Anda di halaman 1dari 49

PENDAHULUAN

Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh dunia, disamping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara berkembang. Kelainan ini mempunyai dampak besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi. Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri tetapi merupakan gejala berbagai macam penyakit dasar. Oleh karena itu dalam diagnosis anemia tidaklah cukup hanya sampai kepada label anemia tetapi harus dapat ditetapkan penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut. Pendekatan terhadap pasien anemia memerlukan pemahaman tentang patogenesis dan patofisiologi anemia, serta ketrampilan dalam memilih, menganalisis serta merangkum hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.

DEFINISI Anemia adalah penurunan/berkurangnya zat yang membawa oksigen di dalam darah; berupa berkurangnya jumlah eritrosit, kadar hemoglobin atau nilai hematokrit sampai 2 SD di bawah rata-rata untuk populasi tertentu, usia tertentu dan jenis kelamin tertentu. Anemia adalah salah satu keadaan dimana kadar Hb dan atau hitung eritrosit lebih rendah dari harga normal. Dikatakan sebagai anemia bila Hb < 14 g/dl dan Ht < 41% dari pria atau Hb <12 g/dl dan Ht <37% pada wanita. Sel darah merah mengandung hemoglobin, yang memungkinkan mereka mengangkut oksigen dari paru-paru dan mengantarkannya ke seluruh bagian tubuh.

Kriteria anemia menurut WHO Kelompok Laki-laki dewasa Wanita dewasa tidak hamil Wanita hamil Kriteria anemia (Hb) <13 g/dl <12 g/dl <11 g/dl

PATOFISIOLOGI Eritrosit dibentuk dalam sumsum tulang lalu dilepaskan dalam peredaran darah dan mulai berfungsi. Setelah 80 100 hari dalam sirkulasi mulai terjadi proses penuaan dan penghancuran. Proses ini terjadi karena berkurang/rusaknya enzim-enzim dalam eritrosit tersebut. Usia rata-rata eritrosit adalah 120 hari, setelah itu eritrosit akan dirombak dalam jaringan RES terutama limpa. Tiap cc eritrosit yang dihancurkan akan dilepaskan 1 mg Fe dan 10 mg bilirubin. Energi eritrosit didapat dari proses glikolisis secara anaerob. Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 1

Pada orang normal produksi dan penghancuran eritrosit ada dalam keseimbangan. Produksi akan meningkat jika supply oksigen ke jaringan menurun, misalnya pada tempat -tempat tinggi dari permukaan laut, pada penyakit jantung/paru-paru di mana transfer oksigen dalam paru-paru terganggu. Produksi akan menurun jika transport oksigen ke jaringan meningkat. Keseimbangan tadi akan terganggu jika: 1. Pembentukan darah dalam sumsum tulang berkurang 2. Penghancuran eritrosit bertambah 3. Terjadi kehilangan darah yang sebenarnya Ketiga macam hal ini dapat menimbulkan anemia jadi kita harus menyelidiki dalam hal mana keseimbangan tadi terganggu. Jika destruksi eritrosit berlebihan, ekskresi urobilinogen urin dan feses meningkat, bilirubin dalam serum meningkat, jumlah retikulosit meningkat, terjadi lekositosis dan tanda-tanda hiperplasi sumsum tulang. Jika pembentukan eritrosit menurun, ekskresi urobilinogen turun, jumlah retikulosit rendah dan tanda-tanda lain.

JENIS ANEMIA Klasifikasi Anemia menurut Etiopatogenesis A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang 1. Kekurangan bahan esensial pembentukan eritrosit a. Anemia defisiensi besi b. Anemia defisiensi asam folat c. Anemia defisiensi vitamin B12 2. Gangguan penggunaan besi a. Anemia akibat penyakit kronik b. Anemia sideroblastik 3. Kerusakan sumsum tulang a. Anemia aplastik b. Anemia mieloplastik c. Anemia pada keganasan hematologi d. Anemia diseritropoetik e. Anemia pada sindrom mielodisplastik B. Anemia akibat hemoragi 1. Anemia pasca perdarahan akut 2. Anemia akibat perdarahan kronik C. Anemia hemolitik 1. Anemia hemolitik intrakorpuskular Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 2

a. Gangguan membrane eritrosit b. Gangguan enzim eritrosit (anemia akut akibat G6PD) c. Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati) Thallasemia Hemoglobinopati struktural: HbS, HbE, dll

2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskular a. Anemia hemolitik autoimun b. Anemia hemolitik mikroangiopati c. Lain-lain D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang kompleks.

Klasifikasi Anemia Berdasarkan Morfologi dan Etiologi I. Anemia hipokrom mikrositer a. Anemia defisiensi besi b. Thalassemia major c. Anemia akibat penyakit kronik d. Anemia sideroblastik II. Anemia normokrom normositer a. Anemia pasca perdarahan akut b. Anemia aplastik c. Anemia hemolitik didapat d. Anemia akibat penyakit kronik e. Anemia pada gangguan ginjal kronik f. Anemia pada sindrom mielodisplastik

g. Anemia pada keganasan hematologik III. Anemia makrositer a. Bentuk megaloblastik 1. Anemia defisiensi asam folat 2. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa b. Bentuk non megaloblastik 1. Anemia pada penyakit hati kronik 2. Anemia pada hipotiroidisme 3. Anemia pada sindrom mielodisplastik

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 3

GEJALA ANEMIA Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala, yaitu: 1. Gejala umum anemia disebut juga sindrom anemia, timbul karena iskemia organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu (Hb<7 g/dl). Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinitus), mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak napas dan dispepsia. Pada pemeriksaan pasien tampak pucat, yang mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan di bawah kuku. Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit di luar anemia dan tidak sensitif karena timbul setelah penurunan hemoglobin yang berat (Hb<7g/dl). 2. Gejala khas masing-masing anemia. Gejala ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia. Sebagai contoh: Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan kuku sendok (koilonychia). Anemia megaloblastik: glositis, gangguan neurologik pada defisiensi vitamin B12. Anemia hemolitik: ikterus, splenomegali dan hepatomegali. Anemia aplastik: perdarahan dan tanda-tanda infeksi.

3. Gejala penyakit dasar. Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia sangat bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala akibat infeksi cacing tambang: sakit perut, pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak tangan. Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting pada kasus anemia untuk mengarahkan diagnosis anemia. Pada umumnya diagnosis anemia memerlukan pemeriksaan laboratorium.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 4

ANEMIA HIPOKROM MIKROSITIK


ANEMIA DEFISIENSI BESI PENDAHULUAN Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang. ADB ditandai oleh anemia hipokromik mikrositer dan hasil laboratorium yang menunjukkan cadangan besi kosong. Berbeda dengan ADB, pada anemia akibat penyakit kronik penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang karena pelepasan besi dari sistem retikuloendotelial berkurang, sedangkan cadangan besi masih normal. Pada anemia sideroblastik penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang karena gangguan mitokondria yang menyebabkan inkorporasi besi kedalam heme terganggu. Oleh karena itu ketiga jenis anemia ini digolongkan sebagai anemia dengan gangguan metabolisme besi. Defisiensi besi merupakan penyebab utama anemia, khususnya pada wanita karena kehilangan darah sewaktu menstruasi ataupun peningkatan kebutuhan zat besi pada waktu kehamilan. Kebutuhan Fe dalam makanan sekitar 20 mg sehari, dari jumlah ini hanya kira-kira 2 mg/kg yang diserap. Jumlah total Fe dalam tubuh berkisar 2-4 g, kira-kira 50 mg/kgBB pada pria dan 35 mg/kg BB pada wanita. Umumnya anemia defisiensi besi dapat disertai kekurangan asam folat juga yang disebut sebagai anemia dimorfik.

Kompartemen Besi dalam Tubuh Besi terdapat dalam berbagai jaringan dalam tubuh berupa; senyawa besi fungsional, besi cadangan, dan besi transport. Besi dalam tubuh tidak pernah terdapat dalam bentuk logam bebas (free iron), tetapi selalu berkaitan dengan protein tertentu. Besi bebas akan merusak jaringan, bersifat seperti radikal bebas.

Absorbsi Besi Tubuh mendapatkan besi dari makanan. Untuk memasukkan besi dari usus kedalam tubuh diperlukan proses absorbsi. Absorbsi besi paling banyak terjadi pada bagian proksimal duodenum disebabkan oleh pH dari asam lambung dan kepadatan protein tertentu yang diperlukan dalam absorbsi besi pada epitel usus. Proses absorbsi besi dibagi menjadi 3 fase: 1. Fase luminal Besi dalam makanan terdapat dalam 2 bentuk yaitu; besi heme yang terdapat dalam daging dan ikan, tingkat absorpsinya tinggi, tidak dihambat oleh bahan penghambat sehingga mempunyai bioavailabilitas tinggi. Besi non-heme berasal dari tumbuh-tumbuhan, tingkat absorpsinya rendah, dipengaruhi oleh bahan pemacu atau penghambat sehingga bioavailabilitasnya rendah. Yang Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 5

tergolong sebagai bahan pemacu absorbsi besi adalah meat factors dan vitamin C, dan yang tergolong sebagai penghambat ialah tanat, phytat dan serat. Dalam lambung karena pengaruh asam lambung maka besi dilepaskan dari ikatannya dengan senyawa lain. Kemudian terjadi reduksi dari besi bentuk feri ke fero yang siap untuk diserap. 2. Fase Mukosal Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa duodenum dan jejunum proksimal. Besi dipertahankan dalam keadaan larut oleh asam lambung. Sel absorbtif terletak pada puncak pada vili usus (apical cell). Pada brush border dari sel absortif, besi feri dikonversi menjadi besi fero oleh enzim ferireduktase, mungkin dimediasi oleh protein duodenal cytochrome b-like (DCYTB). Transpor melalui membran difasilitasi oleh Divalent Metal Transporter (DMT disebut juga sebagai Nramp 2). Setelah besi masuk dalam sitoplasma, sebagian disimpan dalam bentuk feritin, sebagian diloloskan melalui Basolateral transporter (ferroprotein disebut juga sebagai IREG 1) kedalam kapiler usus. Pada proses ini terjadi reduksi dari feri ke fero oleh enzim ferooksidase (antara lain oleh hephaestin, yang identik dengan seruloplasmin pada metabolisme tembaga), kemudian besi (feri) diikat oleh apotransferin dalam kapiler usus. Besi heme diabsorbsi melalui proses yang berbeda yang mekanismenya belum diketahui dengan jelas. Besi heme dioksidasi menjadi hemin, yang kemudian diabsorbsi secara intak (utuh) diperkirakan melalui suatu reseptor. Absorpsi besi heme jauh lebih efisien dibandingkan dengan besi non-heme. Besar kecilnya besi yang ditahan dalam eritrosit atau diloloskan oleh basolateral diatur oleh set point yang sudah diset saat eritrosit berada pada dasar kripta Lieberkuhn, kemudian pada waktu pematangan bermigrasi ke arah puncak vili sehingga siap sebagai sel absorptif. Dikenal adanya mucosal block, suatu fenomena di mana setelah beberapa hari dari suatu bolus besi dalam diet, maka eritrosit resisten terhadap absorbsi besi berikutnya. Hambatan ini mungkin timbul karena akumulasi besi dalam eritrosit sehingga menyebabkan set point diatur seolaholah kebutuhan besi sudah berlebihan. 3. Fase Korporeal. Besi selalu diserap oleh enterosit, melewati bagian basal epitel usus, melewati kapiler usus, kemudian dalam darah diikat oleh apotransferin menjadi transferin. Transferin akan melepaskan besi pada sel RES melalui proses pinositosis. Suatu molekul transferin dapat mengikat maksimal dua molekul besi. Besi yang terikat pada transferin (Fe2-Tf) akan diikat oleh reseptor transferin (Transferin Reseptor = Tfr) yang terdapat pada permukaan sel, terutama sel normoblas. Kompleks Fe2-Tf-Tfr akan terlokalisir pada suatu cekungan yang dilapisi oleh Klatrin, cekungan ini mengalami invaginasi sehingga membentuk endosom. Suatu pompa proton menurunkan pH dalam endosom, menyebabkan perubahan konformasional dalam protein sehingga melepaskan ikatan besi dengan transferin. Besi dalam endosom akan dikeluarkan ke sitoplasma dengan bantuan DMT1, sedangkan ikatan Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 6

Opotransferin dan reseptor transferin mengalami siklus kembali ke permukaan sel dan dapat dipergunakan kembali.

Mekanisme Regulasi Absorbsi Besi 1. Regulator Dietetik Absorbsi dipengaruhi oleh jenis diet. Diet dengan bioavailibilitas tinggi yaitu besi heme, besi dari sumber hewani, serta adanya faktor enhancer akan meningkatkan absorbsi besi. Sedangkan besi nonheme yang berasal dari sumber nabati dan banyak mengandung inhibitor akan diabsorbsi rendah. Pada dietary regulator ini juga dikenal adanya mucosal block. 2. Regulator simpanan Penyerapan besi diatur melalui besarnya cadangan besi dalam tubuh. Penyerapan besi rendah jika cadangan besi tinggi, dan sebaliknya. 3. Regulator eritropietik Besar absorbsi ini berhubungan dengan kecepatan eritropoesis. Eritropoetik regulator mempunyai kemampuan regulasi absorbsi besi lebih tinggi dibandingkan dengan stores regulator. Mekanisme Eritropoetik ini belum diketahui dengan pasti.

Siklus Besi dalam tubuh. Pertukaran besi dalam tubuh merupakan lingkaran tertutup yang diatur oleh besarnya besi yang diserap usus, sedangkan kehilangan besi fisiologis bersifat tetap. Besi yang diserap usus berkisar antara1-2mg/ hari, ekskresi besi terjadi dalam jumlah yang sama melalui eksfoliasi epitel. Besi dari usus dalam bentuk transferin akan bergabung dari besi yang dimobilisasi dari makrofag dalam sumsum tulang sebesar 22 mg untuk dapat memenuhi kebutuhan eritropoesis sebanyak 24 mg per hari. Eritrosit yang terbentuk secara efektif akan beredar melalui sirkulasi memerlukan besi 17 mg, sedangkan besi 7 mg akan dikembalikan ke makrofag karena terjadinya eritropoesis inefektif. Besi yang terdapat pada eritrosit yang beredar, setelah mengalami proses penuaan juga akan dikembalikan pada makrofag sumsum tulang sebesar 17 mg.

Gambar 1. Absorpsi dan transportasi Fe dalam tubuh Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 7

PREVALENSI Merupakan jenis anemia yang paling sering dijumpai. ADB merupakan anemia yang sangat sering dijumpai di negara berkembang. Belum ada data mengenai prevalensi ADB di indonesia. Martoatmojo, dkk memperkirakan ADB pada laki-laki 16-50% dan 25-84% pada wanita tidak hamil. Di amerika serikat, berdasarkan survei gizi (NHANES III) tahun 1988-1994 defisiensi dijumpai kurang dari 1 % pada laki-laki dewasa berumur kurang dari 50 th, 2-4 % pada laki-laki lebih dari 50 tahun, 911 % pada wanita masa reproduksi, dan 5-7 % pada postmenopause.

