Anda di halaman 1dari 22

BAB I PENDAHULUAN

Persalinan preterm merupakan masalah yang penting dalam praktek obstetrik sehari-hari. Insidennya masih tinggi terutama di negara-negara berkembang, begitu pula di negara maju. Persalinan preterm menyebabkan 75% morbiditas dan mortalitas perinatal dan 40-60% berkaitan dengan kejadian ketuban pecah dini, baik yang secara klinis menderita korioamnionitis atau hanya infeksi subklinis.1 Secara garis besar dikatakan bahwa sepertiga dari kejadian pesalinan preterm disebabkan oleh kelainan medik dan obstetrik seperti hipertensi, plasenta previa, solusio plasenta, dimana persalinan harus segera diakhiri dan tidak bisa ditunda lagi. Dua pertiga persalinan preterm terjadi secara spontan yang belum jelas diketahui penyebabnya. Sampai saat ini pemicu awal persalinan preterm spontan masih belum bisa dijelaskan secara pasti. Beberapa konsep yang ada telah berusaha menjelaskan patofisiologi persalinan preterm yang dikaitkan dengan kejadian infeksi, iskemia dan inflamasi pada jaringan khorioamnion dan desidua.2 Diagnosis dan penatalaksanaan persalinan preterm yang benar dapat menurunkan ancaman bayi lahir prematur dan menurunkan morbiditas janin. Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan berdasarkan diagnosa dan temuan klinis yang ditemukan. Bila tanpa ada tanda penyulit dan komplikasi, maka kehamilan akan dipertahankan hingga cukup bulan. Sedangkan bila terdapat penyulit maka terminasi kehamilan menjadi pilihan.3,4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi pada umur kehamilan kurang dari atau sama dengan 37 minggu, dimana janin dapat bertahan hidup tapi belum cukup bulan. Usia kehamilan yang menjadi batasan adalah antara 28 sampai 36 minggu. Dahulu dikatakan persalinan preterm ialah bila setiap persalinan dengan berat badan lahir janin dibawah 2500 gram.1,2 World Health Organization (WHO) mendefinisikan persalinan preterm atau prematur sebagai setiap persalinan dengan usia kehamilan 37 minggu atau kurang dihitung dari hari pertama haid terakhir.1,3 Sedangkan partus prematurus iminens berarti terjadi ancaman terjadinya persalinan pada kehamilan kurang dari 37 minggu. Pada persalinan preterm perlu dibedakan dengan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dimana pada persalinan preterm perlu dipastikan juga usia kehamilannya kurang dari 37 minggu.1,3

2.2 Epidemiologi Menurut Joseph, dkk. (1998) jumlah insiden bayi yang dilahirkan sebelum cukup bulan meningkat dalam 20 tahun terakhir. Di Kanada, kelahiran preterm meningkat dari 6,3% pada tahun 1981 menjad 6,8% pada tahun 1992. Pada penelitian ini, peningkatan kelahiran preterm ini dikaitkan dengan perubahan pada frekuensi kelahiran multipel, peningkatan ketepatan diagnosis umur kehamilan seperti dengan menggunakan pemeriksaan ultrasonografi. Faktorfaktor serupa pasti berlaku terhadap peningkatan kelahiran preterm yang terjadi di Amerika Serikat. Jumlah insiden persalinan preterm di Amerika Serikat sendiri 11% dari seluruh persalinan di sana.1 Di Indonesia, insiden persalinan preterm berkisar antara 10-20%.3

2.3 Etiologi Penyebab persalinan preterm belum diketahui secara pasti. Terdapat banyak keadaan atau faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya suatu persalinan preterm. Secara garis besar, penyebab terjadinya persalinan preterm dapat dibagi menjadi faktor maternal, faktor fetal, dan faktor lingkungan tempat tinggal bayi, seperti uterus dan plasenta.

2.3.1 Faktor Maternal Termasuk disini ialah faktor genetika, faktor gaya hidup, faktor sosial ekonomi, riwayat obstetri ibu, serta riwayat penyakit ibu sebelumnya yang berhubungan dengan kehamilan. Faktor genetika antara lain terdapat riwayat persalinan preterm secara familial, riwayat persalinan ganda, serta dikatakan menurut Hoffman dan Ward (1999), terdapat kemungkinan faktor-faktor genetika yang dicurigai seperti ras dapat menimbulkan persalinan preterm.4,5 Faktor gaya hidup yang dapat mempengaruhi kejadian persalinan preterm antara lain perilaku merokok, gizi buruk, penambahan berat badan yang kurang baik selama kehamilan, narkoba, alkohol dilaporkan memiliki peranan penting pada kejadian dan berat badan lahir rendah dan persalinan preterm. Hal ini diperlihatkan oleh penelitian yang dilakukan Hickey, dkk. (1995) mengenai hubungan berat badan dengan persalinan preterm. Holzman, dkk. (1995) menyatakan bahwa alkohol dapat dikaitkan dengan persalinan preterm disertai dengan peningkatan resiko cedera otak pada bayi yang prematur. DiFonza dan Lew (1995) melaporkan kebiasaan konsumsi tembakau bertanggung jawab atas 32000 sampai 61000 berat badan lahir rendah setiap tahunnya di Amerika Serikat. Faktor ibu yang lain adalah usia ibu yang muda, kemiskinan, tinggi badan rendah, pekerjaan berat, dan stres psikologik dikatakan dapat menjadi penyebab persalinan preterm.1,2,4,5 Riwayat obstetri ibu juga dapat menjadi petunjuk penyebab persalinan preterm dimana ibu dengan riwayat persalinan preterm sebelumnya memiliki resiko tiga kali lipat untuk kembali mengalami persalinan preterm dibandingkan dengan ibu yang sebelumnya mengalami persalinan aterm.1 Sebanyak 10% dari kehamilan ganda diikuti dengan persalinan preterm, dan ibu dengan riwayat kehamilan ganda akan memungkinkan untuk mengalami kembali kehamilan ganda di kemudian hari. Ibu dengan serviks inkompeten juga memiliki resiko untuk terjadinya persalinan preterm, hal ini juga berhubungan dengan kejadian ketuban pecah dini preterm.2,5 Riwayat penyakit ibu yang berhubungan dengan kehamilan seperti hipertensi dan diabetes dapat meningkatkan insiden persalinan preterm. Hal ini disebabkan oleh karena sirkulasi antara ibu dan janin tidak sebaik ibu tanpa riwayat penyakit tersebut. Sehingga cenderung dilakukan terminasi lebih awal dikarenakan faktor janin.2,5 2.3.2 Faktor Fetal Kesejahteraan janin menjadi faktor yang diperhatikan bila ada kemungkinan dilakukan persalinan preterm. Janin dengan kesejahteraan yang kurang baik dalam perjalanan persalinannya sehingga menjadi gawat janin, perkembangan janin yang terhambat yang

