Anda di halaman 1dari 26

4 DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN

4.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian 4.1.1. Batas Administrasi TNS Lokasi TN Sembilang terletak sekitar 1o53 dari garis equator ke selatan dimana hal ini akan menentukan suhu konstan (26-28oC) yang relatif tinggi terhadap kawasan. Kedekatannya dengan garis equator akan sangat berpengaruh terhadap tingkat kesuburan mangrove maupun kandungan biomassa pada habitat ini. Secara geografis, wilayah TN Sembilang berada pada koordinat 104o11104o94 Bujur Timur dan 1o53-2o27 Bujur Selatan. Secara administratif berada pada wilayah Kecamatan Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Luas kawasan TNS mencakup 202.896,31 ha (berdasarkan SK Menteri Kehutanan No 95/Kpts-II/2003, tanggal 19 Maret 2003) yang sebagian besar mencakup hutan mangrove di sekitar sungai-sungai yang bermuara di teluk Sekanak dan teluk Benawang, Pulau Betet, Pulau Alagantang, Semenanjung Banyuasin serta perairan di sekitarnya. Batas-batas kawasan Taman Nasional Sembilang adalah sebagai berikut : Sebelah Utara : Berbatasan dengan Desa Tanah Pilih dan Sungai Benu (sebagian ruas sungainya dijadikan batas alam antara Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Jambi) Berbatasan dengan Selat Bangka, Sungai Banyuasin dan Calon Pelabuhan Tanjung Api-Api. Berbatasan dengan Sungai Banyuasin, Sungai Air Calik, Sungai Lalan, Desa Tabala Jaya, Desa Majuria, Desa Jatisari, Desa Sungsang IV, Perkebunan PT. Citra Indo Niaga dan PT. Raja Palma. Berbatasan dengan Hutan Produksi yang belum dibebani hak dan yang sudah dibebani hak yakni PT. Rimba Hutani Mas, PT. Sumber Hijau Permai, kawasan transmigrasi Karang Agung (Kabupaten Musi Banyuasin).

Sebelah Timur : Sebelah Selatan:

Sebelah Barat :

4.1.2. a.

Kondisi Biofisik

Sistem Pesisir Kondisi geografis wilayah penelitian dianalisis diperoleh berdasarkan informasi

dari berbagai pustaka yang ada serta berdasarkan verifikasi tinjauan lapangan. Dari hasil komparasi tersebut menunjukkan bahwa wilayah studi merupakan suatu sistem pesisir yang didominasi arus pasang surut. Umumnya berasosiasi dengan situasi estuaria yang mendapat pasokan sedimen dari aliran sungai ke pesisir kemudian diredistribusi oleh arus pasang surut. Karaktersitik ini lebih dikenal sebagai estuarine delta. Oleh karena

104

itu untuk wilayah studi Taman Nasional Sembilang (TNS) dan sekitarnya dapat juga dikatakan sebagai wilayah Delta Estuaria Sembilang. Estuarine delta yaitu estuaria yang didominasi arus pasang surut dan semi tertutup yang mempunyai hubungan bebas dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar dari daratan. Berdasarkan pola sirkulasi dan stratifikasi air, kawasan ini masuk kategori estuaria berstratifikasi parsial. Kategori ini merupakan tipe umum dijumpai pada hilir sungai-sungai yang berada pada kawasan TN Sembilang. Aliran air tawar dari sungai-sungai di kawasan ini seimbang dengan air laut yang masuk melalui arus pasang. Pencampuran air sungai dan air laut ini terjadi karena adanya turbulensi yang berlangsung secara berkala oleh adanya gerakan pasang surut Selat Bangka. Berdasarkan klasifikasi delta menurut Haslett (2001:112) serta berdasarkan

pengamatan lapangan menunjukkan bahwa kawasan TN Sembilang memiliki morfologi estuarine delta yang mendapat pasokan sedimen dari aliran sungai ke pesisir kemudian diredistribusi oleh arus pasang surut. Kanal-kanal di kawasan TN Sembilang relatif tidak stabil, mengikuti pasokan arus pasang surut, sehingga untuk masuk ke dalam kawasan ini harus menunggu arus pasang naik (pasang induk). Terdapat banyak sungai yang mengalir ke kawasan TN Sembilang yang memberikan kontribusi pada formasi habitat estuaria. Beberapa diantaranya yaitu : di bagian selatan terdapat Sungai Lalan, Sungai Calik dan Sungai Bungin. Di bagian tengah terdapat Sungai Sembilang, Sungai Benawang, Sungai Ngirawan dan Sungai Terusandalam dan di bagian utara terdapat Sungai Benu dan Sungai Benu Kiri.

Terbesar adalah Sungai Sembilang dengan rata-rata lebar 777 m, kedalaman 18,56 m dengan kecepatan 0,11 m s-1, dan debit rata-rata 2.335 m3 s-1. Substrat sungai adalah organik pada bagian hulu, sedangkan pada bagian hilir substrat liat. Substrat pantai terdiri atas partikel lumpur yang tersuspensi dalam air sungai dan sebagian adalah substrat pasir. Di daerah berarus deras, substrat yang tertinggal berupa substrat halus. Salinitas air sungai pada kawasan ini rata-rata berkisar antara 1,5 24,33 ppt. Kondisi tersebut akan membentuk tingkat kesuburan estuaria yang selanjutnya akan sangat mempengaruhi tingkat kesuburan biota khususnya hutan mangrove. Gerakan pasang surut seringkali antara 1,6 dan 2,8 meter bahkan dapat mencapai 3,5 meter selama pasang besar (Danielsen & Verheught 1990 in WIIP 2001). Dampak pasang surut mencapai hingga jauh ke daratan, mempengaruhi hampir seluruh bagian kawasan konservasi. Tipe pasang surut di sekitar Sembilang terjadi pada siang hari, yaitu hanya satu terdiri dari satu kali pasang naik dan satu kali surut harian (tipe D).
104

105

Legenda Tipe A Tipe B Tipe C Tipe D Semi-diurnal Mixed tide, umumnya semi-diurnal Mixed tide, umumnya diurnal Diurnal

Gambar 23 Distribusi tipe pasang surut di sekitar Sumatera (WIIP 2001) b. Kondisi Iklim Kondisi iklim kawasan pesisir TNS merupakan iklim tropis dengan rata-rata curah hujan per tahun sekitar 2.455 mm dengan jumlah bulan basah 6 bulan dan jumlah bulan kering 6 bulan. Musim kering terjadi pada bulan Mei-Oktober, sedangkan musim hujan dengan angin baratdaya yang kuat terjadi pada bulan November-April. Data iklim dari Stasiun Badan Meterologi dan Geofisika terdekat (Statsiun Sungsang) dengan kawasan TN Sembilang menunjukkan dimana rata-rata Curah Hujan bulanan sebesar 205 mm. Sementara itu rata-rata Hari Hujan adalah 11 dengan rata-rata suhu bulanan sebesar 27,3 oC. Kondisi iklim di wilayah penelitian, secara rinci disajikan pada Tabel 12 dan Gambar 24.

Zona A Zona B

Zona C Zona D

B C

Zona E

Gambar 24 Zona iklim Sumatera (menurut Oldeman dan Whitten in WIIP 2001)

105

Tabel 12 Kondisi iklim di wilayah Taman Nasional Sembilang


Thn/Bln JANUARI FEBRUARI CH HH CH HH 251 17 139 15 309 18 253 19 245 13 292 18 139 9 218 11 207 13 165 13 416 21 190 15 234 15 149 10 326 22 217 11 230 15 208 14 321 14 185 13 258 16 285 13 312 15 180 14 247 11 260 13 339 15 325 14 245 16 217 13 272 15 219 14 1 1 MARET CH HH 307 12 240 13 280 14 319 14 272 21 308 19 139 7 237 17 296 17 330 15 353 17 345 17 160 12 75 7 205 14 258 14 1 APRIL MEI CH HH CH HH 338 14 83 9 267 13 201 11 231 11 53 6 336 15 215 11 282 13 177 11 249 12 81 7 451 23 107 8 217 23 145 9 276 9 224 8 327 14 139 5 201 12 188 7 321 13 132 8 207 9 244 12 326 14 138 8 349 21 314 15 292 14 163 9 1 0 JUNI CH HH 78 0 199 12 271 13 65 6 137 7 165 9 212 11 171 9 198 10 97 8 101 9 92 8 223 10 80 7 157 11 150 9 0 JULI AGUSTUS SEPTEMBER OKTOBER NOPEMBER DESEMBER CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH 151 9 0 0 10 0 47 0 157 11 309 12 79 8 143 8 73 6 195 9 231 16 336 13 173 11 99 6 126 9 262 11 314 18 294 11 6 2 4 1 0 0 6 2 124 9 330 13 206 11 119 7 214 11 137 9 210 12 336 14 114 9 75 6 54 3 270 9 322 18 332 13 83 7 136 7 99 8 308 12 267 14 342 15 78 6 141 9 131 9 229 12 321 18 354 17 93 10 128 8 182 10 217 11 251 15 211 12 111 9 39 3 249 11 208 10 212 15 329 15 89 7 87 6 199 10 158 9 233 18 229 11 104 9 33 3 243 12 319 16 207 15 330 19 232 11 51 4 104 7 54 6 322 19 239 18 202 11 79 6 101 7 204 10 277 18 359 21 151 9 5 2 123 8 258 14 516 25 449 24 125 9 76 5 127 7 191 9 264 16 319 15 0 0 0 0 1 1 Jml CH 1870 2526 2640 1762 2462 2576 2527 2567 2514 2547 2381 2618 2343 2505 2987 2455 Jml HH 99 146 141 93 142 141 137 162 139 132 135 149 132 138 172 137 Rerata CH 156 211 220 147 205 215 211 214 210 212 198 218 195 209 249 205 Rerata HH 8 12 12 8 12 12 11 14 12 11 11 12 11 12 14 11

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Rerata B.Basah B.Kering 0 Hasil Analisis : Jumlah Bulan Basah Jumlah Bulan Kering

0
: : 6 6

0
Keterangan : CH HH

1
: Curah Hujan (mm) : Hari Hujan

Sumber

: Stasiun Meteorologi dan Geofisika Sungsang, Tahun 2009.

