Anda di halaman 1dari 10

ORANG ASING (Drama Satu Babak)

Judul Asli Karya Saduran : Lithuania : Robert Brook : D. Djajakusuma

Penggal Pertama Interior sebuah rumah kampung di daerah Bumiayu. Sebuah meja di tengah, di dinding belakang ada jendela, pintu di sebelah kanan. Di dinding kiri ada dua pintu, dekat dinding kanan dapur sebelah belakangnya ada rak dengan pinggan-pinggan dan lain-lain. Malam hari di musim pancaroba. Di laur jendela tampak terang bulan, remang-remang di kejauhan tampak pohon cemara. Di sebelah kiri meja, menghadap ke samping, duduk orang asing sedang menghabiskan makanannya. Gadis duduk di kursi atau di smben kecil di depan dapur membelakangi publik sambil menengok-nengok ke orang asing. Ibu mondar-mandir antara meja, amben, dan rak, membawa piring=piring makanan dan lain-lain, Sebuah lampu ada di atas meja. Orang asing kira-kira berumur 27 tahun, pakaiannya mahal dan bersih, tingginya sedang, badannya agak gemuk, kuning, kumis dan jenggot runcing hitam, dan banyak bergerak. Ibu, umur kira-kira 45 tahun atau lebih, tingginya sedang, badannya kuat, agak bungkuk karena bekerja keras, mukanya kurus, pendiam tetapi sekali-sekali bisa banyak bicara. Gadis, baru saja dewasa, sedikit agak tinggi dari ibunya, tetapi badannya lebih kuat, mukanya keras, dan tak banyak bergerak. Orang asing : (Mendorong kursinya kebelakang dan menghabiskan minumannya) Enak, enak sekali. Sungguh saya baiklah saya mengaso sekarang. Saya capek sekali habis jalan kaki lewat hutan-hutan itu. Alhamdulillah saya mujur sekali menemukan rumah ini. : Jika Ndoro mau menunggu sebentar, suami saya segera dating dari lading. : (Berdiri) Apakah tidak takut sendiri di rumah terpencil ini? Hanya dua perempuan, malam-malam seperti ini. . . . : Apa yang akan kami takutkan? Apa yang akan dirampok dari kami? Dan siapa yang mau dengan saya akan dihajar Sinah. Ia lebih kuat dari kebanyakan lelaki. : (Membungkuk dengan perasaan tidak enak). Anak Ibu tegap badannya. : Dia kuat. Dia harus bekerja di lading dengan ayahnya. : Ah, saya kira berat untuk mengurus segalanya hanya dengan seorang lelaki dalam keluarga atau. . . (Jelas) Ibu punya anak laki-laki tentunya. (Menyindir) : Tidak! Dulu ada seorang. Ia mingat waktu berumur tiga belas tahun. : (Dengan tertawa kecil, sopan, agak gugup) Sayang. Saya sangka wanita ingin ada seorang yang akan melindunginya. Dan kini, sebagai seorang ibu, Ibu tentu akan menerima kembali anak itu bila ia pulang ke rumah untuk menolong Ibu di hari tua? : (Ragu-ragu) Ah, saya tidak tahu. . . : Ia tenggelam. (Jengkel) : O, maaf! Tapi suami Ibu selalu meninggalkan Ibu seoran diri. . . .

Ibu Orang asing Ibu Orang asing Ibu Orang asing Ibu Orang asing

Ibu Gadis Orang asing

Terdengar suara Bapak dari jarak yang agak jauh. Ibu : Itu, dia. Biar saya songsong. Silahkan Ndoro tunggu sebentar! Sebaiknya Ndoro bertemu dia sebelum tidur. (Ibu keluar)

Orang asing

Gadis Orang asing

Gadis

: (Jalan gaak kaku mendekati gadis) Saya kira seorang gadis muda dan manis seperti kamu, kadangkadang tentu akan merasa jemu, hidup bekerja terus-menerus di tempat seram seperti ini. . . Meski indah sekalipun. : (Setengah pada diri sendiri) Saya punya kegembiraan sendiri. : Enak di kota besar. Jalan-jalan terang benderang dan sibuk. Darahmu akan mengalir lebih cepat. Sayang sekali kau tak akan tahu. Tak sadarkah kau hanya akan jadi kasar dan tau disini? Tiap hari kau akan makin kaku daan bodoh, kerja, kerja. Kau akan seperti ibumu, akhirnya kerdil dan jelek, kemudian mati. Nah, apa katamu (Ketawa sedikit, histeris) bila mendadak dating seorang satria, (Melihat kepada gadis) dan berjanji akan membawa kau ke kota besar, dan memperlihatkan segala sesuatu kepadamu. . membelikan pakaian dan perhiasan. . . dan memberikan padamu segala yang terbaik, seperti seorang putri. . . . : (Berdiri cepat menuju orang asing, agak pincang) Saya pincang digigit anjing. Ndoro ingin lihat? (Diangkatnyakekinya menunjukkan tempat di bawah lutut) Apakah kaki seorang putri seperti ini? Lihat bekas ini! (Memperlihatkan tangannya) Gara-gara sebuah batu besar. (Lutut kiri orang asing dipijat dengan tangannya dan menengok ke atas, senyum sedikit. Orang asing berteriak sedikit dan melangkah mundur, agak kaget) Pernah Ndoro rasakan tanga seorang putrid seperti ini? (Diam sejenak. Gadis ini berjalan menuju pintu sebelah kiri, lalu masuk.)

Orang asing duduk, tangan di kakinya. Masuk Ayah dan Ibu. Ayah ini sedang tingginya, umurnya kira-kira 49 tahun. Kuat badannya, rambutnya yang hitam mulai memutih. Periang, berwatak tegas, tetapi lemah menghadapi persoalan. Ibu Orang asing Ayah Orang asing : Ini suami saya. (Orang asing menghampiri Ayah, agak nervous) : Apakah Bapak tuan rumah disini? Apa kabar, Pak? Istri Bapak sangat baik membolehkan saya tidur disini. Saya tersesat di hutan dan kemalaman. Tapi saya sangat beruntung menemukan rumah ini. : Bagaiman Ndoro sampai dalam hutan dengan pakaian seperti itu? : (Agak bingung) Saya kesasar. Saya coba jalan kaki ke Bumiayu. Hari sangat cerah. . . Saya suka betul jalan kaki. Dan kebetulan saya mengelilingi kota kecil di daerah ini, ada urusan. . . Ya, urusan pemerintah. : Bumiayu? Ndoro terlalu nyasar dari jalan besar. Ndoro tentunya sangat lelah. Apalagi dengan kopor itu. Ndoro mungkin bisa dirampok nanti. : (Membuka kopornya) Ah, tak banyak isi kopor ini, hanya kertas-kertas saja. (Riang) Tetapi banyak bawa uang. (Mengeluarkan uang) Lihat banyak uang! Dengan ini saya bisa beli rumah sepuluh kali lebih besar dari ini, lengkap dengan isinya. Saya berani bertaruh, kalian belum pernah melihat uang begitu banyak di atas meja. (Ia mengeluarkan lagi, ketawa histeris, dan minum tuaknya) : (Tercengang memandang orang asing) Tidak, Ndoro, memang belum pernah. (Hening sejenak. Ibu berjalan ke dapur) : Tidak aman jalan dalam hutan membawa semua itu. : Tak ada seorang manusia saya jumpai hari ini. Atau sebuah rumah. Inilah rumah pertama yang saya temui. Saya langsung menuju kemari, dari hutan sebelah barat sana. Saya gembira ada lampu menyala.

Ayah Orang asing

Ayah Ibu Orang asing

Hening sejenak. Gadis dating lagi diam-diam melalui belakang dan duduk, sementara itu orang asing bicara. Orang asing : Sangat sunyi dang mengerikan disini. Saya kira orang bisa jadi gila karenanya. . . mendengar angin bertiup di dalam kayu, menyaksikan malam mendatang, berbulan-bulan begitu. (Membalik, melihat orang-orang) Saya bilang terus terang, saya mulai tak enak berjalan sendiri di hutan sehari suntuk, di antara pohon itu. : Di sebelah sana, di lembah, ada beberapa rumah, kira-kira tiga menit dari sini. Ndoro tentu tak lewat sana, Ya, disana banyak orang. : (Menyiapkan makanan lagi) Dia barangkali memang mau kesana. : Banyak pekerjaan di ladang-ladang. : Tapi di musim hujan keadaan lebih sukar, bukan? : Ya, musim hujan memang sudah dekat.

Ayah Ibu Ayah Orang asing Ayah

Orang asing Ayah Ibu Ayah Orang asing

: Saya pikir tentu kalian akan senang sesudah menabung barang sedikit, lalu pergi dari sini dan hidup di kota. : Itu akan terjadi bila kambing bandot meneteki anaknya, atau bila rezeki jatuh dari langit di depan si miskin. : Pak! (Memarahi suaminya) : Kita hampir-hampir tak dapat hidup dari tanah ini. (Pause) : (Tertawa) Tentu Bapak tak punya arloji. (Diam sejenak, lalu tertawaa keras) Tentu tak tahu jam berapa mesti pergi tidur. Akan saya pinjamkan arloji saya untuk semalam. Ya. (Jam dikeluarkan dari sakunya) Lihat! Emas, betul, emas seluruhnya. Saya akan gantungkan disana, di dinding itu. Saya bertaruh, kalian belum pernah lihat arloji emas tergantung di dinding, bukan?

Gadis di belakangnya memandang Ibu, Ibu pada Gadis.Ayah memandang satu persatu, lalu mengetuk-ngetuk meja. (Pause) Ibu : (Mengangkat lampu) Boleh saya mengantar Ndoro ke kamar? Orang asing : Tentu. Saya benar-benar harus tidur. (Menengok ke arah arloji) Nah, coba lihat! (Menghampiri gadis) Selamat malam, Dik! (Gadis berdiri kaku dan membungkuk) Selamat malam, Pak! (Pada Bapak) Saya takut sebagian besar makanan Bapak telah saya habiskan, Saya minta maaf! Tapi akan saya ganti. Kalian tak akan menyesal berbaik budi kepada saya. (Menghampiri Ayah seperti mau bersalaman. Ragu-ragu, lalu mengikuti Ibu ke pintu kanan) Ayah : (Pada orang asing) Ah, makanan orang miskin. Tapi saya senang sebab Ndoro suka. Ibu : (Di depan pintu) Kamarnya sangat jelek. Kami tidur di sebelah kanan. Ndoro tak usah takut terganggu oleh kami. Gadis berdiri dekat api, Ayah duduk, makan di ujung meja. Ayah Gadis Ayah Gadis : (Sambil makan) Kau selalu bicara tentang laki-laki. Itu ada seorang buat kau. Kenapa kau diam saja? Dia perhatikan kau dan mabuk. : (Membawa lauk-pauk) Laki-laki lemah, tangannya kayak perempuan. Laki-laki jelek begitu. : Kau takut. Kau memang selalu takut. : Dia bukan laki-laki. Dia banci! Kecil begitu, lemah dan cerewet seperti bapak. Ayah mendekati Gadis, menangkap Gadis pada lengannya dengan keras. Sendok ditangan Gadis jatuh ketanah. Gadis meronta melepaskan tangannya, dan memukul tangan ayah dengan mengeraskan suaranya. Gadis : Jika berani pukul, aku bunuh nanti. Gadis menuju kedepan dan duduk; ibu datang membawa lampu ke meja dan mematikannya. Ibu Ayah Ibu Ayah Ibu Ayah Ibu Ayah : Apa yang kau bawa dari hutan? : Tidak bawa apa-apa. Hutan terkutuk. Tak ada binatang, tak ada burung. (semua diam, mati) : ( Duduk disebelah ayah) Kita tak punya apa-apa. Bagaimana nanti? Hujan mulai datang. : Aku lapar. Tak pernah cukup makan dirumah setan ini. Tak bisa kita hidup dari tanah ini. : Telah ku berikan sebagian makanan padanya. Aku tahu dia kaya, kita akan dapat persen dari dia, cukup buat makan delapan hari. Mungkin. : Lalu? : Kita sampai sekarang masih bisa hidup. : (berdiri marah) Aku sudah bosan disini. Aku akan pergi ke kota. Disana ada duit. Buat apa aku tinggal disini? Cari makan buat kamu berdua, aku sendiri. Aku akan pergi sendiri. (Melihat arloji) Lihat itu! Mengapa dia harus punya itu, sedang kita mati kelaparan? Kita akan hidup setahun dengan barang itu. Siapa dia sebenarnya? Mengapa dia bicara seperti itu? : Dia mabuk sedikit. Dia orang kaya. : Dia gila, kataku. Siapa pernah mendengar orang jalan dihutan karena suka, kalau tidak karena gila. Dengan pakaian mentereng, membawa kopor lagi.