mungkin dikarenakan pasokan oksigen dan makanan yang kurang adekuat mendorong untuk dilakukan terminasi kehamilan lebih dini dari waktu perkiraan.1,2

2.3.3 Faktor Lingkungan Janin Beberapa faktor yang termasuk dalam lingkungan sekitar janin adalah faktor plasenta, uterus, selaput ketuban, dan cairan ketuban. Perdarahan antepartum yang disebabkan oleh karena solusio plasenta atau plasenta previa dapat menyebabkan persalinan preterm. Hal ini dikarenakan pelepasan plasenta dari implantasinya serta perdarahan yang banyak oleh karena plasenta previa dapat menimbulkan keadaan hipoksia janin karena ketidakadekuatan sirkulasi uteroplasenta. Solusio plasenta dapat merangsang persalinan sehingga bila umur kehamilan belum cukup dapat menjadi persalinan preterm meskipun sebanyak 63% terjadi pada aterm. Bila ibu disertai riwayat solusio plasenta maka kemungkinan kembali terjadinya solusio plasenta menjadi lebih besar yaitu 11%. Plasenta previa sering berhubungan dengan persalinan preterm disebabkan oleh karena keharusan melakukan tindakan akibat perdarahan yang banyak. Hal ini dikarenakan kemungkinan janin hipoksia menjadi besar akibat perdarahan banyak tersebut sehingga bila terdapat tanda-tanda kesejahteraan janin perlu dilakukan tindakan terminasi kehamilan lebih cepat.8 Kelainan pada uterus juga dapat menyebabkan persalinan preterm seperti pada overdistensi uterus akibat sempitnya kavum uteri dan polihidramnion sehingga merangsang kontraksi akibat produksi prostaglandin yang merangsang persalinan. Sempitnya kavum uteri antara lain dapat disebabkan oleh karena mioma uteri dan uterus bikornu.6 Persalinan preterm oleh karena selaput ketuban disebabkan oleh karena

ketidakseimbangan sintesis dan degradasi matriks ekstraseluler selaput ketuban menyebabkan selaput ketuban dapat menjadi mudah pecah sehingga merangsang persalinan. Cairan ketuban juga berperan dalam terjadinya persalinan preterm jika cairan ketuban terlalu banyak sehingga uterus menjadi teregang berlebihan. Cairan ketuban yang sedikit serta terinfeksi dapat mendorong untuk melakukan terminasi kehamilan lebih awal dengan pertimbangan perburukan kesejahteraan janin. Selain itu infeksi intrauterin juga menjadi penyebab terbesar terjadinya ketuban pecah dini sehingga bila terjadi pada saat umur kehamilan belum cukup bulan, maka terjadi ancaman persalinan preterm.5

2.4 Patogenesis Persalinan preterm memiliki pencetus yang sama dengan persalinan aterm, hanya saja umur kehamilannya kurang dari 37 minggu. Ada beberapa faktor yang dapat memicu persalinan 4

antara lain pengaruh prostaglandin, struktur uterus, sirkulasi uterus, pengaruh saraf, dan nutrisi. Schwarz dkk. (1976) menyatakan bahwa persalinan aterm diawali aktivasi fosofolipase A2 yang memecah asam arakidonat menjadi prostaglandin yang memicu persalinan. Mikroorganisme menghasilkan fosfolipase A2 sehingga secara potensial dapat mencetuskan persalinan, hal ini disampaikan oleh Bajar, dkk. (1981). Hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Cox, dkk. (1989) dimana pemberian endotoksin bakteri (lipopolisakarida) yang dimasukkan ke dalam cairan amnion merangsang sel desidua untuk memproduksi sitokin dan prostaglandin yang memicu persalinan. Konsentrasi interleukin-6 cairan amnion jauh lebih tinggi daripada usia gestasi pada persalinan spontan dibandingkan wanita yang diinduksi persalinanya. Selain itu interleukin-6 dapat ditemukan juga pada cairan ketuban yang mengandung bakteri, dan hasil uji yang positif memberikan sensitivitas sebesar 82%. Sedangkan, hasil pewarnaan Gram yang negatif merupakan uji yang paling andal untuk menyingkirkan kemungkinan bakteri di cairan amnion dengan spesifitas 99%.6,7 Infeksi juga dapat memicu persalinan dikarenakan respon inflamasi oleh tubuh yang dirangsang oleh pelepasan sel netrofil poli morfonuklear (PMN) dan makrofag ke tempat infeksi, dan kemudian akan merangsang produksi sitokin, metaloproteinase (MMP), dan prostaglandin. Sitokin juga terlibat dalam induksi enzim siklooksigenase II yang berfungsi mengubah asam arakidonat menjadi prostaglandin. Selain respon inflamasi itu sendiri, janin juga berperan dalam pengaktivasian sitokin melalui produksi faktor pengaktif trombosit di paru dan ginjal janin. Faktor ini terlibat secara sinergis dalam pengaktivasian sitokin yang juga akan menginisiasi persalinan yang disebabkan oleh infeksi bakterial. Jadi, sebenarnya pelepasan faktor ini menguntungkan janin karena dapat melepaskan diri dari lingkungannya yang terinfeksi, tetapi janin dapat terlahir secara prematur.4 Perbedaan yang terlihat adalah kadar protease yang meningkat terutama pada persalinan preterm daripada persalinan aterm. Dimana enzim ini berperan dalam degradasi matriks ekstraseluler pada selaput ketuban dengan menghasilkan suatu enzim MMP-9 yang dapat menyebabkan ketuban pecah dini. Beberapa flora juga dapat menghasilkan protease seperti Streptokokus grup B, Stafilokokus aureus, dan Trikomonas vaginalis yang akan menyebabkan degradasi membran dan melemahkan selaput ketuban. Sitokin dari respon inflamasi juga berperan dalam produksi prostaglandin E2 oleh sel korion yang dapat mengganggu sintesis kolagen pada selaput ketuban dan meningkatkan aktifitas enzim metaloproteinase. Dan selanjutnya akan memicu pecah ketuban yang akan diikuti dengan persalinan.1,2