ETIOLOGI Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun dapat berasal: saluran cerna (tukak peptik, pemakaian salisilat, kanker, hemoroid dan infeksi parasit), saluran genitalia perempuan (menorrhagia, atau metroragia), saluran kemih: hematuria, saluran napas: hemoptoe. Faktor nutrisi : akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan atau kualitas besi. Kebutuhan besi meningkat: pada prematuritas, pertumbuhan anak, atau kehamilan Gangguan absorbsi besi: gastrektomi, kolitis kronik.

Gambar 2. Etiologi Anemia Defisiensi Besi

KLASIFIKASI DAN DERAJAT DEFISIENSI BESI A. Deplesi besi (iron depleted state): cadangan besi menurun tetapi penyediaan besi untuk eritropoesis belum terganggu B. Eritropoesis defisiensi besi (iron deficient erythropoesis): cadangan besi kosong, penyediaan besi untuk eritropoesis terganggu, tetapi belum timbul anemia secara laboratorik. Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 8

C. Anemia Defisiensi Besi: cadangan besi kosong disertai anemia defisiensi besi

PATOGENESIS Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi menurun. Jika cadangan besi menurun keadaan ini disebut dengan iron depleted state atau negative iron balance. Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif. Apabila kekurangan dalam besi berlanjut terus maka cadangan besi akan kososng sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi, keadaan ini disebut sebagai iron deficient erythropoesis. Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai adalah peningkatan kadar free protophorphyrin atau zinc protoohorphyrin dalam eritrosit. Saturasi transferin menurun dan total iron binding capacity (TIBC) meningkat. Akhir-akhir parameter yang sangat spesifik ialah peningkatan reseptor transferin dalam serum. Apabila jumlah besi menurun terus maka eritropoesis akan semakin terganggusehingga kadar hemoglobin mulai menurun, akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositer, disebut sebagai iron deficiency anemia. Pada saat ini juga terjadi kekurangan besi pada epitel serta beberapa enzim yang dapat menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut dan faring, dan sebagainya.

GEJALA ANEMIA DEFISIENSI BESI Gejala umum Disebut juga sebagai sindrom anemia, dijumpai pada anemia defisiensi besi bila kadar Hb dibawah 78 gr/dl. Gejala ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga mendenging. Pada anemia defisiensi besi karena penurunan kadar Hb yang terjadi secara perlahan-lahan seringkali sindrom anemia tidak terlalu mencolok dibandingkan dengan anemia lain yang penurunan kadar Hb-nya lebih cepat. Oleh karena mekanisme kompensasi tubuh dapat berjalan dengan baik. Anemia bersifat simptomatik jika Hb telah turun dibawah 7 gr/dl. Pada pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat, terutama konjungtiva dan jaringan dibawah kuku. Gejala khas defisiensi Besi 1. Koilonychia : kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok. 2. Atrofi papil lidah : permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah menghilang. 3. Stomatitis angularis (Cheilosis) : adanya keradangan pada sudut mulut sehingga tampak adanya bercak berwarna pucat keputihan. 4. Disfagia : nyeri menelan karena kerusakan epitel faring 5. Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia 6. Pica : keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 9

Sindrom plummer vinsom atau disebut juga sindrom peterson kelly adalah kumpulan gejala yang terdiri atas anemia hipokrom mikrositer, atrofi papil lidah dan disfagia.

Gambar 3. Koilonychia (kuku sendok) Gejala Penyakit Dasar Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala penyakit yang menjadi penyebab tersebut. Misalnya pada anemia akibat infeksi cacing tambang dijumpai dispepsia, parotis membengkak dan kulit telapak tangan berwarna kuning seperti jerami. Pada anemia karena perdarahan kronik akibat kanker kolon dijumpai gejala gangguan kebiasaan buang air besar atau gejala lain tergantung dari lokasi kanker tersebut. Anemia defisiensi besi biasanya terjadi secara bertahap, melalui beberapa stadium. Gejalanya baru timbul pada stadium lanjut. A. Stadium 1 Kehilangan zat besi melebihi asupannya, sehingga menghabiskan cadangan dalam tubuh, terutama di sumsum tulang. Kadar feritin (protein yang menampung zat besi) dalam darah berkurang secara progresif. B. Stadium 2 Cadangan besi yang telah berkurang tidak dapat memenuhi kebutuhan pembentukan sel darah merah, sehingga sel darah merah yang dihasilkan jumlahnya sedikit. C. Stadium 3 Mulai terjadi anemia. Pada awal stadium ini, sel darah merah tampak normal, tetapi jumlahnya sedikit. Kadar hemoglobin dan hematokrit menurun. D. Stadium 4 Sumsum tulang berusaha untuk menggantikan kekurangan zat besi dengan mempercepat pembelahan sel dan menghasilkan sel darah merah dengan ukuran yang sangat kecil (mikrostik), yang khas untuk anemia karena kekurangan zat besi. E. Stadium 5 Dengan semakin memburuk zat besi dan anemia, maka timbul gejala-gejala karena kekurangan zat besi dan gejala-gejala karena anemia semakin memburuk. Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 10

PEMERIKSAAN LABORATORIUM Kelainan laboratorium pada kasus anemia defisiensi besi yang dapat dijumpai adalah: Kadar Hemoglobin dan Indeks Eritrosit Didapatkan anemia hipokromik mikrositer dengan penurunan kadar hemoglobin mulai dari ringan sampai berat. MCV dan MCH menurun. MCV < 70 fl hanya didapatkan pada anemia defisiensi besi dan thalasemia mayor. MCHC menurun pada anemia defisiensi besi yang lebih berat dan berlangsung lama. Anisositosis merupakan tanda awal defisiensi besi. Anisositosis ditandai oleh peningkatan RDW (Red cell Distribution Width). Dulu dianggap pemeriksaan RDW dapat dipakai untuk membedakan ADB dengan anemia akibat penyakit kronik, tetapi sekarang RDW pada kedua jenis anemia ini hasilnya sering tumpang tindih. Dijumpai juga bahwa penggabungan MCV, MCH, MCHC dan RDW makin meningkatkan spesifitas indeks eritrosit. Indeks eritrosit sudah dapat mengalami perubahan sebelum kadar hemoglobin menurun. Hapusan darah tepi menunjukkan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis dan poikilositosis. Makin berat derajat anemia, makin berat derajat hipokromia. Derajat hipokromia dan mikrositosis berbanding lurus dengan derajat anemia, berbeda dengan sebuah cincin sehingga disebut ring cell, atau memanjang seperti elips, disebut sebagai pencil cell. Kadang-kadang dapat pula dijumpai sel target.

Gambar 4. Sediaan hapus darah tepi pada anemia defisiensi besi Leukosit dan trombosit pada umumnya normal. Tetapi ganulositopenia ringan dapat dijumpai pada ADB yang berlangsung lama. Pada ADB karena cacing tambang dijumpai eosinofilia. Trombositosis dapat dijumpai pada ADB dengan episode perdarahan akut. Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 11

Konsentrasi besi serum menurun pada ADB, dan TIBC (Total Iron Binding Capacity) meningkat. TIBC menunjukkan tingkat kejenuhan apotransferin terhadap besi, sedangkan saturasi transferin dihitung dari besi serum dibagi TIBC dikalikan 100 %. Untuk kriteria diagnosis ADB, kadar besi serum menurun < 50 g/dl, Total Iron Binding Capacity (TIBC) meningkat > 350 g/dl, dan saturasi transferin <15 %. Ada juga yang memakai saturasi transferin <16 % atau < 18 %. Harus diingat bahwa besi serum menunjukkan variasi diurnal yang sangat besar, dengan kadar puncak pada jam 8 sampai 10 pagi. Feritin serum merupakan indikator cadangan besi yang sangat baik, kecuali pada keadaan inflamasi dan keganasan tertentu. Feritin serum merupakan pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis ADB yang paling kuat oleh karena itu banyak dipakai baik di klinik maupun di lapangan karena cukup reliable dan praktis, meskipun tidak terlalu sensitif. Angka feritin serum normal tidak selalu dapat menyingkirkan adanya ADB, tetapi feritin serum diatas 100 mg/dl dapat memastikan tidak adanya defisiensi besi. Cut off poin untuk daerah tropik yang dianjurkan adalah <20 mg/l. Jika terdapat infeksi atau inflamasi yang jelas seperti arthritis rematoid, maka feritin serum sampai dengan 50 60 g/l masih dapat menunjukkan adanya defisiensi besi. Protoporfirin merupakan bahan antara pada pembentukan Heme. Jika sintesis heme terganggu, misalnya karena adanya defisiensi besi maka protoporfirin akan menumpuk dalam eritrosit. Angka normal adalah Pengukuran reseptor transferin terutama dipakai untuk membedakan ADB dengan anemia akibat penyakit kronik. Akan lebih baik lagi apabila dipakai rasio reseptor transferin dengan log feritin serum. Rasio >1,5 menunjukkan ADB dan rasio < 1,5 sangat mungkin karena anemia akibat penyakit kronik. Sumsum tulang menunjukkan hyperplasia normoblastik ringan sampai sedang dengan normoblas kecilkecil. Sitoplasma sangat sedikit dan tepi tidak teratur. Normoblast ini disebut sebagai micronormoblast. Pengecatan besi sumsum tulang dengan prussian blue menunjukkan cadangan besi yang negatif (butir hemosiderin negatif). Dalam keadaan normal 40-60 % normoblast mengandung granula feritin dalam sitoplasmanya, disebut sebagai sideroblast. Pada defisiensi besi maka sideroblast negatif. Di klinik, pengecatan besi pada sumsum tulang dianggap sebagai gold standard diagnosis defisiensi besi. Namun belakangan perannya digantikan oleh pemeriksaan feritin serum yang lebih praktis.3

DIAGNOSIS Untuk menegakkan diagnosis ADB harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Terdapat tiga tahap diagnosis ADB. Tahap pertama adalah menentukan adanya anemia dengan mengukur kadar Hb atau Ht. Cut off point anemia tergantung kriteria yang dipilih, kriteria WHO atau kriteria klinik. Tahap kedua adalah memastikan adanya defisiensi besi, sedangkan tahap ketiga adalah menentukan penyebab dari defisiensi besi yang terjadi. Secara laboratoris untuk menegakkan diagnosis ADB (tahap satu atau tahap dua) dapat dipakai kriteria diagnosis anemia defisiensi besi (modifikasi dari kriteria Kerlin et all) sebagai berikut: Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 12

Anemia hipokromik mikrositer pada hapusan darah tepi, atau MCV < 80 fl, dan MCHC < 31% dengan salah satu kriteria berikut: Dua dari Tiga parameter dibawah ini: o o o Besi serum < 50 mg/dl TIBC > 350 mg/dl Saturasi transferin < 15% , atau

Feritin serum < 20 mg/L, atau Pengecatan sumsum tulang dengan Prussian Blue menunjukkan cadangan besi (butir-butir hemosiderin) negatif, atau Dengan pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mg/hari (atau preparat besi lain yang setara) selama 4 minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2 g/dl.

Pada tahap ketiga ditentukan penyakit dasar yang menjadi penyebab defisiensi besi. Tahap ini sering merupakan proses yang rumit yang memerlukan berbagai jenis pemeriksaan tetapi merupakan tahap yang penting untuk mencegah kekambuhan defisiensi besi serta kemungkinan untuk dapat menemukan sumber perdarahan yang membahayakan. Meskipun dengan pemeriksaan yang baik, sekitar 20 % kasus ADB tidak diketahui penyebabnya. Untuk pasien dewasa fokus utama adalah mencari sumber perdarahan. Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti. Pada perempuan masa reproduksi anamnesis tentang menstruasi sangat penting, kalau perlu dilakukan pemeriksaan ginekologi. Untuk laki-laki dewasa di Indonesia dilakukan pemeriksaan feses untuk mencari telur cacing tambang. Tidak cukup hanya dilakukan pemeriksaan hapusan langsung dengan eosin, tetapi sebaiknya dilakukan pemeriksaan semi kuantitatif, seperti teknik Kato-Katz untuk

menentukan beratnya infeksi. Jika ditemukan infeksi ringan, tidak serta merta dianggap sebagai penyebab utama ADB, harus dicari penyebab lainnya. Titik kritis cacing tambang sebagai penyebab utama jika ditemukan telur per gram feses (TPG) > 2000 pada perempuan dan >4000 pada laki-laki. Dalam suatu penelitian lapangan ditemukan hubungan yang nyata antara derajat infeksi cacing tambang dengan cadangan besi pada laki-laki, tetapi hubungan ini lebih lemah pada perempuan. Anemia akibat cacing tambang adalah ADB yang disebabkan oleh karena infeksi cacing tambang berat (TPG >2000) . Anemia akibat cacing tambang sering disertai pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak tangan. Pada pemeriksaan laboratorium disamping tanda-tanda defisiensi besi yang disertai adanya eosinofilia. Pada suatu penelitian di Bali didapatkan bahwa anemia akibat cacing tambang dijumpai pada12,2 % dari kasus ADB. Jika tidak ditemukan perdarahan yang nyata, dapat dilakukan tes darah samar (occult blood test) pada feses, dan jika terdapat indikasi dilakukan endoskopi saluran cerna atas atau bawah.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 13

DIAGNOSIS DIFERENSIAL
Diagnosis Difensial Anemia Defisiensi Besi Anemia Defisiensi besi Derajat anemia MCV MCH Besi serum TIBC Saturasi transferin Ringan sampai berat Menurun Menurun Menurun < 30 Meningkat > 360 Menurun < 15% Anemia Akibat Penyakit Kronik Ringan Menurun/normal Menurun/norma Menurun < 50 Menurun < 300 Menurun/normal 10 20% Besi sumsum tulang Negatif Positif Positif kuat Positif dengan ring sideroblast Protoporfirin eritrosit Feritin serum Elektroforesis Hb Negatif Menurun < 20g/l Normal Meningkat Normal 20 200g/l Normal Normal Meningkat > 50g/l Hb A2 meningkat Normal Meningkat > 50g/l Normal Ringan Menurun Menurun Normal/meningkat Normal/menurun Meningkat > 20% Ringan sampai berat Menurun/normal Menurun/normal Normal/meningkat Normal/menurun Meningkat > 20% Trait Thalassemia Anemia Sideroblastik

