Anda di halaman 1dari 3

Move On! Oleh Makmur Dimila Apa yang terjadi jika kerbau tak lagi mencintai mandi kubangan?

Bagaimana jadinya jika antara kekasih tidak memilih jalan move on ketika hubungan mereka retak? Setidaknya bagi orang yang mengerti masa depan, pertanyaan pertama akan dijawab: bagus, kedua; tidak bagus. Dari pada itu, move on perlu diterapkan di mana-mana, termasuk pemerintahan. Ada baiknya menjalani hidup tidak melulu di tempat yang sama sampai tua. Bukan juga berarti nomaden seperti manusia purba yang hidup berpindah-pindah. Tapi mencari tempat atau suasana baru, seperti katak keluar dari tempurung, itu penting. Terutama dalam menempuh pendidikan dan menacari nafkah. Saya teringat petuah seorang alim terpandang di kecamatan saya. Sewaktu kami berkunjung ke rumahnya pada lebaran fitrah lalu, ia bilang bahwa manusia harus merantau; apakah itu menuntut ilmu ke dayah, menyambung kuliah, atau mencari rupiah. Bijak sekali, bukan? Ia membandingkan seruan itu dengan air kubangan. Ie kubang menyo ata-ata sot bee khob chit. Bahwa air kubangan lama-lama akan bau busuk jika tak terganti. Maka bukalah kerannya di salah satu sisi, alirilah air itu, sehingga jernih seperti air sungai. Atau jika pada kerbau, harus mulai dibiasakan mandi di sungai. Manusia yang diberikan otak guna berpikir, hati untuk merasakan, kenapa mau betah di kubangan? Fenomena boleh atau tidaknya merantau itu kerap terjadi antara orang tua dan anaknya. Umpama masa-masa lulus sekolah lanjutan tingkat atas. Sebagian orang tua membolehkan anaknya merantau, baik kuliah, masuk pesantren, atau berniaga ke kota-kota besar. Tapi kerap juga tak membolehkan anaknya jauh dari pangkuannya, bahkan ada yang langsung menikahkannya; ngeri! Pada saat-saat seperti itu, memang sulit memberi atau menentukan pilihan. Tapi ada baiknya orang tua memercayakan apa kemauan anaknya. Tentu dengan menimbang alasan dan bakat yang dia punya. Biarkan anak-anak memilih masa depannya, asalkan ia sungguh-sungguh. Dengan begitu, orang tua telah menunjuk jalan, tinggal si anak yang menentukan arahnya. Nah, sebelum melepaskan, bukankah baiknya orang tua telah membekali mereka cara berlalu lintas? Seumpama menyuruhnya sekolah dan setidaknya mengaji malam di pesantren sekitar kampungnya. Supaya ia tak terseok-seok atau malah terjungkal saat berjalan, atau supaya tak salah belok ketika hadapi sebuah persimpangan. Apalagi jika anak-anak merantau ke ibu kota,

