Anda di halaman 1dari 7

Endapan Paleogen

Paleogen adalah periode dalam skala waktu geologi yang merupakan bagian pertama dari era Kenozoikum dan berlangsung selama 42 juta tahun antara 65,5 0,3 hingga 23,03 0,05 juta tahun yang lalu. Periode ini terdiri dari kala Paleosen, Eosen, dan Oligosen, dan dilanjutkan oleh kala Miosen pada periode Neogen. Paleogen merupakan saat pertama berkembangnya mamalia dari jumlah yang sedikit dan bentuk yang sederhana, hingga membengkak menjadi beragam jenis pada akhir kepunahan massal yang mengakhiri periode Kapur (era Mesozoikum) sebelumnya. Beberapa mamalia ini akan berevolusi menjadi bentuk yang lebih besar yang mendominasi daratan, dan ada pula yang berevolusi menjadi mampu hidup di lingkungan lautan, daratan khusus, dan bahkan di udara. Burung juga berkembang pesat pada periode ini menjadi kurang lebih bentuk modern yang dikenal saat ini. Cabang kehidupan lain di bumi bertahan relatif tidak berubah dibandingkan dengan perubahan yang dialami burung dan mamalia pada periode ini. Iklim menjadi lebih dingin sepanjang Paleogen dan batas laut menyurut di Amerika Utara di awal periode ini. Selain itu salah satu contoh yang terdapat pada endapan paleogen adalah batubara dimana Batubara adalah batuan sedimen organik, yang dapat terbakar sehingga dapat digunakan sebagai sumber energi. Batubara terbentuk dari hasil pengawetan sisa - sisa tanaman purba dan menjadi padat setelahtertimbun oleh lapisan di atasnya. Batubara merupakan bahan galian strategis dan salah satu sumber energi yang mempunyai peran besar dalam pembangunan nasional. Secara umum batubara dapat dikenal dari kenampakan sifat fisiknya yaitu berwarna coklat sampai hitam, berlapis, padat, mudah terbakar, kedap cahaya, non kristalin, berkilap kusam sampai cemerlang, bersifat getas, pecahan kasar sampai konkoidal. Unsur kimia utama pembentuk batubara adalah karbon (C), hidrogen (H), nitrogen (N) dan sulfur (S). Proses pembentukan Batubara Proses pembentukan batubara diawali oleh adanya pertumbuhan tanaman pembentuk batubara di lingkungan rawa-rawa. Tumbuhan tersebut kemudian mati dan terbenam di rawa. Tumbuhan baru hidup dan mati. Pada akhirnya sisa-sisa tumbuhan yang mati membentuk suatu lapisan, yang kemudian menghilang di bawah permukaan air. Dan terawetkan melalui proses biokimia.

Ketebalan lapisan tumbuhan tersebut tergantung dari lamanya tumbuhan hidup. Lapisan tumbuhan yang telah mati dapat ditemukan dalam ketebalan yang bervariasi mulai dari beberapa meter hingga lebih dari 60 meter. Jika diakibatkan oleh adanya penurunan muka tanah (subsidence) yang disebabkan oleh proses tektonik, hutan berakhir dibawah muka air, kehidupan tumbuhanpun berakhir. Selanjutnya material klastik yang dibawa oleh sungai diendapkan diatas sisa-sisa tumbuhan yang telah mati tersebut. Material klastik tersebut dapat berupa lapisan batupasir, batulempung atau batulanau yang kemudian menjadi tebal jika pengendapan terjadi dalam kurun waktu yang lama. Lapisanlapisan tersebut dikenal sebagai lapisan pembawa batubara yang ketebalannya bisa mencapai ratusan meter. Jika penurunan tanah (subsidence) berkurang atau adanya proses pengangkatan tanah, daratan dapat muncul kembali diatas muka air sehingga tumbuhan dapat hidup kembali. Daurpun berulang kembali. Dengan cara seperti ini akan terbentuk beberapa lapisan sisa-sisa tanaman dengan kehadiran batupasir, batulanau atau batulempung berselingan mengendap diatasnya. Dalam proses biokimia, adanya aktifitas bakteri mengubah bahan sisa-sisa tumbuhan menjadi gambut (peat). Gambut yang telah terbentuk lambat laun tertimbun oleh endapan-endapan lainnya seperti batulempung, batulanau dan batupasir. Dengan perjalanan waktu yang mungkin berpuluh juta tahun, gambut ini akan mengalami perubahan sifat fisik dan kimia akibat pengaruh tekanan (P) dan temperatur (T), sehingga berubah menjadi batubara. Proses perubahan dari gambut menjadi batubara dikenal dengan nama proses pembatubaraan (coalification). Sebagai gambaran untuk batubara dengan tebal +2m, dibutuhkan lapisan sisa-sisa tumbuhan dengan ketebalan + 60m. Pada tahap ini proses pembentukan batubara lebih didominasi oleh proses fisika dan geokimia. Pada proses pembatubaraan, gambut berubah menjadi batubara lignit, batubara bituminous sampai batubara antrasit.

