Anda di halaman 1dari 46

http://ac-zzz.blogspot.

com/

Rain
: kisah pacar malaikat
.........................................................................................................

Onik

Penerbit Ndok Asin cabang dari NdokAsin.Co.Cc Bintaro, 2009

Rain
Onik

Cetakan pertama e-book : April 2009 Desain sampul : just_hammam Setting oleh : just_hammam Cerita ditulis penulis dalam komunitas kemudian.com Lisensi Dokumen:
Copyright 2008-2010 NdokAsin.Co.Cc Seluruh dokumen di NdokAsin.Co.Cc dapat digunakan, dimodifikasi dan disebarkan secara bebas untuk tujuan bukan komersial (nonprofit), dengan syarat tidak menghapus atau merubah atribut penulis dan pernyataan copyright yang disertakan dalam setiap dokumen. Tidak diperbolehkan melakukan penulisan ulang, kecuali mendapatkan ijin terlebih dahulu dari NdokAsin.Co.Cc

Belum pernah dicetak Bagi yang ingin mencetak sesuai lisensi, dipersilakan

Tetanggaku Seorang Malaikat


"Vey!!! Keluar, Vey!" seseorang menggedor-gedor pintu kamarku, mengejutkanku, hingga beberapa pakaian yang akan kumasukkan ke lemari, melompat berhamburan kemana-mana... aaah apes! Akupun cemberut seraya membuka pintu kamarku. "Ada apa sih! Bikin kaget aja!" kataku ketus pada Vika, teman satu kontrakanku yang tinggal di kamar sebelahku. "Ada tetangga baru, Bo', ganteng bangeeeet!" katanya sambil melompat-lompat kegirangan. Astaga, Vika! Sampai segitunya! Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku. Vika menatapku heran seraya mengerutkan alisnya, "Kok kamu cuek, Vey?" "Emangnya aku harus ngapain? Ikut sorak-sorak kayak kamu? Jelek-jelek gini aku masih waras, Vik," Vika mencibir mendengar jawabanku. "Lagian kamu ini kayak nggak pernah liat cowok ganteng aja," kataku lalu kembali masuk ke kamar. Vika menghalangiku,

"Kamu liat dulu dong... jangan kasih penilaian dulu, soalnya yang ini lain dari yang lain, Vey!" "Paling sama aja kan...," tapi rupanya Vika tak mau menyerah, ditariknya tanganku keluar rumah kost menuju ke halaman depan. Kulihat ada beberapa cowok tengah mengangkati barang-barang dan memasukkannya ke dalam rumah baru dan besar itu. Tapi mereka sama sekali tidak ganteng, penampilan mereka terlihat seperti kuli angkat. Lalu akupun ketawa. "Sejak kapan kamu berselera sama kuli?" godaku. "Bukan mereka tapi... bentar-bentar... hm... itu!" telunjuk Vika menancap di sesosok cowok bertubuh tegap dan tinggi, berkulit bersih yang tiba-tiba muncul dari dalam rumah. Dan astaga! Bener-bener ganteng! Kayak artis... hm... sejenis Bertrand Antolin? Mungkin? Yang jelas, wajahnya terlihat bersinar di mataku, dan apa itu? Aku seperti melihat sepasang sayap putih di belakang punggungnya... Ya, benar, dia serupa seorang malaikat untukku... saking tak percayanya, aku sampai melongo melihatnya. Dan untuk beberapa saat aku dan Vika dibuatnya terpaku, dan... meneteskan air liur, sluuurrp... hehehe... "Bener kan, Vey? Ganteng banget kan?" kata Vika setelah si

Bertrand

masuk

kembali

ke

rumah.

Aku

hanya

menganggukkan kepala, masih dengan ekspresi kagum. "Itu beneran orang atau patung porselin?" tanyaku membuat Vika tertawa. "Gimana? Cocok nggak?" tanyanya lagi. "Cocok apanya?" tanyaku heran. "Cocok buat kamulah... aku kan udah punya Evan...," kata Vika menggodaku. Aku sampai tersipu dibuatnya. Bagaimana mungkin aku tidak tersipu? Vika menjodohkan aku dengan cowok seganteng itu, cowok terganteng yang pernah kulihat sepanjang masa. "Jangan cuma diam, Vey... ayo ajak kenalan!" katanya sambil menarik tanganku lagi, mengajakku menyeberangi jalan, menuju rumah cowok ganteng itu. Aku pasrah saja ketika Vika melakukannya, kenapa? Karena aku juga ingin mengenalnya tentu saja... *** "Permisi...," sapa Vika setengah berteriak, supaya cowok itu keluar dari rumah. Dan benar saja, tak lama kemudian sosok ganteng itu keluar dengan senyumnya yang ramah dan manis, semanis madu... cieeee...

"Maaf, ada yang bisa saya bantu, Mbak?" tanyanya. "Kok mbak sih, panggil aja aku Vika, dan ini temen aku, namanya Veyara," kata Vika to the point seraya mengulurkan tangannya. "Rain...," katanya. Ow.. ternyata namanya Rain, nama yang keren... sekeren yang punya... ohhh... ups! Mungkin aku sekarang sudah gila dilanda asmara yang tiba-tiba, aku tertawa geli dalam hati. "Hm... Rain... Veyara ini kerjaannya bikin desain taman, gimana kalo dia saja yang bikinin taman buat kamu, soalnya kulihat rumah kamu ini masih gersang , sayang kan kalo rumah sebagus ini dibiarin gersang?" Rain tersenyum lagi lalu menatapku. Oh my GOD! Tatapan itu kurasa sedikit menggoda... ge er aku dibuatnya... akupun kembali tersipu. "Gimana kalo Veyara sendiri yang menawarkannya ke aku? Kapan kita bisa membicarakan ini, Vey?" tanya Rain padaku. Dug! Vika menyenggol siku tanganku dengan cukup keras untuk menyadarkanku dari lamunan. "Eh iya.. iya, boleh... kapan?" ucapku tergagap. Rain tertawa kecil. "Nanti malam saja, sekitar jam tujuh? Gimana?" tanyanya.

