Anda di halaman 1dari 17

PROSPEK PENGEMBANGAN PERTANIAN URBAN (PERKOTAAN)1

Witono Adiyoga
Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jalan Tangkuban Perahu 517, Lembang, Bandung - 40391

• Definisi Pertanian Urban

Terminologi pertanian urban yang pada awalnya hanya digunakan oleh akademisi dan
media, telah diadopsi oleh berbagai lembaga di bawah PBB, misalnya UNDP (Smit et al.,
1996a) dan FAO (FAO, 1996; COAG/FAO, 1999). Pertanian urban didefinisikan sebagai
aktivitas/kegiatan yang dilakukan di dalam kota (intraurban) dan pinggiran kota (periurban)
untuk memproduksi/ memelihara, mengolah dan mendistribusikan beragam produk pangan
dan non-pangan, dengan menggunakan atau menggunakan kembali sumberdaya manusia dan
material, produk serta jasa yang diperoleh dari dalam dan sekitar daerah urban, dan pada
gilirannya memasok sebagian besar sumberdaya manusia dan material, produk serta jasa ke
daerah urban tersebut (Smit et al., 1996b). Beberapa dimensi umum yang mendukung definisi
di atas adalah: jenis aktivitas ekonomi, kategori produk pangan atau non-pangan, karakteristik
lokasi intraurban dan periurban, jenis area aktivitas tersebut dilakukan, jenis sistem (skala)
produksi dan produk destinasi. Definisi ini secara implisit juga memberikan gambaran
menyangkut keterkaitan pertanian urban dengan berbagai konsep pengembangan lainnya,
misalnya pengembangan pertanian pedesaan, sistem pasokan pangan urban, pengembangan
urban berkelanjutan, ketahanan pangan urban dan pengelolaan lahan urban. Keterkaitan
tersebut memberikan indikasi bahwa integrasi ke dalam ekosistem (sistem ekonomi dan
ekologi) urban merupakan faktor krusial penentu eksistensi pertanian urban.

• Signifikansi Kepentingan Pertanian Urban

Setelah lebih dari 25 tahun perhatian pemerintah cenderung lebih diarahkan untuk me-
ngejar pertumbuhan ekonomi, berbagai perubahan lingkungan strategis yang terjadi dalam
dekade terakhir telah mengubah fokus perhatian tersebut ke arah hal-hal yang berkaitan dengan
pengentasan kemiskinan dan perbaikan kualitas hidup. Pengalaman menunjukkan bahwa
pertumbuhan ekonomi belum berhasil secara nyata memenuhi kebutuhan penduduk miskin,
terutama di negara-negara berkembang (World Bank, 1995). Sampai saat ini, kemiskinan
seringkali dianalogikan dengan kondisi kehidupan di pedesaan. Sementara itu, tingginya tingkat
urbanisasi ternyata juga telah menciptakan kelompok masyarakat miskin di daerah perkotaan.
Pada tahun 1994, 45% dari penduduk dunia tinggal di perkotaan. Proporsi tersebut akan
meningkat menjadi 50% pada tahun 2000, dan diproyeksikan mendekati 65% pada tahun 2005
(United Nations, 1994).
Kecenderungan serupa juga terjadi di Indonesia dimana proporsi penduduk di perkotaan
sebesar 36,5% pada tahun 2000, diproyeksikan akan meningkat menjadi 44,5% dan 52,2%,
masing-masing pada tahun 2010 dan 2020 (Ananta dan Arifin, 1994). Hal ini mengindikasikan
bahwa kemiskinan tidak lagi merupakan masalah yang menjadi dominasi di daerah pedesaan,
tetapi juga akan semakin meningkat di daerah perkotaan (urban) dan pinggiran kota (peri-urban).
Dengan demikian, masalah ketersediaan pangan dan akses terhadap pangan juga akan dihadapi
oleh sebagian penduduk yang tinggal di perkotaan, sebagai akibat dari (a) distribusi pendapatan
yang tidak merata, (b) tingkat kemiskinan yang cenderung meningkat, (c) semakin menurunnya
1 Makalah disampaikan pada Diseminasi Prospek Pengembangan Sayuran di Perkotaan, Balai Penelitian
Tanaman Sayuran, Lembang, Bandung - 40391, 11-13 Agustus 2003.

1
ketersediaan lahan produktif, dan (d) sistem distribusi yang tidak efisien (Pernia, 1983). Studi yang
dilakukan oleh Newland (1990) bahkan mengindikasikan bahwa 360 juta penduduk perkotaan,
terutama di negara-negara berkembang, menderita kekurangan kalori yang kronis. Sebagian
kelompok penduduk berpendapatan rendah di perkotaan Asia diduga sudah mulai mengalami
kekurangan nutrisi yang lebih buruk dibandingkan dengan penduduk di pedesaan. Sejalan dengan
perkem-bangan di atas, berbagai lembaga internasional, salah satu diantaranya FAO, mulai
memposisikan pertanian urban sebagai (a) salah satu sumber pasokan sistem pangan urban serta
salah satu opsi ketahanan pangan untuk rumah tangga, (b) salah satu cara produktif untuk
memanfaatkan ruang terbuka urban serta limbah perkotaan, dan (c) salah satu sumber
pendapatan serta kesempatan kerja penduduk urban.

• Peluang, Risiko dan Kendala Pertanian Urban

Peluang yang dimiliki pertanian urban diantaranya adalah (a) tidak terlalu membutuhkan
pengepakan, penyimpanan dan transportasi, (b) berpotensi menciptakan kesempatan kerja serta
sumber pendapatan, (c) memberikan akses pangan yang lebih luas bagi konsumen miskin, (d)
menjamin ketersediaan bahan pangan yang lebih segar, dan (e) akses yang lebih luas terhadap
pelayanan-pelayanan menyangkut pengelolaan limbah serta kemungkinan daur ulang. Sementara
itu, risiko yang dihadapi mencakup (a) risiko lingkungan dan kesehatan yang timbul sebagai akibat
dari praktek kultur teknis atau budidaya yang kurang bijaksana, (b) kompetisi yang semakin ketat
untuk memperoleh lahan, air, energi dan tenaga kerja, serta (c) penurunan kapasitas lingkungan
dalam mengabsorpsi polusi (FAO, 1999). Kontribusi sistem produksi pertanian urban akan sangat
bergantung pada kemampuan optimal dalam memanfaatkan peluang serta menangani risiko
tersebut. Dengan demikian, strategi pengembangan sistem produksi pertanian urban harus tetap
mempertimbangkan prinsip keunggulan komparatif. Keunggulan komparatif tersebut dapat dimiliki
jika kondisi penawaran/permintaan memungkinkan pertanian urban melayani pasar di daerah
perkotaan dengan pasokan produk yang tidak/jarang dihasilkan di pertanian pedesaan atau
dengan pasokan produk serupa yang dapat diproduksi dengan biaya lebih murah (termasuk biaya
eksternal).
Kontribusi pertanian urban terhadap ketahanan pangan tercermin dari peningkatan
ketersediaan pangan dari sisi kuantitas yang cenderung memiliki akses langsung ke rumah tangga
atau pasar-pasar informal. Sementara itu, dari sisi kualitas juga memberikan jaminan kesegaran,
ragam/jenis serta nilai nutrisi produk yang lebih baik. Nilai ekonomis pertanian urban ditunjukkan
oleh kemungkinan penciptaan pendapatan aktual atau in-kind melalui penyediaan kesempatan
kerja, bukan berasal dari suatu program yang tergantung pada subsidi atau anggaran pemerintah.
Walaupun besaran agregat yang tepat belum diketahui, pertanian urban diperkirakan secara
global dapat memberikan pendapatan langsung kepada 100 juta penduduk (Helmore and Ratta,
1995). Kontribusinya terhadap peningkatan efisiensi produksi juga dapat diharapkan dari (a)
penekanan biaya pasca panen karena dapat langsung dipasarkan kepada konsumen dalam
bentuk segar, (b) pemanfaatan produktif sumberdaya yang under-utilized, misalnya lahan tidur,
daur ulang limbah organik dan tenaga kerja setengah menganggur, serta (c) respon yang lebih
cepat terhadap dinamika preferensi konsumen (Deelstra, 1998).
Terlepas dari peluang kontribusinya, sistem produksi pertanian urban juga dihadapkan
kepada berbagai kendala yang harus dicermati sehubungan dengan upaya pengembangannya.
Salah satu kendala yang paling berat adalah penggunaan dan ketersediaan lahan. Lahan yang
digunakan untuk usaha pertanian di daerah perkotaan biasanya merupakan lahan berstatus sewa
atau pinjam. Pada kondisi tertentu, lahan tersebut setiap waktu dapat diminta kembali oleh pemilik.
Hal ini mengimplikasikan tingkat keamanan yang rendah serta disinsentif bagi petani penggarap
untuk sepenuhnya melakukan investasi di lahan garapannya. Petani seringkali menghadapi
keterbatasan akses untuk memperoleh lahan garapan yang memiliki tingkat kesuburan cukup baik

