Anda di halaman 1dari 36

13 MASALAH PENGELOLAAN KEUANGANNEGARA DAN DAERAHA

By Turiman Fachturahman Nur


Reformasi Tata Kelola Keunagan Daerah sudah digulirkan Reformasi tata kelola keuangan negara/daerah telah digulirkan oleh pemerintah pusat, yang merupakan langkah maju khususnya dalam menata sistem pemerintahannya. Reformasi tata kelola keuangan negara/daerah secara ideal tidak hanya mencakup reformasi akuntansi keuangannya. Namun demikian, reformasi akuntansi sektor publik merupakan sesuatu yang sangat fundamental khususnya bagi pengelolaan keuangan daerah. Reformasi ini, secara substantif mengandung pengertian pengelolaan sumbersumber daya daerah secara ekonomis, efisien, efektif, transparan, dan akuntabel dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan daerah. Paket Undang-undang hukum di bidang bidang Keuangan pengelolaan Negara dan telah memberikan keuangan

landasan/payung

administrasi

negara/daerah. Undang-undang ini dimaksudkan pula untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, kepada daerah telah diberikan kewenangan yang luas, demikian pula dana yang diperlukan untuk menyelenggarakan kewenangan itu. Agar kewenangan dan dana tersebut dapat digunakan dengan sebaik-baiknya untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan di daerah, diperlukan kaidah-kaidah sebagai rambu-rambu dalam pengelolaan keuangan daerah. Otonomi Daerah merupakan upaya pemberdayaan daerah dalam pengambilan keputusan daerah secara lebih leluasa dan bertanggung jawab untuk mengelola sumber daya yang dimiliki sesuai dengan kepentingan, prioritas, dan potensi daerah sendiri. Kewenangan yang luas, utuh dan bulat yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi pada semua aspek pemerintahan ini, pada akhirnya harus dipertanggungjawabkan kepada pemberi wewenang dan masyarakat. Penerapan otonomi daerah seutuhnya membawa konsekuensi logis berupa pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah berdasarkan manajemen

keuangan yang sehat. Oleh karena itu, diperlukan sistem pengelolaan keuangan daerah yang baik dalam rangka mengelola dana APBD secara transparan, ekonomis, efisien, efektif dan akuntabel. Dalam perundang-undangan bidang keuangan negara ini secara tegas diatur bagaimana Pemerintah Daerah menata sistem pemerintahan khususnya di bidang keuangan. Undang-undang ini mengatur mengenai asas umum perbendaharaan negara, kewenangan pejabat pengelola keuangan negara, pelaksanaan pendapatan dan belanja negara/daerah, pengelolaan uang, piutang dan utang negara/daerah, pengelolaan investasi dan barang milik negara/daerah, penatausahaan dan pertanggungjawaban APBN/APBD, pengendalian intern pemerintah, penyelesaian kerugian negara/daerah, serta pengelolaan keuangan badan layanan umum. Penyusunan RAPBD dengan pendekatan prestasi kerja, penerapan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah, penyajian Neraca Daerah dan Laporan Arus Kas sebagai bentuk pertanggungjawaban Kepala Daerah, merupakan beberapa hal baru yang diamanahkan dalam peraturan tersebut. Urgensi UU NO 17 Tahun 2003 Berdasarkan UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 31, Gubernur/Bupati/Walikota harus membuat pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dalam bentuk laporan keuangan yang telah diaudit oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Laporan keuangan ini terdiri atas Laporan Realisasi APBD, Neraca, Laporan Arus Kas dan Catatan atas Laporan Keuangan. Hal ini menuntut kemampuan manajemen pemerintahan daerah untuk mengalokasikan sumber daya secara efisien dan efektif. Kemampuan ini memerlukan informasi akuntansi sebagai salah satu dasar penting dalam pengambilan keputusan alokasi sumber daya ekonomis. Laporan-laporan ini dapat dihasilkan dengan diterapkannya suatu sistem dan prosedur akuntansi yang integral dan terpadu dalam pengelolaan keuangan daerah. Dengan demikian laporanlaporan di atas dapat dihasilkan dengan diterapkannya suatu Sistem Informasi Akuntansi Keuangan Daerah (SIAKD) yang terintegrasi dengan sistem-sistem lain dalam manajemen keuangan daerah. Berdasarkan Undang-Undang No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara pasal 51 ayat (2), Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selaku Pengguna

Anggaran harus menyelenggarakan akuntansi atas transaksi keuangan, aset, utang, dan ekuitas dana, termasuk transaksi pendapatan dan belanja, yang berada dalam tanggung jawabnya. Hal ini berarti bahwa setiap SKPD harus membuat laporan keuangan unit kerja. Pasal 56 UU ini menyebutkan bahwa laporan keuangan yang harus dibuat setiap unit kerja adalah Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Catatan atas Laporan Keuangan, sedangkan yang menyusun laporan arus Kas adalah Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku Bendahara Umum daerah. Sistem Akuntansi Keuangan Daerah harus ditunjang dengan pembenahan tata kelola keuangan daerah lainnya, yang mendukung upaya penyempurnaan sistem. Sumber daya manusia pelaksana sistem harus diberikan pemahaman yang memadai, pengguna laporan keuangan (stakeholders) juga harus memahami peran dan fungsinya, serta bagaimana memanfaatkan laporan keuangan. Elemen masyarakat harus memahamai alur sistem secara global, sehingga mereka akan lebih sadar akan hak dan kewajibannya. Para eksekutif di pemerintah daerah harus memiliki pengetahuan tentang bagaimana memanfaatkan laporan-laporan internal yang dapat dihasilkan dari sistem akuntansi.

Sistem Pengelolaan Keuangan Daerah 1. Dasar Hukum Yang mendasari perundang-undangan penting yang melandasai pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah sebagai berikut : 1. UU No. 20 Tahun 1999 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah 2. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan daerah; 3. UU No. 1 Tahun 2004 tentang perbedaharaan 4. UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara; 5. UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; 6. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah; 7. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; 8. PP. No 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah; 9. PP No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah;

10. PP No. 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang telah diubah dengan PP No. 37 Tahun 2005, PP No. 37 Tahun 2006 dan PP No. 21 Tahun 2007; 11. PP No. 14 Tahun 2005 tentang Tatacara Penghapusan Piutang Negara/Daerah; 12. PP 23 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan; 13. PP No. 24 Tahun 2005 Standar Akuntansi Pemerintahan 14. PP No. 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah; 15. PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan; 16. PP No. 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah; 17. PP No. 57 Tahun 2005 tentang Hibah Kepada Daerah; 18. PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; 19. PP No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Estndar Pelayanan Minimal; 20. PP No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah; 21. PP No. 8 Tahun 2006 tentang Laporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah; 22. Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah; 23. Permendagri No. 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah 24.Permendagri No. 23 Tahun 2007 tentang Pedoman Tata Cara Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; 25.Permendagri No. 24 Tahun 2007 tentang Pedoman Pemeriksaaan dalam rangkaberakhirnya Masa Jabatan Kepala Daerah; 26. Permendagri No. 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Penanganan Pengaduan Masyarakat di Lingkungan Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah; 27. Permendagri No. 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Peraturan Menteri Dalam Negara No. 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
PEMBARUAN TATA KELOLA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH Perubahan pendekatan akuntansi pemerintah daerah dari single entry menuju double entrymerupakan perubahan yang cukup revolusioner. Kesiapan SDM daerah khususnya

di Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (Badan Pengelola Keuangan Daerah) umumnya kurang memiliki latar belakang bidang akuntansi. Oleh karena itu, penerapan pendekatan baru ini relatif akan menghadapi banyak kendala yang cukup besar di daerah. Meskipun pemerintah daerah sudah memiliki software akuntansi pemerintah bagi daerahnya, namun demikian karena penguasaan terhadap akuntansi masih belum memadai, maka kualitas laporan keuangan yang dihasilkan juga menjadi tidak memenuhi kaidah pelaporan keuangan normatif sesuai yang disyaratkan Standar Akuntansi Pemerintahan. Sistem pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel itu sudah menjadi kebutuhan dalam rangka terciptanya good governance dan clean

government yang menjadi simbol reformasi pemerintahan secara umum. Untuk itu upaya percepatan terhadap keberhasilan pembaruan (reformasi) manajemen keuangan bagi pemerintah daerah sudah selayaknya mendapat perhatian

serius... Pengelolaan keuangan daerah sering menghadapi masalah ketika perencanaan dan penganggaran tidak dilakukan dan berjalan dengan baik. Gagal dalam merencanakan sesungguhnya merencanakan sebuah kegagalan. Tulisan berikut ini menguraikan 13 permasalaha dalam perencanaan dan penganggaran di daerahberdasarkan. Edy Marbyanto. 1. Intervensi hak budget DPRD terlalu kuat dimana anggota DPRD sering mengusulkan kegiatan-kegiatan yang menyimpang jauh dari usulan masyarakat yang dihasilkan dalam Musrenbang. Jadwal reses DPRD dengan proses Musrenbang yang tidak match misalnya Musrenbang sudah dilakukan, baru DPRD reses mengakibatkan banyak usulan DPRD yang kemudian muncul dan merubah hasil Musrenbang. Intervensi legislative ini kemungkinan didasari motif politis yakni kepentingan untuk mencari dukungan konstituen sehingga anggota DPRD berperan seperti sinterklas yang membagi-bagi proyek. Selain itu ada kemungkinan juga didasari motif ekonomis yakni membuat proyek untuk mendapatkan tambahan income bagi pribadi atau kelompoknya dengan mengharap bisa intervensi dalam aspek pengadaan barang (procurement) atau pelaksanaan kegiatan. Intervensi hak budget ini juga seringkali mengakibatkan

