Anda di halaman 1dari 12

Malepetaka Dini Jurang Pemisah 30 Juta Kata Pada Usia 3 Tahun Dalam Perang Melawan Kemiskinan pada tahun

1960-an, kami berada diantara para peneliti, psikolog, dan pendidik yang membawa pengetahuan kami tentang perkembangan ke garis depan (perjuangan ini), dalam rangka upaya kami yang optimis untuk melakukan intervensi dini untuk mencegah dampak-dampak buruk yang disebabkan oleh kemiskinan terhadap perkembangan akademis sebagian anak. Kami juga diantara banyak orang yang melihat bahwa hasil kami, walau begitu menjanjikan pada awalnya, menghilang begitu cepat dan mudah ketika anak bertambah tua. Dalam suatu intervensi yang direncanakan di Kansas City, Kansas, kami menggunakan pengalaman kami dengan intervensi berdasarkan bahasa klinis untuk merancang suatu program setengah hari untuk Turner House Preschool, yang terletak di wilayah Juniper Gardens yang miskin. Sebagian besar intervensi pada masa itu menggunakan berbagai metode lalu mengukur hasilnya dengan tes IQ, tetapi yang milik kami terpusat pada menambah bahasa sehari-hari yang digunakan oleh anak-anak, lalu mengevaluasi perkembangan bahasa mereka. Lagipula, studi kami tidak terbatas kepada anak-anak miskin dari Turner House, tetapi juga kami memasukkan sekelompok anak profesor dari Universitas Kansas sebagai pembanding terhadap kemajuan anak-anak dari Turner House. Semua anak dalam program ini bersemangat menggunakan banyak macam materi yang baru serta kegiatan bahasa yang intensif, yang diperkenalkan di preschool. Data ucapan yang spontan yang kami kumpulkan menunjukkan ada lonjakan kosa kata baru yang ditambah ke kamus para anak, disertai percepatan yang mendadak dalam kurva perkembangan kosa kota mereka secara kumulatif. Tetapi, sama dengan program-program intervensi dini yang lain, peningkatan ini hanya berlaku untuk sementara. Kami menemukan bahwa kami dengan mudah bisa meningkatkan jumlah kosa kota yang dimiliki anak-anak dengan mengajarkan mereka kata-kata baru. Tetapi kami tidak berhasil mempercepat kecepatan perkembangan kosa kota sehingga mereka mampu mengembangkan jumlah kosa kata mereka sendiri, melebihi dampak dari pengajaran langsung; kami tidak mampu mengubah bentuk kurva perkembangan mereka. Tidak peduli berapa banyak kata baru kami mengajarkan kepada akan-anak tersebut di preschool, akan menjadi jelas setahun kemudian ketika anak-akan sudah di TKbahwa dampak dari peningkatan sumber-sumber kosa kata sudah hilang. Kurva perkembangan anak-anak ini dalam hal perkembangan kosa kata akan terus menunjukkan di masa yang akan datang bahwa jumlah kosa kata mereka semakin tidak sesuai ketika dibandingkan dengan anak-anak profesor. Kami melihat ada perbedaan yang semakin besar antara kedua ekstrimperkembangan kosa kata yang cepat pada anak-anak profesor, dan perkembangan kosa kata yang lamban dari anak-anak di Turner House. Sepertinya kesenjangan ini menjadi pertanda mengenai penemuan dari studi-studi lain, yang menunjukkan bahwa di tingkat SMA banyak anak dari keluarga miskin mengalami kekurangan kosa kata yang digunakan dalam buku-buku sekolah tingkat maju. Daripada menyerahkan kepada kekuatan kebakaan/keturunan yang tidak dapat ditundukkan, kami memutuskan untuk melakukan penelitian yang akan memungkinkan kami mengerti kurva perkembangan yang disparate yang kami sudah menemukan. Kami menyadari bahwa kalau kami akan mengerti bagaimana dan kapan perbedaan dalam kurva perkembangan ini dimulai, kami memerlukan melihat apa yang terjadi dengan anak-anak di rumah pada awal perkembangan kosa kata mereka. Kami melakukan pemantauan selama 2 tahun, dengan memantau 42 keluarga untuk satu jam setiap bulan agar bisa belajar apa yang biasanya terjadi di rumah dimana ada anak-anak berusia 1- 2 tahun yang sedang belajar cara berbicara. Data ini menunjukkan ke kami bahwa ada perbedaan yang besar antara keluarga-keluarga biasa, dilihat dari jumlah pengalaman

