboplastin parsial, waktu protombin, dan fibrinogen degradation products (FDP) harus diperiksa pada pasien syok untuk mendeteksi terjadinya dan berat ringannya DIC. Pemeriksaan hematologis tersebut juga menentukan prognosis.

41

Monitoring (2) Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring adalah : Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15 - 30 menit atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi. Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai keadaan klinis pasien stabil. setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan, jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah mencukupi. Jumlah dan frekuensi diuresis. Pada pengobatan syok, kita harus yakin benar bahwa penggantian volume intravaskuler telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum cukup 1 ml/kg/BB, sedang jumlah cairan sudah melebihi kebutuhan diperkuat dengan tanda overload antara lain edema, pernapasan meningkat, maka selanjutnya furosemid 1 mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan jumlah diuresis, kadar ureum dan kreatinin tetap harus dilakukan. Tetapi, apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya syok belum dapat terkoreksi dengan baik, maka pemberian dopamia perlu dipertimbangkan. D. Tatalaksana Ensefalopati Dengue(2) Pada ensefalopati cenderung terjadi udem otak danalkalosis, maka bila syok telah teratasi cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HC03-, dan jumlah cairan harus segera dikurangi. Larutan laktat ringer dektrosa segera ditukar dengan larutan NaCl (0,9%) : glukosa (5%) = 1:3. Untuk mengurangi udem otak diberikan kortikosteroid (dexametason 0,5 mg/kg BB/kali tiap 8 jam), tetapi bila terdapat perdarahan saluran cerna sebaiknya kortikosteroid tidak diberikan. Bila terdapat disfungsi hati, maka diberikan vitamin K intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula darah diusahakan > 60 mg, mencegah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dengan mengurangi jumlah cairan (bila perlu diberikan diuretik), koreksi asidosis dan elektrolit. Perawatan jalan nafas dengan pemberian oksigen yang adekuat. Untuk mengurangi produksi amoniak dapat diberikan neomisin dan laktulosa.

42

Usahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya antasid, anti muntah) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati. Transfusi darah segar atau komponen dapat diberikan atas indikasi yang tepat. Bila perlu dilakukan tranfusi tukar.

KRITERIA PASIEN PULANG(2)


Pasien dapat dipulangkan apabila memenuhi semua keadaan di bawah ini: Tampak perubaikan secara klinis Bebas panas sedikitnya 24 jam tanpa pemakaian obat antipiretik Nafsu makan membaik Output urin baik Hematokrit stabil Tiga hari setelah syok Tidak ada distres pernafasan karena efusi pleura atau asites Trombosit > 50.000 /uL

PENCEGAHAN(7)
Hal yang terbaik adalah mencegah agar tidak terkena DBD. Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegahnya yaitu:

Mencegah perkembangbiakan nyamuk ada di sekitar kita. Dapat Dilakukan gerakan 3M yaitu; Menutup tempat penyimpanan air, Menguras bak mandi, dan Mengubur barang-barang yang tidak terpakai. Larva nyamuk akan berkembang di genangan air dalam waktu sekitar seminggu. Untuk itu, perlu dicegah kemungkinan benda-benda yang merupakan tempat berkembangnya larva ini seperti pot bunga, kaleng bekas, ban bekas atau barang lainnya yang menampung genangan air, khususnya pada musim penghujan dimana tempat-tempat tersebut dapat menjadi genangan dari air hujan yang turun.

Cegah agar jangan digigit nyamuk; misalnya dengan cara menggunakan lotion atau obat pengusir nyamuk, memakai kelambu pada waktu tidur siang, memasang kasa di 43

lubang ventilasi, dan juga bisa dengan melakukan penyemprotan dengan obat yang dibeli di toko.

Menggunakan bubuk Abate pada selokan dan penampungan air agar tidak menjadi tempat bersarangnya nyamuk.

Jaga kondisi tetap sehat. Kondisi badan yang kuat, membantu tubuh untuk menangkal virus yang masuk sehingga walau terkena gigitan nyamuk, virus tidak akan berkembang.

Pendidikan kesehatan masyarakat. .

44

Bagan Tatalaksana Kasus Tersangka DBD

45

Bagan Tatalaksana Kasus Tersangka DBD Tanpa Peningkatan Hematokrit

46

Bagan Tatalaksana Kasus Tersangka DBD Dengan Peningkatan Hematokrit 20%

47

Bagan Tatalaksana DBD Derajat III dan IV

48

DAFTAR PUSTAKA

1.

Infeksi Virus Dengue. Dalam : Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi Kedua. Jakarta : Badan Penerbit IDAI. 2010. Hal.155181.

2.

Hadinegoro SR, Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: Depkes RI Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. 2006. Hal. 1-43.

3.

Aedes aegypti. Didapat dari http://id.wikipedia.org/wiki/Aedes_aegypti. Diunduh pada tanggal 4 januari 2011.

4.

Kajian Masalah Kesehatan Demam Berdarah Dengue. Kristina, Isminah, Leny Wulandari. Didapat pada http://kumpulan.info/sehat/artikel-kesehatan/48-artikel-

kesehatan/324-cegah-demam-berdarah-dbd.html. Diunduh pada tanggal 5 Januari 2011. 5. Patogenesa dan Perubahan Patofisiologi Infeksi Virus Dengue. Prof.DR.H. Soegeng Soegijanto, dr.SpA(K),DTM&H. Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak FK Unair Surabaya. Ketua Direktorat Penyuluhan TDC Unair Surabaya. Ketua Team Peneliti DBD TDC Unair Surabaya. 6. Limfosit Plasma Biru Nilai Diagnostik Pada Infeksi Dengue. Nany. Magister Ilmu Kedokteran Tropis Universitas Sumatera Utara. 2007. Hal. 49. 7. Waspada Demam Berdarah atau DBD. Didapat dari

http://www.litbang.depkes.go.id/maskes/052004/demamberdarah1.htm. Diunduh pada tanggal 4 januari 2011.

49

Anda mungkin juga menyukai