Anda di halaman 1dari 20

Pengembangan Ekonomi Lokal

PERENCANAAN PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL (LOCAL ECONOMIC DEVELOPMENT)


Ir. Risfan Munir, MSP.MBA. Local Economic Development Specialist PERFORM Project 1. Pendahuluan 1.1 Tantangan Masalah ekonomi lokal (kota/kabupaten dan propinsi) tidak terlepas dari masalah yang dihadapi secara nasional. Beberapa masalah ekonomi yang sedang dihadapi bangsa Indonesia secara keseluruhan antara lain termasuk: 1. Masalah ekonomi makro, yang menyangkut segi-tiga persoalan (triangle trap) yang saling berkaitan: krisis anggaran, hutang yang terus membengkak dan segera jatuh tempo, dan beban subsidi yang sulit diturunkan. Masalah hutang termasuk pinjaman pemerintah daerah yang sebagian besar bermasalah (macet); 2. Masalah jumlah angka pengangguran yang tinggi dan angka kemiskinan yang meningkat pula; 3. Otonomi daerah, yang selain membuka peluang, juga menuntut pemerintah daerah untuk mampu mandiri secara ekonomi maupun keuangan. Untuk itu maka pemerintah daerah harus mampu memobilisasi sumber daya yang dimilikinya, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia; 4. Demokratisasi proses pengambilan keputusan publik yang membawa tuntutantuntutan baru bagi proses perencanaan pembangunan untuk lebih melibatkan peranan masyarakat dan swasta. Secara fisik diberbagai kota permasalahan tersebut tampak di permukaan antara lain dengan munculnya pedagang kaki lima di hampir setiap penjuru kota, terutama di pulau Jawa. Ini adalah reaksi spontan dari kian sempitnya lapangan kerja di sektor formal dibanding dengan pertumbuhan angkatan kerja. Dalam konteks regional, ini juga menunjukkan masih terjadinya ketimpangan tingkat kesempatan kerja antara perkotaan dengan perdesaan, dan antar daerah. Pada sisi lain ada gejala pemerintah kota/kabupaten berusaha memperluas, dan mengintensifkan pungutan pajak dan retribusi daerah, yang sampai dikeluhkan oleh dunia usaha. Ini juga reaksi spontan dari keharusan bagi poemerintah kota/kabupaten/propinsi untuk mandiri dari segi keuangan. Kedua gejala tersebut adalah contoh dari kondisi yang membuktikan dibutuhkannya suatu kemampuan bagi kota/kabupaten untuk menyusun kebijakan pengembangan ekonomi lokal.

munir/perform-project

Pengembangan Ekonomi Lokal Selama ini investasi pembangunan prasarana perkotaan dianggap sebagai solusi pembangunan kota, untuk mendorong bergerak atau tumbuhnya ekonomi daerah. Dengan prasarana yang memadai, otomatis kegiatan ekonomi akan terdorong untuk tumbuh dan berkembang, selanjutnya lapangan pekerjaan tercipta; dan pada gilirannya pemerintah dapat meningkatkan sumber pendapatannya melalui perluasan subyek dan obyek pajak dan retribusi daerah. (Lihat Diagram 1 pada Lampiran) Pada kenyataannya yang terjadi tidaklah demikian, karena tanpa adanya kebijakan pengembangan ekonomi lokal yang efektif, maka asumsi-asumsi tersebut tidak akan terjadi. Prasarana perkotaan hanya bermanfaat dan menghasilkan outcome (hasil guna) yang sesuai harapan jika diarahkan dan diikuti oleh upaya pengembangan kegiatan ekonomi yang sesuai dengan potensi dan peluang daerah. 1.2 Tujuan Tujuan dari tulisan ini adalah sebagai eksplorasi konsep dalam pengembangan ekonomi lokal, yang akan dipergunakan sebagai penunjang dalam pendampingan kepada pemerintah kota/kabupaten. Dengan demikian titik beratnya adalah menggali apa yang telah berkembang dalam bidang ini untuk dicoba diterjemahkan kepada bentuk pendekatan yang berorientasi pada penerapannya di daerah. 2. Pengembangan Ekonomi Lokal (Local Economic Development) Kebutuhan perubahan orientasi ini tidaklah berlebihan kalau mengamati bahwa di dalam era otonomi daerah ini banyak Pemerintah Kota/ Kabupaten yang tidak punya pegangan dalam mengelola ekonomi daerahnya. Otonomi daerah disambut dengan eksploitasi sumber daya alam, menjual aset daerah, memberlakukan berbagai pajak dan retribusi yang seringkali tidak rasional, yang justru menyebabkan investor enggan masuk. Tanpa ada visi tentang bagaimana mengelola kota/kabupaten sebagai unit ekonomi yang sustainable. Untuk itu di bawah ini diuraikan beberapa pokok tentang kebijakan tentang kebijakan Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL), sebagai aspek yang sebaiknya ditangani atau setidaknya menjadi pertimbangan para planner pada era transformasi ini. 2.1 Definisi Pembangunan Ekonomi Lokal Pengembangan ekonomi lokal bukan hanya retorika baru tetapi mewakili suatu perubahan fondamental pada aktor dan kegiatan yang terkait dengan pengembangan ekonomi, sebagaimana definisinya:
Local Economic Development is the process by wich actors within cities and towns our communities- work collectively with public, business and non-governmental sector partners to create better conditions for economic growth and employment generation.

munir/perform-project

Pengembangan Ekonomi Lokal


Through this process they establish and maintain a dynamic entrepreneurial culture and create new community and business wealth in order to enhance the quality of life for all in the community (World Bank, 2001).

