Anda di halaman 1dari 21

ANAFILAKSIS Pendahuluan Penyakit atopik adalah penyakit yang prosesnya dijalankan atau berhubungan dengan reaksi hipersensitivitas tipe

cepat. Beberapa penyakit yang termasuk penyakit atopik antara lain adalah anafilaksis, konjungtivitis alergik, urtikaria dan angioedema, asma bronkial, alergi dermatitis atopik. Yang akan dibahas berikut ini adalah tentang anafilaksis. Reaksi anafilaktik merupakan keadaan gawat darurat medik yang mengancam jiwa. Gejala klinis timbul segera setelah penderita terpajan oleh allergen atau faktor pencetusnya lainnya. Reaksi anafilaktik jarang dijumpai pada anak, tetapi gejala yang timbulsering kali berat, tidak terduga dan dapat menyebabkan kematian. Anafilaksis adalah suatu respons klinis hipersensitivitas yang berat dan menyerang berbagai macam organ. Reaksi hipersensitivitas ini merupakan suatu reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi hipersensitivitas tipe I), yaitu reaksi antar antigen spesifik dan antibodi spesifik yang terikat pada sel mast. Selain itu dikenal pula istilah reaksi anafilaktoid yang secara klinis sama dengan anafilaksis, akan tetapi tidak disebabkan oleh interaksi antara antigen dan antibodi. Reaksi anaflaktoid disebabkan oleh zat yang bekerja langsung pada sel mast sehingga menyebabkan terlepasnya mediator (lihat Gambar 1).

Gambar 1. Rangsang sel mast yang menyebabkan pelepasan mediator

REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE CEPAT Sensitisasi dan reaksi atopik Hipersensitivitas tipe cepat dari serangkaian mekanisme efektor tubuh yang dijalankan oleh IgE (lihat bab tentang reaksi hipersensitivitas). Secara ringkas reaksi berantai tersebut terdiri dari sensitisasi atopik (gambar 2) dan reaksi atopik (gambar 3)

Gambar 2 ( Sensitisasi atopik) Alergen Imunogen adalah zat yang mampu menimbulkan respons imun spesifik berupa bentukan antibodi atau kekebalan selular, atau keduanya. Antigen adalah zat; mampu bereaksi dengan antibodi atau sel T yang sudah sensitif. Imunogen selalu bersifat antigenik tapi antigen tidak perlu imunogenik, misalnya hapten, kalau bergabung dengan protein. Alergen adalah antigen khusus yang yang menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe cepat dan dapat dibagi dalam 2 kelompok, yaitu alergen protein lengkap dan alergen dengan berat molekul rendah (hapten).

Gambar 3. Reaksi atopik Alergen protein lengkap Alergen yang terdiri dari protein lengkap mampu merangsang pembentukan IgE tanpa bantuan zat lain karena mempunyai determinan antigen yang dikenal sel B dan gugus karier yang merangsang makrofag dan sel T untuk mengembangkan aktivasi sel B (Gambar 4). Yang termasuk kelompok ini misalnya tepung sari, bulu binatang, ATS (serum antitetanus) dan ADS (serum antidifteri).

Alergen dengan berat molekul rendah Kelompok ini tidak dapat menimbulkan respons antibodi berupa IgE karena hanya berfungsi sebagai hapten. Biasanya hapten harus berikatan dengan protein jaringan atau protein serum in vivo membentuk kompleks hapten-karier untuk dapat menimbulkan respons antibodi IgE.Yang termasuk kelompok ini misalnya adalah obatobatan.