pembahasan RAPBD memakan waktu panjang untuk negosiasi antara eksekutif dan legislative. Salah satu strategi dari pihak eksekutif untuk menjinakkan hak budget DPRD ini misalnya dengan memberikan alokasi tertentu untuk DPRD missal dalam penyaluran Bantuan Sosial (Bansos) ataupun pemberian Dana Aspirasi yang bisa digunakan oleh anggota DPRD secara fleksibel untuk menjawab permintaan masyarakat. Di salah satu kabupaten di Kaltim, dana aspirasi per anggota DPRD bisa mencapai 2 milyar rupiah per tahun. 2. Pendekatan partisipatif dalam perencanaan melalui mekanisme

musrenbang masih menjadi retorika. Perencanaan pembangunan masih didominasi oleh: Kebijakan kepala daerah, hasil reses DPRD dan Program dari SKPD. Kondisi ini berakibat timbulnya akumulasi kekecewaan di tingkat desa dan kecamatan yang sudah memenuhi kewajiban membuat rencana tapi realisasinya sangat minim. 3. Proses Perencanaan kegiatan yang terpisah dari penganggaran, Karena ketidakjelasan informasi besaran anggaran, proses Musrenbang kebanyakan masih bersifat menyusun daftar belanja (shopping list) kegiatan. Banyak pihak seringkali membuat usulan sebanyak-banyaknya agar probabilitas usulan yang disetujui juga semakin banyak. Ibarat memasang banyak perangkap, agar banyak sasaran yang terjerat. 4. Ketersediaan dana yang tidak tepat waktu. Terpisahnya proses perencanaan dan anggaran ini juga berlanjut pada saat penyediaan anggaran. APBD disahkan pada bulan Desember tahun sebelumnya, tapi dana seringkali lambat tersedia. Bukan hal yang aneh, walau tahun anggaran mulai per 1 Januari tapi sampai bulan Juli-pun anggaran program di tingkat SKPD masih sulit didapatkan. 5. Breakdown RPJPD ke RPJMD dan RPJMD ke RKPD seringkali tidak nyambung(match). Ada kecenderungan dokumen RPJP ataupun RPJM/Renstra SKPD seringkali tidak dijadikan acuan secara serius dalam menyusun RKPD/Renja SKPD. Kondisi ini muncul salah satunya disebabkan oleh kualitas tenaga perencana di SKPD yang terbatas kuantitas dan kualitasnya. Dalam beberapa kasus ditemui perencanaan hanya dibuat oleh Pengguna Anggaran

dan Bendahara, dan kurang melibatkan staf program sehingga banyak usulan kegiatan yang sifatnya copy paste dari kegiatan yang lalu dan tidak visioner. 6. Kualitas RPJPD, RPJM Daerah dan Renstra SKPD seringkali belum optimal. Beberapa kelemahan yang sering ditemui dalam penyusunan Rencana tersebut adalah; indicator capaian yang seringkali tidak jelas dan tidak terukur (kalimat berbunga-bunga), data dasar dan asumsi yang seringkali kurang valid, serta analisis yang kurang mendalam dimana jarang ada analisis mendalam yang mengarah pada how to achievesuatu target. 7. Terlalu banyak order dalam proses perencanaan dan masing-masing ingin menjadi arus utama misalnya gender mainstreaming, poverty mainstreaming, disaster mainstreaming dll. Perencana di daerah seringkali kesulitan untuk menterjemahkan isu-isu tersebut. Selain itu mainstreaming yang seharusnya dijadikan prinsip gerakan pembangunan seringkali malah disimplifikasi menjadi sector-sektor baru, misalnya isu poverty mainstreaming melahirkan lembaga Komisi Pemberantasan Kemiskinan padahal yang seharusnya perlu didorong adalah bagaimana setiap SKPD bisa berkontribusi mengatasi kemiskinan sesuai tupoksinya masing-masing. Demikian pula isu gender, juga direduksi dengan munculnya embel-embel pada Bagian Sosial menjadi Bagian Sosial dan Pemberdayaan Perempuan misalnya. 8. Koordinasi antar SKPD untuk proses perencanaan masih lemah sehingga kegiatan yang dibangun jarang yang sinergis bahkan tidak jarang muncul egosektoral. Ada suatu kasus dimana di suatu kawasan Dinas Kehutanan mendorong program reboisasi tapi disisi lain Dinas Pertambangan

memprogramkan ekploitasi batubara di lokasi tersebut. 9. SKPD yang mempunyai alokasi anggaran besar misal Dinas Pendidikan dan Dinas PU seringkali tidak mempunyai tenaga perencana yang memadai. Akibatnya proses perencanaan seringkali molor. Hal ini sering diperparah oleh minimnya tenaga Bappeda yang mampu memberikan asistensi kepada SKPD dalam penyusunan rencana. 10. APBD kabupaten/Kota perlu evaluasi oleh Pemprop. Disisi lain Pemprop mempunyai keterbatasan tenaga untuk melakukan evaluasi tersebut. Selain itu

belum ada instrument yang praktis yang bisa digunakan untuk evaluasi anggaran tersebut. Hal ini berakibat proses evaluasi memakan waktu agak lama dan berimbas pada semakin panjangnya proses revisi di daerah

(kabupaten/kota). 11. Kualitas hasil Musrenbang Desa/Kecamatan seringkali rendah karena kurangnya Fasilitator Musrenbang yang berkualitas. Fasilitasi proses perencanaan tingkat desa yang menurut PP 72 tahun 2005 diamanahkan untuk dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten (bisa via Pemerintah Kecamatan) seringkali tidak berjalan. Proses fasilitasi hanya diberikan dalam bentuk surat edaran agar desa melakukan Musrenbang, dan jarang dalam bentuk bimbingan fasilitasi di lapangan. 12. Pedoman untuk Musrenbang atau perencanaan (misal Permendagri 66 tahun 2007) cukup rumit (complicated) dan agak sulit untuk diterapkan secara mentah-mentah di daerah pelosok pedesaan yang sebagian perangkat desa dan masyarakatnya mempunyai banyak keterbatasan dalam hal pengetahuan, teknologi dll. 13. Dalam praktek penerapan P3MD, pendekatan pemecahan masalah yang HANYA melihat ke AKAR MASALAH saja dapat berpotensi menimbulkan bias dan oversimplifikasi terhadap suatu persoalan. Contoh kasus nyata; di sebuah desa di daerah masyarakat dan pemerintah mengidentifikasi bahwa rendahnya pengetahuan masyarakat disebabkan tidak adanya fasilitas sumber bacaan di wilayah itu. Sebagai solusinya mereka kemudian mengusulkan untuk dibangunkan gedung perpustakaan. Ternyata setelah gedung perpustakaan dibangun, sampai beberapa tahun berikutnya perpustakaan tersebut tidak pernah berfungsi bahkan kemudian dijadikan Posko Pemilu. Mengapa demikian? Hal itu terjadi karena mereka hanya berpikir soal membangun gedung, tetapi lupa berpikir dan mengusulkan bagaimana menyediakan buku/bahan bacaan untuk perpustakaan itu, lupa mengusulkan kepengurusan untuk mengelola perpustakaan itu dll. Kondisi seperti diatas mungkin tidak akan terjadi kalau mereka berpikir dulu soal outcome misalnya meningkatkan minat baca 50 % warga masyarakat. Dari outcome tersebut nantinya bisa

diidentifikasi output yang diperlukan misalnya: adanya gedung perpustakaan, buku atau bahan bacaan, tenaga pengelola perpustakaan, kesadaran masyarakat untuk datang ke perpustakaan dll. Dari contoh kasus itu nampaknya untuk pemerintah dan masyarakat memang perlu didorong untuk memahami alur berpikir logis (logical framework) sebuah perencanaan. Selain itu pola pikir yang ada yang cenderung berorientasi Proyek (yang berorientasi jangka pendek dan berkonotasi duit) menjadi orientasi Program (orientasi jangka panjang dan lebih berkonotasi sebagai gerakan pembangunan). Berdasarkan 13 permasalahan diatas sekurangnya ada tiga (mala)praktik tata kelola yang menunjukan buruk rupa manajemen keuangan daerah saat ini Pertama, problem proporsi alokasi sebagaimana ditunjukan rasio antara belanja modal (pembangunan) dan belanja aparatur (rutin). Hingga sewindu pelaksanaan

desentralisasi, desain politik alokasi anggaran di banyak daerah menunjukan minimnya peruntukan bagi masyarakat, baik berupa dana pelayanan publik maupun investasi Pemda bagi bergeraknya perekonomian. Hanya sekitar 20-30% APBD untuk belanja langsung bagi kepentingan masyarakat dan sisa terbesarnya untuk membiayai birokrasi. Kedua, problem kapasitas daya serap anggaran. Saat ini, sekitar 60% dana APBN kita beredar di daerah (30% lewat skema transfer ditambah 30% berasal dari dana dekonsentrasi, medebewinddan dana sektoral). Suatu jumlah uang beredar yang tentu amat besar, sekaligus tanggung jawab yang besar pula. Namun sayang, sejauh ini Pemda masih belum berkekuatan penuh menyerap anggaran yang ada, bahkan di sebagian daerah, sisa dana diparkir di perbankan berbentuk Sertifikat BI. Perlu dicatat, adanya dana yang menganggur itu bukan lantaran daerah berkelebihan uang atau pun sebagai hasil dari penghematan (efisiensi) anggaran. Sebaliknya, hal itu menunjukan adanya dana yang terbengkelai, karena buruknya sistem perencanaan anggaran, berbelitnya prosedur pengadaan barang/jasa pemerintah, lemahnya proses legislasi di daerah, atau orientasi sempit pada PAD dari bunga simpanan SBI. Kinerja instrumen fiskal semacam itu berakibat terbengkelainya pula program layanan publik dan tentu sulit menjadi stimulan alternatif di tengah masih lesunya investasi sektor swasta.