PEL hakekatnya merupakan proses yang mana pemerintah daerah dan/ atau kelompok berbasis komunitas mengelola sumber daya yang ada dan masuk kepada penataan kemitraan baru dengan sektor swasta, atau di antara mereka sendiri, untuk menciptakan pekerjaan baru dan merangsang kegiatan ekonomi wilayah. Ciri utama pengembangan ekonomi lokal adalah pada titik beratnya pada kebijakan endogenous development menggunakan potensi sumber daya manusia, institutional dan fisik setempat. Orientasi ini mengarahkan kepada fokus dalam proses pembangunan untuk menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang pertumbuhan kegiatan ekonomi. (Blakely, 1989). Tabel 1 Pergeseran Konsep Pengembangan Ekonomi Lokal Komponen
Lapangan kerja Basis pembangunan Aset lokasi Sumber daya Blakely, ibid., h. 69

Konsep Lama
Lebih banyak perusahaan = lebih banyak lapangan kerja Pembangunan sektor ekonomi Keuntungan komparatif berdasar aset fisik Ketersediaan tenaga kerja

Konsep Baru
Perusahaan yang mengembangkan pekerjaan berkualitas yang sesuai untuk penduduk setempat Pembangunan kelembagaan ekonomi baru Daya saing berdasarkan kualitas lingkungan Pengetahuan sebagai pembangkit ekonomi

Apapun bentuk kebijakan yang diambil, PEL mempunyai satu tujuan, yaitu: meningkatkan jumlah dan variasi peluang kerja tersedia untuk penduduk setempat. Dalam mencapai itu, pemerintah daerah dan kelompok masyarakat dituntut untuk mengambil inisiatif dan bukan hanya berperan pasif saja. Setiap kebijakan dan keputusan publik dan sektor usaha, serta keputusan dan tindakan masyarakat, harus pro-PEL, atau sinkron dan mendukung kebijakan pengembangan ekonomi daerah yang telah disepakati bersama. Uraian selanjutnya akan membahas beberapa pilihan kebijakan dan tindakan yang dapat diambil dalam PEL.

munir/perform-project

Pengembangan Ekonomi Lokal 2.2 Pilihan Kebijakan Investasi Dengan kenyataan situasi yang ada, terutama besarnya tunggakan pinjaman Pemda Kota/ Kabupaten yang belum ada tanda-tanda akan diselesaikan, tentunya menimbulkan introspeksi bahwa mungkin ada sesuatu yang tidak beres yang mengharuskan strategi pembangunan (dan orientasi perencanaan) dirubah. Selama ini pembangunan wilayah dan kota hampir identik dengan pembangunan prasarana dan sarana fisik, yang diharapkan untuk dapat mengundang kegiatan ekonomi dan lainnya. Apakah stategi ini masih layak untuk dilaksanakan dalam situasi kemampuan ekonomi nasional yang sangat lemah, dan beban hutang pemerintah nasional dan daerah yang besar tersebut? Hirschman, dalam konsepnya tentang Strategi Pembangunan Ekonomi menguraikan adanya pilihan orientasi kebijakan antara investasi pada Social Overhead Capital (SOC) atau Direct Productive Activities (DPA). Selama kurun 30 tahun-an ini pembangunan perkotaan di Indonesia didominasi oleh prioritas pada pembangunan SOC, yang itu juga dibatasi pada pembangunan fisik dan prasarana. Pada saat ketersediaan dana pembangunan yang menipis, dan kenyataan bahwa syarat minimal ketersediaan prasarana perkotaan sudah tersedia, barangkali saatnya untuk mempertimbangkan saran Hirschman tentang development via shortage (pembangunan melalui kekurangan), sebagai pengganti strategi pembangunan melalui kapasitas berlimpah (development via excess capacity). Dengan ketersediaan prasarana saat ini, orientasi perencanaan pembangunan dapat diarahkan kepada DPA, yang berarti lebih menitikberatkan perencanaan kegiatan ekonominya sendiri. Dengan adanya peningkatan kegiatan ekonomi, secara logis dapat diharapkan akan meningkatkan kebutuhan akan pelayanan sarana dan prasarana perkotaan. Kebutuhan yang timbul tersebut adalah benar-benar kebutuhan riil yang dibutuhkan oleh sektor produktif. Dengan tumbuhnya kebutuhan riil yang dirasakan tersebut (effective demand) akan memudahkan penerapan tarif jasa pelayanan, impact fee, dan sejenisnya, serta dapat mengundang investor untuk berperan dalam pembangunan atau penyediaan sarana dan prasarana publik. Sementara itu, SOC bisa lebih dikonsentrasikan pada penyediaan pelayanan non-fisik (soft-infrastructure) dan bantuan-bantuan fasilitasi dan teknis, yang tidak memerlukan jumlah dana investasi yang terlalu besar. 2.3 Fokus Pengembangan Ekonomi Lokal Sejalan dengan perkembangan permasalahan dan beberapa isyu kebijakan tersebut, catatan dari World Bank menyebutkan bahwa fokus dari PEL juga telah mengalami pergeseran dalam tiga dekade belakangan ini, sebagaimana dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