Gambar 4 ( sensitisasi alergen) Antibodi Produksi antibodi IgE spesifik memerlukan kerja sama aktif antara makrofag, sel T dan sel B. Alergen yang masuk melalui traktus respiratorius, traktus gastrointensitas atau kulit akan difagosit oleh makrofag untuk diproses dan dipresentasikan kepada sel T. Sel T yang tersensitisasi akan merangsang sel B berkembang menjadi sel plasma

yang mensintesis dan mensekresi IgE spesifik. Sel plasma yang nemproduksi IgE terutama terdapat dalam lamina propria traktus respiratorius dan traktus gastrointestinalis serta jaringan limfoid bersangkutan. Kadar total IgE serum adalah jumlah IgE yang dihasilkan oleh ketiga organ tersebut, yang secara pasif berdifusi ke dalam kompartemen vaskular. IgE mempunyai sifat biologik unik, yaitu dapat terikat pada sel mast untuk jangka waktu panjang (6 minggu). Pengikatan IgE oleh sel mast mempunyai konsekuensi penting. Karena IgE terikat pada sel mast di seluruh tubuh maka sel mast di bawah kulit lengan bawah juga sensitif terhadap alergen yang masuk melalui traktus gastroentensitas atau traktus respiratorius. Disamping itu mungkin sebagian besar sel mast telah sensitif terhadap alergen tertentu, sehingga pajanan terhadap alergen tertentu. Sehingga pajanan terhadap alergen tersebut dapat memacu sel mast secara sistemik yang akan melibatkan sistem dan akan menimbulkan syok anafilaktik. Pengikatan oleh sel mast menyebabkan IgE merupakan suatu fraksi dengan masa paruh yang lebih panjang. Diperkirakan masa paruh IgE adalah 2-3 hari. Walaupun mempunyai masa paruh yang lama, IgE tidak dapat melewati plasenta sehingga hipersensitivitas ibu tidak dapat ditransfer secara pasif kepada fetus. Aktivasi penting lainnya adalah bila IgE berikatan dengan alergen. Hal ini dapat mengaktifkan sistem komplemen melalui jalur alternatif sehingga dihasilkan anafilaktoksin (C3 dan C5a) dan zat kemotaktik lain yang penting pada respons inflamasi. Sel mast Yang termasuk sel mediator adalah sel mast, basofil dan trombosit Sel mast diselimuti oleh IgE yang terikat pada reseptor

spesdfik untuk bagian Fc rantai epsilon. Setiap sel mast dapat mengikat bermacam IgE spesifik sehingga sel mast da-pat bereaksi dengan berbagai maram antigen. Jumlah IgE pada satu sel basofil sangat bervariasi, dan diperkirakan berkisar di antara 5000-500.000 molekul per selbasofil. Walaupun penderita alergi mempunyai molekul IgE yang tinggi pada basofilnya bila dibandingkan dengan orang orang yang tidak alergi, terdapat suatu overlaping yang luas dalam jumlah IgE yang terdapat pada kedua golongan ter sebut. Jumlah IgE yang terikat pada sel merupakan refleksi kadar IgE dalam serum, akan tetapi banyaknya molekul IgE pada satu sel tidak berhubungan dengan derajat sensitivitas. Faktor yang menentukan perbedaan besar sensitivitas seseorang sampai sekarang belum diketahui dengan pasti. Sel mast dan basofil mengandung mediator kimia yang poten untuk reaksi hipersensitivitas tipe cepat. Mediator tersebut adalah histamin, SRS-A, ECF-A, PAF, dan heparin. disimpan dalam lisosom (heparin, histamin) Beberapa mediator yang berada dalam

sitoplasma. sel mast, dan dilepaskan hila terdapat rangsangan yang cukup. Rangsangan alergi dimulai dengan cross-linking dua atau lebih IgE yang terikat pada sel mast atau basofil dengan alergen (lihat Gambar 5). Rangsang ini meneruskan sinyal untuk mengaktifkan sistem nukleotida siklik yang meninggikan rasio cGMP terhadap cAMP dan masuknya ion Ca ++ ke dalam sel. Peristiwa ini akan menyebabkan pelepasan mediator lain. Degranulasi sel mast dapat diatur oleh sejumlah zat. Zat yang menurunkan cAMP atau menaikkan cGMP seperti adrenergik , zat kolinergik atau prostagladin F2a, memperhebat degranulasi sel mast Sebaliknya zat yang meningkatkan cAMP, seperti epinefiin, teofflin dan prostaglandin El dan E2 menghalang1 degranulasi sel.

