Anda di halaman 1dari 9

B.

PEMBAHASAN Setelah melaksanakan asuhan keperawatan pada klien Tn R dengan gangguan sistem pernafasan akibat Tuberkulosis Paru disertai DM Type II di Ruang Cempaka Rumah Sakit Umum Daerah Sumedang mulai tanggal 10 Juni 2013 sampai 14 Juni 2013 , penulis menemukan beberapa kesenjangan antara teori dan pelaksanaan praktek secara langsung dilapangan. Berikut ini akan ditemukan secara rinci dari tahapan pengkajian , perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan tahap evaluasi, yaitu : 1. Tahap pengkajian Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data tentang klien, agar dapat mengidentifikasi, mengenali masalah-masalah, kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien, baik fisik, mental, social, spiritual, dan lingkungan (Effendy, 2005). Pada pengkajian pasien yang mengalami gangguan system pernafasan akibat tuberculosis paru terdapat: Batuk produktif/non, batuk disertai dengan darah, sesak napas, nyeri dada, demam, berat badan turun, keletihan, berkeringat malam, dan anoreksia (nafsu makan berkurang) Sedangkan pada pengkajian pasien yang mengalami gangguan system endokrin akibat Diabetes Melitus Type II terdapat: pasien mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria), rasa haus (polidipsi), dan pasien mengalami peningkatan selera makan (Polifagia). (Smeltzer & Bare, edisi 8 vol 2) Dari hasil pengkajian pada Tn.R dengam kasus Tuberkulosis Paru disertai dengan DM Type II ditemukan klien terbaring lemah di tempat tidur, mangalami sesak nafas, batuk disertai dahak, kelemahan pada ekstremitas bawah, penurunan berat badan, kadar gula darah tinggi yaitu 284 mg/dl, pasien sebelum dirawat di RS mengalami batuk berdahak selama 1 bulan, dan dari hasil rontgen dada didapatkan bercak-bercak putih di daerah lobus atas paru.

Dari semua masalah yang ada pada Tn.R terdapat pula dari tinjauan teori pada bab dua karena gejala gejala tersebut memang khas terdapat pada klien dengan Tuberkulosis Paru disertai DM Type II. Selain masalah - masalah tersebut diatas menurut teori gejala gejala lain yang ada pada Tuberkulosis Paru disertai DM Type II adalah suhu tubuh tinggi, nyeri dada, Pasien mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsi), mengalami peningkatan selera makan (Polifagia) . Tetapi untuk hal ini tidak ditemukan dalam kasus klien Tn.R, karena pada saat di kaji klien telah mengalami perawatan selama delapan hari. Sehingga tanda-tanda yang seharusnya ada mungkin telah hilang dengan adanya perawatan dan pengobatan sebelum dilakukan pengkajian oleh penulis. Selain beberapa faktor diatas kesenjangan lain yang ditemukan adalah tidak dilakukannya pemeriksaan Analisa Gas Darah yang berguna untuk mendukung terhadap diagnosa tidak dilakukan. 2. Diagnosa Keperawatan Diagnosa Keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respon manusia (status kesehatan atau resiko perubahan pola) dari individu atau kelompok dimana perawat secara akuntabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan menurunkan, membatasi, mencegah dan merubah (Carpenito,2000). Diagnosa keperawatan pada pasien tuberculosis paru disertai DM Type II yang mungkin muncul menurut teori adalah sebagai berikut: Pola pernapasan tidak efektif, resiko infeksi berulang, tidak efektifnya nersihan jalan nafas, resiko kerusakan gas, gangguan pemenuhan kebutuhan gangguan integritas kulit, nutrisi, ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari (ADL), kurang pengetahuan tentang kondisi penyakit, intoleransi aktivitas, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit kurang dari kebutuhan, gangguan persefsi sensori, resiko tinggi injuri, gangguan

