Anda di halaman 1dari 22

PENDIDIKAN ENTERPRENEURSHIP DAN ETOS KERJA UNTUK KESEJAHTERAAN PEREKONOMIAN INDONESIA

oleh: 1. Achmad Room Fitrianto 2. Fikri Haykal Afandi 3. Zulfikri Fahmi

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

A. Pengantar Pertumbuhan ekonomi Indonesia sebelum krisis cenderung tinggi. Pada era 1976-1981 dimana dikenal sebagai era booming minyak, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 7-12 % pertahun dan mencapai puncaknya pada tahun 1982 yang mencapai 13,5%. Akan tetapi pada tahun 1985 turun menjadi 2,5 % dikarenakan harga minyak yang turun tajam saat itu. Dengan beberapa paket kebijakan ekonomi, perekonomian Indonesia tumbuh 6,8% pertahun secara rata rata dari tahun 1982-1985. Lebih lanjut pada periode berikutnya 1986-1989 dan 1990-1997 Indonesia juga mengalami pertumbuhan sebesar 6,0 dan 6,9 persen per tahun secara rata rata. Secara keseluruhan, selama periode 1982-1997 angka pertumbuhan mencapai 6,7 persen per tahun. Krisis ekonomi yang berlangsung mulai pertengahan tahun 1997 mengakibatkan perubahan struktural kinerja perekenomian dan pasar kerja di Indonesia. Pada puncak krisis (1998), perekonomian Indonesia mengalami kontraksi yang luar biasa sebagaimana ditunjukan oleh pertumbuhan ekonomi yang mencapai minus 13,1 persen. Terlebih bila pertumbuhan ekonomi itu harus dikonfersi dengan tingkat pertumbuhan penduduk ataupun dengan tingkat penggangguran, maka Indonesia akan mengalami kesulitan untuk memajukan perekonomian. Berdasarkan hasil sensus penduduk oleh BPS tahun 2010 jumlah penduduk di Indonesia mencapai 237,6 juta jiwa. (BPS, 2010). Tingginya pengangguran di Indonesia mencapai angka 10, 93 juta jiwa pada tahun 2006. Majalah Tempo edisi 20-26 Agustus 2007 menyajikan fakta bahwa pada tahun 2006, terdapat 670.000 sarjana dan lulusan diploma yang mengaggur. (Majalah Tempo, 2007) Kenyataan ini suatu paradoxial antara tujuan pendidikan tinggi. Disisi lain, terdapat suatu paradigma lain dimana sebagian besar lulusan perguruan tinggi lebih bertujuan sebagai pengemis pekerjaan. Hal ini muncul dikarenakan sistem pembelajaran yang diterapkan di berbagai perguruan tinggi saat ini lebih terfokus pada bagaimana menyiapkan para mahasiswa yang cepat lulus dan mendapatkan pekerjaan, lain bukan.

Semakin membengkaknya lulusan perguruan tinggi yang menganggur semakin menunjukkan bahwa ketersediaan lapangan kerja yang sangat terbatas. Namun hal tersebut bukanlah hal utama yang menjadi penyebab tingginya pengangguran lulusan perguruan tinggi. Nurul Firdaus (2009) menjelaskan enam penyebab lulusan perguruan tinggi menganggur.1 Pertama, Lapangan Kerja yang terbatas. Menjadi prioritas utama yang perlu diperhatikan, bahkan setiap Pemilu, Pilpres, dan Pilkada, lapangan pekerjaan menjadi prioritas utama dari para calon yang bersaing. Namun tidak satu pun sampai dengan saat ini mampu memberikan solusi, bahkan semakin memperparah keadaan. Karena setiap mendekati pemilu, pilpres dan pilkada investor takut, menjadi korban kegiatan politik tersebut. Kedua, Mindset yang masih menganggap bahwa setelah lulus mencari kerja. Setiap lulusan perguruan tinggi memiliki ekspektasi berkerja di tempat yang bagus, lalu mendapatkan gaji yang besar. Mulailah mereka mengirim surat lamaran ke banyak tempat, dengan harapan langsung berkerja. Ketiga, Kompetisi yang sangat tinggi, ikut menyebabkan semakin sempitnya lulusan perguruan tinggi untuk dapat bersaing. Setiap tahun ratusan ribu lulusan dihasilkan dari perguruan tinggi dengan latar belakang jurusan ilmu yang berbeda. Persaingan ini sudah barang tentu akan mengakibatkan porsi lapangan kerja yang tersedia dengan lulusan yang ada tidak seimbang. Keempat, Kurikulum yang belum banyak memperkenalkan sisi

entrepreneur. Karena entrepreneur sendiri masih dianggap bukan tujuan utama dari dunia pendidikan kita. Kesiapan memasuki dunia kerja lebih di kedepankan. Akibatnya tidak ada link and match antara dunia pendidikan dan dunia entrepreneur yang paling banyak kesempatannya. Kelima, Tenaga Pengajar dalam hal ini dosen atau guru, masih memberikan pola pengajaran problem based learning yang belum menyentuh sisi entrepreneur.

Nurul Firdausi, Ciptakan Jiwa Entrepreneur, Sekarang!

http://www.ciputra.org/node/1055/ciptakan-jiwa-entrepreneur-sekarang.html, 2009

Terakhir, Skill yang berbeda dengan kebutuhan dunia kerja. Sekarang ini lapangan kerja yang tersedia menginginkan setiap pekerja-nya memiliki keahlian yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Tapi, tidak banyak seseorang lulusan memiliki keahlian yang dibutuhkan oleh perusahaan. Untuk mengatasi missmacth antara dunia kerja dan pendidikan tersebut diatas, maka perlu dilakukan terobosan mengajaran. Salah satu terobosan tersebut adalah dengan menanamkan semangat kewirausahaan pada kurikulum pendidikan nasional. Lebih lanjut, pemerintah diharapkan melakukan prioritas kebijakan seperti melakukan percepatan pemulihan ekonomi dan pemerataan hasil hasil pembangunan. Untuk mengukur tingkat keberhasilan dari prioritas tersebut, target pertumbuhan ekonomi harus mencapai 7,6%, tingkat inflasi tidak boleh lebih dari 3%, penurunan tingkat pengangguran sebesar 5,7% dan yang utama adalah adanya penurunan jumlah orang miskin menjadi 18,8 juta orang (sasaran menengah proyeksi ekonomi makro, Bapenas) Dalam konteks ini, tingkat kemiskinan diharapkan turun dari 16,6% pada tahun 2004 menjadi 8,2% pada tahun 2009. Sedangkan tingkat pengangguran turun dari 9,7% pada tahun 2004 menjadi 5,1% pada tahun 2009. Pertumbuhan ekonomi diharapkan meningkat, dari 16% pada tahun 2004 menjadi 24,4% pada tahun 2009.