Ketiga, selain kedua masalah di atas, hari-hari ini media massa juga gencar memberitakan problem ketiga dalam manajemen keuangan daerah, yakni administrasi pelaporan keuangan. Hal ini tentu tidak saja menyangkut problem akuntansi dan tata pembukuan, tetapi lebih mendasar lagi mencerminkan politik kebijakan dan komitmen penegakan good governance di daerah. Alhasil, merujuk laporan BPK, setiap tahun terdapat tendensi memburuk dalam kualitas pengelolaan dan laporan keuangan. Data terakhir (2009) menunjukan, hanya ada 21 daerah yang memiliki status laporan wajar tanpa pengecualian, selebihnya: 249 daerah wajar dengan pengecualian, 7 daerah berstatus disclaimer (tak memberikan pendapat) dan 10 daerah adverse(tak wajar). Terkait masalah ini, sumber masalah utama adalah tidak efektifknya peran inspektorat (dulu bernama Bawasda) di daerah. Institusi yang sejatinya dibentuk sebagai garda depan jaminan tegaknya good governance dan menjadi instrumen strategis

pemberantasan korupsi ini justru mandul. Institusi ini hanya diposisikan sebagai unsur penunjang, desain kelembagaannya gampang terkooptasi oleh SKPD lainnya, ruang lingkup pengawasannya terbatas, tidak adanya mekanisme sanksi dalam pengawasan, dan status aparatnya disinyalir sebagai orang buangan yang mempengaruhi motivasi dan kapasitas kerja. Padahal, keberadaan inspektorat ini mestinya bernilai strategis. Pertama, menjadi lembaga preventif dan jaring pengaman internal sebelum datangnya pihak pengawas eksternal (BPK, KPK, dll). Kedua, sebagai unit pengawas internal yang memiliki peluang terlibat sejak fase perencanaan (input), pelaksanaan, capaian dan evaluasi kebijakan sehingga memungkinkan deteksi dini dan koreksi langsung untuk menghindari kerusakan masif. Seandainya semua ini dijalankan, bisa dipastikan mutu tata kelola dan tata pembukuan keuangan daerah tidak lagi menjadi sasaran permanen kritikan publik dan temuan BPK. Opsi Kuratif Isu manajemen keuangan daerah bukanlah semata urusan internal pemerintahan tetapi mesti dilihat sebagai bentuk akuntabilitas vertikal kepada pusat sebagai sumber dana perimbangan dan tanggung jawab politik kepada rakyat. Untuk itu, terhadap temuan

masalah, sanksi tegas harus diberikan, bila perlu lewat instrumen fiskal pula (pemotongan DAU). Opsi kuratif/represif ini saatnya mulai diterapkan pemerintah pusat kalau tidak mau masalah tersebut menjadi beban permanen. Selain itu, langkah persiapan (preventif) mesti segera menjadi program prioritas baik lewat penguatan kapasitas aparat perencana, pelaksana dan pengawas keuangan maupun redesain kelembagaan institusi inspektorat.

Reformasi Lima Pilar Tata Kelola Pemerintahan Daerah Berdasarkan Good Governance dan Clean Goverment
Oleh Turiman Fachturahman Nur Makalah Bintek Akuntabilitas SKPD di Kal-Bar
1. Apa Tujuan Seminar yang ingin dicapai ? Seminar yang bertajuk Reformasi Tata Kelola Pemerintahan Daerah Berbasis Parisipasi Masyarakat Menuju Keadilan dan Perdamaian, yang bertujuan: Pertama, Menggali konsep dan pembelajaran praktek tata kelola pemerintahan daerah yang baik di Indonesia.Kedua, Memetakan arah dan trend kebijakan desentralisasi di Indonesia. Ketiga,Mengelaborasi gagasan dan pengalaman praktek tata kelola pemerintahan daerah yang dapat menjadi model di Kalbar. 2. Bagaimana Reformasi Tata Kelola Pemerintahan Daerah ? Menurut penulis Perlunya 5 Pilar Tata Kelola Pemerintahan Daerah dalam Era Reformasi, yaitu: Pilar Pertama, Demokrasi melalui PILKADA Kebijakan pemberlakuan otonomi membuat setiap daerah memiliki kewenangan yang cukup besar dalam mengambil keputusan yang dianggap sesuai. Terlebih dengan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung yang

diselenggarakan sejak tahun 2005 ini, membuat kepala daerah terpilih mendapat legitimasi lebih kuat, dibanding saat dipilih oleh anggota DPRD. Tentunya kepala daerah hasil pilkada langsung ini membuahkan harapan yang cukup besar bagi masyarakat, yaitu kesejahteraan yang akan makin meningkat. Tetapi harapan tersebut ternyata tidak mudah untuk diwujudkan. Kekuatan visi & kompetensi kepala daerah terpilih menjadi salah satu penentu, di samping faktor-faktor lain. Tantangan terberat bagi kepala daerah terpilih adalah melaksanakan visi, misi, dan janji-janji semasa kampanye, yang hampir semuanya pasti baik. Setidaknya ada empat hal yang harus dimiliki dan disiapkan oleh seorang Kepala Daerah agar visi membangun dan mensejahterakan rakyatnya menjadi kenyataan, diperlukan pilar berikutnya yang diharapkan seorang kepala daerah

dapat menjalankan perannya dalam membangun daerahnya bisa optimal, atau kata kuncinya adalah daerah membangun bukan lagi membangun daerah. Pilar Kedua, Sumber Daya Manusia (SDM) Mengapa SDM ? Karena pada dasarnya manusialah yang menjadi pelaku dan penentu. SDM seperti apa yang diperlukan ? Yaitu SDM yang memiliki: moral yang baik (good morality), kemampuan kepemimpinan (leadership), kemampuan manajerial (managerial skill), dan kemampuan teknis (technical skill). Seorang kepala daerah perlu didukung oleh aparat yang mempunyai empat kualifikasi tersebut, diberbagai level jabatan & fungsinya. Moral yang baik menjadi prasyarat utama. Karena tanpa moral yang baik, semua kebijakan, sistem, program maupun kegiatan yang dirancang akan menjadi siasia. Tentunya kita menyaksikan terjadinya krisis moneter yang dimulai tahun 1997 lalu, kemudian krisis ekonomi, krisis kepemimpinan, dan masih terus berlanjut yang hingga sekarang masih dirasakan dampaknya. Sebab utama terjadinya krisis itu tidak lain adalah rendahnya moral sebagian pengambil kebijakan negeri ini. Moral yang baik akan menghasilkan sebuah pemerintahan yang bersih dari tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme demi kepentingan pribadi atau golongan tertentu saja.Saat ini tuntutan penerapan 3G (Good Government Governance) terusmenerus digaungkan oleh berbagai pihak. Penerapan prinsip-prinsip transparansi & akuntabilitas tanpa didukung oleh aparat yang bermoral baik, pada akhirnya hanya akan berhenti di tingkat wacana saja. Oleh karena itu, sejak awal dilantik, seorang kepala daerah harus segera menyiapkan aparatnya dalam aspek moral ini. Termasuk menjadikan dirinya sebagai teladan bagi semua bawahannya. Moral yang baik belumlah cukup, tapi juga harus diimbangi dengan kompetensi. Yaitu kemampuan di bidang kepemimpinan, manajerial, dan teknis. Untuk mencapai kompetensi yang diperlukan, tidak terlepas dari sistem kepegawaian yang diterapkan. Model manajemen SDM berbasis kompetensi nampaknya menjadi keniscayaan. Termasuk sistem kompensasi yang memadai harus menjadi perhatian.

Selain itu perlu didukung dengan perubahan paradigma, yaitu dari mental penguasa menjadi pelayan masyarakat. Termasuk budaya kerja yang proaktif & cepat tanggap terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat.

Pilar Ketiga, Kebijakan Maksudnya adalah berbagai konsep kebijakan yang berpihak kepada berbagai stakeholder, terutama kepentingan masyarakat luas. Secara formal, kebijakan tersebut akan dituangkan dalam peraturan daerah (perda) maupun peraturan kepala daerah.

Kepala daerah antara lain harus memiliki konsep pembangunan berkelanjutan & berkeadilan, konsep manajemen pemerintahan yang efektif & efisien, konsep investasi yang mengakomodir kepentingan pihak terkait, serta berbagai konsep kebijakan lainnya. Hal ini sesuai dengan UU No. 25 Tahun 2004 dan UU No. 32 Tahun 2004, yang mengamanatkan kepala daerah untuk menyusun RPJMD (Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Daerah), yang menjabarkan visi & misinya selama lima tahun masa pemerintahannya. Sehingga dengan demikian arah pembangunan sejak dilantik hingga lima tahun ke depan sudah jelas. Salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu daerah antara lain jika pemerintah dapat memenuhi 5 kebutuhan dasar masyarakatnya, yaitu: pangan, sandang, papan (perumahan), pendidikan, dan kesehatan. Selain itu kepala daerah harus mampu melihat suatu permasalahan secara komprehensif dan integratif, jangan sampai terjebak hanya melihat secara sektoral dan parsial, ataupun keuntungan jangka pendek. Jangan sampai seorang kepala daerah tidak tahu harus berbuat apa. Jika demikian, pemerintahan akan berjalan tak tentu arah. Sehingga pada akhirnya, rakyatlah yang harus menanggung akibatnya. Pilar Keempat, Sistem Artinya pemerintahan harus berjalan berdasarkan sistem, bukan tergantung pada figur. Sangat penting bagi kepala daerah untuk membangun sistem

pemerintahan yang kuat.

Beberapa sistem yang harus dibangun agar pemerintahan dapat berjalan secara baik antara lain: sistem perencanaan pembangunan, sistem pengelolaan keuangan daerah, sistem kepegawaian, sistem pengelolaan aset daerah, sistem pengambilan keputusan, sistem penyeleksian dan pemilihan rekanan, sistem dan standar pelayanan, sistem pengawasan.