"Ok jam tujuh," kataku. Aku mematut diriku di depan cermin ketika seseorang mengetuk pintu kamarku. Setelah aku membukanya, Vika pun masuk. Dan apa yang dilakukannya? Matanya menatapku dari ujung rambut hingga ujung kaki, lalu menggeleng-gelengkan kepala. "Kenapa Vik?" tanyaku. "Vey Vey, pantes aja kamu tuh nggak pernah bisa dapet cowok, lihat aja penampilan kamu sekarang ini! Jayus banget sih! Emangnya udah berapa lama kamu nggak beli baju baru sih!" protesnya. "Emangnya kenapa harus pake baju baru! Kan aku cuma mau nawarin dia bikin taman doang!" jawabku. "Kamu ini lugu atau goblok sih! Itu kan cuma excuse aja, Bo'! Siapa tau kan kamu bisa sambil menyelam minum air!" "Maksudmu?" kataku sambil mengernyitkan alisku. Vika kembali menggeleng-gelengkan kepalanya. "Baru kali ini aku kenal sama orang yang umurnya di atas duapuluh tapi lugunya minta ampun! Maksudku... siapa tahu Rain itu bisa jadi pacar kamu setelah kamu tawarin dia bikin taman! Gitu aja kok bingung sih!"

"Apa!!! Rain jadi pacarku! Mana mungkin dia mau sama aku, Vik! Aku aja nggak berani ngebayanginnya! Terlalu muluk, tau!" "Kenapa? Kamu juga cantik kok! Pinter lagi..., cuma...," "Cuma apa?" "Cuma nggak pernah beli baju baru! Ayo kupinjami punyaku!" lagi-lagi Vika menarik tanganku. Tapi kali ini masuk ke kamarnya, dan memintaku mencoba beberapa bajunya yang hampir semua terlalu sexi untukku. Sampai pada akhirnya ketemu juga mana yang paling pantas kupakai... versi Vika tentu saja, karena tetap saja aku merasa tak ada satupun yang cocok untukku. Jelas ini bukan gayaku! Tapi aku bisa berbuat apa, kubiarkan saja sahabatku namanya? "Ini namanya catok," kata Vika seolah menjawab pertanyaan yang hanya kusimpan dalam hati. "Emangnya biar apa?" tanyaku. "Ya biar lurus... biar bagus kayak yang di iklan sampo, aku heran sama kamu, Vey, masa sih udah lama tinggal di ini me-make over diriku. Sampai rambut panjangku yang ikalpun dibakar dengan jepitan... entah apa

Yogya masih aja jayus gitu!" "Aku nggak suka ke salon, Vik, kau kan udah tahu itu kan?" "Trus selama ini kamu kalo potong rambut di mana?" aku tersenyum lalu menjawab, "Tinggal tarik gini trus potong deh!" jawabmu enteng. Vikapun tertawa. "Untung rambutmu ikal, jadi klo motongnya nggak rata, nggak ketauan, hahaha...," gelaknya. Beberapa saat kemudian, selesailah Vika mendadani aku, lalu akupun kembali mematut diriku di depan cermin. "Gimana?" tanya Vika. Yang jelas aku melihat diriku lain dari biasanya, dan ternyata... aku cantik juga ya... aku tersenyum puas melihat hasil kerja Vika. "Thanks, Vik, kalo nggak ada kamu aku nggak bakalan keliatan seperti ini," Vika tertawa kecil. "Udah sono berangkat, udah telat setengah jam kamu!" serunya. Lal aku melihat jam tanganku, menunjukkan pukul setengah delapan. Wah! Akupun buru-buru keluar untuk menemui Rain. ***

Sesampainya di halaman depan rumah besar itu, aku terdiam, ada rasa ragu yang membuatku enggan masuk ke sana. Entah kenapa? Mungkin karena aku yang kurang percaya diri atau mungkin karena sifatku yang pemalu setiap bertemu dengan cowok, terutama yang ganteng dan berwajah malaikat seperti Rain. "Jangan pernah bermimpi punya pacar kayak Rain, Vey, karena itu akan menyakiti diri kamu sendiri!" kata hatiku seketika itu juga. Lalu kutarik nafasku panjang, "Tapi bukankah tujuanku ke sini, mau bicara soal taman?" berpegang dengan kata-kata itu, akhirnya kuberanikan diri untuk masuk dan mengetuk pintu rumah itu. Tak seberapa lama kemudian, Rainpun membuka pintu, dan wajah itu terlihat semakin ganteng karena terpantul temaram lampu teras. Membuat jantungku berdegub kencang. "Kamu telat setengah jam, Vey, jadi kupikir kamu nggak datang," katanya sambil tersenyum begitu tulus, sehingga tak nampak sedikitpun kemarahan, atau kekecewaan atas keterlambatanku. "Iya, maaf," jawabku. "Nggak apa-apa, gimana kalo ketemuannya besok aja,

soalnya aku lagi ada perlu," kata Rain bahkan belum mempersilakan aku masuk. Aku mengerutkan alisku heran, Rain seperti menutupi sesuatu, terlihat dari cara Rain yang tidak melebarkan pintunya. Hhh... entah aku harus berterima kasih atau tidak pada Vika, yang jelas dia membuat Rain membatalkan pertemuannya denganku... "Hm, ya udah, nggak apa-apa..., aku permisi dulu," kataku seraya membalikkan badan. "Tunggu, Vey...," panggil Rain. Akupun menoleh. "Besok aku saja yang ke rumah kamu, jam sepuluh pagi ya?" katanya. Lalu aku mengangguk dan kembali berbalik. "Satu lagi...," katanya lagi. Aku kembali menoleh. Kulihat Rain tersenyum. "Malam ini kamu terlihat cantik," katanya mengejutkanku. "Sampai ketemu besok ya," sambungnya lalu menutup pintu. Oh my God! Lututku terasa lemas mendengar ucapan Rain, kalau saja aku tak takut kotor dan terluka, saat ini aku pasti sudah ngesot menuju ke rumah. Aku sangat bahagia, hingga tak ada kata lain yang bisa mengungkapkan rasaku ini. Dan kepada Vika, rupanya aku harus berterima kasih padanya

Dilanda Cinta
Pagi ini aku terbangun oleh sinar mentari yang dengan silaunya menyapa mataku dari balik gorden kamarku yang semalam lupa aku tutup. Aku terlalu sibuk termenung sambil terus menatap rumah Rain, sampai akhirnya aku ketiduran. Ahhhh kuregangkan otot punggung dan leherku yang kaku, duh! Badanku malah jadi sakit semua. Vey! Bangun ini udah hampir jam sepuluh lho! lagi-lagi Vika mengedor-gedor pintu kamarku. Lalu segera kulihat jam dan spontan aku melompat untuk bergegas ke kamar mandi.

