Anda di halaman 1dari 55

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Sectio Caesaria1 a. Pengertian Persalinan Sectio Caesaria Persalinan sectio caesaria adalah proses melahirkan janin melalui insisi pada dinding abdomen (laparatomi) dan dinding uterus (histerektomi). (william, 20001) Istilah sectio caesaria berasal dari perkataan latin caeder yang artinya memotong. Pengertian ini semula dijumpai dalam Roman Law (Lex Regia) dan Emperors Law (Lex Caesarea) yaitu undang undang yang menghendaki supaya janin dalam kandungan ibu ibu yang meninggal harus dikeluarkan dalam rahim. (Rustam, 2003). b. Jenis Jenis Sectio Caesaria Ada dua jenis sayatan operasi yang dikenal yaitu : a. Sayatan melintang Sayatan pembedahan dilakukan dibagian bawah rahim (SBR). Sayatan melintang dimulai dari ujung atau pinggir selangkangan (simphysis) diatas batas rambut kemaluan sepanjang sekitar 10 14 cm. Keuntungannya adalah perut pada rahim kuat sehingga cukup kecil resiko menderita ruptur uteri (robek rahim) di kemudian hari. Hal ini karena pada masa nifas, segmen bawah rahim tidak banyak mengalami kontraksi sehingga luka operasi dapat sembuh dengan sempurna (Kasdu, 2003, hal, 45). b. Sayatan memanjang (bedah caesar klasik) Meliputi sebuah pengirisan memanjang dibagian tengah yang memberikan suatu ruang yang lebih besar untuk mengeluarkan bayi. Namun jenis ini kini, jarang dilakukan karena jenis ini labil, rentan terhadap komplikasi (dewi Y, 2007, hal, 4).
4

c. Indikasi Sectio Caesaria Para ahli kandungan menganjurkan sectio caesaria apabila kelahiran melalui vagina mungkin membawa resiko pada ibu dan janin. Indikasi untuk sectio caesaria antara lain meliputi : a. Indikasi Medis Ada 3 faktor penentu dalam proses persalinan yaitu : Power Yang memungkinkan dilakukan operasi caesar, misalnya daya mengejan lemah, ibu berpenyakit jantung atau penyakit menahun lain yang mempengaruhi tenaga. Passanger Diantaranya, anak terlalu besar, anak mahal dengan kelainan letak lintang, primi gravida diatas 35 tahun dengan letak sungsang, anak tertekan terlalu lama pada pintu atas panggul, dan anak menderita fetal distress syndrome (denyut jantung janin kacau dan melemah). Passage Kelainan ini merupakan panggul sempit, trauma persalinan serius pada jalan lahir atau pada anak, adanya infeksi pada jalan lahir yang diduga bisa menular ke anak, umpamanya herpes kelamin (herpes genitalis), condyloma lota (kondiloma sifilitikyang lebar dan pipih), condyloma acuminata (penyakit infeksi yang menimbulkan massa mirip kembang koi di kulit luar kelamin wanita), hepatitis B dan C. (Dewi Y, 2007, hal , 11-12). b. Indikasi Ibu Usia

Ibu yang melahirkan untuk pertama kali pada usia sekitar 35 tahun, memiliki resiko melahirkan dengan operasi. Apalagi pada wanita

dengan usia 40 tahun ke atas. Pada usia ini, biasanya seseorang memiliki penyakit yang beresiko, misalnya tekanan darah tinggi, penyakit jantung, kencing manis, dan preeklamsia. Eklampsia (keracunan kehamilan) dapat menyebabkan ibu kejang sehingga dokter memutuskan persalinan dengan sectio caesarea. Tulang Panggul

Cephalopelvic diproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan ibu tidak melahirkan secara alami. Tulang panggul sangat menentukan mulus tidaknya proses persalinan. Persalinan Sebelumnya dengan sectio caesarea

Sebenarnya, persalinan melalui bedah caesar tidak mempengaruhi persalinan selanjutnya harus berlangsung secara operasi atau tidak. Apabila memang ada indikasi yang mengharuskan dilakukanya tindakan pembedahan, seperti bayi terlalu besar, panggul terlalu sempit, atau jalan lahir yang tidak mau membuka, operasi bisa saja dilakukan. Faktor Hambatan Jalan Lahir

Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang kaku sehingga tidak memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan bawaan pada jalan lahir, tali pusat pendek, dan ibu sulit bernafas. Kelainan Kontraksi Rahim Jika kontraksi rahim lemah dan tidak terkoordinasi (inkordinate uterine action) atau tidak elastisnya leher rahim sehingga tidak dapat melebar pada proses persalinan, menyebabkan kepala bayi tidak terdorong, tidak dapat melewati jalan lahir dengan lancar.

Ketuban Pecah Dini

Robeknya

kantung

ketuban

sebelum

waktunya

dapat

menyebabkan bayi harus segera dilahirkan. Kondisi ini membuat air ketuban merembes ke luar sehingga tinggal sedikit atau habis. Air ketuban (amnion) adalah cairan yang mengelilingi janin dalam rahim. Rasa Takut Kesakitan Umumnya, seorang wanita yang melahirkan secara alami akan mengalami proses rasa sakit, yaitu berupa rasa mulas disertai rasa sakit di pinggang dan pangkal paha yang semakin kuat dan menggigit. Kondisi tersebut karena keadaan yang pernah atau baru melahirkan merasa ketakutan, khawatir, dan cemas menjalaninya. Hal ini bisa karena alasan secara psikologis tidak tahan melahirkan dengan sakit. Kecemasan yang berlebihan juga akan mengambat proses persalinan alami yang berlangsung. (Kasdu, 2003, hal. 21-26) c. Indikasi Janin a) Ancaman Gawat Janin (fetal distress) Detak jantung janin melambat, normalnya detak jantung janin berkisar 120- 160. Namun dengan CTG (cardiotography) detak jantung janin melemah, lakukan segera sectio caesarea segara untuk menyelematkan janin. b) Bayi Besar (makrosemia) c) Letak Sungsang Letak yang demikian dapat menyebabkan poros janin tidak sesuai dengan arah jalan lahir. Pada keadaan ini, letak kepala pada posisi yang satu dan bokong pada posisi yang lain. d) Faktor Plasenta Plasenta previa Posisi plasenta terletak dibawah rahim dan menutupi sebagian atau selruh jalan lahir. Plasenta lepas (Solution placenta)

Kondisi ini merupakan keadaan plasenta yang lepas lebih cepat dari dinding rahim sebelum waktunya. Persalinan dengan operasi dilakukan untuk menolong janin segera lahir sebelum ia mengalami kekurangan oksigen atau keracunan air ketuban. Plasenta accreta Merupakan keadaan menempelnya plasenta di otot rahim. Pada umumnya dialami ibu yang mengalami persalinan yang berulang kali, ibu berusia rawan untuk hamil (di atas 35 tahun), dan ibu yang pernah operasi (operasinya meninggalkan bekas yang menyebabkan menempelnya plasenta. e) Kelainan Tali Pusat prolapsus tali pusat (tali pusat menumbung) Keadaan penyembulan sebagian atau seluruh tali pusat. Pada keadaan ini, tali pusat berada di depan atau di samping atau tali pusat sudah berada di jalan lahir sebelum bayi. Terlilit tali pusat Lilitan tali pusat ke tubuh janin tidak selalu berbahaya. Selama tali pusat tidak terjepit atau terpelintir maka aliran oksigen dan nutrisi dari plasenta ke tubuh janin tetap aman.(Kasdu, 2003, hal. 13-18). d. Prosedur Tindakan Sectio Caesarea a) Izin Keluarga Pihak rumah sakit memberikan surat yang harus ditanda tangani oleh keluarga, yang isinya izin pelaksanaan operasi. b) Pembiusan Pembiusan dilkakukan dengan bius epidural atau spinal. Dengan cara ini ibu akan tetap sadar tetapi ibu tidak dapat melihat proses operasi karena terhalang tirai. c) Disterilkan

Bagian

perut

yang

akan

dibedah,

disterilkan

sehingga

diharapkan tidak ada bakteri yang masuk selama operasi. d) Pemasangan Alat Alat-alat pendukung seperti infus dan kateter dipasangkan. macam peralatan yang dipasang disesuaikan dengan kondisi ibu. e) Pembedahan Setelah semua siap, dokter akan melakukan sayatan demi sayatan sampai mencapai rahim dan kemudian selaput ketuban dipecahkan. Selanjutnya dokter akan mengangkat bayi

berdasarkan letaknya. f) Mengambil Plasenta Setelah bayi lahir, selanjutnya dokter akan mengambil plasenta. g) Menjahit Langkah terakhir adalah menjahit sayatan selapis demi selapis sehingga tetutup semua. (Juditha, dkk, 2009, hal. 90-91) h) Fase Pembedahan Ada tiga fase dalam tahap pembedahan, yaitu : a) Fase praoperatif dimulai ketika keputusan untuk intervensi bedah dibuat dan berakhirketika pasien dikirim ke meja operasi. b) Fase intraoperatif dimulai ketika pasien masuk atau dipindah kebagian atau departemen bedah dan berakhir saat pasien dipindahkan ke ruang pemulihan. c) Fase pascaoperatif dimulai dengan masuknya pasien ke ruang pemulihan dan berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik atau rumah (Bare,et all, 2002, hal. 426). e. Alasan Terjadinya Kenaikan Persalinan dengan Sectio Caesaria a) Pengurangan parietas, hal ini menyebabkan separuh dari wanita yang hamil adalah nullipara. Oleh karena itu, peningkatan jumlah sectio caesaria dapat diperkirakan pada beberapa keadaan yang lebih lazim dijumpai pada wanita nullipara, khususnya distosia dan kehamilan dengan hipertensi.

b) Wanita cenderung mempunyai anak pada usia yang lebih tua. Peningkatan usia ibu hamil diatas 35 tahun meningkatkan proses melahirkan dengan sectio caesaria. c) Pemantauan janin secara elektronik, meningkatkan peluang untuk mendeteksi gawat janin dan meningkatkan kenaikan jumlah sectio caesaria. d) Bayi dengan presentase letak bokong, sering dilahirkan dengan sectio caesaria. e) Sectio caesaria berulang secara bermakna meningkatkan total jumlah persalinan sectio caesaria. f. Istilah Istilah Tentang Sectio Caesaria a) Sectio caesaria primer (efektif) Dari semula sudah direncanakan bahwa janin akan dilahirkan secara sectio caesaria, tidak diharapkan lagi kelahiran biasa, misalnya pada panggul sempit. b) Sectio caesaria sekunder Mencoba menunggu kelahiran biasa (spontan), bila tidak berhasil dilakukan secara sectio caesaria. c) Sectio caesaria ulang (repeat caesarean section) Ibu pada kehamilan yang lalu mengalami sectio caesaria dan pada kehamilan selanjutnya dilakukan sectio caesaria ulang. d) Sectio caesaria histerektomi Suatu operasi dimana setelah janin dilahirkan dengan sectio caesaria, langsung dilakukan histerektomi oleh karena suatu indikasi. e) Operasi porro Suatu operasi tanpa mengeluarkan janin dari kavum uteri (janin sudah mati) langsung dilakukan histerektomi. Misalnya pada keadaan infeksi rahim yang berat. B. Konsep Dasar Ketuban Pecah Dini1

10

Ketuban pecah dini (KPD) didefinisikan sebagai pecahnya ketuban sebelum waktunya melahirkan. Hal ini dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh sebelum waktunya melahirkan. KPD preterm adalah KPD sebelum usia kehamilan 37 minggu. KPD yang memanjang adalah KPD yang terjadi lebih dari 12 jam sebelum waktunya melahirkan. Kejadian KPD berkisar 5-10% dari semua kelahiran, dan KPD preterm terjadi 1% dari semua kehamilan. 70% kasus KPD terjadi pada kehamilan cukup bulan. KPD merupakan penyebab kelahiran prematur sebanyak 30%.