Sistem yang dimaksud di sini dapat bersifat manual maupun yang berbasis teknologi informasi. Dukungan teknologi informasi menjadi sesuatu yang tidak dapat dielakkan jika pemerintahan ingin berjalan lebih efisien dan efektif. Penerapan sistem-sistem tersebut akan mendorong terjadinya 3G (Good Government Governance), yang pada akhirnya akan menghasilkan

pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Pilar Keempat: Investasi Tidaklah mungkin suatu pemerintahan daerah hanya mengandalkan dana dari APBD untuk membangun daerahnya. Mengapa ? Karena bisa dikatakan, sebagian besar daerah menggunakan rata-rata 2/3 dana APBD tersebut untuk membiayai penyelenggaraan aparaturnya. Hanya sekitar 1/3 yang dapat dialokasikan untuk pembangunan. Dibutuhkan dana ratusan milyar bahkan triliunan rupiah untuk membangun infrastruktur, seperti pembangkit listrik, jalan tol, pelabuhan laut, bandar udara, telekomunikasi, rumah sakit, hotel. Sedangkan infrastruktur merupakan syarat agar sebuah daerah dapat berkembang. Contoh lain adalah dalam rangka mengoptimalkan potensi sumber daya alam yang dimiliki, juga memerlukan dana yang tidak sedikit, yang tentunya tidak mungkin jika hanya mengandalkan dana APBD saja. Dengan keterbatasan dana yang dimiliki tersebut, mau tidak mau pemerintah daerah harus melibatkan pihak investor (dalam maupun luar negeri) dalam membangun daerahnya. Kepala daerah harus dapat menciptakan iklim yang kondusif agar para investor tertarik untuk menanamkan investasi di daerahnya. Setidaknya ada empat stakeholder yang harus diperhatikan kepentingannya saat kita bicara tentang investasi, yaitu pihak investor, pemerintah daerah,

masyarakat, dan lingkungan. Investor tentunya berkepentingan agar dana yang dinvestasikannya menghasilkan profit yang memadai, ingin mendapatkan berbagai kemudahan dan adanya jaminan keamanan dalam berinvestasi. Pihak pemerintah daerah ingin agar pendapatan asli daerahnya (PAD) meningkat. Masyarakat berharap kesejahteraannya makin meningkat dan lapangan kerja makin terbuka. Lingkungan perlu diperhatikan agar tetap terjaga kelestariannya. Jangan sampai karena terlalu bersemangat, akhirnya secara jangka panjang terjadi pengrusakan lingkungan 3. Pilar mana yang paling Penting dan selaras dengan reformasi ? Dari kelima pilar yang perlu diekplorasi adalah : Pilar Ketiga Kebijakan Pengertian Kebijakan Dalam beberapa literatur, pengertian kebijakan sangat beragam. Namun secara umum kebijakan publik dapat dikatakan merupakan rumusan keputusan pemerintah yang menjadi pedoman tingkah laku guna mengatasi masalah publik yang mempunyai tujuan, rencana dan program yang akan dilaksanakan secara jelas. Menurut Anderson (Dalam, Nyimas Dwi Koryati, 2004:7) menyatakan kebijakan publik merupakan pengembangan dari kebijakan yang dilakukan oleh institusi pemerintah dan aparaturnya. Sedangkan William Dunn mengatakan kebijakan publik adalah serangkaian pilihan yang kurang lebih berhubungan (termasuk keputusan untuk tidak berbuat) yang dibuat oleh badan-badan atau kantor-kantor pemerintah (Dunn, 2001) Adanya beberapa konsep kebijakan tersebut menunjukkan bahwa unsure tujuan, sasaran dan cara-cara bagaimana tujuan itu harus dicapai merupakan unsur pokok yang harus ditetapkan oleh pejabat pemerintah dalam membuat kebijakan pemerintah. Suatu keadaan yang diinginkan akan nampak pada tujuan kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Implementasi Kebijakan Sebagaimana diuraikan, mengingat analisis ini adalah merupakan analisis yang memfokuskan pada kajian implementasi program yang mempengaruhi kinerja program pemberdayaan wilayah terpadu, sebelum menganalisis apakah

implementasi kebijakan berjalan sesuai yang digariskan atau tidak perlu untuk dipahami benar apa yang dimaksud dengan implementasi kebijakan itu sendiri. Secara sederhana implementasi kebijakan dapat didefinisikan sebagaia suatu proses melaksanakan keputusan kebijaksanaan, biasanya dalam bentuk undangundang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan, perintah eksekutif atau instruksi presiden (Wahab, 1991:50) Keberhasilan Implementasi Kebijakan Keberhasilan implementasi kebijakan ini dapat dilihat dari terjadinya kesesuaian antara pelaksanaan/penerapan kebijakan dengan desain, tujuan dan sasaran kebijakan itu sendiri serta memberikan dampak atau hasil yang positif bagi pemecahan permasalahan yang dihadapi. Asumsi yang dapat dibangun mengenai konsep keberhasilan implementasi kebijakan adalah semakin tinggi derajat kesesuaiannya maka semakin tinggi pula peluang keberhasilan kinerja implementasi kebijakan untuk menghasilkan out put yang telah digariskan Dalam rangka pencapaian kesesuaian antara tujan dan sasaran kebijkan dengan kenyataan dilapangan, salah seorang pakar bernama Jan Merse (Dalam Sunggono, 1994) mengidentifikasi factor-faktor yang dapat menjadi penybab kegagalan dalam implementasi suatu kebijakan yakni informasi, isi kebijakan dan dukungan serta pembagian potensi dalam arti kinerja koordinasi yang intensif. 4. Bagaimana Model Implementasi Kebijakan ? Berikut akan diuraikan beberapa model implementasi kebijakan yang

dikemukakan oleh para pakar yakni : Pertama, model Meter & Horn (1975) dimana model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linier dari kebijakan publik,

implementator dan kinerja kebijakan publik. Beberapa indicator yang disertakan yakni aktivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi, karakteristik dan agen pelaksana, kondisi ekonomi, social dan politik, kecendrungan dari pelaksana/implementator. Kedua, model Mazmanian & Sabatier yang mengklasifikasikan proses

implementasi kebijakan kedalam tiga variable yakni variable independen, terkait dengan mudah idaknya masalah dikendalikan, variable intervening yakni

kemampuan untuk menstrukturkan proses implementasi dan variable dependen yang terkait dengan tahapan dalam proses implementasi kebijakan. Ketiga, model Hoogwood & Gun yang mempersyaratkan adanya jaminan bahwa kondisi eksternal yang dihadapi oleh lembaga/badan pelaksana tidak akan menimbulkan masalah yang besar, syarat ketersediaan sumber daya. Syarat ketiga yakni perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar ada, syarat berikutnya yakni apakah kebijakan yang akan diimplementasikan didasari hubungan kausal yang andal dan berapa banyak hubungan kausal yang terjadi. Syarat berikutnya yakni pemahaman mendalam terhadap tujuan dan tugas-tugas dirinci dan ditempatkan dalam urutan yang benar, koordinasi dan komunikasi dan adanya pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna. Keempat. Model Grindle (1980) yang ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan

ditransformasikan, maka implementasi kebijakan dilakukan. Kelima, model Elmore, Lipsky, Hjern & OPorter. Dimana model ini dimulai dari mengidentifikasi jaringan aktor yang terlibat dalam proses pelayanan dan menanyakan kepada mereka, tujuan, strategi, aktivitas, dan kontak-kontak yang mereka miliki. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan dapat dirumuskan sebagai tindakan yang dilakukan individu/kelompok/pejabat

pemerintah atau swasta yang diarahkan tercapainya tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan kebijakan dan sekalipun tindakan kebijakan yang dirancang sedemikian rupa untuk mencapai tujuan-tujuannya, tidak selalu tindakan tersebut dapat diwujudkan semua kehendak kebijakan jika proses implementasi tidak tepat. Analisis ini secara khusus mengadopsi dan mengadaptasi model implementasi \yang dikemukakan oleh Grindle dengan mengedepankan dua variable utama yakni content of policy, context of implementation dan dampak-dampak dari kebijakan itu sendiri. Variable yang digunakan untuk mengkaji keberhasilan program adalah variable yang diturunkan dari isi kebijakan yakni kepentingan para pelaku,

dukungan lingkungan yang berkaitan dengan pengerahan sumber daya dan karekteristik pelaksana yang diturunkan dari konteks implementasi. Selanjutnya, jika diamati model Grindle, maka isi kebijakan terdiri dari kepentingan yang dipengaruhi oleh kebijakan, jenis manfaat yang akan dihasilkan, derajat perubahan yang diinginkan, kedudukan pembuat kebijakan, siapa yang menjadi pelaksana program, sumber daya yang dikerahkan. Sedangkan konteks implementasi terdiri dari kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat, karakteristik lembaga dan penguasa, kepatuhana dan daya tangap. 5. Faktor-Faktor Apa Yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan ? Pendapat Jan Merse (Sunggono, 1994) di atas secara implicit telah mengungkapkan factor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan yakni meliputi isi kebijakan, informasi, dukungan dan pembagian potensi. Mudah tidaknya masalah dikendalikan sangat mempengaruhi pencapaian tujuan yang diambil untuk diimplementasikan. Kesukaran teknis misalnya merupakan hal yang sulit untuk dihindari dalam implementasi kebijakan. Untuk itu diperlukan suatu kebijakan yang mudah dikendalikan untuk memperkecil tingkat kesulitan yang terjadi Program pemberdayan dengan alokasi dana zakat, infaq dan shadaqah ini merupakan salah satu program yang berupaya untuk menunjang kebijakan pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat berupa pengentasan kemiskinan dan peningkatan daya saing sector riil. Menyadari bahwa beragamnya pendapat para ahli mengenai factor-faktor yang mempengaruhi kebrhasilan kinerja implementasi kebijakan sebagai variable dependen dan mengingat implementasi program ini bertumpu pada keterpaduan program dari para pelaksana, maka dalam menganalisa peneliti hanya akan mengadopsi dua variable independen dari Grindle yakni kepentingan pelaksana program dan dukungan lingkungan serta satu dari Meter dan Horn yakni variable karakteristik pelaksana kebijakan. Proses desentralisasi yang secara resmi ditandai dengan diberlakukannya UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999, mulai diimplementasikan pada tahun 2001 yang lalu. Kedua UU tersebut telah disempurnakan melalui UU No. 32/2004 dan UU