*** Kamu ini gimana sih, Vey! Niat nggak sih ketemu sama Rain? kata Vika dengan nada sedikit marah saat melihatku keluar kamar, masih dengan rambut yang basah berbalut handuk. Lepasin handuknya, emangnya kamu mau nemuin Rain dengan gaya ala Aladin kayak gitu! Heh! Vika menarik handuk dari rambutku lalu segera memasukkan aku ke kamarnya.

Mau apa lagi sih, Vik? tanyaku. Kenapa sih kok kamu getol banget biar aku jadian sama Rain? Aku sampai kalah getol sama kamu! tanyaku heran. Mau tahu alasannya? kuanggukkan kepalaku. Ya karena Rain itu cocok buat kamu, lagian aku juga nggak mau kamu selalu sendiri kalo malam minggu aku tinggal pergi sama Evan, aku nggak tega, tau! ungkapnya membuatku tersenyum. Aku tak pernah menyangka kalau Vika sebegitu peduli denganku. Padahal kami bersahabat belum terlalu lama, baru sekitar tiga tahun, tepatnya dari pertama kali masuk kuliah. Tapi kami baru saja dua bulan tinggal bersama dalam satu kontrakan, sebelumnya kami berdua ngekost di tempat yang berbeda. Tak lama kemudian terdengar pintu rumah diketuk tiga kali. Itu Rain! Spontan jantungku langsung berlomba, sampai tanganku terasa dingin dan basah. Ahhh, baru kali ini aku merasakan cinta yang begitu dahsyat! Tubuhku sampai gemetaran, kepalaku.. mataku semua terasa berdenyut, seperti akan pingsan. Vika menepuk bahuku, Sudah, santai saja, jangan keliatan nervous gitu, norak tau! bisiknya. Lalu akupun menarik nafasku dalam-dalam,

mencoba untuk menenangkan diri. *** Lagi-lagi kulihat senyum maut itu tersembul dari balik pintu. Andai saja aku pantas pingsan, pasti sudah aku lakukan, agar aku bisa terjatuh di pelukan Rain oh my God membayangkannya malah membuatku semakin berkunangkunang dan BRUUUKKK!!! Gelap! *** Kubuka mataku perlahan, kulihat Rain tepat di depan depanku tengah menatapku cemas. Kamu lagi sakit ya? tanyanya. Lalu kugelengkan kepalaku. Trus kenapa kamu pingsan? Hah! Aku pingsan beneran?? Jadi? Tadi Rain yang menggendongku dan meletakkanku di kasur? Dan saat ini Rain tengah menemaniku di kamar sendirian? Jadi aku hanya berdua dengan Rain? Ahhhh gelap lagi! *** Kamu ini kenapa sih. Vey! Pingsan nggak perlu sampai dua kali kan?!? Jadi batal lagi kan kamu ketemuan sama Rain! serbu Vika saat aku terbangun dari pingsanku yang kedua. Abis, aku nggak kuat nahan detak jantungku yang keras

banget, Vik rasanya aku nggak bakalan bisa deh ketemu sama dia, aku takut kalo lama-lama aku mati, Vika malah tertawa mendengar ucapanku. Vey, Vey mana mungkin orang bisa mati akibat degdegan karena cinta? Kamu ini udah gede tapi masih aja kayak anak kecil.., kata Vika lalu menyambung lagi tawanya. Trus aku musti gimana dong? tanyaku mengiba. Tenangin dirimu dulu deh, tegasin kalo ketemuan kamu sama Rain adalah untuk ngomongin bisnis, dan satu lagi, jangan ngebayangin yang bukan-bukan, karena itu akan bikin kamu makin deg-degan! jelas Vika. Akupun menganggukkan kepalaku. Yah, andai saja aku bisa melakukannya semudah kamu mengucapkannya Vik *** Sore ini seperti biasa aku menyiram taman mungilku yang terhampar di halaman, tapi bukan hanya itu, sekarang aku punya kebiasaan baru memandang rumah besar yang berdiri kokoh di seberang, sambil berharap malaikat pemiliknya keluar menghantar senyuman. Tak kusagka pintu rumah itu terbuka, duh! Baru begitu saja, jantungku langsung menunjukkan reaksinya, gimana ini! Payah! Aku langsung

gugup sendiri, sampai selang yang kubawa terjatuh dan saat mengambilnya Srrrooottt!!! Menyemprot wajahku. Ahhhh beginikah efek Rain untukku! Namun ternyata yang keluar adalah seorang wanita tengah baya, yang berwajah cukup cantik keindo-indoan. Mungkin itu mamanya. Lalu kulihat Rain muncul di balik pintu. Sekilas kudengar pembicaraan mereka. Ya sudah, mama pulang dulu ya, ati-ati kamu di sini, kata wanita itu sambil mencium pipi Rain, Rain membalasnya, lalu melambaikan tangan. Mama juga hati-hati di jalan ya, katanya. Oooh so sweeet, terkesan sekali selain ganteng ternyata Rain sangat menyayangi mamanya. Semakin membuatku terpesona oleh sosok malaikat yang terpancar dari auranya. Setelah sang mama menghilang dengan mobil mahalnya, Rain ingat menatapku kata dari ambang pintu, lalu kembali Ufff melemparkan senyumnya. Alamaaaakkk!!! Untung saja aku Vika "TENANGKAN DIRIMU!" berulangkali aku mengeluarkan udara dari mulutku, seperti orang mau melahirkan yang sering kulihat di TV saja aaah biar! Lalu setelah Rain masuk, akupun kembali menyiram taman

dengan

santai,

bahkan

aku

kini

bersenandung.

Bersenandung sebuah lagu bahagia, yah aku memang bahagia, bertetanggakan cowok seperti Rain Eh hem! kudengar seseorang berdehem di dekatku, akupun menoleh ternyata RAIN!!! Rain sudah berdiri di belakangku tanpa aku sadari, dan parahnya lagi selang yang kubawa masih menyala dan mengucur di atas kaki Rain dengan santainya. Rain tertawa. Jadi menurutmu kakiku kotor ya? Sampai kamu harus mencucinya? ucapnya menyadarkanku. Lalu segera saja selang itu aku tekan untuk menghentikan aliran airnya, dan sambil menarik nafas dalam aku beranjak mematikan kran. Hhh.. tenang, Vey, tenang hiburku sendiri, seraya kembali berdiri dan menghampiri Rain. Ada apa? tanyaku. Ini aku bawain sesuatu buat kamu, Rain menyerahkan sebuah bingkisan kecil padaku. Apa ini? tanyaku lalu membukanya. Aku mengerutkan alisku saat melihat benda yang Rain berikan. Itu alat bantu pernafasan, kamu kena asma kan? katanya. Asma?!? Sejak kapan aku kena asma!