Bermacam-macam stres hormonal yang dihasilkan oleh adrenal maupun hipotalamus yang akan meningkatkan pelepasan Choriotropic Releasing Hormone (CRH) dari plasenta, desidua, dan khorion. CRH berperan sebaga efektor parakrin maka CRH akan meningkatkan produksi prostanoid dari desidua dan khorioamnion untuk merangsang kontraksi uterus. Peningkatan pelepasan dari pencetus awal persalinan fisiologis (CRH, oksitosin, progesteron withdrawal) secara bersama yang bisa terjadi lebih dini akan meningkatkan produksi prostanoid dan protease.1,3 Berkurangnya aliran darah ke uterus yang terjadi sekunder akibat dari kelainan pembuluh darah desidua, menyebabkan iskemia dari uteroplasenta dengan akibat terjadinya kerusakan jaringan setempat oleh lipid peroksidase dan radikal bebas ini akan meningkatkan produksi prostanoid protease dan endotelin yang akan meningkatkan pelepasan CRH. Perdarahan pada desidua akan menyebabkan penurunan fungsi dari pembuluh darah uteroplasenta dan kekurangan oksigen pada janin yang akan melepaskan CRH, meningkatkan pelepasan makrofag dengan pelepasan sitokin atau secara langsung merangsang produksi protease dan prostanoid desidua melalui pembentukan trombin.4,6

2.5 Diagnosis Diagnosis dari persalinan preterm ditegakkan berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Harus dipastikan bahwa usia kehamilan adalah belum cukup waktu atau aterm. Usia kehamilan ini dapat ditegakkan berdasarkan hari pertama haid terakhir, pemeriksaan antenatal yang teratur, atau ditambah pemeriksaan penunjang ultrasonografi (USG). Apabila haid terakhir tidak dapat ditentukan, berat badan lahir dapat digunakan sebagai penegak diagnosis persalinan preterm dimana berat badan lahir yang dimaksud adalah dibawah 2500 gram.1,2,4,5 Tanda dan gejala yang sering dianggap munculnya tanda persalinan antara lain kontraksi uterus yang adekuat dengan frekuensi sedikitnya sekali setiap 10 menit dan lama kontraksi 30 detik atau lebih, nyeri perut kram seperti saat menstruasi, keluar lendir dan darah, penekanan pada panggul, dan keluar cairan pervaginam. Keluhan tersebut untuk membantu diagnosa dini terjadinya persalinan. Perlu juga ditanyakan mengenai riwayat persalinan sebelumnya, bila terdapat riwayat persalinan preterm dan riwayat ketuban pecah dini. Menurut WHO, kriteria untuk persalinan preterm adalah kontraksi uterus yang teratur setelah kehamilan 20 minggu atau sebelum 37 minggu dengan interval kontraksi 5-8 menit atau kurang disertai satu atau lebih tanda seperti perubahan konsistensi serviks, dilatasi serviks 2 cm atau lebih, penipisan serviks 80% atau lebih.1 6

Kriteria diagnosis yang dipakai di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah untuk persalinan preterm berdasarkan pemeriksaan subyektif berupa keluhan nyeri perut seperti mau melahirkan sebelum kehamilan aterm, dan pemeriksaan obyektif berupa terdapat kontraksi uterus minimal 2 kali dalam 10 menit, pembukaan lebih atau sama dengan 2 cm, dan penipisan lebih atau sama dengan 50% diikuti dengan kemajuan yang pembukaan serviks yang bermakna dalam waktu 2 jam oleh pemeriksa yang sama.8 Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain pemeriksaan USG untuk menentukan pasti umur kehamilan yang berguna untuk diagnosis dan penatalaksanaan selanjutnya. Pemeriksaan lain seperti sonografi transvaginal untuk mengukur panjang serviks yang berguna untuk memprediksi persalinan preterm sebelum usia 30 minggu dikarenakan sensitivitas dan nilai prediksi negatifnya yang bagus. Pemeriksaan fibronektin janin juga bermanfaat untuk memprediksi ancaman persalinan preterm, dimana peningkatan glikoprotein ini sebelum ketuban pecah menunjukkan kemungkinan terjadinya persalinan preterm. Bahan pemeriksaan diambil dari sekret servikovagina pada kehamilan normal

dengan selaput ketuban yang utuh. Fibronektin janin diukur dengan menggunakan enzym immunosorbent assay dan nilai diatas 50 ng/mL dianggap sebagai hasil positif. Kontaminasi sampel dengan cairan amnion dan darah ibu harus dihindari. Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada usia kehamilan 24 minggu atau lebih dengan uji positif bermakna terjadinya persalinan preterm, sedangkan hasil negatif lebih konsisten bermakna dalam meramalkan bahwa persalinan preterm tidak akan terjadi. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan hematologi rutin dan laju endap darah untuk menilai kemungkinan tandatanda infeksi sehingga dapat membantu untuk mempertimbangkan penatalaksanaan selanjutnya.2,5