2
dan memberikan rasa aman dalam pengusahaannya. Pemanfaatan lahan publik, misalnya lahan
kosong di pinggir jalan raya atau jalan kereta api, ternyata sangat rentan terhadap kontaminasi
logam berat serta polutan lainnya. Sementara itu, urban bias pihak otoritas yang menghendaki
daerah perkotaan bebas dari kegiatan tradisional yang berhubungan dengan daerah pedesaan
(pertanian) juga seringkali masih menjadi kendala. Kendala lain yang juga sering dihadapi oleh
petani urban adalah keterbatasan akses terhadap sarana produksi. Benih berkualitas dan pupuk
masih sering tidak terjangkau oleh petani karena harga yang relatif tinggi. Di sisi lain, penggunaan
pupuk kimia juga menimbulkan risiko pencemaran terhadap pasokan air, sedangkan pupuk yang
berasal dari limbah organik, ketersediaannya sangat terbatas. Ketersediaan air juga seringkali
hanya dapat diakses dengan biaya tinggi. Sementara itu, kemungkinan untuk memperoleh kredit
juga relatif terbatas, karena kesulitan petani dalam menyediakan agunan.

• Alternatif Sistem Produksi Pertanian Urban

Mengacu pada kondisi spesifik urban, pengembangan atau perancangan model sistem
produksi pertanian urban paling tidak harus memperhatikan dua kriteria, yaitu hemat lahan dan
produk relatif bersih. Dua kriteria ini perlu dipertimbangkan untuk memenuhi beberapa
persyaratan usaha pertanian perkotaan sebagai berikut:

• Sesuai dengan tata ruang kota dan tata ruang wilayah


• Tidak merusak keindahan atau estetika kota
• Tidak menimbulkan dampak masalah sosial akibat penggunaan lahan
• Tidak mengganggu serapan air dan tidak menghambat aliran air pada saluran/
selokan/sungai sebagai sarana pembuangan kelebihan air
• Tidak menggunakan input kimiawi berlebih yang dapat mencemari air dan
lingkungan serta menghadapkan konsumen kepada risiko kesehatan
• Tidak mengaplikasikan cara budidaya yang dapat mendorong peningkatan erosi
dan mempercepat degradasi lingkungan

Sistem produksi pertanian hemat lahan mengimplikasikan suatu keharusan untuk


mengidentifikasi ruang atau lahan yang masih bersifat underutilized dan memaksimalkan
potensinya untuk mengakomodasi aktivitas pertanian. Diversitas dari bermacam ruang dan
pendekatan dapat memaksimalkan efisiensi skala mikro produksi pangan di daerah urban.
Tabel 1 berikut ini menggambarkan persepsi perencana menyangkut ruang yang masih
mungkin dimaksimalkan pemanfaatannya untuk pertanian urban.

Tabel 1 Persepsi perencana mengenai ruang underutilized yang perlu dimaksimalkan pemanfaatan-nya
untuk kegiatan pertanian urban di Jakarta dan Bandung

No Uraian Jakarta % (n=39) Bandung % (n=41)


1 Daerah hunian milik pribadi 53,9 48,8
2 Taman umum atau lahan tidur 84,6 82,9
3 Lahan kosong di pinggir/tepi jalan 69,2 53,7
4 Bantaran sungai atau selokan 66,7 39,0
5 Lahan kosong milik sekolah atau instansi publik 64,1 46,3
6 Lahan kosong milik industri komersial atau industri perumahan 89,7 48,8

3
Beberapa pendekatan yang disarankan dalam konteks pemanfaatan ruang untuk
pemodelan sistem produksi pertanian urban, diantaranya adalah:

• Pemanfaatan pekarangan/halaman

Observasi menunjukkan potensi yang cukup tinggi menyangkut ketersediaan lahan


pekarangan di daerah urban untuk dimanfaatkan sebagai lahan produksi pertanian.
Berdasarkan pertimbangan kemudahan pemeliharaan, sebagian pekarangan justru
ditembok tanpa mempertimbangkan peluang pemanfaatan produktifnya serta kemungkinan
untuk memperluas daerah resapan air. Sebagian pekarangan lainnya masih tetap
ditanami, namun jenis tanaman yang umumnya digunakan adalah non-edible plants.
Berbagai penelitian sebenarnya telah banyak membuktikan kelayakan ekonomis
pemanfaatan pekarangan dan menghasilkan model-model pemanfaatan pekarangan serta
mengindikasikan adanya kecenderungan peningkatan konsumsi sayuran rumah tangga.
Namun demikian, pengamatan menunjukkan bahwa pengembangan pemanfaatan
pekarangan ini berjalan relatif lambat, terutama di daerah perkotaan. Beberapa tindakan
yang dapat disarankan kepada pemerintahan kota untuk dapat mendorong peningkatan
pemanfaatan pekarangan diantaranya adalah:
• Sosialisasi reguler menyangkut ketahanan dan keamanan pangan urban serta peluang
peningkatan pendapatan melalui produksi pangan di pekarangan
• Penyuluhan berkelanjutan mengenai teknik budidaya sayuran dan buah serta metode
kultur teknis organik melalui berbagai organisasi kemasyarakatan
• Pengembangan program penanganan pertanian urban dengan memasukkan edible
landscaping
• Pemberian fasilitasi pengembangan pasar petani (farmer’s markets) yang dapat
membantu pengumpulan dan pemasaran hasil

• Pembuatan kebun-kebun komunitas

Kebun komunitas, berbeda dengan kebun pekarangan yang dikelola secara individual,
merupakan salah satu model sistem produksi pertanian yang dikelola oleh sekelompok
orang dalam suatu komunitas tertentu. Lokasi kebun biasanya berada di sekitar atau di
dekat pemukiman dan berukuran lebih luas dibandingkan dengan pekarangan.
Pengelolaan kebun komunitas ini dapat dilakukan secara lebih efektif jika lahan yang
digunakan merupakan lahan fasilitas umum/sosial atau lahan khusus yang disediakan oleh
pengembang dalam suatu kompleks perumahan. Wanita atau ibu-ibu rumah tangga
biasanya terlibat lebih dominan dalam pengelolaan kebun komunitas. Jenis tanaman dan
metode produksi yang digunakan cenderung lebih beragam dibandingkan dengan di
pekarangan. Kebun komunitas biasanya memiliki akses lebih baik terhadap pelayanan
(penyuluhan, pasokan input) karena dikelola oleh kelompok. Potensi pembentukan kebun
komunitas di daerah urban cukup tinggi, terutama jika dikaitkan dengan semakin
tumbuhnya kompleks-kompleks pemukiman baru di wilayah perkotaan. Elemen terpenting
dalam merancang kebun komunitas adalah pemahaman bahwa upaya tersebut merupakan
suatu proses kolaboratif. Upaya ini melibatkan partisipasi dari berbagai pihak yang memiliki
latar belakang serta pengetahuan/keahlian berbeda. Beberapa saran yang dapat diusulkan
kepada pemerintahan kota untuk menginisiasi pengembangan atau meningkatkan
pembentukan kebun komunitas, diantaranya adalah:

4
• Mengadopsi kebijakan kebun komunitas untuk pembentukan kebun komunitas di
lahan-lahan yang dimiliki kota, selain peruntukan ruang terbuka hijau
• Mendorong Dewan Sekolah untuk membuat kebun komunitas dan menyarankan
dimasukkannya cara budidaya tanaman praktis sebagai bagian dari kurikulum sekolah
• Mempekerjakan konsultan spesialis hortikultura yang ditugasi untuk mempromosikan
kebun komunitas dan memberikan berbagai konsultasi teknis
• Memelihara inventarisasi terkini menyangkut lahan-lahan yang layak dan me-
mungkinkan dijadikan sebagai kebun komunitas
• Menganjurkan budidaya tanaman secara organik sebagai salah satu upaya mendu-
kung sistem produksi pertanian urban berkelanjutan

• Pembuatan kebun atap atau roof garden

Gedung-gedung tinggi dengan atap datar banyak dijumpai di daerah urban. Sampai saat
ini, tidak diperoleh informasi mengenai atap gedung yang telah dimanfaatkan untuk
aktivitas produksi pertanian. Secara teoritis, setiap jenis tanaman dapat dibudidayakan di
kebun atap, termasuk buah-buahan pohon pendek. Adanya vegetasi di kebun atap dapat
memperbaiki iklim mikro lokal atau di sekitar gedung. Namun demikian, paling tidak ada
dua hal yang harus dipertimbangkan secara seksama jika hendak memanfaatkan atap
gedung untuk kegiatan pertanian. Konstruksi dan material penyangga atap harus
diperhitungkan agar dapat menanggung beban yang cukup berat. Sementara itu, fasilitas
irigasi dan drainase juga harus dirancang sedemikian rupa, agar secara maksimal dapat
memanfaatkan daur ulang limbah air yang berasal dari gedung. Di beberapa wilayah
Jerman, pemerintah kota mengeluarkan regulasi yang mengharuskan bangunan industri
baru memiliki atap hijau. Kota-kota di Swiss juga mengharuskan konstruksi baru untuk
merealokasi ruang terbuka hijau yang hilang akibat pembangunan konstruksi tersebut ke
bagian atap bangunan baru (Barrs, 1999). Beberapa saran yang dapat diusulkan kepada
pemerintah kota, berkenaan dengan pengembangan kebun atap adalah sebagai berikut:
• Melakukan studi kelayakan kebun atap, terutama menyangkut biaya ekonomis dan
penyesuaian struktur gedung yang diperlukan
• Mendorong atau mempersyaratkan pembuatan kebun atap untuk pembangunan baru
apartemen beratap rata, bangunan komersial serta bangunan industrial
• Memberikan bantuan konsultasi dan petunjuk dalam pengembangan kebun atap,
pemanfaatan air hujan untuk irigasi serta penggunaan limbah air yang telah didaur
ulang.

• Pembuatan kebun vertikal

Keterbatasan lahan untuk kegiatan pertanian di daerah urban perlu dicarikan jalan
keluarnya melalui berbagai cara. Salah satu diantaranya adalah pemanfaatan ruang
vertikal secara lebih efisien. Selama kebutuhan sinar matahari, nutrisi serta akses untuk
panen masih dapat dipenuhi, penanaman dapat ditumpuk secara vertikal, misalnya pada
dinding vertikal atau teralis. Beberapa saran yang dapat diusulkan kepada pemerintah
kota, berkenaan dengan pengembangan kebun vertikal adalah sebagai berikut:
• Membuat plot-plot demonstrasi pemanfaatan ruang vertikal untuk produksi sayuran
• Menentukan pemanfaatan ruang vertikal serta akses sinar matahari sebagai kriteria
yang perlu dipertimbangkan pada saat mengkaji ulang proposal lanskap dan
rancangan gedung/bangunan baru

5
Hasil survai terhadap perencana di Bandung dan Jakarta mengindikasikan masih
adanya persepsi kurang lengkap mengenai fungsi pertanian urban. Pertanian urban seringkali
dipersepsi semata-mata sebagai kegiatan produksi (tinjauan dari sisi kegiatan ekonomis saja).
Persepsi kurang lengkap ini merupakan salah satu faktor penyebab kurang dikehendakinya
keberadaan kegiatan pertanian di daerah urban. Sementara itu, pertanian urban sebenarnya
memiliki multi fungsi yang oleh sebagian masyarakat sering dianggap biasa (taken for granted)
(van den Berg, 2000). Fungsi multi dari pertanian urban, diantaranya adalah:

• Produksi pertanian (pangan/non- • Pendidikan


pangan)
• Peluang lapangan kerja
• Pengelolaan ruang terbuka hijau
• Pengelolaan air (kuantitas/kualitas)
• Nature management
• Rekreasi
• Produksi/konsumsi enerji panas
• Daur ulang limbah padat/cair
• Daur ulang CO2
• Urban planning reserve
• Udara segar dan ketenangan
• Estetika kota
• Amenity – pandangan terbuka

Berdasarkan karakterisasi potensi, peluang, risiko serta multi fungsi pertanian urban,
alternatif model usaha (dalam konteks pertanian perkotaan) yang patut dipertimbangkan
adalah sebagai berikut:

• Usaha produksi benih/bibit


Jenis usaha ini dapat dilakukan pada ruang atau lahan yang relatif sempit dan
memungkinkan adanya pemanfaatan limbah secara optimal
• Pembibitan tanaman hias (misalnya, anggrek) melalui kultur jaringan
• Pembibitan tanaman hias melalui stek dan biji
• Pembibitan tanaman buah-buahan (misalnya, rambutan, mangga, manggis,
durian, belimbing, sawo, dsb.).
• Pembibitan dengan kultur jaringan untuk pisang, lidah buaya, abaca, dll.
• Pembibitan tanaman peneduh, misalnya flamboyan dan tanjung
• Pembibitan tanaman hutan kota, misalnya albizia
• Pembibitan jamur merang
• Usaha nursery atau penyemaian
Jenis usaha ini bergerak dalam penyediaan dan penjualan bibit, terutama tanaman hias,
yang telah tumbuh dan siap dipindahkan ke pot, pekarangan atau taman kota. Usaha ini
dapat memanfaatkan ruang-ruang kosong di sisi jalan yang diberi ijin resmi. Penataan
yang baik memungkinkan kegiatan ini, tidak saja memiliki prospek komersial, tetapi juga
merupakan ruang terbuka hijau produktif
• Usaha penyewaan tanaman hias
Jenis usaha ini dapat dilakukan secara berdiri sendiri atau dibangun sebagai salah satu
pengembangan dari usaha nursery. Tanaman hias yang telah siap-pamer dapat
disewakan mingguan atau bulanan ke kantor, hotel, kompleks pertokoan atau disewakan

