Anda di halaman 1dari 3

REAKSI ANAFILAKTIK PADA OXYTOCIN DALAM KEHAMILAN I.

Pendahuluan Ada banyak yang laporan tentang reaksi alergi pada obat-obatan yang digunakan, tetapi reaksi terhadap oxytocin sangat jarang terjadi. Seperti laporan kasus ini. Pada tahun 1981 pernah dilaporkan kejadian tentang reaksi alergi terhadap oxytocin sintetik yang diberikan saat sectio caesaria. Reaksi anafilaksis pada oxytocin telah digambarkan pada literatur. Beberapa dari gejala klinis dari reaksi anafilaksis oxytocin yang digambarkan terdiri dari eritema, hipotensi, brchospasme, dan berkurangnya saturasi oksigen. Sebuah kasus respiratory distress setelah penggunaan oxytocin saat sectio caesaria pernah dilaporkan pada tahun 1994, penulis yang melaporkan juga menduga hal tersebut reaksi anafilksis terhadap sintetik oxytocin.

II. Tinjauan Pustaka II.1.Definisi Istilah anafilaksis berasal dari kata yunani, ana artinya melawan dan filaksis artinya perlindungan Anafilaksis adalah reaksi alergi serius dalam onset yang cepat dan dapat menyebakan kematian. Pada anafilaksis ini ditemukan sejumlah gejala, termasuk ruam yang gatal, pembengkakan tenggorokkan, dan tekanan darah yang menurun. Penyebab umum termasuk gigitan seranggga, makanan, dan obatobatan. Pada tingkat patofisiologis, anafilaksis disebabkan oleh pelepasan mediator dari jenis tertentu dari sel darah putih yang dipicu oleh mekanisme imun atatu non imun. Insidens anafilaksis di seluruh dunia diperkirakan 0,05- 2% dan tampaknya terus meningkat. . II.2.Tanda dan gejala anafilaksis. Tanda dan gejala anafilaksis berbeda dalam menit ataupun jam, dengan onset rata-rata 5-30 menit jika paparan melalui intravena dan 2 jam untuk makanan. Daerah yang paling umum terdapat gejala: kulit (80-90%), pernapasan (70%), pencernaan (30-45%), jantung dan pembuluh darah (10-45%), dan sistem saraf pusat (10-15%). Biasanya terdapat dua atau lebih lokasi yang terlibat. Pada kulit dapat terjadi gatal-gatal yang menyeluruh, kemerahan atau bengkak pada bibir. Pada mereka yang mengalami pembengkakan atau angioudem menggambarkan rasa terbakar pada kulit dari pada gatal-gatal. Pada kulit dapat terjadi warna kebiruan karena kekurangan oksigen. Pada pernapasan dapat dijumpai tanda-tanda sesak nafas, mengi atau stridor. Bunyi mengi terjadi karena kejang otot bronkus sementara stridor berhubungan dengan obstruki jalan napas sekunder akibat pembengkakan. Suara serak, nyeri menelan, atau batuk dapat juga terjadi. Pada jantung dapat terjadi spasme arteri koroner yang berlanjut menjadi miokard infark, disritmia, atau gagal jantung. Mereka yang memiliki penyakit yang mendasari seperti penyakit jantung

koroner beresiko lebih besar pada jantung dari anafilaksis ini. Spasme koroner berhubungandengan adanya sel-sel yang melepaskan histamin pada jantung. Denyut jantung yang cepat disebabkan oleh tekanan darah yang rendah. Tekanan darah yang sangat rendah dapat menjadi satu-satunya tanda pada anafilaksis. Pada organ lainnya, gejala gastrointestinal dapat berupa nyeri abdominal, diare, dan muntah. Dapat terjadi kehilangan kontrol pada kandung kemih atau nyeri panggul atau dilatasi pembuluh darah disekitar otak yang dapat menyebabkan sakit kepala. Ansietas juga pernah dilaporkan.

II.3. Etiologi Anafilaksis terjadi sebagai respon terhadap substansi asing. Pencetus yang sering adalah racun dari gigitan ataupun sengatan serangga, makanan dan obat-obatan. Pencetus yang lebih jarang terjadi antara lain faktor fisik, agen biologi seperti semen, lateks, perubahan hormonal, zat penambah makanan seperti monosodium glutamat dan zat pewarna makanan, dan obat-obatan topikal. Selama anestesia, agen penghambat neuromuskular, antibiotik, dan lateks merupakan penyebab yang sering. Pada 32-50% kasus etiologi tidak diketahui disebut sebagai idiopatik anafilkasis.

II.4. Faktor risiko Orang-orang dengan penyakit atopik seperti asma, eksim, atau rinitis alergi memiliki resiko yang tinggi untuk anafilaksis. II.5. Klasifikasi Terdapat 3 klasifikasi utama anafilaksis. 1. Syok anafilaktik berhubungan dengan vasodilatasi sistemik yang tampak pada tekanan darah yang rendah dimana perdefinisi 30% lebih rendah dari pada nilai normal orang tersebut atau dibawah nilai standar. 2. Bifasik anafilaksis, yang merupakan rekurensi dari gejala dalam satu sampai 72 jam tanpa adanya paparan lebih lanjut terhadap alergen. Rekurensi ini biasanya terjadi dalam 8 jam, pada 20% kasus. Penatalaksanaannya sama seperti anafilaksis. 3. Reaksi anafilaksis ( pseudoanafilaksis ) merupakan tipe anafilaksis yang tidak melibatkan reaksi alergi atau disebut juga non imun anafilaksis. II.6. Diagnosis Anafilaksis didiagnosis berdasarkan kriteria klinis. Bila salah satu dari ketiga hal berikut terjadi dalam beberapa menit atau jam setelah paparan dengan alergen, kemungkinan terjadi anafilaksis: 1. Keterlibatan jaringan kulit atau mukosa disertai dengan kesulitan bernapas atau tekanan darah rendah.

2. Dua atau lebih dari gejala berikut: a. Keterlibatan kulit atau mukosa b. Kesulitan bernapas c. Tekanan darah rendah d. Gejala gastrointestinal 3. Tekanan darah rendah setelah paparan dengan allergen

II.7. Manajemen Anafilaksis merupakan kegawat daruratan medis yang menbutuhkan resusitasi seperti manajemen airway, oksigen, sejumlah besar cairan intravena dan monitoring yang ketat. Pemberian epineprin merupakan pilihan pengobatan dengan antihistamin dan steroid yang digunakan sebagai tambahan. Observasi dirumah sakit selama 2-24 jam setelah kembali pada keadaan normal diperlukan untuk memantau keadaan bifasik anafilaksis.

Anda mungkin juga menyukai