Gambar 1. Ketuban Pecah

Penyebab Pada sebagian besar kasus, penyebabnya belum ditemukan. Faktor yang disebutkan memiliki kaitan dengan KPD yaitu riwayat kelahiran prematur, merokok, dan perdarahan selama kehamilan. Beberapa faktor risiko dari KPD :

11

Inkompetensi serviks (leher rahim) Polihidramnion (cairan ketuban berlebih) Riwayat KPD sebelumya Kelainan atau kerusakan selaput ketuban Kehamilan kembar Trauma Serviks (leher rahim) yang pendek (<25mm) pada usia kehamilan 23 minggu Infeksi pada kehamilan seperti bakterial vaginosis

Tanda dan Gejala Tanda yang terjadi adalah keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina. Aroma air ketuban berbau manis dan tidak seperti bau amoniak, mungkin cairan tersebut masih merembes atau menetes, dengan ciri pucat dan bergaris warna darah. Cairan ini tidak akan berhenti atau kering karena terus diproduksi sampai kelahiran. Tetapi bila Anda duduk atau berdiri, kepala janin yang sudah terletak di bawah biasanya "mengganjal" atau "menyumbat" kebocoran untuk sementara. Demam, bercak vagina yang banyak, nyeri perut, denyut jantung janin bertambah cepat merupakan tanda-tanda infeksi yang terjadi.

12

Penanganan Ketuban Pecah di Rumah Apabila terdapat rembesan atau aliran cairan dari vagina, segera hubungi dokter atau petugas kesehatan dan bersiaplah untuk ke Rumah Sakit. Gunakan pembalut wanita (jangan tampon) untuk penyerapan air yang keluar. Daerah vagina sebaiknya sebersih mungkin untuk mencegah infeksi, jangan berhubungan seksual atau mandi berendam. Selalu membersihkan dari arah depan ke belakang untuk menghindari infeksi dari dubur. Jangan coba melakukan pemeriksaan dalam sendiri. Terapi Apabila terjadi pecah ketuban, maka segeralah pergi ke rumah sakit. Dokter kandungan akan mendiskusikan rencana terapi yang akan dilakukan, dan hal tersebut tergantung dari berapa usia kehamilan dan tanda-tanda infeksi yang terjadi. Risiko kelahiran bayi prematur adalah risiko terbesar kedua setelah infeksi akibat ketuban pecah dini. Pemeriksaan mengenai kematangan dari paru janin sebaiknya dilakukan terutama pada usia kehamilan 32-34 minggu. Hasil akhir dari kemampuan janin untuk hidup sangat menentukan langkah yang akan diambil. Kontraksi akan terjadi dalam waktu 24 jam setelah ketuban pecah apabila kehamilan sudah memasuki fase akhir. Semakin dini ketuban pecah terjadi maka semakin lama jarak antara ketuban pecah dengan kontraksi. Jika tanggal persalinan sebenarnya belum tiba, dokter biasanya akan menginduksi persalinan dengan pemberian oksitosin (perangsang kontraksi) dalam 6 hingga 24 jam setelah pecahnya ketuban. Tetapi jika memang sudah masuk tanggal persalinan dokter tak akan menunggu selama itu untuk memberi induksi pada ibu, karena menunda induksi bisa meningkatkan resiko infeksi. Apabila paru bayi belum matang dan tidak terdapat infeksi setelah kejadian KPD, maka istirahat dan penundaan kelahiran (bila belum waktunya melahirkan) menggunakan magnesium sulfat dan obat tokolitik.

13

Apabila paru janin sudah matang atau terdapat infeksi setelah kejadian KPD, maka induksi untuk melahirkan mungkin diperlukan. Penggunaan steroid untuk pematangan paru janin masih merupakan kontroversi dalam KPD. Penelitan terbaru menemukan keuntungan serta tidak adanya risiko peningkatan terjadinya infeksi pada ibu dan janin. Steroid berguna untuk mematangkan paru janin, mengurangi risiko sindrom distress pernapasan pada janin, serta perdarahan pada otak. Penggunaan antibiotik pada kasus KPD memiliki 2 alasan. Yang pertama adalah penggunaan antibiotik untuk mencegah infeksi setelah kejadian KPD preterm. Dan yang kedua adalah berdasarkan hipotesis bahwa KPD dapat disebabkan oleh infeksi dan sebaliknya KPD preterm dapat menyebabkan infeksi. Keuntungan didapatkan pada wanita hamil dengan KPD yang mendapatkan antibiotik yaitu, proses kelahiran diperlambat hingga 7 hari, berkurangnya kejadian korioamnionitis serta sepsis neonatal (infeksi pada bayi baru lahir). Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan secara langsung cairan yang merembes tersebut dapat dilakukan dengan kertas nitrazine, kertas ini mengukur pH (asam-basa). pH normal dari vagina adalah 4-4,7 sedangkan pH cairan ketuban adalah 7,1-7,3. Tes tersebut dapat memiliki hasil positif yang salah apabila terdapat keterlibatan trikomonas, darah, semen, lendir leher rahim, dan air seni. Pemeriksaan melalui ultrasonografi (USG) dapat digunakan untuk mengkonfirmasi jumlah air ketuban yang terdapat di dalam rahim. Komplikasi KPD Komplikasi paling sering terjadi pada KPD sebelum usia kehamilan 37 minggu adalah sindrom distress pernapasan, yang terjadi pada 10-40% bayi baru lahir. Risiko infeksi meningkat pada kejadian KPD. Semua ibu hamil dengan KPD prematur sebaiknya dievaluasi untuk kemungkinan terjadinya korioamnionitis (radang pada korion dan amnion). Selain itu kejadian prolaps atau keluarnya tali pusar dapat terjadi pada KPD.

14

Risiko kecacatan dan kematian janin meningkat pada KPD preterm. Hipoplasia paru merupakan komplikasi fatal yang terjadi pada KPD preterm. Kejadiannya mencapai hampir 100% apabila KPD preterm ini terjadi pada usia kehamilan kurang dari 23 minggu.

Gambar 3. Keluarnya Tali Pusar

Pencegahan Beberapa pencegahan dapat dilakukan namun belum ada yang terbukti cukup efektif. Mengurangi aktivitas atau istirahat pada akhir triwulan kedua atau awal triwulan ketiga dianjurkan. C. Konsep Dasar Mioma Uteri1 a. Pengertian mioma uteri Mioma uteri adalah tumor jinak yang berada pada uterus atau organ rahim. Masyarakat umumnya menyebut mioma sebagai miom atau tumor otot rahim. Umumnya mioma uteri terletak pada dinding rahim dan dapat berkembang ke arah dalam atau ke arah luar. Statistik penderita mioma

15

tidak diketahui secara pasti karena masih jarang karena umumnya mioma uteri ditemukan secara tidak sengaja dan umumnya jarang menimbulkan keluhan atau gejala. Umumnya sekitar 30% terjadi pada wanita yang berumur di atas 35 tahun. Mioma uteri dapat muncul lebih dari satu buah dan memiliki berat yang bervariasi mulai dari beberapa gram saja hingga mencapai 5 kg. b. Penyebab mioma uteri

Penyebab secara pasti mioma uteri masih belum diketahui. Umumnya penyebab dari mioma uteri adalah adanya reseptor estrogen yang lebih banyak dan tinggi pada sebagian jaringan otot rahim. Otot rahim yang memiliki reseptor estrogen berlebih akan pertumbuhan yang tidak normal dan lebih sensitif terhadap hormon estrogen sehingga muncullah tumor yang disebut sebagai tumor uteri. Pada saat terjadi kehamilan dan masa reproduksi, tumor uteri akan lebih lebih cepat tumbuh dibandingan otot rahim yang normal dan akan mengecil pada saat terjadi menopause. c. Jenis mioma uteri Berdasarkan letaknya mioma uteri terbagi atas 3 yaitu : 1. Pertumbuhan tetap di dinding rahim 2. Pertumbuhan ke dalam uterus (organ rahim)

16

3. Pertumbuhan ke permukaan dinding uterus d. Gejala dan ciri ciri mioma uteri Gejala dan ciri ciri mioma uteri tergantung besar dan kecilnya tumor serta arah pertumbuhannya. Gejala mioma uteri juga sangat dipengaruhi oleh siklus haid karena mioma uteri sangat dipengaruhi oleh hormon estrogen. Umumnya mioma uteri tidak menimbulkan gejala jika besarnya tumor masih kecil. Gejala akan muncul jika telah terjadi desakan tumor mioma uteri ke organ sekitarnya. Umumnya gejala mioma uteri adalah : 1. Hipermenore ( darah haid yang berlebihan). 2. Dismenore (nyeri haid). 3. Nyeri pada bagian bawah abdomen (perut) akibat penekanan dan terputarnya tangkal mioma uteri. 4. Perdarahan vagina di luar masa haid dan tidak beraturan. 5. Anemia. 6. Gangguan BAB dan BAK jika mioma uteri telah menekan kandung kemih, ureter (saluran kencing), rektum (usus besar) dan organ rongga panggul lainnya. 7. Kesulitan memiliki anak karena mioma uteri menyumbat saluran tuba dan kesulitan terjadi implantasi karena adanya mioma uteri pada dinding rahim. 8. Adanya gangguan letak bayi dan plasenta, terhalangnya jalan lahir, kelemahan kontraksi rahim, perdarahan disertai nyeri dan resiko keguguran pada masa kehamilan. 9. Perdarahan yang banyak dan gangguan pelepasan plasenta pasca melahirkan. e. Diagnosa mioma uteri Diagnosa mioma uteri memerlukan pemeriksaan USG, CT Scan atau MRI. Umumnya dengan USG saja sudah cukup untuk mendiagnosa mioma uteri. Jika anda mengalami keluhan atau gejala mioma uteri maka segerakan periksa ke dokter anda.