6
untuk acara-acara tertentu. Paket penyewaan terdiri dari tanaman hias beserta dengan
jasa perawatan/pemeliharaan selama masa sewa.
• Usaha pembuatan bonzai
Pembuatan, pemeliharaan dan penjualan bonzai merupakan spesialisasi usaha yang
memerlukan keterampilan khusus. Pasar bonzai masih cukup terbuka, baik untuk
penjualan langsung tanpa garansi atau penjualan disertai paket perawatan.
• Usaha tanaman buah dalam pot
Tanaman buah dalam pot yang kanopinya telah terbentuk bagus dan telah berbuah
merupakan komoditas hasil pertanian perkotaan yang bernilai ekonomi tinggi. Nilai tambah
yang diperoleh akan meningkat jika penjualannya disertai dengan paket jasa perawatan
tanaman.
• Usaha bunga potong dan bunga pot
Berbagai varietas anggrek dapat dibudidayakan tidak saja sebagai salah satu upaya
pemenuhan kepuasan kegemaran (hobby), tetapi juga sebagai alternatif usaha komersial.
Sementara itu, berbagai tanaman hias pot, misalnya kaktus, bromeliad, bogenvil, kroton
dan kordilin juga dapat diusahakan sebagai kegiatan produktif komersial hemat lahan di
perkotaan.
• Usaha sayuran lahan terbuka
Lahan terbuka di perkotaan dapat dimanfaatkan untuk pengusahaan sayuran ko-mersial
atau semi-komersial. Jenis sayuran daun/umbi/buah yang dapat dibudidayakan antara lain
adalah bayam, kangkung, lobak, mentimun, kacang panjang, sawi, okra, katuk, daun
singkong, kemangi, kenikir, dll.
• Usaha sayuran dalam rumah kasa/plastik
Pengusahaan sayuran dalam rumah kasa/plastik diarahkan untuk meminimalkan serangan
hama dan memperoleh produk yang relatif bersih. Beberapa jenis sayuran yang layak
diupayakan dalam rumah kasa/plastik, diantaranya adalah cabai, tomat, mentimun, terong
dan okra.
• Usaha sayuran dalam media terbatas
Pemanfaatan lahan yang sangat terbatas, bahkan tanpa lahan pertanian khusus, dapat
dilakukan untuk produksi kecambah kacang hijau (taoge) atau jamur merang.
• Usaha sayuran semi-hidroponik
Ruang terbuka sempit, misalnya pekarangan/halaman rumah, dapat dimanfaatkan untuk
budidaya sayuran pada pot/pollybag dengan media arang sekam, kompos dan pupuk
kandang, disertai dengan unsur hara terlarut air yang diberikan pada saat penyiraman.
Jenis tanaman yang dapat dibudidayakan dengan metode ini, antara lain tomat, cabai
merah, cabai rawit, seledri, sawi, mentimun, dll.
• Usaha sayuran hidroponik
Produksi sayuran hidroponik pada dasarnya diarahkan untuk memperoleh tanaman yang
tumbuh maksimal dan seragam, melalui penggunaan air dan nutrisi terkontrol. Metode ini
merupakan sistem produksi tertutup sehingga pestisida dan pupuk yang digunakan tidak
akan tercuci ke dalam aliran air. Budidaya sayuran yang tergolong ke dalam protected
cultivation ini memerlukan investasi relatif tinggi (konstruksi bangunan, fasilitas irigasi,
nutrisi, dsb.). Dengan demikian, komoditas yang diusahakan harus jenis sayuran bernilai
ekonomis tinggi, misalnya tomat, terong jepang, cabai merah, dll.

7
• Usaha sayuran organik
Metode budidaya sayuran ini tidak saja diarahkan untuk meminimalkan risiko kese-hatan
konsumen, tetapi juga risiko degradasi lingkungan. Teknik produksi ini juga dikenal
sebagai pertanian restoratif, pertanian regeneratif, pertanian ekologis atau pertanian bio-
dinamis. Usahatani sayuran dilakukan dengan penekanan pada pemeliharaan kesuburan
dan produktivitas tanah tanpa menggunakan pupuk sintetis dan pestisida kimiawi.
• Usaha tanaman buah tahunan
Tanaman buah tahunan dapat ditanam di pekarangan, lahan tidur, bantaran sungai,
halaman kantor, industri, sekolah, taman, pinggir jalan, kompleks perumahan, dll.
Tanaman ini berfungsi multi, tidak saja sebagai penghasil buah, tetapi juga sebagai
peneduh, penahan longsor, penyerapan air dan kesehatan lingkungan. Jenis tanaman
yang dapau diusahakan, antara lain duku, rambutan, nangka, jambu, belimbing, alpukat,
sawo, mangga, dll.

Disamping berbagai alternatif tersebut, hasil survai terhadap perencana di bawah ini
juga mengindikasikan model-model usaha lain yang dapat dipilih sesuai dengan kondisi
perkotaan.

Tabel 2 Persepsi perencana mengenai model usaha pertanian urban yang dapat dilakukan di Jakarta dan
Bandung

Model/Jenis Usaha Jakarta % (n=39) Bandung % (n=41)


Budidaya sayuran dan buah-buahan 92,3 85,4
Budidaya tanaman lain untuk konsumsi manusia maupun ternak 66,7 48,9
Budidaya bunga dan tanaman hias 94,9 85,4
Budidaya tanaman pohon 66,7 36,6
Pemeliharaan ternak kecil 69,2 63,4
Pemeliharaan ternak besar 33,3 26,8
Pemeliharaan ikan 66,7 53,7
Penggunaan air limbah untuk pengairan 38,5 17,1
Penggunaan limbah rumah tangga untuk pupuk 38,5 35,2
Pengolahan produk pertanian hasil perkotaan 82,1 41,5
Pemasaran dan distribusi produk pertanian hasil perkotaan 79,5 48,9
Penangkaran benih/bibit buah-buahan 2,6 2,4
Usaha penyewaan tanaman hias 2,6 -
Pengusahaan hewan hias 2,6 -
Pemasaran sarana produksi dan alat pertanian 2,6 2,4
Budidaya tanaman obat 2,6 -

• Kondisi Aktual dan Keterpaduan Kebijakan Penanganan Pertanian Urban

Berbagai model sistem produksi yang diobservasi di lapangan pada umumnya dapat
dikategorikan layak secara finansial. Namun perlu pula dicermati bahwa evaluasi awal ini
hanya didasarkan pada observasi cross section. Kelayakan finansial sangat sensitif terhadap

8
tingkat harga yang terjadi, terutama harga output (fluktuasi harga sayuran). Oleh karena itu,
observasi kelayakan finansial suatu model perlu dilakukan beberapa kali agar sensitivitasnya
terhadap perubahan harga output serta konsistensi kelayakannya dapat dikaji. Lebih jauh lagi,
kelayakan model tidak dapat dievaluasi dari sisi finansial atau profitabilitas saja. Dalam konteks
pertanian urban, suatu model perlu pula dievaluasi penerimaannya secara sosial dan
keamanannya terhadap kesehatan konsumen serta kelestarian lingkungan. Agar prasyarat
kelayakan finansial, sosial dan lingkungan dapat dipenuhi oleh berbagai alternatif model sistem
produksi pertanian urban, beberapa topik intervensi penelitian dan penyuluhan yang perlu
dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
• Pemanfaatan pupuk organik dan pengelolaan limbah
• Penanganan kualitas air dan produk (bersih) hasil pertanian
• Pengolahan dan penyimpanan produk pertanian perishable
• Strategi pemasaran serta sistem pemasaran
• Aksesibilitas/alokasi/perencanaan lahan pertanian serta aspek kompensasi/status
penguasaan
• Plot demonstrasi teknologi pertanian urban tepat guna
• Informasi mengenai integrated nutrient management dan integrated pest management
• Sekolah lapang petani dan pelatihan bagi penyuluh, khusus tentang pertanian urban
• Pelatihan khusus menyangkut penggunaan agro kimiawi yang aman
• Capacity building bagi petani dalam pemasaran dan penyelenggaraan agribisnis