Dari sini dapat dilihat bila, semangat enterprener saja tanpa didukung oleh kondisi makro perekonomian, efek yang dirasakan akan lama. Lebih detail lagi kita pahami bila semangat enterpreneur tidak lepas dari kerja keras, kemandirian, serta kedisiplinan akan waktu, namun semua itu tidak cukup jika tidak ditunjang dengan rasa semangat yang tinggi, faktor utama yang harus dikaji ulang akan pentingnya enterpreneursip didalam negara kita yaitu terhadap masalah etos kerja dari negara itu sendiri. Jika etos kerja dari suatu negara itu lemah maka yang terjadi hanyalah pengangguran dimana-mana, dan sebaliknya jika kualitas etos kerjanya itu baik maka kualitas SDM nya juga akan baik dan hal itu sangat penting untuk menunjang adanya pendidikan enterpreneurship di indonesia demi mewujudkan kesejahteraan rakyat. Nah, hal ini akan menjadi tantangan yang sangat besar, karena pada akhirnya semuanya membutuhkan kreativitas, dan inovasi, dan ini sangat berguna

dalam menciptakan entrepreneur muda dengan gagasan baru yang unik bagi kemapanan Bangsa Indonesia. B. Definisi Enterpreneur Kata entrepreneur berasal dari kata Prancis, entreprendre, yang berarti berusaha. Dalam konteks bisnis, maksudnya adalah memulai sebuah bisnis. Kamus Merriam-Webster menggambarkan definisi entrepreneur sebagai seseorang yang mengorganisir, memenej, dan menanggung risiko sebuah bisnis atau usaha.2 Enterpreneur adalah pelaku bisnis yang menerima golongan antara resiko dan peluang yang menyangkut dalam menciptakan dan mengoperasikan peluang usaha baru. Enterpreneur adalah orang yang menanggung resiko dari bisnis kepemilikan dengan sasaran utama pertumbuhan dan perkembangan. (Ebert, Griffin, 2003)3 Enterpreneur adalah seseorang yang menciptakan bisnis baru ditengah banyaknya resiko dan ketidak pastian sebuah tujuan untuk mencapai keuntungan dan pertumbuhan dengan mengidentifikasi peluang dan mengumpulkan sumber daya yang penting sebagai modal utama (Zimmer, Scarbourgh, 2002)4 Enterpreneur adalah seseorang yang mempunyai ide yang inovatif, dapat melihat peluang yang ada di pasar dan merubah mimpi mereka menjadi kenyataan yang bersinar. (Thornberry, 2006)5 Dari ketiga definisi para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa enterpreneurship adalah seseorang yang berani mengambil suatu resiko dari sebuah ide inovatif yang dijalankannya dengan pertimbangan yang matang serta mempunyai visi dan misi yang jelas untuk mengembangkan ide tersebut agar terus menjadi ide inovatif agar dapat menarik perhatian pasar.

Erwin, Definisi Enterpreneurship, http://www.quickmba.com/entre/definition/, 2007

Dikutip dari http://digilib.petra.ac.id/viewer.php?submit.x=9&submit.y=9&submit=prev&page=13&qua l=high&submitval=prev&fname=%2Fjiunkpe%2Fs1%2Feman%2F2009%2Fjiunkpe-ns-s12009-31404119-11934-owner_aspect-chapter2.pdf Ibid Ibid

Banyak pedagang-pedagang kecil yang merasa bahwa dirinya adalah seorang enterpreneur tetapi usahanya berjalan stagnan tanpa adanya perkembangan usaha bagi dirinya maupun orang lain. Seorang enterpreneur sejati selalu dituntut untuk membuat ide-ide yang inovatif agar produk-produk yang diciptakannya dapat menarik perhatian konsumen, terobosan-terobosan yang unik seperti inilah yang memberikan kontribusi yang sangat besar untuk perkembangan usaha. Oleh karena itu enterpreneur sejati yaitu seseorang yang selalu mempunyai pandangan kedepan, bagaimana caranya agar usaha mereka dapat berkembang lebih luas. Lebih detail, Sulanam (2010) menjabarkan enam karakter seorang enterprener. Pertama, seorang enterprener harus memiliki disiplin. Dalam melaksanakan kegiatannya, seorang wirausahawan harus memiliki kedisiplinan yang tinggi. Arti dari kata disiplin itu sendiri adalah ketepatan komitmen wirausahawan terhadap tugas dan pekerjaannya. Ketepatan yang dimaksud bersifat menyeluruh, yaitu ketepatan terhadap waktu, kualitas pekerjaan, sistem kerja dan sebagainya. Ketepatan terhadap waktu, dapat dibina dalam diri seseorang dengan berusaha menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan waktu yang direncanakan. Sifat sering menunda pekerjaan dengan berbagai macam alasan, adalah kendala yang dapat menghambat seorang wirausahawan meraih keberhasilan. Kedisiplinan terhadap komitmen akan kualitas pekerjaan dapat dibina dengan ketaatan wirausahawan akan komitmen tersebut. Wirausahawan harus taat azas. Hal tersebut akan dapat tercapai jika wirausahawan memiliki kedisiplinan yang tinggi terhadap sistem kerja yang telah ditetapkan. Ketaatan wirausahawan akan kesepakatan-kesepakatan yang dibuatnya adalah contoh dari kedisiplinan akan kualitas pekerjaan dan sistem kerja. Kedua, seorang wirausahawab harus memiliki Komitmen Tinggi. Komitmen adalah kesepakatan mengenai sesuatu hal yang dibuat oleh seseorang, baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Dalam melaksanakan kegiatannya, seorang wirausahawan harus memiliki komimten yang jelas, terarah dan bersifat progressif (berorientasi pada kemajuan). Komitmen terhadap dirinya sendiri dapat dibuat dengan mengidentifikasi cita-cita, harapan dan target-target yang direncanakan dalam hidupnya. Sedangkan contoh komitmen wirausahawan