PENATALAKSANAAN Penatalaksanaannya berbeda-beda, tergantung pada tingkat keparahan dan penyebabnya. Langkah pertama adalah dengan menentukan sumber dan menghentikan perdarahan karena perdarahan merupakan penyebab paling sering dari kekurangan zat besi. Mungkin diperlukan obat-obatan atau pembedahan untuk: Mengendalikan perdarahan menstruasi yang sangat banyak Memperbaiki tukak yang mengalami perdarahan Mengangkat polip dari usus besar Mengatasi perdarahan dari ginjal Sebagai contoh, pasien usia tua dengan anemia defisiensi besi dan ketidakstabilan kardiovaskuler membutuhkan transfusi eritrosit. Sedang pada pasien usia muda yang telah terjadi kompensasi pada

anemianya dapat diterapi secara konservatif dengan pemberian zat besi. Yang harus dilakukan terutama adalah mengidentifikasi penyebab defisiensi besi (wanita hamil, anak-anak, dewasa, pasien dengan perdarahan sedikit, atau pasien dengan asupan zat besi yang tidak adekuat) cukup diterapi dengan zat besi oral. Sedang pada pasien dengan kehilangan darah yang tidak lazim atau malabsorpsi, dibutuhkan pemeriksaan yang lebih spesifik dan terapi yang adekuat. Saat diagnosa anemia defisiensi besi ditegakkan, dan penyebabnya diketahui, harus ditentukan terapi yang tepat. Ada tiga terapi utama, yaitu transfusi eritrosit, pemberian zat besi oral dan parenteral. Transfusi sel darah merah Diberikan pada pasien dengan gejala anemia yang nyata, ketidakstabilan kardiovaskuler dengan ancaman payah jantung dan pasien yang memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang cepat seperti pada kehamilan Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 14

trimester akhir atau preoperasi. Jenis darah yang diberikan adalah packed red cell (PRC) untuk mengurangi bahaya overload. Sebagai terapi premedikasi dapat diberikan furosemid intravena. Tablet zat besi oral Terapi besi oral merupakan terapi pilihan pertama oleh karena efektif, murah dan aman. Pada pasien anemia defisiensi besi yang tidak menunjukkan gejala, biasanya cukup diterapi dengan tablet zat besi. Tersedia berbagai macam preparat besi oral, dari garam besi sederhana hingga kompleks zat besi yang dibuat untuk dilepaskan di usus halus (enteric coated). Preparat yang merupakan pilihan utama adalah Ferrous sulfate, oleh karena paling murah namun paling efektif. Dosis anjuran adalah 3 x 200 mg. Setiap 200 mg sulfas ferosus mengandung 66 mg besi elemental. Pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mg mengakibatkan absorbsi besi 50 mg per hari yang dapat meningkatkan eritropoesis dua sampai tiga kali normal. Preparat lain adalah ferrous gluconate, ferrous fumarate, ferrous lactate dan ferrous succinate. Sediaan ini harganya lebih mahal, tetapi efektivitas dan efek samping hampir sama dengan sulfas ferosus. Terdapat juga bentuk sediaan enteric coated yang dianggap memberikan efek samping lebih rendah, tetapi dapat mengurangi absorbsi besi. Preparat besi oral sebaiknya diberikan saat lambung kosong, karena makanan dapat mengurangi absorbsi besi. Tablet besi akan diserap dengan maksimal jika diminum 30 menit sebelum makan. Namun efek samping lebih sering dibandingkan dengan pemberian setelah makan. Pada pasien yang mengalami intoleransi, sulfas ferosus dapat diberikan saat makan atau setelah makan.

Gambar 5. Tablet Ferrous Sulphate

Efek samping utama preparat besi per oral adalah gangguan GIT, dijumpai pada 15-20 % pasien dan dapat mengurangi kepatuhan. Keluhan biasanya berupa mual, muntah, serta konstipasi. Untuk mengurangi efek samping preparat besi, dapat diberikan saat makan atau dosis dikurangi menjadi 3 x 100 mg. Pengobatan besi diberikan 3 sampai 6 bulan, ada juga yang menganjurkan sampai 12 bulan, setelah kadar hemoglobin normal untuk mengisi cadangan besi tubuh. Dosis pemeliharaan yang diberikan adalah 100 sampai 200 mg. Jika tidak diberikan dosis pemeliharaan, anemia sering kambuh kembali. Untuk meningkatkan penyerapan besi dapat diberikan preparat vitamin C 3 x 100 mg per hari. Dianjurkan pemberian diet yang banyak mengandung hati dan daging yang banyak mengandung besi.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 15

Terapi besi parenteral Terapi besi parenteral sangat efektif tetapi mempunyai risiko lebih besar dan harganya lebih mahal. Oleh karena risiko ini, maka besi parenteral hanya diberikan atas indikasi tertentu, yaitu: o o o o o o o Intoleransi terhadap pemberian preparat besi oral Kepatuhan pasien yang rendah Gangguan pencernaan seperti kolitis ulseratif yang dapat kambuh jika diberikan besi Penyerapan besi terganggu, seperti misalnya pada gastrektomi Keadaan di mana kehilangan darah sangat banyak sehingga tidak cukup dikompensasi dengan pemberian besi oral, seperti pada pasien hereditary hemorrhagic teleangiectasia Kebutuhan besi yang besar dalam waktu singkat, misalnya pada kehamilan trimester ketiga atau sebelum operasi Defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian eritropoetin pada anemia gagal ginjal kronik atau anemia akibat penyakit kronik Preparat yang tersedia ialah iron dextran complex (mengandung 50 mg besi /ml ). Iron sorbitol citric acid complex dan yang terbaru adalah iron ferric gluconate dan iron sucrose yang lebih aman. Besi parenteral dapat diberikan secara intramuskuler dalam atau intravena pelan. Pemberian secara intramuskuler memberikan rasa nyeri dan memberikan warna hitam pada kulit. Efek samping yang dapat timbul adalah reaksi anafilaksis, meskipun jarang (0,6%). Efek samping lain adalah flebitis, sakit kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut dan sinkop. Terapi besi parenteral bertujuan untuk mengembalikan kadar hemoglobin dan mengisi besi sebesar 500 sampai 1000 mg. Dosis yang diberikan dapat dihitung melalui rumus: Kebutuhan besi (mg) = (15-Hb sekarang ) x BB x 2,4 + 500 atau 1000 mg Dosis ini dapat diberikan sekaligus atau dalam beberapa kali pemberian. Respon terhadap terapi Respon terhadap terapi besi oral bervariasi, tergantung pada stimulus eritropoetin dan tingkat absorbsi. Biasanya, retikulosit mulai meningkat dalam 4 7 hari setelah terapi dan mencapai puncaknya pada hari ke 10 dan normal lagi setelah 14 hari, diikuti kenaikan Hb 0,15 g/hari atau 2 g/dl setelah 3 4 minggu. Hemoglobin menjadi normal kembali setelah 4 10 minggu. Bila respon tidak baik, maka perlu dipikirkan: Pasien tidak patuh sehingga obat tidak diminum Dosis besi kurang Masih ada perdarahan cukup banyak Ada penyakit lain seperti penyakit kronik, radang menahun atau defisiensi asam folat pada saat yang sama Diagnosis defisiensi besi salah

Jika dijumpai keadaan diatas, lakukan evaluasi kembali dan ambil tindakan yang tepat

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 16

PENCEGAHAN Tindakan pencegahan yang diperlukan adalah: Pendidikan kesehatan: Kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian jamban, perbaikan lingkungan kerja, misalnya pemakaian alas kaki sehingga mencegah infeksi cacing tambang Penyuluhan gizi untuk mendorong konsumsi makanan yang membantu absorbsi besi Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan kronik yang paling sering dijumpai di daerah tropik. Pengendalian infeksi cacing tambang dapat dilakukan dengan pengobatan massal dengan anthelmentik dan perbaikan sanitasi. Suplementasi besi pada penduduk yang rentan, seperti ibu hamil dan anak balita. Di Indonesia, ibu hamil dan anak balita diberikan pil besi dan folat. Fortifikasi bahan makanan dengan besi, yaitu mencampurkan besi pada bahan makanan. Di Negara barat dilakukan dengan mencampur tepung dan susu dengan besi.

ANEMIA SIDEROBLASTIK Adalah anemia karena gangguan sintesa hemoglobin sehingga besi tidak dapat dipergunakan dan tertimbun dalam plasma dan jaringan (RES dan sumsum tulang). Kelainan ini bisa : Herediter anemia sideroblastik Kelainan ini mungkin diturunkan secara sex- linked dan partially recessive Sebagian kasus membaik dengan Vit. B6 Didapat : pada keracunan Pb, alcoholism, penyakit kolagen, pemberian INH, cyclosporine, thiacetazone Pemeriksaan Laboratorium : Gambaran darah tepi : anemia hipokrom, anisositosis pada yang herediter. Yang didapat lebih sering ditemukan normokrom normositer atau sedikit hipokrom. Serum : SI , UIBC Sumsum tulang : hiperplasia seri eritrosit, banyak sideroblast, vakuolisasi pada seri eritrosit. Kadangkadang ada sel besar-besar (megaloblastoid)

ANEMIA PADA PENYAKIT KRONIS Anemia ini sering dijumpai pada pasien dengan infeksi atau inflamasi kronis maupun keganasan. Pada umumnya, anemia pada penyakit kronis ditandai dengan kadar Hb bekisar 7-11g/dL, kadar Fe serum menurun disertai TIBC yang rendah, cadangan Fe yang tinggi di jaringan serta produksi seldarah merah berkurang..

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 17

Etiologi dan patogenesis Anemia pada penyakit kronik dapat terjadi karena: 1. Pemendekan masa hidup Eritrosit Diduga anemia yang terjadi merupakan bagian dari sindrom stres hematologik (haematological stress syndrome), dimana terjadi produksi sitokin yang berlebihan karena kerusakan jaringan akibat infeksi, inflamasi dan kanker. 2. Penghancuran eritrosit Aktivasi makrofag oleh sitokin menyebabkan peningkatan daya fagositosis makrofag tersebut dan sebagai bagian dari filter limpa (compulsive screening), menjadi kurang toleran terhadap perubahan/kerusakan minor dari eritrosit. 3. Produksi eritrosit Gangguan metabolisme besi. Anemia disebabkan oleh penurunan kemampuan Fe dalam sintesis Hb. Fungsi sumsum tulang. Kompensasi yang terjadi kurang dari yang diharapkan akibat berkurangnya penglepasan atau menurunnya respons terhadap eritropoetin.

Manifestasi Klinis Karena anemia yang terjadi umumnya derajat ringan dan sedang, umumnya asimtomatik karena tertutup oleh gejala penyakit dasarnya.

Pemeriksaan Laboratorium : Gambaran darah tepi : umumnya anemia normokrom-normositer Serum : TIBC , SI , transferin

Penatalaksanaan Transfusi Merupakan pilihan pada kasus yang disertai gangguan hemodinamik. Preparat besi Terlepas dari adanya pro dan kontra, sampai saat ini pemberian preparat besi masih belum direkomendasikan untuk diberikan pada anemia pada penyakit kronis. Eritropoetin Diberikan pada pasien anemia akibat kanker, gagal ginjal, mieloma multipel, artritis reumatoid, dan pasien HIV. Pemberian eritropoetin mempunyai beberapa keuntungan karena mempunyai efek anti inflamasi dengan cara menekan produksi TNF- dan interferon-. Saat ini terdapat tiga jenis eritropoetin, yakni eritropoetin alfa, beta dan darbopoetin.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 18

ANEMIA NORMOKROM NORMOSITIK


ANEMIA APLASTIK PENDAHULUAN Anemia aplastik merupakan kegagalan hemopoeisis yang relatif jarang ditemukan namun berpotensi mengancam jiwa. Penyakit ini ditandai oleh pansitopenia dan aplasia sumsum tulang (hiposelular). Pertama kali dilaporkan tahun 1888 oleh Ehrlich pada seorang perempuan muda yang meninggal tidak lama setelah menderita penyakit dengan gejala anemia berat, perdarahan dan hiperpireksia. Selain istilah anemia aplastik yang paling sering digunakan, masih ada istilah lain seperti anemia hipoplastik, anemia refrakter, hipositemia progresif, anemia aregeneratif, aleukia hemoragika, panmieloftisis dan anemia paralitik toksik.

EPIDEMIOLOGI Anemia aplastik didapat umumnya muncul pada usia 15 sampai 25 tahun. Puncak insiden kedua yang lebih kecil muncul setelah usia 60 tahun. Umur dan jenis kelamin pun bervariasi secara geografis.11 Perjalanan penyakit pada pria juga lebih berat daripada perempuan. Perbedaan umur dan jenis kelamin mungkin disebabkan oleh resiko pekerjaan, sedangkan perbedaan geografis mungkin disebabkan oleh pengaruh lingkungan.

KLASIFIKASI Berdasarkan derajat pansitopenia darah tepi, anemia aplastik dapat diklasifikasikan menjadi tidak berat, berat atau sangat berat. Klasifikasi Anemia Aplastik Klasifikasi 1. Anemia aplastik berat : Selularitas sumsum tulang Sitopenia sedikitnya dua dari tiga seri sel darah < 25% Hitung neutrofil <500/L Hitung trombosit <20.000/L Hitung retikulosit absolut <60.000/L 2. Anemia aplastik sangat berat Kriteria

Sama seperti di atas kecuali hitung neutrofil <200/L

3. Anemia aplastik tidak berat

Sumsum

tulang

hiposelular

namun

sitopenia tidak memenuhi kriteria berat Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 19

Risiko morbiditas dan mortalitas lebih berkorelasi dengan derajat keparahan sitopenia ketimbang selularitas sumsum tulang. Angka kematian setelah dua tahun dengan perawatan suportif saja untuk pasien anemia aplastik berat atau sangat berat mencapai 80%; infeksi jamur dan spesies bakterial merupakan penyebab kematian utama. Anemia aplastik tidak berat jarang mengancam jiwa dan sebagian besar tidak membutuhkan terapi.

PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS Dahulu, anemia aplastik dihubungkan erat dengan paparan terhadap bahan-bahan kimia dan obatobatan. Anemia aplastik dianggap disebabkan paparan terhadap bahan-bahan toksik seperti radiasi, kemoterapi, obat-obatan atau senyawa kimia tertentu. Penyebab lain meliputi kehamilan, hepatitis viral, dan fascitis eosinofilik. Jika pada seorang pasien tidak diketahui faktor penyebabnya, maka pasien digolongkan anemia aplastik idiopatik. Sebagian besar kasus anemia aplastik bersifat idiopatik. Klasifikasi Etiologi Anemia Aplastik di Masa Lalu Toksisitas Langsung Iatrogenik Radiasi Kemoterapi

Benzena Metabolit intermediate beberapa jenis obat

Penyebab yang diperantai imun Iatrogenik : transfusion-associated graft-versus-host disease Fasciitis eosinofilik Penyakit terkait hepatitis Kehamilan Metabolit intermediate beberapa jenis obat Anemia aplastik idiopatik

KEGAGALAN HEMATOPOIETIK Kegagalan produksi sel darah bertanggung jawab atas kosongnya sumsum tulang yang tampak jelas pada pemeriksaan apusan aspirat sumsum tulang atau specimen Core biopsy sumsum tulang. Hasil pencitraan dengan magnetic resonance imaging vertebra memperlihatkan digantinya sumsum tulang oleh jaringan lemak yang merata. Secara kuantitatif, sel-sel hematopoietik yang imatur dapat dihitung dengan flow cytometry. Selsel tersebut mengekspresikan protein cytoadhesive, yang disebut CD34. Pada pemeriksaan flow cytometry, antigen sel CD34 dideteksi secara fluoresens satu persatu, sehingga jumlah sel-sel CD34 juga dapat dihitung Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 20

dengan tepat. Pada anemia aplastik, sel-sel CD34+ juga hampir tidak ada yang berarti bahwa sel-sel induk pembentuk koloni eritroid, myeloid, dan megakaryositik sangat kurang jumlahnya. Assay lain untuk sel-sel hematopoietik yang sangat primitif dan tenang (quiescent), yang sangat mirip jika tidak dapat dikatakan identik dengan sel-sel asal, juga memperlihatkan penurunan. Pasien yang mengalami panstopenia mungkin telah mengalami penurunan populasi sel asal dan sel induk sampai sekitar 1% atau kurang. Defisiensi berat tersebut mempunyai konsekuensi kualitatif, yang dicerminkan oleh pemendekan telomer granulosit pada pasien anemia aplastik.