rasa nyaman nyeri kepala,

gangguan

rasa nyaman cemas, resiko

kerusakan penatalaksanaan dirumah, dan resiko tinggi terhadap infeksi. Setelah dilakukan pengkajian dan memperoleh data yang menunjang terhadap tahap selanjutnya yaitu analisa data untuk perumusan diagnosa dimana pada kasus Tn.R penulis dapat menemukan beberapa masalah, diantaranya : 1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan sekresi mukus yang kental. 2. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan kerusakan membrane alveolar-kapiler. 3. Gangguan pemenuhan nutrisi: metabolisme karbohidrat kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan deficit insulin. 4. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan suplai energi berkurang. 5. Kurangnya pengetahuan mengenai penyakit yang berhubungan dengan kurangnya informasi dan salah menginterpretasikan informasi. Dari lima diagnosa diatas semua dignosa terdapat dalam teori dan dua belas diagnosa menurut teori tidak ditemukan dalam kasus lapangan. Masalah tersebut tidak diangkat karena klien pada saat di kaji telah mendapatkan pengobatan perawatan secara intensif selama 8 sehingga masalah tidak muncul pada saat di kaji oleh penulis. 3. Tahap perencanaan Perencanaan adalah kategori dari perilaku keperawatan dimana tujuan yang berpusat pada klien dan hasil yang diperkirakan ditetapkan dan intervensi keperawatan dipilih untuk mencapai tujuan tersebut. (Potter & Perry, 2005). Pada diagnosa pertama yaitu ketidakefektifan bersihan jalan nafas, penulis merumuskan tujuan dalam waktu + 5 hari jalan nafas klien bersih dan efektif. Rencana teori yang terdapat di teori yaitu : a. b. Kaji fungsi pernapasan: bunyi napas, kecepatan, irama, kedalaman dan penggunaan otot aksesori. Catat kemampuan untuk hari

mengeluarkan secret atau batuk efektif, catat karakter, jumlah sputum, adanya hemoptisis. c. d. trakea, suction bila perlu. e. f. g. Pertahankan intake cairan minimal 2500 ml/hari kecuali kontraindikasi. Berikan bronkodilator, kortikosteroid sesuai indikasi. Kolaborasi pemberian obat OAT (Obat Anti Tuberkulosis) sesuai indikasi Untuk diagnosa ini tidak ditemukan adanya kesenjangan dalam perencanaan. Dari semua rencana tindakan untuk diagnosa pertama hanya sebagian menerapkannya dalam kasus dilapangan karena klien sebelumnya sudah mendapatkan perawatan, tidak ditemukan adanya kesenjangan. Pada diagnosa kedua yaitu gangguan pertukaran gas , penulis merumuskan tujuan dalam waktu + 5 hari gangguan pertukaran gas tidak terjadi. Rencana intervensi yang terdapat di teori yaitu : a. Kaji dispnea, takipnea, bunyi pernapasan abnormal. Peningkatan upaya respirasi, keterbatasan ekspansi dada dan kelemahan. b. Evaluasi perubahan-tingkat kesadaran, catat tanda-tanda sianosis dan perubahan warna kulit, membran mukosa, dan warna kuku. c. Demonstrasikan/anjurkan untuk mengeluarkan napas dengan bibir disiutkan, terutama pada pasien dengan fibrosis atau kerusakan parenkim. d. Anjurkan untuk bedrest, batasi dan bantu aktivitas sesuai kebutuhan. e. Monitor AGD (Analisa Gas Darah). f. Berikan oksigen sesuai indikasi. g. Kolaborasi pemberian obat OAT (Obat Anti Tuberkulosis) sesuai indikasi obat: agen mukolitik, Berikan pasien posisi semi atau fowler, bantu/ajarkan batuk efektif dan latihan napas dalam. Bersihkan sekret dari mulut dan

