Latar Belakang
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat secara global, nasional dan lokal. Lebih dari 2,5 milyar penduduk (lebih dari 40% populasi dunia) berisiko terinfeksi DBD. Saat ini, DBD menjadi penyakit endemik di lebih dari 100 negara di Afrika, Amerika, Mediterania Timur, Asia Tenggara dan Pasifik Barat dan untuk pertama kalinya dilaporkan terjadi kasus DBD di Prancis, Kroasia dan beberapa negara lain di Eropa (WHO, 2012). Di Indonesia, anak-anak merupakan kelompok usia yang paling banyak menderita DBD, dengan proporsi sekitar 30% (Kemenkes RI, 2012). Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavirus, family Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis serotipe akan menimbulkan antibody terhadap serotype yang bersangkutan, sedangkan antibody yang terbentuk terhadap serotype laen sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotype laen tersebut. Seseorang yang tinggal didaerah keempat serotype virus dengue dapat ditemukan diberbagai daerah di Indonesia. Di Indonesia, pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukan bahwa keempat serotype ditemukan dan bersikulasi disepanjang tahun. Serotype DEN-3 merupakan serotype yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukan manifestasi klinik yang berat.
2.2. Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4 x 106. Terdapat 4 serotipe virus tipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue keempat serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terdapat reaksi silang antara serotype dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanese encephalitis dan West Nile virus (Suhendro, Nainggolan, Chen).
2.3. Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga 1995); dan pernah meningkat tajam saat
kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999. Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama A. aegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan tempat penampungan air lainnya). Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue yaitu : Vektor : perkembangbiakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor di lingkungan, transportasi vektor di Pejamu lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain; : terdapatnya penderita di lingkungan / keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin; Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk (WHO, 2000).
2.4. Patogenesis
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih diperdebatkan. Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue. Respon imun yang diketahui berperan dalam pathogenesis DBD adalah : a. Respon humoral berupa pembentukan antibody yang berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibody. Antibody terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement (ADE);
b.
Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10;
c.
Monosit dan makrolag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag;
d.
Selain itu aktivitasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a.
Undifferentiated fever
Without haemorrhage
2.2 . Manifestasi klinis infeksi virus dengue ( Sumber : Monograph on Dengue/Dengue Haemorrahgic fever, WHO 1983)
demam, akan tetapi mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan tidak adekuat (Kabra, Jain, Singhal, 1999).
Golongan darah: dan cross macth (uji cocok serasi): bila akan diberikan transfusi darah atau komponen darah. Imuno serologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue. o IgM: terdeksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3, menghilang setelah 60-90 hari. o IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke-2. Uji III: Dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat pulang dari perawatan, uji ini digunakan untuk kepentingan surveilans. (WHO, 2006).
b. Pemeriksaan Radiologis Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG. (WHO, 2006).
2.7. Diagnosis
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul gejala prodormal yang tidak khas seperti : nyeri kepala, nyeri tulang belakang dan perasaan lelah. a. Demam Dengue (DD) Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan dua atau lebih manifestasi klinis sebagai berikut: Nyeri kepala. Nyeri retro-oebital. Mialgia / artralgia. Ruam kulit.