DESTRUKSI IMUN Banyak data laboratorium yang menyokong hipotesis bahwa pada pasien anemia aplastik didapat, limfosit bertanggung jawab atas destruksi kompartemen sel hematopoietik. Eksperimen awal memperlihatkan bahwa limfosit pasien menekan hematopoiesis. Sel-sel ini memproduksi faktor penghambat yang akhirnya diketahui adalah interferon-. Adanya aktivasi respon sel T helper-1 (TH1) disimpulkan dari sifat imunofenotipik sel-sel T dan produksi interferon, tumor necrosis factor, dan interleukin-2 yang berlebihan. Deteksi interferon-

intraseluler pada sampel pasien cytometry berkorelasi respons secara flow mungkin dengan terapi

imunosupresif dan dapat memprediksi relaps. Pada anemia aplastik, sel-sel CD34+ dan sel-sel induk

(progenitor) hemopoietik sangat sedikit jumlahnya. Namun, defisiensi meskipun myeloid

(granulositik, eritroid, dan megakariostik bersifat universal pada kelainan ini, defisiensi imunologik tidak lazim terjadi. Hitung limfosit umumnya normal pada hampir semua kasus, demikian pula fungsi sel B dan sel T. Lagipula, pemulihan hemopoiesis yang normal dapat terjadi dengan terapi imunosupresif yang efektif. Jadi, sel-sel asal hemopoietik tampaknya masih ada pada sebagian besar pasien anemia plastik. Perubahan imunitas menyebabkan destruksi, khususnya kematian sel CD34 yang diperantarai ligan Fas, dan aktivasi alur intraselular yang menyebabkan penghentian siklus sel ( cell-cyclearrest). Sel-sel T dari Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 21

pasien membunuh sel-sel asal hemopoietik dengan perilaku (manner) yang HLA-DR-restricted melalui ligan Fas. Sel-sel asal hemopoietik yang paling primitif tidak atau sedikit mengekspresikan HLA-DR atau FAS, dan ekspresi keduanya meningkat sesuai pematangan sel-sel asal. Jadi, sel-sel asal hemopoietik primitif, yang normalnya berjumlah kurang dari 10% sel-sel CD34+ total, relatif tidak terganggu oleh sel-sel T autoreaktif; di lain pihak sel-sel asal hemopoietik yang lebih matur dapat menjadi target utama serangan sel-sel imun. Sel-sel asal hemopoietik primitif yang selamat dari serangan autoimun memungkinkan pemulihan hemopoietik perlahan-lahan yang terjadi pada paien anemia aplastik setelah terapi imunosupresif.

MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS Anemia aplastik mungkin muncul mendadak (dalam beberapa hari) atau perlahan-lahan (bermingguminggu atau berbulan-bulan). Hitung jenis darah menetukan manifestasi klinis. Anemia menyebabkan kelelahan, dispnea dan jantung berdebar-debar. Trombositopenia menyebabkan mudah memar dan perdarahan mukosa. Neutropenia meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Pasien juga mungkin mengeluh sakit kepala dan demam. Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada pemeriksaan rutin. Keluhan yang dapat ditemukan sangat bervariasi. Pada tabel dibawah terlihat bahwa pendarahan, badan lemah, dan pusing merupakan keluhan yang paling sering ditemukan.

Keluhan Pasien Anemia Aplastik (n=70) (Salonder, 1983) Jenis Keluhan Pendarahan Badan lemah Pusing Jantung berdebar Demam Nafsu makan berkurang Pucat Sesak nafas Penglihatan kabur Telinga berdengung % 83 30 69 36 33 29 26 23 19 13

PEMERIKSAAN FISIK Hasil pemeriksaan fisik pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi. Pada tabel berikut terlihat bahwa pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan perdarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien. Hepatomegali, yang sebabnya bermacam-macam, ditemukan pada sebagian kecil Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 22

pasien sedangkan splenomegali tidak ditemukan pada satu kasus pun. Adanya splenomegali dan limfadenopati justru meragukan diagnosis.

Pemeriksaan Fisik pada Pasien Anemia Aplastik (N=70) (Salonder, 1983) Jenis Pemeriksaan Fisik Pucat Perdarahan Demam Hepatomegali Splenomegali Kulit Gusi Retina Hidung Saluran cerna Vagina % 100 63 34 26 20 7 6 3 16 7 0

PEMERIKSAAN LABORATORIUM Darah Tepi Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Jenis anemia adalah normokrom normositer. Kadang-kadang, ditemukan pula makrositosis, anisositosis, dan psikolositosis. Adanya eritrosit muda atau leukosit muda dalam darah tepi menandakan bukan anemia aplastik. Granulosit dan trombosit ditemukan rendah. Limfositosis relatif terdapat pada lebih dari 75% kasus. Persentase retikulosit umumnya normal atau rendah. Pada sebagian kecil kasus, persentase retikulosit ditemukan lebih dari 2%. Akan tetapi, bila nilai ini dikoreksi terhadap beratnya anemia (corrected reticulocyte count) maka diperoleh persentase retikulosit normal atau rendah juga. Adanya retikulositosis setelah dikoreksi menandakan bukan anemia aplastik. Laju Endap Darah Laju endap darah selalu meningkat. Penulis menemukan bahwa 62 dari 70 kasus (89%) mempunyai laju endap darah lebih dari 100 mm dalam jam pertama. Faal Hemostasis Waktu perdarahan memanjang dan retraksi bekuan buruk disebabkan oleh trombositopenia. Faal hemostasis lainnya normal. Sumsum Tulang Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 23

Karena adanya sarang-sarang hemopoiesis hiperaktif yang mungkin teraspirasi, maka sering diperlukan aspirasi beberapa kali. Diharuskan melakukan biopsi sumsum tulang pada setiap kasus tersangka anemia aplastik. Hasil pemeriksaan sumsum tulang sesuai kriteria diagnosis.

Virus Evaluasi diagnosis anemia aplastik meliputi pemeriksaan virus hepatitis, HIV, parvovirus, dan sitomegalovirus. Tes Ham atau Tes Hemolisis Sukrosa Tes ini diperlukan untuk mengetahui adanya PNH sebagai penyebab. Kromosom Pada anemia aplastik didapat, tidak ditemukan kelainan kromosom. Pemeriksaan sitogenetik dengan fluorescence in situ hybridization (FISH) dan imunofenotipik dengan flow cytometry diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis banding, seperti myelodidplasia hiposeluler. Defisiensi Imun Adanya defisiensi imun diketahui melalui penentuan titer immunoglobulin dan pemeriksaan imunitas sel T. Lain-lain Hemoglobin F meningkat pada anemia aplastik anak, dan mungkin ditemukan pada anemia aplastik konstitusional. Kadar eritropoetin ditemukan meningkat pada anemia aplastik.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 24

PEMERIKSAAN RADIOLOGIS Nuclear Magnetic Resonance Imaging Pemeriksaan ini merupakan cara terbaik untuk mengetahui luasnya perlemakan karena dapat membuat pemisahan tegas antara daerah sumsum tulang berlemak dan sumsum tulang berselular. Radionuclide Bone Marrow Imaging (Bone Marrow Scanning) Luasnya kelainan sumsum tulang dapat ditentukan oleh scanning tubuh setelah disuntik dengan koloid radioaktif technetium sulfur yang akan terikat pada makrofag sumsum tulang atau iodium chloride yang akan terikat pada transferin. Dengan bantuan scan sumsum tulang dapat ditentukan daerah hemopoeisis aktif untuk memperoleh sel-sel guna pemeriksaan sitogenetik atau kultur-kultur sel induk.

DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING Kriteria minimal diagnosis aplastik ialah : A. Pansitopenia berupa kadar hemoglobin kurang dari 13 g % (pada pria) atau kurang dari 12 g % (pada wanita), jumlah neutrofil absolute kurang dari 1500/mm3 (biasanya jumlah leukosit kurang dari 4000/mm3), dan jumlah trombosit kurang dari 150.000/mm3. B. Aplasia atau hipoplasia sumsum tulang Sediaan hapus aspirat sumsum tulang memperlihatkan peningkatan sel-sel lemak, hipoplasia seri eritroid, mieloid, dan megakariosit, serta limfosit tampak meningkat. Walaupun hasil aspirasi sumsum tulang mengesankan suatu diagnosis anemia aplastik, harus tetap dilaksanakan biopsi sumsum tulang. Adanya hipoplasia berat dan peningkatan sel-sel lemak merupakan kriteria diagnosis.

Adanya sumsum tulang berlemak pada biopsi menunjukkan aplasia; namun hiposelularitas sumsum dapat terjadi pada penyakit hematologi lainnya. Uji diagnostik yang baru telah mempengaruhi diagnosis banding dan pemahaman kita tentang kegagalan sumsum tulang. Perbedaan antara anemia aplastik didapat dan herediter telah dipertajam dengan assay spesifik untuk kelainan kromosonal dan zat kimia tertentu yang menandai anemia Fanconi. Meskipun biasanya muncul pada anak-anak, anemia Fanconi dapat didiagnosis pada saat dewasa, walaupun tanpa kelainan skeletal atau urogenital. Sumsum tulang hiposelular dibutuhkan untuk diagnosis anemia aplastik. Namun, aspirat kadangkadang secara mengejutkan tampak selular meskipun secara keseluruhan sumsum tulang hiposelular, sebab sebagian besar pasien masih mempunyai sarang-sarang hemopoeisis yang masih berlangsung. Jadi, core biosy 1-2 cm penting untuk pengkajian selularitas. Diseritropoiesis ringan bukan tidak lazim pada anemia aplastik, khususnya pada pasien yang juga memiliki populasi sel-sel hemoglobinuria nokturnal paroksismal kecil sampai sedang. Namun, adanya sejumlah kecil sel-sel blast myeloid, atau gambaran displastik seri myeloid atau megakaryosit membantu diagnosis sindrom myelodisplatik hipoplastik. Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 25

Myelodisplasia Hiposelular Membedakan anemia aplastik dari sindrom myelodisplastik hipoplastik dapat menjadi tantangan, khususnya pada pasien yang lebih tua, karena sindrom ini lebih banyak terjadi. Proporsi sel-sel CD34+ di sumsum tulang mungkin membantu pada beberapa kasus. CD34 diekspresikan pada sel-sel asal/induk hemopoietik dan bersifat fundamental untuk patofisiologi kedua kelainan ini. Pada sindrom myelodisplastik, ekspansi klonal muncul dari sel asal CD34+; pada anemia aplastik didapat, sel-sel asal CD34+ merupakan target serangan autoimun. Dengan demikian, proporsi sel-sel CD34+ adalah 0,3% atau kurang pada pasien anemia aplastik, sedangkan proporsinya normal (0,5-1,0%) atau lebih tinggi pada sindrom myelodisplatik hipoplastik. Pemeriksaan sitogenetik sel-sel sumsum tulang sekarang sudah rutin dilakukan, tetapi interpretasi hasil dapat kontroversial. Kromosom umumnya normal pada anemia aplastik, tetapi aneuploidi atau abnormalitas struktural relatif sering pada sindrom myelodisplastik. Jika sumsum tulang normal atau hiperselular dan sel-sel hematopoietik jelas-jelas dismorfik, maka myelodisplasia mudah dibedakan dari anemia aplastik. Namun, mungkin pada sekitar 20% kasus, sumsum tulang tampak hiposelular, selain itu, perubahan morfologinya mungkin ringan atau meragukan, dan uji kromosom memberikan hasil normal atau tidak berhasil. Diagnosis banding lebih dipersulit dengan evolusi anemia aplastik yang telah diobati menjadi myelodisplasia. Leukemia Limfositik Granular Besar Penyakit ini juga dapat menjadi diagnosis untuk sumsum tulang yang kosong atau displastik.

Limfosit granular besar dapat dikenali dari fenotipenya yang berbeda pada pemeriksaan mikroskopik darah, yaitu pola pulasan sel-sel khusus pada flow cytometry, dan ketidakteraturan reseptor sel T yang membuktikan adanya ekspansi monoklonal populasi sel T. Anemia Aplastik dan Hemoglobinuria Nokturnal Paroksismal (PNH) Terdapat hubungan klinis yang sangat kuat antara anemia aplastik dan PNH. Pada PNH, sel asal hematopoietik abnormal menurunkan populasi sel darah merah, granulosit, dan trombosit yang semuanya tidak mempunyai sekelompok protein permukaan sel. Dasar genetik PNH adalah mutasi didapat pada gen PIG-A di kromosom X yang menghentikan sintesis struktur jangkar glikosilfostatidilinositol. Defisiensi protein ini menyebabkan hemolisis intravaskular, yang mengakibatkan ketidakmampuan eritrosit untuk menginaktivasi komplemen permukaan. Tidak adanya protein tersebut mudah dideteksi dengan flow cytometry eritrosit dan leukosit, tes HAM dan sukrosa sekarang sudah ketinggalan jaman (obsolete).

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 26

PENATALAKSANAAN Pengobatan terdiri atas : 1. Identifikasi dan eliminasi 2. Pengobatan suportif : terhadap infeksi, perdarahan dan anemia 3. Usaha mempercepat penyembuhan penyebab pansitopenia melalui imunosupresif, transplantasi sumsum tulang, obat-obatan anabolik dan kortikosteroid. Terapi standar untuk anemia aplastik meliputi imunosupresi atau transplantasi sumsum tulang (TST). Faktor-faktor seperti usia pasien, adanya donor saudara yang cocok (matched sibling donor), dan faktor-faktor risiko seperti infeksi aktif atau beban transfusi harus dipertimbangkan untuk menentukan apakah pasien paling baik mendapat terapi imunusupresi atau TST. Pasien yang lebih muda umumnya mentoleransi TST lebih baik dan sedikit mengalami GVHD. Pasien yang lebih tua dan yang mempunyai komorbiditas biasanya ditawarkan serangkaian terapi imunusupresif. Pasien berusia lebih dari 20 tahun dengan hitung neutrofil 200-500/mm3 tampaknya lebih mendapat manfaaat dari imunosupresi dibandingkan TST. Secara umum, pasien dengan hitung neutrofil yang sangat rendah cenderung lebih baik dengan TST, karena dibutuhkan waktu yang lebih pendek untuk resolusi neutropenia (harus diingaat bahwa neutropenia pada pasien yang mendapat terapi imunosupresif mungkin baru membaik setelah 6 bulan). Untuk pasien usia menengah yang memiliki donor saudara yang cocok, rekomendasi terapi harus dibuat setelah memperhatikan kondisi kesehatan pasien secara menyeluruh, derajat keparahan penyakit, dan keinginan penyakit. Suatu alogaritme terapi dapat dipakai untuk panduan penatalaksanaan anemia aplastik. Anemia Aplastik Berat usia <35 tahun dengan HLA matched sibling usia >35 tahun atau tidak ada HLA matched sibling Transplantasi sumsum tulang ada respons Turunkan CSA dalam 6 bulan Terapi imunosupresif tidak ada respons Ulangi pemberian ATG/ALG tidak ada respons ada respons kambuh Ulangi terapi imunospresif tidak kambuh Follow-up teratur Faktor pertumbuhan hematopoietik atau androgen atau matched unrelated transplant

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 27

TERAPI KONSERVATIF Terapi Imunosupresif Terapi imunosupresif merupakan modalitas terapi terpenting untuk sebagian besar anemia aplastik. Obat-obatan yang termasuk dalam terapi imunosupresif adalah antithymocyte globulin (ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG) dan sislosporin A (CsA). Mekanisme kerja ATG atau ALG pada kegagalan sumsum tulang tidak diketahui dan mungkin melalui : Koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediaated pada sel asal, Stimulasi langsung atau tidak langsung hemopoeisis.