No. 33/2004. Pada hakikatnya, proses ini memberikan otonomi yang amat luas kepada pemerintahan kabupaten dan kota untuk dapat memberikan pelayanan publik yang lebih baik kepada masyarakat. Dengan didekatkannya

pemerintahan kepada rakyat yang memberikan mandat, maka pemerintah diharapkan dapat memberikan pelayanan publik yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat Untuk dapat menjalankan fungsinya dengan baik, pemerintahan daerah kabupaten dan kota perlu memiliki kapasitas yang tinggi untuk dapat mengelola sumber daya yang ada dengan baik dan efisien, serta untuk meningkatkan investasi publik dan swasta di daerahnya. Jika semua hal ini dapat terjadi, diharapkan bahwa kemiskinan dapat dikurangi dengan signifikan. Pelayanan publik yang responsif pada kebutuhan rakyat tersebut hanya dapat dilakukan jika terwujud mekanisme yang menjamin akses masyarakat untuk mendapatkan informasi yang memadai (transparansi) serta dapat terlibat dalam proses pengambilan kebijakan publik (partisipasi). Selain itu, diperlukan juga suatu mekanisme yang menjamin akuntabilitas atas pengelolaan keuangan daerah dan proses pengadaan barang dan jasa karena selama ini keduanya merupakan titik-titik kritis yang sering menimbulkan inefisiensi atas pengelolaan sumberdaya. Semua ini merupakan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance) yang perlu dilaksanakan di semua bidangmulai dari kebijakan dan peraturan sampai pada implementasinya. Sampai saat ini, secara umum proses desentralisasi menunjukkan kemajuan positif. Namun demikian, otonomi daerah jelas bukanlah sesuatu yang mudah dilaksanakan. Setiap kabupaten/kota mempunyai kapasitas dan kondisi yang berbeda-beda, sehingga laju reformasinya berbeda-beda pula. Beberapa kabupaten sudah sangat maju dengan program-program pembangunan yang terfokus dan serangkaian pembaruan dalam pengelolaan pemerintahannya. Sementara itu, sejumlah kabupaten lainnya, dengan memikul berbagai tanggungjawab baru, menjalankan otonomi daerah dengan susah payah. Di samping itu, kesempatan untuk melakukan pertukaran informasi dan pengalaman di antara kabupaten pun sangat terbatas.

7. Apa yang dimaksud Good Governance ? Berbagai penelitian menunjukkan bahwa baik buruknya tata pemerintahan dijalankan mempunyai hubungan kausualitas yang erat dengan hasil-hasil

pembangunan. Misalnya, penelitian Kaufmann, Kraay, dan Zoido-Lobaton (1999) menunjukkan bahwa kenaikan satu standar deviasi salah satu indikator pemerintahan menyebabkan kenaikan antara 2,5 sampai 4 kali pendapatan per kapita (range yang sama juga berlaku untuk penurunan angka kematian bayi), dan kenaikan tingkat melek huruf huruf antara 15 sampai 25 persen. Beberapa penelitian lainnya juga menunjukkan hubungan kausalitas positif antara efisiensi birokrasi dan menurunnya tingkat korupsi dengan pertumbuhan ekonomi dan investasi asing Bagi Indonesia, relevansi konsep ini menjadi sangat tinggi setelah banyak pihak menyalahkan bad/poor governance sebagai faktor penyebab utama negara ini menjadiyang kondisi sosial ekonominya paling buruk di antara sekian banyak negara Asia yang terkena krisis moneter 1997. Definisi umum governance adalah tradisi dan institusi yang menjalankan kekuasaan di dalam suatu negara, termasuk (1) proses pemerintah dipilih, dipantau, dan digantikan, (2) kapasitas pemerintah untuk memformulasikan dan melaksanakan kebijakan secara efektif, dan (3) pengakuan masyarakat dan negara terhadap berbagai institusi yang mengatur interaksi antara mereka. Unsur yang terakhir dapat dilakukan melalui tiga struktur komunikasi, yaitu kewenangan, legitimasi, dan representasi Kewenangan adalah hak pemerintah untuk membuat keputusan dalam bidang tertentu. Walaupun ini merupakan hak dari suatu pemerintah modern, namun yang terpenting adalah bagaimana melibatkan persepsi rakyat tentang tindakan yang perlu dilakukan pemerintah.Legitimasi diperoleh karena masyarakat mengakui bahwa pemerintah telah menjalankan peranannya dengan baik, atau kinerja dalam menjalankan kewenangan itu tinggi.Representasi diartikan sebagai hak untuk mewakili pengambilan keputusan bagi kepentingan golongan lain dalam kaitannya dengan alokasi sumber daya.

Dari sini terlihat bahwa good governance tidaklah terbatas pada bagaimana pemerintah menjalankan wewenangya dengan baik semata, tetapi lebih penting lagi adalah bagaimana masyarakat dapat berpartisipasi dan mengontrol pemerintah untuk menjalankan wewenang tersebut dengan baik (accountable). Karenanya, seringkali tata pemerintahan yang baik dipandang sebagai sebuah bangunan dengan 3 tiang. Ketiga tiang penyangga itu adalah transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi. 8. Apa tiga tiang dari Good Governance ? A. Transparansi Transparansi berarti terbukanya akses bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap setiap informasi terkait --seperti berbagai peraturan dan perundang-undangan, serta kebijakan pemerintah dengan biaya yang minimal. Informasi sosial, ekonomi, dan politik yang andal (reliable) dan berkala haruslah tersedia dan dapat diakses oleh public (biasanya melalui filter media massa yang bertanggung jawab). Artinya, transparansi dibangun atas pijakan kebebasan arus informasi yang memadai disediakan untuk dipahami dan (untuk kemudian) dapat dipantau. Transparansi jelas mengurangi tingkat ketidakpastian dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan publik. Sebab, penyebarluasan berbagai informasi yang selama ini aksesnya hanya dimiliki pemerintah dapat memberikan kesempatan kepada berbagai komponen masyarakat untuk turut mengambil keputusan. Oleh karenanya, perlu dicatat bahwa informasi ini bukan sekedar tersedia, tapi juga relevan dan bisa dipahami publik. Selain itu, transparansi ini dapat membantu untuk mempersempit peluang korupsi di kalangan para pejabat publik dengan terlihatnya segala proses pengambilan keputusan oleh masyarakat luas. B. Akuntabilitas Akuntabilitas atau accountability adalah kapasitas suatu instansi pemerintahan untuk bertanggung gugat atas keberhasilan maupun kegagalannya dalam melaksanakan misinya dalam mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan secara periodik. Artinya, setiap instansi pemerintah mempunyai kewajiban untuk mempertanggungjawabkan pencapaian organisasinya dalam pengelolaan

sumberdaya yang dipercayakan kepadanya, mulai dari tahap perencanaan, implementasi, sampai pada pemantauan dan evaluasi. Akuntabilitas merupakan kunci untuk memastikan bahwa kekuasaan itu dijalankan dengan baik dan sesuai dengan kepentingan publik. Untuk itu, akuntabilitas mensyaratkan kejelasan tentang siapa yang bertanggunggugat, kepada siapa, dan apa yang dipertanggunggugatkan. Karenanya, akuntabilitas bisa berarti pula penetapan sejumlah kriteria dan indikator untuk mengukur kinerja instansi pemerintah, serta mekanisme yang dapat mengontrol dan memastikan tercapainya berbagai standar tersebut. Berbeda dengan akuntabilitas dalam sektor swasta yang bersifat dualaccountabilitystructure (kepada pemegang saham dan konsumen), akuntabilitas pada sektor public bersifat multiple-accountability structure. Ia dimintai

pertanggungjawaban oleh lebih banyak pihak yang mewakili pluralisme masyarakat. Rincinya, kinerja suatu instansi pemerintah harus dapat

dipertanggungjawabkan

terhadap

atasan,

anggota

DPRD,

organisasi

nonpemerintah, lembaga donor, dan komponen masyarakat lainnya. Semua itu berarti pula, akuntabilitas internal (administratif) dan eksternal ini menjadi sama pentingnya. Akhirnya, akuntabilitas menuntut adanya kepastian hukum yang merupakan resultan dari hukum dan perundangan-undangan yang jelas, tegas, diketahui publik di satu pihak, serta upaya penegakan hukum yang efektif , konsisten, dan tanpa pandang bulu di pihak lain. Kepastian hukum juga merupakan indikator penting dalam menimbang tingkat kewibawaan suatu pemerintahan,

legitimasinya di hadapan rakyatnya, dan dunia internasional. C. Partisipasi Partisipasi merupakan perwujudan dari berubahnya paradigma mengenai peran masyarakat dalam pembangunan. Masyarakat bukanlah sekedar penerima manfaat (beneficiaries) atau objek belaka, melainkan agen pembangunan (subjek) yang mempunyai porsi yang penting. Dengan prinsip dari dan untuk rakyat, mereka harus memiliki akses pada pelbagai institusi yang mempromosikan pembangunan. Karenanya, kualitas hubungan antara pemerintah dengan warga

yang dilayani dan dilindunginya menjadi penting di sini.Hubungan yang pertama mewujud lewat proses suatu pemerintahan dipilih. Pemilihan anggota legislatif dan pimpinan eksekutif yang bebas dan jujur merupakan kondisi inisial yang dibutuhkan untuk memastikan bahwa hubungan antara pemerintah -yang diberi mandat untuk menjadi dirigen tata pemerintahan inidengan masyarakat (yang diwakili legislatif) dapat berlangsung dengan baik. Pola hubungan yang kedua adalah keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Kehadiran tiga domain pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil dalam proses ini amat penting untuk memastikan bahwa proses pembangunan tersebut dapat memberikan manfaat yang terbesar atau kebebasan (mengutip Amartya Zen) bagi masyarakatnya. Pemerintah menciptakan lingkungan politik, ekonomi, dan hukum yang