b. Demam Berdarah Dengue (DBD) Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini di bawah ini dipenuhi : Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut : o Uji bendung positif. o Petekie, ekimosis, atau purpura. o Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau perdarahan dari tempat lain. o Hematemesis atau melena. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul). Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut : o Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis kelamin. o Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya. o Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau hipoproteinemia. Dari keterangan di atas terlihat bahwa perbedaan utama antara DD dan DBD adalah pada DBD ditemukan adanya kebocoran plasma. (WHO, 1997)
Seluruh kriteria di atas untuk DBD disertai kegagalan sirkulasi dengan manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun ( 20 mmHg), hipotensi dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan lembab serta gelisah. (Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan, 2006)
Laboratorium
Leucopenia Trombositopenia, tidak ditemukan bukti kebocoran plasma Trombositopenia, (<100.000/? l), bukti ada kebocoran plasma Trombositopenia,
Keterangan
Serologi Dengue Positif
DD
DBD
DBD
III
sirkulasi (kulit dingin dan lembab serta gelisah) Syok berat disertai
DBD
IV
DBD derajat III dan IV juga disebut sindrom syok dengue (SSD)
Dalam pekerjaannya, hati kita membuat beberapa produk, termasuk jenis protein yang disebut sebagai enzim. Gambaran enzim transaminase adalah sejenis tes yang digunakan untuk mengukur level beberapa jenis enzim hati, yang merupakan protein spesifik yang membantu tubuh untuk memecahkan dan menggunakan (metabolisme) substansi yang lain. Produk ini dapat keluar dari hati dan masuk ke aliran darah. Tingkat produk tersebut dapat diukur dalam darah. (Wendon, William, 2008)
2.12.Hasil Tes
Penyakit hati yang berbeda akan menyebabkan kerusakan yang berbeda, dan tes fungsi hati dapat menunjukkan perbedaan ini. Hasil tes fungsi hati dapat memberi gambaran mengenai penyakit apa yang mungkin menyebabkan kerusakan, tetapi tes ini tidak mampu mendiagnosis akibat penyakit hati. Hasil tes ini juga bermanfaat untuk memantau perjalanan penyakit hati, tetapi sekali lagi, mungkin tidak memberi gambaran yang tepat. Namun
10
biasanya hasil tes fungsi hati memberi gambaran mengenai tingkat peradangan (Wendon, Williams, 2008).
2.13.Enzim Hati
ALT adalah lebih spesifik untuk kerusakan hati. ALT adalah enzim yang dibuat dalam sel hati (hepatosit), jadi lebih spesifik untuk penyakit hati dibandingkan dengan enzim lain. Biasanya peningkatan ALT terjadi bila ada kerusakan pada selaput sel hati. Setiap jenis peradangan hati dapat menyebabkan peningkatan pada selaput sel hati. Setiap jenis peradangan hati dapat menyebabkan peningkatan pada ALT. Peradangan pada hati dapat disebabkan oleh hepatitis virus, beberapa obat, penggunaan alkohol, dan penyakit pada saluran cairan empedu. AST adalah enzim mitokondria yang juga ditemukan dalam jantung, ginjal dan otak. Jadi tes ini kurang spesifik untuk penyakit hati. Dalam beberapa kasus peradangan hati, peningkatan ALT dan AST akan serupa (Gowda, Desai, Hull, Math, Kulkarni, Vernekar, 2009).
11
Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam hari ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan menghilang setelah 60-90 hari. Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik kadar antibodi IgM, oleh karena itu kinetik antibodi IgG harus dibedakan antara infeksi primer dan sekunder. Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat sekitar demam hari ke-14 sedang pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada hari kedua. Oleh karena itu diagnosa dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM setelah hari sakit kelima, diagnosis infeksi sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan antibody IgG dan IgM yang cepat. Hipotesis tentang patogenesis DBD / SSD seperti antibody-dependent enhancement, virus virulence, dan imunopatogenesis yang diprakarsai oleh IFN- / TNF- dianggap belum cukup untuk menjawab terjadinya trombositopenia dan hemokonsentrasi pada DBD / SSD. Menurut Lei HY dkk, 2001, infeksi virus dengue akan mempengaruhi sistem imun tubuh berupa perubahan dari rasio CD4 / CD8, overproduksi dari sitokin dan dapat menginfeksi sel-sel endotel dan hepatosit dengan akibat terjadinya apoptosis serta disfungsi dari sel-sel tersebut. Begitu juga sistem koagulasi dan fibrinolisis ikut teraktivasi selama infeksi virus dengue. Gangguan terhadap respon imun tidak hanya berupa gangguan dalam membersihkan virus dari dalam tubuh, akan tetapi over produksi sitokin dapat mempengaruhi sel-sel endotel, monosit dan hepatosit. Kerusakan trombosit akibat dari reaksi silang otoantibodi anti-trombosit, karena overproduksi IL-6 yang berperan besar dalam terbentuknya otoantibodi antitrombosit dan anti-sel endotel, serta meningkatnya level dari tPA dan defisiensi koagulasi. Disimpulkan bahwa penyebab dari kebocoran plasma yang khas terjadi pada pasien DBD dan SSD disebabkan oleh kerja bersama seperti suatu konser dari aktivasi komplemen, induksi kemokin dan kematian sel apoptotik. Dihipotesiskan bahwa peningkatan sintesis IL-8 memegang peran penting dalam terjadinya kebocoran plasma pada pasien DBD dan SSD. Hal ini dapat dilihat dalam serum pasien DBD / DSS berat terjadi peningkatan
12
level IL-8, dan dibuktikan secara in vitro oleh Bosch I dkk (2002) melalui kultur primer dari monosit manusia yang diinfeksi dengan virus dengue tipe 2, terjadi peningkatan level IL-8 dalam supernatan kultur, yang diperkirakan karena terjadi peningkatan aktivasi dari NF-kappaB. Penelitian oleh Bethell dkk (1998) terhadap anak di Vietnam dengan DBD dan SSD menyebutkan bahwa pada anak dengan SSD ternyata level IL-6 dan soluble intercellular adhesion molecule-1 rendah, hal ini merefleksikan adanya kehilangan protein dalam sirkulasi karena kebocoran kapiler dan hanya level dari reseptor TNF terlarut (TNFR) yang meninggi seiring dengan beratnya penyakit.
2.15.Respon Imunologis
Virus dengue termasuk ke dalam Arthropoda Borne Virus (Arbo virus) dan terdiri dari 4 serotype yaitu DEN 1, 2, 3, dan 4. Infeksi virus dengue untuk pertama kali akan merangsang terbentuknya antibodi nonnetralisasi. Sesuai dengan namanya, antibodi tersebut tidak bersifat menetralkan replikasi virus, tetapi justru memacu replikasi virus. Akibatnya terbentuk kompleks imun yang lebih banyak pada infeksi sekunder oleh serotype lain. Hal itu yang menyebabkan manifestasi klinis infeksi sekunder lebih berat dibanding infeksi sekunder (Soedarmo, 2002). Antibodi non-netralisasi yang terbentuk akan bersirkulasi bebas di darah atau menempel di sel fagosit mononuklear yang merupakan tempat utama infeksi virus dengue. Antibodi non-netralisasi yang menempel pada sel fagosit mononuklear berperan sebagai reseptor dan generator replikasi virus. Kemudian virus dengue dengan mudah masuk dan menginfeksi sel fagosit (mekanisme aferen). Selanjutnya virus bereplikasi di dalam sel fagosit dan bersama sel fagosit yang telah terinfeksi akan menyebar ke organ lain seperti hati, usus, limpa, dan sumsum tulang belakang (mekanisme eferen). Adanya sel fagosit yang terinfeksi akan memicu respon dari sel imun lain sehingga muncul berbagai manifestasi klinis\yang disebut sebagai mekanisme efektor (Soedarmo, 2002; Nainggolan et al., 2006).