2.6 Penatalaksanaan Penatalaksanaan persalinan preterm menurut prosedur tetap RSUP Sanglah adalah sebagai berikut:8 1. 2. 3. 4. Tirah baring ke satu sisi, yaitu ke sisi kiri. Monitor kontraksi uterus dan denyut jantung janin. Cari kemungkinan penyebab terjadinya persalinan preterm. Tentukan umur kehamilan lebih pasti dengan: a. Anamnesis b. Pemeriksaan klinis 7

c. Kalau perlu lakukan pemeriksaan USG 5. Pemberian tokolitik pada prinsipnya diperlukan, tapi dengan berbagai pertimbangan. a. Tokolitik tidak diberikan pada keadaan-keadaan: Adanya infeksi intrauterin Adanya solusio plasenta Adanya lethal fetal malformation Adanya kematian janin dalam rahim

b. Keputusan pemberian tokolitik pada kasus-kasus diabetes melitus, hipertensi dalam kehamilan, insufisiensi plasenta, dan dugaan adanya pertumbuhan janin terhambat harus dilakukan pemilihan kesejahteraan janin terlebih dahulu atau dikonsultasikan kepada supervisor. c. Pemberian tokolitik dengan memakai: Magnesium Sulfat (MgSO4) Ritodrine Nifedipine (pemblok saluran kalsium)

d. Pemberian glukokortikoid pada umur kehamilan kurang dari 35 minggu: Deksametason 5 mg intra muskular (IM), 4 dosis setiap 6 jam yang dapat diulang 1 minggu kemudian. Glukokortikoid tidak boleh diberikan apabila ada tanda-tanda infeksi.

Adapun protokol pemberian tokolitik pada persalinan preterm adalah sebagai berikut: 1. Protokol pemberian MgSO4:8 a. Dosis awal 4 gram MgSO4 10% atau 40 ml MgSO4 10% dalam larutan dekstrose 5% (D5%) atau normal salin, diberikan intravena pelan-pelan dalam waktu 15 menit. b. Dosis lanjutan dipertahankan 2 gram/jam atau 40 gram MgSO4 20% dalam 1000 ml D5% atau normal salin dan diberikan 50 ml/jam. c. Dosis MgSO4 dinaikkan 1 gram/jam sampai kontraksi uterus kurang dari 1 kali tiap 10 menit atau maksimum dosis 4 gram/jam tercapai. d. Setelah dosis efektif untuk menghilangkan kontraksi uterus tercapai, pertahankan dosis tersebut selama 12 jam.

e. Setelah 12 jam dosis pemeliharaan dipertahankan, dosis MgSO4 diturunkan 0,5 gr/jam tiap 30 menit sampai mencapai dosis 2 gr/jam atau 50 ml/jam dan dipertahankan sampai 24 jam. f. Selama pemberian MgSO4, refleks patela dan tanda vital diperiksa setiap jam, serta keseimbangan cairan masuk dan keluar setiap 4 jam. g. Jika kontraksi uterus timbul kembali setelah dosis efektif diturunkan, maka dosis MgSO4 tersebut dinaikkan kembali sampai tercapai dosis dimana kontraksi uterus kurang dari 1 kali dalam 10 menit atau maksimal dosis 4 gr/jam. h. Dosis MgSO4 2 gr/jam dipertahankan selama 24 jam, kemudian 30 menit sebelum infus dilepas berikan 2 gram MgSO4 20% IM masing-masing 1 gr di bokong kanan dan 1 gr di bokong kiri, dan pemberian yang sama dilanjutkan setiap 6 jam sampai 24 jam. i. Pemberian MgSO4 dikatakan gagal bila setelah 4 jam dari tercapainya dosis maksimum MgSO4 kontraksi terus berlangsung, refleks patela menghilang atau terjadi depresi pernapasan. j. Selama pemberian MgSO4, batasi cairan masuk intravena (IV) 125 ml/jam dan monitor cairan masuk dan produksi urin. 2. Protokol pemberian Ritodrine: 8 a. Dosis inisial diberikan IV 50 mcg atau 1 ampul dilarutkan dalam 500 ml D5%, diberikan 10 tetes/menit, kemudian dinaikkan 50 mcg setiap 10 menit sampai kontraksi hilang atau maksimum dosis 350 mcg/menit dan dipertahankan selama 12 jam. b. Setelah 12 jam dosis pemeliharaan dipertahankan, dosis diturunkan 50 mcg setiap 30 menit sampai dosis minimal 100 mcg/menit dan dipertahankan 24 jam. c. Ritodrine oral diberikan 30 menit sebelum infus dihentikan, diberikan 2 tablet tiap 4 jam, maksimum 12 tablet, sampai 24 jam kemudian Ritodrine oral dapat diberikan sampai umur kehamilan 36 minggu atau lebih untuk mempertahankan kehamilan. d. Jika kontraksi uterus muncul kembali setelah dosis diturunkan, maka dosis dinaikkan 50 mcg/menit setiap 10 menit sampai kontraksi uterus hilang atau maksimum dosis 350 mcg/menit dan dipertahankan selama 12 jam. e. Pemberian Ritodrine dianggap gagal bila dalam 4 jam setelah tercapai dosis maksimum atau 350 mcg/menit kontraksi uterus tetap berlangsung. f. Selama pemberian ritodrine harus diobservasi tanda vital, keluhan, denyut jantung janin, dan keseimbangan cairan masuk dan keluar. 9

g. Jika timbul efek samping, dosis obat diturunkan 50 mcg/menit sampai dosis minimal yang dianjurkan dan jika setelah 1 jam diobservasi tetap terjadi efek samping maka pemberian obat harus dihentikan.