17

f. Penanganan dan obat mioma uteri Pengobatan mioma uteri terdiri atas terapi hormon, pengobatan herbal dan operasi. Pengobatan hormon tidak menyembuhkan mioma uteri. Umumnya pengobatan hormon hanya menghilangkan gejala gejala dari mioma uteri dan cenderung menimbulkan efek samping dari penggunaan obat hormone. Operasi merupakan pilihan terakhir jika pengobatan hormone tidak berhasil. Pengobatan herbal dapat menjadi pilihan jika pengobatan hormon tidak berhasil dan sang penderita tidak mau menjalani operasi. Obat herbal yang dapat digunakan untuk pengobatan mioma uteri adalah buah mengkudu, keladi tikus, temu putih dan mahkota dewa. g. Operasi mioma uteri Operasi mioma uteri berupa pengangkatan jaringan tumor. Tindakan operasi dilakukan jika tumor mioma uteri membesar, timbul gejala penekanan mioma uteri, nyeri dan perdarahan yang terus menerus. Operasi mioma uteri berupa histerektomi (pengangkatan organ rahim) jika tidak ada rencana untuk hamil lagi atau miomektomi (pengangkatan miomanya saja) jika masih ingin hamil lagi atau masih usia reproduksi.

D. Konsep Dasar Histerektomi2

18

a. Pengertian Histerektomi adalah suatu prosedur operatif dimana seluruh organ dari uterus diangkat. Histerektomi merupakan suatu prosedur non obstetrik untuk wanita di negara Amerika Serikat. b. Alasan dilakukan tindakan Histerektomi a) Alasan terbanyak dilakukan histerektomi karena Mioma uteri. Selain itu adanya perdarahan uterus abnormal, endometriosis, prolaps uteri (relaksasi pelvis) juga dilakukan histerektomi. Hanya 10 % dari kasus histerektomi dilakukan pad a pasien dengan karsinoma. Artikel ini difokuskan secara primer untuk penggunaan histerektomi non kanker, non emergency yang mana melibatkan keputusan yang lebih menantang untuk wanita dan dokter-dokternya. b) Fibrosis uteri (dikenal juga leiomioma) merupakan alasan terbanyak dilakukannya histerektomi. Leiomioma merupakan suatu

perkembangan jinak (benigna) dari sel-sel otot uterus, namun etiologinya belum diketahui. Meskipun jinak dimana artinya tidak menyebabkan/berubah menjadi kanker, leiomioma ini dapat

menyebabkan masalah secara medis, seperti perdarahan yang banyak, yang mana kadang-kadang diperlukan tindakan

histerektomi. Relaksasi pelvis adalah kondisi lain yang menentukan

19

tindakan histerektomi.

Pada kondisi

ini

wanita mengalami

pengendoran dari otot-otot penyokong dan jaringan disekitar area pelvik. pengendoran ini dapat mengarah ke gejala-gejala seperti inkontensia urine (Unintensional Loss of Urine) dan mempengaruhi kemampuan seksual. Kehilangan urine ini dapat dicetuskan juga oleh bersin, batuk atau tertawa. Kehamilan mungkin melibatkan peningkatan resiko dari relaksasi pelvis, meskipun tidak ada alasan yang tepat untuk menjelaskan hal tersebut. c) Histerektomi juga dilakukan untuk kasus-kasus karsinoma

uteri/beberapa pre karsinoma (displasia). Histerektomi untuk karsinoma uteri merupakan tujuan yang tepat, dimana

menghilangkan jaringan kanker dari tubuh. Prosedur ini merupakan prosedur dasar untuk penatalaksanaan karsinoma pada uterus. c. Prosedur Tindakan Histerektomi Biasanya, histerektomi dilakukan dengan suatu insisi (memotong melalui dinding abdomen) abdominal histerektomi atau lewat vagina (vaginalis histerektomi). Perawatan di Rumah Sakit biasanya lebih lama abdominal histerektomi daripada vaginal histerektomi (4-6 hari rata-rata) dan biaya juga lebih banyak. Prosedur ini lebih memakan waktu (sekitar 2 jam, kecuali uterus tersebut berukuran lebih besar pada vaginal histerektomi ) justru lebih lama. E. Konsep dasar Shock3 a. Defenisi Keadaan dimana terjadi gangguan perfusi organ dan oksigenasi jaringan akibat adanya gangguan sirkulasi b. Macam-macam shock a) Shock Hipovolemik Hemoragik dan non hemoragik b) Shock Kardiogenik c) Shock Neurogenik

20

d) Shock pada Tension Pneumothorak c. Mengenal shock (diagnosis) Gangguan perfusi organ dan oksigenasi jaringan : a) Kulit dingin b) Urine berkurang c) Kesadaran menurun d) Tekanan darah turun, nadi meningkat d. Sumber perdarahan a) Perdarahan intrakranial b) Perdarahan Intra Abdominal c) Perdarahan Retroperitoneal d) Hemothorax Masif e) Femur / Cruris f) Rongga dada g) Rongga perut h) Pelvis i) Patah tulang panjang e. Diagnosis a) Trauma b) Takhikardi c) Kulit dingin f. Derajat shock (hemoragik) Derajat I : darah hilang < 15 % EBV Derajat II : darah hilang 15 30 % EBV Derajat III : darah hilang 30 45 % EBV Derajat IV : darah hilang > 45 % EBV EBV : Effective Blood Volume g. Klasifikasi

21

KI Darah hilang/cc Darah hilang/% BV Nadi TD Pulse Pressure Respirasi Prod. Urin cc/jam Kesadaran Cairan pengganti < 750 < 15 < 100 N N 14 20 > 30 Agak gelisah Kristaloid

K II 750-1500 15 30 > 100 N 20 30 20 30 Gelisah Kristaloid

K III 1500-2000 30 40 > 120 30 40 5 15 Gelisah & bingung Kristaloid

K IV > 2000 > 40 > 140 > 35 Bingung & letargik Darah

F. Penatalaksanaan Pre-Operatif4 1. Persiapan Pasien di ruangan a. Kunjungan prabedah Merupakan bagian eksersial persiapan penderita baik fisik maupun mental dalam menghadapi stress anestesi dan pembedahan. Fungsi : Perkenalan anestesi. Memberi informasi tentang apa yang akan dialami oleh penderita selama dan sesudah pembedahan. Menerangkan penderita. Karena hal yang akan dihadapi merupakan hal baru dan asing sehingga dapat menimbulkan rasa takut.

b. Pemeriksaan fisik

22

Data umum : nama, umur, BB, TB. Wawancara : sakit apa dirinya atau keluarga (malignant hiperthermia dengan catatan kelainan yang diturunkan berhubungan dengan Ca release dan Ca deposit) kebanyakan meninggal di tempat operasi.

c.

Paru-paru, CVS, ginjal, liver. Terapi obat-obatan yang ada sekarang. Alergi. Kebiasaan atau gaya hidup : rokok, alkohol dan obat-obatan. Pengalaman operasi atau anestesi.

Cek status nutrisi Kebutuhan nutrisi ditentukan dengan mengukur tinggi badan dan berat badan, lipat kulit trisep, lingkar lengan atas, kadar protein darah (albumin dan globulin) serta keseimbangan nitrogen. Segala bentuk defisiensi nutrisi harus dikoreksi sebelum pembedahan untuk memberikan protein yang cukup bagi perbaikan jaringan. Kondisi gizi buruk dapat mengakibatkan pasien mengalami berbagai komplikasi pasca operasi dan mengakibatkan pasien menjadi lebih lama dirawat di rumah sakit. Komplikasi yang paling sering terjadi adalah infeksi pasca operasi, dehisiensi ( terlepasnya jahitan sehingga luka tidak bisa menyatu), demam dan penyembuhan luka yang lama. Pada kondisi yang serius pasien dapat mengalami sepsis yang bisa mengakibatkan kematian.

d. Latihan Pra Operasi Berbagai latihan sangat diperlukan pada pasien sebelum operasi, hal ini sangat penting sebagai persiapan pasien dalam menghadapi kondisi pasca operasi, seperti : nyeri daerah operasi, batuk, dan menumpuknya lendir di tenggorokan.