107

Menurut Oldeman & Whitten in WIIP (2001) dimana kondisi iklim ini dapat dikategorikan sesuai dengan Zona C : yaitu 5 hingga 6 bulan berturut-turut bulan basah dan 4 bulan hingga 6 bulan berturut-turut bulan kering. Iklim ekstrim pernah terjadi pada kawasan ini yaitu iklim El Nino pada tahun 1997. Kondisi iklim ini menyebabkan kekeringan terutama pada wilayah bagian barat TNS, sehingga terjadi kebakaran hutan pada beberapa spot di TNS. c. Kondisi Geologi Tinjauan pustaka geologis (WIIP 2001) menunjukan bahwa TN Sembilang merupakan bagian dari lahan rawa yang lebih luas dengan formasi sedimen Palembang. Selama era Pleistocene, kawasan tersebut terdapat pada tepi lempeng Sunda, dan pada era Holocene kawasan tersebut mencerminkan propagasi deltaik setelah digenangi air akibat naiknya muka air laut sebagai dampak dari temperatur bumi yang semakin meningkat. Peta geologi Jambi dan Palembang skala 1:250.000 menunjukkan bahwa kawasan TN Sembilang tergolong pada formasi kuarter yang terdiri dari endapan rawa dan endapan alluvial. Secara geomorfologis, kawasan TN Sembilang meliputi tiga satuan lahan, yaitu : (1) satuan lahan marin yang terbentuk dari bahan-bahan yang dibawa oleh gerakan pasang surut dan sungai, terdapat pada bagian timur kawasan, (2) satuan lahan alluvial yang terbentuk dari sedimen sungai dan tergenang secara musiman, terdapat pada bagian tengah kawasan, dan (3) satuan lahan gambut yaitu wilayah rawa dengan bahanbahan organik pekat, terdapat di bagian barat kawasan. Sistem satuan lahan marin pada kawasan TN Sembilang meliputi : (1) pantai pesisir yang terdiri dari : pantai lumpur, pantai pasir, dan beting pasir, (2) dataran pasang surut kearah tengah kawasan yang terdiri dari : dataran pasir pasang surut, dataran lumpur pasang surut, dan rawa pasang surut bagian belakang. Sementara itu wilayah rawa pada kawasan TN Sembilang kearah barat terdiri dari : zona pasang surut payau, zona pasang surut air tawar, dan zona non pasang surut. Kawasan ini datar, dengan ketinggian antara 0 dan 20 meter diatas permukaan laut. Variasi pasang surut mencapai 3,5 meter (Danielsen & Verheught 1990, Verheught 1995 in WIIP 2001). Saat ini, kawasan pesisir TN Sembilang didominasi arus pasang surut (tidedominated delta), tertutupi tanah liat marin muda dan sedimen sungai yang masuk pada kawasan ini. Sebagian besar didominasi oleh sedimen alluvial, termasuk sedimen marin dan sedimen organik di pesisir, dan deposit organik yang biasanya sebagai kubah gambut jauh di daratan. Kubah gambut terdalam terdapat di dekat perbatasan provinsi Jambi, tepatnya di antara Sungai Terusan Dalam dan Sungai Benu. Elevasi kawasan TN Sembilang berkisar antara 0 hingga 20 m dpl, dengan variasi pasang surut hingga 3,5 m

108

(Danielsen & Verheught 1990 in WIIP 2001). Rendahnya elevasi ini menyebabkan rendahnya kecepatan arus sungai yang mengalir pada kawasan ini. Tanah umumnya terdiri dari histosol (termasuk typic haplohemists, typic hydraquents, typic sulfaquents, histic sulfaquent, sodic psammaquents) dan inceptisol (termasuk sulfic endoaquepts dan typic sulfaquepts). Tanah Histosol (gambut) dalam bahasa Yunani disebut histos (jaringan). Tanah ini dibentuk dalam lingkungan jenuh dengan air, juga merupakan tanah yang terbentuk dari pelapukan bahan organik dalam keadaan tergenang. Jika sistem drainase kurang baik dan ekploitasi berlebih, cenderung menghilangkan bentuk asal jaringan tumbuhan yang terdapat dalam bahan organik. Tanah gambut umumnya memiliki kesuburan yang rendah, ditandai dengan pH rendah (masam), ketersediaan sejumlah unsur hara makro (K, Ca, Mg, P) dan mikro (Cu, Zn, Mn, dan Bo) yang rendah, mengandung asam-asam organik yang beracun serta memiliki Kapasitas Tukar Kation (KTK) yang tinggi tetapi Kejenuhan Basa (KB) rendah. Typic Haplohemist merupakan gambut dengan tingkat kematangan hemist (setengah matang) sebagian bahan telah mengalami pelapukan dan sebagian lagi berupa serat, memiliki pH rendah. Bila diperas dengan telapak tangan dalam keadaan basah, gambut agak mudah melewati sela-sela jari dan kandungan serat yang tertinggal di dalam telapak tangan pemerasan adalah antara kurang dari tiga perempat sampai seperempat bagian atau lebih (1/4 dan < 3/4). Tanah Inceptisol merupakan jenis tanah mineral muda, karena profilnya mempunyai horison yang dianggap pembentukannya agak cepat sebagai hasil alterasi bahan induk. Horison-horisonnya tidak memperlihatkan hasil hancuran ekstrim. Horison timbunan liat dan besi dan almunium oksida tidak terdapat dalam golongan ini. Tanah-tanah yang dulunya dikelaskan sebagai Hutan Coklat, Ando, dan Tanah Asam Coklat merupakan wakil-wakil dari golongan ini. Beberapa tanah yang berguna bagi pertanian digolongkan dengan tanah-tanah yang tingkat produktivitasnya terhambat, karena faktor-faktor seperti drainase yang tidak sempurna. Produktivitas alamiah Inceptisol sangat beragam. Sebagian besar tanah Inceptisol di Indonesia digunakan untuk pertanian padi sawah. Fluvaquentic Endoaquepts merupakan jenis tanah sungai yang berair dengan rezim Inceptisol yang terbentuk dari endapan tanah kroma < 2. d. Kondisi Ekosistem Mangrove Kawasan mangrove di Sembilang ditetapkan sebagai kawasan hutan tetap