Pemberian tokolitik golongan penghambat saluran kalsium seperti nifedipine, bekerja dengan menghambat masuknya kalsium lewat membran sel ke dalam sel otot polos uterus. Aktivitas otot polos termasuk miometrium berhubungan langsung dengan kadar kalsium bebas dalam sitoplasma, dan penurunan kalsium akan menghambat kontraksi miometrium menyebabkan relaksasi uterus. Dosis awal yang diberikan adalah 20 mg sublingual, kemudian dapat di ulang dengan 20 mg sub lingual apabila masih didapatkan kontraksi uterus. Dosis maksimal pemeberian nifedipine adalah 40 mg dalam 2 jam dan 160 mg dalam 24 jam. Hari ke II dan III dapat diberikan adalat oros 3x30 mg per hari sub lingual.8 Pada beberapa protokol terapi disebutkan pula dosis awal yang diberikan adalah 30 mg sublingual diikuti pemberian nifedipine 20 mg 4-8 jam selama 24 jam dan dosis pemeliharaannya diberikan nifedipine 10 mg setiap 8 jam sampai umur kehamilan 35-37 minggu atau sampai kelahiran bayi.1,5 Ritodrine termasuk di dalam golongan agonis -adrenergik, seperti terbutalin dan salbutamol. Obat ini bekerja pada reseptor -adrenergik dan menghambat kontraksi uterus. Efek samping yang dapat ditimbulkan antara lain takikardi, hipotensi, nyeri kepala, dan edema paru. MgSO4 menghambat ambilan kalsium ke dalam sel otot polos sehingga mengurangi kontraksi uterus. Efek samping yang dapat ditimbulkan antara lain muka kemerahan, sakit kepala, kelemahan otot, diplopia, mual, muntah, dan edema paru. Dikarenakan dosis toksik yang rendah maka perlu diawasi tanda-tanda intoksikasi MgSO4 melalui pemeriksaan refleks tendo, respirasi, dan keseimbangan cairan. Intoksikasi MgSO4 dapat diatasi dengan pemberian 10 ml kalsium glukonas 10% IV.1,5 Pemberian antibiotika pada ancaman persalinan preterm juga penting dikarenakan infeksi merupakan salah satu penyebab persalinan preterm. Sehingga fungsinya adalah sebagai antibiotika profilaksis. Kehamilan dapat diperpanjang dengan memberikan eritromisin, ampisillin, dan klindamisin. Pasien dengan bakterial vaginosis dianjurkan pemberian 250 mg metronidazole 3 kali sehari selama 7 hari. Infeksi Streptokokus grup B diberikan ampisillin atau penisilin, sedangkan eritromisin dan klindamisin pada pasien yang alergi penisilin.1,5,8 Bila terdapat riwayat keluar air pervaginam maka harus dicurigai sebagai ketuban pecah dini preterm, dan penatalaksanaannya sesuai dengan ketuban pecah dini preterm, dimana tatalaksana di RSUP Sanglah adalah sebagai berikut:8 1. Penanganan dirawat di RS. 10

2. 3.

Diberikan antibiotika, Ampisilin 4x500 mg selama 7 hari. Untuk merangsang maturasi paru diberikan kortikosteroid (untuk usia kehamilan <35 minggu) yaitu dengan deksametason 4x5 mg.

4.

Observasi di kamar bersalin: a. Tirah baring selama 24 jam, selanjutnya dirawat di ruang obstetri. b. Dilakukan observasi temperatur rektal tiap 3 jam, bila ada kecenderungan terjadi peningkatan temperatur rektal lebih atau sama dengan 37,6C, segera dilakukan terminasi.

5.

Di ruang obstetri: a. Temperatur rektal diperiksa setiap 6 jam b. Dikerjakan pemeriksaan laboratorium: leukosit dan laju endap darah setiap 3 hari.

6.

Tata cara perawatan konservatif: a. Dilakukan sampai janin viable. b. Selama perawatan konservatif, tidak dianjurkan melakukan pemeriksaan dalam. c. Dalam observasi selama 1 minggu, dilakukan pemeriksaan pemeriksaan USG untuk menilai air ketuban: Bila air ketuban cukup, kehamilan diteruskan. Bila air ketuban kurang atau oligohidramnion, dipertimbangkan untuk terminasi kehamilan. d. Pada perawatan konservatif, pasien dipulangkan pada hari ke-7 dengan saran sebagai berikut: Tidak boleh koitus. Tidak boleh melakukan manipulasi vagina. Segera kembali ke RS bila ada keluar air lagi.

e. Bila masih keluar air, perawatan konservatif dipertimbangkan dengan melihat pemeriksaan laboratorium. Bila terdapat leukositosis atau peningkatan laju endap darah (LED), dilakukan terminasi.