23

Diantaranya latihan : Latihan nafas dalam Latihan batuk efektif Latihan gerak sendi

e. Pemeriksaan laboratorium Darah : hb, leukosit, gula darah, ureum, kreatinin. Urine rutin, rontgen : thorax rutin, jantung : EKG. Pemeriksaan lengkap screening test hanya dilakukan pada penderita yang akan dilakukan pembedahan besar : Pemeriksaan laboratorium lain (faal hati dan lain-lain) apabila ada indikasi. Foto thoraks. Pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) apabila usia penderita > 40 tahun atau apabila pada tanda-tanda penyakit jantung. Pemeriksaan lain yang diperlukan misalnya USG, tes faal paru dan lain-lain. Konsultasi dengan bagian lain (interne, pediatri dan lain-lain) apabila diperlukan. f. Perbaikan keadaan umum dan pengobatan penyakit lain yang

menyertainya Saat akan dimulai pembedahan dengan anestesi umum keadaan penderita harus optimal dan penyakit-penyakit lain harus ditanggulangi atau dapat terkendalikan. Keadaan keadaan yang sering dijumpai antara lain: a) Syok, kebanyakan syok hypovolemik karena perdarahan, dapat diatasi dengan penggunaan transfusion set sebagai antisipasi terjadinya lonjakan Hb pasien pada saat intraoperatif. b) Anemia, sedapat mungkin kadar hemoglobin sebelum pembedahan di atas 8 gr%

24

c) Dehidrasai, harus segera diatasi dengan pemberian cairan sampai diuresis lebih dari 30 cc per jam dan keadaan hemodinamik (tensi dan nadi) dalam batas-batas normal. Dapat diatasi dengan pemasangan infus abbocath no 18, agar pemenuhan cairan terpenuhi sesuai kebutuhan pasien. d) Komosio cerebri : biasanya pembedahan ditunda sampai lewat hari ketiga, kecuali demi untuk menyelamatkan jiwanya. e) Suhu tinggi, sedapat mungkin diturunkan dengan antipiretik dan kompres dingin sampai suhu kurang dari 38o C. f) Infeksi saluran nafas akut, seperti influenza, pharingitis bronkitis dan lain-lain, semua bedah elektif sebaiknya ditangguhkan, terutama pada bayi dan anak. Mengingat resiko - resiko yang mungkin terjadi baik akibat pembedahan, maupun tindakan anestesia maka penderita dewasa terutama keluarganya perlu diberi penjelasan tentang penyakitnya, penanggulangan atau upaya-upaya yang akan dilakukan beserta prognosanya. Oleh karena itu dokter ataupun tenaga medis lainnya harus mengadakan kunjungan pra bedah selain dengan penderita juga dengan keluarganya. Setelah mendapat penjelasan pihak penderita dan keluarga wajib menandatangani izin pembedahan atau izin operasi dan anestesia. g. Informed Concent Nama lain : persetujuan tindakan. Setiap individu berhak menentukan dan mengetahui apa yang akan dilakukan terhadap badannya, tanpa IC ini maka semua tindakan merupakan pelanggaran. Kecuali emergency (obstruksi nafas (2-3 menit : sehingga terjadi brain damage), pernapasan tak terkontrol. ICP (intra cranial pressure) terus meningkat, cardiac temponade, gangguan mental akibat penyakit maupun obat-obatan.

25

Tujuannya yaitu : Bukan hanya untuk melindungi dokter dan RS dari hasil tindakan yang tidak diinginkan tapi juga melindungi pasien dari tindakan tanpa sanksi. Pasien harus mengetahui rencana tindakan dan alternatifnya beserta kemungkinan komplikasi yang timbul, kegelisahan atau kegagalan : jangan menakut-nakuti, diberi kebebasan untuk menentukan

pilihannya. Pengarahan yang baik dan mengesankan biasanya pasien akan setuju dengan yang direncanakan dokter. Izin harus tertulis dan disaksikan oleh dokter, perawat serta keluarga dekat, sedangkan untuk anak-anak dilakukan oleh orangtuanya. h. Puasa Setiap penderita yang akan mengalami pembedahan elektif dengan anestesia umum harus puasa paling sedikit 5 6 jam untuk orang dewasa dan untuk anak- anak/ bayi dimana anak/ bayi masih boleh minum air putih (tambah gula) 2 jam sebelum pembedahan. Puasa bertujuan mencegah muntah dan mencegah perut kembung karena peristaltik berkurang akibat anestesia. Puasa yang tidak cukup dapat menimbulkan muntah sampai aspirasi isi lambung ke dalam paru-paru yang dapat berakibat kematian. Gigi palsu, bulu mata palsu atau lensa kontak harus ditinggalkan, demikian pula perhiasan atau barang-barang berharga lainnya. Cat bibir atau kuku harus dibersihkan karena akan mengganggu saat monitoring penderita. Kandung kencing harus dikosongkan dengan menyuruh penderita kencing atau memasang kateter bila perlu sebelum ke kamar pembedahan. Penderita masuk ke kamar pembedahan dengan memakai pakaian khusus dan tutup kepala.

26

G. Premedikasi4 Adalah pemberian obat-obatan sebelum tindakan anestesi dilakukan. Hal ini bertujuan untuk : - Sedasi psikis, untuk mengurangi rasa takut dan cemas - Analgesia - Amnesia - Agar induksi anestesi mudah dan lancar - Untuk mengurangi jumlah atau dosis obat anestesi - Mengurangi refleks vagal - Untuk mengurangi sekresi - Menghilangkan rasa mual dan muntah Jenis obat premedikasi diberikan : a) Golongan Antikholinergik seperti sulfas atropin dan scopolamin. Yang sering digunakan sulfas dengan dosis 0,01 mg/kgBB im atau iv dengan maksud untuk mengurangi sekret traktur respiratorius dan untuk mencegah refleks vagal. Efek samping yang tidak menyenangkan adalah : rasa kering di mulut, penglihatan kabur, retensio urine terutama pada penderita hipertrofi prostat, pada anak sering timbul bercak-bercak merah di kulit (tidak berbahaya) dan retensi panas sehingga suhu badan naik, berdebar-debar karena terjadinya takhikardi.5 b) Golongan benzodiazepin Diazepam (valium, stesolid, paralium, mentalium, validex, diazepin) Midazolam (dormicum).5

c) Antagonis Reseptor H2 (Ranitidine) Obat ini secara kompetitif menghambat ikatan histamine dengan reseptor H2, yang akan mengurangi produksi asam lambung dan meningkatkan pH asam lambung. Dosis : sebagai premedikasi untuk mengurangi aspirasi pneumonia, antagonis reseptor H2 diberikan pada saat malam sebelum tidur dan sekali lagi 2 jam jam sebelum operasi. 5

27

d) Antagonis Resepto 5 - H3 (Ondansentron) Obat ini digunakan sebagai pencegahan mual dan muntah. Dosis : 4 mg. 5 H. Cairan8 a. Cairan Kristaloid8 a) Ringer Asetat (RA) Larutan ini merupakan salah satu cairan kristaloid yang cukup banyak diteliti. Larutan RA berbeda dari RL (Ringer Laktat) dimana laktat terutama dimetabolisme di hati, sementara asetat dimetabolisme terutama di otot. Sebagai cairan kristaloid isotonik yang memiliki komposisi elektrolit mirip dengan plasma, RA dan RL efektif sebagai terapi resusitasi pasien dengan dehidrasi berat dan syok, terlebih pada kondisi yang disertai asidosis. Metabolisme asetat juga didapatkan lebih cepat 3-4 kali dibanding laktat. Dengan profil seperti ini, RA memiliki manfaat-manfaat tambahan pada dehidrasi dengan kehilangan bikarbonat masif yang terjadi pada diare. Indikasi : Penggunaan Ringer Asetat sebagai cairan resusitasi sudah seharusnya diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati berat seperti sirosis hati dan asidosis laktat. Hal ini dikarenakan adanya laktat dalam larutan Ringer Laktat membahayakan pasien sakit berat karena dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat. Ringer Asetat telah tersedia luas di berbagai negara. Cairan ini terutama diindikasikan sebagai pengganti kehilangan cairan akut (resusitasi), misalnya pada diare, DBD, luka bakar/syok hemoragik; pengganti cairan selama prosedur operasi; loading cairan saat induksi anestesi regional; priming solution pada tindakan pintas kardiopulmonal; dan juga diindikasikan pada stroke akut dengan komplikasi dehidrasi. Manfaat pemberian loading cairan pada saat induksi anastesi, misalnya ditunjukkan oleh studi Ewaldsson dan Hahn (2001) yang menganalisis efek pemberian 350 ml RA secara cepat (dalam waktu 2 menit) setelah induksi anestesi umum dan spinal terhadap parameter-

28

parameter volume kinetik. Studi ini memperlihatkan pemberian RA dapat mencegah hipotensi arteri yang disebabkan hipovolemia sentral, yang umum terjadi setelah anestesi umum/spinal. Untuk kasus obstetrik, Onizuka dkk (1999) mencoba

membandingkan efek pemberian infus cepat RL dengan RA terhadap metabolisme maternal dan fetal, serta keseimbangan asam basa pada 20 pasien yang menjalani kombinasi anestesi spinal dan epidural sebelum seksio sesarea. Studi ini memperlihatkan pemberian RA lebih baik dibanding RL untuk ke-3 parameter di atas, karena dapat memperbaiki asidosis laktat neonatus (kondisi yang umum terjadi pada bayi yang dilahirkan dari ibu yang mengalami eklampsia atau pre-eklampsia). Dehidrasi dan gangguan hemodinamik dapat terjadi pada stroke iskemik/hemoragik akut, sehingga umumnya para dokter spesialis saraf menghindari penggunaan cairan hipotonik karena kekhawatiran terhadap edema otak. Namun, Hahn dan Drobin (2003) memperlihatkan pemberian RA tidak mendorong terjadinya pembengkakan sel, karena itu dapat diberikan pada stroke akut, terutama bila ada dugaan terjadinya edema otak. Hasil studi juga memperlihatkan RA dapat mempertahankan suhu tubuh lebih baik dibanding RL secara signifikan pada menit ke 5, 50, 55, dan 65, tanpa menimbulkan perbedaan yang signifikan pada parameterparameter hemodinamik (denyut jantung dan tekanan darah sistolikdiastolik). Perbandingan untuk mengganti darah yang keluar dari tubuh pasien yaitu misalnya : 1 cc diganti dengan kristaloid menjadi 3 cc. Hal ini karena perbandingan 1:3. b. Cairan Koloid8 Merupakan larutan yang terdiri dari molekul-molekul besar yang sulit menembus membran kapiler, digunakan untuk mengganti cairan intravaskuler. Umumnya pemberian lebih kecil, onsetnya lambat, durasinya lebih panjang, efek samping lebih banyak, dan lebih mahal.