terhadap orang lain terutama konsumennya adalah pelayanan prima yang berorientasi pada kepuasan konsumen, kualitas produk yang sesuai dengan harga produk yang ditawarkan, problem solving bagi masalah konsumen, dan sebagainya. Seorang wirausahawan yang teguh menjaga komitmennya terhadap konsumen, akan memiliki nama baik (goodwill) di mata konsumen yang akhirnya wirausahawan tersebut akan mendapatkan kepercayaan dari konsumen, dengan dampak pembelian terus meningkat sehingga pada akhirnya tercapai target perusahaan yaitu memperoleh laba yang diharapkan. Ketiga, harus memiliki jiwa yang Jujur. Kejujuran merupakan landasan moral yang terkadang dilupakan oleh seorang wirausahawan. Kejujuran dalam berperilaku bersifat kompleks. Kejujuran mengenai karakteristik produk (barang dan jasa) yang ditawarkan, kejujuran mengenai promosi yang dilakukan, kejujuran mengenai pelayanan purna jual yang dijanjikan dan kejujuran mengenai segala kegiatan yang terkait dengan penjualan produk yang dilakukan oleh wirausahawan. Faktor keempat yang harus dimiliki seorang enterprenuer adalah Kreatif dan Inovatif. Untuk memenangkan persaingan, maka seorang wirausahawan harus memiliki daya kreativitas yang tinggi. Daya kreatifitas tersebut sebaiknya adalah dilAndasi oleh cara berpikir yang maju, penuh dengan gagasan-gagasan baru yang berbeda dengan produk-produk yang telah ada selama ini di pasar. Gagasan-gagasan yang kreatif umumnya tidak dapat dibatasi oleh ruang, bentuk ataupun waktu. Justru seringkali ide-ide jenius yang memberikan terobosanterobosan baru dalam dunia usaha awalnya adalah dilandasi oleh gagasangagasan kreatif yang kelihatannya mustahil. Namun,gagasan-gagasan yang baikpun, jika tidak diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, hanya akan menjadi sebuah mimpi. Gagasan-gagasan yang jenius umumnya membutuhkan daya inovasi yang tinggi dari wirausahawan yang bersangkutan. Kreativitas yang tinggi tetap membutuhkan sentuhan inovasi agar laku di pasar. Inovasi yang dibutuhkan adalah kemampuan wirausahawan dalam menambahkan nilai guna/nilai manfaat terhadap suatu produk dan menjaga mutu produk dengan memperhatikan market oriented atau apa yang sedang laku dipasaran. Dengan bertambahnya nilai guna atau manfaat pada sebuah produk, maka meningkat

pula daya jual produk tersebut di mata konsumen, karena adanya peningkatan nilai ekonomis bagi produk tersebut bagi konsumen. Sifat kelima yang harus dimiliki adalah Mandiri. Seseorang dikatakan mandiri apabila orang tersebut dapat melakukan keinginan dengan baik tanpa adanya ketergantungan pihak lain dalam mengambil keputusan atau bertindak, termasuk mencukupi kebutuhan hidupnya, tanpa adanya ketergantungan dengan pihak lain. Kemandirian merupakan sifat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang wirausahawan. Pada prinsipnya seorang wirausahawan harus memiliki sikap mandiri dalam memenuhi kegiatan usahanya. Terakhir, dalam menjalankan usaha dan bisnisnya seorang enterpreneur haruslah Realistis. Seseorang dikatakan Realistis bila orang tersebut mampu menggunakan fakta/realita sebagai lAndasan berpikir yang rasionil dalam setiap pengambilan keputusan maupun tindakan/perbuatannya. Banyak seorang calon wirausahawan yang berpotensi tinggi, namun pada akhirnya mengalami kegagalan hanya karena wirausahawan tersebut tidak realistis, obyektif dan rasionil dalam pengambilan keputusan bisnisnya. Karena itu dibutuhkan kecerdasan dalam melakukan seleksi terhadap masukan-masukan/sumbang saran yang ada keterkaitan erat dengan tingkat keberhasilan usaha yang sedang dirintis.

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bila karakteristik enterpreneur meliputi, mental yang kuat, pantang menyerah, harus dipegang teguh oleh seorang enterpreneur. Ini dikarenakan ketika berada di tengah jalan pasti terdapat banyak masalah-masalah yang harus dihadpai. Ketika seorang enterpreneur sudah memiliki pengalaman dan mental serta kegigihan dalam meraih prestasi puncak sudah dimiliki berbagai masalah pasti bisa diatasi dengan mudah karena adanya pengalaman-pengalamn tersebut. Tanggung jawab yang diemban seorang enterpreneur sangatlah besar, seorang enterpreneur dituntut untuk berpikir besar, selalu bersikap dan berpikir optimis serta menjaga kedisiplinan perilaku dan waktu, agar produk-produk yang dihasilkan dapat mendapat respon yang baik dan layak untuk diperjual belikan. Selain itu seorang enterpreneur tidak hanya memikirkan dirinya sendiri melainkan memikirkan nasib-nasib karyawannya, dimana banyak karyawan yang

menggantungkan gajinya pada seorang enterpreneur.

Seorang enterpreneur memang mempunyai beban tugas yang sangat berat tetapi seorang enterpreneur adalah pahlawan bangsa juga karena seorang enterpreneur memberikan kontribusi yang sangat besar bagi kemajuan ekonomi suatu negara. Di atas disebutkan bahwa seorang enterpreneur dapat membuka peluang untuk membantu masyarakat. Maksudnya, dengan adanya enterpreneur yang muncul maka akan muncul pula peluang pekerjaan yang baru dan ini dapat menuntaskan masalah pengangguran yang ada di suatu negara. Namun demikian, semangat enterpreneurship ini tidaklah terlepas dari etos kerja suatu masyarakat, budaya dan nilai nilai yang dianut oleh masyarakat. Untuk itu pada bagian berikut ini akan dijabarkan bagaimana etos kerja bangsa Indonesia dibandingkan dengan beberapa negara lain.