Kemarin kamu pingsan kehabisan nafas, jadi aku beliin kamu ini, katanya lagi. Entah aku harus bilang apa, karena aku tahu aku tak mungkin mengatakan yag sebenarnya, kalau kemarin aku pingsan bukan karena kehabisan nafas, tapi karena dia Makasih, kataku singkat. Jadi kapan kita bisa ngobrol soal taman? Sekarang bisa? katanya. Lalu aku menganggukkan kepalaku. Masuk dulu, Rain aku persiapin dulu gambar contohnya, kataku agak lancar hhh aku bersyukur! *** Rain melihat beberapa contoh gambar yang sudah aku persiapkan sebelumnya, lalu kembali meletakkannya di meja. Semua bagus, kamu aja yang pilihin buat aku, katanya. Tapi selera orang kan beda-beda, jawabku. Aku percaya kamu pasti pilihkan yang terbaik buat aku, Vey, katanya sambil menatapku dalam. Lha! Ini baru bahaya! Aku bisa pingsan lagi kalau begini terus! Aku mencoba menghindari tatapan itu dengan kembali berkonsentrasi mengamati setiap gambar yang ada di

depanku sambil terus menenangkan diri. Setelah jantungku agak mereda, aku mengambil salah satu gambar favoritku lalu kuberikan pada Rain. Ini yang paling aku suka, karena selain hong sui-nya bagus, ini juga, Rain meletakkan jari telunjuknya tepat di depan bibirku. Ya, aku tahu ini memang yang lebih indah dari yang lain, tapi menurutku masih ada yang lebih indah dari ini, hhh bener kan, selera kita nggak sama pikirku. Kamu, Vey kamu adalah yang terindah yang pernah aku kenal, Gubraakkkk!!! Tapi tidak, aku tidak mau pingsan kali ini kucoba mengalihkan pembicaraan, Kamu mau minum apa, Rain air putih atau teh? Aku ambilin dulu, kataku seraya beranjak, tapi tangan Rain menahanku. Aku nggak haus, Vey aku cuma pengin kamu temenin aku aja, jadi kamu jangan kemana-mana, di sini aja ok? katanya. Akupun kembali duduk. Kenapa? Kamu takut aku ngerayu kamu? Saat ini aku nggak lagi ngerayu kamu, Vey, aku cuma pengin ngungkapin sebuah kejujuran, kejujuran kalo kamu adalah cewek yang

spesial

buat

aku

kamu

tahu

kenapa?

Karena

kesederhanaan dan keluguanmu yang terpancar dari wajah dan tingkah lakumu yang belum pernah aku temuin pada cewek manapun selama ini, kata Rain lalu menggenggam tanganku. Sementara aku hanya mampu untuk diam, sambil meredakan degub jantung yang terus menyiksa. Rain mengangkat daguku lalu menatap mataku dengan lembut. Aku jatuh cinta sama kamu pada pandangan pertama, Vey, Ahhhhh! Akupun hanyut dalam ciuman mesra Rain yang menghantarkanku terbang ke langit tingkat tujuh. Ciuman pertama yang tak akan pernah kulupakan, bau nafas hangat dan segar pertama yang tak akan pernah kubiarkan menghilang. Aku juga mencintaimu, Rain, desahku.

Ternyata Dia Bukan Malaikat


Rain adalah cowok yang sempurna, selain ganteng, dia juga memperlakukan seorang cewek dengan sangat baik. Begitu baiknya sampai selama enam bulan kami berpacaran, Rain tak pernah menuntut yang berlebihan padaku. Dia sama sekali berbeda dengan Evan, yang menurut Vika, selalu menjurus ke hal yang belum pantas untuk dilakukan, sampai pada akhirnya Vika meninggalkan Evan dua bulan yang lalu karena risih akan bujukan cowok itu. Kamu beruntung punya cowok seperti Rain, Vey, kata Vika saat kami makan siang di sebuah food court di Ambarukmo Plaza. Semua juga berkat kamu kan? kataku. Setelah dua bulan berpisah dari Evan, hidupnya seolah berubah menjadi hampa, aku benar-benar tak tega melihatnya, hhh sebenarnya ingin sekali aku membalas kebaikan Vika yang telah menjodohkan aku dengan Rain, tapi bagaimana caranya? Aku hanya bisa menerima ajakannya untuk jalan saat dia merasa bosan, yah hanya itu yang bisa aku lakukan menyediakan waktu untuknya. Andai aku bisa berbuat lebih untuk sahabatku ini

Mungkin sekarang udah saatnya untuk cari cowok lagi, Vik, kataku sambil menyedot es kelapa, minumanku. Namun reaksi Vika masih sama seperti biasanya, menggelengkan kepalanya. Aku masih malas, Vey, trauma, jawabnya singkat. Dan aku hanya bisa menghargai keputusannya. Trus, apa kamu udah dikenalin sama keluarganya Rain? tanyanya. Aku menggelengkan kepalaku. Rain bilang mama dan papanya orang sibuk, sering ke luar negeri, jadi masih nunggu saat yang bener-bener pas, jawabku. Vika menganggukkan kepalanya. Lalu sesaat kemudian kulihat Vika mengernyitkan alisnya menatapku eh bukan dia bukan menatapku tapi ke belakangku ada apa? Akupun menoleh karena penasaran. Kulihat Rain sedang bersama mamanya, membawa banyak belanjaan. Dan mereka menuju ke food court ini. Tuh ada Rain sama mamanya, ini kesempatan buat kamu untuk ngenalin diri, Vey, mumpung sempet kan? kata Vika bersemangat. Bener juga kata Vika, itu yang terlintas di pikiranku. Setelah pamit dengan Vika, aku menghampiri mereka yang duduk tak seberapa jauh dari tempatku duduk. Sore Tante, sapaku. Kulihat wajah Rain terperanjat melihat

kehadiranku. Lalu akupun melemparkan senyumku yang termanis untuknya. Sore, siapa ya? tanya wanita itu lalu menatap Rain dengan tatapan penuh tanda tanya. Saya Veyara, Tan saya, Dia temen aku, Ma, sahut Rain mengejutkanku. Bagaimana aku tidak terkejut? Rain mengatakan kalau aku ini temannya? Kenapa dia tidak bilang saja kalau aku ini pacarnya??? Owh, jadi temannya Rain ya? Satu kampus? tanya wanita itu padaku. Iya, Ma.. satu kampus, jawab Rain lagi sebelum aku menjawabnya. Entah kenapa dia berbohong seperti itu pada mamanya! Jelas aku ingin tahu! Maaf, Tante saya pinjam Rain sebentar, kataku seraya menarik tangan Rain menjauh dari mamanya. Saat kami berdiri berhadapan, kutatap mata Rain dengan tajam, karena jelas aku tersinggung dengan ucapannya Apa maksud kamu, Rain?! tanyaku. Rain menatapku dengan tatapan yang aneh, sebuah tatapan yang selama ini belum pernah kulihat. Ada rasa tak suka di dalamnya.