munir/perform-project

Pengembangan Ekonomi Lokal

Tabel 2 Pergeseran Fokus Pengembangan Ekonomi Lokal Focus Tools


1960an 1980an (public sector only) - Menarik investasi manufaktur dari luar daerah - Hibah besar, keringanan pajak, pinjaman - Menarik investasi asing langsung (foreign bersubsidi bagi investasi manufaktur direct investment/FDA) - Subsidi investasi prasarana fisik - Membangun / investasi prasarana fisik - Penekanan biaya produksi dengan teknik seperti buruh murah. 1980an 1990an (public sector driven) - Melindungi dan menumbuhkan bisnis lokal saat - Pembayaran langsung kepada bisnis individu ini - Inkubasi bisnis/ tempat kerja - Melanjutkan titik berat pada menarik investor - Bimbingan dan pelatihan kepada UKM dalam negeri tapi biasanya lebih pada sektor - Bantuan teknis spesifik atau pada area tertentu - Bantuan start-up usaha - Investasi fisik dan non-fisik - Akhir 1990an seterusnya (public sector led) - Membuat keseluruhan lingkungan bisnis - Strategi holistik untuk menyediakan lingkungan kondusif bisnis yang kompetitif dan rangsangan bagi - Investasi non-fisik (pengembangan SDM, pertumbuhan bisnis setempat rasionalisasi peraturan) - Networking dan kerjasama antar komunitas - Kemitraan pemerintah-swasta - Memfasilitasi business clusters (kumpulan - Mendorong investasi sektor swasta ke barang bisnis yang saling berkaitan) publik - Pengembangan angkatan kerja - Target tinggi untuk menarik investasi, - Menunjang pengingkatan kualitas kehidupan. membangun daya saing lokasi WB, 2001

Dari Tabel tersebut dapat ditangkap bahwa fokus pendekatan dan tools yang digunakan mengarah pada pendekatan yang holistik guna membangun lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi, mengutamakan networking kemitraan antar pelaku bisnis dan stakeholders pembangunan, pengembangan business clusters guna membentuk daya saing kegiatan ekonomi, serta pengembangan sumber daya manusia. Di bawah ini akan disinggung sebagian mengenai suatu pendekatan perencanaan PEL yang pada hakekatnya masih mendekati cara berfikir dan pendekatan yang biasa digunakan dalam perencanaan PWK yang telah diaplikasikan selama ini. 3. Pendekatan Perencanaan Ekonomi Lokal 3.1 Pengembangan Daya saing Mengembangkan ekonomi lokal berarti bekerja secara langsung membangun economic competitiveness (daya-saing ekonomi) suatu kota untuk meningkatkan ekonominya. Prioritasi ekonomi lokal pada peningkatan daya saing ini adalah krusial, mengingat

munir/perform-project

Pengembangan Ekonomi Lokal keberhasilan (kelangsungan hidup) komunitas ditentukan oleh kemampuannya beradaptasi terhadap perubahan yang cepat dan meningkatnya kompetisi pasar. Setiap komunitas mempunyai kondisi potensi lokal yang unik yang dapat membantu atau menghambat pengembangan ekonominya. Atribut-atribut lokal ini akan membentuk benih, yang dari situ strategi PEL dapat tumbuh memperbaiki daya saing lokal. Untuk membangun daya saing tiap komunitas perlu memahami dan bertindak atas dasar kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman untuk membuat lokasi/ kota nya menarik bagi kegiatan bisnis, kehadiran pekerja dan lembaga yang menunjang. Daya saing dapat diukur dengan beberapa kategori indikator. Tiap ukuran mencerminkan insentif penting untuk berinvestasi di daerah tersebut. Setidaknya ada empat kategori penilaian yang digunakan untuk mengukur daya saing: - Struktur ekonomi: komposisi ekonomi, produktivitas, output dan nilai tambah, serta tingkat investasi asing atau domestic. Beberapa teknik analisis yang biasa digunakan perencana, termasuk: location quotient (LQ), shift-share analysis, economic base analysis, regional income indicators, dst. - Potensi wilayah: yang non-tradeable seperti lokasi, prasarana, sumber daya alam, amenity, biaya hidup dan bisnis, citra daerah - Sumber daya manusia: kualitas SDM yang mendukung kegiatan ekonomi - Kelembagaan: konsistensi kebijakan pemerintah dan perilaku masyarakat yang proPEL, serta budaya yang mendukung produktivitas. Dalam hal ini ada tiga metode penilaian yang dapat digunakan, yaitu: ekonomi wilayah, benchmarking, analisis SWOT. Tiap metode mempunyai kelebihan dan kekurangan, sebagaimana di bawah ini:
Ekonomi wilayah. Berfokus pada analisis kuantitatif dari ekonomi kota. Variabel kuncinya termasuk struktur ekonomi dan biaya produksi di lokasi terutama biaya transport dan buruh. Kelebihan dari metode ini adalah efektivitasnya untuk menilai industri tradisional, labor intensif, menidentifikasi keunggulan komparatif dan faktor harga. Kelemahannya kurang mempertimbangkan beberapa faktor penting seperti: stabilitas politik, dan produktivitas buruh, dan kontribusi dari sektor informal. Benchmarking. Identifikasi kota-kota sebagai acuan perbandingan untuk menyusun tujuan dan menggunakannya sebagai visi dan panduan. Seiring dengan perubahan pada kota acuan, kota yang mengacu juga dapat secara dinamis merubah visi masa depan kotanya. Metode ini dapat menjelaskan hubungan sebab-akibat di antara kebijakan, perilaku dan outcomes di kota acuan, namun tidak mampu mengidentifikasi cara untuk mencapai tujuan akhir. Analisis SWOT. Analisis yang biasa digunakan dalam perencanaan strategis untuk menilai kekuatan dan kelemahan internal, serta peluang dan tantangan eksternal. Kelebihan dari metode ini adalah tidak membatasi tujuan dan informasi yang digunakan, dapat menggunakan informasi dari media masa, hasil interview dst. Kelemahannya hasilnya dapat bervariasi tergantung pada sudut pandang atau variasi dari personel yang terlibat. (World Bank, 2001)