Sampai saat ini, kegiatan pertanian urban masih dapat dikategorikan sebagai unregulated
urban agriculture. Secara spesifik belum terdokumentasi peraturan yang ditujukan untuk melarang
atau sebaliknya memberikan fasilitasi kegiatan pertanian urban. Hal ini secara tidak langsung
mencerminkan persepsi umum mengenai pertanian urban yang dipandang sebagai kegiatan
kurang prospektif yang lambat laun akan hilang sebagai akibat dari urban development pressures.
Sementara itu, kondisi unregulated ini mengandung berbagai risiko yang sudah mulai dirasakan,
misalnya polusi lingkungan, serta konflik dan kompetisi penggunaan sumberdaya yang justru
cenderung menyisihkan pihak-pihak yang seharusnya mendapat manfaat dari legalisasi pertanian
urban, yaitu penduduk miskin perkotaan. Dalam konteks pengembangan perkotaan berkelanjutan,
intervensi kebijakan fasilitasi dan kerangka kerja perencanaan pertanian urban (termasuk legislasi,
aspek normatif dan finansial serta institusionalisasi proses) sudah saatnya mendapatkan perhatian
lebih serius.
Sehubungan dengan berbagai isu di atas, instrumen kebijakan pertanian urban harus
dirancang berdasarkan integrasinya dengan beberapa kebijakan lain, misalnya: kebijakan tata
guna lahan urban, kebijakan ketahanan pangan serta kesehatan urban, dan kebijakan
lingkungan urban. Penjelasan lebih rinci menyangkut instrumen kebijakan pertanian urban
yang disarankan adalah sebagai berikut:

1. Integrasi pertanian urban ke dalam kebijakan tata guna lahan urban

Akses terhadap sumberdaya lahan dan air serta kepastian/keamanan hak penggunaan lahan,
maupun tingkat besarnya sewa lahan merupakan faktor-faktor yang sangat krusial dalam
pengembangan usahatani perkotaan. Kegiatan pertanian urban, khususnya yang masih
bersifat subsisten, seringkali memanfaatkan lahan yang hak kepemilikannya kurang jelas.
Sementara itu, dalam perencanaan tata guna lahan pengembangan perkotaan, seringkali
alokasi lahan untuk pertanian urban tidak dimasukkan. Instrumen kebijakan yang dapat
dirancang agar pertanian urban terintegrasi dalam perencanaan tata guna lahan, termasuk ke
dalam kategori berikut ini:

9
• Penghapusan berbagai restriksi legal yang bersifat unsubstantiated

Langkah awal yang harus ditempuh adalah meminta pertimbangan atau


meyakinkan perencana agar menerima pertanian urban sebagai salah satu bentuk
pemanfaatan lahan kota yang memiliki legitimasi penuh. Kaji ulang kebijakan dan
peraturan yang ada merupakan pra-kondisi untuk menghilangkan restriksi legal
pertanian urban yang bersifat unsubstantiated (belum dibuktikan kebenarannya).
Bersamaan dengan itu, dikembangkan pula sejumlah aturan untuk mencegah dampak
negatif aktivitas pertanian urban, misalnya pemanfaatan air minum untuk keperluan
irigasi atau kontaminasi air tanah akibat penggunaan input eksternal yang tinggi.
Rekognisi pertanian urban sebagai salah satu bentuk pemanfaatan lahan yang
memiliki legitimasi dapat diukur berdasarkan indikator dimasukkannya kegiatan
pertanian urban dalam pencatatan statistik resmi, survai tata guna lahan perkotaan, dan
data dasar (data base) pemanfaatan lahan perkotaan. Selain kepemilikan formal atau
hak guna pakai permanen, pelaku pertanian urban dapat pula dimungkinkan untuk
memperoleh lisensi pemanfaatan lahan jangka pendek atau menengah, yang dapat
melindungi pelaku dari tindakan pemaksaan/kekerasan serta memperbaiki peluang
untuk mendapatkan akses terhadap jasa penyuluhan dan kredit.
Contoh: Dar es Salaam, Tanzania merupakan salah satu kota yang memiliki
legislasi paling lengkap mengenai pertanian urban di Afrika (Sawio, 1998). Partisipasi
publik yang tinggi melalui survai multi-stakeholders dan lokakarya partisipatif ditempuh
secara reguler untuk menyusun prioritas perbaikan legislasi tersebut serta
pelaksanaannya (enforcement) di lapangan.

• Integrasi pertanian ke dalam perencanaan pengembangan perkotaan

Upaya lebih lanjut yang dapat digunakan untuk memperbaiki akses terhadap
lahan adalah pengintegrasian pertanian ke dalam perencanaan pengembangan kota.
Hal ini dapat ditempuh melalui:

Revisi zonasi aktual urban berdasarkan hukum dan integrasi pertanian urban ke dalam
perencanaan zonifikasi. Peninjauan kembali dan perbaikan ini diarahkan untuk
memberikan penegasan menyangkut zona yang diperbolehkan bagi aktivitas pertanian
serta zona dimana beberapa jenis aktivitas pertanian tertentu dilarang karena kondisi
khusus (misalnya, usaha ternak besar di area tangkapan air atau usaha ternak ayam di
pusat kota). Zona pertanian peri-urban dapat dimasukkan ke dalam rencana
pengembangan kota sebagai bagian dari green belts atau green corridors, untuk
menghindarkan pengelolaan dan destruksi lahan/tanah yang tidak terkontrol. Zona-zona
penyangga juga dapat ditetapkan dan area inner-city dapat dicadangkan hak pakainya
kepada kelompok-kelompok komunitas atau koperasi tani melalui perjanjian/kontrak
jangka menengah. Daerah peri-urban dan jalur hijau dalam kota (inner-city greenbelts)
dapat diberi community title untuk menjamin bahwa ruang terbuka tersebut masih
merupakan domain publik, namun berada di bawah pengawasan suatu komunitas
tertentu.

Contoh: zonasi di Kampala dan Kumasi yang dibuat pada jaman kolonial direvisi untuk
memberikan ijin kegiatan sistem produksi pertanian tertentu pada lokasi spesifik
(Atukunda, 1998); pertanian telah dimasukkan ke dalam rencana pengembangan kota
Kinshasa, Dakar, Bisau dan Maputo (Mougeot, 2000); jalur hijau yang menyertakan

10
aktivitas pertanian ditetapkan seputar Ho Chi Minh City, Vietnam dan Shanghai, China
(Tuyet et al., 1999; Yizong and Zanghen, 2000).

Promosi pertanian urban sebagai aktivitas produktif untuk pemanfatan temporer lahan
tidur milik publik/pribadi. Inventarisasi ruang terbuka di dalam kota, sejauh
memungkinkan dapat memperbolehkan penggunaan temporer lahan tidur milik
publik/pribadi untuk kegiatan pertanian. Pemerintah kota dapat meminjamkan atau
menyewakan lahan tidur kepada kelompok-kelompok pemukim/penghuni atau micro
enterprises lokal untuk digunakan sebgai kebun dan usahatani. Hal serupa juga dapat
disarankan kepada sekolah, rumah sakit atau enterprise publik dan swasta lainnya.

Contoh: Pemerintah kota Jakarta melalui Instruksi Gubernur 1998 mengijinkan


pemanfaatan lahan tidur sebagai salah satu upaya untuk mengatasi dampak krisis
ekonomi (Purnomohadi, 2000); perjanjian/kesepakatan pemanfaatan lahan tidur antara
produsen dengan pemilik lahan atau BUMN dilakukan di Lima (halaman rumah sakit),
Harare (padang golf), Santiago (halaman sekolah), Dar es Salaam (halaman kampus)
(Mougeot, 2000).