kelembaban aquik (jenuh air > 30 hari), memiliki kedalaman firit > 50 cm dengan

dengan fungsi hutan konservasi sebagai Taman Nasional, berdasarkan Keputusan

109

Menteri Kehutanan No. 95/Kpts-II/2003 tanggal 19 Maret 2003, dengan luas 202.896,31 ha. Namun demikian berdasarkan Perda Provinsi Sumatera Selatan Nomor 5 tahun 1994 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), kawasan ini memiliki luas 205.750 ha yang pada awalnya merupakan penggabungan dari kawasan Suaka Margasatwa (SM) Terusan Dalam (29.250 ha), Hutan Suaka Alam (HSA) Sembilang seluas 113.173 ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT) Sungai Terusan Dalam seluas 45.500 ha dan kawasan perairan seluas 17.827 ha. Kawasan TN sembilang didominasi ekosistem mangrove yang masih utuh sekitar 87.000 ha (TNS 2009). Meluas ke arah darat hingga 35 km menjadikan kawasan mangrove ini terluas di Indonesia bagian barat. Keseluruhannya terdapat sekitar 17 spesies mangrove yang ditemukan, yaitu 43% dari seluruh spesies mangrove yang ada di Indonesia, meliputi Sonneratia alba, Avicennia marina (langsung di garis pantai); Rhizophora mucronata, R. apiculata, Bruguiera gymnorhiza, dan Xylocarpus granatum (jauh ke daratan pada tanah dengan salinitas rendah dan padat). Berdasarkan pengamatan lapangan dan tinjauan pustaka menunjukkan bahwa secara umum tutupan vegetasi pada kawasan ini dapat dibedakan atas beberapa zonasi sebagai berikut. 1) Zona Pedada (Sonneratia alba Avicennia sp) Zona ini merupakan zona terluar dengan variasi ketebalan antara 100-500 meter. Pada bagian terluar ditempati oleh perepat/pedada (Sonneratia alba), kemudian disusul dengan api-api (Avicennia sp). Umumnya berada pada zona inti sekitar Pulau Alanggantang, muara Sungai Benawang, muara Sungai Ngirang, terus menyusuri ke utara pantai timur, muara Sungai Terusandalam dan Pulau Betet. Populasi Sonneratia sp yang cukup besar dijumpai di daerah muara yang berlumpur di Sungai Bakorendo hingga Sungai Tiram. 2) Zona Bakau (Rhizophora sp) Zona ini terdapat pada sebagian besar sepanjang saluran-saluran sungai terutama di Sungai Sembilang ke arah sekitar Sungai Bungin dan Acanthus illicifolius dan Sembilang dan sekitarnya illicifolius. 3) Zona Peralihan Vegetasi hulu sungai. Pada stratum tumbuhan bawah, daerah sebagian besar daerah semenanjung ditumbuhi jenis Achrostichum aureum. Sedangkan daerah Sungai sampai ke utara sangat sedikit dijumpai Acanthus

Zona peralihan vegetasi pada ekosistem mangrove dengan jenis vegetasi yang cukup bervariasi antara api-api (Avicennia sp), pedada (Sonneratia sp), bakau (Rhizophora sp), tancang (Bruguiera gymnorriza), Nyirih (Xylocarpus granatum), dan nipah (Nypa fruticans).

110

4) Zona Nipah (Nypa fruticans) Zona ini merupakan yang paling luas menempati ruang kawasan TN Sembilang, yaitu pada daerah hulu sungai yang pengaruh pasangnya lebih kecil. Seringkali populasi nipah menutupi area lebih dari 50%. Tumbuhan lain yang sering tumbuh bersama nipah antara lain lain Exoecaria agallocha dan Xylocarpus granatum. 5) Zona Nibung (Oncosperma tigillarium) Zona nibung merupakan zona mangrove air tawar dengan spesies indikator antara lain Alstonia pneumatophora dan nibung (Oncosperma tigillarium). Komunitas nibung merupakan ecotone antara komunitas mangrove (nipah) dengan komunitas hutan rawa. Belum ada data ekologi kuantitatif untuk komunitas hutan rawa di kawasan TN Sembilang. Studi oleh Samingan (1980) in WIIP (2001) menunjukkan bahwa untuk komunitas swamp forest di sekitar Karang Agung, spesies yang dominan di strata pohon adalah Ganua motleyana, diikuti oleh Polyalthia laterifolia, Lophopetalum beccarianum dan Xylopia sp. Zona vegetasi dan spesies indikator di kawasan TN Sembilang disajikan pada Tabel 13. Tabel 13
No 1

Zona vegetasi dan spesies indikator di kawasan TN Sembilang


Spesies indikator Sonneratia alba dan Avicennia sp). Lokasi Pulau Alanggantang, muara Sungai Benawang, muara Sungai Ngirang, muara Sungai Terusandalam dan Pulau Betet, muara Sungai Bakorendo hingga Sungai Tiram. Daerah Sungai Bungin, Sungai Sembilang dan sekitarnya Zona peralihan vegetasi pada ekosistem mangrove dengan jenis vegetasi yang cukup bervariasi antara api-api (Avicennia sp), pedada (Sonneratia sp), bakau (Rhizophora sp), tancang (Bruguiera gymnorriza), Nyirih (Xylocarpus granatum), dan nipah (Nypa fruticans). Daerah hulu-hulu Sungai Ngirang, Benangun, Terusandalam, Bokorendo, Bungin, Tiram dan Sungai Sembilang pengaruh pasang surutnya sedikit Daerah swamp forest di sekitar Karang Agung

Zona Vegetasi Pedada (Sonneratia alba Avicennia sp)

2 3

Zona Bakau (Rhizophora sp) Zona Peralihan Vegetasi

Zona Nipah (Nypa fruticans)

Acanthus illicifolius dan Achrostichum aureum variasi antara api-api (Avicennia sp), pedada (Sonneratia sp), bakau (Rhizophora sp), tancang (Bruguiera gymnorriza), Nyirih (Xylocarpus granatum), dan nipah (Nypa fruticans). Exoecaria agallocha dan Xylocarpus granatum.

Zona Nibung

Nibung (Oncosperma tigillarium), Ganua motleyana, Polyalthia laterifolia, Lophopetalum beccarianum dan Xylopia sp.

Sebanyak 53 spesies mammalia terdapat di TN Sembilang (TNS 2009) diantaranya spesies Berang-Berang yang ada di kawasan Indo-Malaya (Lutra lutra), spesies kucing besar diantaranya kucing bakau (Felis bengalensis), macan dahan

111

(Neofelis nebulosa), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), juga musang air (Cyanogale bennettii), babi (Sus srofta). Setidaknya terdapat lima primata termasuk ungko (Hylobates agilis), kera ekor panjang (Macaca fascicularis), beruk (M. nemestrina), dan lutung kelabu (Presbytis cristata). Data di Balai TN Sembilang (2009) mencatat paling sedikit 213 spesies burung berada di kawasan ini, termasuk banyak dari spesies residen yang berstatus genting. Spesies burung ini meliputi spesies penetap (resident) yang terancam seperti pecuk-ular asia (Anhinga melanogaster), koloni terakhir dari undan (Pelecanus philippensis) di region Indo-Malaya, bangau storm (Ciconia stormi), lebih dari 1.000 ekor bangau bluwok (Mycteria cinerea), lebih dari 300 ekor bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), cangak sumatera (Ardea sumatrana), rangkong badak (Buceros rhinoceros), rangkong helm (Rhinoplax virgil), rangkong hitam (Antrhacoceros malayanus), serta lebih dari 25 spesies burung air migran, termasuk 10.000-13.000 trinil-lumpur asia (Limnodromus semipalmatus), 28 ekor trinil nordmann (Tringa guttifer), lebih dari 2.600 gajahan timur (Numenius madagascariensis), dan beberapa ribu individu spesies dara laut (Sternidae). Data lainnya di Balai TN Sembilang mencatat jumlah total burung air pantai yang memanfaatkan dataran lumpur di kawasan ini sekitar 0.5-1 juta ekor dengan sekitar 80.000 ekor dapat dijumpai setiap harinya di Delta Banyuasin. Dataran lumpur Banyuasin juga merupakan tempat mencari makan bagi ratusan bangau bluwok (Mycteria cinerea), bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), dan ibis-cucuk besi (Threskiornis melanocephalus), dan juga lebih dari 2.000 spesies kuntul (Ardea alba) (Silvius 1986 in TNS 2009). Kajian Tim Burung Migran Balai TN Sembilang Tahun 2008 mencatat 18 spesies burung migran mengunjungi dataran lumpur Banyuasin dengan perkiraan jumlah 27.410 ekor. Di sungai-sungai dan muara dalam kawasan TN Sembilang, buaya muara (Crocodylus porosus) dan spesies buaya sinyulong (Tomistoma schlegelii) pernah tercatat ditemukan di rawa-rawa air tawar di belakang hutan mangrove. Di samping buaya, kawasan ini juga merupakan habitat bagi berbagai spesies ular seperti ular cincin mas (Boiga dendrophila), ular sawah (Phyton sp.) dan species kura-kura air tawar. Kawasan perairan TN Sembilang kaya akan keanekaragaman spesies ikan, baik ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan laut. Sedikitnya terdapat 142 spesies ikan dari 43 familia, 38 spesies kepiting dan sedikitnya 13 spesies udang dari 9 familia (TNS 2009).