Sesuai dengan perkembangan kota, diperlukan penilaian daya saing yang dinamis dan strategis.

munir/perform-project

Pengembangan Ekonomi Lokal 3.2 Pengembangan Business Cluster Cluster industri sering disebut sebagai mesin dari ekonomi lokal. Suatu cluster mempunyai tiga dimensi yang menyangkut: produsen pengekspor, pemasok dan perantara, dan institusi dasar yang memberikan inputs, seperti ide, inovasi, modal dan prasarana (lihat Diagram 2). Cluster industri dimaksudkan sebagai lokomotif untuk mendorong perkembangan sistem industri di daerahnya melalui fokus pada dukungan terhadap jenis-jenis industri setempat yang potensial sebagai basis ekspor ke luar daerah. Hubungan keterkaitan antar industri, dan meningkatnya pendapatan daerah, dapat merangsang kebutuhan atau permintaan akan jasa dan produk lokal yang lebih luas lagi (multiplier effects). Diagram 2 Struktur Business Cluster

ExportBased Industries
Input materials, Distribution, trade & other supporting services

Supplier Industries:

Economic Infrastructure:
Human Resources Technology Capital & Finance Regulatory environment Physical Infrastructure

Integrated Cluster Sumber: Le Maroc, 1997

Pengembangan cluster berfokus pada fasilitasi atau penguatan keterkaitan dan saling ketergantungan antar unit usaha (hubungan pemasok dan pembeli) dalam suatu network produksi dan penjualan produk dan jasa. Dengan mendorong industri yang prospek pasarnya tinggi, mampu berkompetisi diharapkan akan meningkatkan perolehan devisa (surplus) dan menciptakan kebutuhan akan produk industri setempat atau sekitarnya. Demikian pula peningkatan pendapatan masyarakat akan meningkatkan permintaan akan produk dan jasa dari kegiatan ekonomi setempat pula (domestic demand). Demikian selanjutnya, mata rantai ini jika berhasil diperluas akan mengembangkan lapangan kerja dan kesejahteraan masyarakat.

munir/perform-project

Pengembangan Ekonomi Lokal Pengembangan cluster berarti bahwa inisiatif PEL dikonsentrasikan pada mendorong dan mendukung kerjasama antar perusahaan, pengembangan kelembagaan dan mendukung sektor industri yang dipilih. Pengembangan cluster dilaksanakan dibawah strategi PEL akan menyangkut beberapa pendekatan,antara lain: - Pengembangan network. Perhatian khusus diberikan untuk mendorong kerjasama penduduk setempat dalam cluster yang sama untuk secara bersama untuk meningkatkan peluang pengembangan bisnis. Network ini dapat pemasaran produk bersama dan kemudian memulai perdagangan antar perusahaan dalam satu cluster. - Mengembangkan upaya pemasaran bersama cluster. Identifikasi dan pengembangan cluster membentuk basis untuk promosi investasi dan pemasaran, sebagai bagian dari program city marketing. - Menyediakan informasi yang spesifik untuk cluster. Kegiatan yang dapat segera dilakukan adalah mengumpulkan dan menyebarkan informasi tentang kegiatan bisnisdan system pendukung kebijakan.Dengan pertukaran informasi ini keterkaitan pembeli-pemasok dapat dikembangkan. - Mendukung riset bersama. Perguruan tinggi yang ada dapat dilibatkan dalam riset yang bermanfaat bagi cluster, pengembangan inkubasi bisnis. - Mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan. Kunci untuk networking bisnis di dalam suatu inisiatif cluster adalah apresiasi keterampilan di dalam sektor. Bila sejumlah bisnis mengekspresikan kebutuhan, sehingga pelatihan yang sesuai akan diberikan. Pemerintah daerah dapat berkolaborasi secara regional, menjadi fasilitator dari networking antar industri, dan katalis yang menjalin tiap pelaku ekonomi untuk bekerjasama. Di samping itu, pemerintah daerah juga dapat berperan besar dalam menumbuhkan permintaan (government expenditur), mengingat di kebanyakan daerah belanja pemerintah masih dominan. Ini penting, karena biasanya sulit bagi unit UKM setempat untuk bersaing mendapatkan kesempatan, mengingat keterbatahan kelembagaan, biaya pemasaran serta akses ke sumber dana. 4. Konsep Pengembangan Kota Swadaya (yang Berkelanjutan) Konsep ini dipelopori oleh para ahli ekologi yang melihat kota sebagai ekosistem (ecological nation) yang berusaha memaksimalkan nilai jangka panjang dari lahannya yang terbatas dengan menciptakan sistem-sistem berbasis hayati yang saling bergantung. Sasarannya adalah swadaya lokal. Dari kacamata ekonomi, swadaya lokal ini diartikan sebagai memberikan sejumlah besar added value kepada sumber daya alam melalui pengolahan dan pemasaran bagi manfaat komunitas lokal. Swadaya lokal adalah kemampuan untuk berswasembada, bukan swasembada itu sendiri. Swadaya merupakan suatu keseimbangan baru, bukan suatu kemutlakan yang baru (Morris, 1993). Kota swadaya memandang dirinya sebagai sebuah negeri. Ia menganalisis arus modal di dalam daerahnya dan menilai neraca pembayarannya. Kota mendaur ulang uang