Promosi pemanfaatan lahan multi-fungsional dan himbauan partisipasi komunitas untuk


terlibat dalam pengelolaan lahan terbuka perkotaan. Pada kondisi tertentu, pertanian
urban atau aktivitas produksi pertanian dapat dikombinasikan dengan fungsi urban lain,
misalnya rekreasi, penampung air, konservasi alam, dan zona dengan risiko banjir
tinggi. Pelaku pertanian urban dapat didorong (melalui insentif ekonomis atau
pendidikan) untuk turut berpartisipasi dalam pengelolaan fungsi urban tersebut. Hal ini
tidak saja dapat mengurangi biaya pengelolaan yang harus ditanggung publik, tetapi
juga dapat menghindarkan penggunaan tidak resmi atau re-zonasi area tertentu yang
telah ditetapkan fungsinya.

Alokasi lahan untuk kebun individual atau komunitas pada proyek perumahan publik
atau skim bangunan pribadi. Pengembangan perumahan baru harus merencanakan
ruang komunal untuk aktivitas pertanian. Pada kasus dimana akan ada realisasi
rencana konversi lahan pertanian ke penggunaan lain, petani urban hendaknya dapat
disediakan alternatif penggantinya (land swaps).

Contoh: Kota Dar es Salaam, Tanzania menetapkan kegiatan pertanian urban sebagai
salah satu pola pemanfaatan lahan permanen dalam skim perumahan publik.

2. Integrasi pertanian urban ke dalam kebijakan ketahanan pangan dan kesehatan

Pencapaian ketahanan pangan urban tidak akan terwujud jika pasokan pangan utama
sangat bergantung pada pertanian pedesaan. Beberapa penelitian bahkan mengindikasikan
perlunya kota besar mengembangkan perencanaan yang dapat meningkatkan kemampuan
sendiri dalam memproduksi pangan serta dapat melakukan diversifikasi dari ketergantungan
terhadap model supermarket yang bersifat padat modal, padat enerji dan didominasi oleh
pasokan eksternal (Dahlberg, 1998). Sebagai contoh, 60% dan 50% total konsumsi
rumahtangga berpendapatan rendah, berturut-turut di Kampala dan Nairobi, berasal dari
produksi pertanian urban (Maxwell, 1995).
Salah satu kelemahan dari pertanian urban adalah adanya potensi pengaruh negatif
terhadap kesehatan manusia. Sebagai contoh, area kota yang digunakan untuk aktivitas

11
pertanian mungkin saja mengundang tikus dan lalat, atau secara tidak langsung menyediakan
tempat berkembang biak bagi kedua binatang tersebut. Kondisi ini memungkinkan pertanian
urban berkontribusi terhadap penyebaran penyakit. Beberapa jenis penyakit tertentu juga dapat
ditularkan ke manusia oleh khewan ternak yang diusahakan di daerah urban, jika tidak dikelola
secara baik. Demikian pula halnya dengan kekurang-tepatan penanganan input kimiawi dan
limbah perkotaan yang dapat menimbulkan masalah kesehatan bagi pelaku pertanian urban.
Dalam kaitan ini, otoritas kota harus mengembangkan dan mengimplementasikan kebijakan
yang dapat meminimalkan risiko kesehatan tanpa harus mengkompromikan upaya pencapaian
ketahanan pangan bagi masayarakat miskin perkotaan. Beberapa hal di bawah ini dapat
disarankan sebagai upaya/cara untuk meyakinkan pertanian urban yang aman.

• Perbaikan akses pelaku pertanian urban terhadap institusi penelitian, bantuan


teknis dan pelayanan kredit

Akses pelaku pertanian urban terhadap pelayanan penyuluhan pertanian masih relatif
terbatas. Hal ini diduga juga merupakan salah satu penyebab sistem produksi
pertanian urban yang secara teknis tidak efisien serta kurang/tidak mempertimbangkan
potensi risiko terhadap manusia dan lingkungan. Beberapa saran perbaikan dalam
merancang dan memperbaiki jasa penyuluhan untuk pertanian urban adalah sebagai
berikut:
• Penyiapan program penyuluhan pertanian urban yang lebih luas/
menyeluruh (analisis masalah partisipatif, pengembangan keterkaitan
kelembagaan, formulasi proyek secara partisipatif, memperoleh dukungan
pendanaan dari sumber pemerintah atau internasional)
• Stimulasi penelitian lapangan partisipatif yang beorientasi pada pe-
ngembangan teknologi pertanian hemat lahan dan berisiko rendah
terhadap kesehatan manusia dan lingkungan urban (budidaya yang ramah
ekologi, teknologi hemat lahan dan hemat air, serta pertanian produk
bersih)
• Pelatihan dan bantuan informasi teknis bagi petani urban, dengan
penekanan materi pada budidaya yang memperhatikan keseimbangan
ekologis serta promosi sistem cost-sharing
• Perbaikan akses petani urban (terutama pelaku wanita dan petani miskin)
terhadap skim kredit yang dapat mendorong timbulnya investasi produktif
infrastruktur usahatani melalui pemberian pinjaman dan/atau pengem-
bangan skim kredit mikro bagi petani urban

Contoh: Di kota Bissau, Perancis, pemerintahan federal dengan bantuan


UNDP mencanangkan Green Belt Project yang pada tahun 1990 melibatkan
2000 petani (sebagian besar wanita) di 14 distrik (David and Moustier, 1993).
Di Dar es Salaam, Tanzania, pemberdayaan kapasitas petani untuk menolong
diri sendiri serta peningkatan kapasitas pelayanan penyuluhan ditempuh
pemerintah melalui kerjasama antara Departemen Pertanian, Koperasi dan
GTZ dalam Urban Vegetable Promotion Project (Jacobi et al., 2000).

• Perbaikan sistem pemasokan input dan distribusi produk

Pemerintahan kota dapat memberikan fasilitasi bagi pasar lokal bahan pangan segar
yang dipasok dari daerah urban melalui:

12
• Membentuk suatu forum untuk mendiskusikan masalah pemasaran dan
pasca panen dengan petani urban serta mengidentifikasi potensi solusi
atau pemecahannya
• Memberikan otorisasi pembentukan farmer markets, consumer supported
agriculture dan bentuk-bentuk lain penjualan langsung produk pertanian
segar dari produsen ke konsumen (pada kondisi yang memenuhi
persyaratan penanganan produk aman dan pengendalian kualitas produk)
serta mempromosikan pengembangan infrastruktur untuk pemasaran
komunal dan pemasaran langsung bahan pangan yang dihasilkan di
daerah urban.

Sementara itu, promosi pupuk alam/organik, bio-pestisida, soil amendments dan


benih/bibit berkualitas dapat dilakukan melalui:

• Pemberian insentif (misalnya, melalui pengurangan pajak) bagi per-


usahaan yang memproduksi input-input ramah ekologi
• Memberikan fasilitasi pembentukan jaringan perusahaan lokal (swasta
atau koperasi) dan pengorganisasian transportasi material organik serta
pupuk kandang dari sumber pasokan ke petani produsen

Promosi enterprise skala kecil yang berhubungan erat dengan aktivitas pertanian
urban, misalnya pemasok input (kompos, semaian tanaman, benih/bibit lokal) serta
enterpise pengolahan dan pemasaran bahan pangan yang diproduksi lokal (prosesing,
pengepakan, pedagang kaki lima, pasar lokal dan transportasi) dapat dilakukan
dengan:
• Pemberian lisensi untuk memulai enterprise mikro
• Pemberian bantuan teknis dan manajemen kepada enterprise kecil
• Pemberian dukungan dalam mengadakan infrastruktur lokal untuk fasilitas
pengawetan dan penyimpanan pangan olahan skala kecil (pengalengan,
pembotolan, pengeringan)
Contoh: Di Ghana, MOA memperkenalkan pengumpulan susu secara kolektif untuk
mendorong petani urban mengusahakan sapi perah (NRI, 1995). Di Brazil, produksi
pangan skala kecil di daerah urban diintegrasikan dengan perusahaan pengolahan
dan pemasaran lokal (de Carvalho, 1999).