112

Beberapa spesies ikan, udang dan kepiting yang bernilai ekonomi antara lain sembilang (Plotosus canius), kakap (Lutjanus sp.), kerapu (Epinephelus tauvina), toman (Channa micropeltes), betutu (Ophiocara porocephala), bawal putih (Pampus argenteus), tenggiri (Scomberomus sexfasciatus), belanak (Mugil voigiensis), udang galah (Macrobrachium rosenbergii), udang lobster (Panulirus sp.), udang petak (Oratosquilla sp.), udang tiger (Penaeus semisulcatus), kepiting bakau (Scylla serrata), kepiting rajungan (Portunus pelagicus), dan sebagainya. 4.1.3. a. Kondisi Sosial Ekonomi Kondisi Demografi Kawasan TN Sembilang (TNS) berada pada wilayah Kecamatan Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin. Akan tetapi keberadaan TNS ini sangat dipengaruhi oleh aktivitas dari masyarakat desa yang berada di dalam kawasan maupun di luar kawasan TNS. Sebagaimana wilayah pesisir yang bersifat terbuka, penduduknya merupakan pencampuran antara etnis lokal dan pendatang terutama dari Bugis sekitar tiga puluhan tahun yang lalu. Etnis ini tersebar di wilayah pesisir Sungsang, kawasan Sungai Bungin dan Sungai Sembilang, Tanjung Birik dan Simpang Ngirawang Bakorendo, Terusandalam, Sungai Benu dan daerah transmigrasi Karang Agung. Data profil desa menunjukkan bahwa populasi di sekitar kawasan TN

Sembilang tercatat 18.028 jiwa (3.603 KK). Tersebar di 8 (delapan) desa/dusun yaitu Desa Tanah Pilih, Dusun Sembilang (administrasi Desa Sungsang IV), Desa Tabalajaya, Desa Jatisari, Desa Sri Agung, Desa Majuria, Desa Karang Sari, Desa Sumber Rejeki dan Desa Tabala Jaya. Dua desa diantaranya terdapat di dalam kawasan TN Sembilang berjumlah 4.330 jiwa (886 KK) terdiri dari Desa Tanah Pilih 1.850 jiwa (370 KK) dan Dusun Sembilang 1.405 jiwa (281 KK). Sementara itu tepian sungai dan muara berjumlah 1.075 jiwa (215 KK). masyarakat di beberapa Jumlah penduduk yang

berada di luar kawasan TNS sebesar 13.698 jiwa (2.717 KK) atau sekitar 28,72% dari seluruh populasi penduduk Kecamatan Banyuasin II (47.696 jiwa). Data sebaran pemukiman di dalam kawasan TNS disajikan pada Tabel 14.

113

Tabel 14
No 1 2 3 4 5 6 7 8

Sebaran pemukiman dan jumlah penduduk di dalam kawasan Taman Nasional Sembilang, Kecamatan Banyuasin II
Wilayah Resort Lalan SPTN 1 Lalan SPTN 1 Lalan SPTN 1 Solokbuntu SPTN 1 Solokbuntu SPTN 1 Simpangsatu SPTN 1 Simpangsatu SPTN 1 Sembilang SPTN 2 Jumlah KK 30 25 20 15 15 20 20 281 Jumlah Pddk (Jiwa) 150 125 100 75 75 100 100 1.405 Sifat Pemukiman Sepanjang tahun Sepanjang tahun Musiman Musiman Musiman Musim kemarau Musiman Sepanjang tahun Aktifitas Tuguk baris Tuguk baris, tuguk sungai Jaring blad, sondong Sondong, tuguk sempak Sondong, jaring blad, tuguk sempak Jaring blad, sondong, pengumpul kerang Sondong, jaring apung Kumpulan nelayan laut, pedagang, pengumpul hasil laut Jaring apung, jaring kumbang, jaring insang hanyut Jaring apung, jaring kumbang, jaring insang hanyut, pengumpul hasil laut Jaring apung, tuguk baris, sondong Pengumpul hasil laut, tuguk baris, jaring kumbang Pengumpul hasil laut, nelayan laut, pedagang, petani Ket.

Kelompok Pemukiman Sungai Sarangelang Muara S.Bungin Sungai Apung Sungai Solokbuntu Sungai Barong Sungai Tengkorak Sungai Nibung Kampung/Sungai Sembilang (Desa Sungsang IV) Sungai Bogem Sungai Birik

<4 bln dlm 1 thn <4 bln dlm 1 thn <4 bln dlm 1 thn <4 bln dlm 1 thn <4 bln dlm 1 thn Dusun, Fasum: SD, Puskesmas, Pospol, Pos AL, Pos Polairud, Syahbandar, Babinsa, PPTSL

9 10

SembilangSPTN 2 P. Alanggantang SPTN 2

10 20

50 100

Sepanjang tahun Sepanjang tahun

11 12 13

Sungai Ngirawan Sungai Terusan Dalam Desa Tanah Pilih

Ngirawan SPTN 3 Ngirawan SPTN 3 Benu SPTN 3

30 30 370

150 150 1.850

Sepanjang tahun Sepanjang tahun Sepanjang tahun

Desa, Fasum: Pos Polairud, Babinsa, SD, Puskesmas, Balai Desa

Jumlah 886 4.330 Sumber : Hasil inventarisasi lapangan (2009 dan 2010), Monografi Kecamatan Banyuasin II (2009). Data diolah.

114

Kawasan Tanjung Birik dan Simpang Ngirawan Bakorendo berada di wilayah Desa Sungsang IV. Warga di Tanjung Birik dan Simpang Ngirawan Bakorendo

biasanya berasal dari Desa Sungsang I dan Sungsang II. Di Desa Sungsang II terdapat lorong Birik yang umumnya warga Tanjung Birik. Di Tanjung Birik terdapat pula warga dari suku Bugis. Jumlah kepala keluarga di Simpang Ngirawan Bakorendo terdapat sekitar 150 jiwa (30 KK) sedangkan di Tanjung Birik sekitar 100 jiwa (20 KK. Sebaran penduduk di dalam dan di sekitar kawasan TNS disajikan pada Tabel 15. Table 15
No 1 2 3 4 5

Sebaran penduduk di dalam dan di sekitar kawasan Taman Nasional Sembilang, Kecamatan Banyuasin II
Lokasi Di dalam TNS Di dalam TNS Di dalam TNS Di luar TNS Di luar TNS Di luar TNS Di luar TNS Di luar TNS Di luar TNS Jumlah Penduduk 1.850 1.405 1.075 1.829 2.676 2.142 3.729 1.610 1.712 18.028 Jumlah Rmh Tangga 370 281 215 365
535

Desa/Dusun/Sungai Desa Tanah Pilih Dusun Sembilang (Desa Sungsang IV) Tepian beberapa Sungai/muara sungai Desa Jatisari Trans. Karang Agung 1) Desa Sri Agung 2) Desa Majuria 3) Desa Karang Sari 4) Desa Sumber Rejeki 5) Desa Tabala Jaya Total

Kegiatan Ekonomi Perikanan Perikanan Perikanan Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian

428 745 322 342 3.603

Sumber: Diolah dari Monografi Kecamatan Banyuasin II (2009).

Masyarakat di sekitar kawasan TNS pada umumnya tinggal di atas rumah-rumah panggung di tepi sungai di daerah pasang surut, dan sedikit masuk ke arah darat. Ketersediaan air bersih/tawar merupakan kendala utama. Sampai saat ini masih mengandalkan air hujan sebagai sumber air bersih/tawar. Secara geografis, luas wilayah administrasi Kecamatan Banyuasin II adalah 2.681,35 Km2 (sekitar 268.135 ha) dengan jumlah penduduk 47.696 jiwa dan kepadatannya sekitar 17,79 jiwa/ Km2. Berdasarkan data tata guna lahan, seluas 202.896 ha (2.028,96 Km2) dari luas kecamatan merupakan kawasan TN Sembilang, berarti luas wilayah Kecamatan Banyuasin II di luar wilayah TN Sembilang adalah 652,39 Km2. Aspek ketenagakerjaan merupakan aspek penting untuk memenuhi masyarakat

perekonomian rumah tangga dan kesejahteraan seluruh masyarakat. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) adalah proporsi penduduk usia kerja yang termasuk dalam

115

angkatan kerja, yaitu penduduk yang bekerja dan menganggur. Semakin tinggi angka TPAK merupakan indikasi meningkatnya kecenderungan penduduk usia ekonomi aktif untuk mencari pekerjaan atau melakukan kegiatan ekonomi. Jumlah penduduk usia kerja, kebutuhan penduduk untuk bekerja, dan berbagai faktor sosial ekonomi dan demografis merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi angka TPAK. Angka pengangguran di seluruh wilayah kecamatan rata-rata relatif rendah yaitu sekitar

5,99% tahun 2007 dan pada tahun 2008 sekitar 2,34% dari seluruh populasi angkatan kerja aktif 138.094 jiwa. Sementara itu total populasi penduduk angkatan kerja aktif di Kecamatan Banyuasin adalah 30.485 jiwa (BPS Banyuasin 2009). Proporsi jumlah penduduk Kecamatan Banyuasin II terhadap jumlah penduduk Kabupaten Banyuasin sebesar 5,97% (47.696 jiwa). Populasi penduduk Kabupaten Banyuasin mengalami pertumbuhan rata-rata 2,58 % per tahun. Saat ini populasinya berjumlah 798.360 jiwa (BPS 2009), tersebar di 15 kecamatan dan 278 desa/kelurahan dengan luas wilayah 11.832,99 km2 dan rata-rata kepadatan penduduk 67,47 jiwa per km2. Kabupaten Banyuasin sampai saat ini masih merupakan daerah tujuan utama transmigrasi di Sumatera Selatan. Oleh karena itu pertumbuhan penduduknya relatif tinggi dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Sumatera Selatan. Partisipasi penduduk perdesaan di Kecamatan Banyuasin II lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk perkotaan, hal ini tercermin pada jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian cukup tinggi. Berdasarkan lapangan usaha tercatat jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian (termasuk perikanan) sangat dominan (62%), kemudian diikuti perdagangan (12,44%), jasa-jasa (10,75%), industri pengolahan (5,07%), transportasi dan komunikasi (4,75%). Masalah sanitasi lingkungan khususnya sampah kurang mendapat perhatikan dari masyarakat di dalam maupun di luar kawasan TN sembilang. Muara sungai dan laut adalah tempat sampah utama. Hal ini sangat memprihatinkan, karena banyak terdapat sampah anorganik berupa plastik. Pada umumnya tinja langsung dibuang ke laut atau sungai, sehingga sangat logis jenis penyakit yang umum diderita adalah diare. Masyarakat di sini belum memiliki kesadaran untuk membuat septic tank. Pengaruh pasang surut yang besar, menyebabkan sampah tidak terbuang jauh dari pemukiman.

b.