munir/perform-project

Pengembangan Ekonomi Lokal sebanyak ia mendaur ulang barang-barang. Setiap daur tambahan meningkatkan kekayaan komunitas itu. Bisnis dinilai bukan hanya menurut besaran jasa-jasa atau produk-produk yang dihasilkan tetapi juga berdasarkan multiplier-effect nya kepada ekonomi lokal. Hentikan kebocoran sumber daya (devisa daerah) adalah seruannya kepada para pengelola kota. Untuk lebih jalasnya, mengenai konsep peningkatan multiplier effect ini dapat dilihat pada Diagram 3 pada Lampiran. Faham swadaya lokal ini memberi model kebijakan sekaligus peringatan bagi kota-kota atau daerah-daerah yang sedang dalam semangat otonomi daerah terhadap sikap apa yang sebaiknya diambil. Ini sekaligus bisa memberi aspirasi bagi perencana PWK dalam memasuki pardigma otonomi lokal dalam era globalisasi. Pentingnya untuk mempertimbangkan pemanfaatan seluruh potensi sumber daya (alam, manusia, buatan) secara berkelanjutan bagi kepentingan lokal, sebelum berfikir terlalu jauh kepada impian untuk bersaing di tingkat global. Suatu contoh bahaya dari melihat keluar sebelum ke dalam wilayah sendiri adalah mitos menarik investor dari luar daerah atau luar negeri (foreign direct investment). Mitos tersebut sudah menjadi jargon para pemerintah daerah pada era globalisasi ini. Biasanya dilakukan dengan ekspansi dalam pembangunan prasarana fisik, yang umumnya dibiayai oleh dana pinjaman (debt-driven development). Pengalaman di banyak negara memberi peringatan bahwa mitos itu sering tidak menjadi kenyataan. Kisah yang sering terjadi adalah ketika industri-industri baru diundang dari luar, mereka membawa janji berupa lapangan kerja baru, order bagi para pemasok lokal, suntikan dana segar ke dalam komunitas. Akan tetapi dalam banyak kasus, kalau toh mereka jadi ber-investasi, perusahaan mempunyai persyaratan tenaga kerja yang sangat khusus, membawa serta pekerja-pekerja yang kualifikasinya tinggi. Pekerjaan-pekerjaan yang tersisa untuk penduduk lokal semakin sedikit, tinggal pekerjaan kasar berupah rendah. Dalam beberapa kasus bahkan seluruh pendapatan pajak dari sebuah kawasan baru hanya dapat untuk membiayai sebagian dari jasa-jasa pelayanan yang harus disediakan oleh pemerintah daerah. Sehingga warga setempat harus menanggung beban pajak yang meningkat, biaya hidup meningkat karena inflasi lokal, sementara pemerintah daerah mendapat tambahan beban biaya pembangunan prasarana dan pelayanan bagi para pendatang baru ini. Kualitas pelayanan kota memburuk, karena beban keuangan yang berat membuat pemerintah tidak mampu lagi menyediakan tambahan pelayanan baru dan pemeliharaan pelayanan yang ada. Investasi (prasarana fisik) untuk menarik perusahaan baru juga berisiko meningkatkan kelabilan ekonomi, karena kemungkinan bahwa perusahaan multinasional yang besar akan memutuskan untuk meninggalkan daerah itu sama cepatnya seperti ketika ia datang. Hanya karena melihat ada tawaran tenaga kerja yang lebih murah di negara lain. Kotakota terperangkap dalam lingkaran hutang dengan bersaing untuk mendapatkan perusahaan-perusahaan besar yang semakin sedikit jumlahnya.

munir/perform-project

Pengembangan Ekonomi Lokal Sementara itu, belajar dari negara seperti USA, statistik menunjukkan bahwa ternyata bisnis kecil, dan bukan perusahaan raksasa yang merupakan tulang punggung perekonomian lokal. Di USA 87,2 persen perusahaan mempunyai penjualan rata-rata kurang dari $100.000 per tahun. Dua-per-tiga dari seluruh pekerjaan baru diciptakan oleh perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan kurang dari 20 orang (Morris, 1993). Ini merupakan pelajaran menarik agar sebagian besar kota/kabupaten di Indonesia yang sedang demam otonomi daerah tidak terjebak ke dalam masalah yang sama. Dalam situasi kelangkaan sumber dana untuk sebagian besar daerah di Indonesia, dan kerentanan mitos mengundang investor dari luar, ada baiknya untuk lebih melihat ke dalam, dengan mengawali proses pembangunan di era otonomi daerah dengan menggunakan cara pandang swadaya. Kalau pilihan kebijakan sebelumnya menyarankan peningkatan daya saing, maka saran kebijakan swadaya ini lebih mendahulukan daya tahan dari ekonomi lokal. Meskipun swadaya lokal merupakan suatu pendekatan melihat ke dalam. Akan tetapi dinamikanya dapat mempunyai akibat besar bagi perekonomian nasional. Karena ekonomi nasional yang produktif hanya terjadi jika masing-masing daerah dapat berswadaya dan menggarap pekerjaan rumahnya masing-masing (menumbuhkan usahausaha lokal, mengatasi pengangguran) untuk selanjutnya dapat berperan aktif dan berinteraksi secara produktif dengan daerah-daerah lain membentuk kesatuan ekonomi nasional. 5. Pengembangan Kelembagaan yang Menunjang PEL Penerapan kebijakan pengembangan ekonomi lokal menyangkut pengembangan partisipasi dari seluruh pelaku pembangunan kota/kabupaten sehingga masalahnya adalah bagaimana mengembangkan partisipasi tersebut. Satakeholders tersebut dapat berpartisipasi kalau mereka ikut memiliki atau dihargai perannannya sejak dari perencanaan, pelaksanaan, dan pengendaliannya. Untuk itu, diperlukan pengembangan kelembagaan untuk menjalin kemitraan dan keterbukaan peluang bagi kontrol. 5.1 Kemitraan Proses perencanaan dan implementasi pengembangan ekonomi lokal dilaksanakan secara kolektif antara ketiga unsur: pemerintah swasta masyarakat. Antara ketiganya saling terkait dalam menentukan keberhasilan kebijakan PEL. Kegiatan usaha yang sukses menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat. Agar sukses kegiatan usaha tergantung pada kondisi lokal. Masing-masing pihak mempunyai peran dalam menciptakan kondisi yang kondusif bagi dunia usaha. Pada skala kota (urban wide), berarti menjalin kemitraan antar stakeholders, pihak pemerintah daerah dan instansi terkaitnya; pihak swasta yang menyertakan pelaku industri besar-menengah-kecil, asosiasi-asosiasi; dan pihak masyarakat yang