2.7 Komplikasi Persalinan preterm merupakan penyebab utama morbiditas neonatal di seluruh dunia yaitu sebesar 60-80% kematian neonatal. Morbiditas dan mortalitas ini timbul karena adanya komplikasi lanjutan setelah persalinan yang memburuk, kecilnya berat badan janin, atau semakin rendahnya umur kehamilan. Bayi yang lahir mendekati aterm mungkin hanya 11

mengalami sedikit atau bahkan tidak mengalami komplikasi, sedangkan bayi yang lahir sebelum 32-34 minggu mungkin memiliki beberapa komplikasi. Pada beberapa kasus, komplikasi dapat ringan atau berat dan menyebabkan masalah kesehatan jangka panjang atau bahkan kematian. Komplikasi tersebut dapat berupa depresi pernapasan, perdarahan intakranial neonatal, displasia bronkopulmoner, infeksi, nekrotising enterokolitis, paten duktus arteriosus, dan retinopati.1,2,4

12

BAB 3 LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien Nama Usia Jenis Kelamin Alamat Pendidikan Pekerjaan Agama Tanggal MRS : IAPEU : 15 tahun : Perempuan : Lelateng, Jembrana : SMP : Ibu rumah tangga : Hindu : 16 Januari 2012 (11.00 WITA)

3.2 Anamnesis Keluhan Utama: Anamnesis Khusus Pasien datang diantar keluarga dengan keluhan nyeri perut sejak pukul 04.00 WITA (16/01/12), dan juga disertai dengan keluarnya darah bercampur lendir dari kemaluan. Pasien juga mengeluh keluar air dari vagina. Keluhan demam tidak ada. Gerak anak dikatakan pasien baik, dimana gerakan dirasakan dominan pada perut sebelah atas. Tidak ada riwayat berhubungan badan dengan suami sebelum muncul keluhan. Tidak ada riwayat trauma sebelum muncul keluhan. Nyeri pada saat berkemih tidak dirasakan oleh pasien. Nyeri perut hilang timbul.

Anamensis umum Riwayat Menstruasi Menarche (11 tahun), dengan siklus teratur 28 hari, lama menstruasi 6-7 hari. HPHT: 25 Mei 2011 TP: 04 Maret 2012

Riwayat Ante Natal Care (ANC) Di bidan, secara teratur, sudah pernah periksa USG pada umur kehamilan 28 minggu. Janin dikatakan dalam kondisi yang baik.

13

Riwayat Pernikahan Menikah satu kali, selama 4 bulan.

Riwayat Persalinan 1. Ini

Riwayat Penyakit Dahulu Penyakit jantung, asma, hipertensi, kencing manis tidak ada.

Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada riwayat penyakit jantung, asma, hipertensi, dan kencing manis.

Riwayat Pribadi & Sosial Pasien saat ini melakukan aktivitas sehari-hari sebagai ibu rumah tangga. Riwayat minum minuman alkohol dan merokok tidak ada.

3.3 Pemeriksaan Fisik Status Present Keadaan umum Kesadaran Tekanan Darah Nadi Respirasi Suhu Tubuh rektal Tinggi Badan Berat Badan Status General Kepala Thoraks : Mata: anemis (-/-), ikterik (-/-) : Jantung: S1 S2 tunggal, reguler, murmur () Paru Abdomen Ekstremitas : vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-) : ~ status obstetri : akral hangat dan tak ada oedem pada keempat ekstremitas : baik : E4V5M6 (CM) : 110/80 mmHg : 80x/menit : 20x/menit : 36,5 C : 154 cm : 68 kg

14

Status Obstetri Mamae: Inspeksi: Hiperpigmentasi aerola mamae, tampak penonjolan glandula Montgomery Abdomen: Inspeksi: Tampak pembesaran perut arah membujur disertai adanya striae livide dan linea nigra. Palpasi: Leopold I: tinggi fundus uteri setengah pusat dan prosesus xiphoideus (24 cm). His (+) 2-3 x/10 ~ 20-25 Auskultasi: Denyut jantung janin terdengar paling keras di sebelah kiri dengan frekuensi 13.12.12 Vagina : Inspeksi: blood slym (+), keluar air (+) VT (11.00) : P 2 cm, effacement 30%, ketuban (-), teraba kepala sutura sagitalis melintang, Hodge I, tidak teraba bagian perut

kecil/tali pusat.

3.4 Diagnosis Kerja G1 P0000, 33-34 minggu, T/H + PPI (keluar air) PBB: 1860 gram 3.5 Pemeriksaan Penunjang Pdx : Darah lengkap Bleeding time/ clotting time Urinalisis USG 3.6 Perencanaan Rencana Terapi Konservatif Bed rest IVFD RL ~ 20 tts/mnt Ampicillin 4 x 2 gr (IV) 2 hari Gentamicin 1 x 80mg (IM) Nifedipine 30mg (3 tablet ) per oral, 8 jam kemudian 20mg (2 tablet) peroral Dexamethasone 1 x 12 mg IM (2 hari) Mx: keluhan, vital sign, HIS, DJJ. 15

KIE: Pasien dan keluarga tentang kondisi pasien termasuk diagnosa dan rencana terapi yang akan dilakukan. DL (16-01-12 pk 13.00) HASIL 11,8 WBC 11,3 HGB 35,9 HCT 340 PLT 150-400 10^3 uL 35,0-55,0 % 11,0-17,0 g/dL NORMAL 4,0-12,0 SATUAN 10^3 uL

URINALISIS (16-01-12) Warna BJ pH Leukosit : Kuning Kemerahan : 1.020 : 6.0 : 25/uL

3.7 Catatan Perkembangan Pasien 17 Januari 2011 pk.06.00 WITA S: nyeri perut hilang timbul tidak ada (-), keluar darah dan lendir tidak ada (-). O: Status present T: 110/70 mmHg, N: 80x/mnt, RR: 18x/mnt, t ax: 36,7oC Status general Mata: anemis (-/-), ikterik (-/-) THT: kesan tenang Thoraks: Jantung: S1S2 tunggal reguler, murmur () Paru: vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-) Abd: ~ Status obstetri Ekstremitas: akral hangat dan tidak ada oedem pada keempat ekstremitas Status obstetri Abd: TFU 1/2 pusat-simpisis, his (-), DJJ (+) 12.12.13, dist (), BU (+) N Vag: blood slym (+), keluar air (-) A: Pdx: 16 G1 P0000, 33-34 minggu, T/H + PPI (keluar air) PBB: 1860 gram

Tx: Konservatif -Bed rest hari II -IVFD RL ~ 20 tts/mnt -Nifedipine 3 x 10 mg - Ampicillin 4 x 2 mg (IV) -Gentamicin 80 mg (IV) - Dexamethasone 1 x 12 mg IM - SF 1x1 tab Mx: observasi keluhan, vital sign, DJJ KIE pasien dan keluarga tentang rencana tindakan.