Gambar 5 ETIOLOGI Berbagai macam etiologi, faktor pencetus dan mekanisme dapat menyebabkan terjadinya reaksi anafilaktik. Antibiotik dapat berupa penisflin dan derivatnya, basitrasin,

neomisin, tetrasildin, streptomisin, sulfonamid, dan lain lain. Ekstrak alergen biasanya berupa rumput-rumputan atau jamur, serum. Obat-obatan lain seperti hidrokortissan, estradiol,tiopental, kurare, Na-hidrokolat, dextran, Iron-dekstran, tiamin.

Beberapa bahan yang sering dipergunakan untuk prosedur diagnosis dan dapat menimbulkan anfilaksis misalnya adalah zat radioopak, bromsulftalin, benzilpenisiloil-polilisin. Demikian pula dengan ular, anestetikum lokal seperti prokain atau lidokain.

Bisa yang dapat menimbulkan anafilaksis misalnya bisa semut, dan sengatan lebah.

Darah lengkap atau produk darah seperti gamaglobulin dan dan kriopresipitat dapat pula menyebabkan anafilaksis. Makanan telah dikenal sebagai penyebab anafilaksis seperti misalnya susu sapi, kerang, dan kacang-kacangan. Faktor fisis, yaitu kegiatan jasmani, alergi dingin, dll. Idiopatik

PATOFISIOLOGI Patofisiologi anafilaksis akan lebih jelas kalau kita lihat pengaruh mediator pada organ target seperti sistem kardiovaskular, traktus respiratorius, traktus gastro-intestinalis, dan kulit. Mediator anafilaksis Rangsangan alergen pada sel mast menyebabkan dilepaskannya mediator kimia yang sangat kuat yang memacu serangkaian peristiwa fisiologik yang menghasilkan gejala anafilaksis. Histamin Aksi histidin dekarboksilase pada histidin akan menghasilkan histamin. Dalam tubuh kita sel yang mengandung histamin dalam jumlah besar adalah sel gaster, trombosit, sel mast, dan basofil. Pada sel mast dan basofil, histamin disimpan dalam lisosom dan dilepaskan

melalui

degranulasi

setelah

perangsangan

yang

cukup.

Pengaruh

histamin biasanya berlangsung selama 10 menit dan inaktivasi histamin in vivo oleh histaminase terjadi sangat cepat. Histamin bereaksi pada banyak organ target melalui reseptor HI dan H2. Reseptor HI terdapat terutama pada sel otot polos bronkiol dan vaskular, sedang reseptor H2 terdapat pada sel parietal gaster. Beberapa tipe antihistamin menyukai reseptor H1 (misalnya klorfeniramin) dan antihistamin lain menyukai reseptor H2 (misalnya simetidin). Reseptor histamin terdapat pada beberapa limfosit (teru tama Ts) dan basofil. Pengaruh fisiologik histamin pada manusia dapat dilihat pada berbagai organ. Histamin dapat menyebabkan kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Pada sistem vaskular menyebabkan dilatasi venula kecil, sedangkan pada pembuluh darah yang lebih besar menyebabkan konstriksi karena kontraksi otot polos. Selanjutnya histamin meninggikan permeabilitas kapiler dan venula pasca kapiler. Perubahan vaskular ini menyebabkan respons whealflare (Triple respons dari Lewis), dan bila terjadi secara sistemik dapat menimbulkan hipotensi, urtikaria, dan angioedema. Pada traktus gastrointestinalis histamin jneninggikan sekresi mukosa lambung, dan bila pelepasan histamin terjadi sistemik maka aktivitas polos usus dapat meningkat menyebabkan diare dan hipermotilitas. SRS-A Berbeda dengan histamin, heparin dan ECF-A, SRS-A tidak ditemukan sebelumnya dalam granula sel mast. Rangsangan degranulasi sel mast memulai sintesis SRS-A, yang kemudian muncul dalam lisosom sel mast dan selanjutnya dalam cairan paru sehingga terjadi kontraksi otot bronkioli yang hebat dan lama. Pengaruh SRS-A tidak