dengan bahasa dan interaksi yang secara teratur diberikan kepada anak-anak mereka, dan bahwa perbedaan dalam pengalaman anak-anak ini mempunyai hubungan yang kuat dengan prestasi anak dalam berbahasa pada usia 3 tahun. Tujuan kami dalam studi longitudinal (yaitu data tentang suatu kelompok yang dikumpukan untuk waktu yang lama) ini adalah menemukan apa yang sedang terjadi dalam pengalaman dini para anak, yang dapat menjelaskan perbedaan yang payah dalam kecepatan perkembangan kosa kata yang kami melihat diantara para anak berusia 4 tahun. Methodologi Ambisi kami adalah merekam "semua" yang terjadi di rumah dimana anak tinggalsemua yang dilakukan oleh anak sendiri, yang dilakukan kepada mereka, dan yang dilakukan sekitar mereka. Karena kami mempunyai komitmen untuk melakukan segala upaya yang diperlukan untuk memantau, merekam (pada kaset), dan menulis hasil rekaman, dan juga karena kami tidak tahu persis aspek-aspek yang mana dari pengalaman kumulatif anak yang berdampak pada penentuan kurva perkembangan kosa-kata, maka semakin banyak informasi yang kami bisa kumpulkan setiap kali berkunjung ke rumah, semakin tinggi kemungkinan ada hal-hal baru yang kami dapat mengetahui. Kami memutuskan untuk mulai ketika anak-anak tersebut berusia 7-9 bulan agar kami ada waktu untuk semua keluarga yang dipantau untuk beradaptasi dengan kehadiran para pemantau sebelum anak-anak mampu berbicara. Kami mengikuti anak-anak in hingga mereka menjadi genap tiga tahun. Keluarga-keluarga awal yang direkrut untuk berpartisipasi dalam studi ini berasal dari kontakkontak pribadi: teman-teman yang mempunyai anak, dan keluarga-keluarga yang mempunyai anak yang belajar di Turner House Preschool . Kemudian kami menggunakan info dari pengumuman kelahiran baru untuk mengirim descriptions studi ini kepada para keluarga yang mempunyai anak dengan usia yang dikehendaki. Dalam hal merekrut dari pengumuman kelahiran baru, kami ada dua prioritas. Prioritas pertama adalah mendapatkan sebuah range in demographics, dan hal kedua adalah stabilitaskami memerlukan keluarga-keluarga yang akan tetap mengikuti studi longitudinal ini selama beberapa tahun. Merekrut dari pengumuman kelahiran baru memungkinkan kami untuk memilah keluarga yang dipilih. Kami mengevaluasi setiap calon keluarga dalam daftar kota dan membuat daftar mereka yang memiliki tanda kemapanan seperti memiliki rumah sendiri dan pemilikan telephone. Kami membuat daftar keluarga menurut gender anak dan alamat karena status demographic dapat reliably associated dengan wilayah tempat tinggal pada kota ini pada waktu itu. Lalu kami kirim surat pendaftaran secara selektif agar menjaga keseimbangan gender serta mewakili socioeconomic strata. Sample terakhir kami terdiri dari 42 keluarga yang tetap mengikuti studi ini dari awal sampai selesai. Dari masing-masing keluarga ini, kami mengumpulkan hampir 2 tahun atau lebih sesi pemantauan satu jam setiap bulan secara berurutan. Berdasarkan profesi, 13 keluarga berasal dari upper socioeconomic status (SES), 10 berasal dari middle SES, 13 berasal dari lower SES, dan enam menggunakan pelayanan welfare . Ada keluarga Afrika-Amerika dalam masingmasing kategori SES, dalam jumlah yang agak mencerminkan local job allocations. Satu keluarga Afrika-Amerika berasal dari upper SES, tiga dari middle, tujuh dari lower, dan enam keluarga menggunakan pelayanan welfare. Dari 42 anak, 17 adalah anak Afrika-Amerika dan 23 adalah anak perempuan. Sebelas anak adalah anak pertama, 18 adalah anak kedua, dan 13 adalah anak ketiga atau lebih. Apa Yang Kami Menemukan Sebelum anak-anak bisa mengambil alih atas pengalaman mereka dan mulai menghabiskan waktu bersama anak sebaya dalam kelompok-kelompok sosial diluar rumah, hampir semua yang mereka belajar berasal dari keluarga mereka, yang diberikan tugas oleh masyarakat untuk socializing para anak. Kami tidak surprised melihat bahwa 42 anak ini berkembang menjadi seperti orang tua mereka; namun, kami belum menyadari sepenuhnya tentang implications of those similarities terhadap masa depan anak-anak tersebut.

Kami melihat bahwa 42 anak bertumbuh menjadi semakin mirip dengan orang tua mereka dalam stature and activity levels, dalam sumber-sumber kosa kata, dan dalam gaya berbahasa dan berinteraksi. Walaupun ada considerable range dalam jumlah kosa kata among the children, 86 persen sampai 98 persen dari kata-kata yang direkam dalam in each childs vocabulary terdiri dari kata-kata yang juga dapat direkam pada kosa kata yang berada dalam kosa kata orang tua mereka. Pada usia 34-36 bulan, para anak juga berbicara dan menggunakan sejumlah kata-kata yang unik (tidak diulangi) yang sangat mirip dengan jumlah rata-rata yang digunakan oleh orang tua mereka (lihat tabel dibawa ini).

Bahasa dan Penggunaan Bahasa Dalam Keluarga Berbeda Sesuai Golongan Pendapatan Keluarga 23 Keluarga Kelas 13 Keluarga Profesional 6 Keluarga Taskin Pekerja Measures & Nilai Ortu Anak Ortu Anak Ortu Anak a 41 31 14 Nilai Pretest Besarnya kosa 2.176 1.116 1.498 749 974 525 kata yang direkam Jumlah ucapan 487 310 301 223 176 168 rata-rata per jamb Jumlah kata unik 382 297 251 216 167 149 rata-rata per jam a Ketika kami memulai studi longitudinal ini, kami meminta para orang tua untuk mengikuti sebuah pretest kosa kata. Pada kunjungan rumah yang pertama, setiap orang tua dimintai mengisi sebuah formulir yang disaduri dari Peabody Picture Vocabulary Test (PPVT). Kami memberikan setiap orang tua sebuah daftar yang terdiri dari 46 kosa kata dan seri gambar (empat pilihan per kosa kata) dan meminta orang tua untuk menulis nomor dari gambar yang sesuai dengan kata yang tertulis disamping masing-masing kata. Prestasi orang tua pada ujian ini ada korelasi yang tinggi dengan jumlah tahun pendidikan (r = ,57). b Ucapan orang tua dan kata-kata yang unik (tidak diulangi) were averaged untuk rentang waktu 13-36 bulan dari usia anak. Ucapan anak dan kata-kata yang unik were averaged untuk empat pemantauan ketika anak berusia 33-36 bulan. Ketika anak-anak sudah berusia 3 tahun, tren-tren dalam jumlah ucapan, perkembangan kosa kata, dan gaya interaksi sudah well established dan clearly suggested widening gaps to come. Bahkan pola pengasuhan sudah nampak diantara para anak. Ketika kami mendengar anak berbicara, seolah-olah kami bisa mendengar suara orang tua yang berbicara; ketika kami memantau anak bermain sebagai orang tua untuk boneka-boneka mereka, seolah-olah kami sedang melihat masa depan anak-anak mereka. We now had answers to our 20-year-old questions. We had observed, recorded, and analyzed more than 1,300 jam of casual interactions antara orang tua dan anak-anak mereka yang sedang belajar cara berbicara. We had dissembled these interactions into several dozen molecular features that could be reliably coded and counted. We had examined the correlations between the quantities of each of those features and several outcome measures relating to childrens language accomplishments. After all 1,318 observations had been entered into the computer and checked for accuracy against the raw data, after every word had been checked for spelling and coded and checked for its part of speech, after every utterance had been coded for syntax and discourse function and

every code checked for accuracy, after random samples had been recoded to check the reliability of the coding, after each file had been checked one more time and the accuracy of each aspect verified, and after the data analysis programs had finally been run to produce frequency counts and dictionary lists for each observation, we had an immense numeric database that required 23 million bytes of computer file space. We were finally ready to begin asking what it all meant. It took six years of painstaking effort before we saw the first results of the longitudinal research. And then we were astonished at the differences the data revealed (see the graph at left). Like the children in the Turner House Preschool , the three year old children from families on welfare not only had smaller vocabularies than did children of the same age in professional families, but they were also adding words more slowly. Projecting the developmental trajectory of the welfare childrens vocabulary growth curves, we could see an everwidening gap similar to the one we saw between the Turner House children and the professors children in 1967. While we were immersed in collecting and processing the data, our thoughts were concerned only with the next utterance to be transcribed or coded. While we were observing in the homes, though we were aware that the families were very different in lifestyles, they were all similarly engaged in the fundamental task of raising a child. All the families nurtured their children and played and talked with them. They all disciplined their children and taught them good manners and how to dress and toilet themselves. They provided their children with much the same toys and talked to them about much the same things. Though different in personality and skill levels, the children all learned to talk and to be socially appropriate members of the family with all the basic skills needed for preschool entry. Hasil Ujian di Kelas Tiga Mengikuti Prestasi Pada Usia 3 Tahun We wondered whether the differences we saw at age 3 akan hilang, seperti effects of a preschool intervention, as the childrens experience broadened to a wider community of competent speakers. Like the parents we observed, kami wondered how much difference childrens early experiences would actually make. Could we, atau orang tua, meramalkan bagaimana suatu anak akan do in school from what the parent was doing when the child was 2 years old? Fortune provided us dengan Dale Walker, yang recruited 29 dari 42 keluarga untuk berpartisipasi dalam sebuah studi of their childrens school performance in the third grade, ketika anak mereka berusia sembilan sampai 10 tahun. We were awestruck at how well our measures of accomplishments at age 3 predicted measures of language skill at age 9-10. From our preschool data we had been confident that the rate of vocabulary growth would predict later performance in school; we saw that it did. For the 29 children observed when they were 1-2 years old, the rate of vocabulary growth at age 3 was strongly associated with scores at age 9-10 on both the Peabody Picture Vocabulary TestRevised (PPVT-R) of receptive vocabulary (r = ,58) and the Test of Language Development-2: Intermediate (TOLD) (r = ,74) and its subtests (mendengar, berbicara, semantics, syntax). Penggunaan kosa kata pada usia 3 tahun was equally predictive of measures of language skill at age 9-10. Penggunaan kosa kata pada usia 3 tahun was strongly associated dengan nilai on both the PPVT-R (r = ,57) dan pada TOLD (r = ,72). Penggunaan kosa kata pada usia 3 tahun was also strongly associated with nilai reading comprehension pada Comprehensive Test of Basic Skills (CTBS/U) (r = ,56).

Jurang Pemisah 30 Kata Sebelum Usia Genap 3 Tahun All parent-child research is based on the assumption that the data (laboratory or field) reflect what people typically do. In most studies, there are as many reasons that the averages would be higher than reported as there are that they would be lower. But all researchers caution against extrapolating their findings to people and circumstances they did not include. Our data provide us, however, a first approximation to the absolute magnitude of childrens early experience, a basis sufficient for estimating the actual size of the intervention task needed to provide equal experience and, thus, equal opportunities to children living in poverty. We depend on future studies to refine this estimate. Because the goal of an intervention would be to equalize childrens early experience, we need to estimate the amount of experience children of different SES groups might bring to an intervention that began in preschool at age 4. We base our estimate on the remarkable differences our data showed in the relative amounts of childrens early experience: Simply in words heard, the average child on welfare was having half as much experience per hour (616 words per hour) as the average working-class child (1.251 words per hour) and less than one-third that of the average child in a professional family (2.153 words per hour). These relative differences in amount of experience were so durable over the more than two years of observations that they provide the best basis we currently have for estimating childrens actual life experience. A linear extrapolation from the averages in the observational data to a 100-hour week (given a 14-hour waking day) shows the average child in the professional families with 215.000 words of language experience, the average child in a working-class family provided with 125.000 words, and the average child in a welfare family with 62.000 words of language experience. In a 5.200hour year, the amount would be 11,2 million words for a child in a professional family, 6,5 million words for a child in a working-class family, and 3,2 million words for a child in a welfare family. In four years of such experience, an average child in a professional family would have accumulated experience with almost 45 million words, an average child in a working-class family would have accumulated experience with 26 million words, and an average child in a welfare family would have accumulated experience with 13 million words. By age 4, the average child in a welfare family might have 13 million fewer words of cumulative experience than the average child in a working-class family. This linear extrapolation is shown in the graph below. But the childrens language experience did not differ just in terms of the number and quality of words heard. We can extrapolate similarly the relative differences the data showed in childrens hourly experience with parent affirmatives (encouraging words) and prohibitions. The average child in a professional family was accumulating 32 affirmatives and five prohibitions per hour, a ratio of 6 encouragements to 1 discouragement. The average child in a working-class family was accumulating 12 affirmatives and seven prohibitions per hour, a ratio of 2 encouragements to 1 discouragement. The average child in a welfare family, though, was accumulating five affirmatives and 11 prohibitions per hour, a ratio of 1 encouragement to 2 discouragements. In a 5.200-hour year, that would be 166.000 encouragements to 26.000 discouragements in a professional family, 62.000 encouragements to 36.000 discouragements in a working-class family, and 26.000 encouragements to 57.000 discouragements in a welfare family. Extrapolated to the first four years of life, the average child in a professional family would have accumulated 560.000 more instances of encouraging feedback than discouraging feedback, and an average child in a working-class family would have accumulated 100.000 more encouragements than discouragements. But an average child in a welfare family would have accumulated 125.000 more instances of prohibitions than encouragements. By the age of 4, the

average child in a welfare family might have had 144.000 fewer encouragements and 84.000 more discouragements of his or her behavior than the average child in a working-class family. Extrapolating the relative differences in childrens hourly experience allows us to estimate childrens cumulative experience in the first four years of life and so glimpse the size of the problem facing intervention. Whatever the inaccuracy of our estimates, it is not by an order of magnitude such that 60.000 words becomes 6.000 or 600.000. Even if our estimates of childrens experience are too high by half, the differences between children by age 4 in amounts of cumulative experience are so great that even the best of intervention programs could only hope to keep the children in families on welfare from falling still further behind the children in the working-class families. Pentingnya Pengalaman di Tahun-Tahun Awal Kami belajar dari data longitudinal bahwa masalah perbedaan ketrampilan antara anak-anak pada pertama waktu masuk sekolah merupakan sesuatu yang lebih besar, more intractable, dan lebih penting daripada kami menyangka pada semulanya. Begitu banyak yang terjadi pada anak-anak selama tiga tahun pertama di rumah, pada waktu dimana mereka especially malleable dan uniquely dependent pada keluarga untuk hampir semua pengalaman mereka, sehingga sebelum usia 3 tahun, sebuah intervensi harus address bukan hanya kekurangan dalam hal pengetahuan atau ketrampilan, tetapi an entire general approach to experience. Secara kognitif, pengalaman itu sequential: Experiences in infancy establish habits of seeking, noticing, and incorporating new and more complex experiences, as well as schemas for categorizing and thinking about experiences. Secara Neurologically, infancy adalah masa yang kritis, sebab pengembangan cortical dipengaruhi oleh jumlah kegiatan central nervous system yang dirangsang oleh pengalaman. Secara Behaviorally, infancy adalah waktu ketidakberdayaan yang unik, ketika hampir semua pengalaman anak mediated oleh orang-orang dewasa dalam one-to-one interactions permeated with affect. Ketika anak-anak menjadi mandiri dan mampu bicara untuk diri sendiri, mereka gain access to more opportunities for experience. Namun jumlah dan diversity of childrens past experience mempengaruhi new opportunities for experience yang mana mereka (mampu) memperhatikan dan memilih. Sebagaimana kami memperkirakan magnitude of the differences in childrens cumulative experience sebelum usia 3 tahun memberikan sebuah indication of how big the problem is. Estimating the hours of intervention needed to equalize childrens early experience makes clear the enormity of the effort that would be required to change childrens lives. And the longer the effort is put off, the less possible the change becomes. Sekarang kami bisa melihat kenapa upaya kami yang singkat dan intensif selama Perang Melawan Kemiskinan tidak berhasil. Tetapi kami juga melihat bahwa ada ancaman ke negara kita dan anak-anaknya yang membuat intervensi semakin mendesak.

Betty Hart dan Todd R. Risley Betty Hart adalah profesor Human Development di University of Kansas dan ilmuan senior di Schiefelbusch Institute for Life Span Studies. Todd R. Risley adalah profesor di Department Psikologi di University of Alaska Anchorage dan director of Alaskas Autism Intensive Early Intervention Project. Dua orang ini have collaborated on research projects for more then 35 tahun. Artikel ini dikutip atas izin dari Meaningful Differences in the Everyday Experiences of Young American Children, Copyright 1995, Brookes; http://www.brookespublishing.com. Malepetaka Dini Jurang Pemisah 30 Juta Kata Pada Usia 3 Tahun Dalam Perang Melawan Kemiskinan pada tahun 1960-an, kami berada diantara para peneliti,

psikolog, dan pendidik yang membawa pengetahuan kami tentang perkembangan ke garis depan (perjuangan ini), dalam rangka upaya kami yang optimis untuk melakukan intervensi dini untuk mencegah dampak-dampak buruk yang disebabkan oleh kemiskinan terhadap perkembangan akademis sebagian anak. Kami juga diantara banyak orang yang melihat bahwa hasil kami, walau begitu menjanjikan pada awalnya, menghilang begitu cepat dan mudah ketika anak bertambah tua. Dalam suatu intervensi yang direncanakan di Kansas City, Kansas, kami menggunakan pengalaman kami dengan intervensi berdasarkan bahasa klinis untuk merancang suatu program setengah hari untuk Turner House Preschool, yang terletak di wilayah Juniper Gardens yang miskin. Sebagian besar intervensi pada masa itu menggunakan berbagai metode lalu mengukur hasilnya dengan tes IQ, tetapi yang milik kami terpusat pada menambah bahasa sehari-hari yang digunakan oleh anak-anak, lalu mengevaluasi perkembangan bahasa mereka. Lagipula, studi kami tidak terbatas kepada anak-anak miskin dari Turner House, tetapi juga kami memasukkan sekelompok anak profesor dari Universitas Kansas sebagai pembanding terhadap kemajuan anak-anak dari Turner House. Semua anak dalam program ini bersemangat menggunakan banyak macam materi yang baru serta kegiatan bahasa yang intensif, yang diperkenalkan di preschool. Data ucapan yang spontan yang kami kumpulkan menunjukkan ada lonjakan kosa kata baru yang ditambah ke kamus para anak, disertai percepatan yang mendadak dalam kurva perkembangan kosa kota mereka secara kumulatif. Tetapi, sama dengan program-program intervensi dini yang lain, peningkatan ini hanya berlaku untuk sementara. Kami menemukan bahwa kami dengan mudah bisa meningkatkan jumlah kosa kota yang dimiliki anak-anak dengan mengajarkan mereka kata-kata baru. Tetapi kami tidak berhasil mempercepat kecepatan perkembangan kosa kota sehingga mereka mampu mengembangkan jumlah kosa kata mereka sendiri, melebihi dampak dari pengajaran langsung; kami tidak mampu mengubah bentuk kurva perkembangan mereka. Tidak peduli berapa banyak kata baru kami mengajarkan kepada akan-anak tersebut di preschool, akan menjadi jelas setahun kemudian ketika anak-akan sudah di TKbahwa dampak dari peningkatan sumber-sumber kosa kata sudah hilang. Kurva perkembangan anak-anak ini dalam hal perkembangan kosa kata akan terus menunjukkan di masa yang akan datang bahwa jumlah kosa kata mereka semakin tidak sesuai ketika dibandingkan dengan anak-anak profesor. Kami melihat ada perbedaan yang semakin besar antara kedua ekstrimperkembangan kosa kata yang cepat pada anak-anak profesor, dan perkembangan kosa kata yang lamban dari anak-anak di Turner House. Sepertinya kesenjangan ini menjadi pertanda mengenai penemuan dari studi-studi lain, yang menunjukkan bahwa di tingkat SMA banyak anak dari keluarga miskin mengalami kekurangan kosa kata yang digunakan dalam buku-buku sekolah tingkat maju. Daripada menyerahkan kepada kekuatan kebakaan/keturunan yang tidak dapat ditundukkan, kami memutuskan untuk melakukan penelitian yang akan memungkinkan kami mengerti kurva perkembangan yang disparate yang kami sudah menemukan. Kami menyadari bahwa kalau kami akan mengerti bagaimana dan kapan perbedaan dalam kurva perkembangan ini dimulai, kami memerlukan melihat apa yang terjadi dengan anak-anak di rumah pada awal perkembangan kosa kata mereka. Kami melakukan pemantauan selama 2 tahun, dengan memantau 42 keluarga untuk satu jam setiap bulan agar bisa belajar apa yang biasanya terjadi di rumah dimana ada anak-anak berusia 1- 2 tahun yang sedang belajar cara berbicara. Data ini menunjukkan ke kami bahwa ada perbedaan yang besar antara keluarga-keluarga biasa, dilihat dari jumlah pengalaman dengan bahasa dan interaksi yang secara teratur diberikan kepada anak-anak mereka, dan bahwa perbedaan dalam pengalaman anak-anak ini mempunyai hubungan yang kuat dengan prestasi anak dalam berbahasa pada usia 3 tahun. Tujuan kami dalam studi longitudinal (yaitu data tentang suatu kelompok yang dikumpukan untuk waktu yang lama) ini adalah menemukan apa yang sedang terjadi dalam pengalaman dini para anak, yang dapat menjelaskan perbedaan