C. Etos Kerja di Indonesia Etos kerja merupakan sebuah prinsip dalam bekerja, yang dilakukan hingga menjadi sebuah kebiasaan. Tiap negara mempunyai etos kerja yang berbeda-beda, seperti etos keja Jepang dan Jerman. Jannsen Simano menguraikan etos Samurai yang selama ini diterapkan oleh Jepang. Terdapat tujuh sikap yang dikembangkan oleh Samurai:6 Pertama, Selalu bersikap benar dan bertanggungjawab. Kedua, Dalam setiap tindakan dan perbuatannya selalu berani dan bersikap ksatria. Ketiga, setiap langkah, sikap dan perbuatan yang dilakukan mencerminkan kemurahhatian dan mencintai. Keempat, bersikap santun dan hormat dalam tindak tanduknya. Kelima selalu tulus dan sungguh-sungguh dalam pekerjaan yang dilakukan. Keenam selalu menjaga dan menjunjung tinggi martabat dan kehormatan, dan terakhir, segala karya pikiran dan usaha didedikasikan dalam rangka untuk mengabdi pada bangsa. Lebih lanjut, Jannsen Simano juga memaparkan etos kerja yang dianut oleh Jerman7. Pertama, dalam setiap tindakan selalu bertindak rasional. Kedua memiliki disiplin yang tinggi. Kedua selalu bekerja keras. Ketiga dalam kegiatan

Jansen Hulman Sinamo, http://www.tokohIndonesia.com/ensiklopedi/j/jansensinamo/berita/05-06/index.shtml


7

Ibid

yang dilakukan selalu berorientasi sukses material. Keempat, ketika sukses sudah diraih tidak mengumbar kesenangan. Kelima, hemat dan bersahaja, Keenam, selalu menabung dan berinvestasi. Lalu bagaimana dengan etos kerja Indonesia. Menurut Muchtar Lubis dalam bukunya Manusia Indonesia (1977), mengidentifikasi enam etos kerja orang Indonesia8. Pertama, etos kerja orang Indonesia cenderung Munafik atau hipokrit. Suka berpura-pura, lain di mulut lain di hati. Kedua, apabila melakukan kesalahan cenderung enggan bertanggung jawab. Suka mencari kambing hitam. Ketiga, berjiwa feodal. Gemar upacara, suka dihormati daripada menghormati dan lebih mementingkan status daripada prestasi. Keempat kadang kala lebih percaya takhayul. Gemar akan hal-hal keramat, mistis dan gaib. Kelima, berwatak lemah. Kurang kuat mempertahankan keyakinan, plinplan, dan gampang terintimidasi. Keenam Artistik atau bisa diartikan dengan dekat dengan alam. Begitu rendahnya etos kerja bangsa Indonesia dibandingkan dengan negara Jepang ataupun Jerman. Pantaslah jika Indonesia masih tertinggal jauh dari negara-negara lain, baik segi ekonomi, pendidikan dan teknologi. Namun yang perlu diperhatikan disini adalah Indonesia janganlah terpaku melihat ketertinggalan ini, pemerintah harus memilki cara-cara untuk menajukan bangsa Indonesia, tentunya dengan etos kerja yang perlu dikembangkan menjadi etos kerja yang lebih baik, efisien dan efektif. Agar Indonesia bisa muncul sejajar dengan negara Amerika, Jepang dan negara maju yang lainnya. Insititute for Management of Development, Swiss, World Competitiveness Book (2007), memberitakan bahwa pada tahun 2005, peringkat produktivitas kerja Indonesia berada pada posisi 59 dari 60 negara yang disurvei. Atau semakin turun ketimbang tahun 2001 yang mencapai urutan 46. Sementara itu negaranegara Asia lainnya berada di atas Indonesia seperti Singapura (peringkat 1), Thailand (27), Malaysia (28), Korea (29), Cina (31), India (39), dan Filipina (49). Urutan peringkat ini berkaitan juga dengan kinerja pada dimensi lainnya yakni pada Economic Performance pada tahun 2005 berada pada urutan buncit yakni ke

Jansen Hulman Sinamo, Etos Kerja Indonesia, http://www.tokohIndonesia.com/ensiklopedi/j/jansen-sinamo/berita/05-06/index.shtml

10

60, Business Efficiency (59), dan Government Efficiency (55). Lagi-lagi diduga kuat bahwa semuanya itu karena mutu sumberdaya manusia Indonesia yang tidak mampu bersaing. Juga mungkin karena faktor budaya kerja yang juga masih lemah dan tidak merata. Bisa dibayangkan dengan kondisi krisis finansial global belakangan ini bisa-bisa posisi Indonesia akan bertahan kalau tidak ada remedi yang tepat.9 Produktifitas kerja sangat mempengaruhi tingkat peradaban suatu negara, suatu negara yang memiliki prinsip etos kerja yang tinggi akan menghasilkan produktifitas yang tinggi pula. Seperti etos kerja yang dimiliki jerman, konsep etos kerja yang diterapkan di jerman memiliki sebuah tujuan yaitu, meningkatkan daya produktifitas, sikap kerja keras, bekerja keras, berorientasi sukses material, tidak mengumbar kesenangan, hemat,menabung dan berinvestasi. Sikap ini

mencerminkan bagaimana caranya agar dapat menghasilkan output yang maksimal Produktifitas dan produktif terkandung aspek sistem nilai. Manusia produktif menilai produktivitas dan produktif adalah sikap mental. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin; hari esok harus lebih baik dari hari ini. Jadi kalau seseorang bekerja, dia akan selalu berorientasi pada produktivitas kerja di atas atau minimal sama dengan standar kerja dari waktu ke waktu. Bekerja produktif sudah sebagai panggilan jiwa dan kental dengan amanah. Dengan kata lain sikap tersebut sudah terinternalisasi. Tanpa diinstruksikan dia akan bertindak produktif. Itulah yang disebut budaya kerja positif (produktif).10 Menurut Prof. Dr. Ir. H. Sjafri Mangkuprawira budaya bekerja produktif mengandung lima komponen. Pertama,pemahaman substansi dasar tentang bekerja. Kedua, sikap terhadap karyawanan. Ketiga, perilaku ketika bekerja, Keempat, etos kerja dan terakhir sikap terhadap waktu.

Pertanyaannya apakah semua kita sudah berbudaya kerja produktif?