Sekarang bukan waktu yang tepat untuk ngenalin diri ke mamaku, Vey! katanya tegas. Tapi kenapa? Toh kita udah pacaran selama enam bulan kan? Apa salahnya aku, Jelas salah, karena aku belum pengin melakukannya! Rain menatapku tajam, setajam belati yang diap menusuk hatiku. Lalu kubalas tatapan itu, Owh jadi bukan karena mama papa kamu sibuk tapi karena kamu yang belum mau ya? Kamu jahat, Rain kamu udah boongin aku! yang jelas aku kecewa, cowok yang selama ini aku kira tulus, ternyata menyimpan dusta. Vey bersabarlah, please, kata Rain merendahkan nada suaranya. Andai saja pembatas bendungan airmataku tidak kuat, tentu saat ini juga aku akan menangis sejadinya. Hatiku teramat sangat sakit, menyadari sesuatu yang selama ini tak pernah terpikirkan olehku Aku tahu kenapa kamu ngelakuin ini semua, Rain kamu malu kan ngenalin aku ke mama kamu? Karena aku bukan cewek dari keluarga yang kaya kayak kamu, dan aku juga bukan cewek yang cantik yang seimbang sama kamu tapi kamu lupa satu hal, Rain cinta nggak mandang semua itu, tapi aku juga nggak akan maksain kamu untuk bisa nerima

aku apa adanya karena memang beginilah keadaanku, keadaan yang sama sekali nggak sesuai untuk kamu dan keluargamu, akhirnya pecah sudah tembok pembatas itu, aku menangis. Sementara Rain masih saja tak berbuat apaapa, malahan dia meninggalkanku, tanpa sepatah katapun. Kita pulang sekarang, Vey, kata Vika sambil memelukku. Lalu akupun pergi meninggalkan tempat itu bersama ceceran airmata. *** Vey, Vika menyentuh bahuku yang sesenggukkan menangis di balik bantal. Rain pasti punya alasan ngelakuin semua ini, Vey, soalnya aku yakin banget, cowok sebaik Rain nggak akan gitu aja ngambil keputusan mungkin dia emang sengaja akan ngenalin kamu setelah dia banyak cerita tentang kebaikankebaikan kamu jadi dengan begitu, saat ngenalin kamu pada keluarganya, mereka akan nerima kamu apa adanya, aku memutar otak dan mencampurkannya dengan suara hatiku. Dan akupun mulai tenang, mungkin benar kata Vika Sayang banget kan kalo kamu harus putus sama cowok yang udah begitu sempurna, jarang lho ada cowok yang

kayak Rain jangan sampai kamu nyesel, Vey, Vika mengelus rambutku perlahan lalu beranjak meninggalkanku, seolah sengaja agar aku bisa leluasa berpikir. *** Aku tak tahu apakah Rain akan memaafkanku atau tidak, yang jelas aku harus minta maaf padanya, karena sesungguhnya di dalam hatiku, aku tak akan mampu bila harus kehilangan sosok Rain yang sudah begitu melekat pada nadiku. Entah apa yang akan aku lakukan bila harus kehilangan dia Dengan berbekal semangat '45, aku melangkah menuju ke rumah Rain malam ini. Perlahan aku memasuki halaman rumah itu, sebuah halaman dengan taman indah hasil sentuhanku beberapa bulan yang lalu... yang membuatku dekat dengan Rain Hhhh... kuhela nafas panjang mengenang semua itu. Semakin membuatku tak ingin kehilangan Rain. Kuketuk pintu rumah itu berkali-kali, tapi tak ada sahutan, sepertinya Rain sedang tak ada di rumah, hhh lalu akupun duduk di teras sembari menunggunya pulang. Lalu kuambil ponsel dari tas kecilku, dan kutekan nomor Rain. Beberapa kali tetap tak ada jawaban. Aku mulai cemas, tak biasanya

Rain seperti ini lalu akupun mencoba dan mencoba lagi tetap tak ada jawaban. Jangan-jangan akupun beranjak lalu membuka pintu rumah yang ternyata tak terkunci itu pikiranku kalut tak keruan, takut terjadi sesuatu ada Rain pikiranku terbang tak tentu arah, memikirkan Rain yang berlumuran darah, bunuh diri karena aku! Teringat saat itu Rain pernah berkata, Kalau aku sampai putus sama kamu, aku lebih baik nggak usah hidup aja sekalian, Kok kamu ngomong gitu sih, Rain nggak baik tau! jawabku. Kamu itu satu-satunya orang yang bisa ngertiin aku, Vey yang bisa kasih semangat ke aku Cuma kamu satusatunya orang di dunia ini yang aku butuhin cuma kamu, Dengan panik aku mencari Rain di dapur, kamar mandi, halaman belakang tapi tak kutemukan. RAIIIINNN!!! teriakku. Namun tetap tak ada sahutan. Lalu akupun naik ke lantai atas, aku mendengar suara gemericik air dari kamar Rain Aku bergegas membukanya Tetap saja tak ada Rain di sana, lalu langkah kuteruskan menuju ke kamar mandi yang ada di dalam kamar itu

kamar mandi yang dari dalamnya mengeluarkan suara air yang mengucur cukup deras. Mendengar suara itu membuat otakku membayangkan yang bukan-bukan! Kubayangkan tubuh Rain membiru karena menenggelamkan diri di bathup! Ya Tuhan, aku tak sanggup melakukan ini bagaimana kalau semua dugaanku benar! Dengan mengumpulkan segenap nyali dan kekuatan akupun akhirnya membuka pintu kamar mandi itu.. JREEENNNGGGG!!!! Kulihat tubuh Rain berpelukan dengan mamanya di bawah siraman shower dengan begitu panasnya. Adegan yang tak pernah kubayangkan sedikitpun akan kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Rain tampak terkejut melihatku, demikian juga dengan mamanya Akupun segera berlari meninggalkan tempat itu dengan hati yang tak keruan, kacau balau, kusut! Hancur berkeping-kepin, entah apa istilah yang lebih pantas untuk kuungkapkan, aku sudah tak tahu lagi yang ada di benakku hanya JIJIK dan JIJIK! Bagaimana mungkin seseorang yang selama ini

kubayangkan sebagai sesosok malaikat bisa berbuat itu?!? Bahkan iblispun akan berpikir dua kali untuk tidur dengan mamanya sendiri!