Regimen imunosupresi yang paling sering dipakai adalah ATG dari kuda (ATGam dosis 20 mg/kg per hari selama 4 hari) atau ATG kelinci (thymogoblin dosis 3,5 mg/kg per hari selama 5 hari) plus CsA (12-15 mg/kg, bid) umumnya sselama 6 bulan. Berdasarkan hasil penelitian pada pasien yang tidak berespons terhadap ATG kuda, ATG kelinci tampaknya sama efektifnya dengan ATG kuda. Angka respons terhadap ATG kuda bervariasi dari 70-80% dengan kelangsungan hidup 5 tahun 80-90%. ATG lebih unggul dibandingkan CsA, dan kombinasi ATG dan CsA memberikan hasil lebih baik dibandingkan ATG atau CsA saja. Penambahan granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF) dapat memulihkan neutropenia tetapi tidak menambah kelangsungan hidup. Namun respons awal G-CSF setelah terapi ATG merupakan faktor prognostik yang baik untuk respons secara keseluruhan. Secara umum, pasien yang berespons terhadap ATG/CsA mempunyai kelangsungan hidup yang sangat baik, sedangkan mereka yang refrakter mempunyai kelangsungan hidup yang kurang. Perhitungan pada 3 bulan setelah terapi ATG mempunyai korelasi yang baik dengan prognosis jangka panjang. Regimen imunosupresif yang lebih baru memakai mycophenolate mofetil, dan dalam konteks toksisitas CsA, Zenapax (anti-IL-2 receptor [CD25] monoclonal antibody) mungkin bermanfaat tetapi keampuhan obat-obat ini belum terbukti. Campath-1H saat ini juga sedang diuji untuk keadaan-keadaan refrakter untuk mengkaji potensi pemanfaatannya sebagai obat imunosupresif. Kegagalan terapi imunosupresif mungkin mencerminkan undertreatment atau kelelahan cadangan selsel sebelum pemulihan hematopoietik. Di samping itu, tidak adanya respons terapi mungkin juga disebabkan salah diagnosis atau adanya patogenesis non-imun, seperti anemia aplastik herediter. Relaps dapat disebabkan penghentian dini imunosupresi, dan hitung darah pasien sering masih tergantung pada CsA. Terapi induksi dengan regimen ATG masa kini atau bahkan siklofosfamid dapat pula tidak cukup untuk mengeliminasi selsel T autoimun. Pasien-pasien refrakter dapat diobati lagi dengan ATG multiple, yang dapat menghasilkan kesembuhan (salvage) pada sejumlah pasien. Suatu penelitian pada pasien refrakter dengan ATG kuda, ATG kelinci menghasilkan angka respons 50% dan kelangsungan hidup jangka panjang yang sangat baik. Siklofosfamid dosis tinggi telah dianjurkan sebagai terapi lini pertama yang efektif untuk anemia aplastik. Angka respons yang tinggi dikaitkan dengan pencegahan kekambuhan dan juga penyakit klonal. Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 28

Namun, sitopenia yang berkepanjangan menhasilkan toksisitas yang berlebihan akibat komplikasi neutropenik menyebabkan penghentian uji klinik. Follow-up jangka panjang pada pasien yang mendapat siklofosfamid memperlihatkan bahwa relaps dan penyakit klonal dapat terjadi setelah terapi ini. Oleh karena itu, penggunaan siklofosfamid hanya untuk kasus-kasus tertentu atau sebagai bagan dari uji terkontrol dengan spektrum indikasi yang sempit. ATG atau ALG diindikasikan pada : 1. Anemia aplastik bukan berat 2. Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok 3. Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun, dan pada saat pengobatan tidak terdapat infeksi atau pendarahan atau dengan granulosit lebih dari 200/mm3. Karena merupakan produk biologis, pada terapi ATG dapat terjadi reaksi alergi ringan sampai berat, sehingga selalu diberikan bersam-sama dengan kortikosteroid. Kortikosteroid ditambahkan untuk melawan penyakit serum intrinsik terhadap terapi ATG, yaitu prednison 1 mg/kgbb selama 2 minggu pertama pemberian ATG. Di samping itu, neutropenia dan trombositopenia yang ada akan semakin berat. Kira-kira 4060% pasien berespons terhadap ATG dalam 2-3 bulan (hampir tidak pernah dalam 2-3 minggu pertama). Walaupun tidak terjadi remisi total transfusi komponen darah tidak dibutuhkan lagi. Kira-kira 30-50% dari mereka yang berhasil akan kambuh lagi dalam 2 tahun berikutnya. Pada golongan pasien ini kebanyakan berespons bila diberi ATG. Kira-kira 25% pasien yang semula tidak memberikan respons, terjadi respons pada pemberian ATG 2-4 bulan setelah pemberian pertama. Siklosporin bekerja dengan menghambat aktivasi dan proliferasi prekursor lomfosit sitotoksik. Dosisnya adalah 3-10 mg/kgBB/hari per oral dan diberikan selama 4-6 bulan. Siklosporin dapat pula diberikan secara intravena. Angka keberhasilan setara dengan ATG. Pada 50% pasien yang gagal dengan ATG dapat berhasil dengan siklosporin. Kombinasi ATG, siklosporin dan metilprednisolon memberikan angka remisi sebesar 70% pada anemia aplastik berat, kombinasi ATG dan metilprednisolon angka remisi sebesar 46%. Dosis siklosporin yang diberikan 6 mg/kgBB peroral selam 3 bulan. Dosis metilprednisolon 5 mg/kg BB per oral setiap hari selama seminggu kemudian berangsur-angsur dikurangi selama 3 minggu.

Relaps Secara konseptual, analog dengan terapi penyakit keganasan, terapi imunusupresif intensif dengan ATG dapat dipandang sebagai terapi induksi, yang mungkin membutuhkan periode pemeliharaan lama dengan CsA atau bahkan re-induksi. Angka relaps setelah terapi imunusupresif adalah 35% dalam 7 tahun. Secara umum, relaps mempunyai prognosis yang baik dan kelangsungan hidup pasien tidak memendek. Pasien dengan hitung darah yang turun dapat menerima CsA, dan jika tidak berhasil, harus diberikan ATG ulang. Angka respons dapat dibandingkan dengan yang tampak pada ATG inisial. Pada beberapa contoh, ATG Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 29

kelinci dapat dipakai ketimbang ATG kuda. Siklofosfamid dosis tinggi telah disarankan untuk imunusupresi yang mencegah relaps. Namun, hal ini belum dikonfirmasi. Sampai kini, studi-studi dengan siklofosfamid memberikan lama respons lebih dari 1 tahun. Sebaliknya, 75% respons terhadap ATG adalah dalam 3 bulan pertama, dan relaps dapat terjadi dalam 1 tahun setelah terapi ATG.

Penyebab Kegagalan Terapi dan Relaps pada Anemia Aplastik Penyebab Kelelahan cadangan sel asal Imunosupresi tidak cukup Salah diagnosis Kegagalan sumsum tulang herediter Patogenesis non-imun Etiologi yang Mungkin Anemia aplastik diperantai imun Serangan imun persisten

Transplantasi Sumsum Tulang Regimen conditioning yang paling sering adalah siklofosfamid dan ATG dan telah terbukti lebih unggul dibandingkan regimen terdahulu yaitu siklofosfamid plus total thoracoabdominal irradiation. Perbaikan pada perawatan pasien dan terapi graft-versus-host disease telah membuat TST menjadi prosedur yang jauh lebih aman dan menjadikan TST suatu pilihan bagi lebih banyak pasien anemia aplastik. TST menyediakan alternatif terapi yang benar-benar kuratif berlawanan dengan komplikasi jangka panjang terapi IS konservatif, termasuk perkembangan MDS dan angka relaps tinggi. TST allogenik tersedia untuk sebagian kecil pasien (hanya sekitar 30% yang mempunyai saudara dengan kecocokan HLA). Dengan perbaikan umum, TST dapat memberikan kelangsungan hidup jangka panjang sebesar 94% (dengan donor saudara yang cocok). Hasil yang lebih baik telah dilaporkan pada pasien anak, tetapi tidak demikian halnya pada pasien yang lebih tua. Dengan demikian, TST harus ditawarkan sebagai pilihan kepada pasien anak dan dewasa muda yang memiliki donor cocok.. Batas usia untuk TST sebagai terapi primer belum dipastikan, namun pasien yang berusia lebih tua dari 30 -35 tahun, lebih baik dipilih terapi imunosupresif intensif sebagai upaya pertama. Transplatasi sumsum tulang alogenik dengan saudara kandung HLA-A,B,-DR-matched, mencapai angka keberhasilan remisi komplit permanen lebih dari 80% pada kelompok pasien terpilih yang berumur kurang dari 40 tahun dan bisa hidup lama. Makin meningkat umur, makin meningkat pula kejadian dan beratnya reaksi penolakan sumsum tulang donor yang disebut graft-versus-host disease (GVHD). Transplatasi sumsum tulang antara umur 40 50 tahun mengandung resiko meningkatnya GVHD dan mortalitas. Transplatasi sumsum tulang dapat dikerjakan. Pada umumnya, bila pasien berumur kurang dari 50 tahun yang gagal dengan ATG, dan mempunyai saudara kandung sebagai donor yang cocok maka pemberian transplatasi sumsum tulang perlu dipertimbangkan. Akan tetapi dengan pemberian imunosupresif sering diperlukan transfusi selama beberapa Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 30

bulan. Bila transfusi komponen darah sangat diperlukan, sedapat mungkin diambil dari mereka yang bukan potensial sebagai donor sumsum tulang untuk membatasi reaksi penolakan cangkokan ( graft rejection) yang kelak dapat mengurangi keberhasilan transplatasi sumsum tulang, karena antibodi yang terbentuk akibat transfusi. Pada pasien yang belum ditransfusi, 10 tahun setelah transplatasi sumsum tulang, yang hidup mencapai 81%, sedangkan bagi yang telah mendapat transfusi sebelumnya yang hidup hanya 46%.11 Kriteria respons Kelompok European Bone Marrow Transplatation (EBMT) mendefinisikan respons terapi sebagai berikut : Remisi komplit : bebas transfusi, granulosit sekurang-kurangnya 2000/mm, dan trombosit sekurangkurangnya 100.000/mm. Remisi sebagian : tidak tergantung pada transfusi, glanulosit dibawah 2000/mm, dan trombosit dibawah 100.000/mm. Refrakter : tidak ada perbaikan.

TERAPI SUPORTIF Bila terdapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa packed red cells sampai kadar hemoglobin 7 8 g% atau lebih pada orang tua dan pasien dengan penyakit kardiovaskular. Resiko pendarahan meningkat bila trombosit kurang dari 20.000/mm. Transfusi trombosit diberikan bila terdapat pendarahan atau kadar trombosit dibawah 20.000/mm (profilaksis). Pada mulanya diberikan trombosit donor acak. Transfusi trombosit konsentrat berulang dapat menyebabkan pembentukan zat anti terhadap trombosit donor. Bila terjadi sensitisasi, donor diganti dengan yang cocok HLA-nya (orang tua atau saudara kandung) atau pemberian gammaglobulin dosis terapi. Timbulnya sensitisasi dapat diperlambat dengan menggunakan donor tunggal. Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksis masih kontroversional dan tidak dianjurkan karena efek samping yang lebih parah daripada manfaatnya. Masa hidup leukosit yang ditransfusikan sangat pendek. Pada infeksi berat, khasiatnya hanya sedikit sehingga pemberian antibiotik masih diutamakan.

PROGNOSIS Riwayat alamiah anemia aplastik dapat berupa : 1. Berakhir dengan remisi sempurna. Hal ini jarang terjadi kecuali bila karena iatrogenik akibat kemoterapi dan radiasi. Remisi sempurna biasanya terjadi segera 2. Meninggal dalam 1 Tahun. Hal ini terjadi pada sebagian besar kasus 3. Bertahan Hidup selama 20 tahun atau lebih. Membaik dan bertahan hidup lama namun kebanyakan kasus mengalami remisi tidak sempurna.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 31

Jadi, pada anemia aplastik telah dibuat cara pengelompokan lain untuk membedakan antara anemia aplastik berat dengan prognosis yang lebih baik. Dengan kemajuan pengobatan prognosis menjadi lebih baik. Penggunaan imunosupresif dapat meningkatkan keganasan sekunder. Pada penelitian diluar negeri dari 103 pasien yang diobati dengan ALG, 20 Pasien diikuti jangka panjang berubah menjadi leukemia akut, mielodisplasia, PNH, dan adanya risiko terjadi hepatoma. Kejadian ini mungkin merupakan riwayat alamiah penyakit walaupun komplikasi tersebut lebih jarang ditemukan pada transplantasi sumsum tulang.

ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN

DEFINISI Anemia hemolitik autoimun (Autoimmune Hemolytic Anemia = AIHA/AHA) merupakan suatu kelainan di mana terdapat antibodi terhadap sel eritrosit sehingga umur eritrosit memendek.