29

Mekanisme secara umum memiliki sifat seperti protein plasma sehingga cenderung tidak keluar dari membran kapiler dan tetap berada dalam pembuluh darah, bersifat hipertonik dan dapat menarik cairan dari pembuluh darah. Oleh karena itu penggunaannya membutuhkan volume yang sama dengan jumlah volume plasma yang hilang. Digunakan untuk menjaga dan meningkatkan tekanan osmose plasma. Perbandingan untung mengganti darah yang keluar dari tubuh pasien yaitu 1:1. b) HES (Hydroxyetyl Starches) Contoh : HAES steril, Expafusin. Indikasi : Penggunaan HES pada resusitasi post trauma dapat menurunkan permeabilitas pembuluh darah, sehingga dapat menurunkan resiko kebocoran kapiler. Kontraindikasi : Cardiopulmonary bypass, dapat meningkatkan resiko perdarahan setelah operasi, hal ini terjadi karena HES berefek antikoagulan pada dosis moderat (>20 ml/kg). Sepsis, karena dapat meningkatkan resiko acute renal failure (ARF). Penggunaan HES pada sepsis masih terdapat perdebatan. Muncul spekulasi tentang penggunaan HES pada kasus sepsis, dimana suatu penelitian menyatakan bahwa HES dapat digunakan pada pasien sepsis karena : e) Tingkat efikasi koloid lebih tinggi dibandingkan kristaloid, disamping itu HES tetap bisa digunakan untuk menambah volume plasma meskipun terjadi kenaikan permeabilitas. f) Pada syok hipovolemia diperoleh innvestigasi bahwa HES dan albumin menunjukkan manifestasi edema paru yang lebih kecil dibandingkan kristaloid. g) Dengan menjaga COP, dapat mencegah komplikasi lebih lanjut seperti asidosis refraktori. h) HES juga mempunyai kemampuan farmakologi yang sangat menguntungkan pada kondisi sepsis yaitu menekan laju sirkulasi dengan menghambat adesi molekuler.

30

Sementara itu pada penelitian yang lain, disimpulkan HES tidak boleh digunakan pada sepsis karena : i) Edema paru tetap terjadi baik setelah penggunaan kristaloid maupun koloid (HES), yang manifestasinya menyebabkan kerusakan alveoli. j) HES tidak dapat meningkatkan sirkulasi splanchnic

dibandingkan dengan gelatin pada pasien sepsis dengan hipovolemia. k) HES mempunyai resiko lebih tinggi menimbulkan gangguan koagulasi, ARF, pruritus, dan liver failure. Hal ini terutama terjadi pada pasien dengan kondisi iskemik reperfusi (contoh: transplantasi ginjal). l) Resiko nefrotoksik pada HES dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan gelatin pada pasien dengan sepsis. Kebutuhan cairan maintenance dengan rumus 4. 2. 1 I. Transfusi darah Transfusi darah merupakan proses mentransfer darah dari satu orang ke dalam sistem peredaran darah orang lain. Darah yang tersimpan di dalam kantong darah dimasukan kedalam tubuh melalui selang infus. Pasien-pasien di bidang obstetri dan ginekologi banyak yang berpotensi memerlukan transfusi darah. Seksio cesaria (SC) dan histerektomi adalah dua tindakan bedah yang sering dan berpotensi terjadi perdarahan sehingga memerlukan transfusi darah. Kondisi lainnya adalah perdarahan postpartum, placenta previa, dan ruptur kehamilan ektopik. Perdarahan di bidang obstetri masih merupakan penyebab kematian ibu yang tinggi di Indonesia.

31

a. Skrining golongan darah Salah satu pemeriksaan laboratorium rutin untuk setiap wanita hamil saat kunjungan pertama prenatal care adalah pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus serta skrining antibodi untuk mendeteksi antibodi yang berpotensi menyebabkan hemolytic disease of the newborn (HDN). Keuntungan dari pemeriksaan ini antara lain dapat mempersiapkan donor darah sesuai golongan darah dan jika wanita hamil tersebut bergolongan darah Rh(D) negatif maka dapat diberikan anti(D) immune-globulin sesuai indikasi. b. Indikasi transfusi darah Anemia pada kehamilan didefinisikan dengan kadar hemoglobin (Hb) kurang dari 11 g/dL pada trimester I dan III serta 10,5 g/dL pada trimester II. Diagnosis dan terapi yang efektif terhadap anemia kronik pada kehamilan merupakan tindakan yang penting untuk mengurangi kebutuhan transfusi darah. Keputusan untuk transfusi darah tidak boleh hanya berdasar kadar Hb saja, tetapi juga berdasar indikasi Anemia pada kehamilan didefinisikan dengan kadar hemoglobin (Hb) kurang dari 11 g/dL pada trimester I dan III serta 10,5 g/dL pada trimester II. Diagnosis dan terapi yang efektif terhadap anemia kronik pada kehamilan merupakan tindakan yang penting untuk mengurangi kebutuhan transfusi darah. Keputusan untuk transfusi darah tidak boleh hanya berdasar kadar Hb saja, tetapi juga berdasar indikasi klinis pasien.Perdarahan yang terjadi pada persalinan normal atau seksiocesaria sebenarnya tidak membutuhkan transfusi darah jika kadar Hb ibu sebelum persalinan diatas 10,0 11,0 g/dL. Sebaliknya, transfusi darah hampir selalu diindikasikan jika Hb < 7 g/dl. Pada kasus terminasi kehamilan, persalinan normal, sectio caesaria, kuretase, atau histerektomy jika ternyata membutuhkan darah dan emergensi, maka berlaku prosedur emergensi yakni darah sesuai golongan ABO dan Rh yang belum dilakukan crossmatch dan packed red cell (PRC) golongan O dapat diberikan kepada pasien.
3

32

- Hematokrit 55-75% Isi (Packed Red Cell) - Tidak ada trombosit dan faktor koagulasi labil (V dan VIII) yang fungsional

Penyimpanan - Disimpan pada suhu 2-6C di blood bank refrigerator - Masa simpan 28 hari - Darah harus sudah ditransfusikan kepada pasien dalam 30 menit setelah darah keluar dari blood bank refrigerator

Indikasi Penggantian sel darah merah pada

perdarahan akut disertai hipovolumia - Transfusi tukar - Pasien yang membutuhkan penggantian sel darah merah tetapi komponen PRC tidak tersedia.

Kontraindikasi - Anemia kronis - Pasien gagal jantung

Cara transfusi - Golongan darah ABO dan Rh antara pasien dan donor harus kompatibel/cocok - Tidak boleh menambahkan obat dalam kantong darah - Transfusi 1 unit WB diselesaikan maksimal 4 jam

33

c. Pelayanan darah emergensi Untuk mendapatkan darah/komponen darah pada kasus perdarahan masif (kondisi emergency), langkah pertama yang dilakukan adalah

menginformasikan kebutuhan darah bagi pasien melalui telepon ke Unit Pelayanan Transfusi Darah (UPTD). Langkah kedua adalah mengirimkan surat permintaan darah dan sampel darah pasien ke UPTD. Langkah ketiga, petugas dari bagian kebidanan langsung membawa darah ke ruang operasi/bangsal dimana pasien membutuhkan darah. Untuk mencegah kemungkinan kesalahan transfusi, perawat atau dokter mencocokkan kembali identitas pasien pada label kantong darah dan pergelangan tangan pasien atau papan di tempat tidur pasien sebelum darah ditransfusikan. J. Persiapan pasien di kamar operasi6 Persiapan 4 aman sebagai berikut : 1. Aman Pasien6 1) Anamnesa / wawancara ulang sesuai data Anmnesa dan pemeriksaan pada penderita bedah elektif dilakukan1-2 hari sebelum hari dilaksanakannya proses pembedahan. Dengan dilakukannya anamnesa ini, maka akan didapatkan data yang memungkinkan akan menjadi pertimbangan untuk berlangsungnya proses pembedahan. Dalam proses anamnesa ini akan dilakukan wawancara terhadap penderita atau keluarganya, untuk mengetahui : Riwayat penyakit sistemik yang diderita dahulu dan sekarang, meliputi: Sistem pernapasan : riwayat penyakit saluran napas atas, asma, batuk, influenza, dll. Sistem kardiovaskuler : riwayat penyakit jantung, hipertensi, nyeri dada, dll. Sistem endokrin : Diabetes Melitus, Hepatitis.

34

Riwayat penyakit keluarga, yaitu adanya anggota keluarga yang menderita penyakit sistemik seperti TBC, Diabetes Melitus, Asthma, dll.

Riwayat pengobatan atau pemakaian obat-obatan yang ada hubungannya interaksi dengan obat anestesi yang digunakan seperti obat anti hipertensi, anti koagulan, anti konvulsan dan anti diabetikum.

Riwayat alergi dan reaksi obat, meliputi : Reaksi murni dari obat antibiotika dan interaksi penderita jika mendapatkan pengobatan yang dapat menimbulkan krisis hipertensi. Efek samping dari obat.

Riwayat anestesi dan pembedahan merupakan pengalaman pasca bedah seperti : Respon terhadap obat anestesi. Ganggguan kesadaran. Gangguan jalan nafas dan komplikasi pasca bedah.

2) Aktivitas sehari-sehari, meliputi apakah pasien tersebut : Atletik Perokok berat Peminum alkohol Pemakai Obat (Narkotika)

3) Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium kimia, meliputi : Pemeriksaan urine. Pemeriksaan kadar hemoglobin, leukosit, hematokrit, eritrosit dan trombosit. Pemeriksaan kimia darah; gula darah, ureum, kreatinin, kalium dan natrium. Pemeriksaan kimia darah lainnya dilakukan atas indikasi yang lain.
35

4) Pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG) Dianjurkan pada penderita yang berusia > 40th dan pada anak dewasa dilakukan bila ada indikasi. 5) Foto Toraks Dianjurkan pada penderita dengan indikasi sesak nafas, perokok dan batuk-batuk. 6) Konsultasi dengan bagian medis lain bila perlu. Dimaksudkan untuk mengetahui keadaan penyakit dan fungsi organ vital penderita menurut bagian yang bersangkutan (misalnya; penyakit dalam, neurologi, psikiatri, dll. 7) Klasifikasi status penderita Dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan status fisik penderita menurut ASA (America Society Of

Anesthesiologi ), yang mana berguna untuk menentukan resiko yang mungkin terjadi pada saat pembedahan. ASA I : pasien dengan keadaan umum normal, yang memerlukan tindakan operasi. ASA II : pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena penyakit bedah maupun penyakit lainnya. Contoh : penyakit jantung ringan yang hanya sedikit membatasi aktivitas, obesitas, bronkhitis kronis, anemia ASA III : pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang diakibatkan berbagai penyebab. Contoh : penyakit jantung yang membatasi aktivitas, hipertensi yang tidak terkontrol, DM dengan komplikasi vaskuler. ASA IV : pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung mengancam kehidupannya. Contoh : CHF, disfungsi lanjutan dari hati dan ginjal ASA V : pasien tak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun operasi atau tidak.