10

dijalankan melalui reseptor histamin dan tidak dihambat oleh histamin. Epinefiin dapat menghalangi dan mengembalikan kontraksi yang disebabkan oleh SRS-A ECF-A ECF-A telah terbentuk sebelumnya dalam granula sel mast dan dilepaskan segera degranulasi. ECF-A menarik eosinofil ke daerah tempat reaksi anafilaksis. Pada daerah tersebut eosinofil dapat memecah kompleks antigen-antibodi yang ada dan menghalangi aksi SRS-A dan histamin. PAF PAF menyebabkan bronkokonstriksi dan meninggikan permeabilitas pembululi h bradikinin. Bradikinin Pradikinin tidak ditemukan dalam sel mast manusia, aktivitasnya dapat menyebabkan kontraksi otot bronkus dan vaskular secara lambat, lama dan hebat edema Bradikinin jaringan, serta juga menyebabkan serabut peningkatan saraf dan permeabilitas kapiler dan venula pasca kapiler yang menyebabkan timbulnya merangsang menyebabkan rasa nyeri. Selain itu bradikinin juga merangsang darah. PAF juga mengaktifkan faktor XII

dan faktor XII yang telah diaktifkan akan menginduksi pembuatan

peningkatan produksi mukus dalam traktus respiratorius dan lambung. Bradikinin menjalankan pengaruhnya melalui reseptor pada sel yang berbeda dengan reseptor histamin atau SRS-A

11

Serotinin Serotinin tidak ditemukan dalam sel mast manusia tetapi dalam trombosit dan dilepaskan waktu agregasi trombosit atau melalui mekanisme lain. Serotonin juga menyebabkan kontraksi otot bronkus tapi pengaruhnya hanya sebentar serotinin tidak begitu penting pada anafilaksis. Prostaglandin Prostaglandin menyebabkan permeabilitas Kalikrein Kalikrein basofil menghasilkan kinin yang mempengaruhi permeabilitas pembuluh darah dan tekanan darah. KLASIFIKASI Secara imunopatologik reaksi anafilaksis dan reaksi anafilaktoid dibagi menjadi 1. Reaksi anafilaksis yang diperankan oleh IgE atau IgG, 2.Reaksi anafilaktoid karena lepasnya mediator secara langsung misalnya oleh obat, makanan, agregasi kompleks imun seperti reaksi terhadap globulin , IgG antilgA, 3. Reaksi transfusi karena pembentukan antibodi terhadap eritrosit atau leukosit, 4. Reaksi yang diinduksi prostaglandin oleh pengaruh aspirin atau obat lain. memainkan otot peranan polos aktif dan pada anafilaksis melebihi pengaruh nukleotida siklik sel mast. Prostaglandin A dan F kontraksi kapiler, juga El meningkatkan da E2 secara sedangkan prostaglandin

langsung menyebabkan dilatasi otot polos bronkus.

12

GAMRARAN KLINIS Secara klinis gejala anafilaksis dapat berupa reaksi lokal dan reaksi sistemik Reaksi lokal terdiri dan urtikaria dan angioedema pada daerah yang kontak de ngan antigen. Reaksi lokal dapat berat tetapi jarang sekali fatal. Reaksi sistemik terjadi pada oragan target seperti traktus respiratorius, system kardiovaskular, traktus gastrointestinalis, dan kulit. Reaksi ini biasanya terjadi dalam waktu 30 menit sesudah kontak dengan penyebab. Tanda dan gejala utama anafilaksis dapat dililiat pada Tabel ini. GAMBARAN KLINIS ANAFILAKSIS Sistem Umum(prodormal) Mulut Gejala dan tanda Malaise, lemah, rasa sakit Gatal pada bibir, lidah, dan palatal. Edema bibir dan lidah, metallic taste di mulut. Gatal, flushing, urticaria, angioedema, morbiliform rush, Edema periorbita, hidung tersumbat dan gatal, angioedema, pucat, sianosis Bersin, pilek, dispnu, edema laring, serak, edema lidah dan faring, stridor Batuk,sesak, dispnu, emfisema akut, asma, bronkospasme, bronkorea Pingsan, sakit dada, disaritmia, hipotensi. Peningkatan peristaltik, muntah, disfagia, mual, kejang perut, diare Mediator