• Peningkatan kepedulian akan risiko kesehatan akibat pertanian urban

Risiko kesehatan yang mungkin timbul akibat aktivitas pertanian urban dapat dikurangi
secara signifikan, jika petani memahami risiko tersebut dan mengetahui cara
pencegahannya. Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk keperluan
tersebut, diantaranya adalah:
• Penyuluhan/pendidikan kepada petani untuk memilih komoditas yang
tepat (dikaitkan dengan tingkat kontaminasi tanah dan air, serta jarak
usahatani dari jalan raya atau lokasi industri
• Pengujian periodik kualitas tanah dan air, pendefinisian jenis tanaman
yang diperbolehkan untuk tanah dengan spesifikasi tingkat kontaminasi
tertentu (khususnya, logam berat), serta pelarangan kegiatan produksi
pangan di daerah-daerah yang telah terpolusi berat
• Penetapan zona terlarang untuk jenis-jenis tanaman tertentu, misalnya
pelarangan budidaya sayuran daun di dekat atau sekitar jalan utama

13
• Penetapan persyaratan penanganan produk yang tepat (misalnya,
pencucian atau pengupasan produk yang berasal dari area dengan polusi
udara tinggi, serta pengamanan kondisi higienis bagi perusahaan
pengolahan lokal dan penjaja makanan kaki lima

Contoh: Di Bulgaria, institusi penyuluhan pertanian memiliki unit mobil untuk


melakukan pengujian di tempat, berkenaan dengan tingkat kontaminasi yang mungkin
terjadi pada produk pertanian (Yoveva et al., 2000).

3. Integrasi pertanian urban ke dalam kebijakan lingkungan

Sebagian besar sampah kota merupakan bahan organik yang seringkali hanya
ditumpuk dan dibakar di lokasi-lokasi tempat pembuangan sampah. Limbah air dan lumpur
selokan sebenarnya juga mengandung nutrisi yang yang bermanfaat bagi tanaman. Dalam
kaitan ini, pertanian urban pada dasarnya dapat mengurangi polusi lingkungan dengan
memanfaatkan hasil daur ulang limbah padat maupun cair. Pertanian urban juga dapat
berperan dalam penghijauan kota melalui pembuatan hutan dan taman kota yang dapat
menangkap CO2 serta debu dan memperbaiki iklim mikro (McPherson, 1994), mengurangi
erosi dan bahaya banjir (Braatz, 1993; Chimbowu, 1993), menurunkan suhu panas kota
(Deelstra, 1999), memecah angin dan mengurangi kebisingan (Carter, 1993) serta memelihara
biodiversitas (Rees, 1997). Disamping berbagai keuntungan tersebut, pertanian urban juga
berpeluang memberikan pengaruh yang tidak menguntungkan bagi lingkungan. Sumber air
lokal dapat terpolusi jika terdapat penggunaan pupuk sintetis dan pestisida kimiawi yang
berlebih atau penggunaan berlebih pupuk kandang kaya nitrat, misalnya pupuk kandang ayam
(Rabinovitch and Schmetzer, 1997). Pengusahaan ternak urban yang tidak terintegrasi dengan
sistem usahatani sayuran atau hutan kota, dapat membahayakan lingkungan melalui
akumulasi limbah ternak. Penduduk kota non-petani juga akan terganggu oleh ketidak-rapihan,
debu, bau dan suara bising yang mungkin ditimbulkan. Beberapa hal di bawah ini dapat
disarankan untuk pertanian urban dalam upaya mengoptimalkan dampak positif dan mencegah
dampak negatif keberadaan pertanian urban terhadap lingkungan

• Promosi penggunaan ulang limbah organik dan limbah air oleh petani urban
secara aman

Beberapa saran pendekatan yang patut dipertimbangkan, diantaranya adalah:


• Promosi pembentukan atau pendirian fasilitas-fasilitas berbiaya rendah
untuk pengumpulan dan sortasi limbah organik
• Promosi produksi kompos dan biogas melalui diseminasi hasil penelitian
terapan mengenai dua topik tersebut
• Dorongan investasi untuk sistem pengumpulan dan penyimpanan air
hujan, serta sistem irigasi hemat air skala kecil (misalnya, irigasi tetes)
dalam rangka menekan atau mengurangi permintaan terhadap air yang
telah diolah
• Stimulasi untuk meningkatkan intensitas penelitian terapan menyangkut
penggunaan ulang limbah air
• Penyuluhan atau pendidikan petani menyangkut penanganan tepat limbah
padat dan limbah air

14
Contoh: Di Gaza, Palestina, limbah air ditampung dan dimanfaatkan untuk irigasi
tanaman dan pemeliharaan ikan air tawar. Sedangkan di Oriza, Mexico, lumpur
selokan digunakan sebagai soil amendment untuk pohon/tanaman non-edible dan
rumput (Abdelwahed, 1994). Di Dakar, suatu sistem pengolahan air biaya rendah
dibangun untuk memasok air irigasi yang dapat memenuhi kebutuhan (kualitas dan
kuantitas) petani sayuran komersial (Niang, 1999).

• Promosi metode usahatani ramah ekologi

Dengan tetap mempertimbangkan tingkat konsumsi lokal, jika prospek produk organik
cenderung menjanjikan, maka promosi pertanian organik perlu terus ditingkatkan.
Beberapa pendekatan yang dapat disarankan, diantaranya adalah:
• Mempromosikan pelatihan petani serta pertukaran informasi antar pe-tani
menyangkut cara kultur teknis ramah ekologi, misalnya pengendalian
hama penyakit non-kimiawi, pengelolaan kesuburan tanah yang memper-
timbangkan keseimbangan ekologis, serta konservasi tanah dan air
• Mendorong pengenalan standar kualitas untuk kompos dan pupuk biologis
(nutrisi, standar kesehatan) agar produk ini dapat lebih diandalkan dan
lebih menarik dibandingkan dengan pupuk sintetis
• Mendorong penetapan green labels untuk produk bersih (ramah ling-
kungan) yang dihasilkan dari daerah urban
• Memberikan dukungan untuk setiap inisiatif berkaitan dengan upaya
pemasaran langsung (direct marketing) produk bersih
• Melakukan regulasi berkenaan dengan penggunaan pupuk dan pestisida
kimiawi di daerah urban

Contoh: Perkembangan pertanian urban di Havana, Cuba menunjukkan adanya


potensi penerapan regulasi yang bersifat komprehensif untuk mempromosikan
pertanian organik (Gonzales Novo & Murphy, 2000; Rosset & Benjamin, 1994).