Sjafri Mangkuprawira, Produktifitas Dan Budaya Kerja Indonesia, http://indosdm.com/produktifitas-dan-budaya-kerja-Indonesia

10

Ibid

11

Masyarakat Indonesia masih memandang kerja hanyalah sebuah rutinitas, tidak ada suatu motivasi untuk meningkatkan produktifitas bahkan banyak dari masyarakat memandang pekerjaan sebagai paksaan yang dianggapnya sebagai beban karena tuntuan dalam bekerja. Sebenarnya tuntutan pekerjaan itu baik adanya, tuntutan pekerjaan dilakukan untuk kemajuan perusahaan bahkan kemajuan bangsa. Jika suatu tuntutan pekerjaan selalu dilakukan dengan senang hati dengan penuh kerja keras akan memberikan suatu hasil yang maksimal, ketika suatu pekerjaan itu sudah mencapai titik maksimal maka produktifitas senantiasa meningkat, ini akan memberikan dampak yang positif, omset perusahaan akan meningkat sebaliknya komisi-komisi yang didapatkan pekerja akan meingkat pula. Inilah yang diharapkan oleh bangsa Indonesia, etos kerja yang berprinsip bekerja keras, kerja cerdas, memilki tujuan. Jika pendapatan perkapita masyarakat Indonesia meningkat maka pendapatan nasional akan meningkat pula. Hal ini harus dimiliki oleh seorang enterpreneur dimana etos kerja yang tinggi akan meningkatkan produktifitas dan pemikiran yang matang. Banyak pelaku usaha atau enterpreneur belum mengganggap sikap produktif sebagai suatu sistem nilai. Seolah-olah karyawan tidak memiliki sistem nilai apa yang harus dipegang dan dilaksanakan. Karena itu tidak jarang prusahaan yang mengabaikan kesejahteraan karyawan termasuk upah minimunya. Ditambah dengan rata-rata pendidikan karyawan yang relatif masih rendah maka produktivitas pun rendah. Karena itu tidak heran produktivitas kerja di Indonesia termasuk terendah dibanding dengan negara-negara lain di Asia. Hal demikian bisa dijelaskan lewat formula matematika sederhana. Produktivitas kerja merupakan rasio dari keluaran/output dengan inputnya. Bentuk output dapat berupa barang dan jasa. Sementara input berupa jumlah waktu kerja, kondisi mutu dan fisik karyawan, tingkat upah dan gaji, teknologi yang dipakai dsb. Jadi output yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh faktor input yang digunakan. Dengan demikian produktivitas kerja di Indonesia relatif rendah karena memang rendahnya faktor-faktor kualitas fisik, tingkat pendidikan, etos kerja, dan tingkat upah dari karyawan. Hal ini ditunjukkan pula oleh angka indeks

12

pembangunan manusia di Indonesia (gizi, pendidikan, kesehatan) yang relatif lebih rendah dibanding di negara-negara tetangga.11 Etos kerja yang patut ditiru di Indonesia adalah seorang yang berjualan di pasar tradisional, mereka memiliki etos kerja yang sangat tinggi, sejak jam 1 dini hari diamana banyak manusia sedang terlelap tidur mereka sudah berbondongbondong pergi ke pasar menyiapkan barang dagangannya untuk dijual, ini merupakan sikap yang positif. Disamping itu ada hal yang disayangkan dalam etos kerja yang dimiliki oleh pedagang tradisional yang ada di Indonesia, usaha mereka selalu hanya seperti itu-itu saja tidak ada perubahan yang signifikan, perkembangan usaha pun dinilai lamban. Ini dikarenakan pemikiran mereka yang biasa-biasa aja, tidak ada tujuan untuk menjadi usaha yang besar dan selalu tumbuh berkembang. Seharusnya faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut perlu dikuasai secara seimbang agar para karyawan mampu mencapai produktivitas yang standar. Pendidikan dan pelatihan perlu terus dikembangkan disamping penyediaan akses teknologi. Kompetensi (pengetahuan, sikap dan ketrampilan) karyawan menjadi tuntutan pasar kerja yang semakin mendesak. Dengan kata lain suasana proses pembelajaran plus dukungan kesejahteraan karyawan perlu terus dikembangkan. Secara singkat, etos kerja sangat mempengaruhi produktifitas suatu bangsa. Etos kerja bisa dibangun melalui pendidikan. Pendidikan akan berjalan dengan baik, apabila memiliki muatan yang komprehensif dan bisa mengikuti perkembangan jaman. Salah satu muatan pendidikan yang harus diberikan untuk membangun etos kerja adalah enterprenership. Dalam bagian berikut akan diuraikan bagaimana dampak pendidikan enterprenershi terjadap laju

pertumbuhan ekonomi.

D. Meningkatkan Laju Pertumbuhan Ekonomi melalui Pendidikan Enterpreneur Salah satu alternatif untuk meningkatkan perekonomian di Indonesia yaitu dengan mengubah pendidikan yang ada di Indonesia melalui pendidikan enterpreneurship. Seperti yang diimpikan oleh Dr. Ir. Ciputra, beliau memimpikan

11

Ibid

13

25 tahun lagi akan lahir 4 juta enterpreneur baru di Indonesia. Ciputra percaya bahwa satu-satunya cara agar Indonesia bisa melakukan lompatan kedepan untuk meninggalkan masalah pengangguran, menghapuskan kemiskinan dari bumi Indonesia dan menjadi negara yang sejahtera dengan memperlengkapi komponen masyarakat Indonesia dengan enterpreneurship. Ciputra menyebutnya sebagai lompatan kuantum atau Quantum Leap. (Agung. Tabloid Business Opportunity. 2010) Jika 4 juta penduduk Indonesia lahir menjadi enterpreneur maka presentase untuk dari jumlah penduduk di Indonesia adalah sekitar 2%, ini merupakan suatu lompatan yang sangat berarti bagi kesejahteraan bangsa Indonesia, bayangkan jika 4 juta penduduk lahir sebagai seorang enterpreneur kemudian tiap enterpreneur membutuhkan 10 tenaga kerja, maka total kesempatan kerja ada sebanyak 40 juta, ini merupakan presentase yang cukup besar. Lalu bagaimana jika tiap enterpreneur itu membutuhkan tenaga kerja 50 orang, maka total kesempatan kerja akan sampai pada angka 200 juta dan ini bisa menuntaskan pengangguran yang ada di Indonesia. Malaysia, yang merupakan negara tetangga kita telah mengadopsi enterpreneurship sebagai cara untuk melompat menjadi sebuah negara dengan kekuatan ekonomi yang berbasis pengetahuan. Strategi yang mereka ambil adalah dengan memusatkan usaha pengembangan ekonomi melalui enterpreneurship. Jika Indonesia tidak mengikuti langkah ini maka dalam waktu dekat Malaysia akan melaju pesat meninggalkan kita dan menyamai Singapura. (Agung. Tabloid Business Opportunity. 2010) Agar Indonesia tidak terpuruk dalam keadaan ekonomi yang selalu memburuk, maka jalan yang harus ditempuh khususnya oleh pemerintah yaitu program pembelajaran enterpreneurship secepatnya segera diwujudkan di setiap jenjang pendidikan. Jika sejak SD sampai tingkat perguruan tinggi diajarkan cara berwira usaha, maka penanaman jiwa enterpreneurship bagi anak bangsa akan mantap, pemikiran mereka akan berubah, bahwa untuk mencapai suatu kebabasan finansial yaitu menjadi seorang enterpreneur dan seorang enterpreneur itu merupakan pahlawan bagi suatu negara, karena negara akan mendapatkan dana