kondusif. Sektor swasta menciptakan kesempatan kerja yang implikasinya meningkatkan peluang untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Akan halnya masyarakat sipil (lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, koperasi, serikat pekerja, dan sebagainya) memfasilitasi interaksi sosial-politik untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas ekonomi, sosial, dan politik. Sementara itu, di tingkat praktis, partisipasi dibutuhkan untuk mendapatkan informasi yang andal dari sumber pertama, serta untuk mengimplementasikan pemantauan atas atas implementasi kebijakan pemerintah, yang akan

meningkatkan rasa memiliki dan kualitas implementasi kebijakan tersebut. Di tingkatan yang berbeda, efektivitas suatu kebijakan dalam pembangunan mensyaratkan adanya dukungan yang luas dan kerja sama dari semua pelaku (stakeholders) yang terlibat dan memiliki kepentingan. 9. Bagaimana Hubungan antar Komponen Good Governance ? Secara konseptual, hubungan antara ketiga komponen tata pemerintahan yang baik itu mutualistik dan saling mendukung. Efektivitas dan efisiensi sumber daya dalam mencapai tujuannya mensejahterakan bangsa menuntut tingkat akuntabilitas penyelenggara negara (pemerintah) yang relatif tinggi. Tanpa adanya partisipasi public untuk mengamankan (safeguard) proses penyelenggaraan negara, sulit

diharapkan akuntabilitas dan penegakan hukum dapat berjalan dengan baik. Di lain pihak, partisipasi publik tidak mungkin dapat berjalan dengan efektif tanpa adanya hak publik untuk mengakses informasi yang dimilik oleh pemerintah. Sebaliknya, transparansi sendiri tidak mungkin tercipta jika pemerintah tidak bertanggung gugat dan tidak ada jaminan hukum atas hak publik untuk mengakses berbagai informasi tersebut. Jadi, ketiganya saling mengkait dan sulit untuk dapat berjalan sendiri tanpa adanya dukungan dari komponen lainnya. Satu hal penting lainnya untuk negara yang secara geografis luas dengan jumlah penduduk yang besar seperti Indonesia dibutuhkan adanyaotonomi yang demokratis di tingkat pemerintah daerah yang memastikan bahwa interaksi antara pemerintah dan masyarakat ini dapat terjadi secara langsung dan intensif di lingkup yang kecil. 10. Bagaimanakah konsep Tata Kelola Pemerintahan Daerah ? Tata kelola pemerintahan merupakan suatu konsep lama yang berasal dari teori politik demokrasi awal yang membahas hubungan antara penguasa dengan rakyat. Sebagai contoh, pada abad ke 19 Woodrow Wilson mendefinisikan tata kelola pemerintahan sebagai sebuah pemerintahan yang dengan benar dan berhasil melaksanakan suatu kebijakan dengan memperhatikan tingkat efisiensi dan dengan mengeluarkan biaya dan tenaga yang paling sedikit (dikutip oleh LaPorte 2002:3). Meskipun tata kelola pemerintahan merupakan konsep yang sudah lama dikembangkan, namun baru dalam satu dekade terakhir ini konsep tata kelola pemerintahan mendapat perhatian cukup besar di kalangan pembuat kebijakan internasional. Perkembangan demikian dimotivasi oleh suatu anggapan bahwa bantuan bilateral dan multilateral dari negara maju ke negara berkembang telah gagal mencapai tujuannya (misalnya untuk menanggulangi kemiskinan, mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan, dll). Menurut mereka, hal ini terjadi karena kapasitas administratif pemerintah negara sedang berkembang sangat buruk dalam mengelola proyek-proyek bantuan, dan maraknya praktek KKN dalam

melaksanakan program bantuan tersebut. Dari pengalaman ini negara donor kemudian menyimpulkan bahwa tata kelola pemerintahan yang baik sangat penting bagi suskesnya program bantuan luar negeri mereka di negara sedang berkembang. Karena itu, negara donor telah mulai mengaitkan bantuan luar negeri mereka

dengan upaya mewujudkan praktek tata kelola pemerintahan yang baik di negaranegara sedang berkembang. Ada beberapa definisi yang berbeda tentang tata kelola pemerintahan yang diajukan oleh lembaga donor bilateral dan multilateral. Bank Dunia (1992) mendefinisikan tata kelolapemerintahan yang baik sebagai: Suatu pelayanan publik yang efisien, sebuah sistem peradilan yang dapat dipercaya, dan sebuah administrasi pemerintahan yang bertanggungjawab kepada publik... Tata kelola pemerintahan yang baik, bagi Bank Dunia, berkaitan erat dengan manajemen pembangunan yang baik [Ini] sangat penting untuk membuat dan menciptakan suatu lingkungan yang mendukung berlangsungnya pembangunan yang kuat dan merata, dan ini merupakan suatu komponen yang penting untuk membuat kebijakan ekonomi yang baik. Lebih lanjut, Bank Dunia (1992) mendefinisikan tiga dimensi tata kelola pemerintahan: (1) bentuk suatu rezim politik (parlementer atau presidensial, pemerintahan militer atau sipil, dan otoriter atau demokratis); (2) proses di mana kewenangan dilaksanakan dalam manajemen sumber ekonomi dan sosial suatu negara; dan (3) kapasitas pemerintah untuk merancang, membentuk, dan melaksanakan kebijakan, dan secara umum kapasitas untuk melaksanakan fungsifungsi pemerintahan. Pada tahun 1995, dalam sebuah pidato yang menjelaskan kebijakan baru pemerintah Amerika Serikat terhadap bantuan luar negeri ke negara sedang berkembang, Wakil Presiden Albert Gore, Jr. (dikutip LaPorte (2002:4) menyebutkan lima dasar tata kelola pemerintahan yang baik, yaitu: (1) administrasi negara haruslah jujur dan transparan; (2) administrasi negara harus disederhanakan dan diselenggarakan seefisien mungkin; (3) pemerintah pusat harus mendesentralisasikan sebagian besar fungsinya kepada pemerintah di bawahnya dan melayani publik pada tingkat yang paling dekat dengan rakyat; (4) negara demokratis harus menjamin keamanan warga negaranya (baik dalam bidang politik maupun ekonomi); dan (5) negara demokratis harus berdasar pada sistem pengadilan yang terbuka dan modern. Sementara itu The United Nations Development Program (UNDP, 1997) mendefinisikan tata kelola pemerintahan sebagai: Pelaksanaan kewenangan ekonomi, politik, dan

administratif untuk menangani persoalan suatu negara dalam setiap tingkatan. Hal ini terdiri dari mekanisme, proses, dan institusi dimana warga negara dan lembaga masyarakat mengutarakan pendapat mereka, menggunakan hak hukum mereka, memenuhi kewajibannya, dan menengahi perbedaan pendapat diantara mereka. Terakhir, ekonom Bank Dunia Daniel Kaufmann, Aart Kraay, and Pablo Zoido- Lobation (1999) mendefinisikan tata kelola pemerintahan yang baik sebagai: tradisi dan institusi dimana kewenangan di sebuah negara dilaksanakan, yaitu: (1) proses dimana pemerintahan dipilih, dimonitor, dan diganti; (2) kemampuan pemerintah untuk merancang dan melaksanakan suatu kebijakan secara efektif; dan (3) rasa hormat warga negara dan pemerintah terhadap institusi yang mengontrol interaksi ekonomi dan sosial di antara mereka. Kesimpulannya, tata kelola pemerintahan merupakan suatu konsep multidimensi yang terdiri dari variabel politik, ekonomi, dan sosial budaya yang menentukan apakah kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah dapat mencapai tujuan yang ditargetkan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dari berbagai definisi tata kelola pemerintahan yang baik di atas, Kinutha-Njenga (1999) menyimpulkan bahwa praktek-praktek pemerintahan yang mencirikan bahwa suatu negara melaksanakan tata kelola pemerintahan yang baik adalah sebagai berikut:a. Pemerintah negara yang bersangkutan terpilih secara demokratis dan

mempromosikan/mendukung hak asasi manusia dan kepastian hukum (rule of law); b. Terdapat gerakan masyarakat madani yang kuat dan sehat; c. Pemerintah negara tersebut dapat membuat dan melaksanakan kebijakan public yang efektif; dan d. Pemerintah negara tersebut mengatur ekonomi negaranya berdasarkan atas pasar yang bebas, kompetitif, dan efisien serta pemilik modal. 11.Bagaimana Reformasi Pemerintah Daerah dalam Pembangunan di

Indonesia?Implementasi desentralisasi di banyak daerah otonom kini tidak sepenuhnya bersifat reaksioner. Beranjak dari pengalaman getir bahwa kebijakan otonomi daerah di Indonesia diwarnai arogansi pemerintah daerah dalam membuat perda, tindakan eksploitatif serta terhadap sumberdaya antardaerah