Dari semua rencana tindakan untuk diagnosa kedua hanya sebagian menerapkannya dalam kasus dilapangan, dan tidak ditemukan adanya kesenjangan. Namun untuk kolaborasi dalam pemeriksaan AGD tidak di laksanakan karena dokter tidak menganjurkan untuk tindakan tersebut. Pada diagnosa ketiga tentang gangguan pemenuhan nutrisi, penulis merumuskan tujuan dalam waktu + 3 hari kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi. Rencana tindakan yang ada didalam teori yaitu : a. kolaborasi dengan ahli gizi untuk memberikan diit TKTP program. b. Monitor data lab khususnya gula darah dan data lab lain. c. Kolaborasi pemberian insulin sesuai program. d. Berikan diit DM per oral sesuai program. Dalam perencanaan Tn.R rencana tindakan yang dilakukan sama dengan teori, tidak ditemukan adanya kesenjangan. Pada diagnosa keempat yaitu intoleransi aktifitas, penulis merumuskan tujuan + 3 hari tidak terjadi gangguan aktivitas. Rencana yang dilakukan menurut teori yaitu : a. Bantu klien dalam melakukan aktivitas. b. Anjurkan klien saring merubah posisi tidur. c. Tingkatkan aktivitas klien secara bertahap. d. Libatkan keluarga dalam proses intervensi. e. kaji ulang kemampuan mobilisasi pasien. Untuk diagnosa keempat pada dasarnya perencanaan tindakan dilakukan sama dengan teori dan tidak ditemukan kesenjangan. Pada diagnosa kelima tentang kurangnya pengetahuan mengenai penyakit, penulis merumuskan tujuan setelah diberikan penyuluhan 1 kali Pengetahuan klien dan keluarga bertamabah. Rencana tindakan menurut teori yaitu : a. Kaji kemampuan klien untuk mengikuti penyuluhan. b. Jelaskan tentang dosis, frekuensi pemberian, kerja yang diharpakan, dan alasan mengapa pengobatan TBC berlangsung dalam waktu lama. sesuai

c. Ajarkan d. Tekankan

dan

nilai

kemampuan

klien

untuk intake

mengidentifikasi nutrisi yang

gejala/tanda reaktivasi penyakit. pentingnya mempertahankan mengandung protein dan kalori yang tinggi serta intake cairan yang cukup setiap hari. Untuk diagnosa kelima pada dasarnya perencanaan tindakan dilakukan sama dengan teori dan tidak ditemukan kesenjangan. 4. Tahap implementasi Implementasi merupakan inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan ditujukan pada nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu rencana tindakan yang spesifik a. dilaksanakan untuk memodifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan klien. Pada diagnosa pertama mengenai ketidakefektifan bersihan jalan nafas. Pada diagnosa ini perencanaan dilakukan secara keseluruhan kecuali suction tidak dilakukan karena klien bisa mengeluarkan sekret dengan latihan batuk efektif. b. Pada diagnosa kedua mengenai gangguan pertukaran gas .tidak semua rencana tindakan dilaksanakan sesuai teori karena mengacu kepada kondisi di lapangan dan kondisi klien.untuk pemeriksaan AGD tidak dilakukan dikarenakan tidak ada instruksi untuk melakukannya. c. Untuk diagnosa ketiga yaitu Gangguan pemenuhan nutrisi. Semua rencana tindakan yang terdapat dalam intervensi dapat dilakukan sepenuhnya dan tidak ditemukan adanya kesenjangan antara rencana tindakan dengan kondisi dilapangan. d. Diagnosa keempat mengenai intoleransi aktivitas semua rencana yang terdapat di perencanaan dapat dilaksanakan semuanya untuk kasus dilapangan dan tidak ditemukan adanya kesenjangan.

e.