yang payah dalam kecepatan perkembangan kosa kata yang kami melihat diantara para anak berusia 4 tahun. Methodologi Ambisi kami adalah merekam "semua" yang terjadi di rumah dimana anak tinggalsemua yang dilakukan oleh anak sendiri, yang dilakukan kepada mereka, dan yang dilakukan sekitar mereka. Karena kami mempunyai komitmen untuk melakukan segala upaya yang diperlukan untuk memantau, merekam (pada kaset), dan menulis hasil rekaman, dan juga karena kami tidak tahu persis aspek-aspek yang mana dari pengalaman kumulatif anak yang berdampak pada penentuan kurva perkembangan kosa-kata, maka semakin banyak informasi yang kami bisa kumpulkan setiap kali berkunjung ke rumah, semakin tinggi kemungkinan ada hal-hal baru yang kami dapat mengetahui. Kami memutuskan untuk mulai ketika anak-anak tersebut berusia 7-9 bulan agar kami ada waktu untuk semua keluarga yang dipantau untuk beradaptasi dengan kehadiran para pemantau sebelum anak-anak mampu berbicara. Kami mengikuti anak-anak in hingga mereka menjadi genap tiga tahun. Keluarga-keluarga awal yang direkrut untuk berpartisipasi dalam studi ini berasal dari kontakkontak pribadi: teman-teman yang mempunyai anak, dan keluarga-keluarga yang mempunyai anak yang belajar di Turner House Preschool . Kemudian kami menggunakan info dari pengumuman kelahiran baru untuk mengirim descriptions studi ini kepada para keluarga yang mempunyai anak dengan usia yang dikehendaki. Dalam hal merekrut dari pengumuman kelahiran baru, kami ada dua prioritas. Prioritas pertama adalah mendapatkan sebuah range in demographics, dan hal kedua adalah stabilitaskami memerlukan keluarga-keluarga yang akan tetap mengikuti studi longitudinal ini selama beberapa tahun. Merekrut dari pengumuman kelahiran baru memungkinkan kami untuk memilah keluarga yang dipilih. Kami mengevaluasi setiap calon keluarga dalam daftar kota dan membuat daftar mereka yang memiliki tanda kemapanan seperti memiliki rumah sendiri dan pemilikan telephone. Kami membuat daftar keluarga menurut gender anak dan alamat karena status demographic dapat reliably associated dengan wilayah tempat tinggal pada kota ini pada waktu itu. Lalu kami kirim surat pendaftaran secara selektif agar menjaga keseimbangan gender serta mewakili socioeconomic strata. Sample terakhir kami terdiri dari 42 keluarga yang tetap mengikuti studi ini dari awal sampai selesai. Dari masing-masing keluarga ini, kami mengumpulkan hampir 2 tahun atau lebih sesi pemantauan satu jam setiap bulan secara berurutan. Berdasarkan profesi, 13 keluarga berasal dari upper socioeconomic status (SES), 10 berasal dari middle SES, 13 berasal dari lower SES, dan enam menggunakan pelayanan welfare . Ada keluarga Afrika-Amerika dalam masingmasing kategori SES, dalam jumlah yang agak mencerminkan local job allocations. Satu keluarga Afrika-Amerika berasal dari upper SES, tiga dari middle, tujuh dari lower, dan enam keluarga menggunakan pelayanan welfare. Dari 42 anak, 17 adalah anak Afrika-Amerika dan 23 adalah anak perempuan. Sebelas anak adalah anak pertama, 18 adalah anak kedua, dan 13 adalah anak ketiga atau lebih. Apa Yang Kami Menemukan Sebelum anak-anak bisa mengambil alih atas pengalaman mereka dan mulai menghabiskan waktu bersama anak sebaya dalam kelompok-kelompok sosial diluar rumah, hampir semua yang mereka belajar berasal dari keluarga mereka, yang diberikan tugas oleh masyarakat untuk socializing para anak. Kami tidak surprised melihat bahwa 42 anak ini berkembang menjadi seperti orang tua mereka; namun, kami belum menyadari sepenuhnya tentang implications of those similarities terhadap masa depan anak-anak tersebut. Kami melihat bahwa 42 anak bertumbuh menjadi semakin mirip dengan orang tua mereka dalam stature and activity levels, dalam sumber-sumber kosa kata, dan dalam gaya berbahasa dan berinteraksi. Walaupun ada considerable range dalam jumlah kosa kata among the children, 86 persen sampai 98 persen dari kata-kata yang direkam dalam in each childs vocabulary terdiri dari kata-kata yang juga dapat direkam pada kosa kata yang berada dalam kosa kata orang tua

mereka. Pada usia 34-36 bulan, para anak juga berbicara dan menggunakan sejumlah kata-kata yang unik (tidak diulangi) yang sangat mirip dengan jumlah rata-rata yang digunakan oleh orang tua mereka (lihat tabel dibawa ini).