36

Contoh : hemorrhage tidak terkontrol dari rupture pembuluh abdominal, trauma cerebral, emboli paru-paru. E : klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan tanda darurat (E-Emergency). 2. Aman Alat6 Persiapan alat terdiri dari STATICS : Scope : laringoskop yang terdiri dari blade dan lampu, stetoskop; Tube : ETT yang nonkingking tiga nomor; Airway : pipaoroparing dan pipa nasoparing; Tape : plaster untuk fiksasi ETT; Intraducer : mandrin; Connector : penghubung pipa dengan mesin anestesi; Suction. Selain yang tersebut di atas, terdapat alat anestesi dan monitor sebagai perangkat utama. Disiapkan pula trakeotomi set bilamana terjadi keadaan darurat.

3. Aman obat7 1) Obat Anestesi Umum


37

Obat inhalasi : Isoflurane Isofluran merupakan volatile anestetik yang tidak mudah terbakar dengan bau eter yang menyengat. Dosis MAC : 1,2.

Obat Intravena Obat Hipnotik Propofol Propofol adalah obat anestesi intravena yang bekerja cepat dengan karakter recovery anestesi yang cepat tanpa rasa pusing dan mual-mual. Onset cepat, DOA pendek.. Dosis: 2-2,5 mg/kgbb. Midazolam Midazolam adalah obat induksi tidur jangka pendek atau premedikasi, pemeliharaan anestesi, bekerja cepat dan karena transformasi metaboliknya cepat dan lama kerjanya singkat, bekerja kuat menimbulkan sedasi dan induksi tidur. Setelah pemberian IM atau IV akan terjadi amnesia. Dosis induksi : 0,2-0,4 mg/kg, untuk premedikasi : 0,030,04 mg/kg.

Analgetik Narkotik Pethidine Adalah obat narkotik-analgesik golongan opium yang memiliki efek yang lebih rendah dari morphine, kira-kira 1/10 dari morphine. Dosis : 1 mg/kg, premedikasi : 25-100 mg, analgesik pasca bedah : 50-100 mg intramuscular atau per infuse. 5

Muscle Relaxant (Pelumpuh Otot) Atracurium (intermediate acting) Onset pada atracurium antara 1-2 menit dan durasinya antara 20-40 menit. Dosis : 0,3 0,6 mg/kg. 5 Rocuronium ( intermediate acting) Dosis pada rocuronium yaitu : 0,6-1 mg/kgbb. 5

38

Obat anticholinesterase : Obat analgetik (non opioid) : Tramadol, tramal Pemberian tramadol pada pasien dua kali sehari dapat

mengendalikan rasa nyeri secara efektif. Dosis untuk dewasa adalah 50-100 mg setiap 4-6 jam dan maksimal 400 mg/hari. 5 Ketorolac Obat ini dapat mengatasi nyeri ringan sampai nyeri berat pada kasuskasus emergensi, nyeri musculuskeletal, pasca bedah minor atau mayor. Dosis dan cara pemberian ketorolak adalah :5 Tidak boleh lebih dari 5 hari. Dosis awal 10-30 mg dan dapat diulang setiap 4-6 jam, sesuai dengan kebutuhan. Dosis IM 60 mg (usia kurang dari 65 tahun). Dosis IV 30 mg (usia kurang dari 65 tahun). Dosis ulang IM/IV tiap 6 jam, maksimum 120 mg (usia dibawah 65 tahun) Usia diatas 65 tahun setengah dari dosis diatas. Obat Pressor7 Dopamine Injeksi (Ampul) 10 mg/ml, 20 mg/ml, 40 mg/ml. Dopamine adalah agen vasopressor dan inotropic. Dopamine bekerja dengan cara meningkatkan kekuatan memompa pada jantung dan suplai darah ke ginjal dan digunakan untuk meningkatkan fungsi jantung ketika jantung tak mampu memompa cukup darah. Dosis: Infus I.V (pemberiannya memerlukan pompa infus) : Bayi : 1-20 mcg/kg/menit, infus kontinyu , titrasi sampai respon yang diharapkan Anak-anak : 1-20 mcg/kg/menit, maksimum 50 mcg/kg/menit, titrasi sampai respon yang diharapkan.

39

Dewasa : 1-5 mcg/kg/menit sampai 20 mcg/kg/menit, titrasi sampai respon yang diharapkan. Infus boleh ditingkatkan 4 mcg/kg/menit pada interval 10-30 menit sampai respon optimal tercapai. Jika dosis > 20-30 mcg/kg/menit diperlukan, dapat menggunakan presor kerja langsung (seperti epinefrin dan norepinefrin).5 Obat-obat medikasi pelengkap : Metilprednisolon Metilprednisolon merupakan kortikosteroid dengan kerja intermediate yang termasuk kategori adrenokortikoid, antiinflamasi dan imunosupresan. Indikasi a) Abnormalitas fungsi adrenokortikal b) Gangguan alergi c) Gangguan kolagen d) Gangguan pada kulit e) Gangguan saluran pencernaan f) Gangguan darah g) Penyakit hati h) Hiperkalsemia sarkoidosis). i) Inflamasi non rheumatik j) Penyakit neoplastik (pengobatan tambahan): k) Sindroma nefrotik l) Penyakit neurologik m) Neurotrauma: luka pada tulang belakang. n) Gangguan pada mata o) Perikarditis: digunakan demam. p) Polip nasal. q) Gangguan pernafasan r) Gangguan rheumatik untuk menghilangkan inflamasi dan yang berhubungan dengan neoplasma (atau

40

s) Pengobatan shock: akibat insufisiensi adrenokortikal. t) Pengobatan tiroiditis non supuratif. u) Pencegahan dan pengobatan penolakan pencangkokan organ: v) Pengobatan trikinosis.

Kontraindikasi: i. Infeksi jamur sistemik dan hipersensitivitas terhadap bahan obat. ii. Bayi prematur. iii. Pemberian jangka lama pada penderita ulkus duodenum dan peptikum, osteoporosis berat, penderita dengan riwayat penyakit jiwa, herpes. iv. Pasien yang sedang diimunisasi.

Dosis: Dewasa : Secara intramuskular atau intravena, 10-40 mg (base), diulangi sesuai keperluan. Metergin7 a) Indikasi : Penanganan aktif kala 3 persalinan. Terapi atoni/perdarahan uterus yang terjadi selama dan setelah kala-3 persalinan, yang berhubungan dengan seksia sesaria, atau setelah terjadinya aborsi. Terapi subinvolusi uterus, lokiometra, perdarahan pada masa nifas. b) Dosis : Untuk penanganan aktif kala-3 persalinan intra muskular 0,5-1 mL (0,1-0,2 mg) setelah kepala/bahu anterior keluar atau selambatnya segera setelah bayi dilahirkan. Untuk persalinan dengan anestesi umum, dosisnya adalah 1 mL (0,2 mg). Untuk atoni/perdarahan uterus IM 1 mL atau IV 0,5-1 mL. Dapat diulang dengan interval 2 jam. Untuk terapi subinvolusi, lokiometra, perdarahan masa nifas 0,125-0,25 mg per oral (12 tablet) atau IM 0,5-1 mL s/d 3 x/hari; pada wanita menyusui 3 hari. c) Kontraindikasi Hamil, kala 1 dan kala 2 pada partus sebelum korona kepala terlihat,

41

inersia uterus primer dan sekunder, hipertensi, toksemia, hipersensitif. Preeklampsi dan eklampsi, sepsis, penyakit vaskular. Presentasi janin abnormal. Oxytosin7 b) Indikasi Pada persalinan normal & pada pasien dimana peningkatan tekanan darah selanjutnya harus dihindari. c) Kontra indikasi

Plasenta lepas, ketidakseimbangan sefalopelvik, pola persalinan hipertonik

Toksemia berat, plasenta previa (uri yang melekat pada segmen bawah rahim sehingga menutupi mulut rahim), kelemahan his rahim terprotraksi, kecenderungan rahim robek.

Induksi sebelum kepala masuk ke pintu panggul atas, malposisi janin, kelainan janin.

c. Perhatian

Gangguan kardiovaskular (jantung dan pembuluh darah). Oksitosin harus diinfuskan secara perlahan. Dua rute pemberian secara berkesinambungan. Interaksi obat : estrogen, progesteron, zat-zat penekan

d. Efek samping

Kontraksi uterus yang kuat menyebabkan rahim robek & laserasi luas pada jaringan lunak.

Hipertensi berat, perdarahan, hipofibrinogenemia fatal. Intoksikasi air (pada dosis besar atau pemakaian jangka panjang). Reaksi anafilaktik, hematoma panggul, gangguan saluran pencernaan.

Aritmia janin, sekit kuning, perdarahan retina.

42

Asam Tranexamat v. Indikasi: m) Fibrinolisis pada menoragia, epistaksis, traumatic hyphaemia, neoplasma tertentu, komplikasi pada persalinan (obstetric complications) dan berbagai prosedur operasi termasuk operasi kandung kemih, prostatektomi atau konisasi serviks. n) Hemofilia pada pencabutan gigi dan profilaksis pada angioedema herediter. vi. Kontraindikasi : o) Penderita yang hipersensitif terhadap asam traneksamat. p) Penderita perdarahan subarakhnoid. q) Penderita dengan riwayat tromboembolik. r) Tidak diberikan pada pasien dengan pembekuan intravaskular aktif. s) Penderita buta warna. vii. Dosis: t) Fibrinolisis lokal : angioneuritik edema herediter; 1 gram (oral) 2-3 x sehari. u) Perdarahan abdominal setelah operasi : 1 gram 3 x sehari (injeksi IV pelan-pelan) pada 3 hari pertama, dilanjutkan pemberian oral 1 gram 3-4 x sehari (mulai pada hari ke-4 setelah operasi sampai tidak tampak hematuria secara makroskopis). Untuk mencegah perdarahan ulang dapat diberikan peroral 1 gram 3-4 x sehari selama 7 hari. v) Perdarahan setelah operasi gigi pada penderita hemofilia : w) Sesaat sebelum operasi : 10 mg/kgBB (IV). x) Setelah operasi : 25 mg/kgBB (oral) 3-4 x sehari selama 2-8 hari. y) (pada penderita yang tidak dapat diberikan terapi oral dapat dilakukan terapi parenteral 10 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi 3-4 kali)

43

viii. Peringatan dan Perhatian : z) Hati-hati jika diberikan pada penderita gangguan fungsi ginjal karena risiko akumulasi. aa) Hati-hati jika diberikan pada penderita hematuria. bb) Hati-hati penggunaan pada wanita hamil dan menyusui. cc) Hati-hati pada setiap kondisi yang merupakan predisposisi trombosis. dd) Hati-hati pemberian pada anak-anak. ix. Efek Samping : ee) Gangguan pada saluran pencernaan (mual, muntah, diare) gejala ini akan hilang bila dosis dikurangi. ff) Hipotensi jarang terjadi. 2) Obat Anestesi Regional6 Penggolongan Obat Anestesi Regional atau Local diantaranya yaitu : Bupivacaine 0,5% (Marcaine 0,5%) Dosis sampai 4 ml dan pada usia lanjut dosisnya dikurangi. 4. Aman diri sendiri7 Untuk mengamankan diri sendiri dari legal aspek sebelum operasi lakukan informed consent kepada pasien dan keluarganya yang bertanggung jawab. Untuk pencegahan penularan penyakit diperlukan tindakan septik dan antiseptik.