Kegiatan Ekonomi Masyarakat Kegiatan perekonomian masyarakat setempat, baik di dalam maupun sekitar

TN Sembilang didominasi oleh perikanan (90%). Pertanian umumnya dikerjakan di luar

116

kawasan TNS terutama pada kawasan transmigrasi Karang Agung di bagian selatan TNS. Pemanfaatan hutan seperti daun Nipah, Nibung, kayu bakar dan kayu bangunan diambil dalam jumlah tertentu di dalam kawasan TNS. Data dan informasi yang

dihimpun pada saat survey lapangan maupun data dan informasi dari beberapa lembaga seperti Balai TNS, Dinas Perikanan Banyuasin serta Wetland Indonesia memberikan gambaran tentang dinamika kegiatan ekonomi masyarakat di sekitar TNS serta pola penggunaan lahan (lihat Gambar 25). 1) Perikanan Wilayah sebaran aktivitas masyarakat di sekitar TNS (Desa Sungsang I sampai dengan Desa Sungsang IV) meliputi perairan sungai, kawasan perairan pesisir hingga daerah di luar pesisir atau laut yang lebih dalam. Jarak tangkap ikan untuk wilayah TNS khususnya daerah Kabupaten Banyuasin adalah sampai dengan 9 mil. Melewati batas itu menjadi tanggung jawab provinsi. Data hasil survey lapangan menunjukkan bahwa Desa Sungsang I banyak menggunakan alat sondong, sedangkan jaring kantong, pukat harimau (trawl), togog dan kelong relatif sedikit. Jumlah kapal motor untuk aktivitas perikanan dari desa ini sekitar 500 buah dengan berat rata-rata 3-4 ton. Relatif hampir sama dengan kondisi dari ketiga desa lainnya (Desa Sungsang II, III, dan IV. Di desa Sungsang II, alat tangkap lebih bervariasi, yaitu jaring kantong, tangsi, tugu, rawai, lemparan dasar dan pukat harimau. Jenis alat tangkap di Desa Sungsang III dan Sungsang IV adalah Jaring Tangsi dan Jaring Kantong. Produk perikanan yang tertangkap dengan alat tangkap utama di TNS disajikan pada Lampiran 1, Lampiran 2 dan Lampiran 3. Alat tangkap pukat harimau pada umumnya diminati nelayan bermodal cukup besar. Daya ekploitasinya cukup tinggi karena ukuran mata jaring yang besar di awal dan semakin mengecil di ujungnya ditambah dengan daya jelajah kapal yang tinggi, menyebabkan tidak adanya selektivitas produk yang ditangkap. Hal ini membahayakan kelestarian sumberdaya perikanan. Banyak warga Sungsang yang memakai alat ini, meskipun alat ini dilarang oleh pemerintah. Nelayan dari Jambi dan nelayan luar lainnya pun demikian. Hal ini mengakibatkan turunnya produksi perikanan di daerah Sungsang. Masyarakat nelayan di wilayah pesisir Sembilang pada umumnya tidak

menggunakan pukat harimau dan menggunakan alat tangkap yang legal. Apabila kecenderungan penggunaan pukat harimau ini tidak segera diatur, maka masyarakat pesisir Sembilang akan semakin termarjinalisasi. keadaan

117

Sumber: Balai TNS (2009), WIIP (2001)

Gambar 25 Kegiatan ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar Taman Nasional Sembilang

Berdasarkan informasi bahwa biaya untuk melaut bervariasi tergantung kepada jangkauan kapal dan kemampuan alat tangkap. Biaya melaut untuk daerah sungai dan pesisir relatif lebih murah, seperti kapal sondong dan cedok kerang. Biaya melaut untuk daerah perairan yang lebih jauh berkisar antara Rp 800.0000 - Rp 1.500.000,- untuk satu kali trip di luar biaya alat tangkap. Harga alat tangkap trammel net atau jaring kantong per unit berkisar antara Rp 150.000 200.000, jaring tangsi sekitar Rp 250.000,- dan jaring trawl sekitar Rp 3.000.000,-. Bagi nelayan bermodal kecil, menangkap dengan jaring kantong lebih menguntungkan karena dikerjakan berdasarkan sistem bagi hasil. Pada umumnya kerusakan alat tangkap ditanggung bersama dengan pemilik modal. Masyarakat nelayan di kawasan Sembilang pada umumnya melaut pada setiap bulan, kecuali pada bulan Desember, saat dimana terdapat angin barat. Pada bulanbulan terjadi angin barat, biasanya ombak laut relatif lebih besar, sehingga para nelayan

118

mengalami kesulitan untuk melaut, terutama untuk para nelayan dengan kapal-kapal kecil. Sementara itu untuk kapal-kapal bertonase besar dengan alat tangkap trawl, mempunyai daya jelajah tinggi, sehingga bulan Desember dan bulan-bulan angin barat tidak terlalu banyak berpengaruh. Produksi tangkapan udang terbesar pada umumnya antara April-Oktober dan mencapai puncaknya (peak seasons) antara Juni-Agustus. Produksi pada bulan-bulan ini disebut oleh masyarakat Sembilang sebagai guyur udang. Di luar ketiga bulan tersebut produk udang relatif sedikit, meskipun tetap berproduksi. Sementara itu, produksi tangkapan ikan tidak mengenal musim, kecuali pada Desember dimana pada bulan ini Produksi terjadi musim barat dengan ombak besar, sehingga sulit untuk melaut. hasil tangkapan nelayan mencapai puncaknya pada bulan-bulan

Februari/Maret - Juli/Agustus. Komoditas kepiting dan ubur-ubur mempunyai musim untuk penangkapan selama 6-7 bln th-1. Musim penangkapan biasanya dimulai pada Mei-November. Produksi terbesar terjadi pada September-Oktober. Para nelayan pada umumnya menjual hasil tangkapannya ke pedagang pengumpul di daerah Sungsang dan

Sembilang. Berbeda halnya dengan rajungan, kepiting bakau mulai banyak pada bulan Juli. Kepiting ini lebih banyak ditangkap di daerah sungai, diantara vegetasi mangrove. Komoditas ubur-ubur adalah salah satu produk yang berasal dari wilayah pesisir laut Sembilang. Selama ini produk ubur-ubur lebih banyak dibuang daripada dijual. Hasil terbanyak adalah di bulan November dan Desember. Komoditas kerang tidak mengenal musim. Pada umumnya masyarakat nelayan di pesisir Sembilang akan mencari ke daerah lain, apabila produksi di wilayahnya mulai menurun. Dalam selang waktu satu bulan, daerah yang ditinggal tersebut dapat dikunjungi lagi untuk di panen. Habitat kerang hanya terbatas di daerah-daerah pesisir. Kawasan TN Sembilang merupakan salah satu sentra kegiatan ekonomi yang cukup penting, karena kawasan ini menghasilkan tangkapan perikanan utama yang meliputi komoditas ikan, udang, rajungan dan kerang. Komoditas tersebut memiliki nilai ekonomi cukup tinggi, sehingga dapat mempengaruhi perekonomian di wilayah ini. Data produksi hasil tangkapan di Dinas Perikanan Banyuasin menunjukkan bahwa rata-rata hasil produksi udang dari wilayah Sembilang pada tahun 2008 mencapai 100 t th-1 untuk pasar lokal dan 600 t th-1 untuk pasar ekspor. Nilai hasil tangkapan rata-rata mencapai Rp 7,5 milyar th-1 dari pasar lokal dan Rp 45 milyar th-1