14

yang cukup besar dari hasil pajak yang mereka bayar, dengan demikian pembangunan nasional akan terwujud secara sempurna. Dalam pengajaran pendidikan enterpreneurship tidak akan efektif jika sistem pembelajaran yang diberlakukan itu seperti pendidikan klasik,

sebagaimana pembelajaran yangi kita dapatkan di bangku sekolah ataupun kuliah, jika sistem ini yang diberlakukan di dalam pendidikan enterpreneurship maka kemungkinan besar lulusannya akan seekedar tahu tentang enterpreneurship namun jauh dari melakukan. Agar pembelajaran enterpreneur menjadi efektif maka metode yang digunakan yaitu dengan pembelajaran melalui pengalaman atau experiential learning agar lulusan tidak hanya sekedar tahu tentang enterpreneurship melainkan tumbuh hasrat-hasrat untuk menjadi seorang enterpreneur. (Agung. Tabloid Business Opportunity. 2010) Sistem pembelajaran seperti ini yang bisa menularkan virus-virus enterpreneurship, sistem pembelajaran seperti ini akan memberikan dampak yangbbesar bagi para lulusan, ketika sedang mengenyam pendidikan para lulusan akan diberikan suatu tugas untuk menjalankan suatu usaha. Setelah dilakukan pembelajaran seperti ini maka pengalaman-pengalamn berbisnis akan didapatkan. Para lulusan akan mendapatkan pengalaman bagaimana caranya memasarkan sebuah produk secara nyata dan pengalaman menyelesaikan permasalahan ketika mereka dihadapkan suatu permasalahan bisnis. Sistem pembelajaran ini telah diterapkan di beberapa perguruan tinggi di Indonesia, seperti Universitas Ciputra (UC) dan Universitas Gajah Mada (UGM), dan terbukti mereka telah menghasilkan lulusan-lulusan seorang enterpreneur sejati bahkan beberapa diantara mereka sudah menjadi milyarder dan telah menghidupi banyak karyawannya.12 Memperbanyak pelaku bisnis yang sering disebut enterpreneur atau pengusaha di Indonesia merupakan suatu keharusan agar lapangan pekerjaan di Indonesia semakin terbuka lebar. Dalam konsep teori makro ekonomi berlaku jika pendapatan perkapita meningkat maka total GNP suatu negara akan meningkat juga. Ketika GNP itu meningkat ini membuktikan bahwa perekonomian juga meningkat.

12

Pendidikan Entrepreneurship di UGM, http://pasca.ugm.ac.id/id/news.php?news_id=1

15

Jumlah penduduk, tingkat pertumbuhan, serta struktur umur dan jenis kelamin sangat berpengaruh pada perkembangan ekonomi. Banyaknya penduduk dan tingkat pertumbuhannya yang tinggi sangat menentukan jumlah angkatan kerja, yang disamping faktor-faktor lain, secara dominan menentukan besarnya output ekonomi. Walaupun demikian banyaknya angkatan kerja dalam ekonomi surplus tenaga kerja, seperti ekonomi Indonesia, menimbulkan beban berat untuk dapat menciptakan kesempatan kerja yang produktif dan renumeratif. Permasalahnnya menjadi lebih berat jika produktivitas tenaga kerja rendah, karena pendidikan yang rendah, tingkat kesehatan yang belum memuaskan sedangkan juga etos kerja juga lemah sehingga kurang ada motivasi untuk menimbulkan kegairahan kerja. Dengan demikian output akan rendah dan seterusnya dengan rendahnya produk nasional akan makin berat usaha pengadaan kesempatan kerja bagi jumlah angkatan kerja yang lebih besar tersebut. (Hendra. 1987) Selain memberikan pendidikan enterpreneur, mutu pendidikan yang bagus disertai dengan jenjang sampai perguruan tinggi merupakan satu hal yang harus diperhatikan agar produktivitas pekerja semakin meningkat. Seorang enterpreneur pastilah membutuhkan tenaga kerja jika mereka menginginkan usahanya lebih maju. Produktivitas seorang pekerja sangat diperlukan agar menghasilkan suatu inovasi-inovasi untuk memunculkan sebuah terobosan baru dalam dunia bisnis. Untuk meningkatkan produktivitas sendiri selain diperlukan jenjang pendidikan yang setinggi mungkin, seorang enterpreneur harus bisa memberikan suatu motivasi kepada pekerjanya agar mereka bisa produktif. Dalam teori Kaizen yang berasal dari jepang yang artinya sistem perbaikan terus-menerus dalam kualitas, teknologi, proses, budaya perusahaan,

produktivitas, keamanan dan kepemimpinan.(Majalah Luar biasa. 2010) Di perusahaan, kaizen melibatkan setiap karyawan untuk melakukan perubahan-perubahan kecil secara bertahap. Biasanya difokuskan untuk mengidentifikasi sumber masalah, memecahkan sumber-sumber masalah, dan meningkatkan standar untuk memastikan masalah terrsebut tetap diselesaikan. Sistem kaizen dapat menghasilkan 25 sampai 30 saran perkaryawan/tahun, yang lebih dari 90% diantaranya benar-benar diterapkan. Sebagai contoh, Toyota