Kulit Mukosa Jalan nafas aas Jalan nafas bawah kardiovaskular Gastrointestinal

Histamin Histamin Histamin

Susunan saraf Gelisah, kejang pusat REAKSI SISTEMIK Reaksi sistemik ringan

SRS-A, hisamin lain-lain Tidak diketahui

13

Gejala awal reaksi sistemik ringan adalah rasa gatal dan panas di bagian perifer tubuh, biasanya disertai perasaan penuh dalam mulut dan tenggorokan. Gejala permulaan ini dapat disertai dengan hidung tersumbat dan pembengkakan peri orbita. Dapat juga disertai rasa gatal pada. membran mukosa, keluarnya air mata dan bersin. Gejala ini biasanya timbul dalam 2 jam sesudah kontak antigen. Lamanya gejala bergantung pada pengobatan, umumnya berjalan 1-2 hari atau lebih pada kasus kronik. Reaksi sistemik sedang Reaksi dan sistemik sedang mencakup semua gejala dan tanda yang Dapat juga ditemukan pada reaksi sistemik ringan ditambah dengan bronkospasme atau edema jalan nafas, dispneu, batuk dan mengi. terjadi angioedema, urtikaria umum, mual, dan muntah. Biasanya penderita mengeluh gatal menyeluruh, me sa panas, dan gelisah. Masa awitan dan lamanya reaksi sistemik sedang, hampir sama dengan reaksi sistemik ringan. Reaksi sistemik berat Masa awitan biasanya pendek, timbul mendadak dengan tanda dan gejala seperti reaksi sistemik ringan dan reaksi sistemik sedang, kemudian dengan cepat dalam beberapa menit (terkadang tanpa gejala permulaan) timbul bronkospasme hebat edema laring disertai serak, stridor, dispnu berat, sianosis, dan kadangkala terjadi henti napas. Edema faring, gastrointestinal dan hipermotilitas menyebabkan disfagia, kejang perut hebat. diare dan muntah. Kejang umum dapat terjadi disebabkan oleh rangsangan sistem saraf pusat atau karena hipoksia. Kolaps kardiovaskular menyebabkan hipotensi, aritmia jantung, syok dan koma.

14

Rangkaian peristiwa yang menyebabkan gagal napas dan kolaps kadiovaskular sering sangat cepat dan mungkin merupakan gejala objektif pertama pada anafilaksis. Beratnya reaksi berhubungan langsung dengan cepatnya masa awitan. Reaksi fatal umunmya terjadi pada orang dewasa. Pada anak penyebab kematian paling sering adalah edema laring. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan penunjang dapat menolong untuk membedakan kasus yang biasa atau menilai penatalaksanaan yang sedang dikerjakan. Pemeriksaan darah lengkap dapat menemukan hematokrit yang meningkat akibat hemokonsentrasi. Bila terjadi kerusakan miokard maka pada pemeriksaan kimia darah dapat ditemukan peninggian enzim SGOT, CPK (fosfokinase kreatin) dan LDH (dehidrogenase laktat). Foto toraks mungkin memperlihatkan emfisema (hiperinflasi) dengan tanpa atelektasis. Pada beberapa kasus dapat terlihat edema paru. Pada pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) bila tidak terjadi infark miokard maka perubahan EKG biasanya bersifat sementara berupa depresi gelombang S-T, bundle branch block, fibrilasi atrium dan berbagai aritmia ventrikular. DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING Diagnosis anafilaksis ditegakkan secara klinis. Pada beberapa keadaan dapat timbul keraguan terhadap penyebab lain sehingga perlu dipikirkan diagnosis ban ding. Pada reaksi sistemik ringan dan sedang, diagnosis bandingnya adalah urtikaria dan angioedema. Bila ditemukan reaksi sistemik berat harus dipertimbangkan semua penyebab distres pemapasan, kolaps kardiovaskular dan