119

dari pasar ekspor. Sementara itu data produksi berbagai jenis ikan dari kawasan Sembilang mencapai rata-rata 109,2 t th-1 dengan nilai hasil tangkapan rata-rata Rp 568,5 juta th-1, sedangkan produksi berbagai jenis ikan dari kawasan Sungsang mencapai 807 t th-1 dengan nilai produksi sekitar Rp 4 milyar th-1. Data produksi hasil rajungan dari dua wilayah Sembilang dan Sungsang mencapai rata-rata 189 t th-1 dengan nilai produksi sekitar Rp 1,89 milyar th-1. Demikian halnya untuk produksi kerang dari Sembilang dan Sungsang cukup tinggi, rata-rata mencapai 492 t th-1 dengan nilai produksi rata-rata Rp 82 juta th-1. Dengan demikian total nilai produksi perikanan dari wilayah TN Sembilang dan sekitarnya rata-rata mencapai Rp 59 milyar th-1. 2) Pola Pengunaan Lahan Masyarakat di luar TN Sembilang Daerah Transmigrasi Karang Agung adalah salah satu areal yang direncanakan oleh pemerintah pusat dan daerah sebagai kawasan budidaya pertanian pasang surut guna mendukung ketahanan pangan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Banyuasin. Sistem pertanian dilakukan menggunakan irigasi pasang surut dengan membuat saluran primer, saluran sekunder dan saluran tersier serta dilengkapi dengan pintu air dan pompa. Pelaksanaan kegiatan pertanian di daerah transmigrasi ini dilakukan setiap tahun dengan sistem bera (tidak tanam) selama satu kali. Areal penggunaan lahan di daerah transmigrasi pada umumnya dibagi menjadi 3 (tiga) lokasi pemanfaatan; antara lain Lahan Usaha ke-1, Lahan Usaha ke-2 dan Lahan Pekarangan. Lahan Usaha I (LU I) Lahan usaha ke-1 merupakan areal utama yang digunakan untuk pertanian adalah LU I dengan mendapatkan areal yang direncanakan seluas 1 hektar dari jatah yang didapat para transmigran. Jenis varietas pertanian (sawah pasang surut) yang ditanam pada umumnya adalah varietas lokal dan IR42 (label biru). Ada beberapa penduduk menggunakan areal LU I untuk penanaman palawija (bila musim hama datang) seperti jagung, kedelai, kacang, tomat dan sayur-sayuran. Lahan Usaha II (LU II) Lahan usaha ke-2 di daerah transmigrasi merupakan areal yang diperuntukan pengembangan wilayah pertanian bila di LU I sudah tidak mencukupi atau tidak memungkinkan lagi untuk meningkatkan produksi pertanian. Akan tetapi sebagian areal di lokasi transmigrasi masih merupakan alang-alang dan semak, hal ini disebabkan areal tersebut berada di tepi hutan atau merupakan areal tergenang secara terus menerus. Di samping itu, Lahan Usaha II juga merupakan batas antar desa di setiap kawasan transmigrasi.

120

Lahan pekarangan Areal ini terutama diperuntukan sebagai pemukiman penduduk. Di Lahan Pekarangan ini, masyarakat transmigrasi menanam tanaman perkebunan guna menunjang kehidupan antara lain, kelapa lokal, kopi, kakao, serta sayur-sayuran. Areal penggunaan lain Lahan yang diperuntukkan sebagai tempat sosial antara lain; sekolah (SD, SMP dan Madrasah), kantor desa, lapangan olah raga, kuburan, pasar dan kantor penyuluh lapangan. Masyarakat transmigrasi sebagian besar adalah petani padi pasang surut dan sebagian merangkap sebagai guru, PNS, tukang ojek, pedagang dan lain-lain. Aktivitas masyarakat dalam pemanfaatan lahan dan hutan adalah sebagian besar masyarakat mengambil kayu bakar dari hutan terdekat (sebelah selatan TNS), mencari ikan di sepanjang Sungai Sembilang dan sekitarnya. Disamping itu terdapat juga sebagian kecil masyarakat yang melakukan perambahan hutan di bekas HPH PT. Sukses Sumatera Timber (SST) dan membuka tambak tradisional di luar areal transmigrasi, terutama di dalam kawasan TNS. c. Kondisi Ekonomi Wilayah Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi suatu wilayah dalam suatu periode tertentu adalah ditunjukkan oleh data produk domestik regional bruto (PDRB), baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. PDRB merupakan jumlah nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi di wilayah domestik tanpa memperhatikan faktor kepemilikan apakah faktor produksinya berasal atau dimiliki oleh penduduk setempat atau tidak. Kondisi perekonomian Kabupaten Banyuasin dalam dua tahun terakhir mengalami pertumbuhan ekonomi positif, yaitu 5,48% pada tahun 2008. Terjadi perlambatanan pertumbuhan dibanding tahun 2007 (6,33%). Hal ini terjadi karena tingkat harga minyak dunia mengalami fluktuasi. Pada tahun 2008 sektor perikanan di kabupaten ini juga mengalami penurunan produksi akibat biaya operasional penangkapan ikan di perairan umum cukup tinggi, demikian halnya biaya operasional di sektor industri. Berdasarkan data PDRB Kabupaten Banyuasin (BPS 2009) menunjukkan dimana PDRB (termasuk migas) atas dasar harga berlaku tahun 2008 sebesar Rp 9.884 milyar mengalami perlambatan antara tahun 2005 (23,70%), tahun 2006 (19,78%) dan tahun 2007 (16,07%). Kondisi ini terjadi karena harga minyak dunia yang terus melonjak sehingga berpengaruh terhadap biaya produksi seluruh sektor ekonomi. Namun demikian pertumbuhan kembali meningkat pada tahun 2008 sebesar 21,15%.

121

Sementara itu, PDRB tanpa migas relatif lebih fluktuatif dimana antara tahun 2005 dan 2006 mengalami peningkatan dari 14,26% menjadi 18,59%. Pada tahun 2007 kembali mengalami penurunan menjadi 16,07%, kemudian pada tahun 2008 mengalami pertumbuhan sebesar 17,45%. Secara diagramatik disajikan pada Gambar 26.

10.000.000 9.000.000 8.000.000


PDRB (Rp)

23,70 19,78 14,26 18,59 21,15 17,23 17,45 16,07 8.158.813 9.884.377

25,00 20,00 15,00 10,00 6.748.402 5.745.816 0,00 2006 2007 2008 5,00

7.000.000 6.000.000 5.000.000 4.000.000 3.000.000 2.000.000

Pertumbuhan PDRB (%)

7.029.269 5.868.620

PDRB dgn migas (Rp juta) PDRB tanpa migas (Rp juta) Pertumbuhan PDRB dgn migas Pertumbuhan PDRB tanpa migas

4.901.154 4.132.697 2005

Sumber: BPS Banyuasin 2009. Data diolah

Gambar 26 Produk domestik regional bruto Kabupaten Banyuasin atas dasar harga berlaku dan pertumbuhannya

Melambatnya pertumbuhan ekonomi Banyuasin juga sebagai dampak krisis ekonomi global tahun 2007/2008. Harga komoditas ekspor produksi sektor pertanian seperti karet dan sawit mengalami kontraksi di pasar internasional. Kinerja perekonomian sektoral ditandai oleh tumbuhnya beberapa sektor yang cukup tinggi seperti sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor jasa-jasa dan sektor bangunan. Secara grafik disajikan pada Gambar 27.
16

Laju pertumbuhan ekonomi (%)

14 12 10 8 6 4 2 0 2005 2006 2007 2008

Pertanian Pertambangan Industri pengolahan Listrik, gas & air bersih Bangunan Perdagangan Angkutan Keuangan Jasa-jasa

Sumber: BPS Banyuasin 2009. Data diolah

Gambar 27

Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Banyuasin menurut sektor

122

Berdasarkan kelompok sektor, PDRB Banyuasin tahun 2008 masih ditopang oleh sektor primer 47,78% (sektor pertanian 30,46% dan sektor pertambangan 17,32%) dan sektor sekunder 34,82% (sektor industri pengolahan 27,50%, listrik/gas/air 0,04%, bangunan 7,27%). Sementara pangsa sektor tersier menyumbang 17,41% (terdiri dari: perdagangan 11,4%, angkutan 0,54%, keuangan 0,71% dan jasa-jasa 4,72%). Pangsa sektor primer tersebut sedikit menurun dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat 48,57%. Penurunan pangsa di sektor primer ini terjadi pada sektor pertanian sebesar 32,27% menjadi 30,46%. Selengkapnya secara grafik disajikan pada Gambar 28.
35 32,27 27,16 30,46 27,5

Pertanian Pertambangan Industri pengolahan

Kontribusi sektor (%)

30 25 20 15 10 5 0

16,29 11,4 7,12 0,05 2007 4,43 0,74 0,53

17,32 11,43 7,27 0,04 2008 4,72 0,71 0,54

Listrik, gas & air bersih Bangunan Perdagangan Angkutan Keuangan Jasa-jasa

Sumber: BPS Banyuasin 2009. Data diolah

Gambar 28 Struktur ekonomi Kabupaten Banyuasin

Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Banyuasin tidak hanya menunjukkan peningkatan output atau tingkat pendapatan secara makro, tetapi pertumbuhan ekonomi juga menunjukkan bahwa telah terjadi kenaikan pendapatan per kapita masyarakat. Angka pendapatan per kapita ini lazim digunakan sebagai indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan data PDRB Kabupaten Banyuasin 2008/2009 (BPS Banyuasin 2009) menunjukkan pertumbuhan pendapatan per kapita atas dasar harga berlaku di kabupaten ini mengalami peningkatan. PDRB per kapita dengan migas tahun 2005 sebesar Rp 7.997.269, kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2006 sebesar Rp 9.280.812 (7,43%) dan pada tahun 2007 mengalami sedikit perlambatan 6,94% . Akan tetapi pada tahun 2008 kembali mengalami kenaikan pertumbuhan PDRB per kapita sebesar Rp 12.380.852 (8,32%). Kondisi ini mencerminkan bahwa masyarakat Kabupaten Banyuasin relatif sejahtera. Namun data lapangan menunjukkan tekanan penduduk terhadap lahan hutan relatif masih tinggi. Secara grafis pertumbuhan

pendapatan per kapita disajikan pada Gambar 29.