Gambar 1. Gambaran hutan dimana tumbuhan pembentuk batubara hidup (Sumber: www.citg.tudelf.nl)

Gambar 2: Sketsa rawa dengan tumbuhan yang hidup diatasnya (Sumber: www.citg.tudelf.nl )

Gambar 3: Sketsa yg menggambarkan sisa tumbuhan yg telah mati & berada di bawah permukaan laut (Sumber: www.citg.tudelf.nl )

Gambar 4: Sketsa hutan dgn beberapa lapisan sisa tumbuhan & & material klastik di bawahnya (Sumber: www.citg.tudelf.nl )

Gambar 5: Sketsa perubahan dari lapisan sisa-sisa tumbuhan menjadi lapisan batubara (Sumber: www.citg.tudelf.nl ) Kondisi paleogeografi, tektonik, serta iklim berperan penting dalam proses pembentukan batubara. Kondisi Paleogeografi dan Tektonik harus membentuk suatu cekungan yang memudahkan proses penumpukan sisa-sisa tumbuhan disamping melindungi rawa-rawa dari laut terbuka. Kondisi paleografi dan tektonik juga harus mendukung agar rawa-rawa tempat penumpukan tumbuhan yang mati, mengalami kenaikan muka air tanah secara perlahan dan lambat. Kondisi ini akan sangat mendukung bagi perkembangan endapan gambut yang tebal, yang pada akhirnya akan menentukan pembentukan lapisan-lapisan batubara. Sedangkan iklim berpengaruh besar terhadap jenis tumbuhan sebagai sumber pembentuk batubara. Iklim juga berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman serta kecepatan dekomposisi.

Sekitar 90% batubara didunia termasuk Indonesia terbentuk pada lingkungan paralism yaitu rawa-rawa yang berdekatan dengan pantai. Daerah seperti ini dapat dijumpai di dataran pantai, laguna, paparan dan fluvitil/sungai. Pengendapan batubara di dataran pantai terjadi pada rawa-rawa dibelakang pematang pasir pantai, yang kearah darat berasosiasi dengan sistem laguna. Daerah ini tertutup hubungan dengan laut terbuka, pengaruh oksidasi air laut tidak ada, sehingga menunjang pembentukan batubara. Pengendapan batubara pada lingkungan sungai (fluvitil) dapat terjadi pada rawa-rawa dataran banjir (flood plain) dan belakang tanggul alam (natural levee). Batubara yang terbentuk pada lingkungan seperti ini biasanya membentuk lensa-lensa yang membaji ke segala arah mengikuti bentuk cekungan limpahnya. Ditinjau dari proses terbentuknya, batubara dapat dibagi atas dua golongan yaitu:

Batubara insitu atau autochtonous, yaitu batubara yang terbentuk ditempat dimana tanaman itu berasal. Pada umumnya batubara jenis ini memiliki lapisan yang cukup tebal dengan kandungan abu rendah.

Batubara tertransportasi (transported) atau allochthonous, yaitu batubara yang terbentuk tidak pada tempat dimana tanaman asal terdapat, sehingga harus melalui proses transportasi ke tempat pengendapan. Batubara jenis ini biasanya memiliki lapisan yang tipis dan mengandung mineral (abu) cukup tinggi dibandingkan dengan batubara insitu.