18 Januari 2011 pk.06.00 WITA S: nyeri perut tidak ada, keluar lendir dan air tidak ada , gerak anak baik. O: Status present T: 120/70 mmHg, N: 76x/mnt, RR: 18x/mnt, t ax: 36,7oC Status general Mata: anemis (-), ikterik (-) THT: kesan tenang Thoraks: Jantung: S1S2 tunggal reguler, murmur () Paru: vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-) Abd: ~ Status obstetri Ekstremitas: akral hangat dan tidak ada oedem pada keempat ekstremitas Status obstetri Abd: TFU 1/2 pusat-simpisis, his (-), DJJ (+) 12.12.13, dist (), BU (+) N Vag: blood slym (-), keluar air (-) A: Pdx: Tx: Konservatif -Bed rest hari III -IVFD RL ~ 20 tts/mnt -Nifedipine 3 x 10 mg 17 G1 P0000, 33-34 minggu, T/H + PPI (keluar air) PBB: 1860 gram

- Amoycillin 3 x 500 mg - Eritromisin 3 x 500mg - Dexamethasone 1 x 12 mg IM - SF 1x1 tab - KIE pasien dan keluarga tentang rencana tindakan Mx: observasi keluhan, vital sign, DJJ

19 Januari 2011 pk.06.00 WITA S: nyeri perut hilang timbul tidak ada, keluar darah dan lendir tidak ada. O: Status present T: 120/70 mmHg, N: 80x/mnt, RR: 18x/mnt, t ax: 36,5oC Status general Mata: anemis (-), ikterik (-) THT: kesan tenang Thoraks: Jantung: S1S2 tunggal reguler, murmur () Paru: vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-) Abd: ~ Status obstetri Ekstremitas: akral hangat dan tidak ada oedem pada keempat ekstremitas Status obstetri Abd: TFU 1/2 pusat-simpisis, his (-), DJJ (+) 12.12.13, dist (), BU (+) N Vag: blood slym (-), keluar air (-) A: Pdx: Tx: - BPL - Mobilisasi hari I - Nifedipine 3x 10 mg - Amoycillin 3 x 500 mg - Eritromisin 3 x 500mg - SF 1x1 tab - KIE untuk istirahat, apabila ada perdarahan, nyeri perut, keluar air, gerak anak dirasakan berkurang, segera ke rumah sakit Mx: control poli KB/ bidan/ Puskesmas bila ada keluhan. G1 P0000, 33-34 minggu, T/H + PPI (keluar air) PBB: 1860 gram

18

BAB 4 PEMBAHASAN

1. Diagnosis Pasien 15 tahun, G1 P0000, dengan umur kehamilan 33-34 minggu, datang dengan keluhan nyeri perut hilang timbul seperti mau melahirkan, keluar lendir bercampur darah dan keluar air pervaginam sejak 7 jam SMRS (16/01/12). Nyeri perut dirasakan di atas simfisis disertai dengan keluarnya lendir bercampur darah dan air dari vagina. Tidak ada keluhan demam dan sakit lainnya. Pada anamnesis didapatkan ini merupakan kehamilanya yang pertama. Hari pertama haid terakhir pasien adalah tanggal 25 Mei 2011, sehingga tafsiran partusnya adalah pada tanggal 04 Maret 2012. Dimana menurut perhitungan usia kehamilan pada 16 Januari 2012 adalah 33-34 minggu. Pemeriksaan fisik obstetri yang dilakukan pada saat pasien datang antara lain didapatkan tinggi fundus 4 jari bawah procesus xiphoideus yang menandakan usia kehamilan telah mencapai sekitar 33 minggu. Dari tinggi fundus dapat diperkirakan berat badan bayi dengan rumus Johnson yaitu sekitar 1860 gram. His dirasakan sekitar 2-3 kali dalam 10 menit dengan durasi tiap his 20-25 detik. Pada auskultasi didapatkan DJJ (+) 13.12.12, gerakan anak dikatakan baik. Dari pemeriksaan fisik yang lain juga didapatkan status presen dan general dalam batas normal. Pada inspeksi vagina, tampak adanya blood slym dan juga keluar air. Dari pemeriksaan dalam didapatkan pembukaan serviks 2 cm, effacement 30%, teraba kepala, HI dan tidak teraba bagian kecil janin atau tali pusat. Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik dapat ditegakkan diagnosis kerja G1 P0000, 33-34 minggu, T/H + PPI (keluar air) PBB: 1860 gram.