PATOFISIOLOGI Aktivasi sistem komplemen akan menyebabkan membran sel eritrosit hancur sehingga terjadi hemolisis intravaskular. Ditandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuria. Sistem komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik ataupun jalur alternatif. Antibodi-antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah IgM, IgG1, IgG2, IgG3. IgM disebut sebagai aglutinin tipe dingin sebab berikatan dengan antigen polisakarida pada permukaan eritrosit pada suhu dibawah suhu tubuh. Antibodi IgG disebut sebagai aglutinin hangat karena bereaksi dengan antigen permukaan eritrosit pada suhu tubuh. Aktivasi komplemen jalur klasik berupa reaksi yang diawali dengan aktivasi C1 suatu protein yang dikenal sebagai recognition unit. C1 akan berikatan dengan kompleks imun antigen antibodi dan menjadi aktif serta mampu mengkatalisis reaksi-reaksi pada jalur klasik. Fragmen C1 akan mengaktifkan C4 dan C2 menjadi suatu kompleks C4b,2b (dikenal sebagai C3-convertase). C4b,2b akan memecah C3 menjadi fragmen C3b dan C3a. C3b mengalami perubahan konformational sehingga mampu berikatan secara kovalen dengan partikel yang mengaktifkan komplemen. C3 juga akan membelah menjadi C3d,g dan C3c. C3d dan C3g akan tetap berikatan pada membran eritrosit dan merupakan produk final aktivasi C3. C3b akan membentuk kompleks dengan C4b2b menjadi C4b2b3b (C5-convertase). C5-convertase akan memecah C5 menjadi C5a (anafilaktosin) dan C5b yang berperan dalam kompleks penghancur membran. Kompleks penghancur membran terdiri dari molekul C5b, C6, C7, C8, dan beberapa molekul C9. Kompleks ini akan menyisip ke dalam membran sel sebagai suatu aluran transmembran sehingga permeabilitas membran normal akan terganggu. Air dan ion akan masuk ke dalam sel sehingga sel membengkak dan ruptur. Aktivasi komplemen jalur alternatif berupa aktivator jalur alternatif akan mengaktifkan C3, dan C3b yang terjadi akan berikatan dengan membran eritrosit. Faktor B akan melekat pada C3b dan akan dipecah oleh faktor D menjadi faktor Ba dan Bb. Bb merupakan suatu protease serin dan tetap melekat pada C3b. Ikatan Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 32

C3bBb akan memecah C3 menjadi C3a dan C3b. C5 akan berikatan dengan C3b dan Bb dipecah menjadi C5a dan C5b. C5b berperan dalam penghancuran membran. Aktivasi selular yang menyebabkan hemolisis ekstravaskular berupa adanya sel darah yang disensitisasi dengan IgG yang tidak berikatan dengan komplemen atau berikatan dengan komponen komplemen namun tidak terjadi aktivasi komplemen lebih lanjut, maka eritrosit akan dihancurkan oleh sel-sel retikuloendotelial. Proses immune adherence ini sangat penting bagi perusakan eritrosit yang diperantarai sel. Immunoadherence, terutama yang diperantarai IgG-FcR akan menyebabkan fagositosis.

ETIOLOGI Etiologi pasti penyakit autoimun ini belum jelas, kemungkinan terjadi karena gangguan central tolerance, dan gangguan pada proses pembatasan limfosit autoreaktif residual.

KLASIFIKASI Anemia hemolitik autoimun dapat diklasifikasikan sebagai berikut : A. Anemia Hemolitik Auto Imun (AIHA) 1. AIHA tipe hangat a. Idiopatik b. Sekunder (karena limfoma, SLE) 2. AIHA tipe dingin a. Idiopatik b. Sekunder (infeksi mycoplasma, mononucleosis, virus, keganasan limforetikuler) 3. Paroxysmal Cold Hemoglobinuria a. Idiopatik b. Sekunder (viral, dan sifilis) 4. AIHA Atipik a. AIHA tes antiglobulin negatif b. AIHA kombinasi tipe hangat dan dingin B. C. AIHA induksi obat AIHA induksi aloantibodi 1. Reaksi Hemolitik Transfusi 2. Penyakit Hemolitik pada Bayi Baru Lahir

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 33

DIAGNOSIS Pemeriksaan yang digunakan untuk mendeteksi autoantibodi pada eritrosit : Direct Antiglobulin Test (Direct Coomb`s Test) Sel eritrosit pasien dicuci dari protein-protein yang melekat dan direaksikan dengan antiserum atau antibodi monoclonal terhadap berbagai imunoglobulin dan fraksi komplemen, terutama IgG dan C3d. Bila pada permukaan sel terdapat salah satu atau kedua IgG dan C3d maka akan terjadi aglutinasi. Indirect Antiglobulin Test (Indirect Coomb`s Test) Untuk mendeteksi autoantibodi yang terdapat pada serum. Serum pasien direaksikan dengan sel-sel reagen. Imunoglobulin yang beredar pada serum akan melekat pada sel-sel reagen dan dapat dideteksi dengan antiglobulin sera dengan

terjadinya aglutinasi.

ANEMIA HEMOLITIK AUTO IMUN TIPE HANGAT Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat, dimana autoantibodi bereaksi secara optimal pada suhu 37oC. Kurang lebih 50% pasien AIHA disertai penyakit lain. Gejala dan Tanda Gejala anemia terjadi perlahan-lahan, ikterik, dan demam. Pada beberapa kasus dijumpai perjalanan penyakit yang mendadak, disertai nyeri abdomen, dan anemia berat. Urin berwarna gelap karena terjadi hemoglobinuri. Ikterik terjadi pada 40% pasien. Pada AIHA idiopatik terjadi splenomegali (50-60%), hepatomegali (30%), dan limfadenopati (25%). Hanya 25% pasien tidak disertai pembesaran organ dan limfonodi. Laboratorium : Hemoglobin sering dijumpai dibawah 7 g/dL Pemeriksaan Coomb direk biasanya positif autoantibodi tipe hangat biasanya ditemukan dalam serum dan dapat dipisahkan dari sel eritrosit. Autoantibodi ini berasal dari kelas IgG dan bereaksi dengan semua sel

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 34

eritrosit normal. Autoantibodi tipe hangat ini biasanya bereaksi dengan antigen pada sel eritrosit pasien sendiri, misalnya antigen Rh. Prognosis dan Survival Hanya sebagian kecil pasien mengalami penyembuhan komplit dan sebagian besar memiliki perjalanan penyakit yang berlangsung kronik, namun terkendali. Survival 10 tahun berkisar 70%. Anemia, DVT, emboli paru, infark lien, dan kejadian kardiovaskular lain bisa terjadi selama periode penyakit aktif. Mortalitas selama 5-10 tahun sebesar 15-25%. Prognosis pada AIHA sekunder tergantung penyakit yang mendasari.

Terapi : Kortikosteroid : 1-1,5 mg/kgBB/hari Dalam 2 minggu sebagian besar akan menunjukkan respon klinis baik (Retikulosit meningkat, tes coomb direk positif lemah, tes coomb indirek negatif). Nilai normal dan stabil akan dicapai pada hari ke-30 sampai hari ke-90. Bila ada tanda respon terhadap steroid, dosis diturunkan tiap minggu 10-20 mg/hari. Terapi steroid dosis < 30 mg/hari diberikan secara selang sehari. Beberapa pasien akan memerlukan terapi rumatan dengan steroid dosis rendah, namun bila dosis perhari melebihi 15 mg/hari untuk mempertahankan kadar Hmt, maka perlu segera dipertimbangkan terapi dengan modalitas lain. Splenektomi Bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak bisa dilakukan tappering dosis selama 3 bulan, maka perlu dipertimbangkan splenektomi. Splenektomi akan menghilangkan tempat utama penghancuran sel darah merah. Hemolisis masih dapat terus berlangsung setelah splenektomi, namun akan dibutuhkan jumlah sel eritrosit terikat antibodi dalam jumlah yang jauh lebih besar untuk menimbulkan kerusakan eritrosit yang sama. Remisi komplit pasca splenektomi mencapai 50-75%, namun tidak bersifat permanen. Glukokortikoid dosis rendah masih sering digunakan setelah splenektomi. Imunosupresi Azathioprin 50-200 mg/hari (80 mg/m2), siklofosfamid 50-150 mg/hari (60 mg/m2). Terapi lain Danazol 600-800 mg/hari. Biasanya danazol dipakai bersama-sama steroid. Bila terjadi perbaikan, steroid diturunkan atau dihentikan dan dosis danazol diturunkan 200-400 mg/hari. Terapi imunoglobulin (400 mg/kgBB/hari selama 5 hari) menunjukkan perbaikan pada beberapa pasien, namun dilaporkan terapi ini juga tidak efektif pada beberapa pasien lain. Jadi terapi ini diberikan bersama terapi lain dan responnya bersifat sementara. Terapi plasmaferesis masih kontroversial. Terapi transfusi Terapi transfusi bukan merupakan kontraindikasi mutlak. Pada kondisi yang mengancam jiwa (misal Hb 3 g/dL) transfusi dapat diberikan, sambil menunggu steroid dan imunoglobulin untuk berefek. Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 35

ANEMIA HEMOLITIK AUTO IMUN TIPE DINGIN Terjadinya hemolisis diperantarai antibodi dingin yaitu aglutinin dingin dan antibodi DonathLandstainer. Kelainan ini secara karakteristik memiliki aglutinin dingin IgM monoclonal. Spesifitas aglutinin dingin adalah terhadap antigen I/i. sebagian besar IgM mempunyai spesifisitas terhadap anti-I memiliki VH434. Pada umumnya aglutinin tipe dingin ini terdapat pada titer yang sangat rendah, dan titer ini akan meningkat pesat pada fase penyembuhan infeksi. Antigen I/i bertugas sebagai reseptor mikoplasma yang akan menyebabkan perubahan presentasi antigen dan menyebabkan produksi autoantibodi. Pada limfoma sel B, aglutinin dingin ini dihasilkan oleh sel limfoma. Aglutinin tipe dingin akan berikatan dengan sel darah merah dan terjadi lisis langsung dan fagositosis. Gambaran Klinis Sering terjadi aglutinasi pada suhu dingin. Hemolisis berjalan kronik. Anemia biasanya ringan dengan Hb 9-12 g/dL. Sering didapatkan akrosianosis dan splenomegali. Laboratorium : Anemia ringan, sferositosis, polikromatosia, tes Coombs positif, anti-I, anti-PR, anti-M, atau anti-P. Prognosis dan Survival: Pasien dengan sindroma kronik akan memiliki survival yang baik dan cukup stabil. Terapi : Menghindari udara dingin yang dapat memicu hemolisis Prednison dan splenektomi tidak banyak membantu Chlorambucil 2 4 mg/hari Plasmaferesis untuk mengurangi antibodi Ig-M secara teoritis dapat mengurangi hemolisis, namun secara pratek sulit dilakukan.

PAROXYSMAL COLD HEMOGLOBINURIA Merupakan bentuk anemia hemolitik yang jarang dijumpai, hemolisis terjadi secara masif dan berulang setelah terpapar suhu dingin. Dahulu penyakit ini sering ditemukan, karena berkaitan dengan penyakit sifilis. Pada kondisi ekstrim autoantibodi Donath-Landsteiner dan protein komplemen berikatan pada sel darah merah. Pada saat suhu kembali 370C, terjadilah lisis karena propagasi pada protein-protein komplemen yang lain. Gambaran Klinis : AIHA (2-5%), hemolisis paroksismal disertai menggigil, panas, mialgia, sakit kepala, hemoglobinuri berlangsung beberapa jam. Sering disertai dengan urtikaria. Laboratorium : Hemoglobinuria, sferositosis, eritrofagositosis. Tes Coomb positif, antibodi Donath-Landsteiner terdisosiasi dari sel darah merah.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 36

Prognosis dan Survival Pengobatan penyakit yang mendasari akan memperbaiki prognosis. Prognosis pada kasus-kasus idiopatik pada umumnya juga baik dengan survival yang panjang. Terapi: menghindari faktor pencetus. Glukokortikoid dan splenektomi tidak ada manfaatnya.

ANEMIA HEMOLITIK AUTO IMUN DIINDUKSI OBAT Ada beberapa mekanisme yang menyebabkan hemolisis karena obat, yaitu : hapten/penyerapan obat yang melibatkan antibodi tergantung obat, pembentukan kompleks ternary (mekanisme kompleks imun tipe innocent bystander), induksi autoantibodi yang bereaksi terhadap eritrosit tanpa ada lagi obat pemicu, serta oksidasi hemoglobin. Penyerapan/absorbsi protein nonimunologis terkait obat akan menyebabkan tes Coomb positif tanpa kerusakan eritrosit. Pada mekanisme hapten/absorbsi obat, obat akan melapisi eritrosit dengan kuat. Antibodi terhadap obat akan dibentuk dan bereaksi dengan obat pada permukaan eritrosit. Eritrosit yang teropsonisasi oleh obat tersebut akan dirusak di limpa. Antibodi ini bila dipisahkan dari eritrosit hanya bereaksi dengan reagen yang mengandung eritrosit berlapis obat yang sama (misal penisilin). Mekanisme pembentukan kompleks ternary melibatkan obat atau metabolit obat, tempat ikatan obat permukaan sel target, antibodi, dan aktivasi komplemen. Antibodi melekat pada neoantigen yang terdiri dari ikatan obat dan eritrosit. Ikatan obat dan sel target tersebut lemah, dan antibodi akan membuat stabil dengan melekat pada obat ataupun membran eritrosit. Beberapa antibodi tersebut memiliki spesifitas terhadap antigen golongan darah tertentu seperti Rh, Kell, Kidd, atau I/i. Pemeriksaan Coomb biasanya positif. Setelah aktivasi komplemen terjadi hemolisis intravaskular, hemoglobinemia dan hemoglobinuria. Mekanisme ini terjadi pada hemolisis akibat obat kinin, kuinidin, sulfonamide, sulfonilurea dan thiazide. Banyak obat menginduksi pembentukan autoantibodi terhadap eritrosit autolog, seperti contoh metildopa. Metildopa yang bersirkulasi dalam plasma akan menginduksi autoantibodi spesifik terhadap antigen Rh pada permukaan sel darah merah. Jadi yang melekat pada permukaan sel darah merah adalah autoantibodi, obat tidak melekat. Mekanisme bagaimana induksi formasi autoantibodi ini tidak diketahui. Sel darah merah bisa mengalami trauma oksidatif. Oleh karena hemoglobin mengikat oksigen maka bisa mengalami oksidasi dan kerusakan akibat zat oksidatif. Tanda hemolisis karena proses oksidasi adalah dengan ditemukannya methemoglobin, sulfhemoglobin, dan Heinz bodies, blister cell, bites cell dan eccentrocytes. Contoh obat yang menyebabkan hemolisis oksidatif ini adalah nitrofurantoin, phenazopyridin, aminosalicylic acid. Pasien yang mendapat terapi sefalosporin, biasanya tes Coomb positif karena absorbsi nonimunologis, imunoglobulin, komplemen, albumin, fibrinogen, dan plasma protein lain pada membran eritrosit. Gambaran Klinis Riwayat pemakaian obat tertentu positif Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 37

Pasien yang timbul hemolisis melalui mekanisme hapten atau autoantibodi biasanya bermaniestasi sebagai hemolisis ringan sampai sedang. Bila kompleks ternary yang berperan maka hemolisis akan terjadi secara berat, mendadak dan disertai gagal ginjal. Bila pasien sudah pernah terpapar obat tersebut, maka hemolisis sudah dapat terjadi pada pemajanan dengan dosis tunggal. Laboratorium : Anemia, retikulosis, MCV tinggi, tes Coomb positif, leukopenia, trombositopenia, hemoglobinemia, hemoglobinuria sering terjadi pada hemolisis yang diperantarai kompleks ternary. Terapi : Menghentikan pemakaian obat yang menjadi pemicu, hemolisis dapat dikurangi Kortikosteroid dan tranfusi darah dapat diberikan pada kondisi berat.