Rahasia Masa Lalu


Sudah tiga hari sejak kejadian itu, aku mengurung diri di dalam kamar. Duka yang kurasakan terlalu amat menyakitkan, sehingga membuatku terus menangis. Bahkan tak kuhiraukan Vika yang terus-menerus memanggilku, menyuruhku makan, tapi aku tetap tidak keluar dari kamar, sudah cukup buatku memakan sedikit snack dan air minum yang selama ini kusimpan di kamarku. Hhhh Entah bagaimana caranya supaya aku bisa menghapus bayangan kejadian malam itu dari mataku? Aku tak tahu atau mungkin seumur hidup aku tak akan pernah bisa Seperti biasa, siang ini kulihat rumah Rain dari jendela, ada perasaan rindu di antara benci yang mencekam tak seperti biasanya Rainpun sama sekali tidak terlihat keluar rumah. Yang jelas aku merasa heran, karena sampai saat ini Rain belum juga mengucapkan kata maaf padaku entah apa yang ada di otaknya sehingga dia melakukan itu? Atau mungkin dia merasa tidak bersalah? Uuhh menyebalkan! Tapi seandainya dia minta maaf... apakah aku akan memaafkannya? Nggak! Kesalahannya sudah teramat sangat berat! Bukan..

bukan hanya kesalahan, tapi ini sudah kelainan! Aku nggak akan pernah maafin dia! Sampai kapanpun! Rain terlalu menjijikkan untuk kumaafin, pikirku. Lalu sesaat kemudian, kulihat Rain keluar dari rumahnya dengan membawa beberapa tas. Sesekali Rain memandang ke rumahku, mungkin dia mencariku untuk minta maaf, atau kangen? Huh biarin! Untuk apa juga aku masih pedulikan dia, bukankah rasa jijikku sudah melebihi ambang batas kemanusiaan! Kulihat Rain menyeberang dan berjalan memasuki halaman rumahku. Tak seberapa lama kemudian kudengar Vika mengetuk pintu kamarku. Tapi aku tetap pada pendirianku, tak akan menemui Rain Lalu kulihat Rain pergi dengan langkah gontai, sambil sesekali menoleh dan memandang ke jendela kamarku. Jujur, ada perasaan sedih menyelinap di hati ketika aku melihat ekspresinya, tak dapat kupungkiri rasa cinta masih saja kurasa, tapi karena rasa cinta itu juga yang membuatku tak bisa menerima perlakuannya lalu aku bisa apa? Kecuali hanya pasrah membiarkannya menghilang dari pandangan. Vey bukain dong pintunya, aku mau ngomong nih, kata Vika. Lalu akupun bergegas membukanya. Ternyata aku

masih saja bersemangat untuk mendengar sesuatu tentang Rain. Akhirnya setelah tiga hari kamu buka pintu juga, Vey, kamu ini kenapa sih? Berantem ya sama Rain? Soal apa? Kok kamu nggak curhat sih sama aku? Masih soal kemarin pas di food court ya? Vika memberodongku dengan segudang pertanyaan. Ngapain Rain ke sini? tanyaku tanpa basa-basi. Rain pergi, Vey dia tadi mau minta maaf sekalian pamit sama kamu, kata Vika cukup membuatku terkejut. Emangnya dia mau pergi ke mana? tanyaku. Vika mengangkat bahunya. Ini nomor ponselnya yang baru, kamu tanya aja ke dia langsung tentang itu, soalnya tadi dia nggak sempet cerita banyak sama aku, Menurutmu apa yang harus aku lakuin, Vik? Apa yang harus kamu lakuin, cuma kamu sendiri yang tahu, Vey karena ini tentang apa yang kamu rasain yang jelas kalo aku jadi kamu, aku akan maafin dia, meskipun akhirnya cuma bisa temenan aja sama dia, karena kehilangan seseorang yang sangat dicintai, sangat berat, Vey aku

udah ngalaminnya sendiri, sampai kadang aku merasa kalo aku sudah mengambil keputusan yang salah, Apa yang kamu lakukan sudah benar, Vik kalian memang belum pantas ngelakuinnya, Tapi aku bisa cari cara lain kan? Misalnya minta dia untuk nikahin aku yah meskipun kita berdua masih kuliah, tapi nggak ada salahnya kan menikah dulu? Toh aku dan Evan sudah sama-sama dewasa?!? Perpisahan bukan satusatunya jalan, Vey dan aku menyesal, kupeluk Vika seolah ingin memberinya kekuatan, walaupun saat ini aku sendiripun sedang rapuh. Vey, jangan biarin hal itu terjadi juga sama kamu, paling nggak, dengerin penjelasan dari Rain biar kamu tahu apa alasannya ngelakuin semua ini dan kalo kamu memang udah nggak bisa nerima dia sebagai pacar kamu lagi, kamu masih bisa nerima dia sebagai teman kan, Vey? Daripada seumur hidup kamu terus penasaran dan nyesel karena nggak bakal ketemu sama dia lagi , Untuk kesekian kalinya, ucapan Vika terdengar benar di telingaku. Rain bukanlah orang yang suka melakukan suatu hal tanpa alasan, yang jelas itu yang kutahu selama ini Nah sekarang juga kamu kejar dia, pakai motorku nih,

mungkin dia masih ada di pintu gerbang depan nungguin taxi, lalu akupun segera melesat ke pintu gerbang perumahan tempat kami tinggal. Namun sia-sia, tak ada Rain di sana. Lalu akupun turun dari motor dan berjalan ke arah pak Rochim, satpam, yang sedang duduk di depan gerbang bersama temannya. Pak, tadi liat Rain nggak? Owh, mas Rain lihat Mbak? Udah lama dia dapat taxinya? tanyaku. Udah lama gimana, Mbak dari tadi orangnya aja masih nungguin kok tuh di dalam pos, kata pak Rochim. Entah perasaan apa yang kini melanda hatiku, antara senang dan miris bercampur baur menjadi satu. Namun itu tak membuatku urung menghampiri Rain, aku tak mau menyesal di sepanjang usiaku, seperti apa yang dikatakan Vika. Entah kenapa, debar dada yang telah lama menghilang tiba-tiba saja kini datang kembali. Ingin rasanya kuusir pergi, tapi yang kubicarakan di sini adalah jantung, suatu benda yang tak bisa kukendalikan semauku. Lalu akupun melakukan trik lama untuk mengatasinya kutarik nafas panjang lalu kuhembuskan lewat mulut... Akhirnya aku berani melongokkan kepalaku ke dalam pos satpam, kulihat

