Anda di halaman 1dari 54

GAMBARAN HISTOPATOLOGI HATI DAN GINJAL MENCIT (Mus musculus) PASCA PEMBERIAN DAUN TORBANGUN (Coleus amboinicus Lour)

Muhan Ariawan

DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

MUHAN ARIAWAN. Gambaran Histopatologi Hati dan Ginjal Mencit (Mus musculus) Pasca Pemberian Daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour). Dibimbing oleh EVA HARLINA dan M RIZAL M DAMANIK. 2008.

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pemberian daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour) terhadap gambaran histopatologi hati dan ginjal mencit (Mus musculus). Sebanyak 9 ekor mencit dibagi dalam 3 kelompok yaitu kelompok kontrol, kelompok sop daun Torbangun 5% dan kelompok daun Torbangun kering 5%. Pemberian daun Torbangun yang dicampur dengan pakan mencit dimulai pada hari ke-14 kebuntingan hingga 7 hari post partus atau selama 2 minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian 5% daun Torbangun dalam bentuk sop maupun daun kering selama dua minggu memicu terbentuknya lesio di hati berupa degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan nekrosa sedangkan di ginjal berupa degenerasi hidropis dan nekrosa tubulus. Kata kunci: Torbangun, mencit, hati, ginjal

MUHAN ARIAWAN. Pathological study of liver and kidneys of mice (Mus musculus) treated by Torbangun leaves (Coleus amboinicus Lour). Supervised by EVA HARLINA dan M RIZAL M DAMANIK. 2008.

ABSTRACT The aim of this research is to study the histopathological changes of liver and kidney of mice (Mus musculus) after treated by Torbangun leaves (Coleus amboinicus Lour). Nine mice were divided into three groups; a control group, a group was fed 5% of Torbangun leaves soup and last group was fed 5% of dry Torbangun leaves. All mice were treated on the 14th of pregnancy until day 7th of post partus. The results showed light lesion of liver as hydropic degeneration, fatty degeneration and necrosa, and kidney showed light lesion as hydropic degeneration and necrosa of tubulus of mice treated with 5% Torbangun leaves and soup for two weeks. Key word: Torbangun, mice, liver, kidneys

GAMBARAN HISTOPATOLOGI HATI DAN GINJAL MENCIT (Mus musculus) PASCA PEMBERIAN DAUN TORBANGUN (Coleus amboinicus Lour)

Muhan Ariawan

Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan

DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

Judul Skripsi

Nama NRP

: Gambaran Histopatologi Hati dan Ginjal Mencit (Mus musculus) Pasca Pemberian Daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour) : Muhan Ariawan : B04104107

Disetujui oleh:

Pembimbing I

Pembimbing II

Dr. drh. Eva Harlina, MSi NIP. 131 841 793

drh. M.R.M.Damanik, M. Rep. Sc, Ph.D NIP. 131 902 365

Mengetahui, Wakil Dekan FKH-IPB

Dr. Nastiti Kusumorini NIP. 131 669 942

Tanggal Lulus:

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Semarang pada tanggal 25 September 1985 sebagai anak kedua dari empat bersaudara pasangan Bapak Amat Toyib dan Ibu Mufiroh. Pendidikan penulis diawali di TK PGRI Krapyak pada tahun 1990-1992. Kemudian melanjutkan pendidikan di SDN Krapyak 01 Semarang tahun 19921998, SLTPN 1 Semarang tahun 1998-2001 dan SMUN 3 Semarang tahun 20012004. Pada tahun 2004 penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan IPB melalui jalur USMI. Selama menempuh pendidikan di jenjang perguruan tinggi, penulis aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan. Aktif sebagai pengurus Imakahi periode 2005-2006, sebagai Kadiv eksternal Himpro Ornithologi dan Unggas periode 2006-2007 dan sebagai pengurus BEM periode 2006-2007.

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim, Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah pada suri tauladan manusia nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat serta para pengikutnya sampai akhir jaman. Tiada kata yang layak dihaturkan untuk mengucap rasa syukur kehadiratNya atas segala kesempatan dan kemudahan sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul Gambaran Histopatologi Hati dan Ginjal Mencit (Mus musculus) Pasca Pemberian Daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour), yang disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Melalui kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Dr. drh Eva Harlina, MSi sebagai dosen pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktu memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis hingga terselesaikannya skripsi ini, demikian juga kepada drh. M.R.M. Damanik, M. Rep. Sc, Ph.D selaku dosen pembimbing II atas bimbingan dan saran dalam penulisan skripsi ini. Kepada seluruh tehnisi bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB, terutama Bpk Kasnadi, Bpk Soleh, Bpk Endang, Ibu Meli, Bibi dan dek Kiki atas bantuan dan kerjasamanya serta rekan-rekan sepenelitianku Lina, Dani, Epan dan Sius. Dana penelitian ini berasal dari hibah bersaing Peningkatan Mutu Sop Daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour) sebagai Makanan Tradisional Berkhasiat dengan Penambahan Bahan Pengawet dan Penerapan Teknik Kemasan dan Dana Penyangga Penelitian Mahasiswa S1 Bagian Patologi FKH-IPB. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu dan memberi motivasi dalam penyusunan skripsi ini, khususnya kepada Bapak dan Ibu tercinta atas iringan doa, semangat dan dukungan yang diberikan baik moril dan materil, Kakakku mbak Ani dan mas Wawan, Adikku Winda dan Galan atas doa, semangat dan keceriaan yang

diberikan. Untuk Lina tersayang yang telah banyak memberi bantuan, semangat dan doa, serta seluruh sahabatku Satriyo, Sugi, Kuga, Andraw, Agus, Fuad, Boni, Genton, Pontang, Hendi, Panjol, Chickung, Fajar, Inge, Desi, Camut, Atha, Iya, Ayu, Wahyu, Fikri, Nanang, Budi, Eki, Riko, Abin, Sutan, Jaya, Nanda, Krido, Pepet, Dahlan, Teteg, Gugi, Jefri, Bedol, Bagus, serta sahabat-sahabatku lainnya yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Penulis menyadari bahwa karya kecil ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan pihak yang membutuhkan.

Bogor, November 2008

Muhan Ariawan

DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ... PENDAHULUAN Latar Belakang ... Rumusan Masalah ..... Tujuan Penelitian ... Manfaat Penelitian .. TINJAUAN PUSTAKA Torbangun (Coleus amboinicus Lour) .. Mencit (Mus musculus) ......... Hati . Ginjal .......... BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu ..... Bahan dan Alat ... Metode Penelitian .. Analisis Data ............ HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Histopatologi Organ Hati . Perubahan Histopatologi Organ Ginjal .. KESIMPULAN ..... SARAN .... DAFTAR PUSTAKA .. LAMPIRAN . viii ix x 1 2 3 3 4 6 7 9 13 13 14 16 17 23 27 27 28 31

DAFTAR TABEL

Halaman 1 2 3 4 5 Komposisi nutrisi sop daun Torbangun (150 g) .... Nilai-nilai fisiologis mencit ...... Persentase lesio hepatosit mencit pasca pemberian 5% sop dan daun Torbangun kering selama 2 minggu ..... Persentase edema glomerulus mencit pasca pemberian 5% sop dan daun Torbangun kering selama 2 minggu . Persentase lesio tubulus ginjal mencit pasca pemberian 5% sop dan daun Torbangun kering selama 2 minggu . 5 7 17 23 24

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Gambar daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour) ............................... Gambar mencit (Mus musculus) ..................................................... Gambar histologi hati ................................................................................ 4 6 8

Gambar histologi ginjal ............................................................................. 11 Diagram persentase lesio hepatosit mencit pasca pemberian 5% sop dan daun Torbangun kering selama 2 minggu ..... 18 Gambaran histopatologi hati mencit kelompok kontrol 21 Gambaran histopatologi hati mencit kelompok daun Torbangun kering 5% ........................... 22 Gambaran histopatologi hati mencit kelompok sop daun Torbangun 5% 22

Diagram persentase edema glomerulus mencit pasca pemberian 5% sop dan daun Torbangun kering selama 2 minggu 23

10 Diagram persentase lesio tubulus ginjal mencit pasca pemberian 5% sop dan daun Torbangun kering selama 2 minggu ................... 24 10 Gambaran histopatologi ginjal mencit kelompok kontrol ... 26

11 Gambaran histopatologi ginjal mencit kelompok sop daun Torbangun 5% 26

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 Tabel komposisi sop daun Torbangun ................................................. Resep pembuatan sop daun Torbangun .... Pembuatan sediaan histopatologi ... Tehnik pewarnaan Hematoxylin-Eosin (HE) .. Hasil pengamatan histopatologi organ hati ...... Hasil pengamatan histopatologi organ ginjal ... Analisis data statistik metode ANOVA dan uji lanjut Duncan pada hepatosit hati ............ Analisis data statistik metode ANOVA dan uji lanjut Duncan pada ginjal ..... 32 32 32 33 34 34 36 38

PENDAHULUAN

Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang beriklim tropis.

Keistimewaan ini menyebabkan Indonesia menyimpan keanekaragaman hayati yang sangat melimpah, termasuk di dalamnya flora dan fauna. Sebagai negara kepulauan dengan luas daratan 1,3% dari luas daratan dunia, Indonesia mempunyai 14-29 tipe ekosistem alami serta lebih dari 5 juta spesies atau 16,7% dari jumlah yang ada di dunia (MTIC 2002). Dari 40 ribu jenis flora yang tumbuh di dunia, 30 ribu diantaranya tumbuh di Indonesia. Sekitar 26% telah dibudidayakan dan sisanya sekitar 74% masih tumbuh liar di hutan-hutan. Dari sejumlah tanaman yang telah dibudidayakan tersebut, lebih dari 940 jenis digunakan sebagai obat tradisional (Syukur dan Hernani 2002). Saat ini gaya hidup kembali ke alam (back to nature) atau gelombang hijau (green wave) mulai membudaya. Banyak orang mulai mengkonsumsi makanan atau suplemen yang berbahan baku tanaman (MTIC 2002). Pemanfaatan tanaman sebagai obat tidaklah tanpa alasan, disamping khasiatnya yang telah banyak teruji dan terbukti, efek samping dari tanaman obatpun sangat minim. Namun, penggunaan tanaman obat untuk penyembuhan akan membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan obat kimia (Wijayakusuma 2005). Peningkatan pemakaian tanaman obat sejalan dengan berkembangnya industri jamu atau obat tradisional, farmasi, kosmetik, makanan dan minuman. Tanaman obat yang digunakan biasanya dalam bentuk simplisia (bahan yang dikeringkan dan belum mengalami pengolahan apapun). Simplisia tersebut bisa berasal dari akar, daun, bunga, biji, buah dan kulit batang (Syukur dan Hernani 2002). Seiring dengan meningkatnya kesadaran manusia terhadap pemanfaatan sumber daya alam tersebut maka pemanfaatan produk asal tanaman semakin berkembang tidak hanya di negara-negara timur saja, melainkan sudah merambah ke negara barat. Hal ini tampak dari data WHO yang menunjukkan bahwa permintaan produk asal tanaman di negara Eropa dalam kurun waktu 1999-2004

diperkirakan mencapai 66% dari permintaan dunia. Di antara negara Eropa, permintaan Belanda menduduki peringkat tertinggi (MTIC 2002). Di Indonesia daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour) merupakan salah satu tanaman yang dimanfaatkan sebagai bahan obat tradisional. Pemanfaatan daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour) di masyarakat Batak, dipercaya mampu meningkatkan produksi air susu ibu (Damanik et al. 2001). Senyawasenyawa yang terkandung dalam daun Torbangun mempunyai berbagai aktifitas biologi diantaranya antioksidan, diuretik, analgetik, antikanker, anti tumor dan anti hipotensi (Duke 2000). Efek samping mengkonsumsi ramuan tanaman obat relatif sangat kecil jika dibandingkan dengan obat kimia. Meskipun demikian, waktu yang tepat untuk mengkonsumsinya harus diketahui sehingga pengobatan yang dilakukan benarbenar efektif. Umumnya, penyembuhan penyakit menggunakan ramuan tradisional membutuhkan waktu yang lama, tetapi efek yang diberikan bersifat perlindungan, membangun dan berimplikasi positif terhadap organ lain yang lemah atau yang kuat. Hal ini berbeda dengan penyembuhan menggunakan obat kimia, proses kerja lebih cepat sehingga bersifat merusak terhadap organ-organ yang sakit maupun normal (Soenanto 2005). Untuk mengetahui efek pemberian Coleus amboinicus Lour terhadap tubuh, dilakukan pengamatan histopatologi pada organ hati dan ginjal, agar penggunaannya tidak merugikan. Pada penelitian ini digunakan hewan coba mencit. Pemilihan hewan ini dilakukan dengan beberapa pertimbangan antara lain mencit adalah hewan yang mudah berbiak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, variasi genetiknya cukup besar serta sifat anatomis dan fisiologisnya terkarakterisasi dengan baik (Malole dan Pramono 1989). Selain itu mencit juga mempunyai siklus hidup yang relatif pendek, jumlah anak per kelahiran banyak dan mudah ditangani (Moriwaki et al. 1994).

Rumusan Masalah Daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour) merupakan tanaman asli Indonesia yang telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai obat tradisional. Salah satunya yaitu masyarakat Batak yang mengkonsumsi dalam

bentuk sop untuk meningkatkan produksi air susu ibu yang sedang menyusui (Damanik et al. 2001). Menurut Damanik et al. (2006), daun Torbangun telah terbukti memiliki efek laktogogum, yaitu dapat meningkatkan kualitas maupun kuantitas air susu. Berdasarkan penelitian tersebut, pada minggu kedua (hari ke-14 hingga ke-28) setelah mengkonsumsi sop daun Torbangun tetap mengalami peningkatan kuantitas dan kualitas ASI. Selain itu, daun Torbangun mampu meningkatkan kesehatan wanita pasca melahirkan, berperan sebagai uterine cleansing agent, dan dalam bentuk sop daun Torbangun dapat menggantikan energi yang hilang selama proses melahirkan. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan penelitian dengan membandingkan daun Torbangun kering dan daun yang telah diolah menjadi bentuk sop.

Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran histopatologi organ hati dan ginjal mencit yang mengkonsumsi daun Torbangun kering dan dalam bentuk sop.

Manfaat Penelitian Mengetahui tingkat toksisitas daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour) terhadap tubuh baik dalam bentuk sop maupun daun kering, sehingga dapat memperkirakan jumlah daun yang aman untuk dikonsumsi.

TINJAUAN PUSTAKA

Torbangun (Coleus amboinicus Lour) Daun Torbangun mempunyai nama latin Coleus amboinicus Lour dan mempunyai beberapa sinonim seperti Coleus aromaticus Benth, Coleus carnosus Hassk, Coleus suborbiculata Zoll dan Mor dan Plectranthus aromaticus Roxb (Heyne 1987). Di Indonesia daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour) memiliki nama yang khas di tiap-tiap daerah, diantaranya Bangun-bangun atau Torbangun (Batak), Sukan (Melayu), Ajiran (Sunda), daun Jinten (Jawa Tengah), daun Kambing (Madura), Iwak (Bali) dan Kunu etu (Nusa Tenggara) (Anonim 2008a). Gambar tanaman Torbangun disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour). Sumber: Anonim 2008a.

Tanaman Spermatophita;

Torbangun Subdivisi:

diklasifikasikan

sebagai

berikut:

Divisi: Bangsa:

Angiospermae;

Kelas:

Dikotiledonae;

Solanales; Suku: Labialae; Marga: Coleus dan Jenis: Coleus amboinicus Lour (Anonim 2008a). Daun Torbangun tumbuh di tempat-tempat yang tidak terlalu banyak terkena sinar matahari dan di daerah yang cukup air atau tidak terlalu kering (Anonim 2008b). Umumnya daun Torbangun ditemukan tumbuh liar di daerah
4

pegunungan dan tempat-tempat lain hingga ketinggian 1100 m di atas permukaan laut. Daun Torbangun berbentuk menyerupai jantung, sangat berdaging (Heyne 1987), tunggal, mudah patah, tepi beringgit, ujung dan pangkal membulat, berambut, panjang 6,5-7 cm, lebar 5,5-6,5 cm, panjang tangkai 2,4-3 cm dengan pertulangan menyirip dan memiliki bau yang khas. Tanaman Torbangun termasuk dalam jenis semak yang menjalar. Pengembangbiakan tanaman ini dapat dilakukan dengan cara stek dan dapat ditanam dalam pot maupun di tanah secara langsung (Anonim 2008a, b). Menurut Heyne (1987), daun Torbangun banyak mengandung kalium (6,46% dari sisa kering pada K2O) dan minyak atsiri sebesar 0,043% pada daun segar dan 0,2% pada material kering udara. Dari 120 kg daun segar mengandung 25 cc minyak atsiri yang mengandung phenol (isopropyl-o-kresol), sehingga dikelompokkan juga ke dalam antiseptikum yang bernilai tinggi. Disamping minyak atsiri, daun Torbangun juga mengandung saponin, flavonoid, polifenol (Anonim 2008a) dan Phytosterin-B (Anonim 2008b). Komposisi nutrisi yang terkandung dalam 150 g sop daun Torbangun disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi nutrisi sop daun Torbangun (150 g) Zat Gizi Lemak (gr) Protein (gr) Karbohidrat (gr) Air (gr) Mineral (mg) Seng Besi Kalsium Magnesium Potasium
Sumber : Damanik et al. 2006.

Rata-rata SD 16,3 4,6 2,4 0,1 5,3 0,3 121,5 14,7 2,8 0,1 6,8 0,1 393,1 6,5 124,1 6,3 1219,2 80,7

Senyawa-senyawa yang terkandung dalam daun Torbangun berpotensi terhadap berbagai aktifitas biologi misalnya antioksidan, diuretik, analgetik, antikanker, antitumor dan antihipotensi (Duke 2000). Pemanfaatan daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour) di masyarakat Batak dipercaya mampu

meningkatkan produksi air susu (bersifat laktogogum) ibu yang sedang menyusui (Damanik et al. 2001).

Mencit (Mus musculus) Mencit (Mus musculus) adalah hewan pengerat (rodentia) yang cepat berbiak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, variasi genetik cukup besar serta sifat anatomis dan fisiologisnya terkarakterisasi dengan baik (Malole dan Pramono 1989). Selain itu, mencit juga mempunyai siklus hidup yang relatif pendek, jumlah anak per kelahiran banyak dan mudah ditangani (Moriwaki et al. 1994). Hal-hal tersebut menjadi dasar pemilihan mencit sebagai hewan percobaan pada penelitian ini. Menurut Malole dan Pramono (1989), mencit yang paling sering digunakan di laboratorium untuk berbagai penelitian adalah mencit albino swiss (Swiss albino mice). Gambar mencit disajikan pada Gambar 2. Perlakuan mencit secara halus akan mempermudah pengendaliannya, sebaliknya bila diperlakukan secara kasar akan menjadi agresif atau menggigit. Pada pencampuran antara pejantan baru dalam kelompok yang sudah stabil susunan hierarkinya, akan menyebabkan timbulnya perkelahian untuk

menentukan pemimpin kelompok baru tersebut (Malole dan Pramono 1989). Nilai-nilai fisiologis mencit disajikan pada Tabel 2.

Gambar 2 Mencit (Mus musculus). Sumber: Bellows 2005.

Tabel 2 Nilai-nilai fisiologis mencit Parameter Berat badan dewasa Jantan Betina Berat lahir Harapan hidup Konsumsi makanan Konsumsi air minum Mulai dikawinkan Jantan Betina Siklus birahi Lama kebuntingan Jumlah anak perkelahiran Umur sapih Produksi anak Komposisi air susu Nilai 20-40 g 25-40 g 0,5-1,5 g 1,5-3,0 tahun 15 g/100 g/hari 15 ml/100 g/hari 50 hari 50-60 hari 4-5 hari 19-21 hari 10-12 21-28 hari 8/bulan Laktosa 3,2% Lemak 12,1% Protein 9,0% 36,5-38,0 C 94-163/menit 325-780/menit 76-80 mg/kg 113-147/81-106 mmHg

Temperatur tubuh Jumlah pernapasan Detak jantung Volume darah Tekanan darah
Sumber : Malole dan Pramono (1989).

Hati Hati merupakan kelenjar terbesar dan mempunyai fungsi yang penting bagi kehidupan. Hati terletak pada bagian paling kranial dari abdomen tepat di belakang diafragma (Dyce et al. 2002). Organ ini diselubungi oleh kapsula fibrosa yang dilindungi peritoneum visceral (Martini 1992). Hati mencit terdiri dari 4 lobus yang menyatu pada bagian dorsal, yaitu lobus median yang dibagi menjadi kiri dan kanan oleh bifurkatio, lobus lateral kiri, lobus lateral kanan yang dibagi secara horisontal menjadi anterior dan posterior dan lobus kaudal yang terdiri dari bagian dorsal dan ventral (Harada et al. 1999). Lobus hati terdiri dari banyak unit fungsi hati yang disebut lobulus. Tiap lobulus terdiri dari prisma polihedral jaringan hepatika yang mempunyai ukuran panjang antara 2 mm dan lebar 1 mm (Frappier 1998). Lobulus berisi sel epitel khusus yang disebut hepatosit yang tersusun tidak teratur, bercabang-cabang dan selnya saling berhubungan

mengelilingi vena sentralis. Pada kapiler terdapat celah garis endotel yang disebut sinusoid yang merupakan tempat perlintasan darah. Pada sinusoid terdapat sel fagositosis yang disebut sel Kuppfer yang berfungsi menghancurkan leukosit dan sel darah merah yang rusak, bakteri dan benda asing lain pada aliran pembuluh darah vena dari traktus gastrointestinalis (Tortora 2005). Lobulus hati dibagi menjadi 3 zona, yaitu sentrolobular, midzonal dan periportal (Harada et al. 1999). Saluran portal dibentuk oleh kira-kira tiga sampai enam lobulus (Frappier 1998).

Gambar 3

Histologi Hati. Vena sentralis (a), sinusoid (b), hepatosit (c) dan sel endotel (d). Sumber: Dellmann dan Eurell (2006).

Hati mendapatkan suplai darah dari dua sumber, yaitu arteri hepatika yang berisi darah kaya oksigen dan dari vena porta berisi darah deoksigenasi yang berisi nutrisi, obat-obatan, mikroba dan terkadang bahan toksin yang diabsorbsi dari traktus gastrointestinalis. Cabang dari arteri hepatika maupun vena porta membawa darah ke sinusoid yang kaya oksigen, nutrisi dan beberapa substansi toksik yang diterima oleh hepatosit. Produk yang dihasilkan oleh hepatosit dan nutrisi yang dibutuhkan oleh sel lain disekresikan kembali ke darah yang kemudian dialirkan ke vena sentralis dan melewati vena hepatika (Tortora 2005). Kondisi hati bergantung pada aliran darah dan susunan empedu. Perbandingan aliran darah ke parenkim sama disemua bagian hati. Bila aliran darah dan saluran empedu rusak pada salah satu bagian, parenkim dari bagian tersebut akan mengalami atrofi. Perubahan-perubahan pada hati terjadi sebagai

respon dari kerusakan vaskular atau empedu (Kelly 1993). Pada kondisi yang menyebabkan kerusakan hati akan mempengaruhi terjadinya gangguan serius pada kehidupan (Martini 1992). Gangguan kecil pada fungsi hati dapat dengan cepat menyebabkan perubahan umum baik secara patologi anatomi maupun histologinya. Kelainan hati yang bersifat lokal, sering ditemukan sebagai hasil dari perlawanan organ terhadap mikroorganisme dan parasit yang masuk melalui absorbsi usus (Kelly 1993). Hati mempunyai kemampuan untuk beregenerasi secara parsial setelah terpapar, namun vaskularisasi tidak bisa kembali kedalam bentuk normal sehingga fungsi hati tidak normal seutuhnya (Martini 1992). Pada umumnya lama hidup hepatosit normalnya 30% dari umur hewan tersebut. Penggantian sel secara normal terjadi dari aktifitas mitosis hepatosit periportal (Kelly 1993). Harada et al. (1999) membagi kelainan hati berdasarkan kelainan kongenital, lesio degeneratif, inflamasi dan gangguan sirkulasi, hiperplasia dan neoplasia, kelainan nonneoplasma dan penyakit akibat keracunan. Hati berfungsi sebagai regulasi metabolik, regulasi hematologi dan produksi empedu (Martini 1992). Karena merupakan kelenjar terbesar maka hati juga mempunyai fungsi yang sangat kompleks, meliputi fungsi eksokrin (sintesis dan sekresi empedu, kolesterol dan protein darah), fungsi metabolisme (protein, karbohidrat, lemak), fungsi endokrin (glikogenolisis dan glikoneogenesis, sintesis hormon steroid), fungsi detoksikasi substansi toksik dan hidrogen peroksida, esterifikasi asam lemak jenuh menjadi trigliserida, penyimpanan glikogen, lemak, besi dan vitamin, hematopoiesis selama embrio hingga dewasa dan fagositosis benda asing (Harada et al. 1999).

Ginjal Sistem urinari tersusun atas dua ginjal, dua ureter, vesika urinaria dan uretra. Secara umum ginjal berfungsi mengatur volume dan komposisi cairan tubuh (Henrikson 1998). Pada umumnya ginjal ditemukan tertanam pada dinding abdomen yang masing-masing pada columna vertebralis dan regio lumbal, namun kadang terletak lebih depan ataupun lebih bawah dari tulang rusuk terakhir. Bagian depan dari ginjal kanan pada keadaan normal tepat berada pada fossa hati,

yang membantu memfiksir agar tetap pada posisinya. Ginjal kiri lebih mudah bergerak dan menggantung di dalam abdomen (Dyce et al. 2002). Karena letaknya di posterior peritoneum dari rongga abdomen maka disebut retroperitoneal (Tortora 2005). Pada pemotongan membujur ginjal, terdapat parenkim yang terbagi menjadi bagian luar yang berwarna merah gelap disebut korteks dan bagian dalam yang lebih cerah disebut medula (Henrikson 1998). Ginjal dari hewan domestik dapat diklasifikasikan sebagai unilobular (kucing, anjing, ruminansia kecil dan kuda) dan multilobular (babi) (Maxie 1993). Pada hewan domestik seperti kucing, anjing, domba dan kambing mempunyai bentuk yang bervariasi, licin dan menyerupai kacang merah sedangkan pada babi licin, memanjang dan gepeng, licin dan menyerupai bentuk jantung pada kuda serta menyerupai kerang dan oval pada sapi (Henrikson 1998). Ginjal mencit bertekstur lembut, berwarna coklat kemerahan, berada di dorsal dinding tubuh, dikelilingi jaringan lemak dan termasuk unilobular dengan papilla tunggal. Ginjal kanan normalnya berada lebih anterior daripada ginjal kiri dan pada jantan lebih berat dibanding betina (Seely 1999). Nefron merupakan unit fungsional dan struktural dari ginjal dan ginjal terdiri dari ribuan nefron. Jumlah nefron dari tiap-tiap spesies hewan sangat bervariasi. Anjing mempunyai sekitar 400.000 nefron per-ginjal, sedangkan kucing 200.000 per-ginjal (Henrikson 1998). Menurut Guyton (1994), mekanisme utama nefron membersihkan substansi yang tidak diinginkan dengan cara: 1. Menyaring sebagian besar plasma di dalam glomerulus, umumnya sekitar seperlimanya melalui membran glomerulus ke dalam tubulus. 2. Mereabsorbsi substansi yang diinginkan terutama air dan beberapa elektrolit oleh tubulus. Dengan demikian, bagian yang diinginkan dikembalikan ke darah dan bagian yang tidak diinginkan disekresikan melalui urin. Tiap nefron terdiri dari dua bagian, yaitu korpus renalis dimana plasma darah difiltrasi dan tubulus renalis yang mengabsorpsi dan mensekresi cairan yang lewat. Korpus renalis dibagi menjadi dua bagian yaitu glomerulus (kapiler glomerulus) dan kapsula Bowman yang mengelilingi kapiler glomerulus. Tubulus

10

renalis dibagi menjadi tiga bagian, yaitu tubulus proksimal, lengkung henle dan tubulus distalis (Tortora 2005).

Gambar 4 Histologi Ginjal. Glomerulus (a), kapsula Bowman (b), ruang Bowman (c), tubulus proksimal (d) dan tubulus distalis (e). Sumber: Dellmann dan Eurell (2006). Besar dan jumlah sel-sel glomeruli pada kuda dan anjing dipengaruhi oleh umur, berat badan dan jenis hewan (Guyton 1994). Jumlah glomerulus pada mencit berbeda-beda pada setiap spesies (Selly 1999). Menurut Guyton (1994), glomerulus adalah sebuah jaringan yang mengandung lebih dari 50 cabang-cabang paralel yang beranastomose serta dilapisi sel-sel epitel dan dibungkus oleh kapsula Bowman. Cairan filtrasi glomerulus berjalan melewati dinding glomerulus ke rongga kapsula. Filtrasi glomerulus adalah inti yang paling penting dari fungsi ginjal. Bila tidak ada filtrasi, maka produk yang tak terpakai tidak dapat diekskresikan, pH tidak terkontrol dan mekanisme penting untuk regulasi volume darah akan dieliminasi. Glomerulus sangat permeabel terhadap air dan partikel kecil, tetapi menolak albumin (berat molekul 70.000 dan diameter 3,6 nm), dan berat protein plasma yang lebih besar dari filter. Membran basal glomerulus menahan filtrasi berdasarkan ukuran partikel dan partikel yang berdiameter lebih dari 3,5 nm. Walaupun albumin dapat lewat tetap akan direabsorbsi kembali oleh tubulus (Maxie 1993).

11

Sel dari tubulus proksimal secara normal mereabsorbsi 60% dari volume filtrat yang diproduksi oleh korpus renalis (Martini 1992). Fungsi tubulus ginjal adalah memproduksi filtrat glomerular bebas protein dan dalam jumlah banyak akan diserap kembali sebanyak yang dibutuhkan tubuh. Sebanyak 99% air dan sodium klorida yang difiltrasi diserap kembali. Sistem ini secara efektif membersihkan zat-zat yang tidak berguna dalam tubuh. Bentuk dari segmen tubulus berhubungan dengan fungsinya. Toksin yang sering diserap atau disekresikan oleh tubulus proksimal dapat menyebabkan gangguan ginjal (Maxie 1993). Ginjal meregulasikan volume, komposisi ionik dan membuang zat yang tidak berguna dari darah. Jadi tidak mengherankan bila ginjal disuplai oleh banyak aliran darah (Tortora 2005). Ginjal menerima darah dari arteri renalis (Martini 1992) dan menerima sekitar 20-25% cardiac output (Maxie 1993). Fungsi homeostatik yang sangat penting dari ginjal meliputi ekskresi bahan-bahan tidak penting, pemeliharaan konsentrasi garam dan air dalam tubuh, regulasi keseimbangan asam basa dan memproduksi berbagai macam hormon (eritropoietin, rennin dan prostaglandin), termasuk metabolisme vitamin D dan menjadi bentuk aktifnya (Maxie 1993). Kelainan-kelainan yang dapat terjadi pada ginjal antara lain kelainan kongenital, lesio degeneratif, inflamasi dan gangguan sirkulasi, hiperplasia dan neoplasia serta keracunan (Seely 1999).

12

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2007 hingga Juli 2008 di Laboratorium Lapang (kandang C) bagian Non-Ruminansia dan Satwa Harapan (NRSH) Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, dan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat Hewan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah 12 ekor mencit (Mus musculus) lepas sapih berumur 21 hari yang terdiri dari 3 ekor jantan dan 9 ekor betina. Air minum yang digunakan adalah air mineral komersial, sedangkan pakan yang dipergunakan adalah campuran pakan ayam komersial dengan daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour) dalam bentuk sop dan daun kering yang dibentuk menjadi pellet. Bahan-bahan lain yang digunakan adalah detergen dan alkohol 70% untuk desinfeksi kandang, obat cacing Combantrin, antibiotik Amoxicilin, bahan untuk pembuatan sediaan histopatologi yaitu Buffer Neutral Formalin (BNF) 10%, alkohol bertingkat (70-100%), xylol (I dan II), parafin (Histoplast, Shandon) dan pewarnaan HE (Hematoxyllin-Eosin). Peralatan yang digunakan adalah kandang mencit berupa baki plastik berukuran (36 x 28 x 12) cm dengan kawat penutup, timbangan digital, botol air minum kapasitas 265 ml, tempat pakan, dan jarum suntik, sedangkan peralatan untuk pembuatan pakan adalah drum dryer, mesin pres kaleng, mesin pembuat pellet dan oven. Alat-alat lain yang digunakan yaitu untuk fiksasi jaringan berupa skalpel, gunting, pinset dan botol tempat penyimpanan jaringan. Untuk proses deparafinisasi dan pemotongan jaringan digunakan gelas piala, inkubator, rotary microtome, object glass dan alat mikrofotografi untuk dokumentasi.

13

Metoda Penelitian 1. Pembuatan sop daun Torbangun Resep dan cara pembuatan sop daun Torbangun diperoleh dari seorang wanita suku Batak. Resep pembuatan sop daun Torbangun disajikan pada Lampiran 2. Sop yang telah jadi kemudian dikemas ke dalam kaleng dan disimpan selama 14 hari. Sop daun Torbangun yang dikemas dalam kaleng dan disimpan pada suhu ruang aman dikonsumsi hingga hari ke-14 (Marlina 2007). Setelah disimpan selama 14 hari, sop diblender agar menjadi halus, kemudian dikeringkan hingga menjadi tepung menggunakan drum dryer.

2. Pembuatan daun Torbangun kering Daun yang telah dipisahkan dari tangkainya dijemur di dalam ruangan atau ditempat terbuka yang tidak terkena sinar matahari langsung. Setelah kering, daun kembali dikeringkan dengan oven kemudian digiling hingga halus.

3. Pembuatan pakan perlakuan Sop dan daun Torbangun kering masing-masing dicampur dengan pakan ayam komersial, selanjutnya dibuat menjadi pellet dengan taraf sebagai berikut: K S D : pakan kontrol (tanpa daun Torbangun) : 95% pakan + 5% sop daun Torbangun : 95% pakan + 5% daun Torbangun kering

4.

Pemeliharaan mencit Kandang dan semua peralatan yang akan digunakan dicuci bersih dan

didesinfeksi menggunakan detergen dan alkohol 70%. Mencit jantan dan betina ditempatkan dalam satu kandang dengan perbandingan satu ekor jantan berbanding tiga ekor betina. Sebelum perlakuan, mencit diadaptasikan terhadap lingkungan selama satu minggu. Selama masa adaptasi mencit diberi obat cacing Combantrin dosis tunggal 0,01 cc/ekor dan antibiotik Amoxicilin dosis 0,01 cc/ekor selama 3 hari berturut-turut. Pemisahan mencit jantan dan betina dilakukan setelah terjadi kebuntingan, dan mencit betina ditempatkan pada satu kandang secara terpisah. Pemberian

14

pakan perlakuan dimulai pada hari ke-14 pasca kebuntingan, sedangkan sebelum perlakuan mencit mengkonsumsi pakan kontrol (K). Perlakuan dimulai pada hari ke-14 pasca kebuntingan karena merupakan waktu yang paling tepat dan memberikan efek positif tertinggi terhadap daya reproduksi mencit (Wardani 2007). Identifikasi kebuntingan pada mencit berdasarkan adanya perubahan pada anatomi abdomen mencit. Pakan dan minum diberikan ad libitum, setiap hari pada pukul 07.00 WIB. Setiap empat hari sekali sekam diganti dengan yang baru. Pemanenan induk mencit dilakukan satu minggu post-partus. Dengan demikian mencit diberi pakan perlakuan selama 2 minggu.

5. Pembuatan dan pengamatan sediaan histopatologi Pembuatan sediaan histopatologi terdiri dari fiksasi jaringan, dehidrasi, clearing, infiltrasi, embedding, pemotongan jaringan dan pewarnaan (Lampiran 3 dan 4). Sediaan histopatologi diamati menggunakan alat mikrofotografi terhadap adanya lesio histopatologi. Pengamatan histopatologi sediaan hati dilakukan terhadap hepatosit yang mengalami degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan nekrosa. Evaluasi hepatosit dilakukan pada sepuluh lapang pandang, meliputi lima lapang pandang di sekitar vena sentralis dan lima lapang pandang di lobulus bagian periportal. Evaluasi histopatologi sediaan ginjal dilakukan dengan mengamati perubahan terhadap glomerulus dan tubulus. Glomerulus yang diamati sebanyak 20 buah dari tiap sediaan, dengan parameter pengamatan adalah edema glomerulus yang ditandai dengan adanya endapan protein pada mesangium hingga ke ruang Bowman. Parameter pengamatan pada tubulus meliputi degenerasi hidropis dan nekrosa tubulus proksimalis. Evaluasi tubulus dilakukan di lima lapang pandang pada tubulus proksimalis yang berada disekeliling glomerulus dengan luas lapang pandang 13,5 m x 11 m.

15

Analisis Data Data hasil pengamatan histopatologi hati, glomerulus dan tubulus ginjal dipersentasekan dan dianalisis menggunakan metoda ANOVA yang dilanjutkan dengan uji Duncan.

16

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perubahan Histopatologi Organ Hati Berdasarkan hasil pengamatan histopatologi hati mencit seluruh kelompok perlakuan, ditemukan adanya perubahan baik pada parenkim maupun interstitium. Perubahan pada parenkim hati berupa degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan nekrosa hepatosit, sedangkan pada interstitium berupa kongesti. Terjadinya

kongesti dikarenakan penggunaan eter yang berlebihan sewaktu euthanasia. Hal ini disebabkan eter merupakan anastetik umum yang sangat kuat sehingga dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah kulit dan pembuluh darah organ (Handoko 1995). Persentase lesio hepatosit mencit pasca pemberian 5% sop dan daun Torbangun kering selama 2 minggu disajikan pada Tabel 3 dan Gambar 5. Tabel 3 Persentase lesio hepatosit mencit pasca pemberian 5% sop dan daun Torbangun kering selama 2 minggu Perlakuan Kontrol Sop Daun Normal (%) 6,3710,65b 0,000,00a 0,673,20a Deg. Hidropis (%) 90,6810,62b 85,528,70a 90,934,58b Deg. Lemak (%) 0,000,00a 2,614,92b 0,000,00a Nekrosa (%) 2,953,08a 11,874,71c 8,403,82b

Keterangan : Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)

Dari hasil pengamatan histopatologi (Tabel 3), tidak ditemukan adanya hepatosit normal pada kelompok sop, hanya sedikit sekali (0,67%) pada kelompok daun, dan hanya 6.37% pada kelompok kontrol. Sebagian besar hepatosit

mengalami degenerasi hidropis, dimana persentase kelompok sop lebih rendah dan berbeda nyata (p<0.05) dibandingkan kelompok kontrol dan daun, namun persentase kelompok daun tidak berbeda nyata (p>0.05) dibandingkan kelompok kontrol. Degenerasi lemak di hepatosit hanya ditemukan pada kelompok sop. Nekrosis hepatosit ditemukan pada semua kelompok, persentase tertinggi ditemukan pada kelompok sop (p<0.05) yang diikuti oleh kelompok daun (p<0.05).

17

Gambar 5

Diagram persentase lesio hepatosit mencit pasca pemberian 5% sop dan daun Torbangun kering selama 2 minggu.

Tingginya persentase degenerasi hidropis hepatosit seluruh kelompok termasuk kelompok kontrol, mengindikasikan adanya bahan tertentu dalam pakan mencit yang cenderung merusak hati. Komponen pakan tersebut kemungkinan bersifat hepatotoksik terhadap hati mencit. Diduga komponen pakan yang bersifat hepatotoksik tersebut berasal dari pakan ayam komersil. Kemungkinan pakan ayam komersial yang digunakan telah tercemar sehingga memicu terbentuknya lesio hepatosit. Kemungkinan lain yang dapat menjawab terbentuknya degenerasi hidropis pada seluruh kelompok perlakuan maupun kontrol adalah akibat adanya reaksi individual mencit terhadap lingkungan yang sanitasinya kurang baik atau mencit yang tidak Specific Pathogen Free (SPF). Pemberian 5% daun Torbangun dalam bentuk sop maupun daun kering memicu timbulnya nekrosa hepatosit, dan pemberian dalam bentuk sop menimbulkan lesio yang lebih tinggi dibandingkan dalam bentuk daun kering. Hal ini mengindikasikan bahwa daun Torbangun mengandung suatu bahan yang bersifat toksik yang memicu timbulnya lesio hepatosit (hepatotoksik). Hingga kini belum diketahui kandungan daun Torbangun yang bersifat toksik tersebut. Namun adanya rasa sepat dan bau yang khas dari daun, diduga daun mengandung tannin dan saponin.

18

Tannin termasuk kedalam kelompok senyawa polivenol, yang terdiri dari tannin terkondensasi dan tannin terhidrolisis. Tannin terkondensasi lebih bersifat toksik dibandingkan tannin terhidrolisis. Pada tanaman, tannin berfungsi sebagai pertahanan terhadap herbivora. Pada individu yang sensitif, tannin dapat

menyebabkan iritasi ginjal, kerusakan hati dan iritasi lambung. Pada manusia, penggunaan tanaman dengan kandungan tannin yang tinggi dalam waktu yang lama tidak dianjurkan, karena dapat menyebabkan kanker esophagus. Selain

tannin, diduga daun Torbangun mengandung saponin. Bila saponin tertelan dapat bersifat racun dan menyebabkan urtikaria (skin rush), dan bila diinjeksikan menyebabkan hemolisis sel darah merah (Anonim 2008c). Berdasarkan sifat-sifat buruk tannin dan saponin inilah yang menjadi aalasan penyebab kerusakan sel-sel hati. Pemberian 5% daun Torbangun dalam bentuk sop menyebabkan persentase nekrosa hepatosit lebih tinggi dibandingkan daun kering. Selain itu, degenerasi lemak hepatosit hanya ditemukan di kelompok sop. Hal ini semakin menguatkan dugaan bahwa ada komponen sop yang bersifat hepatotoksik atau bahan yang bersifat hepatotoksik lebih banyak terkandung dalam sediaan sop. Adanya proses pemanasan diduga meningkatkan aktivitas bahan yang bersifat hepatotoksik. Salah satu dugaan adalah adanya penambahan BHT (Butil Hidroksi Toluen) sebagai antioksidan pada pembuatan sop sehingga menginduksi terbentuknya lesio hepatosit yang lebih tinggi. Di beberapa negara seperti

Amerika Serikat, Jepang, Romania, Swedia dan Australia telah melarang penggunaan BHT pada produk-produk makanan. Pada studi yang berbeda, BHT dilaporkan sebagai obat pencegah kanker namun mempunyai efek pada organ yang lain (Anonim 2008c). Dari hasil pengamatan histopatologi diketahui bahwa secara umum zona periportal dan midzonal mengalami lesio yang lebih parah bila dibandingkan dengan zona sentrolobular. Hal ini dapat dikaitkan dengan vaskularisasi hati, dimana hati mendapatkan suplai darah yang berasal dari saluran pencernaan. Sari-sari makanan maupun bahan toksik yang terserap dari saluran pencernaan dialirkan melalui vena porta, yang selanjutnya menuju sinusoid dan berakhir di vena sentralis. Hepatosit yang terletak di bagian perifer lobulus (periportal) akan

19

berinteraksi terlebih dulu dengan bahan-bahan yang bersifat toksik dibandingkan dengan yang berada di tengah lobulus atau di sekitar vena sentralis. Hal inilah yang menyebabkan hepatosit di perilobuler lebih dahulu mengalami gangguan (Maclachlan dan Cullen 1995). Degenerasi hidropis adalah keadaan yang paling sering muncul sebagai akibat dari kerusakan sel. Kerusakan membran sel menyebabkan kebocoran membran, mengganggu aktivitas transport K+ yang keluar dari sel dan masuknya sejumlah Ca2+, Na+ dan air ke dalam sel. Akibat banyaknya cairan ekstrasel yang masuk ke dalam sitoplasma, menyebabkan penggelembungan sitoplasma, mitokondria dan retikulum endoplasmik kasar (King dan Joseph 1996). Hal ini dimanisfestasikan dengan peningkatan ukuran sel dan volume air dalam sel yang berlebihan. Keadaan ini menyebabkan gangguan homeostasis sel, regulasi bahan dan ekskresi air. Respon terhadap degenerasi hidropis adalah gangguan produksi energi sel atau kerusakan regulasi enzim penyaluran ion dari membran (Myers dan McGavin 2007). Degenerasi hidropis ditandai oleh pembengkakan sitoplasma yang disertai vakuolisasi. Perubahan ini bersifat dapat balik (reversible) dan pada beberapa kasus dapat menyebabkan terjadinya degenerasi lemak (Harada et al. 1999). Degenerasi hidropis terjadi sebagai akibat dari hipoksia, bahan toksik, radikal bebas, virus, bakteri, dan gangguan berperantara imun (Myers dan McGavin 2007). Gambaran histopatologi hati mencit yang mengalami degenerasi hidropis disajikan pada Gambar 7. Degenerasi lemak adalah suatu kondisi yang menggambarkan hepatosit berisi banyak lipid. Umumnya hal ini disebabkan oleh bahan toksik, disfungsi nutrisi dan umur tua. Hati mempunyai peranan penting dalam pengaturan lemak tubuh, dimana proses sintesis dan transport lipoprotein dilakukan di hati. Adanya gangguan sintesis protein dan fosfolipid berpotensi menghambat sintesis dan sekresi lipoprotein. Apabila degenerasi lemak terjadi dalam waktu yang lama akan menyebabkan disfungsi hati, fibrosis, akumulasi pigmen dan hiperplasia nodular (Kelly 1993). Gambaran histopatologi hati mencit yang mengalami

degenerasi lemak disajikan pada Gambar 8.

20

Lesio hepatosit yang bersifat reversible dapat berlanjut menjadi suatu kerusakan sel yang bersifat permanen yang akhirnya menyebabkan kematian sel. Kematian sel dapat terjadi secara apoptosis ataupun nekrosis. Apoptosis merupakan tindakan bunuh diri sel, yaitu suatu bentuk kematian sel yang terprogram, sedangkan nekrosis adalah kematian sel dalam jumlah besar hingga mengenai sebagian jaringan. Nekrosis sel dicirikan oleh sitoplasma yang terlihat lebih eusinofilik disertai penggumpalan kromatin inti dengan inti mengecil dan lebih basofilik (Cheville 2006).

Gambar 6 Gambaran histopatologi hati mencit kelompok kontrol. Hepatosit mulai mengalami degenerasi hidropis (panah) dan semakin parah ke arah periportal. Pewarnaan HE, bar 2 m.

21

Gambar 7 Gambaran histopatologi hati mencit kelompok daun Torbangun kering 5%. Seluruh hepatosit mengalami degenerasi hidropis. Pewarnaan HE, bar 2 m.

Gambar 8

Gambaran histopatologi hati mencit kelompok sop Torbangun 5%. Sebagian besar hepatosit mengalami degenerasi hidropis, beberapa diantaranya mengalami degenerasi lemak (a), nekrosis (c) dan kongesti di sinusoid (b). Pewarnaan HE, bar 2 m.
22

Perubahan Histopatologi Organ Ginjal Berdasarkan hasil pengamatan histopatologi organ ginjal mencit pada ketiga kelompok ditemukan adanya perubahan-perubahan, baik di parenkim maupun interstitium. Perubahan pada parenkim terjadi baik di glomerulus

maupun tubulus. Perubahan yang terjadi pada glomerulus adalah edema dengan adanya endapan protein di mesangium hingga ke ruang Bowman, sedangkan pada tubulus terlihat adanya degenerasi hidropis dan nekrosa. Pada interstitium

ditemukan perubahan berupa kongesti. Seperti halnya di hati, kongesti di ginjal kemungkinan besar disebabkan oleh penggunaan eter yang berlebihan saat euthanasia. Hasil analisis statistik persentase lesio glomerulus disajikan pada Tabel 4 dan Gambar 9, sedangkan hasil analisis statistik persentase lesio tubulus disajikan ada Tabel 5 dan Gambar 10. Tabel 4 Persentase edema glomerulus mencit pasca pemberian 5% sop dan daun Torbangun kering selama 2 minggu
Perlakuan Kontrol Sop Daun Normal (%) 61,67 2,89a 63,33 20,21a 61,67 2,89a Edema (%) 38,33 2,89a 36,67 20,21a 38,33 2,89a

Keterangan : Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)

Gambar 9

Diagram persentase edema glomerulus mencit pasca pemberian 5% sop dan daun Torbangun kering selama 2 minggu.

23

Tabel 5

Persentase lesio tubulus ginjal mencit pasca pemberian 5% sop dan daun Torbangun kering selama 2 minggu Normal (%) 35,8528,35b 14,0216,91a 4,8511,66a Deg. Hidropis (%) 51,7427,23a 69,8319,36b 81,9213,28b Nekrosa (%) 12,413,17a 16,1511,6a 13,236,70a

Perlakuan K S D

Keterangan : Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)

Gambar 10 Diagram persentase lesio tubulus ginjal mencit pasca pemberian 5% sop dan daun Torbangun kering selama 2 minggu. Dari Tabel 4 dan Gambar 9 terlihat bahwa edema glomerulus ditemukan pada seluruh kelompok, dengan persentase kejadian antara 35-39%. Persentase edema glomerulus kelompok sop maupun kelompok daun tidak berbeda nyata (p>0,05) dibandingkan dengan kelompok kontrol, begitu pula kelompok sop tidak berbeda nyata (p>0,05) dibandingkan dengan kelompok daun. Ditemukannya lesio glomerulus pada kelompok kontrol kemungkinan disebabkan pakan mencit mengandung bahan yang bersifat nefrotoksik. Kemungkinan bahan yang bersifat nefrotoksik tersebut berasal dari pakan ayam komersial. Selain itu, kejadian edema glomerulus kemungkinan dapat disebabkan oleh reaksi individual mencit terhadap lingkungan dengan sanitasi buruk atau mencit yang digunakan tidak Specific Pathogen Free (SPF). Hal ini sesuai

24

dengan pendapat Seely (1999), bahwa salah satu faktor pemicu timbulnya edema glomerulus adalah kondisi perkandangan yang buruk, status patogen, umur tua dan stres. Menurut Newman et al. (2007), edema glomerulus disebabkan oleh bocornya kapiler mesangium. Rusaknya membran basal kapiler glomerulus

diduga disebabkan adanya bahan yang bersifat toksik yang melewati glomerulus tersebut. Pada pengamatan histopatologi tubulus terlihat adanya degenerasi hidropis dan nekrosis. Degenerasi hidropis dan nekrosis epitel tubulus disebabkan oleh bahan yang bersifat nefrotoksik. Seperti diketahui, selain sebagai saluran lanjutan dari glomerulus (sekresi), tubulus juga berfungsi menyerap kembali (reasorbsi) bahan-bahan yang melewatinya. Bahan-bahan nefrotoksik yang telah merusak glomerulus kemudian dialirkan ke tubulus yang akhirnya juga merusak epitel tubulus. Mekanisme dan penyebab terjadinya degenerasi hidropis dan nekrosa tubulus ginjal sama dengan yang terjadi di hepatosit. Gambaran histopatologi tubulus yang mengalami degenerasi hidropis dan nekrosa disajikan pada Gambar 11 dan 12. Dari Tabel 5 dan Gambar 10 terlihat bahwa persentase tubulus normal kelompok sop maupun daun lebih rendah dan berbeda nyata (p<0,05) dibandingkan kelompok kontrol. Persentase lesio degenerasi hidropis kelompok sop dan daun lebih tinggi dan berbeda nyata (p<0,05) dibandingkan kelompok kontrol, sedangkan nekrosa tubulus ketiga kelompok tidak berbeda nyata (p>0,05). Hasil ini semakin menguatkan dugaan adanya bahan yang bersifat toksik terhadap epitel tubulus ginjal (nefrotoksik) dalam pakan ayam komersial, dan bahan nefrotoksik tersebut juga terkandung dalam daun Torbangun. Namun bahan nefrotoksik tersebut lebih kurang sama kadarnya dalam sediaan sop maupun daun kering. Artinya, bahan nefrotoksik tersebut tahan pemanasan pada proses pembuatan sop. Selain itu, seperti halnya lesio yang terjadi di hati dan glomerulus ginjal, terjadinya lesio tubulus kelompok kontrol kemungkinan disebabkan oleh mencit yang tidak Specific Pathogen Free (SPF) dan reaksi individual terhadap lingkungan dengan sanitasi yang buruk.

25

Gambar 11 Gambaran histopatologi ginjal mencit kelompok kontrol. Ditemukan endapan protein di ruang Bowman glomerulus (a) dan nekrosa epitel tubulus (b). Pewarnaan HE, bar 2 m.

Gambar 12 Gambaran histopatologi ginjal mencit kelompok sop daun Torbangun 5%. Degenerasi hidropis tubulus (a) dan edema glomerulus (b). Pewarnaan HE, bar 2 m.
26

KESIMPULAN

1. Pemberian 5% daun Torbangun dalam bentuk sop maupun daun kering selama dua minggu memicu terbentuknya lesio hepatosit berupa degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan nekrosa. 2. Pemberian 5% daun Torbangun dalam bentuk sop maupun daun kering selama dua minggu memicu terbentuknya edema glomerulus serta degenerasi hidropis dan nekrosa tubulus. 3. Pakan mencit yang digunakan dalam penelitian ini diduga telah tercemar baik cemaran yang berasal dari pakan ayam komersial maupun dalam proses pembuatan pellet sehingga menimbulkan lesio di hati dan ginjal.

SARAN

1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan pemberian daun Torbangun pada mencit dengan dosis dan jangka pemberian yang lebih lama yang disesuaikan dengan konsumsi daun Torbangun pada manusia. 2. Perlu dilakukan penelitian mengenai jenis dan komposisi kandungan dalam daun Torbangun, khususnya mengenai kemungkinan adanya kandungan yang bersifat hepatotoksik dan nefrotoksik. 3. Sebaiknya digunakan pakan dengan formula khusus untuk mencit sehingga tidak mengganggu hasil penelitian.

27

DAFTAR PUSTAKA

[Anonim]. 2008a. Coleus amboinicus Lour. http://bebas.vlsm.org/v12/artikel/ttg tanaman_obat/depkes/buku1/1-083.pdf [31 Jan 2008]. [Anonim]. 2008b. Jintan/Ajeran. http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.phd ?id=4 [31 Jan 2008]. [Anonim]. 2008c. http://en.wikipedia.org/ [6 Sep 2008]. Bellows A. 2005. Mice, Man and Medicine. http://www.damninteresting.com [16 Nov 2008]. Cheville NF. 2006. Introduction to Veterinary Pathology. Ed ke-3.USA:Blackwell Publishing. Damanik R et al. 2001. Consumption of Bangun-Bangun Leaves (Coleus amboinicus Lour) to Increase Breast Milk Production Among Bataknesse Women in North Sumatra Island, Indonesia. www.healthyeatingclub.com/APJCN/ProcNutSoc/2000+/2001/Damanik67 pdf [31 Jan 2008]. Damanik R, Wahlqvist ML, Wattanapenpaiboon. 2006. Lactagogue Effect of Torbangun, a Bataknese Traditional Cuisine. www.healthyeatingclub.com/ APJCN/Volume15/vol15.2/Finished/Rizal.pdf [31 Jan 2008]. Dellmann HD, Eurell JA. 2006. Textbook of Veterinary Histology. Ed ke-6. USA: Blackwell Publishing. Duke. 2000. Dr. Dukes Contituens and Ethnobotanical Databases, Phytochemical database, USDA-ARS-NGRI. http //www.ars-grin.gov/cgi-bin/duke/ farmacy-s ro||3.p| [31 Jan 2008]. Dyce KM, Sack WO, Wensing CJG. 2002. Textbook of Veterinary Anatomy. Ed ke-3.Philadelphia: Elsevier. Frappier BL. 1998. Digestive System. Di dalam: Dellmann HD, Eurell JA, editor. Textbook of Veterinary Histology. Ed ke-5. Maryland: Lippincott Williams dan Wilkins. hlm. 164-202. Guyton AC. 1994. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-7. Jakarta: Kedokteran EGC. Handoko T. 1995. Anestetik Umum. Di dalam: Ganiswarna SG. 1995. Farmakologidan Terapi. Ed ke-4. Jakarta: Gaya baru. hlm. 109-123. Harada T, Akiko E, Gary AB, Robert RM. 1999. Liver and Gallblader. Di dalam: Maronpot RR, Gary AB, Beth WG, editor. Pathology of The Mouse. USA: Cache River Press. Hlm. 119-171.

28

Henrikson C. 1998. Urinary System. Di dalam: Dellmann HD, Eurell JA, editor. Textbook of Veterinary Histology. Ed ke-5. Maryland: Lippincott Williams dan Wilkins. hlm. 203-225. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Ed ke-3. Diterjemahkan oleh Badan Litbang Kehutanan Jakarta. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya. hlm. 1698-1700. Kelly WR. 1993. The Liver and Biliary System. Di dalam: Jubb KVF, Peter CK dan Nigel P, editor. Pathology of Domestic Animals. Ed ke-4. Volume ke2. London: Academic Press. hlm. 319-406. King NW, Joseph A. 1996. Intracelluler and extracellular deposition; degenerations. Di dalam: Jones TC, Hunt RD, King NW, editor. Veterinary Pathology. Ed ke-6. USA: Blackwell Publishing Professional.

MacLachlan NJ, Cullen JM. 1995. Liver, Biliary System, and Exocrine Pancreas. Di dalam: Carlton WW, McGavin MD, editor. Thomsons Special Veterinary Pathology. Ed ke-2. New York: Mosby Yearbook. hlm. 81115. Malole MBM, Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan Percobaan di Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Marlina D. 2007. Kajian Umur Simpan Sop Daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour) dan Perhitungan Migrasi Total Kemasan [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Martini F. 1992. Fundamentals of Anatomy and Physiology. Ed ke-2. USA: A Simon and Schuster Company. Maxie MG. 1993. The Urinary System. Di dalam: Jubb KVF, Peter CK dan Nigel P, editor. Pathology of Domestic Animals. Ed ke-4. Volume ke-2. London: Academic Press. hlm. 447-538. Moriwaki K, T Shiroishi, H Yonekawa. 1994. Genetic in Wild Mice. Its Aplication to Biomedical Research. Tokyo: Japan Scientific Sosieties Press. Karger. [MTIC] Martha Tilaar Innovation Centre. 2002. Budi Daya Secara Organik Tanaman Obat Rimpang. Jakarta: Penebar Swadaya. hlm. 1-17. Myers RK, McGavin MD. 2007. Celluler and Tissue Responces to Injury. Di dalam: McGavin MD, Zachary JF, editor. Pathologic Basis of Veterinary Disease. Ed ke-4. Mosby, Inc: China. hlm. 3-62. Newman SJ, AW Confer, RJ Panciera. 2007. Urinary System. Di dalam: McGavin MD, Zachary JF, editor. Pathologic Basis of Veterinary Disease. Ed ke-4. Mosby, Inc: China. hlm. 613-692. Seely JC. 1999. Kidney. Di dalam: Maronpot RR, Gary AB, Beth WG, editor. Pathology of The Mouse. USA: Cache River Press. hlm. 207-226.

29

Soenanto H. 2005. Musnahkan Penyakit dengan Tanaman Obat. Jakarta: Puspa Swara. Syukur C, Hernani. 2002. Budi Daya Tanaman Obat Komersial. Jakarta: Penebar Swadaya. Tortora GJ. 2005. Principles of human anatomy. Ed ke-10. USA: John wiley & sons, Inc. Wardani W. 2007. Penambahan Daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour) dalam Ransum Pengaruhnya terhadap Sifat Reproduksi dan Produksi Air Susu Mencit (Mus musculus albinus) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Wijayakusuma H. 2005. Menumpas Penyakit Kewanitaan dengan Tanaman Obat. Jakarta: Puspa Swara.

30

LAMPIRAN

Lampiran 1 Tabel Komposisi Sop Daun Torbangun


No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Bahan Daun Torbangun segar Santan Bawang putih Bawang merah Kemiri Kunyit Jahe Laos Sereh Merica Garam Air jeruk nipis Total berat formula Jumlah 250 g 575 ml 2,4 g 9,94 g 9,2 g 1,79 g 1,98 g 1,89 g 1 tangkai 0,43 g Secukupnya 2 sendok makan 875 g

Lampiran 2 Resep Pembuatan Sop Daun Torbangun Proses pembuatan sop daun Torbangun adalah sebagai berikut: daun Torbangun disortasi dan dipisahkan dari tangkai, kemudian ditimbang. Bumbubumbu dibersihkan dan ditimbang kemudian dihaluskan. Kemiri dan kunyit disangrai atau dibakar terlebih dahulu sebelum dihaluskan. Daun diremas-remas menggunakan garam dan diperas untuk mengurangi bau langu dan cairan hitam dari daun, setelah itu dicuci bersih dan ditiriskan. Santan dimasak bersama bumbu, sereh yang telah ditumbuk dan BHT (Butil Hidroksi Toluen) sebanyak 5 mg per kilogram daun Torbangun pada suhu 75oC, daun Torbangun dimasak hingga matang. Setelah matang, ke dalam sop daun Torbangun ditambahkan perasan air jeruk nipis. Selanjutnya sop dikemas dalam kaleng kedap udara dan disimpan dalam suhu ruang selama dua minggu.

Lampiran 3 Pembuatan Sediaan Histopatologi Pembuatan sediaan histopatologi terdiri dari fiksasi jaringan, proses jaringan (dehidrasi, clearing, infiltrasi, dan embedding), pemotongan (sectioning) dan pewarnaan (staining). Dehidrasi merupakan proses penarikan air dari jaringan dan mencegah terjadinya pengerutan terhadap sampah. Sampel jaringan didehidrasi di dalam alkohol bertingkat (alkohol 70, 80, 90, 95%, alkohol absolut), xylol I, xylol II, serta paraffin I dan II dengan menggunakan alat automatic tissue processor selama 2 jam. Clearing atau penjernihan adalah proses intermediet antara proses
32

dehidrasi dengan proses embedding dengan paraffin. Xylol biasanya digunakan sebagai zat dalam proses clearing, karena xylol dapat bercampur dengan air. Selanjutnya dilakukan tahap embedding atau pembuatan blok paraffin. Tahap berikutnya adalah sectioning, yaitu pemotongan jaringan yang terdiri dari tiga tahap: tahap pemotongan kasar, tahap pemotongan halus dan tahap pengembangan lembaran potongan dalam air hangat (40-45 C). Blok paraffin yang telah dipotong diletakkan pada gelas objek dan disimpan dalam inkubator (37 C) selama 24 jam hingga jaringan melekat sempurna. Untuk mempermudah penglihatan dan pengenalan dalam mikroskop, maka dilakukan staining (pewarnaan jaringan).

Lampiran 4 Teknik Pewarnaan Hematoxylin-Eosin (HE) Sebelum melakukan proses pewarnaan dilakukan deparaffinisasi dalam larutan xylol I dan II. Selanjutnya dilakukan dehidrasi secara bertahap ke dalam larutan alkohol absolut (2 menit), alkohol 95% (1 menit) dan alkohol 80% (1 menit). Sediaan kemudian dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan. Proses pewarnaan dimulai dengan perendaman sediaan dalam pewarna Mayers hematoksin (8 menit), lalu dicuci dengan air mengalir selama 10 menit. Sediaan lalu dicelupkan ke dalam larutan Lithium Karbonat (10-15 menit) lalu direndam dalam air kran selama 2 menit. Sediaan kemudian dicelup ke dalam pewarna eosin (2-3 menit) dan dicuci kembali dengan air kran (30-60 detik) untuk menghilangkan kelebihan zat warna. Selanjutnya dilakukan rehidrasi dengan larutan alkohol 95% sebanyak 10 celupan, alkohol absolut I (10 celupan), alkohol absolut II (2 menit), xylol I (1 menit), dan xylol II (2 menit). Kemudian sediaan dikeringkan dan ditutup dengan cover glass menggunakan bahan perekat permount.

33

Lampiran 5 Hasil Pengamatan Histopatologi Organ Hati


Perlakuan Jumlah hepatosit Hepatosit normal Degenerasi hidropis Degenerasi lemak Nekrosa Jumlah hepatosit Hepatosit normal Degenerasi hidropis Degenerasi lemak Nekrosa Jumlah hepatosit Hepatosit normal Degenerasi hidropis Degenerasi lemak Nekrosa Jumlah hepatosit Hepatosit normal Degenerasi hidropis Degenerasi lemak Nekrosa Jumlah hepatosit Hepatosit normal Degenerasi hidropis Degenerasi lemak Nekrosa Jumlah hepatosit Hepatosit normal Degenerasi hidropis Degenerasi lemak Nekrosa Jumlah hepatosit Hepatosit normal Degenerasi hidropis Degenerasi lemak Nekrosa Jumlah hepatosit Hepatosit normal Degenerasi hidropis Degenerasi lemak Nekrosa Jumlah hepatosit Hepatosit normal Degenerasi hidropis Degenerasi lemak Nekrosa 1 62 0 59 0 3 61 9 50 0 2 50 0 49 0 1 71 0 64 0 7 54 0 40 7 7 77 0 70 0 7 52 0 47 0 5 64 0 58 0 6 67 0 65 0 2 2 53 0 52 0 1 44 10 32 0 2 59 0 56 0 3 72 0 62 0 10 49 0 39 2 8 80 0 73 0 7 45 0 42 0 3 60 0 53 0 7 54 0 50 0 4 3 56 0 55 0 1 63 0 62 0 1 51 0 48 0 3 52 0 47 0 5 58 0 36 11 11 88 0 78 0 10 60 0 56 0 4 63 11 49 0 3 65 0 60 0 5 4 66 0 65 0 1 67 6 61 0 0 42 0 41 0 1 65 0 62 0 3 59 0 39 8 12 90 0 81 0 9 49 0 48 0 1 70 0 69 0 1 52 0 50 0 2 Lapang pandang 5 6 7 55 44 53 0 0 0 55 42 53 0 0 0 0 2 0 61 46 56 0 0 9 61 43 46 0 0 0 0 3 1 42 40 46 0 0 0 42 36 44 0 0 0 0 4 2 56 73 61 0 0 0 52 69 53 0 0 0 4 4 8 47 55 49 0 0 0 38 46 38 2 2 3 7 7 8 73 51 74 0 0 0 68 46 67 0 0 0 5 5 7 45 50 59 0 0 0 41 45 56 0 0 0 4 5 3 61 40 73 0 0 0 56 33 69 0 0 0 5 7 4 56 60 54 0 0 0 47 51 50 0 0 0 9 9 4 8 46 5 41 0 0 59 13 46 0 0 47 0 37 0 2 78 0 72 0 6 61 0 49 4 8 92 0 78 0 14 52 0 48 0 4 74 2 64 0 8 70 0 61 0 9 9 52 0 52 0 0 60 17 42 0 1 41 0 32 0 5 59 0 55 0 4 61 0 42 5 14 72 0 65 0 7 51 0 47 0 4 63 0 59 0 4 64 0 57 0 7 10 50 0 49 0 1 42 17 25 0 0 31 0 29 0 2 55 0 49 0 6 58 0 46 0 12 82 0 76 0 6 59 0 54 0 5 59 0 54 0 5 65 0 58 0 7

K1

K2

K3

S1

S2

S3

D1

D2

D3

34

Lampiran 6 Hasil Pengamatan Histopatologi Organ Ginjal Glomerulus


Lapang pandang 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 K1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 0 0 0 1 0 1 1 0 0 0 0 K2 0 0 0 0 1 0 1 0 0 1 0 1 0 0 1 1 0 1 0 1 K3 1 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 1 0 1 0 0 1 0 S1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 0 0 0 Perlakuan S2 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 0 1 0 1 1 0 0 1 S3 1 0 1 0 1 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 1 1 0 0 D1 1 0 1 0 0 0 1 0 1 0 0 0 1 0 1 0 0 1 1 0 D2 1 1 1 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 D3 0 1 0 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 0 0 0 1 0 0 1

35

Tubulus
Perlakuan Jumlah tubulus Tubulus normal Degenerasi hidropis Nekrosa Jumlah tubulus Tubulus normal Degenerasi hidropis Nekrosa Jumlah tubulus Tubulus normal Degenerasi hidropis Nekrosa Jumlah tubulus Tubulus normal Degenerasi hidropis Nekrosa Jumlah tubulus Tubulus normal Degenerasi hidropis Nekrosa Jumlah tubulus Tubulus normal Degenerasi hidropis Nekrosa Jumlah tubulus Tubulus normal Degenerasi hidropis Nekrosa Jumlah tubulus Tubulus normal Degenerasi hidropis Nekrosa Jumlah tubulus Tubulus normal Degenerasi hidropis Nekrosa 1 30 25 3 2 29 17 9 3 27 0 22 5 37 8 11 18 29 11 17 1 35 0 31 4 29 7 20 2 39 0 32 7 41 0 38 3 Lapang pandang 2 3 4 32 23 29 20 17 15 7 3 11 5 3 3 28 37 37 12 15 13 13 17 20 3 5 4 29 26 28 1 0 0 24 22 26 4 4 2 31 32 42 13 2 5 13 25 26 5 5 11 36 32 35 15 0 0 19 30 28 2 2 7 40 36 35 0 3 0 34 29 31 6 4 4 30 35 31 12 3 0 13 28 23 5 4 8 44 36 38 0 0 0 41 28 31 3 8 7 41 26 27 0 0 0 36 25 25 5 1 2 5 31 13 14 4 40 16 19 5 27 1 22 4 28 10 14 4 32 0 24 8 41 2 34 5 31 0 26 5 37 0 30 7 31 0 29 2

K1

K2

K3

S1

S2

S3

D1

D2

D3

36

Lampiran 7 Analisis Data Statistik Metode ANOVA dan Uji Lanjut Duncan pada Hepatosit Hati Descriptives
95% Confidence Interval for Mean N Normal Kontrol Sop Daun Total Deg. Hidropis Kontrol Sop Daun Total Deg. Lemak Kontrol Sop Daun Total Nekrosa Kontrol Sop Daun Total 30 30 30 90 30 30 30 90 30 30 30 90 30 30 30 90 Mean 6,3667 ,0000 ,6720 2,3462 90,6810 85,5230 90,9280 89,0440 ,0000 2,6117 ,0000 ,8706 2,9530 11,8657 8,4003 7,7397 Std. Deviation 10,64529 ,00000 3,20879 6,96628 10,62245 8,69892 4,58148 8,63376 ,00000 4,92301 ,00000 3,07081 3,08309 4,70850 3,82473 5,35692 Std. Error Lower Bound 1,94356 ,00000 ,58584 ,73431 1,93938 1,58820 ,83646 ,91008 ,00000 ,89881 ,00000 ,32369 ,56289 ,85965 ,69830 ,56467 2,3917 ,0000 -,5262 ,8872 86,7145 82,2748 89,2172 87,2357 ,0000 ,7734 ,0000 ,2274 1,8018 10,1075 6,9722 6,6177 Upper Bound 10,3417 ,0000 1,8702 3,8053 94,6475 88,7712 92,6388 90,8523 ,0000 4,4499 ,0000 1,5137 4,1042 13,6238 9,8285 8,8617 ,00 ,00 ,00 ,00 59,52 62,07 77,78 59,52 ,00 ,00 ,00 ,00 ,00 4,62 1,43 ,00 40,48 ,00 17,46 40,48 100,00 95,38 98,57 100,00 ,00 18,97 ,00 18,97 12,20 22,95 17,50 22,95 Minimum Maximum

37

ANOVA
Sum of Squares 734,153 3584,938 4319,090 558,800 6075,426 6634,226 136,416 702,844 839,260 1211,176 1342,816 2553,992 df 2 87 89 2 87 89 2 87 89 2 87 89 Mean Square 367,076 41,206 279,400 69,832 68,208 8,079 605,588 15,435 F 8,908 Sig. ,000

Normal

Deg. Hidropis

Deg. Lemak

Nekrosa

Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total

4,001

,022

8,443

,000

39,236

,000

Normal Duncan
Subset for alpha = .05 Perlakuan N 1 2 Sop 30 ,0000 Daun 30 ,6720 Kontrol 30 6,3667 Sig. ,686 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.

38

Deg. Hidropis Duncan


Subset for alpha = .05 Perlakuan N 1 2 Sop 30 85,5230 Kontrol 30 90,6810 Daun 30 90,9280 Sig. 1,000 ,909 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.

Deg. Lemak Duncan


Subset for alpha = .05 Perlakuan N 1 2 Kontrol 30 ,0000 Daun 30 ,0000 Sop 30 2,6117 Sig. 1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.

39

Nekrosa Duncan
Subset for alpha = .05 Perlakuan N 1 2 3 Kontrol 30 2,9530 Daun 30 8,4003 Sop 30 11,8657 Sig. 1,000 1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.

Lampiran 8 Analisis Data Statistik Metode ANOVA dan Uji Lanjut Duncan pada Ginjal Glomerulus ginjal Descriptives
95% Confidence Interval for Mean N Kontrol Sop Daun Total 60 60 60 180 Mean ,8333 ,8167 ,8333 ,8278 Std. Deviation ,37582 ,39020 ,37582 ,37863 Std. Error ,04852 ,05038 ,04852 ,02822 Lower Bound ,7362 ,7159 ,7362 ,7721 Upper Bound ,9304 ,9175 ,9304 ,8835 Minimum ,00 ,00 ,00 ,00 Maximum 1,00 1,00 1,00 1,00

ANOVA
Between Groups Within Groups Total Sum of Squares ,011 25,650 25,661 df 2 177 179 Mean Square ,006 ,145 F ,038 Sig. ,962

40

Edema glomerulus
Duncan perlakuan Subset for alpha = .05 1 Sop 60 ,8167 Kontrol 60 ,8333 Daun 60 ,8333 Sig. ,823 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 60,000. N

Tubulus ginjal Descriptives


95% Confidence Interval for Mean N Normal Kontrol Sop Daun Total Deg. Hidropis Kontrol Sop Daun Total Nekrosa Kontrol Sop Daun Total 15 15 15 45 15 15 15 45 15 15 15 45 Mean 35,8473 14,0153 4,8473 18,2367 51,7447 69,8320 81,9200 67,8322 12,4060 16,1547 13,2333 13,9313 Std. Deviation 28,34540 16,91174 11,66109 23,72414 27,23261 19,36271 13,28492 23,84675 3,17109 11,05912 6,70353 7,68487 Std. Error 7,31875 4,36659 3,01088 3,53659 7,03143 4,99943 3,43015 3,55486 ,81877 2,85545 1,73084 1,14559 Lower Bound 20,1502 4,6499 -1,6104 11,1091 36,6637 59,1093 74,5631 60,6679 10,6499 10,0303 9,5210 11,6225 Upper Bound 51,5445 23,3807 11,3050 25,3642 66,8256 80,5547 89,2769 74,9966 14,1621 22,2790 16,9456 16,2401 Minimum ,00 ,00 ,00 ,00 10,00 29,73 43,33 10,00 6,67 3,45 3,85 3,45 Maximum 83,33 41,94 40,00 83,33 92,86 93,75 96,15 96,15 18,52 48,65 25,81 48,65

41

ANOVA
Sum of Squares 7608,442 17156,300 24764,742 6919,111 18102,264 25021,374 116,356 2482,161 2598,517 df 2 42 44 2 42 44 2 42 44 Mean Square 3804,221 408,483 3459,555 431,006 58,178 59,099 F 9,313 Sig. ,000

Normal

Deg. Hidropis

Nekrosa

Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total

8,027

,001

,984

,382

Normal
Duncan Subset for alpha = .05 Perlakuan N 1 2 Daun 15 4,8473 Sop 15 14,0153 Kontrol 15 35,8473 Sig. ,221 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 15,000.

42

Deg. Hidropis
Duncan Subset for alpha = .05 Perlakuan N 1 2 Kontrol 15 51,7447 Sop 15 69,8320 Daun 15 81,9200 Sig. 1,000 ,118 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 15,000.

Nekrosa
Duncan Perlakuan N Subset for alpha = .05 1 Kontrol 15 12,4060 Daun 15 13,2333 Sop 15 16,1547 Sig. ,215 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 15,000.

43

Anda mungkin juga menyukai