2. Etiologi Penyebab persalinan preterm pada pasien ini perlu ditelusuri. Berdasarkan faktor maternal, didapatkan usia ibu sangat muda yaitu 15 tahun. Dari riwayat sosial atau gaya hidup yang buruk seperti minum alkohol dan merokok tidak ditemukan. Sedangkan faktor genetika dari riwayat keluarga tidak ditemukan dan memerlukan pemeriksaan penunjang lebih lanjut. Dari anamnesis didapatkan ibu tetap melakukan aktivitasnya seperti sebelum hamil sebagai ibu rumah tangga, sehingga kurang istirahat seperti biasanya, meski demikian mekanisme untuk menyebabkan persalinan preterm masih tidak dapat dijelaskan lebih lanjut. Untuk faktor janin dan lingkungan janin perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, dikarenakan tidak ditemukan tanda-tanda hipoksia lingkungan janin dan janin yang memicu persalinan, meski demikian 19

faktor tersebut perlu dipertimbangkan dikarenakan pekerjaan berat yang dilakukan ibu seminggu sebelum keluhan. Faktor infeksi juga harus dipantau karena keluarnya air ketuban yang dapat menyebabkan infeksi pada janin. Pada hasil pemeriksaan urinalisis, didapatkan leukosit juga tinggi yang menunjukkan adanya infeksi.

3. Terapi Pada kasus ini dilakukan perawatan konservatif untuk mencegah terjadinya persalinan. Pada pasien diberikan nifedipine dengan dosis awal 30 mg per oral. 8 jam kemudian diberikan 20mg per oral. Setelah pemberian nifedipine, pasien tidak mengeluh nyeri perut lagi dan pada pemeriksaan abdomen tidak didapatkan adanya his. Pasien diberi 10mg nifedipine setiap hari sebagai dosis pemeliharaan. Saat itu pasien juga diberikan dexamethasone 12 mg IM yang berfungsi untuk mematangkan paru-paru janin sebagai tindakan antisipasi apabila persalinan tidak dapat dihindarkan. Di ruangan, pada hari pertama perawatan keadaan ibu baik, tidak mengeluh nyeri perut. Demikian juga status obstetri pasien tersebut, yaitu tidak adanya his. Pada hari pertama perawatan, keadaan umum ibu baik, nyeri perut tidak dirasakan dan tidak ada keluar darah dari kemaluan. Pada status obstetri juga tidak didapatkan adanya his. DJJ didapatkan 12.12.13. Pasien diberikan terapi nifedipine 3x10 mg. Malam hari, diberikan dexamethasone 12 mg IM pada 24 jam setelah pemberian dexamethasone pertama. Pada hari kedua, keadaan umum ibu juga baik, nyeri perut tdak dirasakan dan tidak ada keluar darah dari kemaluan. Pada status obstetri juga tidak didapatkan adanya his. DJJ didapatkan 12.13.12. Pasien diberikan terapi nifedipine 3x10 mg sub lingual. Pada hari ke tiga perawatan, pasien juga tidak mengeluh nyeri perut dan tidak ada perdarahan dari kemaluan. Pada pemeriksaan obstetri tidak didapatkan adanya his. DJJ terdengar 13.12.12. Pasien diberikan antibiotika karena risiko infeksi yang terjadi akibat keluar air ketuban.

20

BAB 5 RINGKASAN

Telah dilaporkan suatu kasus ancaman persalinan preterm dengan pasien berusia 15 tahun.

1. Untuk mendiagnosa partus prematurus iminen pada kasus ini dilakukan dengan cara anamnesa untuk mengetahui apakah ada riwayat sakit perut dan keluar air , inspeksi dengan melihat adanya cairan yang keluar pervaginam dam pemeriksaan dalam untuk mengetahui apakah masih terdapat selaput ketuban dan pemeriksaan lab. 2. Faktor resiko penyebab pada kasus ini kemungkinan adalah suatu infeksi saluran kemih. 3. Prinsip penatalaksanaan setelah menegakkan diagnosis adalah menemukan

kemungkinan kausa pada pasien ini dan mencegah timbulnya kontraksi uterus sehingga kehamilan dapat dilanjutkan sampai usia aterm. 4. Manajemen yang dilakukan pada kasus kehamilan preterm ini adalah dengan perawatan konservatif yaitu bed rest dan diberkan antibiotik untuk mengatasi infeksi. Dexamethasone adalah untuk permatangan surfaktan paru janin dan observasi keluhan, vital sign, HIS, DJJ. 5. Prognosis pada pasien pada kasus persalinan preterm ini adalah baik karena kehamilan berhasil dilanjutkan serta tidak ditemukan adanya komplikasi pada ibu dan bayi.

21

DAFTAR PUSTAKA

1.

Cunningham GE, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC. Preterm lobour. Williams Obstetrics, ed.21, McGraw Hill, New York; 2001, p.855-880.

2.

Wiknjosastro GH, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Kelahiran Preterm. Ilmu Kebidanan, ed.7. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta; 2005, p.235-250.

3.

Marjono

AB.

Kelainan

pada

Lamanya

Kehamilan.

1992,

Diunduh

dari

http://www.cakulobginplus.com. Akses:25 Desember 2008.

4.

DeCherney AH, Nathan L. Preterm labour. Current Diagnostic and Gynecologic Diagnosis & Treatment, ed.9. McGraw-Hill, California: 2003, p.340-352.

5.

Brandon J, Bankowski M, Hearne AE. The Johns Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics, ed.2. Lippincott Williams & Wilkins, Baltimore Maryland. 2002, p.339-360.

6.

Parry S, Strauss FJ. Review Article Mechanism of Disease: Premature Rupture of the Fetal Membranes. The England Journal of Medicine. Diunduh dari: http://www.nejm.org. Akses: 27 Desember 2008.

7.

Sweet RL, Gibbs RS. Infectious Diseases of The Female Genital Tract, ed.4, Lippincott Williams & Wilkins, Pittsburgh: 2002, p.150-167.

8.

Karkata MK, Suwiyoga K, Wardhiana IPG, Pemaron IBU. Persalinan preterm. Pedoman Diagnosis dan Bagan Alir Pelayanan Pasien. Lab/SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana RSUP Sanglah Denpasar; 2003, p.2-10

22

Anda mungkin juga menyukai