Rain tengah tertidur nyenyak dengan menelungkupkan kepalanya di bangku yang ada di sana. Hhh melihat wajah itu membuatku tak percaya dengan kejadian yang kulihat semalam, wajah yang begitu polos dan tulus seolah hanya aura kebaikan saja yang terpancar dari sana. Tak lama kemudian kulihat sebuah mobil mewah warna hitam berhenti di dekat pos. Dan keluarlah dari dalamnya, seorang wanita yang tak lain dan tak bukan adalah mama Rain. Wanita itu terlihat sangat marah, bahkan dia menyingkirkan dengan keras. Hey bangun! kulihat Rain mengerjapkan matanya. Kamu pikir setelah semua yang aku beri untuk hidup kamu, kamu bisa ninggalin aku gitu aja! bentak wanita itu seraya menyinggung kepala Rain seenaknya. Tunggu! Apa-apaan ini! Bagaimana mungkin seorang mama memperlakukan anaknya seperti itu! Bukankan itu udah jadi tanggung jawab anda sebagai mama! bentakku tak mau kalah, karena sesungguhnya aku tak rela melihat Rain diperlakukan seperti itu. Diam kamu! Semua ini gara-gara kamu kan! Emangnya aku begitu saja dari pintu dan membangunkan Rain dengan mencolek lengan cowok itu

kamu itu siapa heh! Dasar pelacur! kata wanita itu mendorong tubuhku dengan jari telunjuknya. Aku menatap mata wanita itu marah, Saya heran, kenapa wanita yang tampak begitu terhormat dan anggun bisa melakukan hal serendah ini! Berteriakteriak nggak keruan Apa anda sudah nggak peduli dengan pikiran orang lain terhadap anda? kataku. Wanita itu seperti tersadar mendengar ucapanku, lalu dia segera menarik tangan Rain untuk membawanya naik ke mobil, namun Rain mengibaskan tangan itu. Aku nggak mau ikut Mama lagi! Semua sudah selesai! katanya. Wanita itu semakin nanar melihat Rain yang mulai marah. Apa maksudmu selesai?!? Apa kamu sudah lupa dengan status kamu sebelum kenal aku! Kamu itu bukan siapasiapa, Rain! Kamu cuma seorang gigolo yang ngejual diri karena butuh uang untuk bayar rumah sakit adik kamu yang sekarat! Kamu pikir setelah aku angkat derajatmu dan biayai semua kebutuhan kamu, kamu bisa dengan seenaknya saja ninggalin aku! Memangnya kamu anggap aku ini apa!!! Seseorang yang bisa kamu manfaatin untuk kepentingan kamu! Heh! Gigolo? Apa itu? Aku tak tahu arti istilah itu, tapi

aku tahu pasti arti kata menjual diri apakah artinya.. ? Aku terkejut setengah mati. Jadi selama ini aku pacaran dengan seorang mantan gigolo, pelacur cowok?!? Sebenarnya ada apa ini? Kenapa bisa seorang mama mengatakan itu??? Semua terasa begitu membingungkan untukku! Aku pasti akan bayar semuanya! Meskipun itu artinya aku harus bekerja bercucur keringat campur darah! balas Rain. Hutang budimu ke aku, nggak bisa dinilai pake uang! Apa kamu lupa wajah gantengmu itu dari mana? Kalau bukan karena aku yang membawamu operasi plastik ke Amerika setelah kecelakaan itu, sekarang kamu sudah jadi monster, Rain! kata wanita itu tak mau kalah. Membuatku terkejut mendengarnya, entah apa maksud wanita itu dengan mengatakan kalau tanpanya wajah Rain sudah menjadi monster? Dan yang lebih mengejutkan lagi, Rain mengeluarkan sebuah cutter dari tasnya, lalu mengarahkannya pada wajahnya sendiri. Ok kalau itu yang Mama mau! Kamu mau apa?!? teriak wanita itu bersamaan denganku.

Denger, Ma, asal aku bisa lepas dari Mama, dan kembali memiliki hidupku! Apapun akan kulakukan! Termasuk mengembalikan wajahku ini! Rain mulai menusukkan cutter itu di pipinya, membuatku menjerit ketakutan.. Hentikan!!! Sudah cukup! Rain jangan lakukan itu! kataku sambil menangis bersimpuh di kakinya. Aku tahu aku tak akan sanggup melihat Rain menjadi begitu menderita. Sudahlah, Vey biarin aku ngelakuin ini, aku udah jenuh dengan wajah yang mengendalikan hidupku ini, katanya lirih. Aku mendongak ke atas menatapnya dengan tatapan memelas, dengan harapan Rain akan menghentikannya demi aku. Tes! Tes! Darah segar menetes dari pipi Rain, mendarat tepat di pipiku. Tapi ternyata Rain tetao nekad melakukannya. Lalu akupun segera bersimpuh di kaki wanita itu, mencoba memohon padanya agar meminta Rain menghentikan tindakannya. Tapi wanita itu hanya mematung menatap Rain yang mulai menyobek wajahnya. Melihat itu semua, jelas aku shock ditambah lagi dengan tubuhku yang masih lemas karena selama tiga hari hanya makan snack dan minum seadanya, membuatku terkulai pingsan. ***