& stakeholders demi

penimbunan

PAD,

ketimpangan

berdasarkan polarisasi kaya-miskin, kini sedikit-banyak mulai memiliki alternatif bentuk aplikasi yang terencana, inovatif, dan tentunya reformis. Jumlahnya tidak

banyak, memang, tetapi taksiran awal sebanyak hanya 5% dari seluruh kabupaten/ kota dan propinsi di Indonesia yang berinovasi serta melaksanakan reformasi birokrasi dalam pemerintah daerahnya bisa menjadi bukti bahwa otonomi daerah memiliki dampak positif dalam skala lokal, regional, dan nasional. Pembangunan daerah tentu memiliki banyak aspek dan pekerjaan rumah yang menumpuk sehingga sulit bagi pemerintah daerah jika harus menggarap semua aspek dan jenis pembangunan. Untuk mengoptimalkan pembangunan

daerahnya, pemerintah daerah mesti mencari daya pengungkit (leverage) yang berujung pada penentuan skala prioritas. Keberhasilan pembangunan daerah pada pokoknya menggunakan sejumlah pola leverage, yakni: 1. Reformasi birokrasi pemerintah daerah 2. Perluasan akses pendidikan bagi masyarakat 3. Peningkatan kualitas kesehatan masyarakat 12. Apakah Reformasi Birokrasi Pemerintah Daerah ? Reformasi birokrasi publik pada pemerintah daerah dilaksanakan tidak hanya mencakup pembenahanjika tidak disebut perombakanstruktural menuju perampingan ukuran dan komponen birokrasi, sebagaimana diamanatkan dalam PP No. 8 Tahun 2003. Lebih dari itu, reformasi birokrasi publik juga mencakup perubahan secara gradual terhadap nilai (public value) dan budaya aparat pemerintah daerah yang berimplikasi pada etos kerja, kualitas pelayanan publik, hingga perubahan perilaku sebagai penguasa (ambtenaar) menjadi pelayanan & pengayoman. Pemerintah Kabupaten Sragen, misalnya, melakukan perombakan struktural dengan penambahan satuan kerja adhoc. Kelembagaan satker adhoc ini tidak masuk ke dalam struktur birokrasi pemda tetapi mengemban fungsi yang justru menunjang pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan lainnya agar lebih optimal. Marketing Unit (MU) dibentuk Pemkab Sragen sebagai unit fungsional yang bertugas dalam memasarkan potensi sumberdaya kompetitif, peluang investasi, serta produkproduk unggulan kepada pihak-pihak di dalam dan luar Kabupaten Sragen. Bentuk kelembagaan adhocracy unit fungsional ini tidak hanya menjadikan MU

dapat lincah dan leluasa bergerak dengan koordinasi langsung dengan Bupati/ Wakil Bupati tetapi juga memenuhi ketentuan PP No. 8 Tahun 2003 yang lebih menekankan keterpenuhan fungsi daripada pengayaan struktur birokrasi. Lembaga adhoc lain yang dibentuk adalah Engineering Services ((ES) yang dibentuk untuk membuat seluruh perencanaan yang bersifat konstruksi. Perencanaan berikut estimasi yang dibuat oleh satker ini akan menyelaraskan kebutuhan biaya konstruksi dengan sumberdaya yang harus dikeluarkan pada setiap proyek konstruksi. Cara kerja ini mirip sekali dengan Tim Owner Estimate (OE) bentukan Pemkab Jembrana, Bali. Tim OE, melalui estimasi dan kalkulasi matematis atas kebutuhan pekerjaan konstruksi, memberikan second opinion kepada Bupati perihal kebutuhan yang sesungguhnya dari suatu pekerjaan konstruksi. Kerja kedua satker ini, baik ES maupun OE, diarahkan pada minimasi praktek korupsi yang hamper menjadi keumuman di banyak tempat terjadi dalam proyek-proyek konstruksi. 13. Bagaimana Reformasi Struktural berdasarkan Goods Goverment ? 1. Pelayan Publik Reformasi struktural birokrasi pemda juga pelayanan memiliki publik. varian Reformasi lain, ini

yakni reengineering processterhadap

menekankan pada rekayasa mekanisme pelayanan publik yang dilekatkan dengan aspek struktural suatu birokrasi publik. Contoh nyata varian reformasi ini adalah pelayanan satu pintu (one stop service), tidak sekadar satu atap, untuk melaksanakan pelayanan perizinan dan nonperizinan. Bentuk

pelayanan ini baru bisa direkayasa dengan restrukturisasi organ satuan kerja ke dalam satu Badan berikut pelimpahan kewenangan padanya, dipadukan dengan penggunaan teknologi informasi intranet sebagai pewujudanegovernment dalam pengertian yang sebenarnya. Sebagai contoh, Pemkab Kutai Timur membentuk Badan Sistem Informasi Manajemen Pemerintahan Kabupaten (Badan Simpekab) yang melayani 42 jenis pelayanan. Dalam ragam yang sama, Pemkab Sragen membentuk Badan Pelayanan Terpadu (BPT) yang melayani 62 jenis pelayanan dengan batas waktu pelayanan maksimal 12 hari (khusus pelayanan IMB 15 hari). Pengambil keputusan

dalam pemberian izin tidak lagi bergantung pada Bupati tetapi telah diserahkan kepada Kepala BPT. Kerja BPT ditunjang oleh teknologi informasi (TI), menggunakan intranet dalam aplikasi Kantaya (Kantor Maya) yang secara resiprokal menjamin pertukaran informasi secara efisien sekaligus mekanisme pengawasan secara transparan antarsatker. Secara lebih luas Pemkab Sragen memanfaatkan TI dalam pengoperasian kerja pemda sehingga tidak terbatas pada BPT. Keberadaan Badan pelayanan satu pintu semacam ini memangkas kesemrawutan pengurusan izin di berbagai dinas sehingga pelayanan bisa memanfaatkan waktu yang lebih singkat. Perubahan struktural mesti diikuti oleh perubahan kultural, berupa

internalisasi mindset dan perilaku, serta revitalisasi etos kerja. Beranjak dari keinginan untuk melepaskan diri dari budaya birokratis yang kaku, beberapa kepala daerah mengarahkan perubahan kultural menuju corporate Bupati Sragen,

culture yang

berlandaskan

semangat

kewirausahaan.

misalnya, selama enam bulan pertama masa jabatannya secara rutin mengadakan pertemuan dengan kepala-kepala satker untuk membicarakan persoalan masyarakat yang terakumulasi dan belum terselesaikan untuk kemudian dipecahkan bersama saat pertemuan itu juga. Bupati juga mencanangkan nilai-nilai publik di tengah-tengah jajaran birokrasi pemda berupa 5K: Komitmen, Konseptual, Kontinu, Konsisten, dan konsekuen. 5K tidak sekadar dicanangkan tapi diintegraskan dalam mekanisme kerja harian, terutama yang bersinggungan langsung dengan tupoksi Bupati/ Wakil Bupati. Pemkab Sragen juga mengundang pelaku bisnis di perusahaan swasta untuk memberikan pelatihan perilaku organisasi bagi pegawai BPT agar mereka berperilaku dan bertindak selayaknya karyawan swasta yang berorientasi pada kepuasan pengguna jasa (consumer,customer). Di samping itu, pelatihan ESQ telah beberapa kali diselenggarakan Untuk menangani masalah-masalah psikologis pegawai, Pemkab Sragen

membangun Klinik Terapi Holistik yang menjadi pusat konsultasi dan penyelesaian problem personal pegawai, baik psikologis, spiritual, dan medis. Klinik ini kemudian dikembangkan menjadi Assessment Center yang

menjalankan penilaian prestasi kerja secara terukur dan solutif dengan pendekatan holistik tadi. Semangat keiwarusahaan dipompa melalui penyediaan professional fee bagi para pegawai satker yang melakukan kegiatan-kegiatan produktif dan marketable. Production training center (PTC) Garmen dan Meubel di Badan Diklat, Perangkat Pilkades secara elektronik di Bag. Pemerintahan Umum Setda, aplikasi TI di Bag. Litbang & PDE Setda, merupakan sedikit dari sekian banyak contoh satker yang bisa

meraihprofit dari program-program kegiatannya. Berbeda dengan Pemkab Sragen, Gubernur Gorontalo mengurangi mekanisme honorarium sebagai cara pemberian insentif berbasis take-home pay.

Sebagai gantinya, penilaian kinerja pegawai dilakukan secara terukur berdasarkan produktivitas kerja sehingga diterapkan insentif bagi pegawai yang tercatat berprestasi dalam aktivitas mereka. Di samping itu, pengerjaan kegiatan-kegiatan Pemprov Gorontalo tidak lagi menggunakan sistem proyek. Setiap elemen dalam satuan kerja telah memiliki pembagian tugasnya masing-masing dan bertindak atas job specification yang telah dibagi itu. Inilah salah satu wujud penerapan anggaran berbasis kinerja, pegawai dengan kinerja bagus akan mendapatkan insentif tersendiri. Di samping menekankan anggaran berbasis kinerja dan efisiensi keuangan, transparansi dan akuntabilitas Pemprov Gorontalo diwujudkan dengan pemuatan laporan keuangan yang spesifik di media massa. 2. Cara berbeda diterapkan Walikota Tarakan. Pemkot Tarakan, Kalimantan Barat, melakukan outsourcing SDM dari luar jajaran Pemkot untuk duduk menjabat sebagai kepala satker tertentu. Kepala Bappeda Kota Tarakan bisa menjadi salah satu contoh. Target yang hendak dicapai melalui cara ini adalah terjadinya transfer pengetahuan, budaya, cara berpikir, dan cara kerja baru di lingkungan Pemkot. Pihak luar yang digandeng untuk ikut menjalankan roda pemerintahan daerah diasumsikan memiliki karakter yang masih segar dan belum mengalami kontak asimilasi budaya dengan pegawai lama. Posisinya yang strategis memudahkannya dalam mengambil

keputusan sekaligus menjalankan peran pentng di lingkungan satker tempat

ia bertugas. Langkah lain adalah dengan memangkas pengelolaan fungsifungsi yang bukan merupakan pekerjaan pokok (core-business) pemkot. Pengelolaan pasar, melalui sistem tender yang terbuka dan akuntabel, dikelola perusahaan swasta dengan regulasi tetap di tangan Pemkot sehingga intervensi pengelolaan pasar dan pengelolaan keuangan oleh Pemkot melalui Perusahaan Daerah (Perusda) menjadi berkurang. Hal ini di Tarakan diterapkan di Pasar Boom-Panjang yang sekarang dikenal sebagai pasar dengan kreativitas penggalian potensi laba, bersih dan apik, berbeda dengan kondisi pasar-pasar tradisional pada umumnya. Perusahaan swasta dalam mengelola pasar hanya menggunakan setengah karyawannya, setengah kebutuhan jumlah pengelola diambil dari kalangan pedagang pasar per blok. 3. Perluasan Akses Pendidikan bagi Masyarakat Upaya memajukan dunia pendidikan merupakan investasi jangka panjang, jauh melebihi usia tampuk pemerintahan seorang kepala daerah, bahkan hingga dua kali masa jabatannya. Inilah yang menyebabkan tidak banyak kepala daerah menjejakkan program-programnya pada sektor ini karena dalam kurun waktu periode kekuasaannya, hasilnya tidak langsung dirasakan, pun bersifat intangible. Tidak banyak pula pemda yang