munir/perform-project

10

Pengembangan Ekonomi Lokal menyertakan wakil-wakil kelompok, NGO. Masing-masing dengan potensi dan aspirasinya membentuk visi, misi dan tujuan PEL bagi daerahnya. Pada skala komunitas (community base), juga dijalin kerjasama antara pihak warga, CBO (community based organization), unit-unit usaha di lingkungan yang sama, dan aparat pemerintah yang fungsinya langsung melayani masyarakat.Masing-masing difalisitasi untuk menyampaikan aspirasi dan kebutuhannya. Untuk tujuan praktis, penerapan konsep pengembangan multiplier-effect di atas perlu ditunjang dengan pengembangkan kemitraan usaha, yaitu menjalin kemitraan antara kelompok Usaha Besar dengan Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Secara lebih jelas konsep kemitraan ini dapat dilihat pada Diagram 4 pada Lampiran. Pada Diagram tersebut, terdapat beberapa unsur, yang masing-masing mempunyai peran dalam kemitraan usaha, yaitu: Forum Kemitraan, yang dibentuk sebagai forum pertemuan antar stakeholders, dari unsur usaha (UB dan UKM), pemerintah daerah, perbankan, Kadinda, asosiasi profesi, NGO dan CBO, perguruan tinggi. Dalam forum ini dibicarakan aspirasi masing-masing unsur mengenai kemitraan usaha dan pengembangan ekonomi lokal, selanjutnya membuat komitmen kerjasama. Unsur Pemerintah Daerah, berperan sebagai fasilitator kerjasama, dan mengukuhkan komitmen kerjasama antar pihak. Selain itu sebagai buyer atau pengguna jasa utama di daerah (pada umumnya), pemerintah daerah dituntut komitmen-nya dalam memberi kesempatan kepada usaha kecil yang potensial. Usaha besar dan BUMN/BUMD, berperan sebagai leading-industries, yaitu: sebagai pemberi order atau pembeli produk dari UKM; sebagai pembina dalam alih pengetahuan dan teknologi; dan pada saatnya sebagai penjamin kepada bank atau sumber dana lainnya. UKM, sebagai pihak yang dibantu harus menunjukkan komitmen untuk meningkatkan kemampuan dan profesionalismenya. Perguruan tinggi, lembaga riset dan pengembangan, pusat data (statistik), asosiasi profesi, NGO, perlu berperan dalam menunjang dari segi pelatihan keterampilan (teknis, manajerial), maupun dalam pendampingan, termasuk dalam mempromosikan daerah secara umum dan usaha setempat. Dengan demikian diharapkan dapat dijembatani antara usaha besar dengan UKM, sektor formal dengan informal. Selanjutnya dapat diharapkan agar masing-masing pihak memasarkan daerahnya, mengundang arus uang ke daerah dan memutarnya lebih lama dengan mendayagunakan potensi produksi daerah, dan pada gilirannya menyerap makin banyak angkatan kerja yang tumbuh di daerah. 5.2 Pengendalian (control) Pada sisi lain, proses dialog antar stakeholder tersebut juga mempunyai fungsi kontrol. Kebijakan PEL akan dapat sukses kalau dilaksanakan sesuai dengan azas good