44

K. Intensive Care Unit9 1) Pengertian ICU (Intensive Care Unit). Sebagai sebuah layanan kesehatan paripurna, di instansi Rumah Sakit juga dilengkapi dengan ruangan yang diperuntukkan bagi pasien dengan kondisi kritis. Secara umum, ruang ICU adalah ruang rawat di Rumah Sakit yang dilengkapi dengan staf dan peralatan khusus untuk merawat dan mengobati pasien yang terancam jiwa oleh kegagalan / disfungsi satu organ atau ganda akibat penyakit, bencana atau komplikasi yang masih ada harapan hidupnya (reversible). 2) Syarat - syarat Ruang ICU a) Letaknya di sentral RS dan dekat dengan kamar bedah serta kamar pulih sadar ( Recovery Room) b) Suhu ruangan diusahakan 22-25 C, nyaman , energi tidak banyak keluar. c) Ruangan tertutup & tidak terkontaminasi dari luar d) Merupakan ruangan aseptic & ruangan antiseptic dengan

dibatasi kaca- kaca. e) Kapasitas tempat tidur dilengkapi alat-alat khusus f) Tempat tidur harus yang beroda dan dapat diubah dengan segala posisi. g) Petugas maupun pengunjung memakai pakaian khusus bila memasuki ruangan isolasi. h) Tempat dokter & perawat harus sedemikian rupa sehingga mudah untuk mengobservasi pasien
3) Sarana & Prasarana yang harus ada di ICU

Lokasi : satu komplek dengan kamar bedah & Recovery Room RS dengan jumlah pasien lebih 100 orang sedangkan untuk R.ICU antara 1-2 % dari jumlah pasien secara keseluruhan.

45

Bangunan : terisolasi dilengkapi dengan : pasienmonitor, alat komunikasi, ventilator, AC, pipaair, exhousefan untuk mengeluarkan udara, lantai mudah dibersihkan, keras dan rata, tempat cuci tangan yang dapat dibuka dengan siku & tangan, v pengering setelah cuci tangan

R.Dokter & R. Perawat R.Tempat buang kotoran R. tempat penyimpanan barang & obat R. tunggu keluarga pasien R. pencucian alat Dapur Pengering setelah cuci tangan R.Tempat buang kotoran R. tempat penyimpanan barang & obat Sumber air Sumber listrik cadangan/ generator, emergency lamp Sumber O2 sentral Suction sentral Almari alat tenun & obat, instrument dan alat kesehatanAlmari pendingin (kulkas)Laborat kecil Alat alat penunjang a.l.: Ventilator, Nabulaizer, Jacksion Reese, R.Dokter & R. Perawat

Monitor ECG, tensimeter mobile, Resusitato, Defibrilator, Termometer electric dan manual,Infus pump, Syring pump,O2 transport,

CVP, Standart infuse, Trolly Emergency,Papan resusitasi,Matras anti decubitus, ICU kid, Alat SPO2, Suction continous pump dll. 4) Indikasi pasien masuk ICU : a) Pasien sakit berat kritis, pasien tidak stabil b) Pasien yang memerlukan pemantauan intensif c) Pasien yang mengalami komplikasi akut 5) Tidak perlu masuk ICU 1. Pasien mati batang otak 2. Pasien menolak

46

3. Pasien yang secara medis tidak ada harapan misalnya usila dengan gagal 3 organ / lebih 6) Indikasi keluar ICU

dapat disembuhkan,

a) Tidak memerlukan lagi terapi intensif karena membaik atau memburuk dan manfaat terapi sangat kecil b) Bila dalam pemantauan intensif, pasien telah stabil 7) Terapi intensif tidak bermanfaat pada : a) Pasien usila dengan gagal 3 organ / lebih b) Pasien mati batang otak atau koma yang menimbulkan keadaan yang vegetatif c) Pasien dengan bermacam diagnosis seperti : PPOM, jantung terminal, Ca metastasis. 8) Keberhasilan terapi a) Usia pasien b) Riwayat penyakit sebelumnya 9) Keadaan penyakit sekarang a) Respons terhadap terapi b) Lingkungan sosial pasien c) Kualitas hidup pasien di masa depan

47

BAB III TINJAUAN KASUS A. Pengkajian 1. Identitas pasien Nama No. RM Umur Jenis kelamin Alamat Agama Pekerjaan Tanggal Operasi 2. Keluhan Utama 3. Anamnesa : Ny. N : A140522 : 30 Tahun : Perempuan : Cijengkol RT 01 RW 08, Sukabumi : Islam : Ibu rumah tangga : 5 Januari 2013 : Mules- mules yang berlebihan : Klien mengaku hamil 9 bulan.

Mengeluh mules-mules, keluar air jam 01.00 WIB, gerakan janin dirasakan 4. Riwayat Penyakit Dahulu : Tidak ada

4.

Keterangan Pre Operatif Kesadaran Keadaan Berat Badan Tinggi Badan DJJ : Compos Mentis : Tampak sakit sedang : 50 kg : 150 : 152 x/menit

5.

Pemeriksaan Penunjang Hasil Laboratorium Pemeriksaan Hemoglobin Leukosit : Hasil 10,7 gr/dl 15100/ul Nilai normal 12-16 gr/dl 4000-9000/ul

48

Hematokrit Trombosit Golongan Darah

30,6 % 146000/ul O

35 45 % 150000 350000/ul

6. Diagnosa Kerja

: G4P3A0 letak sunsang + KPD + PSR : status fisik pasien preanestesi, pasien tersebut

7. Rencana Pelaksanaan/ Tindakan : Secsio Caesaria 8. Kesimpulan Berdasarkan

diklasifikasikan kedalam ASA II Emergensi (pasien dengan kelainan sistemik ringan dan tidak mengganggu aktivitas sehari-hari) dan akan dilakukan tindakan Secsio Caesaria. B. Penatalaksanaan Anestesi 1. Preoperatif a. Persiapan dan pengecekan alat a) Persiapan spinal anestesi Spinal needle Spuit Handscoen Steril Kassa steril Bethadine b) Persiapan General anestesi S : Scope (Stetoscope + Laringoscope dengan blade no.3) T : Tube (ETT ukuran 6,0 ; 6,5 ; 7,0 kemudian mengecek balon apakah bocor atau tidak) A : Airway (Oroparingeal Airway) T : Tape (Plester) I : Introducer (Mandrin) C : Conector S : Suction Spuit 10 cc kosong : No 25, 26, 27 : 5 cc : No 7

49

Forcep magiil Facemask (ukuran 3) Mesin anestesi O2 dan N2O :

b. Persiapan obat a) Obat Premedikasi

Ondancentron 4 mg Ranitidine 50 mg : Bupivacaine 0,5 % :

b) Spinal Anestesi c) General anestesi Induksi Analgetik Hipnotik Relaksan Maintanance Isoflurance N2O O2 c. Persiapan pasien

: Petidin 50 mg : Propofol 100 mg ; Midazolam 5 mg : Noveron 20 mg ; Atracurium 10,5 mg

a) Mengganti baju pasien dengan baju khusus OK b) Serah terima pasien antara perawat ruangan dengan perawat bedah c) Anamnesa pasien (identitas, alergi obat, puasa, memakai gigi palsu atau tidak, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit sekarang, kebiasaan sehari-hari, dan pekerjaan. d) Periksa hasil pemeriksaan penunjang seperti hasil laboratorium, dll e) Memastikan inform consent, SIO (+), SIA (+) yang telah disepakati.

50

2. Intraoperatif a. Pukul 11.45 pasien masuk ke ruangan operasi, diposisikan di atas meja operasi dengan posisi supine. Kemudian memastikan infus yang terpasang pada pasien lancar. b. Kemudian diukur tekanan darah, nadi, respirasi, dan saturasi, yaitu: Tekanan Darah : 105/64 Nadi Respirasi : 75 x/menit : 22 x/menit

Saturasi (SPO2) : 98 % c. Pasien diberikan premedikasi Ondansetron 4 mg dan Ranitidin 50 mg secara intravena d. Pukul 11.50 WIB dilakukan spinal anestesi pada lumbal 3 - 4 dengan Bupivacaine 0,5 % dan menggunakan spinal needle no. 27 e. Kemudian dilakukan pembedahan pukul 12.00 WIB, bayi keluar pukul 12.05 WIB. Bayi keluar menangis dengan BB : 3,01 kg TB : 46 cm. f. Monitoring tanda-tanda vital setiap 15 menit sekali Waktu 11.45 12.00 Tekanan Darah 105/64 102/55 Nadi 75 x/menit 77 x/menit Cairan RL 500 cc RL 500 cc + Chrome 50 mg + As. Traneksamat 500 mg + Oksitocin 10 iu 12.15 12.30 12.45 96/44 102/57 130/67 79 x/menit 85 x/menit 98 x/menit Widahes 500 cc RL 500 cc

Pengeluaran cairan (urin) selama operasi 300 cc. Setelah tindakan SC dilakukan, ternyata ditemukan adanya myoma uteri dan dilakukan tindakan Histerektomy maka dilakukan inform consent tentang anestesi dan pembedahan kepada pasien dan

51

keluarga. Setelah mendapat persetujuan dari pasien dan keluarga, pada pukul 12.45 dilakukan tindakan general anestesi. a. Induksi pukul 12.45 WIB a) Analgetik b) Hipnotik : Pethidine 50 mg : Propofol 100 mg

Setelah pasien tertidur, dibuktikan dengan hilangnya refleks bulu mata, dipasang sungkup yang telah tersambung dengan mesin anestesi yang menghantarkan gas isoflurance 2 V%, N2O 3 lpm dan O2 c) Relaxan 4 lpm dari mesin ke jalan nafas pasien sambil melakukan bagging. : Noveron (rocuronium) 20 mg

Lakukan bagging selama 2 menit untuk menunggu onset dari Noveron d) Kemudian dilakukan intubasi dengan menggunakan ETT no. 6,5 dilakukan assisted (bagging) untuk membantu nafas pasien b. Monitoring TTV Waktu TD Nadi Tangan Kiri Widahes NaCl + 13.15 55/20 90 dopamine 50 mg 13.30 13.45 14.00 14.15 95/44 120/45 111/42 119/50 130 95 95 125 Cairan Tangan Kanan RL + chorme + as. traneksamat Widahes Gelafusal + epinefrin Gelafusal RL -

(mmHg) (x/menit) 130/67 120/60 98 98

Kaki Kanan

12.45 13.00

RL RL + chorme + As. Traneksamat + vit. K 52

14.30 14.45 15.00

115/48 103/42 117/55

100 100 120

c. Setelah tindakan histerektomi selesai, dengan perdarahan 2000 cc. Pasien masih dalam keadaan terintubasi dengan napas telah spontan tapi belum adekuat, bantuan nafas dengan kontrol menggunakan Jackson rees dan oksigen. Setelah ICU siap dengan ventilator dan alat monitoring lainnya, pasien dibawa ke ICU.