15

hilangnya kesadaran, antara lain adalah reaksi vasovagal dan serangan sinkop, infark miokard, reaksi atau reaksi histeris. Reaksi vasovagal dan serangan sinkop sering terjadi sesudah penyuntikan. Pada keadaan ini nadi teraba lambat dan biasanya tidak terjadi sianosis. tekanan darah menurun biasanya masih dapat diukur. Pucat dan diaforesis merupakan hal yang sering ditemukan. Infark miokard disertai gejala yang menonjol seperti sakit dada dengan atau. tanpa penjalaran. Kesukaran bernapas terjadi lebih lama dan tanpa atau sumbatan bronkiol. Tidak tcrdapat edema atau sumbatan jalan nafas. Tidak terjadi sumbatan jalan napas ataupun distres pernapasan. Tekanan biasanya sedikit menurun. Reaksi histeris tidak disertai bukti distres pernafasan, hipotensi atau sianosis. Parestesia lebih sering dari pada pruritus. dapat terjadi tapi kesadaran cepat kembali. PENATALAKSANAAN Yang terpenting pada penatalaksanaan anafilaksis adalah tindakan segera untuk membantu fungsi vital, melawan pengaruh mediator, dan mencegah lepasnya mediator selanjutnya. Tindakan tersebut mencakup evaluasi segera, pemberian pemasangan turniket, pemberian oksigen, cairan intravena, difenhi-aminofilin, vasopresor, intubasi dan trakeostomi, kortikosteroid, serla obatan suportif. Evaluasi segera Yang penting dievaluasi adalah keadaan jalan napas dan jantung. Kalau pasien li henti jantung-paru harus dilakukan resusitasi kardiopulmonar. Adrenalin Larutan adrenalin (epinefrin) 1:1000 diberikan dengan 0,01

16

ml/kgBB (dosis maksimal pada anak 0,3ml) secara subkutan atau intramuskular di lengan atas. Dosis adrenalin pertama dapat diulangi dengan jarak waktu 5-20 menit bila diperlukan. Kalau terdapat syok atau kolaps vaskular, larutkan adrenalin (maksimun 0,25 ml) dalam 10 ml NaCl fisiologik lalu berikan secara intravena dengan kecepatan lambat (1-2 menit). Oksigen Oksigen harus diberikan kepada penderita penderita yang mengalami sianosis, dispneu yang jelas atau penderita dengan mengi. Oksigen dengan aliran sedang tinggi (5-10 liter/menit) diberikan melalui masker atau kateter hidung. Antihistamin Antihistamin diberikan bilamana kegawatan salurn napas dan kardiovaskuler sudah teratasi. Difenhidramin dapat diberikan secara intravena (lambat-lambat selama 5-10 menit), intramuskular atau oral (1-2 mg/kgBB) sampai maksimum 50 mg sebagai dosis tunggal, tergantung dari beratnya reaksi. Difenhidramin diteruskan secara oral setiap 6 jam selama 24 jam untuk mencegah reaksi berulang, terutama pada urtikaria dan angioedema. Turniket Kalau anafilaksis terjadi karena suntikan pada ekstremitas pasanglah turniket dari daerah suntikan tersebut. Setiap 10 menit turniket ini diselang l selama 1-2 menit. Cairan intravena Untuk mengatasi syok pada anak dapat diberikan cairan NaCl