123
14.000.000
PDRB/kapita (Rp) dan Jml penduduk (jiwa)

9,00 7,43 12.380.852 8,32 8,00

12.000.000 10.000.000

7.997.269 8.000.000 5,10 4,00 6.000.000 5.631.697 4.000.000 2.000.000 2005

10.478.462 6,94 6,56 9.280.812 6,06 7.379.421 6.471.041

6,78 7,00 8.452.831 6,00


(%)

5,00 4,00 3,00 2,00

PDRB/kapita dgn migas (Rp juta) PDRB/kapita tanpa migas (Rp juta) Jumlah penduduk Pertumbuhan pendapatan/kapita dg migas Pertumbuhan pendapatan/kapita tanpa migas

733.828

757.398

778.627

798.360 1,00 -

2006

2007

2008

Sumber: BPS Banyuasin 2009. Data diolah

Gambar 29

Pendapatan perkapita Kabupaten Banyuasin atas dasar harga berlaku dan pertumbuhannya

4.2.

Perkembangan Pengelolaan TN Sembilang Dalam dokumen rencana pengelolaan TN Sembilang 2009-2028 (TNS 2009)

dijelaskan bahwa sejarah perkembangan pengelolaan TN Sembilang didasarkan pada rekomendasi Gubernur Provinsi Sumatera Selatan melalui surat Gubernur No 522/5459/BAPPEDA-IV/1998, dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 76/KptsII/2001 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Provinsi Sumatera Selatan tanggal 15 Maret 2001, yang didalamnya tercantum penunjukan kawasan Sembilang menjadi Taman Nasional. Selanjutnya ditindaklanjuti oleh Gubernur Provinsi Sumatera Selatan melalui Surat Gubernur No 522/5128/I tanggal 23 Oktober 2001 untuk meminta penetapan kawasan Taman Nasional Sembilang dengan luas 205.750 ha. Penilaian potensi yang dilakukan oleh Ditjen Bangda Departemen Dalam Negeri, bekerjasama dengan Ditjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) Departemen Kehutanan tahun 1996/1997, juga menyimpulkan bahwa kawasan Sembilang memenuhi kriteria sebagai Kawasan Pelestarian Alam dengan bentuk Taman Nasional. Sehingga berdasarkan usulan, kajian dan rekomendasi tersebut, Kawasan Sembilang kemudian ditetapkan sebagai kawasan hutan tetap dengan fungsi hutan konservasi sebagai Taman Nasional, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 95/Kpts-II/2003 tanggal 19 Maret 2003, dengan luas 202.896.31 ha Pengelolaan kawasan TN Sembilang merupakan satu kesatuan pengelolaan dari tata ruang dan rencana pembangunan daerah. Secara umum tata guna lahan di sekitar kawasan TN Sembilang meliputi : (1) Kawasan hutan produksi, baik yang telah dibebani hak maupun yang belum dibebani hak, (2) Areal Penggunaan Lain (APL)

124

berupa kawasan perkebunan, lahan transmigrasi dan lahan-lahan yang belum dibebani hak, (3) kawasan pelestarian alam (TN Berbak di Provinsi Jambi), dan (4) Kelompok Hutan Lindung Rimau dan Air Telang, serta (5) Calon pelabuhan domestik maupun internasional Tanjung Api-Api. Kebijakan optimalisasi pemanfatan ruang baik kawasan hutan produksi maupun APL yang berbatasan langsung dengan TNS tidak terelakkan di masa mendatang. Sampai tahun 2008 sudah diterbitkkan satu ijin prinsip IUPHHK-HTI yakni PT. Sumber Hijau Permai, sedangkan lainnya masih dalam proses. Optimalisasi pemanfaatan APL mengalami perkembangan cukup pesat. Sampai tahun 2008 tercatat dua perusahaan perkebunan sudah beroperasi yaitu PT. Raja Palma dan PT Citra Indo Niaga. Memperhatikan kondisi saat ini tidak menutup kemungkinan penerbitan ijin prinsip tersebut akan terus bertambah . Kawasan transmigrasi Karang Agung (Karang Agung Tengah dan Karang Agung Ilir) dengan 31 desa terletak di sebelah selatan TN Sembilang. Kawasan ini berdekatan langsung dengan taman nasional. Kawasan transmigrasi ini dimulai pada tahun 1982 dan 1985. Dalam perkembangannya desa-desa tersebut ada yang telah membuka tambak mendekati dan sebagian terindikasi berada dalam kawasan taman nasional. Di sebelah utara TN Sembilang terletak Taman Nasional Berbak, salah satu Situs Ramsar (lahan basah yang dianggap penting secara internasional) yang ada di Indonesia. Di antara ke dua kawasan ini mengalir Sungai Benu yang juga merupakan batas Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Kawasan di antara ke dua taman nasional ini terdapat sebuah desa definitif yakni Desa Tanah Pilih (di dalam kawasan TN Sembilang). Kondisinya telah terbuka dan hanya terdapat sedikit hutan rawa yang tersisa yang berhubungan langsung dengan ke dua kawasan taman nasional tersebut. Kebijakan Pemerintah Daerah mengharapkan adanya batas desa yang jelas dan dikeluarkan dari taman nasional. Salah satu rencana pembangunan di Provinsi Sumatera Selatan yang berada di dekat TN Sembilang adalah rencana pembangunan Pelabuhan Samudera Tanjung Api-Api. Pelabuhan samudera ini diharapkan dapat memberikan akses transportasi utama dari dan ke Sumatera Selatan melalui laut. Di sekitar kawasan Tanjung Api-Api ini direncanakan dibangun kawasan industri. Di sebelah barat kawasan juga merupakan wilayah konsesi minyak dan gas bumi Jambi Merang (Joint Operating Body Pertamina-YPF Jambi Merang). Kegiatan ekplorasi dan eksploitasi dilakukan di sekitar kawasan. Demikian juga halnya di kawasan Semenanjung Banyuasin telah dibuka oleh masyarakat secara ilegal untuk pengembangan usaha budidaya perikanan (tambak).

125

4.3

Isu dan Permasalahan Lingkungan Pesisir Berdasarkan informasi dari Balai TN Sembilang menunjukkan bahwa isu dan

permasalahan yang mengancam upaya konservasi di TN Sembilang sangat kompleks. Hasil identifikasi meliputi : konversi lahan (untuk tambak, kebun dan ladang),

pemanfaatan hutan ilegal (penebangan liar, eksploitasi sumber daya lain), kegiatan perikanan yang tidak lestari (penggunaan jaring pukat harimau, sianida), polusi, kebakaran hutan dan lahan, serta konflik sosial. Masalah kelembagaan seperti kurang koordinasi, tata batas taman nasional yang belum jelas, serta sistem landtenurial di sekitar kawasan dapat berpengaruh negatif. Semua permasalahan memiliki hubungan dengan aktivitas antropogenik. Ada kecenderungan dimana ancaman terhadap TN Sembilang akan semakin tinggi akibat adanya migrasi masuk yang terus bertambah. Selain itu juga penggunaan lahan pertanian di areal transmigrasi, adanya gagalnya sistem

proyek kontroversial

terhadap lingkungan seperti pembangunan pelabuhan Tanjung Api-Api serta eksploitasi minyak dan gas bumi di sebelah barat kawasan TN Sembilang. Isu dan permasalahan lingkungan pesisir di Kabupaten Banyuasin secara ringkas disajikan pada Tabel 16. Alat tangkap trawl banyak diminati nelayan yang bermodal besar, karena daya ekploitasinya yang tinggi. Ukuran mata jaring yang besar di awal dan semakin mengecil di ujungnya ditambah dengan daya jelajah kapal yang tinggi, menyebabkan tidak adanya selektivitas produk yang ditangkap. Dengan logam pemberat dibagian dasar jaring, menyebabkan dasar perairan ikut terangkat, teraduk dan terbawa jaring bila menangkap di perairan yang dangkal. Hal ini membahayakan kelestarian sumberdaya perikanan. Warga Sungsang mulai terpengaruh memakai alat ini, meskipun alat ini dilarang oleh pemerintah. Nelayan dari Jambi, Riau dan nelayan luar lainnya pun demikian. Sejak maraknya pemakaian jaring pukat harimau, hasil perikanan terus menurun. Kondisi ini akan semakin memperburuk keadaan bila dibiarkan, karena mayoritas nelayan tidak menggunakan pukat harimau dan menggunakan alat tangkap yang legal. Dari tahun 1998 hingga sekarang, hasil ikan terus mengalami penurunan. Konflik nelayan tradisional dengan nelayan pukat harimau seperti pembakaran kapal dan jaring sering terjadi di daerah Sungsang. Dampak pukat harimau telah Umumnya

berpengaruh terhadap para nelayan di kawasan pesisir TN Sembilang.

mengeluh karena hasil laut yang terus turun, sampai akhirnya mengambil keputusan untuk membuka tambak di kawasan TN Sembilang.