ANEMIA HEMOLITIK ALLOIMUN KARENA TRANSFUSI Hemolisis aloimun yang paling berat adalah reaksi tranfusi akut yang disebabkan karena ketidakseimbangan ABO eritrosit (contoh : tranfusi PRC golongan A pada pasien golongan darah O yang memiliki antibodi IgM anti-A pada serum) yang akan memicu aktivasi komplemen dan terjadi hemolisis intravaskular yang akan menimbulkan DIC dan infark ginjal. Dalam beberapa menit pasien akan sesak nafas, demam, nyeri pinggang, menggigil, mual-muntah, dan syok. Reaksi tranfusi tipe lambat terjadi 3-10 hari setelah tranfusi, biasanya disebabkan karena adanya antibodi dalam kadar rendah terhadap antigen minor eritrosit. Setelah terpapar dengan sel-sel antigenik, antibodi tersebut meningkat pesat kadarnya dan menyebabkan hemolisis ekstravaskular.

ANEMIA HEMOLITIK NON IMUN Anemia hemolisis adalah kadar hemoglobin kurang dari normal akibat kerusakan sel eritrosit yang lebih cepat dari kemampuan sumsum tulang untuk menggantikannya.

ETIOLOGI dan KLASIFIKASI Pada prinsipnya anemia hemolisis dapat terjadi karena : 1. Defek molekular : hemoglobinopati atau enzimopati 2. Abnormalitas struktur dan fungsi membran-membran 3. Faktor lingkungan seperti trauma mekanik atau autoantibodi Berdasarkan etiologinya, anemia hemolisis dapat dikelompokkan menjadi : I. Anemia Hemolisis Herediter a. Defek enzim/enzimopati i. Defek jalur Embden Meyerhof Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 38

Defisiensi piruvat kinase Defisiensi glukosa fosfat isomerase Defisiensi fosfogliserat kinase ii. Defek jalur heksosa monofosfat Defisiensi glukosa 6 fosfat dehidrogenase (G6PD) Defisiensi glutation reduktase b. Hemoglobinopati i. Thalasemia ii. Anemia sickle cell iii. Hemoglobinopati lain c. Defek membran (membranopati) : sferositosis herediter II. Anemia Hemolisis Didapat a. Anemia hemolisis imun, misal : idiopatik, keganasan, obat-obatan, kelainan autoimun, infeksi, tranfusi b. Mikroangiopati, misal : Trombotik Trombositopenia Purpura (TTP), Sindrom Uremik Hemolitik (SUH), Koagulasi intravaskular diseminata (KID/DIC), preeklampsia, eklampsia, hipertensi maligna, katup prostetik. c. Infeksi, misal : infeksi malaria, infeksi babesiosis, infeksi clostridium. Berdasarkan ketahanan hidupnya dalam sirkulasi darah resipien, anemia hemolisis dapat dikelompokkan menjadi :

1. Anemia hemolisis intrakorpuskular


Sel eritrosit pasien tidak dapat bertahan hirup di sirkulasi darah resipien yang kompatibel, sedangkan sel eritrosit kompatibel normal dapat bertahan hidup di sirkulasi darah pasien.

2. Anemia hemolisis ekstrakorpuskular


Sel eritrosit pasien dapat bertahan hidup di sirkulasi darah resipien yang kompatibel, tetapi sel eritrosit kompatibel normal tidak dapat bertahan hidup di sirkulasi darah pasien.

PATOFISIOLOGI Hemolisis dapat terjadi intravaskular dan ekstravaskular. Hal ini tergantung pada patologi yang mendasari suatu penyakit. Pada hemolisis intravaskular, destruksi eritrosit terjadi langsung di sirkulasi darah. Misalnya trauma mekanik, fiksasi komplemen dan aktivasi sel permukaan atau infeksi yang langsung mendegradasi dan mendestruksi membran sel eritrosit. Hemolisis intravaskular jarang terjadi. Hemolisis yang lebih sering adalah hemolisis ekstravaskular, dimana destruksi sel eritrosit dilakukan oleh sistem retikuloendotelial karena sel eritrosit yang telah mengalami perubahan membran tidak dapat melintasi sistem retikuloendotelial sehingga difagositosis oleh makrofag. Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 39

MANIFESTASI KLINIS Penegakkan diagnosis anemia hemolisis memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti. Pasien mungkin mengeluh lemah, pusing, cepat capek dan sesak. Pasien mungkin juga mengeluh kuning dan urinnya kecoklatan, meski jarang terjadi. Riwayat pemakaian obat-obatan dan terpajan toksin serta riwayat keluarga merupakan informasi penting yang ditanyakan saat anamnesis. Pada pemeriksaan fisik ditemukan kulit dan mukosa kuning. Splenomegali didapati pada beberapa anemia hemolitik. Pada anemia berat dapat ditemukan takikardi dan aliran murmur pada katup jantung. Selain hal-hal umum yang dapat ditemukan pada anemia hemolisis diatas, perlu dicari saat anamnesis dan pemeriksaan fisik hal-hal yang bersifat khusus untuk anemia hemolisis tertentu. Misalnya, ditemukan ulkus tungkai pada anemia sickle cell.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM Retikulositosis merupakan indikator terjadinya hemolisis Retikulositosis mencerminkan adanya hiperplasi eritroid di sumsum tulang tetapi biopsi sumsum tulang tidak selalu diperlukan. Retikulositosis dapat diamati segera, 3-5 hari setelah penurunan hemoglobin. Diagnosis banding retikulositosis adalah perdarahan aktif, mielofisis dan perbaikan supresi eritropoeisis. Anemia normositik Anemia pada hemolisis biasanya normositik, meskipun retikulositosis meningkatkan ukuran Mean Corpuscular Volume. Morfologi eritrosit dapat menunjukkan adanya hemolisis dan penyebabnya. Misalnya sferosit pada sferositosis herediter, anemia hemolitik autoimun; sel target pada thalasemia, hemoglobinopati, penyakit hati; schistosit pada mikroangiopati, prostesis intravaskular. Peningkatan laktat dehidrogenase (LD) terutama LDH 2 dan SGOT dapat menjadi bukti adanya percepatan destruksi eritrosit (jika tidak ada kerusakan jaringan organ lain). Baik hemolisis intravaskular dan ekstravaskular meningkatkan katabolisme heme dan pembentukan bilirubin tidak terkonjugasi. Hemoglobin bebas hasil hemolisis berikatan dengan haptoglobin. Hemoglobin-haptoglobin ini segera dibersihkan oleh hati hingga kadar haptoglobin menjadi rendah sampai tidak terdeteksi. Pada hemolisis intravaskular kadar hemoglobin bebas dapat melebihi kadar haptoglobin sehingga hemoglobin bebas difiltasi glomerulus dan direabsorbsi oleh tubulus proksimal dan mengalami metabolisme. Hasil metabolisme di ginjal ini menghasilkan ikatan antara besi heme dengan simpanan protein (feritin dan hemosiderin). Selanjutnya hemosiderin dikeluarkan ke urin dan terdeteksi sebagai hemosiderinuria. Pada hemolisis intravaskular yang masif, ambang kapasitas absorpsi hemoglobin oleh tubulus proksimal terlewati, sehingga hemoglobin dikeluarkan ke urin dalam bentuk hemoglobinuria.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 40

ENZIMOPATI Pada sel eritrosit terjadi metabolisme glukosa untuk menghasilkan energi (ATP). ATP digunakan untuk kerja pompa ionik dalam rangka mempertahankan milieu ionik yang cocok bagi eritrosit. Sebagian kecil energi hasil metabolisme tersebut digunakan juga untuk penyediaan besi hemoglobin dalam bentuk ferro. Pembentukan ATP ini berlangsung melalui jalur Embden Mcyerhof yang melibatkan sejumlah enzim seperti glukosa fosfat isomerase dan piruvat kinase. Selain digunakan untuk membentuk energi, sebagian kecil glukosa mengalami metabolisme dalam eritrosit melalui jalur heksosa monofosfat dengan bantuan enzim glukosa 6 fosfat dehidrogenase (G6PD) untuk menghasilkan glutation yang penting untuk melindungi hemoglobin dan membran eritrosit dari oksidan. Defisiensi enzim piruvat kinase, glukosa fosfat isomerase dan glukosa 6 fosfat dehidrogenase dapat mempermudah dan mempercepat hemolisis. Berturut-turut prevalensi tersering kejadian defisiensi enzim tersebut adalah G6PD, piruvat kinase, dan glukosa fosfat isomerase. Defek Jalur Heksosa Monofosfat Metabolisme glukosa melalui jalur ini meningkat beberapa kali ketika eritrosit terpajan dengan obatobatan atau toksin yang membentuk radikal oksigen. Dengan ini terjadi regenerasi glutation tereduksi, perlindungan gugus sulfhidril hemoglobin dan membran eritrosit dari oksidasi. Jika jalur ini terganggu oleh faktor herediter, maka kadar glutation tereduksi yang adekuat tidak dapat dipertahankan sehingga gugus sulfhidril hemoglobin teroksidasi, terpresipitasi dalam eritrosit dan membentuk Heinz bodies. Terganggunya jalur ini dapat disebabkan oleh defisiensi G6PD dan glutation reduktase. Namun demikian, kelainan pada glutation reduktase belum terbukti berhubungan bermakna dengan hemolisis. Defisiensi G6PD Defisiensi enzim ini paling sering mengakibatkan hemolisis. Enzim ini dikode oleh gen yang terletak di kromosom X, sehingga defisiensi G6PD lebih sering mengenai laki-laki dan pada perempuan biasanya carrier dan asimptomatik. G6PD normal disebut tipe B. Diantara varian yang bermakna secara klinik adalah tipe A-. Tipe ini terutama ditemukan pada orang keturunan Afrika. Tipe Mediteranian relatif sering ditemukan diantara orang Mediteranian asli dan lebih berat dari varian A- karena dapat mengakibatkan anemia hemolitik nonsferositosis tanpa adanya stres oksidatif yang jelas. Obat-obatan atau zat yang dapat mempresipitasi hemolisis pada pasien dengan defisiensi G6PD adalah: asetanilid, fuzolidon (furokson), isobutil nitrit, metilen blue, asam nalidiksat, naftalen, niridazol, nitrofurantoin, fenazopiridin (piridium), primakuin, pamakuin, dapson, sulfasetamid, sulfametoksazol, sulfapiridin, tiazolsulfon, toluidin blue, trinitotoluen, urat oksidase, vit K, doksorubisin. Asidosis metabolik juga dapat mempresipitasi hemolisis pada pasien defisiensi G6PD. Hemolisis akut terjadi beberapa jam setelah terpajan dengan oksidan, kemudian diikuti hemogobinuria dan kolaps pembuluh darah perifer pada kasus yang berat. Hemolisis biasanya self-limited karena yang mengalami destruksi hanya populasi eritrosit yang tua saja. Ketika hemolisis akut, hematokrit turun cepat diiringi oleh peningkatan hemoglobin dan bilirubin tak terkonjugasi dan penurunan haptoglobin. Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 41

Hemoglobin mengalami oksidasi dan membentuk Heinz bodies yang tampak pada pewarnaan supravital dengan violet kristal. Heinz bodies tampak pada hari pertama atau sampai ketika badan inklusi ini siap dikeluarkan oleh limpa sehingga membentuk bite cells. Sebagian kecil pasien defisiensi G6PD ada yang sangat sensitif dengan fava beans (buncis) dan dapat mengakibatkan krisis hemolisis fulminan setelah terpajan. Diagnosis G6PD dipikirkan jika ada hemolisis akut pada laki-laki keturunan Afrika atau Mediteranian. Pada anamnesis perlu ditanyakan tentang kemungkinan terpajan dengan zat-zat oksidan, misalnya obat atau zat yang telah disebutkan diatas. Pada pasien dengan defisiensi G6PD tipe A-, hemolisis terjadi self-limited sehingga tidak perlu terapi khusus kecuali terapi untuk infeksi yang mendasari dan hindari obat-obatan atau zat yang mempresipitasi hemolisis serta mempertahankan aliran ginjal yang adekuat karena adanya hemoglobinuria saat hemolisis akut. Defek Jalur Embden Meyerhof Enzim yang dapat terganggu pada jalur ini dan mengakibatkan anemia hemolisis adalah piruvat kinase, glukosa fosfat isomerase dan fosfogliserat kinase. Defek enzim glikolisis ini biasanya diturunkan secara autosomal resesif kecuali fosfogliserat kinase yang diturunkan terkait seks. Kelainan ini mengakibatkan eritrosit kekurangan ATP dan ion kalium keluar sel. Sel eritrosit menjadi kaku dan lebih cepat disekuestrasi oleh sistem fagosit mononuklir. Defisiensi piruvat kinase hanya mengenai sel eritrosit, sedangkan defisiensi glukosa fosfat isomerase dan fosfogliserat kinase juga mengenai sel leukosit meskipun tidak mempengaruhi fungsi leukosit. Beratnya anemia bervariasi dan gejalanya relatif ringan karena terjadi disosiasi kurva hemoglobin ke kanan. Hemolisis berat terjadi pada masa awal kanak-kanak dengan anemia, ikterus dan splenomegali. Anemia pada pasien ini berupa anemia normositik normokrom dengan retikulositosis. Pada defisiensi piruvat kinase dapat ditemukan eritrosit bizzare diantaranya sel prickle terutama setelah splenektomi. Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan enzimatik khusus dengan menggunakan konsentrasi substrat yang sesuai untuk mendeteksi varian-varian berafinitas rendah terhadap substrat. Sebagian besar pasien tidak membutuhkan terapi kecuali pasien dengan hemolisis berat harus diberikan asam folat 1 mg/hari. Transfusi darah diperlukan ketika kritis hipoplastik. Splenektomi bermanfaat pada pasien dengan defisiensi piruvat kinase dan glukosa fosfat isomerase. Dengan splenektomi retikulosit di sirkulasi meningkat.

Paroxysmal Nocturnal Haemoglobinuria (PNH) PNH ditandai oleh penurunan jumlah sel darah merah (anemia) serta terdapatnya darah di dalam urin (hemoglobinuria) dan plasma (hemoglobinemia) yang terjadi setelah tidur. Pasien PNH berisiko tinggi mengalami krjadian trombosis mayor, terbanyak trombosis pada aorta abdominalis. Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 42

Penyebab kelainan ini adalah defisiensi enzim PIG-A (phosphatidylinositol glycan class A) yang diperlukan untuk sintesis protein pengikat sel. Bila terdapat gangguan pembentukkannya protein permukaan yang melindungi sel dari komplemen hilang, sehingga memudahkan penghancuran sel darah. Tiga manifestasi yang sering terjadi adalah anemia hemolitik, trombosis vena dan gangguan hematopoesis. Hemoglobinuria dan hemosiderinuria berkala terjadi pada kebanyakan pasien. Granulositopenia dan trombositopenia sering terjadi, menandakan adanya gangguan hematopoesis. PNH perlu dicurigai pada pasien dengan anemia hemolitik yang tidak diketahui penyebabnya, terutama bila disertai leukopenia dan atau trombositopenia serta terdapat tanda hemolisis intravaskuler (hemoglobinemia, hemoglobinuria dan peningkatan LDH). Transfusi sel darah merah merupakan terapi terbaik, tidak hanya meningkatkan kadar Hb tetapi juga menekan produksi sel darah merah di sumsum tulang selama hemoglobinuria. Pemberian preparat glukokortikoid (prednison 60mg/hari) dapat menurunkan kecepatan hemolisis.

ANEMIA PASCA PERDARAHAN Anemia karena perdarahan terbagi atas : A. Perdarahan akut Mungkin timbul renjatan bila pegeluaran darah cukup banyak, sedangkan penurunan kadar Hb baru terjadi beberapa hari kemudian. Tanda-tanda klasik perdarahan akut yaitu : lemah, gelisah, pucat, rasa haus, banyak berkeringat, nafsu cepat dan dangkal, nadi cepat dan lemah, tekanan darah dan tekanan nadi turun. Gejala-gejala berikutnya yaitu rasa dingin pada ektremitas, nausea, pusing, kehilangan kesadaran sampai shock. Tetapi harus diingat bahwa takikardi yang timbul mungkin bukan hanya disebabkan oleh kehilangan darah saja, trauma dan faktor refleks yang berhubungan dengan perdarahan juga turut berpengaruh. Penatalaksanaan o o Mengatasi perdarahan Mengatasi renjatan dengan transfusi darah atau pemberian cairan per infus

B. Perdarahan kronik Pengeluaran darah biasanya sedikit sedikit sehingga tidak diketahui pasien. Penyebab yang sering antara lain adalah ulkus peptikum, menometroragi, perdarahan saluran cerna pemakaian analgetik, dan epistaksis. Pemeriksaan laboratorium: o Gambaran anemia sesuai dengan anemia defisiensi Fe. Perdarahan pada saluran cerna akan memberikan hasil positif pada tes benzidin pada tinja. Penatalaksanaan:

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 43

o o

Mengobati sebab perdarahan Pemberian preparat Fe

Pada pasca perdarahan yang menimbulkan anemia gambaran darah adalah normositik dengan MCV dan MCH normal. Morfologi eritrosit mungkin sedikit anisositosis, sedikit poikilositosis dan hipokrom ringan. Perdarahan yang dapat menimbulkan anemia adalah perdarahan yang cepat, yang terjadi tiba-tiba atau tidak. Penyebabnya bisa trauma, rupture ulkus peptikum, komplikasi penyakit lain, misalnya KET, typhoid, purpura trombositopeni, leukemia akut, anemia aplastik, dan lain-lain. Gejala-gejala yang timbul bergantung kepada besar dan kecepatan perdarahan, juga letaknya (ke dalam atau ke luar tubuh). Seseorang dapat bertahan pada kehilangan darah sampai 50 % asalkan terjadinya cukup lama, lebih dari 24 jam. Akan tetapi kematian dapat terjadi cepat pada kehilangan darah 1/3 dari volume darah total atau sekitar 1500 2000 ml pada orang dewasa. Tanda-tanda klasik perdarahan akut : lemah, gelisah, pucat, rasa haus, banyak berkeringat, napas cepat dan dangkal, nadi cepat dan lemah, tekanan darah dan tekanan nadi turun. Gejala-gejala berikutnya rasa dingin pada ekstremitas, nausea, pusing, kehilangan kesadaran sampai shock. Pemeriksaan Laboratorium Yang pertama-tama terjadi dalam 1 jam setelah perdarahan akut adalah peningkatan jumlah trombosit (bisa sampai 1 juta/mm3). Kemudian masa perdarahan memendek, lalu terjadi lekositosis ringan (10.000 35.000/mm3) dengan shift to the left yang akan mencapai puncaknya pada jam ke 2 - 5. Retikulositosis baru timbul setelah 24 48 jam dan mencapai puncak antara hari ke 4 7 sekitar 5 15 %. Pada keadaan normal regenerasi terjadi cepat walau tanpa pengobatan. Ini terlihat dari polikromatofilia yang dapat memberikan gambaran makrositer, bahkan dapat ditemukan sel blast dalam darah tepi (normoblast). Pada orang normal dengan diet cukup, cadangan bahan pembentuk darah adekuat tidak akan timbul gambaran mikrositik. Dalam 4 6 minggu jumlah eritrosit kembali baik, kadar Hb dalam 6 8 minggu, sedang gambaran darah kembali normal dalam 2 minggu, hitung lekosit setelah 3 4 hari. Gambaran sumsum tulang menunjukkan eritropoesis yang aktif sekali dengan predominansi rubrisit dan prorubrisit.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 44

ANEMIA MEGALOBLASTIK
PENDAHULUAN
Anemia megaloblastik merupakan kelainan yang disebabkan oleh gangguan sintesis DNA dan ditandai oleh sel megaloblastik. Kebanyakan anemia megaloblastik disebabkan karena defisiensi vitamin B12 (kobalamin) dan atau asam folat.

KLASIFIKASI ANEMIA MEGALOBLASTIK Defisiensi Kobalamin Asupan tidak cukup (vegetarian) Malabsorbsi o o o o o Defek penyampaian dari kobalamin dari makanan (achlorhidria gaster, gastrektomi, obatobatan yang menghalangi sekresi asam) Produksi factor intrinsik yang tidak mencukupi (anemia pernisiosa, gastrektomi total, abnormalitas fungsional) Gangguan dari ileum terminalis (sprue tropical, sprue non tropical, enteritis regional, reseksi intestinum, neoplasma dan gangguan granulomatosa) Kompetisi pada kobalamin (fish tapeworm (Diphylobotrium latum), bakteri blind loop syndrome) Obat-obatan (p-aminosalicylic acid, kolkisin, neomisin) lain-lain (nitrous oxide (NO) anesthesia, defisiensi transkobalamin II, defek enzim kongenital. Defisiensi Asam Folat Asupan yang tidak adekuat (diet yang tidak seimbang) Keperluan yang meningkat (kehamilan, bayi, keganasan, peningkatan hematopoesis, hemolisis) Malabsobsi (sprue tropical, sprue non tropical, obat-obatan seperti phenytoin, barbiturat) Metabolisme yang terganggu (penghambat dihydrofolat reductase (metotrexate, pirimetamin, triamteren, pentamidin, trimetoprin), alkohol) Sebab sebab lain: Obat-obat yang mengganggu metabolism DNA (antagonis purin (6-merkaptopurin, azatioprin,dll), antagonis pirimidin (5-florourasil, sitosin, arabinose,dll). Lain-lain: prokarbazin, hidoksiurea, acyclovir, zidovudin Gangguan metabolik (asiduria urotik herediter, sindrom Lesch-Nyhan) Anemia megaloblastik dengan penyebab tak diketahui (anemia megaloblastik refrakter, sindrom Diguglielmo, anemia diseritropoetik kongenital) Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 45

ASAM FOLAT DAN VITAMIN B12 Asam folat dan vitamin B12 adalah zat yang berhubungan dengan unsur makanan yang sangat penting bagi tubuh. Peran utama asam folat dan vitamin B12 ialah dalam metabolisme intraselular. Adanya defisiensi kedua zat tersebut akan menghasilkan tidak sempurnanya sintesis DNA pada tiap sel, dimana pembelahan kromosom sedang terjadi. Asam folat adalah nama yang biasa diberikan pada asam pteroylmonoglutamic. Zat ini disintesis pada banyak macam tanaman dan bakteri. Buah-buahan dan sayur merupakan sumber diet utama dari vitamin. Keperluan minimal tiap hari secara normal kurang lebih 50g dan akan meningkat sejalan dengan peningkatan metabolisme seperti pada kehamilan. Defisiensi folat merupakan komplikasi yang sering terjadi pada penyakit usus halus karena penyakit tersebut dapat mengganggu absorbsi folat dari makanan dan resirkulasi folat lewat siklus enterohepatik. Pada alkoholisme akut atau kronik, asupan harian folat dalam makanan akan terhambat dan siklus enterohepatik akan terganggu oleh efek toksik dari alkohol pada sel parenkim hati, hal ini yang menjadi penyebab utama dari defisiensi folat yang menimbulkan eritropoesis megaloblastik. Folat sangat penting untuk sintesis de novo purin, deoksitimidilat monofosfat (dTMP) dan metionin. Gambaran klinik anemia megaloblastik : Agak ikterus oleh karena pemecahan hemoglobin berlebihan (eritropoesis inefektif meningkat). Juga karena umur eritrosit memendek. Defisiensi vitamin B12 berat disertai neuropati progresif pada saraf-saraf sensorik perifer dan spinalis. Neuropati ini bersifat simetris, lebih mengenai tungkai daripada lengan. Anemia bisa ada, ringan atau berat, tetapi gambaran darah tepi dan sumsum tulang selalu abnormal

Pemeriksaan Laboratorium : Darah tepi : Anemia normokrom makrositik (makroovalosit), poikilositosis, anisositosis, juga dapat ditemukan bintik-bintik basofil, Howel Jolly Bodies, dan cincin Cabot dalam eritosit MCV > 95 fl, dengan makrosit yang oval Netropenia dengan sel besar dan hipersegmentasi Trombositopenia, giant thrombocytes

Sumsum tulang : Hiperplasia megaloblastik seri eritrosit dan granulosit, predominansi prorubrisit dengan sel besar besar : metamielosit dan sel batang raksasa. Perubahan morfologik ditemukan pada semua sel yaitu hambatan pematangan inti. Perkembangan sitoplasma eritrosit normal.

Schilling Test

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 46

Vitamin B12 yang sudah ditandai dengan

60

Co diberikan per oral sebanyak 0,5 ug; sebelumnya

disuntikkan sejumlah besar (1.000 ug) vitamin B12 biasa. Kemudian absorbsi vitamin B12 radioaktif diukur menurut ekskresinya dalam urin tampung 24 jam. Normal paling sedikit 5 % vitamin B12 radioaktif yang diekskresikan. Jika kurang berarti ada gangguan absorbsi. Theurapeutic Test Diberikan asam folat dosis rendah (1 mg) jika respon hematologik baik berarti ada defisiensi folat.

ANEMIA DEFISIENSI B12 / ANEMIA PERNISIOSA Kadar normal dalam darah 160-925 ug/l. Kekurangan vitamin B12 dapat disebabkan oleh : a. Kekurangan asupan dari makanan Bahan makanan yang kaya akan vitamin B12 adalah bahan makanan yang berasal dari hewan terutama hati b. Kekurangan faktor intrinsik 1. Faktor intrinsik adalah suatu mukoprotein yang dibentuk mukosa fundus lambung yang fungsinya membantu penyerapan vitamin B12 di usus halus. 2. Kekurangan faktor ini bisa : a) Primer: Anemia Pernisiosa b) Sekunder, misalnya post gastrektomi, kerusakan mukosa lambung oleh bahan korosif c) Fungsinya yang tidak baik c. Gangguan absorbsi vitamin B12 di ileum (malabsorbsi) : 1. Kompetisi biologik : dengan kuman-kuman usus yang tumbuh berlebihan atau dengan cacing Diphylobotrium latum 2. Karena penyakit pankreas kronik 3. Pada Sindroma Zollinger Ellison, di mana pH usus yang rendah mengganggu absorbsi vitamin B12 d. Diinduksi obat-obatan, misalnya : PAS, kolkisin, neomisin e. Penyakit ileum, misalnya : ileitis terminalis, reseksi ileum f. Familial selective vit. B12 malabsorption

Manifestasi klinis Didapat anoreksia, diare, dyspepsia, lidah yang licin, pucat dan agak ikterik. Terjadi gangguan neurologis, dimulainya parestesia, lalu gangguan keseimbangan, pada kasus yang berat terjadi perubahan fungsi serebral, demensia, dan perubahan neoropsikiatrik lainnya. Pemeriksaan penunjang Sel darah merah besar-besar (makrostik), MCV > 100 fmol/I, neutrofil hiperpegmentasi, gambaran sumsum tulang megaloblastik. Sering ditemukan gastristis atrofik, sehingga kadar vitamin B12 serum kurang dari 100 pg/ml. Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 47

Penatalaksanaan Pemberian vitamin B12 1000 mg/hari im selama 5-7 hari, 1 kali tiap bulan.

ANEMIA DEFISIENSI ASAM FOLAT Asam folat terdapat dalam daging, susu, dan daun-daun yang hijau. Umumnya berhubungan dengan malnutrisi. Penurunan absorpsi asam folat jarang ditemukan karena absorpsi terjadi diseluruh saluran cerna. Juga berhubungan dengan sirosis hepatis, karena terdapat penurunan cadangan asam folat. Defisiensi asam folat dapat disebabkan oleh : 1. Kekurangan asupan dari makanan a. Bahan makanan yang banyak mengandung folat antara lain sayur-sayuran segar, daging, susu. 2. Gangguan absorbsi asam folat a. Diinduksi obat, misalnya : antikonvulsan (dilantin, barbiturat), kontrasepsi oral b. Pasca reseksi usus halus (jejunum) c. Gangguan absorbsi folat kongenital 3. Gangguan penggunaan folat dalam tubuh misalnya karena pemakaian obat-obat sitostatika (methotrexat) 4. Kebutuhan meningkat, misalnya pada : d. kehamilan e. bayi f. sirosis hati

Manifestasi klinis Gejala dan tanda pada anemia defisiensi asam folat sama dengan anemia defisiensi vitamin B12, yaitu anemia megaloblastik dan perubahan megaloblastik pada mukosa, mungkin dapat ditemukan gejala-gejala neurologis, seperti gangguan kepribadian dan hilangnya daya ingat. Pemeriksaan Penunjang Gambaran darah seperti anemia pernisiosia, tetapi kadar vitamin B12 serum normal dan asam folat serum rendah, biasanya kurang dari 3 mg/ml. Yang dapat memastikan diagnosis adalah kadar folat sel darah merah kurang dari 150 ng/ml. Penatalaksanaan Meliputi pengobatan terhadap penyebabnya dan dapat dilakukan pula dengan pemberian/suplementasi asam folat oral 1 mg/hari.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 48

DAFTAR PUSTAKA
1. Soebandiri. HEMOPOESIS dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2009. Bab 176 ; 1105-1108 2. Bakta I M. PENDEKATAN TERHADAP PASIEN ANEMIA dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2009. Bab 177 ; 1109-1115 3. Widjanarko A, Sudoyo AW, Salonder H. ANEMIA APLASTIK dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2009. Bab 178 ; 1117-1126 4. Bakta IM, Suega K, Dharmayuda TG. Anemia Defisiensi Besi dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2009. Bab 179 ; 1127-1137 5. Supandiman I, Fadjari H. ANEMIA PADA PENYAKIT KRONIS dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2009. Bab 180 ; 1138-1140 6. Soenarto. ANEMIA MEGALOBLASTIK dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2009. Bab 181 ; 1141-1151 7. Parjono E, Widayati K. ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2009. Bab 182 ; 1152-1156 8. Rinaldi I, Sudoyo AW. ANEMIA HEMOLITIK NON IMUN dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2009. Bab 183 ; 1157-1164

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta Periode 4 Maret 11 Maret 2013

Page 49

Anda mungkin juga menyukai