menjadikan upaya peningkatan kualitas pendidikan sebagai pengungkit utama dalam mencapai kemajuan daerah. Namun, yang menjadi tren adalah mengasumsikan kegiatan penarikan investor dan pengembangan kegiatankegiatan jasa sebagai pengungkit kemajuan daerah. Hal ini tidak sepenuhnya salah, memang, tetapi memandang dunia pendidikan sebelah mata jelas bukan sikap yang bijak. Ditengah-tengah menjamurnya tren tersebut, terdapat beberapa pemda yangconcern memajukan dunaia pendidikan dengan memperluas akses pendidikan bagi masyarakat sekaligus memperbaiki mutu

keberlangsungannnya. Di Maluku Utara, Pemkab Halmahera Selatan dalam dua tahun terakhir telah menerapkan pendidikan gratis agar program wajib belajar 12 tahun tidak sekadar jargon. Pendidikan gratis bagi para siswa

sekolah dasar hingga menengah atas berkenaan dengan keadilan antaretnis yang diharapkan berujung pada kebersamaan etnis. Jika pendidikan gratis diterapkan untuk semua siswa, tidak akan ada kalangan etnis tertentu yang merasa didiskriminasikan. Hal yang sama diterapkan di Kabupaten Kutai Timur dalam setahun terakhir. Pemkab Kutai Timur menerapkan

pembebasan biaya pendidikan dari SD hingga perguruan tinggi, termasuk pungutan uang gedung, dan biaya ujian. Selain itu, pemkab juga memberikan insentif tambahan bagi tenaga pendidik hingga Rp 1,5 juta. Ini semua soal concern pemda agar tuntutan anggaran sebesar 20% dari APBD, selain dari APBN, terpenuhi secara riil. Di Kabupaten Jembrana, Bali, concern terhadap dunia pendidikan telah dilakukan sejak lama, lebih-kurang enam tahun berjalan. Untuk memajukan dunia pendidikan Pemkab Jembrana menggunakan kebijakan-kebijakan jitu berdasarkan pelaku, program, dan sarana yang bermain di sektor ini. Terhadap para siswa, Pemkab Jembrana menerapkan pendidikan gratis dari tingkat pendidikan dasar hingga menengah (SMA) bagi mereka yang menempuh pendidikan di sekolah negeri. Bagi yang bersekolah di swasta, Pemkab memberikan beasiswa bagi siswa tidak mampu. Program ini untuk membuka kesempatan yang sama bagi seluruh warga masyarakat untuk mengecap pendidikan. Bagi tenaga pendidik, insentif Rp 5.000,00/ jam mengajar dan tunjangan Rp 1 juta setiap tahun merupakan instrumen pendorong semangat guru. mengajar Namun, ini sekaligus tidak membantu memperbaiki perbaikan

kesejahteraan

melupakan

upaya

infrastruktur pendidikan. Di saat banyak sekolah di berbagai daerah mengalami kondisi fisik yang memperihatinkan, Pemkab Jembrana justru melakukan perbaikan gedung dan sarana belajar-mengajar. Untuk

mengoptimalkan fungsi pendidikan yang tidak terperangkap pada rutinitas pengajaran, Pemkab Jembrana menyelenggarakan Sekolah Kajian. Sekolah ini memadukan sistem pendidikan yang diberlakukan di sejumlah sekolah, seperti SMA Taruna Nusantara, Pondok Pesantren, serta pola pendidikan di sekolah-sekolah Jepang. Jadilah kemudian model sekolah ini berorientasi

pada pengembangan pendidikan secara lebih inovatif, muatan disiplin yang tinggi, pendidikan akhlak secara intensif, keterampilan praktis, penguasaan IPTEK sejak dini, dan berwawasan global. Secara praktis sekolah ini dilaksanakan dengan sistem asrama (boarding school) dengan konsep fullday school dalam pengertian yang sebenarnya, ditandai dengan waktu belajar yang lebih lama daripada sekolah-sekolah konvensional serta interaksi antara peserta didik dan pengasuh/ gurunya lebih intensif. Pilot project program ini adalah SMPN 4 Mendoyo dan SMAN 2 Negara. Berbeda dengan contoh di tiga kabupaten tadi, Pemkab Sragen tidak menerapkan pendidikan gratis. Anggaran yang ada lebih banyak dialokasikan pada upaya peningkatan kualitas keterampilan kerja masyarakat, baik untuk keperluan bersaing di dunia kerja maupun modal nonfinansial dalam berwirausaha. Inilah yang dijalankan pemkab Sragen melalui program pelatihan kerja masyarakat secara gratis dan swadana di Badan Diklat. Pendidikan dalam jalur formal diasumsikan lebih banyak dititikberatkan pada pengasahan pengetahuan, sementara untuk tetapsurvive di lapangan dibutuhkan lebih dari sekadar pengetahuan, yakni keahlian praktis, pengalaman yang memadai, dan semangat berwirausaha. Pemkot Tarakan juga tidak menerapkan pendidikan gratis. Jika di Halmahera Selatan pendidikan gratis diarahkan untuk mencapai keadilan antaretnis, Pemkot Tarakan memandang pendidikan gratis justru mengarah pada ketidakadilan berdasarkan stratifikasi sosial antara masyarakat mampu dan kurang mampu. Sebagai gantinya, diselenggarakan subsidi silang antara siswa yang mampu kepada siswa yang kurang mampu. Bentuk beasiswa yang diberikan pun terbagi atas dua jenis: beasiswa tdak mampu dan beasiswa prestasi, serta dibagikan kepada para siswa di sekolah negeri dan swasta. 4. Peningkatan Kualitas Kesehatan Masyarakat Buruknya fasilitas dan pelayanan kesehatan masyarakat biasanya tercermin atas tiga hal. Pertama, infrastruktur dan sarana penunjang yang tidak memadai, sebaliknya justru kumuh dan tak terawat. Kedua, pelayanan kesehatan oleh tenaga medis dan ketersediaan obat-obatan. Ketiga, biaya

pelayanan kesehatan yang mahal. Pemkab Jembrana, Bali misalnya , menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ) untuk mengatasi problem kesehatan masyarakat. Subsidi bidang kesehatan semula diarahkan pada pengadaan obat-obatan di RSUD dan puskesmas sesuai kebutuhan masyarakat. Namun, subsidi ini kemudian dialihkan langsung kepada pengguna jasa kesehatan, yakni masyarakat itu sendiri, dengan mekanisme asuransi jaminan kesehatan. Subsidi ini diberikan dalam bentuk premi biaya rawat jalan tingkat pertama di unit-unit pelayanan kesehatan yang telah melakukan kesepakatan dalam bentuk kontrak kerja dengan Badan Penyelenggara JKJ. Karena subsidi untuk obat-obatan telah dialihkan ke premi asuransi JKJ, RSUD dan puskemas mesti mencari sendiri pembiayaan untuk pengadaannya. Peserta JKJ adalah seluruh masyarakat, terutama masyarakat miskin dengan perolehan kartu keanggotaan JKJ yang bisa dipergunakan untuk menjalani pengobatan rawat jalan di unit pelayanan kesehatan pemerintah dan swasta. Di Halmahera Selatan, hal serupa dijalankan oleh pemkab melalui Badan Layanan Umum Daerah yang bertanggung jawab langsung kepada Bupati. BLUD menyelenggarakan jaminan kesehaan daerah dengan sistem iuran mirip dengan premi asuransi di Jembrana. Kesehatan gratis diselenggarakan bagi seluruh masyarakat, terutama masyarakat miskin. Yang juga

diprioritaskan oleh pemkab adalah pembukaan unit-unit pelayanan kesehatan di seluruh pelosok wilayah Halmahera Selatan. Hal ini menemukan urgensinya tersendiri mengingat Halmahera Selatan terdiri atas daratan dan kepulauan. Namun, diproyeksikan ke depan, melalui iuran masyarakat dalam jumlah yang terjangkau, Rp 5.000,00/ bulan, bagi tiap orang masyarakat bisa mendapatkan layanan pengobatan. Penutup Perubahan di daerah memang biasanya dimulai dengan pembenahan kelembagaan birokrasi pemerintah daerah sebelum akhirnya merambah pada pembenahan di sektor lain, misalnya peningkatan kualitas pendidikan dan perluasan akss masyarakat ke dalamnya, peningkatan mutu kesehatan, penggalian potensi daerah

untuk melakukan pembangunan berbasis keunggulan lokal, penggalakan usahausaha di bidang jasa, dll. Beberapa penelitian hingga kini masih menemukan bahwa perubahan-perubahan pada aparatur pemda masih terkait erat dengan langgam keterikatan sistem yang diberlakukan secara birokratis. Belum ada penemuan mutakhir bahwa perubahan tersebut mencakup perubahan secara ideologis dan paradigmatik, dua hal yang justru menjadikan perubahan lebih permanen tanpa ketergantungan pada sistem dan figur kepala daerah. Hal yang sangat penting adalah penggunaan manajemen strategis dalam mengelola aparat pemerintah daerah. Manajemen strategis, yang diarahkan dengan pemikiran yang strategis pula, akan menjamin keberlangsungan pembangunan karena telah memperhitungkan keuntungan sekaligus risiko di masa depan, jauh melampaui usia periode kepemimpinan seorang kepala daerah. Di samping itu, manajemen strategis juga menjadikan pemda turut mencurahkan perhatian mereka pada sektor-sektor yang memberikan manfaat dalam jangka menengah dan panjang, misalnya sektor pendidikan dan kesehatan. Namun, dari banyak penelitian di berbagai daerah, peran kepala daerah sebagai inisiator reformasi dan inovasi pemda dalam pembangunan regional merupakan faktor penting yang tak bsa ditawar kembali keberadaannya. Manajemen strategis yang seharusnya dijalankan pemda bisa berjalan dengan pola pikir visioner kepala daerah beserta aparaturnya agar fenomena Renstrada (rencana strategis daerah) yang kini hanya menjadi dokumen bisu seakan tiada keharusan bagi pemda untuk menerapakannya tidak berulang lagi di masa selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai