Latar Belakang Rhinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter sehari-sehari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering seluruh dunia. Sinusitis merupakan penyakit dengan
persentase yang signifikan di dalam populasi dan dapat menyebabkan morbiditas jangka panjang. Sinusitis adalah penyakit yang multifaktorial dan telah menjadi penyakit nomor satu di Amerika, dan jutaan dolar dihabiskan untuk mengobatan penyakit ini. Penyebab utamanya adalah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, alergi dan gangguan anatomi yang selanjutnya dapat diikuti infeksi bakteri. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Yang paling sering terkena ialah sinus ethmoid dan maksila, sedangkan sinus frontal lebih jarang dan sinus sphenoid lebih jarang lagi. Sinus maksila disebut juga antrum highmore, letaknya dekat akar gigi rahang atas, maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus, disebut sinusitis dentogen. Sinusitis dapat menjadi berbahaya karena menyebabkan komplikasi orbita dan intrakranial, serta menyebabkan peningkatan serangan asma yang sulit diobati. Antrum maksila mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan akar gigi premolar dan molar atas dan sering terlihat pada pemeriksaan radiologi oral dan fasial. Hubungan ini dapat menimbulkan problem klinis, seperti infeksi yang berasal dari gigi dan fistula oroantral dapat naik ke atas dan menimbulkan infeksi sinus. Data dari sub bagian Rinologi THT FKUI RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo menunjukkan angka kejadian sinusitis yang tinggi yaitu 248 pasien (50%) dari 496 pasien rawat jalan yang datang pada tahun 1996.
2.1. Anatomi Hidung Hidung terdiri dari piramid hidung (nasus eksternus) dan rongga hidung (cavitas nasi) a. Hidung Luar (Nasus Eksternus) Hidung luar tampak seperti piramid dan melekat pada tulang wajah. Bagian atas sempit dan berhubungan dengan dahi disebut radiks nasi. Dari sini ke bawah terbentang dorsum nasi dan berakhir sebagai ujung yang disebut apeks nasi. Di bagian depan terdapat lubang disebut nares. Nares di sebelah medial dibatasi oleh sekat yang disebut collumella sedang di sebelah lateral dibatasi oleh alae nasi. Tepi bebas alae nasi disebut margo nasi. Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Di sebelah superior diperkuat oleh tulang-tulang: os. nasalis, prosesus frontalis os. maksila dan prosesus nasalis os frontal. Di bagian bawah terdapat kerangka tulang rawan yang disebut cartilagines nasi yang terdiri dari : sepasang cartilago nasi lateralis superior sepasang cartilago alaris mayor sepasang cartilago alaris minores cartilago septi nasi.
b. Rongga Hidung (Kavitas Nasi) Struktur ini dimulai dari nares (lubang hidung) di sebelah anterior sampai koana di sebelah posterior. Rongga hidung terbagi dua, kanan dan kiri oleh septum nasi. Rongga hidung mempunyai atap, lantai, dinding lateral dan dinding media. Atap : Dibentuk oleh cartilagines nasi dan tulang-tulang : os nasale, os frontale lamina cribosa, os eithmoidale dan corpus os sphenoidale. Dasar : Dibentuk oleh processus palatinus os maxillae dan lamina horizontalis os palatum Dinding medial atau septum nasi : Dari anterior ke posterior terdiri atas cartilage septi nasi, lamina perpendicularis os eithmoidale dan vomer Dinding lateral : Dibentuk oleh os nasale, os maxilla, os lacrimale, os eithmoidale, concha nasalis inferior dan os spheinoid. Dinding lateral ini tidak rata, ditandai tonjolan-tonjolan conchae nasalis dan meatus nasi yang terletak di bawah tiap conchae . Conchae nasales tersebut adalah :
conchae nasalis suprema ( kadang ada kadang tidak) conchae nasalis superior conchae nasalis media conchae nasalis inferior
Dalam cavum nasi terdapat meatus nasi, yaitu : meatus nasi superior, di sini terdapat ostia cellulae eithmoidales posterior meatus nasi medius, terdapat lubang-lubang muara dari sinus maxilaris, sinus anterior. meatus nasi inferor, terdapat muara ductus nasolacrimalis. frontalis, cellulae ethmoidais
c. Vaskularisasi Hidung a. A. sphenopalatina cabang A. maxillaris interna b. A. eithmoidalis anterior cabang A. opthalmica mendarahi sepertiga depan dinding lateral dan sepertiga depan septum nasi c. A. eithmoidalis posterior, mendarahi bagian superior 4
d. cabang-cabang A. facialis e. A. Palatina descendens cabang A maxillaries interna. Pada bagian anterior septum nasi terdapat anastomosis antara R. septi nasi A. labialis superior cabang A. facialis dengan rami septales posterior A. Sphenopalatina cabang A. maxillaris interna, juga kadang-kadang diikuti R. septalis anterior A.eithmoidalis
anterior dan cabang dari A. palatina major. Anastomosis ini terletak superfisial. Kiesselbach. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke V.opthalmica yang berhubungan dengan sinus kavernosus..Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran intrakranial. infeksi sampai ke Daerah tempat anastomosis ini disebut daerah
d. Inervasi Hidung Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensorik dari n.ethmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasociliaris, yang berasal dari n.opthalmicus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat ganglion mendapat persarafan sensorik dari
n.maxillaris sphenopalatina,
melalui selain
sphenopalatina. persarafan
Ganglion juga
sensorik,
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensorik dari n.maxillaris, serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabutserabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion tersebut terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior concha media. Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada selsel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di sepertiga atas hidung.
Rongga hidung dilapisi oleh yang secara secara histologik dan funsional dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaanya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu bersilia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet. Pada bagian yang lebih terkea aliran udara, mukosanya lebih kental dan kadang terjadi metaplasia menjadi epitel skuamosa. Dalam keadaan normal, mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel goblet. Palut lendir di rongga hidung akan didorong ke arah nasofaring oleh silia dengan gerakan teratur. Di bawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid. Mukosa sinus paranasal berhubungan langsung dengan mukosa rongga hidung di daerah ostium. Mukosa sinus menyerupai mukosa rongga hidung, hanya lebih tipis dan pembuluh darahnya juga lebih sedikit. Sel-sel goblet dan kelenjar juga lebih sedikit dan terutama ditemukan di dekat ostium. Sekresi mukosa nasal merupakan campuran dari komponenkomponen : sekresi kelenjar mukosa dan sel goblet, transudasi dan eksudasi dari kapiler di dalam mukosa dan debris dari leukosit dan sel epitel Fungsi hidung adalah untuk : 1. Sebagai jalan nafas 2. Pengatur kondisi udara (air conditioning) Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk
mempersiapkan udara yang masuk ke alveolus dengan cara mengatur kelembaban udara dan mengatur suhu. 3. Sebagai penyaring dan pelindung Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan dilakakukan oleh rambut, silia, palut lendir (mucous blanket), dan lysozyme.
4. Indra penghidu 5. Resonansi suara Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. 6. Proses berbicara Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Pada pembentukan konsonan nasal (m,n,ng) rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara. 7. Refleks nasal Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskular dan pernafasan.
2.3 Sinus Paranasal Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsikan karena sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus ethmoid dan sinus sphenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga didalam tulang. Semua sinus mempunyai muara ke dalam rongga hidung.
a. Sinus Maksilaris
Terbentuk pada usia fetus bulan IV yang terbentuk dari prosesus maksilaris arcus I. Bentuknya piramid, dasar piramid pada dinding lateral hidung, sedang apexnya pada pars zygomaticus maxillae. Merupakan sinus terbesar dengan volume kurang lebih 15 cc pada orang dewasa. Berhubungan dengan : Cavum orbita, dibatasi oleh dinding tipis (berisi n. infra orbitalis) sehingga jika dindingnya rusak maka dapat menjalar ke mata. Gigi, dibatasi dinding tipis atau mukosa pada daerah P2 Mo1ar. Ductus nasolakrimalis, terdapat di dinding cavum nasi.
b. Sinus Ethmoidalis
Terbentuk pada usia fetus bulan IV. Saat lahir, berupa 2-3 cellulae (ruang-ruang kecil), saat dewasa terdiri dari 7-15 cellulae, dindingnya tipis. Bentuknya berupa rongga tulang seperti sarang tawon, terletak antara hidung dan mata Berhubungan dengan : Fossa cranii anterior yang dibatasi oleh dinding tipis yaitu lamina cribrosa. Jika terjadi infeksi pada daerah sinus mudah menjalar ke daerah cranial (meningitis, encefalitis dsb). Orbita, dilapisi dinding tipis yakni lamina papiracea. Jika melakukan operasi pada sinus ini kemudian dindingnya pecah maka darah masuk ke daerah orbita sehingga terjadi Brill Hematoma. Nervus Optikus. Nervus, arteri dan vena ethmoidalis anterior dan pasterior.
c. Sinus Frontalis
Tidak simetri kanan dan kiri, terletak di os frontalis. Volume pada orang dewasa 7cc. Bermuara ke infundibulum (meatus nasi media). Berhubungan dengan : Fossa cranii anterior, dibatasi oleh tulang compacta. Orbita, dibatasi oleh tulang compacta. Dibatasi oleh Periosteum, kulit, tulang diploic.
d. Sinus Sfenoidalis
Terbentuk pada fetus usia bulan III. Terletak pada corpus, alas dan Processus os sfenoidalis. Volume pada orang dewasa 7 cc. Berhubungan dengan : Sinus cavernosus pada dasar cavum cranii. Glandula pituitari, chiasma n.opticum. Tranctus olfactorius. Arteri basillaris brain stem (batang otak).
BAB III TINJAUAN PUSTAKA 1. RINOSINUSITIS1 1. Definisi Rinosinusitis didefinisikan sebagai : Inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan adanya dua atau lebih gejala, salah satunya harus termasuk sumbatan hidung/ obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior / posterior), nyeri/ tekanan wajah, penurunan / hilangnya penghidu. Inflamasi mukosa atau selaput lendir sinus paranasal ;pembentukan cairan atau kerusakan tulang di bawahnya. Sinus paranasal adalah rongga rongga yang terdapat pada tulang tulang di wajah.
Salah satu dari temuan endoskopi: Polip dan / atau Sekret mukopurulen dari meatus medius dan / atau Edema / obstruksi mukosa di meatus media
2. Etiologi Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam rhinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia seperti pada sindrom kartagener, dan di luar negri adalah penyakit fibrosis kistik.
3. Patofisiologi Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar didalam KOM. Mukus juga
mengandungsubstansi antimikroba dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara
10
pernafasan. Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berdekatan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negative di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinositis nonbakterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan. Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media yang baik untuk tumbuhnya dan multipikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi antibiotik. Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembengkakan polip dan kista.
4. Klasifikasi Sinusitis Berdasarkan lama perjalanan penyakit, sinusitis dibagi atas: 1. Sinusitis akut adalah proses infeksi di dalam sinus yang berlangsung selama 4 minggu. Macam-macam sinusitis akut: sinusitis maksila akut, sinusitis etmoidal akut, sinus frontal akut, dan sinus sphenoid akut. 2. Sinusitis subakut adalah proses infeksi di dalam sinus yang berlansung selama 4 minggu sampai 3 bulan. 3. Sinusitis kronis adalah proses infeksi di dalam sinus yang
berlansung selama lebih dari 3 bulan bahkan dapat juga berlanjut sampai bertahun-tahun.
Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi atas: 1. Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung), segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis.
11
2. Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering menyebabkan sinusitis infeksi pada gigi geraham atas (pre molar dan molar).
5. Manifestasi Klinis Maniferstasi klinis sinusitis adalah : Hidung tersumbat Nyeri atau rasa tertekan pada daerah wajah, nyeri tekan pada daerah sinus atau referred pain. Sekret ingus purulen, kadang turun ke tenggorokan Gejala sistemik berupa lesu dan demam Sakit kepala
6. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosa yang tepat dan dini. Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis etmoid posterior dan sphenoid). Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering ada pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius. Pemeriksaan pembentu yang pentng adalah foto polos atau CT scan. Foto polos posisi Waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan, batas udara cairan ( air fluid level ) atau penebalan mukosa. CT Scan sinus merupakan gold standar diagnosis sinusitis karena mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak
12
membaik dengan pengobatan atau pra operasi saat melakukan operasi sinus. Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap. Pemeriksaan ini sudah jarang digunkan karena sangat terbatas kegunaannya. Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil sekret dari meatus medius atau superior, untuk mendapatkan antibiotic yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila. Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi.
7. Tatalaksana Tujuan terapi sinusitis adalah : a. Mempercepat penyembuhan b. Mencegah komplikasi c. Mencegah sinusitis menjadi kronik Prinsip pengobatan adalah membuka sumbatan KOM sehingga drainase sinus-sinus pulih secara alami. Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial, untuk
menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih golongan penisilin seperti amoksisislin. Jika terjadi resistensi atau bakteri memproduksi beta laktamase, maka dapat diberikan amoksisilin, plavulanat, atau jenis sefalosporin generasi kedua. Pada sinusitis, antibiotik diberikan 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang. Pada sinusitis kronik, diberikan antibiotik yang sesuai dengan kuman gram negatif dan anaerob. Selain dekongestan oral, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan seperti analitik, mukolitik, steroid oral / topical, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau pemanasan (diatermi).
13
juga
merupakan terapi tambahan yang dapat bermanfaat. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan alergi yang berat.
Tindakan operasi Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Indikasi : Sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat Sinusitis kronik disertai kista / kelainan irreversible Polip ekstensif Adanya komplikasi sinusitis Sinusitis jamur
8. Komplikasi Komplikasi biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronik dengan eksaserbasi akut, berupa : a. Kelainan orbita Disebabkan oleh sinus paranasal yang dekat dengan mata, paling sering sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul adalah udem palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi thrombosis sinus kavernosus. b. Kelainan intracranial Komplikasi paling berbahaya dari sinusitis khususnya sinusitis frontal dan sphenoid adalah penyebaran infeksi bakteri anaerob ke otak baik melalui melalui tulang ataupun pembuluh darah. Dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak, dan thrombosis sinus kavernosus.1
14
Paling sering timbul akibat sinusitis frontal, sering ditemukan pada anak-anak. Pada osteomyelitis sinus maksila, dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi. b. Kelainan paru, seperti bronkitis kronik dan bronkoektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronchial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan.
9. Prognosis Prognosis sinusitis akut sangat baik, dengan sekitar 70% pasien dapat sembuh tanpa pengobatan. Antibiotik oral dapat mengurangi gejala sinusitis. Sinusitis kronik memiliki perjalanan penyakit yang bervariasi. Prognosisnya baik, bila penyebab sinusitis adalah anatomis dan ditatalaksana dengan tindakan pembedahan. Lebih dari 90% pasien mengalami kemajuan dengan intervensi bedah. Namun, pasien ini memiliki kemungkinan untuk relaps, sehingga dibutuhkan regimen untuk mencegah kekambuhan.
2. POLIP NASI 1. Defenisi Polip nasi adalah masa yang tumbuh dalam rongga hidung, sering kali multiple dan bilateral. Massa lunak, berwarna putih atau keabu-abuan agak transparan, bentuk bulat atau lonjong, permukaan licin, mengkilat, bertangkai, dan mudah digerakan.1 Sering kali berasal dari sinus dimana menonjol dari meatus ke rongga hidung. Berdasarkan hasil pengamatan, polip nasi terletak di
dinding lateral cavum nasi terutama daerah meatus media. Paling banyak di sel-sel eithmoidalis. Dapat juga berasal dari mukosa di daerah antrum, yang keluar dari ostium sinus dan meluas ke belakang di daerah koana posterior (polip antrokoanal).2
15
2. Epidemiologi Insiden polip nasi sangat sulit ditentukan, ada yang melaporkan insidenya 1-4% dan literatur lain melaporkan insiden polip nasi adalah 120% per 1000 orang dewasa. Pada pria dan wanita dengan perbandingan 2,3: 1. Dapat mengenai seluruh ras dan biasanya timbul pada orang dewasa yang berusia 20-40 tahun. Jarang ditemukan pada anak-anak, insidenya adalah 0,1%.3
3. Etiologi Etiologi polip nasi belum diketahui secara pasti. Terjadinya polip nasi dapat dipengaruhi oleh beberapa hal : umur, alergi, infeksi dan inflamasi dominasi eosinofil. Deviasi septum juga dicurigai sebagai salah satu faktor yang mempermudah terjadinya polip nasi. Ada 3 faktor penting dalam terjadinya poli nasi, yaitu adanya peradangan kronis yang berulang pada hidung dan sinus, adanya ketidakseimbangan vasomotor dan terdapat peningkatan tekanan cairan intertisial serta edema mukosa hidung.4
4. Patogenesis Pada awalnya ditemukan edema mukosa yang timbul karena suatu peradangan kronik yang berulang, kebanyakan terjadi di daerah meatus medius. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses ini berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar dan kemudian turun kedalam rongga hidung sambil membentuk tangkai, sehingga terjadilah polip.1 Dalam teori Bernstein, perubahan inflamasi pertama terjadi pada dinding lateral mukosa hidung atau sinus sebagai akibat interaksi virushost bakteri atau sekunder untuk aliran turbulen. Dalam kebanyakan kasus, polip berasal dari daerah meatus tengah kontak, terutama celah sempit di kawasan ethmoid anterior yang menciptakan aliran turbulen, dan terutama bila dipersempit oleh peradangan mukosa. Ulserasi atau prolaps dari submucosa dapat terjadi, dengan reepithelialization dan pembentukan kelenjar baru. Selama proses ini, polip dapat dibentuk dari mukosa akibat
16
proses inflamasi tinggi sel epitel, sel endotel pembuluh darah, dan fibroblas mempengaruhi integritas bioelektric saluran natrium di permukaan luminal sel epitel pernafasan dalam mukosa hidung. Respon untuk meningkatkan penyerapan natrium, menyebabkan retensi air dan pembentukan polip. 5. Histopatologi Makroskopis1 Secara makroskopis polip merupakan massa bertangkai dengan permukaan licin, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabuabuan,agak bening, lobular, dapat tunggal atau multipel dan tidak sensitif (bila ditekan/ditusuk tidak terasa sakit). Warna polip yang pucat tersebut disebabkan karena mengandung banyak cairan dan sedikitnya aliran darah ke polip.bila terjadi iritasi kronis atau proses peradangan warna polip dapat berubah menjadi kemerah-merahan dan polip yang sudah menahun warnanya dapat menjadi kekuning-kuningan karena banyak mengandung jaringan ikat. Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari kompleks ostio-meatal di meatus medius dan sinus etmoid. Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan endoskop, mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat. Ada polip yang tumbuh kearah belakang dan membesar dinasofaring, disebut polip koana.polip koana kebanyakan berasal dari dalam sinus maksila dan disebut juga polip antro-koana. Ada juga sebagian kecil polip koana yang berasal dari sinus etmoid.
17
Mikroskopis1 Secara mikroskopis tampak epitel pada polip serupa dengan mukosa hidung normal yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang sembab. Sel-selnya terdiri dari limfosit, sel plasma, eosinofil, neutrofil dan makrofag. Mukosa mengandung sel-sel goblet. Pembuluh darah, saraf dan kelenjar sangat sedikit. Polip yang sudah lama dapat mengalami metaplasia epitel karena sering terkena aliran udara, menjadi epitel transisional, kubik atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi.
6. Klasifikasi Berdasarkan jenis sel peradangannya, polip dikelompokkan menjadi 2 : 1. Polip eusinofilik Sel eosinofil terdapat pada 80-90% polip. Polip jenis ini biasanya disebabkan proses hipersensitivitas atau alergi.
2. Polip neutrofilik Netrofil terdapat pada 7% kasus polip. Polip jenis ini biasanya disebabkan oleh proses inflamasi non-alergi dan tidak berespons baik terhadap kortikosteroid
Pembagian stadium polip nasal menurut Mackay and Lund adalah : a. Stadium 0 : tidak terlihat polip b. Stadium 1: polip masih terbatas di meatus medius c. Stadium 2 : polip telah keluar dari meatus media, tampak di rongga hidung d. Stadium 3: polip telah memenuhi rongga hidung
7. Gejala klinis Timbulnya gejala biasanya pelan dan insidius, dapat juga tiba-tiba dan cepat setelah infeksi akut. Sumbatan di hidung adalah gejala
utama.dimana dirasakan semakin hari semakin berat. Sering juga ada keluhan pilek lama yang tidak sembuh-sembuh6 , sengau, sakit kepala. 18
Pada sumbatan yang hebat didapatkan gejala hiposmia atau anosmia, rasa lendir di tenggorok.
8. Diagnosis Anamnesis Pada anamnesa kasus polip, keluhan utama biasanya ialah hidung tersumbat. Sumbatan ini menetap, tidak hilang dan semakin lama semakin berat. Pasien sering mengeluhkan terasa ada massa di dalam hidung dan sukar membuang ingus. Gejala lain adalah gangguan penciuman. Gejala sekunder dapat terjadi bila sudah disertai kelainan organ didekatnya berupa: adanyapost nasal drip, sakit kepala, nyeri muka, suara nasal (bindeng), telinga terasa penuh, mendengkur, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup. Selain itu juga harus di tanyakan riwayat rhinitis alergi, asma, intoleransi terhadap aspirin dan alergi obat serta makanan.1 Pemeriksaan Fisik Inspeksi Polip yang masif sering sudah menyebabkan deformitas hidung luar. Dapat dijumpai pelebaran kavum nasi terutama polip yang berasal dari sel-sel etmoid.5 Rinoskopi Anterior Memperlihatkan massa translusen pada rongga hidung. Deformitas septum membuat pemeriksaan menjadi lebih sulit. Tampak sekret mukus dan polip multipel atau soliter. Rinoskopi Posterior Kadang-kadang dapat dijumpai polip koanal. Sekret mukopurulen ada kalanya berasal dari daerah etmoid atau rongga hidung bagian superior, yang menandakan adanya rinosinusitis
19
Pemeriksaan penunjang Dapat dilakukan pemeriksaan Endoskopi nasal dan sinus untuk
memastikan adanya polip nasal maupun sinus dan untuk menentukan letak polip nasal tersebut. Dapat pula dilakukan pemeriksaan CT-scan, tes alergi, kultur tetapi hal ini dilakukan atas indikasi.
Gambar.5 Gambaran endoskopi anterior sinistra cavum nasi, tampak septum di sebelah kiri dan tampak polip antralchoanal pada bagian tengah gambaran endoskopi.5 9. Penatalaksanaan Penatalaksanaan polip hidung terdiri atas terapi medikamentosa dan terapi bedah,atau kombinasi keduanya. Penatalaksanaan betujuan untuk mengeliminasi polip dan gejala rinitis, memulihkan fungsi pernafasan dan penciuman serta mencegah polip berulang. Terapi medikamentosa dapat diberikan pengobatan kortikosteroid topikalatau sistemik. Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi mendikamentosa atau polip yang sangat masif dipertimbangkan untuk polipektomi.
10. Prognosis Polip nasi dapat muncul kembali selama iritasi alergi masih tetap berlanjut. Rekurensi dari polip umumnya terjadi bila adanya polip yang
20
multipel. Polip tunggal yang besar seperti polip antral-koanal jarang terjadi relaps. Polip hidung sering tumbuh kembali, oleh karena itu
pengobatannya juga perlu ditujukan kepada penyebabnya, misalnya alergi. Terapi yang paling ideal pada rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab dan eliminasi. Secara medikamentosa, dapat diberikan antihistamin dengan atau tanpa dekongestan yang berbentuk tetes hidung yang bisa mengandung kortikosteroid atau tidak. Dan untuk alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama dapat dilakukan imunoterapi dengan cara desensitisasi dan hiposensitisasi, yang menjadi pilihan apabila pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan. 3.3 DEVIASI SEPTUM1 Bentuk septum normal adalah lurus ditengah rongga hidung tetapi pada orang dewasa biasanya septum nasi tidak lurus sempurna digaris tengah. Deviasi septum yang ringan tidak akan mengganggu, tetapi bila cukup berat akan menyebabkan penyempitan pada satu sisi hidung. Dengan demikian dapat mengganggu fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi.
1. Etiologi Penyebab paling sering adalah trauma. Taruma dapat terjadi sesudah lahir, pada waktu partus atau bahkan pada masa janin intrauterin. Penyebab lainnya ialah ketidakseimbangan pertumbuhan. Tulang rawan septum nasi terus bertumbuh, walaupun batas superior dan inferior menetap. Dengan demikian terjadilah deviasi septum nasi tersebut.
2. Bentuk Deformitas Bentuk deformitas septum ialah (1) deviasi, biasanya berbentuk huruf C atau S ; (2) dislokasi, yaitu bagian bawah kartilago septum keluar
21
dari kista maksila dan masuk kedalam rongga hidung; (3) penonjolan tulang atau tulang rawan septum, bila memanjang dari depan ke belakang disebut krista, dan bila sangat runcing dan pipih disebut spina; (4) bila deviasi atau krista septum bertemu dan melekat dengan konk dihadapannya disebut sinekia. Bentuk ini akan menambah beratnya obstruksi.
3. Gejala klinis Keluhan yang paling sering pada deviasi septum ialah sumbatan hidun. Sumbatan bisa unilateral, dapat pula bilateral, sebab pada sisi deviasi terdapat konka hipotrofi, sedangkan pada sisi sebelahnya terjadi konka yang hipertrofi, sebagai akibat mekanisme kompensasi. Keluhan lainnya ialah rasa nyeri di kepala dan disekitar mata. Selain itu penciumn bisa terganggu, apabila terdapat deviasi pada bagian atas septum. Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis.
4. Terapi Bila tidak ada gejala atau keluhan sangat ringan, tidak perlu dilakukan tindakan koreksi septum. Ada 2 jenis tindakan operatif yang dapat dilakukan pada pasien dengan keluhan nyata yaitu reseksi submukosa dan septoplasti. Reseksi submukosa (submucous septum resection SMR ). Pada operasi ini mukoperikondrium dan mukoperiostium kedua sisi dilepaskan dari tulang rawan dan tulang septum. Bagian tulang atau tulang rawan dari septum kemudian diangkat, sehingga muko-perikondrium dan mukoperiostium sisi kiri dan kanan akan langsung bertemu di garis tengah. Reseksi submukosa dapat menyebabkan komplikasi seperti terjadinya hidung pelana (saddle nose) akibat turunnya puncak hidung, oleh karena bagian atas tulang rawan septum terlalu banyak diangkat.
22
Septoplasti atau reposisi septum. Pada operasi ini tulang rawan yang bengkok direposisi. Hanya bagian yang berlebihan saja yang dikeluarkan. Dengan cara operasi ini dapat dicegah komplikasi yang mungkin timbul pada operasi reseksi submukosa, seperti terjadinya perforasi septum dan hidung pelana.
23
BAB IV LAPORAN KASUS IDENTITAS PASIEN Nama No. MR Umur : Nn. M : : 22 tahun
ANAMNESIS Seorang pasien perempuan berumur 22 tahun dirawat di bangsal THT RSUP Dr. M Djamil Padang pada tanggal 24 April 2013 dengan :
Keluhan Utama : Hidung kiri bertambah tersumbat sejak 6 bulan yang lalu.
Keluhan tambahan :
Riwayat Penyakit Sekarang : Hidung kiri bertambah tersumbat sejak 6 bulan yang lalu, awalnya hidung kiri dirasakan tersumbat sejak + 1 tahun yang lalu semakin lama dirasakan semakin tersumbat. Pipi kiri dirasakan berat sejak + 6 bulan yang lalu. Pada hidung kiri keluar ingus kental berwarna kekuningan, hilang timbul sejak 1 tahun yang lalu. Pasien sering mengeluhkan terlelan ingus. Riwayat hidung kiri berdarah ada satu kali, berhenti sendiri. Napas dirasakan berbau sejak + 6 bulan yang lalu. Penciuman dirasakan berkurang sejak + 6 bulan yang lalu. Riwayat nyeri kepala ada. 24
Demam tidak ada. Riwayat telinga kiri dirasakan berdengung ada, saat ini tidak ada. Riwayat sering bersin- bersin saat udara dingin atau kena debu tidak ada. Riwayat gatal pada hidung dan mata sejak kecil tidak ada. Riwayat trauma pada hidung disangkal. Riwayat pernah menderita sakit gigi disangkal. Sejak satu bulan yang lalu pasien telah berobat ke poliklinik RSUP Dr. M Djamil dan didiagnosis dengan Rhinosinusitis Kronis dengan polip nasi sinistra grade II dengan deviasi septum ke kanan. Pasien diberi obat antibiotik, dekongestan, mukolitik dan kortikosteroid tappering off. Kontrol teratur,dan tidak membaik.
Riwayat Penyakit Dahulu Pasien tidak pernah mengeluhkan penyakit seperti ini sebelumnya
Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini sebelumnya. Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit alergi.
Riwayat Pekerjaan, sosial, ekonomi, dan kebiasaan. Pasien tamatan SMA, saat ini tidak bekerja.
Pemeriksaan Fisik Status Generalis Keadaan Umum Kesadaran Tekanan darah Nadi Napas Suhu ` : sedang : komposmentis kooperatif : 110/ 70 : 73 x per menit : 18 x per menit : 36,8 oc
25
: tak ditemukan kelainan : tak ditemukan kelainan : tak ditemukan kelainan : tak ditemukan kelainan : tak ditemukan kelainan : teraba hangat, refilling kapiler baik.
STATUS LOKALIS THT Telinga Pemeriksaan Daun telinga Kelainan Kel. Kongenital Trauma Radang Kel. Metabolik Nyeri tarik Nyeri Tekan Dinding liang telinga Sempit Hiperemis Edema Massa Sekret/ serumen Bau Warna Jumlah Jenis Membran Timpani Utuh Warna Refleks cahaya Bulging Retraksi putih (+) arah jam 5 Tidak ada Tidak ada Putih (+) arah jam 7 Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Cukup Lapang (N) Dekstra Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Ya Sinistra Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Ya
26
Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Mastoid
Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada (+)
Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada (+)
Rinne
Swabach
Hidung Pemeriksaan Hidung luar Kelainan Deformitas Kelainan kongenital Trauma Radang Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Dekstra Tidak ada Tidak ada Sinistra Tidak ada Tidak ada
27
Massa
Tidak ada
Tidak ada
Sinus Paranasal Inspeksi Pemeriksaan Nyeri tekan Nyeri ketok Dekstra Tidak ada Tidak ada Ada ( sinus maksilaris) Sinistra
Rinoskopi Anterior Vestibulum Vibrise Radang Kavum nasi Cukup lapang (N) Sempit Lapang Sekret Lokasi Jenis Jumlah Bau Konka inferior Ukuran Warna Permukaan Edema Konka media Ukuran Warna Permukaan Edema Septum Cukup lurus/ deviasi Permukaan Warna Spina Rata Merah Spina rata Merah muda Tidak ada edema Merah muda Licin Ya Sulit dinilai Deviasi Tidak ada eutrofi Merah muda rata tidak Sulit dinilai Cukup lurus seromukous seromukous Ada Tidak ada Ya Ada Tidak ada Ya -
28
Tidak ada -
Rinoskopi Posterior Pemeriksaan Koana Kelainan Cukup lapang (N) Sempit Lapang Mukosa Warna Edema Jaringan granulasi Konka superior Ukuran Warna Permukaan Edema Adenoid Muara tuba eustachius Massa Lokasi Tidak ada Tidak ada Ada/ tidak Tertutup sekret Merah muda Tidak ada Tidak ada Eutrofi Merah muda Rata Sulit dinilai Sulit dinilai Merah muda Tidak ada Tidak ada Eutrofi Merah muda Rata Sulit dinilai Sulit dinilai Dekstra Cukup lapang Sinistra Cukup lapang
29
Ada
Ada
Kelainan
Sinistra
Edema Bifida
Simetris/ tidak
Warna Edema Bercak/ eksudat Dinding faring Warna Permukaan Tonsil Ukuran Warna Permukaan Muara/kripti Detritus Eksudat Perlengketan dengan pilar Peritonsil Warna Edema Abses Tumor Lokasi
Merah muda Tidak ada Tidak ada Merah muda Licin T2 Merah muda Rata Melebar Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Merah muda Tidak ada Tidak ada Merah muda Licin T2 Merah muda Rata Melebar Tidak ada Tidak ada Tidak ada
30
Bentuk Ukuran Permukaan Konsistensi Gigi Karies/ radiks Kesan Lidah Warna Bentuk Deviasi Massa
Tidak ada
Tidak ada
Laringoskopi indirek Pemeriksaan Epiglotis Kelainan Bentuk Warna Edema Pinggir rata/ tidak Massa Aritenoid Warna Edema Massa Gerakan Ventrikular band Warna Edema Massa Plika vokalis Warna Gerakan Pinggir medial Massa Subglotis/ trakea Massa Sekret ada / tidak Dekstra Tenang Merah muda Tidak ada rata Tidak ada Merah muda Tidak ada Tidak ada simetris Merah muda Tidak ada Tidak ada putih Simetris rata Tidak ada Tidak ada Tidak ada Sinistra Tenang Merah muda Tidak ada Rata Tidak ada Merah muda Tidak ada Tidak ada Simetris Merah muda Tidak ada Tidak ada Putih Simetris Rata Tidak ada Tidak ada Tidak ada
31
Sinus piriformis
Massa Sekret
Valekulae
Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening Leher Tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening.
Hasil Pemeriksaan CT Scan Sinus Tampak deviasi septum nasi ke kanan Tampak perselubungan pada sinus maksilaris sinistra, sinus etmoid, lamina papyracea, chonca nasalis sinistra. Osteomeatal complex kiri tertutup Kesan : rhinosinusitis dengan deviasi septum nasi ke kanan
Hasil Pemeriksaan Laboratorium Hb Ht Leukosit Trombosit APTT PT INR : 13,6 g/dL : 40% : 10.200/mm3 : 269.000/mm3 : 38,1 detik : 9,8 detik : 0,8 INR
32
RESUME Anamnesis Hidung kiri bertambah bertambah tersumbat sejak 6 bulan yang lalu, awalnya hidung kiri dirasakan tersumbat sejak + 1 tahun yang lalu semakin lama dirasakan semakin tersumbat. Pipi kiri dirasakan berat sejak + 6 bulan yang lalu. Pada hidung kiri keluar ingus kental berwarna kekuningan, hilang timbul sejak 1 tahun yang lalu. Pasien sering mengeluhkan terlelan ingus, Napas dirasakan berbau, dan Penciuman dirasakan berkurang sejak + 6 bulan yang lalu. Riwayat nyeri kepala ada, Demam tidak ada. Riwayat sakit gigi disangkal Sejak satu bulan yang lalu pasien telah berobat ke poliklinik RSUP Dr. M Djamil dan didiagnosis dengan ? obat? Tidak sembuh?
Telinga Aurikula Dekstra Sinistra Liang telinga lapang, membran timpani utuh, reflek cahaya (+)
Rhinoskopi Anterior Kavum nasi dekstra : Kavum nasi semput, konka inferior edem, konka media sulit dinilai, septum spina (+) Kavum nasi sinistra : Kavum nasi sempit, konka inferior eutrofi, konka media sulit dinilai, massa (+) polipoid. Tenggorokan Arkus faring simetris, uvula ditengah , tonsil T2-T2, kripti melebar, dinding posterior faring melebar.
33
Diagnosis Kerja Rhinosinusitis kronis dengan polip nasi sinistra grade II dan deviasi septum Tonsilitis kronis
Hasil Pemeriksaan CT Scan Sinus Tampak deviasi septum nasi ke kanan Tampak perselubungan pada sinus maksilaris sinistra, sinus etmoid, lamina papyracea, chonca nasalis sinistra. Osteomeatal complex kiri tertutup Kesan : rhinosinusitis dengan deviasi septum nasi ke kanan
Hasil Pemeriksaan Laboratorium Hb Ht Leukosit Trombosit APTT PT INR : 13,6 g/dL : 40% : 10.200/mm3 : 269.000/mm3 : 38,1 detik : 9,8 detik : 0,8 INR
Diagnosis Rhinosinusitis Kronis + polip nasi sinistra Grade II+ septum deviasi kekanan Tonsilitis kronis.
Prognosis Quo ad vitam Quo ad sanam Quo ad functionam : Bonam : Bonam : Bonam
34
Follow Up pasien Tanggal 25 April 2013 S/ Hidung kiri tersumbat (+), ingus (+) Penciuman berkurang (+) Demam (-) Batuk (-) O/ Status General KU Kesadaran TD Napas Suhu : sedang : komposmentis kooperatif : 110/70 :18x/ menit :36,8o C
Status Lokalis Telinga Aurikula Dekstra Sinistra Liang telinga lapang, membran timpani utuh, reflek cahaya (+)
Rhinoskopi Anterior Kavum nasi dekstra : Kavum nasi semput, konka inferior edem, konka media sulit dinilai, septum spina (+) Kavum nasi sinistra : Kavum nasi sempit, konka inferior eutrofi, konka media sulit dinilai, massa (+) polipoid. Tenggorokan Arkus faring simetris, uvula ditengah , tonsil T2-T2, kripti melebar, dinding posterior faring melebar.
A/
P/
35
DISKUSI
Telah diperiksa pasien perempuan beusia 22 tahun dengan keluhan utama pasien hidung bertambah tersumbat sejak 6 bulan yang lalu. Dari keluhan utama pasien kita dapat memikirkan bahwa pasien memiliki riwayat sumbatan kronis, yang mana diagnosa diferensial yang dapat dipikirkan dengan keluh utama pada pasien ini adalah rhinosinusitis kronis, polip nasi, deviasi septum, ataupun rhinitis alergi. Dari anamnesis diperoleh keterangan tambahan pasien berupa pasien merasakan berat di wajah, keluar ingus kental berwarna kekuningan, gangguan pada penghidu, napas dirasakan berbau, dan nyeri kepala. Hal ini telah melebihi kriteria mayor dan minor untuk menegakkan diagnosis rhinosinusitis kronis. Diagnosis banding rhinitis aleri mungkin dapat disingkirkan dari anamnesis dengan pasien menyangkal adanya riwayat alergi pada pasien. Diagnosis diferensial deviasi septum dan polip nasi masih belum dapat disingkirkan pada anamnesis karena gejala hidung tersumbat, hiposmia, dan nyeri kepala juga ada pada pasien. Selain itu polip nasi dan deviasi septum juga dapat menjadi faktor penyebab terjadinya rhinosinusitis akibat terhambatnya ventilasi pada kompleks osteomeatal. Pada pemeriksaan fisik palpasi ditemukan adanya nyeri tekan pada sinus maksila dan pada rhinoskopi anterior ditemukan adanya deviasi septum kekanan, spina (+). Pada kavum nasi kiri juga ditemukan adanya masa polipoid pada meatus media berwarna bening mengkilat konsistensi lunak. Pada rhinoskopi posterior ditemukan adanya postnasal drip pada kedua kavum nasi. Temuan ini sudah dapat mengarahkan kita ke diagnosis kerja rhinosistis kronis, polip nasi sisnistra dan septum deviasi. Tatalaksana medikamentosa pada pasien rhinosinusitis dan deviasi
bertujuan untuk membuka sumbatan KOM sehingga drainase dan ventilasi sinus membaik. Pada pasien ini telah diberikan antibiotik dan dekongestan untuk membuka aliran KOM. Tatalaksana polip nasi diberikan kortikosteroid tappering off selama 12 hari. Keluhan yang dialami pasien tidak membaik dengan pemberian medikamentosa sehingga pada pasien merupakan indikasi untuk
36
menjalani terapi operatif berupa bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/ FESS) dan septoplasti. BSEF merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronis yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah menggantikan hampir semua jenis bedah sinus terdahulu karen memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan tidak radikal. Septoplasti merupakan terapi pilihan untuk deviasi septum dengan keluhan yang nyata. Pada operasi ini tulang rawan yang bengkok direposisi. Hanya bagian yang berlebihan saja yang dikeluarkan. Dengan cara operasi ini dapat dicegah komplikasi yang mungkin timbul pada operasi reseksi submukosa, seperti terjadinya perforasi septum dan hidung pelana.
37
DAFTAR PUSTAKA
1. Mangunkusumo,Endang, Retno S.Wardani.dalam:Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok edisi VI cetakan II. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta 2008.hal 123-125 2. Larsen, Tos. Origin and Structure of Nasal Polyps dalam Nasal Polyposis. Copenhagen:Munksgaard,1997.17-21 3. Budiman, BJ, Ade Asyari. 2012. Polip Diagnosis Nasi. dan Penatalaksanaan Diakses dari
Rinosinusitis
dengan
http://repository.unand.ac.id/17218/1/Penatalaksanaan_rinosinusitis_dengan_p olip_nasi.pdf pada tanggal 25 April 2013 pukul 16.30. 4. Drake Lee AB. Nasal polyps. In : Scott Brown`s Otolaryngology, Rrhinology. 5th ed. Vol 4 (Kerr A, Mackay IS, Bull TR edts). Butterworths. London. 1987 : 142-53. 5. http://www.google.co.id/imglanding?q=anatomi+hidung 6. Larsen, Tos. Origin and Structure of Nasal Polyps dalam Nasal Polyposis. Copenhagen:Munksgaard,1997.17-21
38