16

dikenal sebagai perusahaan raksasa yang menerapkan Kaizen. Di ttahun 1999 disalah satu pabriknya yang berada di Amerika Serikat, sedikitnya 7.000 karyawan Toyota telah mengajukan lebih dari 75.000 saran, dimana 99% dari saran tersebut benar-benar dilaksanakan. Hasilnya benar-benar luar biasa. Mereka berhasil meningkatkan produktivitas serta kualitas. Keamanan menjadi lebih baik, pengiriman lebih cepat, biaya menjadi rendah, dan kepuasan pelanggan menjadi lebih besar. Di atas itu semua, perusahaan memperoleh manfaat besar, karena karyawan yang bekerja di perusahaan berbasis kaizen umumnya merasa bahwa pekerjaannya menjadi lebih mudah dan menyenangkan, serta seluruh karyawan memiliki moral dan kepuasan kerja yang jauh lebih tinggi, di samping jumlah turn over karyawan menjadi sangat rendah. (Majalah Luar biasa. 2010) Dengan memberikan perbaikan terus-menerus yang ada pada konsep kaizen, perusahaan akan menjadi makmur, dampaknya pun sangat besar bagi suatu negara. Jika setiap seorang enterpreneur di Indonesia menerapkan konsep Kaizen maka kemakmuran akan didapat, bukan pemiliknya yang menjadi sejahtera, rakyat pun akan menjadi sejahtera dan bangsa Indonesia sendiri akan menjadi negara yang maju yang selalu mau untuk membenahi diri secara kontinu demi kesejahteraan yang sempurna. Konsep kaizen ini memberikan suatu gambaran bahwa dalam melakukan suatu pekrjaan agar menjadi lebih maju maka diperlukan adanya sikap untuk mau berbenah diri secara terus menerus. Seperti halnya sistem yang digunakan untuk menularkan ilmu enterpreneur, maka diperlukan suatu usaha yang konsisten untuk selalu memperbaiki diri. Contoh, Pelatihan yang dilakukan bagi 29 alumni UGM di akhir tahun 1997. Setelah diadakan pelatihan selama 3 bulan intensif sekitar 60% dari lulusan pelatihan ini telah memiliki usaha yang berkelanjutan. Bahkan beberapa diantaranya telah mencapai sebagai miliyader. (Agung, Majalah Business Opportunity, 2010) Pelatiha selama 3 bulan saja tidak cukup untuk mengemban ilmu enterpreneur, melainkan terus belajar mau memperbaiki diri dari setiap kesalahan yang telah diperbuat. ini sangat perlu karena ini yang akan menjadi pengalamanpengalaman yang berharga untuk seorang enterpreneur.

17

Ir. Ciputra memaparkan bahwa setidaknya terdapat 5 alasan penting mengapa mengapa entrepreneurship sangat penting diajarkan di bangku sekolah. Pertama, kebanyakan generasi muda tidak dibesarkan dalam budaya wirausaha. Inspirasi dan latihan usaha tidak banyak diajarkan di bangku sekolah. Kedua, Tingginya pengangguran di Indonesia mencapai angka 10, 93 juta jiwa pada tahun 2006. Majalah Tempo edisi 20-26 Agustus 2007 menyajikan fakta bahwa pada tahun 2006, terdapat 670.000 sarjana dan lulusan diploma yang mengaggur. Ketiga, lapangan kerja sangat terbatas, tidak sebanding dengan jumlah pencari kerja. Keempat, pertumbuhan interpreneur selain dapat menampung tenaga kerja, juga dapat menciptakan kesejahteraan masyarakat secara luas. Menurut David McClelland, seorang sosiolog terkemuka, suatu negara akan maju jika terdapat entrepreneur sedikitnya sebanyak 2% dari jumlah penduduk. Menurut laporan yang dilansir Global Entrepreneurship Monitor, pada tahun 2005, Negara Singapura memiliki entrepreneur sebanyak 7,2% dari jumlah penduduk. Sedangkan Indonesia hanya memiliki entrepreneur 0,18% dari jumlah penduduk. Tidak heran jika pendapatan perkapita negara singa tersebut puluhan kali lebih tinggi dari Indonesia. Menurut Prof. Lester C Thurow dalam bukunya Building Wealth: tidak ada isntitusi yang dapat menggantikan peran individu para entrepreneur sebagai agen-agen perubahan. Untuk itu menurut Ir. Ciputra, mereka yang paling siap dan paling mudah untuk dididik dan dilatih kecakapan wirausaha adalah mereka yang sekarang berada di bangku sekolah. Kelima, Indonesia sangat kaya dengan sumberdaya alam, akan tetapi sumber daya alam tersebut tidak bisa dikelola dengan baik karena Indonesia kekurangan SDM entrepreneur yang mampu mengubah kotoran dan rongsokan menjadi emas.13 Pendapat Ir. Ciputra ini memang benar adanya banyak lulusan-lulusan SMA, diploma bahkan sarjana menjadi pengangguran ketika setelah lulus studi, hal ini dilatarbelakangi oleh kurangnya pemahaman terhadap jiwa akan kewirausahaannya yang di ajarkan di bangku sekolah ataupun kuliah. Namun pada kenyataannya banyak pengusaha yang muncul karena keterbatasan-keterbatasan seperti keterbatasan ekonomi dan keterbatasan pendidikan, justru dari keterbatasan inilah para pengusaha tersebut dapat bangkit

13

Pendidikan Entrepreneurship di UGM, http://pasca.ugm.ac.id/id/news.php?news_id=1

18

karena keterdesakan-keterdesakan tersebut. Bandingkan dengan mahasiswamahasiswa yang ada di jaman sekarang yang kebanyakan gaya hidupnya hedonis dan menggantungkan nasib kepada orang lain (menjadi karyawan) bukan memikirkan bagaimana kedepannya supaya dapat mandiri dan menciptakan lapangan pekerjaan yang baru buat masyarakat. Enterpreneurship bukan membentuk seseorang sebagai mesin melainkan enterpreneurship membentuk jiwa-jiwa yang mandiri dalam mengupayakan kesejahteraan ekonomi bagi dirinya sendiri khususnya dan bagi negara Indonesia umumnya.