17

fisiologis dan glukosa 5% dengan perbandingan 1 : 4 sebanyak 30 ml/kgBB selama 1-2 jam pertama atau sampai syok teratasi. Kalau syok sudah teratasi, cairan tersebut diteruskan dengan dosis sesuai dengan berat badan dan umur anak. Aminofilin Kalau bronkospasme menetap, diberikan aminofilin intravena 4-6 mg/kgBB yangi dilarutkan dalam cairan intravena dengan jumlah paling sedikit sama. Campuran ini diberikan intravena secara lambat (15-20 menit). Tergantung dari tingkat bronkospasme, aminofilin dapat diteruskan melalui infus dengan kecepatan 0,2-1,2 mg/kgBB atau 4-5 mg/kg BB intravena selama 20-30 menit setiap 6 jam. Kalau memungkmkan, kadar aminofilin serum harus dimonitor. Vasopresor Kalau cairan intravena saja tidak dapat mengontrol tekanan darah, berikan metaraminol bitartrat (Aramine) 0,01 mg/kgBB (maksimun 5 mg) sebagai suntikan tunggal secara lambat dengan memonitor aritmia jantung. Dosis ini dapat diulangi, kalau diperlukan, untuk menjaga tekanan darah. Dapat juga diberikan vasopresor lain seperti levaterenol bitartrat (Levophed) atau dopamin (Intropine). Intubasi dan trakeostomi Intubasi atau trakeostomi perlu dikerjakan kalau terdapat rumbatan jalan napas bagian alas oleh edema. Prosedur ini tidak boleh ditunda kalau sudah terindikasi. Kortikosteroid Kortikosteroid tidak menolong pada penatalaksanaan akut suatu

18

reaksi anafifilaktik. 1. Dexamethason, dosis initial 0.5-1mg/kgBB IM atau IV. Selanjutnya 0,5-1 mg/kgBB/ hari dibagi dalam 3 dosis, dapat diberikan peroral ataupun parenteral selama 48 jam. 2. Methylprednisolone 1-2 mg/kgBB tiap 6 jam selama 48 jam. Pengobatan suportif Sesudah keadaan stabil, penderita harus tetap mendapat pengobatan suportif dengan obat dan cairan selama diperlukan untuk membantu memperbaiki fungsi vital hari. PENCEGAHAN Pencegahan Anamnesis teliti Anamnesis mengenai kemungkinan terdapatnya reaksi terhadap antigen yang dicurigai, yang mungkin terjadi diwaktu yang lalu, harus dikerjakan suntikan. Penggunaan antibiotik antibiotik atau obat lainnya harus dengan indikasi khusus, dan l per oral lebih baik, kalau hal ini memungkinkan. Uji kulit dan konjungtiva Uji kulit dan konjungtiva terhadap beberapa antitoksdan yang berasal dari serum, dianjurkan untuk dikerjakan sebelum diberikan. Di negara maju, setiap dapat diperoleh informasi dari badan tertentu yang mempunyai catatan mengenai penderita yang telah pernah mengalami reaksi anafilaksis. DAFTAR PUSTAKA sebelum kita memberikan setiap obat, terutama obat merupakan aspek yang terpenting pada penatalaksanaan anafilaksis. tergantung dari beratnya reaksi, pengobatan suportif ini dapat diberikan beberapa jam sampai beberapa

19

1.

Rachman, Oscar dan Myrna Soepriadi. Anafilaksis. Dalam Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak.Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 1996. hal 139 153.

2.

Suyoko, E M Dadi. Reaksi Anafikaltik: patofiologi, diagnosis dan penatalaksanaan. Dalam Hot Topics in Pediatrics II. PKB IKA XLV. Balai Penerbit FK UI. Jakarta.2002. hal 274-280.

3.

Sampson,A Hugh and Donald Y M Leung. Anaphylaxisin Nelson Textbook of Pediatrics 17 th edition.Saunders. USA. 2003. p 781782.

4.

Austen,K

Frank.

Allergies,Anaphylaxis,

and

Mastocytosisin

Harrisons Principles of Internal Medicine Vol II. 16 t h edition, McGraw-Hill Ccompanies. USA. 2005. p 1949-1951. 5. Sampson,A Hugh, Anaphylaxsis and Emergency Treatment. Available on http://www.pediatrics.org .

ANAFILAKTIK
20

DISUSUN OLEH

ROSMAULI HUTABARAT 98-105

PEMBIMBING

Dr. S M L TORUAN, SpA

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA JAKARTA 2005

21

Anda mungkin juga menyukai