13
Mekanisme efektor dimulai dengan aktivasi sel T helper (CD4), T sitotoksik (CD8), dan sistem komplemen oleh sel fagosit yang terinfeksi. Th selanjutnya berdiferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Th1 akan melepaskan IFN-, IL-2, dan limfokin sedangkan Th2 melepaskan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10. Selanjutnya IFN- akan merangsang monosit melepaskan TNF-, IL1, PAF, IL-6, dan histamin. Limfokin juga merangsang makrofag melepas IL-1. IL-2 juga merupakan stimulan pelepasan IL-1, TNF-, dan IFN-. Pada jalur komplemen, kompleks imun akan menyebabkan aktivasi jalur komplemen sehingga dilepaskan C3a dan C5a (anafilatoksin) yang meningkatkan jumlah histamin. Hasil akhir respon imun tersebut adalah peningkatan IL-1, TNF-, IFN-, IL-2, dan histamin (Kresno, 2001; Soedarmo, 2002; Nainggolan et al., 2006). IL-1, TNF-, dan IFN- dikenal sebagai pirogen endogen sehingga timbul demam. IL-1 langsung bekerja pada pusat termoregulator sedangkan TNF- dan IFN- bekerja tidak secara langsung karena merekalah yang merangsang pelepasan IL-1. Bagaimana mekanisme IL-1 menyebabkan demam ? Daerah spesifik IL-1 adalah pre-optik dan hipothalamus anterior dimana terdapat corpus callosum lamina terminalis (OVLT). OVLT terletak di dinding rostral ventriculus III dan merupakan sekelompok saraf termosensitif (cold dan hot sensitive neurons). IL-1 masuk ke dalam OVLT melalui kapiler dan merangsang sel memproduksi serta melepaskan PGE2. Selain itu, IL-1 juga dapat memfasilitasi perubahan asam arakhidonat menjadi PGE2. Selanjutnya PGE2 yang terbentuk akan berdifusi ke dalam hipothalamus atau bereaksi dengan cold sensitive neurons. Hasil akhir mekanisme tersebut adalah peningkatan thermostatic set pointyang menyebabkan aktivasi sistem saraf simpatis untuk menahan panas (vasokontriksi) dan memproduksi panas dengan menggigil (Kresno, 2001; Abdoerrachman, 2002). Selain menyebabkan demam, IL-1 juga bertanggung jawab terhadap gejala lain seperti timbulnya rasa kantuk/tidur, supresi nafsu makan, dan penurunan sintesis albumin serta transferin. Penurunan nafsu makan
14
merupakan akibat dari kerjasama IL-1 dan TNF-. Keduanya akan meningkatkan ekspresi leptin oleh sel adiposa. Peningkatan leptin dalam sirkulasi menyebabkan negatif feedback ke hipothalamus ventromedial yang berakibat pada penurunan intake makanan (Luheshi et al., 2000). IFN- sebenarnya berfungsi sebagai penginduksi makrofag yang poten, menghambat replikasi virus, dan menstimulasi sel B untuk memproduksi antibodi. Namun, bila jumlahnya terlalu banyak akan menimbulkan efek toksik seperti demam, rasa dingin, nyeri sendi, nyeri otot, nyeri kepala berat, muntah, dan somnolen(Soedarmo, 2002). Sejak awal demam sebenarnya telah terjadi penurunan jumlah trombosit pada penderita DBD. Penurunan jumlah trombosit memudahkan terjadinya perdarahan pada pembuluh darah kecil seperti kapiler yang bermanifes sebagai bercak kemerahan. Di sisi lain, peningkatan jumlah histamin meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi perembesan cairan plasma dari intravaskuler ke interstisiel. Hal itu semakin diperparah dengan penurunan jumlah albumin akibat kerja IL-1 dan gangguan fungsi hati. Adanya plasma leakage tersebut menyebabkan peningkatan Hct. Trombositopenia terjadi akibat pemendekan umur trombosit akibat destruksi berlebihan oleh virus dengue dan sistem komplemen (pengikatan fragmen C3g); depresi fungsi megakariosit, serta supresi sumsum tulang. Destruksi trombosit terjadi di hepar, lien, dan sumsum tulang. Trombositopenia menyebabkan perdarahan di mukosa tubuh sehingga sering muncul keluhan melena, epistaksis, dan gusi berdarah. Hepatomegali pada pasien DBD terjadi akibat kerja berlebihan hepar untuk mendestruksi trombosit dan untuk menghasilkan albumin. Selain itu, sel-sel hepar terutama sel Kupffer mengalami banyak kerusakan akibat infeksi virus dengue. Bila kebocoran plasma dan perdarahan yang terjadi tidak segera diatasi, maka pasien dapat jatuh ke dalam kondisi kritis yang disebut DSS (Dengue Shock Sydrome) dan sering menyebabkan kematian (Soedarmo, 2002; Nainggolan et al., 2006).