Beberapa saat kemudian, aku terbangun, dan langsung kuteriakkan dengan keras nama Rain. Aku menyesal kenapa aku begitu lemah, sehingga di saat genting seperti itu, aku malah pingsan! Tapi tapi ada di mana aku sekarang? Tibatiba Vika masuk dan berlari menghampiriku, Vey, kamu nggak apa-apa kan? Tadi pak Rochim yang bilang ke aku kalo kamu dilarikan ke rumah sakit, kamu sih, udah tiga hari nggak makan! Susah banget nih orang kalo diomongin! Jadi lemes kan?!? tampak jelas kulihat kecemasan di wajah Vika. Aku nggak apa-apa, Vik, tapi mana Rain? Aku mau ketemu sama dia, kataku. Rain ada di depan kamar, Vey, Gimana keadaannya? Apa dia baik-baik aja? kataku seraya melepasi semua infus yang melekat di tanganku. Kamu jangan turun dulu, Vey, kamu kan masih sakit, dia baik-baik aja kok, malahan dia sudah sempat cerita ke aku tentang kejadian tadi, lalu kutatap wajah Vika. Dia cerita apa aja, Vik? aku kembali duduk di tempat tidur. Vika menarik nafasnya panjang. Semuanya, Vey ,

Tentang gigolo? tanyaku. Vika mengangguk. Dia terpaksa ngelakuinnya karena adiknya kena gagal ginjal, Vey dan dia nggak punya uang untuk terapi cuci darah yang harus dijalani adiknya seminggu sekali. Yah, walaupun akhirnya si adik meninggal juga kasihan dia, aku panggilin dia ya, biar kalian bisa ngobrol, kata Vika. Tunggu Vik katakan apa yang harus aku lakuin, aku sama sekali nggak nyangka kalo profesi Rain itu, Vika menggelengkan kepalanya, melarangku melanjutkan katakataku. Itu sudah masa lalu, Vey rasanya nggak adil buat Rain kalo dia terus divonis seperti itu hanya karena ingin nolongin adiknya yang sekarat, benar kata Vika, tak seharusnya aku berpikiran buruk tentang itu. Kekasih macam apa aku ini? Kenapa aku tak bisa berpikiran dewasa seperti Vika? Aku mulai mengutuk diriku sendiri. Tak lama kemudian kulihat Rain muncul dengan senyuman dan perban di pipi kanannya. Rain, teriakku lalu berhambur memeluknya.

Kubenamkan kepala di dadanya, menumpahkan seluruh airmata yang sedari tadi terus menggenangi pelupuk mataku.

Kupikir aku akan kehilangan kamu, Rain kupikir kamu mau bunuh diri!!! kataku di sela tangis yang menderu. Ternyata cinta tetaplah cinta, itu yang aku rasakan meskipun aku tahu siapa Rain aku tetap tak ingin kehilangan dia dan saat ini yang aku inginkan adalah terus bersamanya tak peduli siapa Rain, tak peduli apa yang telah dilakukannya Rain mengelus rambutku lalu berkata, Thanks Vey, karena kamu akhirnya aku bisa memiliki kehidupanku yang selama ini dikuasai oleh mama, katanya. Tapi kenapa mamamu ngelakuin semua itu, Rain? tanyaku. Rain melepaskan pelukannya lalu membawaku duduk. Sebenarnya dia bukan mamaku, Vey tapi seorang tante kesepian yang ditinggal suaminya kerja di Jerman, namanya Anita, Maksudmu? aku tak mengerti. Rain menghela nafasnya panjang. Aku adalah simpanannya, Vey, karena itu aku manggil dia mama, supaya nggak ada orang yang curiga, dan sebenarnya namaku juga bukan Rain tapi Raditya maaf, Vey, selama ini aku udah nggak jujur sama kamu bukan karena aku sengaja ngebohongin kamu, tapi karena aku bingung antara memilih cinta atau hutang budi,

Lalu apa yang membuat kamu mengambil keputusan ini? Kamu, Vey setelah kejadian tiga hari yang lalu, aku ngerasa salah sama kamu, aku jadi sadar betapa egoisnya cinta yang selama ini aku kasih ke kamu seseorang yang pantas dicintai dengan tulus dan jujur. Kehilangan adikku... dan kamu juga membuat aku sadar, apa yang sebenarnya ingin kukejar dalam hidupku kebahagiaan, terutama kebahagiaan orang yang tulus mencintai aku bukan sekedar melunasi hutang budi atau yang lainnya Vey, kamu mau kan maafin aku? tanyanya sambil menatap mataku dalam-dalam. Aku tahu kamu kecewa, Vey karena ternyata aku nggak sesempurna yang kamu kira, aku nggak punya apa-apa selain seonggok tubuh yang menjijikkan dan selembar wajah yang palsu Jujur saja sedari dulu aku ngerasa nggak pernah pantas untuk jadi pendampingmu, Vey hanya saja aku nggak bisa menahan diri untuk nggak mencintai kamu tapi sekarang aku sadar, aku harus bisa karena kamu pantas ngedapetin cowok yang jauh lebih baik dari aku, katanya. Membuatku tahu alasan Rain tak pernah menyentuhku selama ini Tapi please ijinin aku untuk jadi temen kamu... Kita

salaman ya? tanyanya seraya mengulurkan tangannya padaku. Lalu akupun melirik Vika yang berdiri di hadapanku. Vika tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya, dan aku tahu apa artinya bahwa hanya aku yang tahu apa yang harus aku lakukan, karena aku yang merasakannya Maaf aku nggak bisa jadi temen kamu, jawabku tak membalas uluran tangan Rain, mengejutkan Rain dan juga Vika. Karena hhh, kutarik nafasku yang mulai tersengal, karena penyakit debar jantungku kembali kambuh. Aku mau lebih dari itu aku mau kamu jadi pendampingku selamanya, nggak peduli gimana keadaanmu, nggak peduli topeng apa yang kamu pakai dan nggak juga peduli dengan apa yang kamu punya, selama kamu masih punya cinta maka akupun sama, jawabku. Lalu Rainpun kembali menarikku ke dalam pelukannya. Tangis haru terdengar dari bibirnya. Sementara Vika, kulihat dia tersenyum sambil mengacungkan ibu jarinya. Dan satu hal lagi yang ingin aku minta sebelum memulai semua dari awal, kuburlah nama Rain bersama masa lalumu yang kelam, dan mulai sekarang aku akan panggil kamu Raditya, Raditya mempererat pelukannya. Dan aku

bahagiakarena cowok yang sekarang ada di depanku adalah Raditya Raditya yang baru, yang akan menata kembali hidupnya bersamaku

Tentang Penulis
Leoni Margaretha atau yang lebih dikenal dengan panggilan Onik merupakan ibu rumah tangga yang bercita-cita menulis cerita film. Tulisan-tulisannya banyak terdapat pada situs penulis kemudian.com. Cerita ini merupakan salah satu ceritanya di antara ratusan cerita dan puisi lainnya.

Anda mungkin juga menyukai