transit, kapal asing termasuk kapal riset ilmiah kelautan dan kapal survei hidrografi tidak dapat melakukan riset atau survei apapun tanpa izin sebelumnya dari negara yang berbatasan dengan selat itu. Pasal 41 Alur laut dan skema pemisah lalu lintas dalam selat yang digunakan untuk pelayaran internasional 1. Sesuai dengan ketentuan bab ini, negara yang berbatasan dengan selat dapat menentukan alur laut dan dapat menetapkan skema pemisah lalu lintas untuk pelayaran di selat apabila diperlukan untuk meningkatkan lintasan yang aman bagi kapal. 2. Negara yang demikian, apabila keadaan menghendaki, dan kemudian memberikan pengumuman sebagaimana mestinya, dapat menggantikan setiap alur-alur laut atau skema pemisah lalu lintas yang telah ditentukan atau ditetapkan sebelumnya dengan alur-alur laut skema pemisah lalu lintas yang lain. 3. Alur laut dan skema pemisah lalu lintas yang ditetapkan tersebut harus sesuai dengan peraturan internasional yang telah diterima secara umum. 4. Sebelum menentukan atau mengganti alur laut atau menetapkan atau mengganti skema pemisah lalu lintas, negara yang berbatasan dengan selat harus mengajukan usulan kepada organisasi internasional yang berwenang agar dapat diterima. Organisasi itu hanya dapat menerima alur laut dan skema pemisah lalu lintas yang telah disepakati dengan negaranegara yang berbatasan dengan selat, setelah itu barulah negara-negara dapat menentukan, menetapkan atau menggantinya. 5. Berkaitan dengan selat yang sedang diusulkan alur laut atau skema pemisah lalu lintasnya yang terdiri dar dua atau lebih negara yang berbatasan dengan selat tersebut, maka negaranegara yang bersangkutan harus bekerjasama dalam merumuskan usulan tersebut dengan bekonsultasi kepada organisasi internasional yang berwenang. 6. Negara yang berbatasan dengan selat harus secara jelas mencantumkan semua alur laut dan skema pemisah lalu lintas yang ditentukan atau ditetapkannya pada peta yang diumumkan sebagaimana mestinya. 7. Kapal dalam lintas transit harus menghormati alur laut dan skema pemisah lalu lintas yang berlaku dan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan pasal ini. Berdasarkan pasal 40 mengenai kegiatan riset dan survei, suatu negara yang wilayahnya berbatasan dengan selat yang akan dijadikan sebagai tempat aktivitas riset atau survei oleh sebuah badan atau organisasi, memiliki kuasa atau wewenang penuh atas wilayah
tersebut. Oleh sebab itu, badan atau organisasi yang ingin melakukan kegiatan atau aktivitas riset dan survei di wilayah selat tersebut haruslah mendapatkan izin yang resmi dari negara yang berbatasan dengan selat yang bersangkutan. Dengan kata lain, apabila negara yang berbatasan dengan selat tersebut memberikan izin atas aktivitas riset dan survei, maka kegiatan tersebut bisa dilaksanakan. Namun, apabila badan atau organisasi yang akan melakukan riset tidak mendapatkan izin, maka kegiatan tersebut tentu saja tidak bisa dilaksanakan. Selajutnya, pada pasal 41 mengenai alur laut dan skema pemisah lalu lintas dalam selat yang digunakan untuk pelayaran internasional, dipaparkan bahwa negara yang berbatasan dengan suatu selat bisa menetapkan alur laut atau skema pemisah jika diperlukan dengan berkonsultasi atau mengajukan usulan tersebut kepada organisasi yang berwenang agar tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Dengan kata lain, suatu negara yang berbatasan dengan selat dapat mewajibkan kapal-kapal yang akan melewati wilayah tersebut untuk megikuti rute-rute alur lalu lintas laut yang ditetapkan oleh negara yang berbatasan dengan selat tersebut yang tentunya sesuai dengan peraturan internasional yang telah berlaku, dan kapal-kapal yang melewati wilayah tersebut haruslah menghormati atau menaati alur laut dan skema pemisah tersebut. Hal ini juga menegaskan kembali bahwa sesuai dengan pasal 40, negara-negara yang berbatasan dengan selat memiliki wewenang atas perairan tersebut1. Kemudian, seperti yang juga telah disebutkan dalam butir-butir pasal 41, dalam menentukan atau menetapkan alur laut dan skema pemisah, apabila ada dua atau lebih negara yang berdekatan dengan selat tersebut, maka negara-negara tersebut haruslah bekerja sama dalam menetapkan peraturan alur laut dan skema pemisah dengan berkonsultasi kepada organisasi internasional yang berwenang terhadap hal tersebut. kesepakatan bersama ini sangat penting dilakukan agar tidak terjadi sengketa antara negara-negara yang wilayahnya berbatasan dengan selat tersebut.
Albert W. Koers, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994, hlm. 17-18