munir/perform-project

11

Pengembangan Ekonomi Lokal governance, ada untuk kepercayaan, keterbukaan dan akuntabilitas. Untuk itu lembaga self-control melalui forum PEL pada tingkat kota maupun komunitas akan diperlukan. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa penyimpangan dari asumsi berjalannya konsep yang dikembangkan, bekerjanya mekanisme pasar, ternyata meleset karena terjadinya penyelewengan dan penyalahgunaan, karena tidak adanya lembaga kontrol yang efektif, yang menyuarakan kebutuhan nyata masyarakat dan dunia usaha (UKM). Sehingga banyak instrumen kebijakan dan program pemberdayaan ekonomi lokal yang disalah gunakan. Contoh populer: instrumen PPP (public-private partnership) dalam pembangunan dan pengelolaan PDAM, banyak yang dipelesetkan menjadi bisnis putraputri petinggi daerah. Banyak kegiatan bisnis swasta yang dibiarkan membebankan biaya atau kewajiban internalnya, menjadi beban eksternal yang harus ditanggung publik. Dengan menggunakan perencanaan sebagai proses pembelajaran, maka perencana dapat berperan dalam pemberdayaan masyarakat, membantu masing-masing stakeholder menyadari hak dan kewajibannya dalam pemberdayaan kegiatan ekonomi di daerahnya. 6. Konsep Pengembangan Ekonomi Lokal dalam PDPP Dari beberapa pilihan kebijakan pengembangan ekonomi lokal di atas, untuk tujuan praktis perlu dikembangkan suatu sintesa dari konsep-konsep yang ada sebagai dasar bagi pengembangan konsep PEL yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi daerah di Indonesia saat ini. Dalam pengembangan PDPP (Program Dasar Pengembangan Perkotaan), dikembangkan pendekatan melalui praktek pendampingan di daerah. Tim Konsultan PDPP di daerah menerapkannya bersama Tim Teknis yang dibentuk, dan forum stakeholder yang anggotanya dari berbagai unsur masyarakat, serta dengan masyarakat pada tingkat komunitas. Pengembangan Ekonomi Lokal dalam hal ini merupakan orientasi utama dari PDPP, dalam upaya meningkatkan kemandirian daerah. Secara bertahap dilakukan proses perencanaan, mulai dari penjaringan kebutuhan, identifikasi permasalahan, dan perumusan visi dan misi, kemudian akan dilanjutkan dengan penyusunan rencana tindak dan mekanisme pengendalinnya. Dari proses yang berjalan saat ini, ada beberapa kota/kabupaten yang telah menunjukkan komitmennya untuk mengembangkan kemitraan antar unsur (dan pelaku ekonomi) daerah untuk bekerja sama mengembangkan ekonomi daerahnya. Untuk menyebutkan contoh, dari beberapa kota/kabupaten yang didampingi dalam pengembangan ekonomi lokal, antara lain adalah Kota Solok dan Kota Padang Panjang. Keduanya sementara ini telah melakukan beberapa proses, antara lain: penetapan visi ekonomi kotanya, dan mulai menjalin kemitraan untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan ekonomi yang terkait dengan produk unggulan yang dipilihnya, serta

munir/perform-project

12

Pengembangan Ekonomi Lokal merencanakan pengembangan komponen-komponen pendukung, yang meliputi: i. komponen sarana dan prasarana fisik; ii. komponen sumber daya manusia; iii. komponen sumber dana dengan menghimpun berbagai sumber dana daerah maupun dari luar; iv. komponen kelembagaan dan peraturan-perundangan yang menunjang keseluruhan proses. Secara lebih jelas dapat dilihat pada Diagram 5 dan 6 pada Lampiran. 7. Penutup Tantangan yang dihadapi perencana wilayah dan kota saat ini adalah bagaimana merencana di bawah bayang-bayang triangle trap (jerat krisis anggaran, krisis hutang, dan beban subsidi). Ini tantangan tidak kecil, karena memerlukan perubahan sikap, mengingat sejak perencana berkiprah di pertengahan dekade 1960an, pembangunan dimotori oleh pinjaman luar negeri. Otonomi daerah, dapat dianggap tantangan, tapi bisa dilihat pula sebagai peluang, karena dengan pendekatan yang berbasis daerah, barangkali permasalahan pembangunan wilayah dan kota dapat didekati secara lebih riil, ada variasi potensi antar daerah. Meskipun demikian, masalah beban hutang, pengangguran juga menjadi persoalan daerah yang nyata. Mengembangkan daerah tanpa menambah beban hutang, tanpa banyak tergantung pada subsidi, bahkan syukur-syukur kalau dapat mengurangi beban nasional dengan mengundang devisa dan memperluas lapangan kerja, adalah tantangan riil dalam pengembangan daerah. Pendekatan Pengembangan Ekonomi Lokal adalah salah satu upaya untuk meningkatkan kapasitas daerah dalam menghadapi tantangan tersebut. Meskipun pengembangan ekonomi daerah sebenarnya bukanlah hal yang baru, namun dalam kontek tantangan yang ada, yang ternyata juga didukung oleh teori yang berkembang belakangan ini, titik pandang pengembangan ekonomi daerah harus dirubah, terutama yang menyangkut: Titik beratnya bukan kepada mengundang investor (dengan segala biaya), tetapi mengundang atau melahirkan usaha yang dapat menyerap pertumbuhan angkatan kerja setempat; Kegiatan ekonomi yang mendaya gunakan se-efektif mungkin sumber daya setempat (SDA, SDM), dan menggunakan input (produk, jasa) kegiatan ekonomi lokal; Kegiatan ekonomi yang meningkatkan kualitas hidup lingkungan setempat, menggunakan sumber daya alam secara bijak, tidak mencemari lingkungan, tidak mengundang masalah sosial (kriminal, konflik) dan masalah lainnya.