126

Tabel 16 Isu dan permasalahan lingkungan pesisir di kawasan TN Sembilang


No 1 Isu dan permasalahan Konversi lahan Faktor penyebab a. Pembuatan tambak-tambak. Saat ini masih ada sekitar 2.013 ha tambak illegal di dalam TN Sembilang b. Pembuatan lahan pertanian, terutama untuk kebun kelapa c. Spekulasi tanah terutama untuk mengantisipasi dibangunnya Pelabuhan Tanjung Api-api a. Pemanfaatan daun Nipah (Nypa fruticans) sangat intensif b. Penggunaan pohon Nibung (Oncosperma tigillarium) untuk tiang bangunan c. Pemanfaatan hasil hutan yang ilegal (seperti penebangan liar, perburuan, pemanfaatan sumberdaya yang tidak lestari). Kegiatan penebangan liar telah terjadi di kawasan sekitar bekas areal HPH PT Riwayat Musi Timber dan PT Bumi Raya Utara, Sungai Bakorendo, dan Sungai Sembilang/Simpang I. Dampak negatif penebangan liar mengancam habitat hidupan liar, seperti Buaya Sinyulong (Tomistoma schlegelii). Di luar/sekitar kawasan, penebangan liar terjadi di sekitar Sungai Merang, dan hutan gambut sekitar Sungai Kepahiang. Perburuan/penangkapan satwa juga mengancam spesies harimau, buaya dan hidupan liar lainnnya. a. Penggunaan pukat harimau b. Penangkapan ikan dengan menggunakan sianida a. Sampah plastik dan tumpahan minyak dari mesin kapal merupakan ancaman bagi kehidupan biota. b. Rencana eksploitasi gas bumi oleh JOB antara Pertamina dan YPF Jambi-Merang diprediksi dapat menimbulkan polusi air di beberapa sungai di sekitar TN Sembilang, terutama di Sungai Bakorendo. Meskipun konsesi ini tidak dilanjutkan, karena tidak mendapat ijin dari Kementerian Kehutanan, sebaiknya rencana ini tetap perlu diantisipasi dan diwaspadai. c. Jika pelabuhan samudra di Tanjung Api-Api dibangun, polusi tumpahan minyak dari kapal-kapal akan meningkat. Polusi dari penggunaan pestisida dan antibiotik juga terjadi di kawasan tambak a. Beberapa kebakaran yang telah terjadi berhubungan langsung dengan kegiatan pembukaan lahan yang luas (contoh : transmigrasi dan kebun kelapa sawit), yang lainnya disebabkan oleh penduduk b. Penyebab utama dari kebakaran ini adalah kegiatan penebang liar untuk budidaya pertanian, nelayan yang melakukan pembukaan vegetasi untuk mencari ikan serta pengembangan kawasan transmigrasi. a. Di dalam kawasan TN Sembilang dan sekitarnya terdapat tiga kelompok komunitas: (1) para petambak yang relatif baru, (2) mayoritas masyarakat nelayan tangkap, dan (3) para transmigran di Karang Agung yang pada umumnya petani. Jika terjadi perubahan dalam penggunaan lahan dari ke tiganya akan dapat menyulut konflik sosial yang lebih besar. b. Sedikitnya tiga macam konflik dapat terjadi: (1) Konflik antara nelayan setempat dan petambak, sebagai akibat kecemburuan sosial. Konflik ini dimulai saat masyarakat setempat tidak diperbolehkan untuk membuka tambak, sementara para petambak yang umumnya pendatang dapat melakukannya. (2) Konflik antara nelayan tradisional dengan para nelayan pukat harimau. (3) Konflik lain terjadi antara nelayan tangkap tradisional setempat dengan nelayan pukat harimau yang menangkap ikan di sekitar Sungsang. Nelayan pukat harimau ini mengeksploitasi sumberdaya laut sehingga meninggalkan sedikit hasil tangkapan bagi nelayan tradisional. Sebagai satu dampak, beberapa nelayan setempat cepat atau lambat akan merubah cara pemanfaatan sumberdaya ke arah budidaya tambak c. Konflik antara transmigran dan penduduk setempat d. Jika situasi ekonomi di kawasan transmigrasi Karang Agung semakin buruk, perubahan kegiatan bertani ke arah pemanfaatan sumberdaya hutan dan rawa akan meningkat. Ini dapat menuju pada situasi kompetisi antara para transmigran dan penduduk setempat. a. Koordinasi antar instansi masih lemah. b. Masalah eksploitasi minyak dan gas bumi di sekitar TN Sembilang c. Dampak rencana pembangunan pelabuhan samudera Tanjung Api-Api, juga merupakan kurangnya koordinasi antara instansi pemerintah

Pemanfaatan hasil hutan yang tidak lestari

Kegiatan perikanan yang tidak lestari Polusi

Kebakaran hutan dan lahan

Konflik sosial

Masalah Kelembagaan

Sumber : Hasil identifikasi lapangan dan sumber data lainnya (2010)

127

Adanya perbedaan perspektif daerah dan nasional serta internasional dalam hal mengelola sumberdaya alam, sering menimbulkan konflik kepentingan antara

konservasi dan konversi. Perspektif nasional lebih mengedepankan isu-isu lingkungan untuk kelangsungan sumberdaya alam bagi generasi mendatang, sementara perspektif daerah karena berbagai tuntutan ekonomi terkadang lebih mengedepankan konversi menjadi budidaya intensif (contoh: konversi untuk kebun sawit, transmigrasi, tambak dan sebagainya). Meskipun prospek TN Sembilang memberikan manfaat bagi

masyarakat dengan menjaga habitat pemijahan, sumber nutrisi dan pengasuhan (spawning ground) bagi ikan dan udang, hal ini tidak secara luas diketahui dan disadari. Walaupun pendapatan dari perikanan seluruhnya masuk ke pemerintah daerah (70% untuk Kabupaten, 30% untuk Desa), bahkan lebih banyak dana dari perikanan

diredistribusi melalui sistem pajak. Penyebab utama permasalahan dan ancaman di sekitar kawasan TN Sembilang meliputi tiga isu utama, yaitu; (1) Konflik antara TN Sembilang dan masyarakat

setempat mengenai strategi yang menyangkut matapencaharian dan penghidupan, (2) Konflik antara TN Sembilang dan rencana-rencana pembangunan yang ada, (3) Konflik antara TN Sembilang dan kegiatan-kegiatan bisnis ilegal dalam skala besar. Masih lemahnya koordinasi antar stakeholder serta masih adanya perbedaan perspektif dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, sehingga ketiga isu utama tersebut masih dominan di kawasan ini. Sebagai contoh adanya rencana eksploitasi gas bumi di dalam TN Sembilang, meskipun konsesi ini pada akhirnya tidak dilanjutkan karena tidak mendapat ijin dari Kementerian Kehutanan. Namun ke depan, praktek-praktek seperti ini perlu diantisipasi. Hal lain adalah antisipasi dampak rencana pembangunan pelabuhan Samudera Tanjung Api-Api di sebelah Selatan TNS. Hal ini juga merupakan produk kurangnya koordinasi antara instansi pemerintah. Ketiga isu utama ini merupakan ancaman terhadap eksistensi TN Sembilang di masa yang akan datang.

152

bahan bangunan (kayu nibung), sedangkan yang dilakukan masyarakat luar kabupaten umumnya dijual ke Palembang. Penebangan liar ini diprediksi berdampak negatif pada struktur hutan secara umum di kawasan TN Sembilang. Hal lain juga dapat mengancam habitat tersisa dari buaya sinyulong (Tomistoma schlegelii) di sepanjang Sungai Merang. Berdasarkan informasi dari TN Sembilang serta pengamatan langsung di lapangan menunjukkan bahwa saat ini terdapat peningkatan aktivitas masyarakat yang cukup signifikan di Sungai Merang. Disamping dampak langsung pada habitat buaya sinyulong, peningkatan gangguan terhadap habitat dan sarang buaya jenis ini juga disebabkan oleh meningkatnya populasi manusia di daerah tersebut, seperti kapal-kapal motor dan penggunaan chainsaw di hulu-hulu sungai. Kecenderungan lain penggerak emisi CO2 yang tidak direncanakan adalah masalah kebakaran hutan dan lahan yang telah berulang kali terjadi di kawasan TN Sembilang.

Anda mungkin juga menyukai