bekal dari ibu-bapak (dalam segala hal) sangat penting. Sebab sudah menjadi rahasia umum kalau ibu kota lebih kejam dari ibu tiri. Sejatinya merantau itu sangat bagus untuk menambah wawasan dan untuk tahu apa yang sedang dan telah terjadi di kampungnya. Kalau dalam hubungan asmara sedang tren sebutan move on, yaitu meninggalkan kekasih lama untuk mencari yang baru. Move (Inggris), bila di-Indonesiakan berarti bergerak/pindah/bangkit. Memindahkan cinta, dengan pertimbangan yang matang, itu penting untuk mendapatkan cinta sejati. Apalagi jika cinta lama hanya sedikit meneteskan air mata bahagia, lebih banyak menumpahkan air mata lara. Lalu camkan bahwa setidaknya cuma kerbau yang tak ingin move on dari kubangan. Move on penting, di antaranya: ketika sudah memilih masuk pesantren atau dayah, setidaknya keluar dari sana bisa membetulkan ibadah dan pribadinya sendiri sehingga tak mengganggu orang lain dan akan lebih baik jika mampu pimpin jamaah di meunasah dan ajari orang lain di balai-balai ngaji; ketika sudah memilih kuliah, setidaknya ia bisa menghidupi diri sendiri dengan sarjana yang diperolehnya dan akan lebih baik jika mampu buka lahan kerja kepada pengangguran; dan ketika sudah memilih berdagang, setidaknya cukup untuk menutupi kebutuhan pribadi dan akan lebih baik jika mampu buka usaha sendiri untuk mempekerjakan orang lain. Maka kepada pendatang, misal mahasiswa baru yang umumnya telah melalui masa perkenalan kampus, jangan coba-coba memanjakan diri di ibu kota (provinsi). Ada beragam jenis kehidupan di sana. Pahit, manis, getir, asam, pedas, hambar, adalah semacam permen banyak rasa yang akan dicicipi. Kalau ragu-ragu dan tepe-tepe (tebar pesona) semata, maka pulang saja ke kampung. Atau tidak kuliah, tapi memilih dua jalur lain: sungguh-sunguh ke pesantren atau berdagang. Jika tidak, maka ambil cangkul ke sawahitupun sudah mulia dari pada goyanggoyang kaki di warung kopi atau pos jaga. Kepada yang telah tiba di ibu kota, selamat datang dan selamat berperang dengan dirimu sendiri. Selama di pengasingan, khusus perantau yang jauh dari orangtua atau tanpa keluarga, pahitmanis di ibu kota akan mewarnai hari-hari kalian. Jiwa akan bergolak, setidaknya selama tiga bulan pertama di sanamasa beradaptasi. Kalian akan bertanya pada diri sendiri, apakah lanjut atau menyerah, lalu pulang kampung. Itu adalah masa-masa yang sangat sulit. Baiknya siapkan senjata untuk berperang melawan diri sendiri. Jangan mengharap banyak pada orang-orang sebelum kalian, sebab mereka harus mempertanggungjawabkan apa yang telah diperoleh di ibu kota. Tak hanya mahasiswa baru atau santri baru, adanya pemimpin baru juga merupakan proses move on yang digalang rakyat. Jika salah memilih, tentu akan ia rasakan akibatnya, dan merindukan cinta lama atau malah ingin segera move on lagi, alias memilih pemimpin baru lagi dengan menurunkan paksa pejabat yang sedang memimpin.

Pun begitu, perlu diingat, hati-hati dengan move on. Ia bisa melukai. Jika gagal, lebih baik orang yang tinggal di kampung yang belum pernah menghirup debu-debu kota dari pada perantau. Buktinya, ketika ada sebagian sarjana yang harus seiring bahu seayun langkah bersama orangorang tanpa sekolah tinggi dalam membangun tanggul atau saluran di kampung misalnya, itu menunjukkan kegagalan move on, dengan kata lain ia harus kembali ke cinta lama. Dan akan parah jadinya, jika cinta lama pun tak bersemi kembali. Pada akhirnya, move on berlaku dalam segala hal dan menjadi sebuah generalisasi. Dalam kehidupan sehari-hari, kita perlu bangkit! Mengganti barang lama dengan barang baru, mengganti gaya lama dengan gaya baru, mengganti pola pikir lama dengan pola pikir baru, hingga ganti sofa lama dengan sofa baru menjelang lebaran. Tentu semua itu sesuai kebutuhan. Agar sedikit mengurangi kegagalan, perlu kejelian sebelum move on. Istilahnya, jangan membeli kucing dalam karung. Atau jangan mudah sekali percaya bisikan, tapi datang dan lihatlah, dan cerna baik-baik dengan pikiran sendiri. Ditambah sedikit keberanian dalam memilih, maka cinta akan bersemi.[] Makmur Dimila adalah mahasiswa Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry dan pegiat di Komunitas Jeuneurob

Anda mungkin juga menyukai