Bahasa dan Penggunaan Bahasa Dalam Keluarga Berbeda Sesuai Golongan Pendapatan Keluarga 23 Keluarga Kelas 13 Keluarga Profesional 6 Keluarga Taskin Pekerja Measures & Nilai Ortu Anak Ortu Anak Ortu Anak a 41 31 14 Nilai Pretest Besarnya kosa 2.176 1.116 1.498 749 974 525 kata yang direkam Jumlah ucapan 487 310 301 223 176 168 rata-rata per jamb Jumlah kata unik 382 297 251 216 167 149 rata-rata per jam a Ketika kami memulai studi longitudinal ini, kami meminta para orang tua untuk mengikuti sebuah pretest kosa kata. Pada kunjungan rumah yang pertama, setiap orang tua dimintai mengisi sebuah formulir yang disaduri dari Peabody Picture Vocabulary Test (PPVT). Kami memberikan setiap orang tua sebuah daftar yang terdiri dari 46 kosa kata dan seri gambar (empat pilihan per kosa kata) dan meminta orang tua untuk menulis nomor dari gambar yang sesuai dengan kata yang tertulis disamping masing-masing kata. Prestasi orang tua pada ujian ini ada korelasi yang tinggi dengan jumlah tahun pendidikan (r = ,57). b Ucapan orang tua dan kata-kata yang unik (tidak diulangi) were averaged untuk rentang waktu 13-36 bulan dari usia anak. Ucapan anak dan kata-kata yang unik were averaged untuk empat pemantauan ketika anak berusia 33-36 bulan. Ketika anak-anak sudah berusia 3 tahun, tren-tren dalam jumlah ucapan, perkembangan kosa kata, dan gaya interaksi sudah well established dan clearly suggested widening gaps to come. Bahkan pola pengasuhan sudah nampak diantara para anak. Ketika kami mendengar anak berbicara, seolah-olah kami bisa mendengar suara orang tua yang berbicara; ketika kami memantau anak bermain sebagai orang tua untuk boneka-boneka mereka, seolah-olah kami sedang melihat masa depan anak-anak mereka. We now had answers to our 20-year-old questions. We had observed, recorded, and analyzed more than 1,300 jam of casual interactions antara orang tua dan anak-anak mereka yang sedang belajar cara berbicara. We had dissembled these interactions into several dozen molecular features that could be reliably coded and counted. We had examined the correlations between the quantities of each of those features and several outcome measures relating to childrens language accomplishments. After all 1,318 observations had been entered into the computer and checked for accuracy against the raw data, after every word had been checked for spelling and coded and checked for its part of speech, after every utterance had been coded for syntax and discourse function and every code checked for accuracy, after random samples had been recoded to check the reliability of the coding, after each file had been checked one more time and the accuracy of each aspect verified, and after the data analysis programs had finally been run to produce frequency counts and dictionary lists for each observation, we had an immense numeric database that required 23 million bytes of computer file space. We were finally ready to begin asking what it all meant.

It took six years of painstaking effort before we saw the first results of the longitudinal research. And then we were astonished at the differences the data revealed (see the graph at left). Like the children in the Turner House Preschool , the three year old children from families on welfare not only had smaller vocabularies than did children of the same age in professional families, but they were also adding words more slowly. Projecting the developmental trajectory of the welfare childrens vocabulary growth curves, we could see an everwidening gap similar to the one we saw between the Turner House children and the professors children in 1967. While we were immersed in collecting and processing the data, our thoughts were concerned only with the next utterance to be transcribed or coded. While we were observing in the homes, though we were aware that the families were very different in lifestyles, they were all similarly engaged in the fundamental task of raising a child. All the families nurtured their children and played and talked with them. They all disciplined their children and taught them good manners and how to dress and toilet themselves. They provided their children with much the same toys and talked to them about much the same things. Though different in personality and skill levels, the children all learned to talk and to be socially appropriate members of the family with all the basic skills needed for preschool entry. Hasil Ujian di Kelas Tiga Mengikuti Prestasi Pada Usia 3 Tahun We wondered whether the differences we saw at age 3 akan hilang, seperti effects of a preschool intervention, as the childrens experience broadened to a wider community of competent speakers. Like the parents we observed, kami wondered how much difference childrens early experiences would actually make. Could we, atau orang tua, meramalkan bagaimana suatu anak akan do in school from what the parent was doing when the child was 2 years old? Fortune provided us dengan Dale Walker, yang recruited 29 dari 42 keluarga untuk berpartisipasi dalam sebuah studi of their childrens school performance in the third grade, ketika anak mereka berusia sembilan sampai 10 tahun. We were awestruck at how well our measures of accomplishments at age 3 predicted measures of language skill at age 9-10. From our preschool data we had been confident that the rate of vocabulary growth would predict later performance in school; we saw that it did. For the 29 children observed when they were 1-2 years old, the rate of vocabulary growth at age 3 was strongly associated with scores at age 9-10 on both the Peabody Picture Vocabulary TestRevised (PPVT-R) of receptive vocabulary (r = ,58) and the Test of Language Development-2: Intermediate (TOLD) (r = ,74) and its subtests (mendengar, berbicara, semantics, syntax). Penggunaan kosa kata pada usia 3 tahun was equally predictive of measures of language skill at age 9-10. Penggunaan kosa kata pada usia 3 tahun was strongly associated dengan nilai on both the PPVT-R (r = ,57) dan pada TOLD (r = ,72). Penggunaan kosa kata pada usia 3 tahun was also strongly associated with nilai reading comprehension pada Comprehensive Test of Basic Skills (CTBS/U) (r = ,56). Jurang Pemisah 30 Kata Sebelum Usia Genap 3 Tahun All parent-child research is based on the assumption that the data (laboratory or field) reflect what people typically do. In most studies, there are as many reasons that the averages would be higher than reported as there are that they would be lower. But all researchers caution against extrapolating their findings to people and circumstances they did not include. Our data provide