Pada diagnosa kelima mengenai kurangnya pengetahuan tentang penyakit. Penulis dapat melaksanakan semua rencana tindakan yang telah direncanakan pada rencana sebelumnya dan tidak ditemukan adanya kesenjangan antara rencana tindakan dengan pelaksanaan dilapangan. Dalam upaya melaksanakan implementasi yang harus dilakukan

serta dalam penyelesaian masalah-masalah yang didapatkan, penulis mendapatkan banyak bantuan dari pihak rumah sakit terutama diruangan Cempaka diantaranya rencana yang akan dilakukan pada sore dan malam hari, dimana penulis tidak selalu berada di rumah sakit. Pelaksanaan asuhan keperawatan ini dilakukan di rumah sakit dan di rumah klien. Dalam pelaksanaan asuhan keperawatan ini pada umumnya hampir semua perencanaan dapat dilaksanakan walaupun masih jauh dari kesempurnaan. Dalam pelaksanaan ini tidak semua perencanaan yang telah ditetapkan dapat dilaksanakan, beberapa rencana yang tidak dilaksanakan tersebut dikarenakan keterbatasan waktu, keterbatsan alat untuk pemeriksaan, dan bedanya kondisi yang ada dilapangan dengan kondisi menurut teori. 5. Tahap Evaluasi Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnose keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. Melalui evaluasi memungkinkan perawat untuk memonitor kealpaan yang terjadi selama tahap pengkajian, analisa, perencanaan dan pelaksanaan tindakan. Setelah melakukan implementasi keperawatan penulis melakukan evaluasi, dalam kesempatan ini penulis melakukan 2 tahap evaluasi yaitu evalusi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif mengacu pada tujuan jangka pendek dimana dilakukan setelah selesai tindakan, sedangkan evaluasi sumatif dilakukan pada akhir tujuan jangka panjang.

Dalam tahap evaluasi ini tidak didapatkan kesenjangan antara evaluasi menurut teori dan kasus di lapangan. a. tindakan keperawatan Pada diagnosa pertama setelah dilakukan selama 5 hari berturut-turut, mengenai ketidakefektifan bersihan jalan nafas dan dilakukan evaluasi akhir tanggal 14 Juni 2013 didapatkan hasil frekeunsi nafas dan suara nafas klien pada saat dikaji yakni 29x/m dan suara nafas ronkhi, menjadi RR 28x/m namun untuk suara nafas klien masih ronkhi. Jadi evaluasi dari diagnosa ini hanya sebagian teratasi. b. pada diagnosa kedua setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5 hari berturut-turut, mengenai gangguan pertukaran gas dan dilakukan evaluasi akhir tanggal 14 Juni 2013 didapatkan hasil klien masih mengeluh sesak nafas pernafasan terlihat cepat dan dangkal. Maka dalam hal ini diagnosa gangguan pertukaran gas belum teratasi, hal ini disebabkan karena klien masih sesak, untuk mencapai tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek dibutuhkan waktu yang tidak singkat dan disesuaikan dengan kondisi fisik/psikologis klien. Selain itu juga karena keterbatasan penulis dalam hal waktu dan jadwal untuk mengevaluasi lebih lanjut. c. Pada diagnosa gangguan pemenuhan nutrisi, setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5 hari penulis melakukan evaluasi pada tanggal 14 Juni 2013 yaitu masalah klien teratasi dengan criteria : d. klien sudah bisa menghabiskan porsi makannya, gula darah sewaktu 120 mg/dl. Pada diagnosa intoleransi aktivitas, setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5 hari penulis melakukan evaluasi pada tanggal 14 Juni 2013 masalah klien teratasi dengan criteria :Klien sudah dapat berjalan tanpa bantuan. e. Diagnosa kelima mengenai kurangnya pengetahuan tentang penyakit, evaluasi dilakukan pada hari pertama

pengkajian pada tanggal 10 Juni 2013 pada diagnosa ini klien dan keluraga tahu dan mengerti tentang penyakit yang diderita klien, untuk diagnosa kelima ini masalah dapat teratasi.

Anda mungkin juga menyukai