D. Kesimpulan Tingginya angka pengangguran di Indonesia yang tiap tahunnya pasti bertambah, menjadikan negara Indonesia semakin hari semakin jauh dari kesejahteraan. Hal ini membuat perlunya kemunculan baru seorang enterpreneur atau pengusaha yang diharapkan akan memberikan tempat lapangan kerja yang seluas-luasnya untuk rakyat Indonesia. Untuk menumbuhkan jiwa-jiwa enterpreneurship, diharapkan pemerintah segera melaksanakan program pendidikan enterpreneur baik di sekolah-sekolah menengah atas sampai tingkat perguruan tinggi yang nantinya akan menjadi calon-calon enterpreneur yang bisa mengangkat harta dan martabat bangsa Indonesia. Seperti yang telah dilakukan oleh Universitas Ciputra yang digalakkan seorang pengusaha real estate terkemuka di Indonesia yang sudah menjamah sampai internasional yaitu Ir. Ciputra. Ir. Ciputra mempunyai sebuah mimpi yang dimulainya dari sekarang, Ciputra, beliau mempimpikan bangsa Indonesia ini secepatnya memiliki minimal 2% dari jumlah penduduk di Indonesia yang menjadi enterpreneur baru. Bagi Ir. Ciputra, kemunculan para calon enterpreneur baru ini diharapkan akan bisa membuat bangsa Indonesia menjadi maju dan sejahtera seperti negara singapura yang merupakan negara kecil tetapi memiliki tingkat perekonomian yang jauh lebih maju dibanding di Indonesia.

19

Aplikasi dari impian seorang Ir. Ciputra yang menginginkan tumbuhnya jiwa enterpreneurship di Indonesia sudah dapat dibuktikan melalui dunia pendidikan yang didirikannya yang sangat kental akan basis kewirausahaannya. Terbukti banyak lulusan-lulusan dari Universitas Ciputra telah memiliki usaha sendiri setelah mereka lulus, walaupun tidak semuanya. Pendidikan di Indonesia semestinya diubah pola pikirnya, terutama dosen/guru yang mengajar anak-anak didik Indonesia, pola pikir yang selalu menjadikan anak didik setelah lulus akan mencari suatu pekerjaan yang tidak selalu didapatkannya. Mulailah para dosen atau guru pendidikan di Indonesia mengajarkan pentingnya pendidikan enterpreneurship yang bisa memberikan gambaran akan masa depan mereka melalui kewirausahaan. Di dalam dunia wirausaha tidak perlu susah-susah mencari pekerjaan kesana-kemari untuk mendapatkan suatu penghasilan, melainkan yang dibutuhkan yaitu hanya jiwa seorang enterprenurshiplah yang harus ditanamkan sejak usia masih dini. Penciptaan Ide yang menarik, mental yang kuat, tidak mudah menyerah serta mempunyai visi dan misi kedepanlah yang harus benar-benar diberikan terhadap anak bangsa Indonesia ini. Selain pendidikan enterpreneurship, pengembangan etos kerja di Indonesia harus segera dirubah. Ini karena rakyat Indonesia yang masih mempunyai pikiran yang terlalu kolot dan monoton. Pikiran-pikran yang seperti inilah yang membuat daya saing SDM yang dimiliki oleh Indonesia kalah dengan yang lain. Sebenarnya rakyat Indonesia banyak yang pintar-pintar, terbukti seringkali anak bangsa Indonesia menjadi juara ketika mereka mengikuti lomba olimpiade di tingkat nasional, entah itu olimpiade fisika, matematika atau sains. Tetapi mengapa perkembangan teknologi yang ada di Indonesia cenderung berjalan lambat? Keterpurukan teknologi di indoesia salah satunya disebabkan oleh faktor SDM yang mempunyai etos kerja yang lemah dan juga peran pemerintah terhadap orang-orang jenius yang ada di Indonesia. Konsep etos kerja yang diusung oleh negara jepang ataupun jerman patut untuk dicontoh, mereka memiliki kedisiplinan yang tinggi, kemauan yang keras

20

untuk maju serta fokus pada suatu hasil. Etos kerja yang seperti inilah yang perlu diterapkan oleh Indonesia. Jika kita melihat sosok pemimpin yang ada di Indonesia, seperi dewan DPR, seringkali media masa meliput bagaimana mereka bekerja. Wakil rakyat tersebut seringkali tertangkap kamera dengan keadaan tertidur ketika rapat. Ini menandakan SDM yang dimiliki oleh Indonesia sangat lemah, motivasi yang rendah, pemikiran yang amburadul, pekerjaan yang selalu ditunda-tunda serta suka berfoya-foya untuk kepentingan kelompok, memberikan dampak yang sangat buruk untuk pencitraan nama baik negara Indonesia. Maka dari itu jiwa-jiwa enterpreneurship yang memiliki etos kerja yang tinggi diharapkan dapat mengangkat negara ini menjadi lebih sejahtera, ekonomi tumbuh, daya produktifitas yang tinggi. Jika hal ini telah siap untuk dipraktekkan, maka negara ini akan hanya menunggu hasil yang sempurna, menjadi negara indonesia yang sejahtera, sesuai dengan isi yang terkandung dalam pembukaan UUD serta pancasila.

21

DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik (BPS). 2010. Hasil Sensus Penduduk 2010. Jakarta. Nurul Firdausi, Ciptakan Jiwa Entrepreneur, Sekarang!, http://www.ciputra.org/node/1055/ciptakan-jiwa-entrepreneur-sekarang.html, 2009 Erwin, Definisi Enterpreneurship, 2007 Waluyo, Agung. Tabloid Business Opportunity. Edisi Oktober 2010 Pendidikan Entrepreneurship di UGM, http://pasca.ugm.ac.id/id/news.php?news_id=1 Wongso, Andrie. Majalah Luar biasa. Agustus 2010 Jansen Hulman Sinamo, Etos Kerja Indonesia. http://www.tokohIndonesia.com/ensiklopedi/j/jansen-sinamo/berita/0506/index.shtml. 24/10/2010 Sjafri Mangkuprawira, Produktifitas Dan Budaya Kerja Indonesia, http://www.quickmba.com/entre/definition/,

http://indosdm.com/produktifitas-dan-budaya-kerja-Indonesia Sulanam, 2010. Etika Usaha. Dalam Achmad Room Fitrianto, dkk. Modul Kewirausahaan Untuk Perguruan Tinggi Agama Islam. IAIN Sunan Ampel Pers, Surabaya Majalah Tempo edisi 20-26 Agustus 2007 Esmara, Hendra. 1987, Teori Ekonomi Dan Kebijaksanaan Pembangunan, Jakarta: PT. Gramedia.

22

Anda mungkin juga menyukai