us, however, a first approximation to the absolute magnitude of childrens early experience, a basis sufficient for estimating the actual size of the intervention task needed to provide equal experience and, thus, equal opportunities to children living in poverty. We depend on future studies to refine this estimate. Because the goal of an intervention would be to equalize childrens early experience, we need to estimate the amount of experience children of different SES groups might bring to an intervention that began in preschool at age 4. We base our estimate on the remarkable differences our data showed in the relative amounts of childrens early experience: Simply in words heard, the average child on welfare was having half as much experience per hour (616 words per hour) as the average working-class child (1.251 words per hour) and less than one-third that of the average child in a professional family (2.153 words per hour). These relative differences in amount of experience were so durable over the more than two years of observations that they provide the best basis we currently have for estimating childrens actual life experience. A linear extrapolation from the averages in the observational data to a 100-hour week (given a 14-hour waking day) shows the average child in the professional families with 215.000 words of language experience, the average child in a working-class family provided with 125.000 words, and the average child in a welfare family with 62.000 words of language experience. In a 5.200hour year, the amount would be 11,2 million words for a child in a professional family, 6,5 million words for a child in a working-class family, and 3,2 million words for a child in a welfare family. In four years of such experience, an average child in a professional family would have accumulated experience with almost 45 million words, an average child in a working-class family would have accumulated experience with 26 million words, and an average child in a welfare family would have accumulated experience with 13 million words. By age 4, the average child in a welfare family might have 13 million fewer words of cumulative experience than the average child in a working-class family. This linear extrapolation is shown in the graph below. But the childrens language experience did not differ just in terms of the number and quality of words heard. We can extrapolate similarly the relative differences the data showed in childrens hourly experience with parent affirmatives (encouraging words) and prohibitions. The average child in a professional family was accumulating 32 affirmatives and five prohibitions per hour, a ratio of 6 encouragements to 1 discouragement. The average child in a working-class family was accumulating 12 affirmatives and seven prohibitions per hour, a ratio of 2 encouragements to 1 discouragement. The average child in a welfare family, though, was accumulating five affirmatives and 11 prohibitions per hour, a ratio of 1 encouragement to 2 discouragements. In a 5.200-hour year, that would be 166.000 encouragements to 26.000 discouragements in a professional family, 62.000 encouragements to 36.000 discouragements in a working-class family, and 26.000 encouragements to 57.000 discouragements in a welfare family. Extrapolated to the first four years of life, the average child in a professional family would have accumulated 560.000 more instances of encouraging feedback than discouraging feedback, and an average child in a working-class family would have accumulated 100.000 more encouragements than discouragements. But an average child in a welfare family would have accumulated 125.000 more instances of prohibitions than encouragements. By the age of 4, the average child in a welfare family might have had 144.000 fewer encouragements and 84.000 more discouragements of his or her behavior than the average child in a working-class family. Extrapolating the relative differences in childrens hourly experience allows us to estimate childrens cumulative experience in the first four years of life and so glimpse the size of the

problem facing intervention. Whatever the inaccuracy of our estimates, it is not by an order of magnitude such that 60.000 words becomes 6.000 or 600.000. Even if our estimates of childrens experience are too high by half, the differences between children by age 4 in amounts of cumulative experience are so great that even the best of intervention programs could only hope to keep the children in families on welfare from falling still further behind the children in the working-class families. Pentingnya Pengalaman di Tahun-Tahun Awal Kami belajar dari data longitudinal bahwa masalah perbedaan ketrampilan antara anak-anak pada pertama waktu masuk sekolah merupakan sesuatu yang lebih besar, more intractable, dan lebih penting daripada kami menyangka pada semulanya. Begitu banyak yang terjadi pada anak-anak selama tiga tahun pertama di rumah, pada waktu dimana mereka especially malleable dan uniquely dependent pada keluarga untuk hampir semua pengalaman mereka, sehingga sebelum usia 3 tahun, sebuah intervensi harus address bukan hanya kekurangan dalam hal pengetahuan atau ketrampilan, tetapi an entire general approach to experience. Secara kognitif, pengalaman itu sequential: Experiences in infancy establish habits of seeking, noticing, and incorporating new and more complex experiences, as well as schemas for categorizing and thinking about experiences. Secara Neurologically, infancy adalah masa yang kritis, sebab pengembangan cortical dipengaruhi oleh jumlah kegiatan central nervous system yang dirangsang oleh pengalaman. Secara Behaviorally, infancy adalah waktu ketidakberdayaan yang unik, ketika hampir semua pengalaman anak mediated oleh orang-orang dewasa dalam one-to-one interactions permeated with affect. Ketika anak-anak menjadi mandiri dan mampu bicara untuk diri sendiri, mereka gain access to more opportunities for experience. Namun jumlah dan diversity of childrens past experience mempengaruhi new opportunities for experience yang mana mereka (mampu) memperhatikan dan memilih. Sebagaimana kami memperkirakan magnitude of the differences in childrens cumulative experience sebelum usia 3 tahun memberikan sebuah indication of how big the problem is. Estimating the hours of intervention needed to equalize childrens early experience makes clear the enormity of the effort that would be required to change childrens lives. And the longer the effort is put off, the less possible the change becomes. Sekarang kami bisa melihat kenapa upaya kami yang singkat dan intensif selama Perang Melawan Kemiskinan tidak berhasil. Tetapi kami juga melihat bahwa ada ancaman ke negara kita dan anak-anaknya yang membuat intervensi semakin mendesak.

Betty Hart dan Todd R. Risley Betty Hart adalah profesor Human Development di University of Kansas dan ilmuan senior di Schiefelbusch Institute for Life Span Studies. Todd R. Risley adalah profesor di Department Psikologi di University of Alaska Anchorage dan director of Alaskas Autism Intensive Early Intervention Project. Dua orang ini have collaborated on research projects for more then 35 tahun. Artikel ini dikutip atas izin dari Meaningful Differences in the Everyday Experiences of Young American Children, Copyright 1995, Brookes; http://www.brookespublishing.com.

Anda mungkin juga menyukai