3. Postoperative a. Tanggal 5 Januari 2013 pukul 14.35 pasien sampai di ICU kemudian di pasang ventilator, alat- alat monitoring seperti pengukur tekanan darah (tensi meter), pulseoxymetri, dan peralatan EKG. b. Instruksi pasca bedah : Pemberian O2 dengan ETT no. 6,5 Tranfusi sampai Hb 8 gr/dl Rl : D5 2 : 1 30 gtt/ menit Cefotaxime 2 x 1 Metronidazol 3 x 500 Ketoprofen 2 x 1 amp Puasa Observasi KU, TTV, Diuresis c. Kemudian dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium. d. Pukul 16.30 didapatkan hasil sebagai berikut: Pemeriksaan Hemoglobin Leukosit Hematokrit Trombosit Hasil 4,4gr/dl 31700/ul 12,1% 143000/ul Nilai normal 12-16 gr/dl 4000-9000/ul 35 45 % 150000 350000/ul

53

e. Pukul 17.53 dilakukan tranfusi dengan whole blood segar 700 ml dan pukul 19.00 WIB whole blood biasa 750 ml. f. Pukul 09.00 dilakukan pemeriksaan laboratorium kembali dengan hasil : Pemeriksaan Hemoglobin Leukosit Hematokrit Trombosit Hasil 7,0 gr /dl 19900/ul 21% 155000/ul Nilai normal 12-16 gr/dl 4000-9000/ul 35 45 % 150000 350000/ul

g. Monitoring kesadaran, observasi tanda-tanda vital tiap 1 jam seperti : tekanan darah, Heartrate, saturasi, respirasi, suhu, EKG dan ventilator. Pasien dipuasakan dengan terapi obat : cefotaxime 2 x 1 , metronidazole 3 x 500, ketoprofen 2 x 1 ampul. h. Tanggal 6 Januari 2013 setelah keadaan umumnya membaik, pasien di ekstubasi. i. Tanggal 7 Januari 2013 pasien dipindahkan ke ruangan Mawar Merah j. Tanggal 10 Januari 2012 pasien diperbolehkan pulang

54

BAB IV PEMBAHASAN A. Kesenjangan Antara Teori dengan Kasus yang Dikaji Pada kasus yang telah dikaji pada Ny. N dengan diagnosa pra-bedah G4P3A0 atas indikasi letsu + KPD + PSR yang dilakukan pada tanggal 5 Januari 2013 ada kesenjangan antara teori dan kasus diantaranya : 1. Persiapan Klien di Unit Perawatan a. Status Nutrisi Pengukuran status nutrisi ditentukan dengan mengukur tinggi badan dan berat badan, lipat kulit trisep, lingkar lengan atas, kadar protein darah (albumin dan globulin) dan keseimbangan nitrogen. Namun pada kasus yang dikaji tidak terdapat penilaian status nutrisi dikarenakan adanya anggapan bahwa pengecekan status nutrisi pasien sebelum operasi kurang penting dan minimnya pemahaman mengenai hal tersebut. Hal ini merupakan kebiasaan yang harus diperbaiki dari segi SDM-nya. b. Latihan Pra-Operasi Maksud dari latihan pra-operasi disini adalah latihan nafas dalam, batuk elektif dan gerak sendi yang tidak diberikan pada klien calon operasi. Untuk itu diharapkan melakukan latihan agar mengurangi penumpukan sekret serta sesak pada pasien selama operasi.

Ketersediaan alat seperti bengkok, diharapkan mampu mendukung tindakan ini. 2. Persiapan Penunjang Hanya terdapat pemeriksaan Hb, Leukosit, Hematokrit dan Trombosit sedangkan untuk kepentingan operasi diperlukan juga penilaian Ureum, Kreatin, Gula darah sewaktu, waktu perdarahan dan

55

waktu pembekuan darah pasien. Telah terlaksana, akan tetapi masih memerlukan pemahaman dan ketelitian tentang kondisi pasien. 3. Persiapan Klien di Kamar Operasi Secara umum persiapan klien di kamar operasi sudah sesuai dengan teori yang ada namun pada kasus yang dikaji terdapat beberapa kesenjangan yang dapat berakibat fatal pada klien di kamar operasi, diantaranya : a. Pada saat pasien masuk ke kamar operasi, infus yang terpasang dari ruangan pada tangan kiri pasien masih menggunakan IV no 20 dan tidak lancar sehingga untuk menghindari dehidrasi dilakukan penambahan pemasangan IV catheter dengan nomor 18 pada tangan kanan dan kaki kanan. Untuk itu, penting diadakan diskusi antara perawat ruangan dengan petugas anestesi mengenai pemenuhan kebutuhan cairan salah satunya dengan pemasangan IV catheter dan tranfus set, sehingga mampu meringankan tindakan operasi. b. Pada saat operasi berlangsung terdapat kesalahan pada komunikasi tentang ketersediaan darah transfusi pasien yang seharusnya telah disiapkan ketika pasien masuk ke kamar operasi. Hal ini akan teratasi jika ada pendokumentasian mengenai sedia darah. 4. Pasien Post-Operasi Letak antara PACU, OK, dan ICU yang biasanya berdekatan dan berada dalam satu komplek untuk mempermudah akses bagi perawat dalam pemindahan dan monitoring pasien pasca operasi. Disini letak PACU dan OK memang telah sesuai dengan teori namun letak OK dengan ICU masih cukup jauh sehingga kesulitan dalam pemindahan pasien pasca operasi terutama bagi pasien dengan keadaan yang gawat. Jalan menuju PACU maupun ICU diusahakan datar sehingga tidak mengganggu hemodinamik pasien, terutama pasien dalam keadaan syok berat yang akan memperberat kerja tubuh pasien.

56

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Penanganan perioperatif pada kasus emergensi yakni sectio caesaria dengan indikasi KPD+PSR+adanya mioma uteri (diketahui setelah tindakan pembedahan sectio caesaria berlangsung) telah terwujud dengan baik, sebagian besar sesuai dengan teori yang ada, dan berdasarkan pengalaman masing-masing tenaga yang berkompeten dibidangnya, tentu disesuaikan dengan kondisi dan sarana yang telah tersedia. Hal- hal yang harus diperhatikan : Dilakukan perbaikan keadaan umum seoptimal mungkin sepanjang tersedia waktu. Dilakukan pemeriksaan laboratorium standard atau pemeriksaan penunjang yang masih mungkin dapat dilakukan. Pada operasi darurat, dimana tidak dimungkinkan untuk menunggu sekian lama, maka pengosongan lambung dilakukan lebih aktif dengan cara memasang pipa nasogastrik. Dilakukan induksi dengan metode rapid squence induction. Pemeliharaan anestesi dan monitoring. Komplikasi dari post operatif jarang terjadi, hal ini didukung dengan kerjasama yang baik antara tenaga medis dan bagian penyedia layanan. B. Saran Akan lebih baik lagi, jika dari ruang perawatan, pemenuhan kebutuhan cairan pasien diperhatikan dari hal-hal yang pokok seperti pemasangan IV Catether no.18 beserta tranfus set. Sehingga jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti syok hipovolemik, pasien mampu bertahan dengan baik sampai kebutuhan pokok serta tindakan operasinya terpenuhi dengan segera. Komunikasi dengan memaksimalkan pendokumentasian dan keterangan yang jelas mengenai kondisi pasien dari masing-masing bidang garapnya, harus diketahui setiap tenaga medis dan perawat agar terjadi

kesinambungan yang baik. Hal ini berhubungan dengan kondisi pasien yang gawat.

57

DAFTAR PUSTAKA 1. 2. Prawiharjo, Sarwono. Ilmu kebidanan. Ed.4. Jakarta: Bina Pustaka. Yumizone. Histerektomi. November 2008. Diakses tanggal 20 Januari 2013. http://yumizone..wordpress.com/2008/11/23/histerektomi/. 3. Said A. Latief, Kartini, M. Ruswan Dachlan. Petunjuk Praktis Anestesiologi ed. 2. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas indonesia Jakarta. 2002. 4. Marc Wrobel, Marco Werth. Pokok-Pokok Anestesi. Penerbit buku kedoktean EGC.Homburg 2008. 5. Soerasdi H Erassmus, dr. SpAn., KIC. Buku Saku Obat Obat Anesthesia Sehari hari . Bandung. 2011. 6. Sota Omoigui. Obat-obatan Anestesi edisi 2. Penerbit buku kedokteran EGC.2008. 7. Yuswana.2005.Farmakologi Obat-Obat Anestesi dan Obat-Obat Bantuan Dalam Anestesi.Bandung. 8. Ashadi, T., 2001, Terapi Cairan Intravena (Kristaloid) Pada Syok Hipovolemik, online (terdapat pada) : http://www.tempo.co.id/medika/arsip/012001/sek-1.htm. 9. Materi Pelatihan perawat intensive Care Unit (ICU) tingkat dasar, Instalasi Rawat Intensif & Reaminasi SMF Anestesiologi & Reaminasi RSU Dr. Soetomo bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Jawa Timur.: RSU Dr. Soetomo. Surabaya.

58

Anda mungkin juga menyukai