munir/perform-project

13

Pengembangan Ekonomi Lokal Tentu saja ini bukan pekerjaan yang mudah, terutama pada situasi ekonomi dan kepercayaan dunia usaha yang masih diliputi krisis. Oleh karena itu masalah kelembagaan, khususnya dalam mengembangan kemitraan antar berbagai fihak perlu menjadi perhatian utama. Daftar Pustaka: Blakely, Edward J. Planning Local Economic Development: Theory and Practice, Sage Publications, 1994. Booth, Anne., Pembangunan: Keberhasilan dan Kekurangan, dalam Donald K. Emmerson, ed., Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi (terjemahan), The Asia Foundation & PT. Gramedia, Jakarta, 2001 Glikson, Artur. Regional Planning and Development, The Hague, Leiden, 1955. Harvie, Charles. Sustaining Business Growth and Development after the Asian Crisis Key Ingredients, a paper, Wollongong University, NSW, Australia, 2001. Hishman, Albert O. The Strategy of Economic Development, Yale University Press, Inc. New Haven. 1958 Le Maroc Competitive, A Strategic Plan to Enhance Maroccos Cluster Competitiveness, DRI/McGraw-Hill, September 1997. Lincolin, Arsyad. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. Penerbit BPFE Yogyakarta. 1999. Kotler, Philip., Donald Haider, Irving Rein, Marketing Places: Attracting Investment, Industry, and Tourism to Cities, States, and Nations, The Free Press, New York, 1993. Morris, David. Menuju Kota Swadaya, dalam D.C. Korten & Sjahrir, Pembangunan Berdimensi Kerakyatan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1988. ---------------. A Global Villages. In Context: a Quarterly of Humane Sustainable Culture. Fall 1993. Nasution, Muslimin. Keterkaitan Industri Besar, Menengah dan Kecil, AFKAR Jurnal Tiga Bulanan Cides, Vol. III No.1, Januari-Maret 1995, Jakarta. Pierce, Neal R. CityStates: How Urban America can Prosper in a Competitive World, The Seven Locks Press, Washington, D.C. 1993. Porter, Michael E., The Competitive Advantage of Nations, The Free Press, New York, 1990. Rachbini, Didik J. Ekonomi Politik Hutang, Orasi Ilmiah dalam Pengukuhan sebagai Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Mercu Buana, Penerbit Ghalia, 2001. Sato, Yuri., Linkage Formation by Small Firms: The Case of a Rural Cluster in Indonesia, BEIS, Vol. 36 No 1 April 2000, Indonesian Project The Australian National University. Schein, Edgar H. Strategic Pragmatism: The Culture of Singapores Economic Development Board, Toppan Company, The MIT Press, 1996. UNCHS. Partnership for Local Action, UNCHS (Habitat) - Community Development Programme for Asia - CityNet, Yokohama, 1997. World Bank, Local Economic Development, Urban Development Unit, Washington D.C., August 2001.

munir/perform-project

14

Pengembangan Ekonomi Lokal

==@==

munir/perform-project

15

Pengembangan Ekonomi Lokal

Diagram 1

Mengapa dibutuhkan Perencanaan PEL?


PRASARANA PERKOTAAN
% Economic impact?

PINJAMAN
Repayment

PAJAK, RETRIBUSI
PAD

Specific?

P.E.L
?

INVESTASI (FDI, Lokal)

% Padat karya?

LAPANGAN KERJA

*PEL = Pengembangan Ekonomi Lokal


Munir/perform

munir/perform-project

16

Pengembangan Ekonomi Lokal


Diagram 3

Pengembangan Efek Multiplier pada Ekonomi Lokal


Sektor Ekspor Produksi Input Lokal Multiplier Income Lokal Income yg Berputar Tabungan Konsumsi
Belanja Barang dari. Luar (kebocoran)

Belanja Barang dari. Luar (kebocoran)

Penjualan Ekspor (Income)

Belanja Barang dari. Luar (kebocoran)

Sektor Retail Lokal

Produksi Barang Lokal

MR/perform

munir/perform-project

17

Pengembangan Ekonomi Lokal


Diagram 4

Model Kemitraan Industri Besar Menengah - Kecil


Usaha Besar, BUMN/D - Ekspor
- Govt captive FORUM KEMITRAAN Kemitraan Usaha: - Vendor -Sub-contract
Order, Sdm, iptek Suplai Penjaminan kredit

UKM Berpotensi

Bantuan teknis: Pemasaran Manajemen Pengem. SDM Ristek

Mitra Penunjang: - Pemerintah,

-Asosiasi, NGO

-University

UKM Produktif

Lembaga Keuangan:
- % portfolio kredit - Ventura Cap.

Komitmen: Iklim Usaha & Persaingan yang Sehat

munir/perform-project

18

Pengembangan Ekonomi Lokal Diagram 6 PENGEMBANGAN KOTA PADANG PANJANG MARKET ?

Sumbagut, P. Jawa Batam, ASEAN

Pemkot Reg.Invest.Board Industri Kulit Produksi/ Potensi Daerah Lain Serambi Mekah Wisata Budaya, Alam Group Swasta

Koperasi UKM Pesantren, Kursus2.

RPH Penyamakan Sepatu, Tas Pasar ternak

Pesantren

S.T Seni, Pus. Dok Keb, (TMII Sumbar) Sulaman, Bordir

TR-Fispra: -Kws. Wisata -L.I.K -Jalan - O&M Aset

Sumber dana: APBD, BPD Swasta, Gebu Minang Masyarakat

Regulasi: KerjasamaAntar Drh. KemudahanIjin Hak Atas Tanah

SDM: Pelatihan UKM ST. Seni, Univ Andalas, Group- Swasta

PIPP

P3RT

P2IRT

munir/perform-project

19

Pengembangan Ekonomi Lokal Diagram 6 PENGEMBANGAN KOTA SOLOK MARKET ? Sumbagut, P. Jawa Batam, ASEAN

Pemkot Group Swasta Dagang Pendidikan Jasa (Wisata) Koperasi UKM Pesantren, Kursus2.

Produksi/ Potensi Daerah Lain

Saprodi Agro-industri Pasar Hortikultur

S.T Pertanian (Teknologi Pasca-panen)

Events: - Pacuan Kuda - Buru-babi Sulaman, Bordir Hotel

TR-Fispra: -Psr. Horti -L.I.K -Jalan -O & M Aset

Regulasi: KerjasamaAntar Drh. KemudahanIjin Hak Atas Tanah

Sumber dana: Pemkot, BPD Swasta, Gebu Minang Masyarakat

SDM: Pelatihan UKM ST. Pertanian, Univ Andalas, Group- Swasta

PIPP

P3RT

P2IRT

munir/perform-project

20

Anda mungkin juga menyukai