Hasil observasi pada dasarnya memberikan gambaran bahwa prospek/potensi,


peluang dan risiko pertanian urban belum terinstitusionalisasi dengan baik dalam perencanaan
pengembangan perkotaan (city development planning). Institusi pertanian cenderung kurang
memiliki mandat politis dalam pengambilan keputusan menyangkut keberadaan pertanian
urban sebagai salah satu komponen sistem pengelolaan dan perencanaan kota. Berbagai
instrumen kebijakan yang telah disarankan di atas tidak akan terealisasi tanpa adanya
keinginan politis serta konstituen pendukung pertanian urban yang kuat. Dengan kata lain,
proses ini harus diawali dengan intervensi kebijakan yang diarahkan untuk memperoleh
komitmen pengambil keputusan berkaitan dengan pengembangan pertanian urban.
Berdasarkan komitmen tersebut, rekayasa pranata sosial baru dapat dilakukan untuk
mendukung berlangsungnya pengalihan, penciptaan, pengembangan dan penerapan
teknologi, serta perwujudan perilaku pengelolaan sumberdaya yang tangguh, berkelanjutan
dan adil.

15
Pustaka

Abdelwahed, S.I. 1994. Future of urban agriculture in Gaza. Regional Workshop: Program,
papers, minutes and outputs (IDRC), September 1998, Gaza, Palestine.
Ananta, A and E.N. Arifin. 1994. Projection of Indonesian Population Labor Force, 195-2025.
Demographic Institute, Department of Economics, University of Indonesia, Jakarta.
Atukunda, G. 1998. An analysis of the impact of IDRC funded research projects on urban
agriculture in Uganda. Paper presented at IDRC Cities Feeding People Workshop on
Lessons Learned from Urban Agriculture Projects in African Cities, July 1998, Nairobi
Baumgartner, B. and H. Belevi. 2001. A systematic overview of urban agriculture in developing
countries. EAWAG – Swiss Federal Institute for Environmental Science and
Technology & SANDEC – Department of Water and Sanitation in Developing
Countries.
Braatz, S. 1993. Urban forestry in developing countries: Status and issues. In Proceedings of
the 6th National Urban Forestry Conference. Minneapolis, Minnesota, September 14-
18, 1993, p. 85-88.
Carter, J. 1993. The potential of urban forestry in developing countries: A concept Paper.
Rome. FAO.
Chimbowu, A. and D. Gumbo. 1993. Urban agriculture research in East and Southern Africa II:
Records, capacities and opportunities. Cities Feeding People Series no. 4. Ottawa.
COAG/FAO (Committee on Agriculture, Food and Agriculture Organization of the United
Nations). 1999. Urban and peri-urban agriculture. COAG/99/10. Presented at 15th
Session of the COAG, FAO, Rome, 25-29 January 1999.
Dahlberg, K.A. 1998. The global threat to food security. The Urban Age 5 (3): 24-26.
David, O. and P. Moustier. 1993. Urban agriculture production system in Bissau. CIRAD/UR
ECO-FIL 7. Montpellier. CIRAD
de Carvalho, J.L.H. 1999. Combating the economic problems: Urban dynamics. La Era Urbana
5 (3): 14-17.
Deelstra, T. 1998. Urban Agriculture and the Metabolism of Cities. Unpublished Paper. Ecology
and Planning Research Office, Delft University of Technology, Delft, Netherlands.
Deelstra, T. 1999. Urban agriculture and city ecology. Paper presented at the International
Workshop on Growing Cities Growing Food: Urban Agriculture on the Policy Agenda.
October 11-15, 1999. Havana, Cuba.
FAO. 1996. Urban agriculture: An oximoron? In: The state of food and agriculture (Rome:
FAO), pp. 43-57.
Gonzales Novo, M. & C. Murphy. 2000. Urban agric. in the city of Havana: A popular response
to a crisis. Paper presented at the International Workshop on Growing Cities Growing
Food: Urban Agric on the Policy Agenda. October 11-15, 1999. Havana, Cuba.
Jacobi, P., J. Armend and S. Kiango. 2000. Urban agriculture in Dar es Salaam: Providing an
indispensable part of the diet. Paper presented at the International Workshop on
Growing Cities Growing Food: Urban Agriculture on the Policy Agenda. October 11-15,
1999. Havana, Cuba.
Maxwell, D. 1995. Alternative food security strategy: A household analysis of urban agriculture
in Kampala. World Development 23 (10): 1669-1681.
McPherson, E. G. 1994. PRA and PM&E: Some issues arising from a review of the existing
literature. Institute of Development Studies (IDS). University of Sussex, Brighton, UK.

16
Mougeot, L.J.A. 2000. Urban agriculture: Definition, presence, potentials and risks. Paper
presented at the International Workshop on Growing Cities Growing Food: Urban
Agriculture on the Policy Agenda. October 11-15, 1999. Havana, Cuba.
Natural Resource Institute. 1995. Periurban interface research: Workshop Proceedings (UK
Overseas Development Administration/British Council), Kumasi, Ghana, 23-25 August
1995.
Newland, K. 1990. City Limits: Emerging Constraint on Urban Growth. Worlwatch Paper, no. 38,
Worldwatch Institute, Washington. D.C.
Niang, S. 1999. Domestic use of urban agriculture production. Paper presented at IDRC Cities
Feeding People Workshop on Lessons Learned from Urban Agriculture Projects in
African Cities, July 1998, Nairobi
Pernia, E.M. 1983. Implication of Urbanization for Food Policy Analysis in Asian Countries.
Unpublished Paper. Resource Systems Institute. East-West Center, Honolulu, Hawaii,
USA.
Purnomohadi, N. 2000. Jakarta: Urban agriculture as an alternative strategy to face the
economic crisis. Paper presented at the International Workshop on Growing Cities
Growing Food: Urban Agriculture on the Policy Agenda. October 11-15, 1999. Havana,
Cuba.
Rabinovitch, J. and H. Schmetzer. 1997. Urban agriculture: Food, jobs and sustainable cities.
Agriculture and Rural Development 4 (2): 44-45.
Rees, W. 1997. Why urban agriculture?: Notes for the IDRC Development Forum on Cities
Feeding People: A Growth Industry. Vancouver, 20 May 1997, Canada.
Rosset, P. & M. Benjamin. 1994. The greening of the revolution: Cuba’s experiment with
organic agriculture. Melbourne: Ocean Press.
Sawio, C. 1998. Managing urban agriculture in Dar es Salaam. Cities Feeding People Report
20. Ottawa, IDRC.
Smit, J., A. Ratta and and J. Bernstein. 1996a. Urban agriculture: An opportunity for
environmentally sustainable development in Sub Saharan Africa. Building Blocks for
Africa 2005 Paper 11, Post-UNCED Series. Washington DC: World Bank.
Smit, J., A. Ratta and J. Nasr. 1996b. Urban agriculture: Food, jobs and sustainable cities.
Publication Series for Habitat II, Vol. I. New York: United Nations Development
Programme (UNDP).
Thuyet, P., Quang Vinh, N. and Van Bien, P. 1999. Urban agriculture in Ho Chi Minh City.
Poster Presentation at the International Workshop on Growing Cities Growing Food:
Urban Agriculture on the Policy Agenda. October 11-15, 1999. Havana, Cuba.
UNDP. 1995. Urban Agriculture, Food, Jobs, and Sustainable Cities. United Nations
Development Programme. Publication Series for Habitat II, vo. 1, New York.
United Nations. 1994. World Urbanization Prospects. United Nations, New York.
Yi-Zhang, C. and Z. Zanghen. 2000. Shanghai: Trend toward specialized and capital intensif
agriculture. Paper presented at the International Workshop on Growing Cities Growing
Food: Urban Agriculture on the Policy Agenda. October 11-15, 1999. Havana, Cuba.
Yoveva, A., B. Gocheva, G. Voykova, B. Borissov and A. Spassov. 2000. Sofia: Urban
agriculture in an economy in transition. Paper presented at the International Workshop
on Growing Cities Growing Food: Urban Agriculture on the Policy Agenda. October 11-
15, 1999. Havana, Cuba.
World Bank. 1995. World Development Report. World Bank, Washington, D,C

17

Anda mungkin juga menyukai