15
16
o Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berepran dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10; o Monosit dan makrolag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag; o Selain itu aktivitasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a. 3.2. Saran 1. Menjaga sanitasi lingkungan disekitar tempat tinggal untuk menghindari penyebaran virus demam berdarah dengue. 2. Menjaga kesehatan tubuh dengan cara olahraga, makan yang teratur, istirahat yang cukup, dll.
17
DAFTAR PUSTAKA
Abdoerrachman MH. 2002. Demam : Patogenesis dan Pengobatan. In: Soedarmo dkk (ed). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi dan Penyakit Tropis Edisi Pertama.Jakarta: IDAI, pp: 27-51. Agustin, Seffianti. 2011. Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Kejadian Demam Berdarah Dengue (Studi Kasus di Wilayah Kerja Puskesmas Tegal Timur Kota Tegal Tahun 2010). Tesis Pascasarjana. Universitas Negeri Semarang, Semarang. [online] [diakses tanggal 9 Februari 2013] Dinkes Kota Palu. 2012. Profil Kesehatan Kota Palu Tahun 2011. Palu: Dinas Kesehatan Kota Palu. Falah, Miftakhul. (2010). Faktor-Faktor yang Behubungan dengan Kejadian Demam Berdarah (DBD) di Kelurahan Sendangmulyo Kecamatan Tembalang. Tesis Pascasarjana. Universitas Diponegoro, Semarang. [online] http://eprints.undip.ac.id/31481/ [diakses tanggal 25 September 2012] Fitria, A.U. 2006. Beberapa Faktor Perilaku Kepala Keluarga yang Berhubungan dengan Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Puskesmas Slawi Kabupaten Tegal. Tesis Pascasarjana. Universitas Diponegoro, Semarang. [online] http://eprints.undip.ac.id/31481/ [diakses tanggal 25 September 2012] Kemenkes RI. 2012. Kasus DBD Indonesia Masih Tertinggi di Dunia. [online] http://news.okezone.com/read/2012/06/15/340/647934/kasus-dbdindonesia-masih- tertinggi-di-dunia [diakses 27 September 2012] Kresno SB. 2001. Respons Imun terhadap Infeksi Virus. In: Imunologi Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta : FK UI, pp: 178-181. http://lib.unnes.ac.id/8912/1/10931a.pdf
18
Luheshi GN, Gardner JD, Rushforth DA, Luodon SA, Rothwell NJ. 2000. Leptin actions on food intake and body temperature are mediated by IL1. Neurobiology Journal, pp: 7047-52. Mahardika, Wahyu. 2009. Hubungan Antara Perilaku Kesehatan Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kerja Puskesmas Cepiring Kecamatan Cepiring Kabupaten Kendal. Skripsi Sarjana. Fakultas Ilmu Keolahragaan. Universitas Negeri Semarang, Semarang. [online] http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm/article/download/2571/2566 [diakses tanggal 22 November 2012] Munsyir, M.A., Ridwan, Amiruddin. 2009. Pemetaan dan Analisis Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Bantaeng Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009. Makassar. [online] http://jurnalmedika.com/edisi2011/326-artikel-penelitian/633dengue-di-kabupatentahun-2011/edisi-no-06-vol-xxxvii-
pemetaan-dan-analisis-kejadian-demam-berdarah-