Jenis Batubara Berdasarkan tahapan pembentukannya, batubara dapat dikelompokan kedalam 5 jenis, mulai dari yang memiliki kalori terendah sampai tertinggi, yaitu :

Gambut Lignit Batubara sub bituminous Batubara bitominous Batubara antrasit

Standar Nasional Indonesia menetapkan jenis batubara berdasarkan nilai kalorinya, yaitu : Batubara Batubara Batubara Kalori Kalori Kalori Rendah Sedang Tinggi : : 5100 : < 5100 6100 (gambut (batubara 7100 dan sub lignite) bituminous) bituminus)

6100

(batubara

Batubara Kalori Sangat Tinggi : > 7100 (batubara bituminus dan antrasit)

Gambar 6: Kenampakan Fisik Gambut, Lignite, Batubara Bituminus dan Batubara Antrasit Sumber: www.citg.tudelf.nl Dalam penggunaannya di dunia industri, batubara dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu batubara kokas (coking coal) dan batubara uap (steaming coal). Batubara kokas dipergunakan untuk pembuatan kokas (metallurgical coke), sedangkan batubara uap adalah bahan baku untuk menghasilkan uap yang selanjutnya dipergunakan menggerakkan turbin untuk menghasilkan listrik. Batubara di Indonesia Di Indonesia batubara terbentuk pada cekungan-cekungan sedimentasi berumur PermoKarbon sampai Terrier (Neogen dan Paleogen). Sebagian besar batubara Indonesia berumur muda (Neogen), berupa batubara lignite dan subbituminus dengan nilai kalori yang rendah dan sedang. Akan tetapi di beberapa tempat, seperti di daerah Bukit Asam dan Kubah Pinang (Sangata), batubara peringkat rendah tersebut mendapat pengaruh panas dari intrusi magma, yang menyebabkan kualitasnya meningkat, sehingga ada yang mencapai peringkat antrasit. Dimana endapan ini terbentuk pada tatanan tektonik ekstensional yang dimulai sekitar Tersier Bawah atau Paleogen pada cekungan-cekungan sedimen di Sumatera dan Kalimantan.

Ekstensi berumur Eosen ini terjadi sepanjang tepian Paparan Sunda, dari sebelah barat Sulawesi, Kalimantan bagian timur, Laut Jawa hingga Sumatera. Dari batuan sedimen yang pernah ditemukan dapat diketahui bahwa pengendapan berlangsung mulai terjadi pada Eosen Tengah. Pemekaran Tersier Bawah yang terjadi pada Paparan Sunda ini ditafsirkan berada pada tatanan busur dalam, yang disebabkan terutama oleh gerak penunjaman Lempeng Indo-Australia.[2] Lingkungan pengendapan mula-mula pada saat Paleogen itu non-marin, terutama fluviatil, kipas aluvial dan endapan danau yang dangkal. Di Kalimantan bagian tenggara, pengendapan batu bara terjadi sekitar Eosen Tengah - Atas namun di Sumatera umurnya lebih muda, yakni Eosen Atas hingga Oligosen Bawah. Di Sumatera bagian tengah, endapan fluvial yang terjadi pada fasa awal kemudian ditutupi oleh endapan danau (non-marin).[2] Berbeda dengan yang terjadi di Kalimantan bagian tenggara dimana endapan fluvial kemudian ditutupi oleh lapisan batu bara yang terjadi pada dataran pantai yang kemudian ditutupi di atasnya secara transgresif oleh sedimen marin berumur Eosen Atas.[3] Endapan batu bara Eosen yang telah umum dikenal terjadi pada cekungan berikut: Pasir dan Asam-asam (Kalimantan Selatan dan Timur), Barito (Kalimantan Selatan), Kutai Atas (Kalimantan Tengah dan Timur), Melawi dan Ketungau (Kalimantan Barat), Tarakan (Kalimantan Timur), Ombilin (Sumatera Barat) dan Sumatera Tengah (Riau). Dibawah ini adalah kualitas rata-rata dari beberapa endapan batu bara Eosen di Indonesia. Tambang Cekungan Perusahaan Kadar air total (%ar) Kadar air inheren (%ad) Kadar abu (%ad) Zat terbang (%ad) Belerang (%ad) Nilai energi (kkal/kg)(ad) Satui Asam-asam PT Arutmin Indonesia 10.00 7.00 8.00 41.50 0.80 6800 Senakin Pasir PT Arutmin Indonesia 9.00 4.00 15.00 39.50 0.70 6400 Petangis Pasir PT BHP Kendilo Coal 11.00 4.40 12.00 40.50 0.80 6700 Ombilin Ombilin PT Bukit Asam 12.00 6.50 <8.00 36.50 0.50 - 0.60 6900 Parambahan Ombilin PT Allied Indo Coal 4.00 - 10.00 (ar) 37.30 (ar) 0.50 (ar) 6900 (ar) (ar) - as received, (ad) - air dried, Sumber: Indonesian Coal Mining Association, 1998

Anda mungkin juga menyukai