bantaeng-sulawesi-selatan-2009 [diakses tanggal 15 Desember 2012] Nainggolan L, Chen K, Pohan HT, Suhendro. 2006. Demam Berdarah Dengue. In: In: Sudoyo dkk (ed). Buku Ajar Ilmu Peyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: FKUI, pp: 1731-1736. Nugroho, A.S. 2003. Risiko Infeksi Dengue pada Anak Terkait Faktor Lingkungan di Wilayah Puskesmas Pandanaran, Karangayu dan Bandarharjo Kota Semarang. Tesis Pascasarjana. Universitas Diponegoro, Semarang. [online] http://eprints.undip.ac.id/12315/ [diakses tanggal 9 November 2012] Rahman, Deni Abdul. 2012. Hubungan Kondisi Lingkungan Rumah DAN Praktik 3M dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kerja Puskesmas Blora Kabupaten Blora.[online] Unnes Journal of Public Health 2 (1), hal. 1-8. http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph [diakses tanggal 15 Februari 2013] Rahman, Deni Abdul. 2012. Hubungan Kondisi Lingkungan Rumah DAN Praktik 3M dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kerja Puskesmas Blora Kabupaten Blora.[online] Unnes Journal of Public Health
19
2 (1), hal. 1-8. http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph [diakses tanggal 15 Februari 2013] Riyadi, Rudjito. dkk. 2007. Hubungan Kondisi Sanitasi Lingkungan Rumah Tangga Dengan Keberadaan Jentik Vektor Dengue Di Daerah Rawan Demam Berdarah Dengue Kota Lubuklinggau. [online] Kesehatan Vol. 6 No.2. hal. http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html? act=tampil&id=68484&idc=24 [diakses tanggal 11 Februari 2013] Salawati, dkk. 2010. Kejadian Demam Berdarah Dengue Berdasarkan Faktor Lingkungan dan Praktik Pemberantasan Sarang Nyamuk. [online] Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia 6 (2),hal. 46-54. http://jurnal.unimus.ac.id/index.php/jkmi/article/view/142 [diakses tanggal 11 Februari 2013] Sari, Puspita dkk. 2012. Hubungan Kepadatan Jentik Aedes sp dan Praktik PSN dengan Kejadian DBD di Sekolah Tingkat Dasar di Kota Semarang. [online] JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT. Volume 1, Nomor 2, p.413422http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm/article/view/1128/1151 [diakses tanggal 2 Desember 2012] Schmidt, W.P et al. 2011. Population Density, Water Supply, and the Risk of Dengue Fever in Vietnam: Cohort Study and Spatial Analysis. [online] PLoS Medicine. Volume 8, Issue 8, p. 110http://www.plosmedicine.org/article/fetchObjectAttachment.action? uri=info%3Adoi %2F10.1371%2Fjournal.pmed.1001082&representation=PDF [diakses 11 November 2012] Soedarmo PS. 2002. Infeksi Virus Dengue. In: Soedarmo dkk (ed). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi dan Penyakit Tropis Edisi Pertama. Jakarta: IDAI, pp: 176-209. Trapsilowati, W, Susanti, L & Pujiyanti, A., 2008. Gambaran Kemudahan Memperoleh Air dan Sarana Penyimpanan Air terhadap Kasus DBD di Kota Semarang, Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Jepara. [online] Jurnal Jurnal Ekologi 594-601
20
Vektora.
Volume
II,
No
1,
p.
1-13
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/vk/article/download/13/13 [diakses 18 September 2012] Widianto, Teguh. 2007. Kajian Manajemen Lingkungan Terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Purwokerto Jawa tengah. [online] Tesis Pascasarjana. Universitas Diponegoro, Semarang.http://eprints.undip.ac.id/17910/1/TEGUH_WIDIYANTO.pdf [diakses 20 November 2012] WHO. 2012. Dengue and severe dengue. [online] (diupdate Januari 2012) http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/ [diakses 25 September 2012]
21