Ibu Ayah

Gadis Ibu Ayah

: Tak ada orang yang lihat dia datang kemari. : Jika dia gila, kita bisa dapat hadiah karena memelihara dia. Orang tuanya tentu kaya. : Dia tidak gila, tetapi aneh. Ada yang membikin dia gila. Buat apa dia kemari. Uang itu semuanya, caranya dia ngomong. Kau kira semua itu dia punya? Ibu dan Gadis saling memandang sebentar, menggerakkan kepalanya

Ibu Ayah Gadis Ibu Ayah Gadis Ayah

Ibu Ayah Ibu Ayah Gadis Ayah Ibu Ayah Ibu Ayah

Gadis Ayah Ibu

: Jika bukan kepunyaannya... : Dia seperti maling. Lagak lagunya seperti maling. Barangkali dia mencuri, dia lari, sembunyi. Sebab itu dia datang kemari. : Tak seorang pun tahu kalau dia kesini. : Kalau dia maling, kita akan dapat hadiah melaporkan dia. : (Mengambil arloji) Barang emas ini dan uang itu. Apa haknya atas barang ini? Mungkin banyak orang kelaparan karena dia mencuri. Dia kayak maling. : Dia kate, kecil dan lemah. : (Bersandar dekat meja) Aku bekerja, pelihara kamu berdua. Bekerja sekuat tenaga dan aku akan mati kelaparan. Tapi dia maling, dia seorang diri dan punya banyak uang. Jika Tuhan ada, apa itu akan dibiarkannya? : Pak! (Pause) : (Seperti tak suka dan makin kasar) Kita sama-sama punya hak. Apa artinya uang orang buruan, seorang diri, seperti dia. : Ssstt. . . Nanti dia bangun? : (Kurang jelas) Peduli apa kalau dia dengar! : Dia tidur nyenyak. Terlalu capek. (Cahaya lampu berkurang) (Pause) : Mengapa kau pandang aku? : (Memeras tangannya mendekati dapur) Kita akan kelaparan di musim hujan nanti. : (Gemetar) Mengapa kau lihat aku? Apa yang kalian pikir. Aku tak mengerti apa yang kalian pikirkan. : Kau gemetar, Pak. Sampai-sampai mejanya ikut gemetar. : Mengapa aku dipandang juga? Aku tak tahan melihat matamu. (Pause lebih panjang) (Hampir menangis) Aku pernah bunuh orang sekali... sekali... dalam perkelahian. Ya, Tuhan... aku... tidak (Mereka berpandangan, berdiri diam) Aku harus berfikir... bilang apa-apa... besok... : Sekarang. : Dia tamu kita. : Dia maling. Diam sejenak, gadis memasang lampu.

Ibu

: (Dengan suara rendah dan cepat) Dia tidur. Cuma sekali. Ia tidak akan melawan. Kami akan datangi dia. Tak ada orang tahu. Kita harus dapatkan uang itu... Kau pengecut! Sementara itu Ayah mengambil pisau yang terselip di dinding, ambil lampu dari tangan Gadis dengan tak sadar dan maju beberapa langkah menuju kamar orang asing. Kedua wanita itu mengikutinya.

Ayah

: Aku tak bisa. (Maju beberapa langkah, menengok kebelakang) Kau kotor. Tunggu disini! Kau tak boleh sentuh dia. Aku akan bereskan. (Cepat masuk ke kamar) Gadis berdiri dekat pintu kamar orang asing. Ibu kembali ke dapur. Hening sejenak, lama suara terdengar tak terang, pelan-pelan gadis melangkah mendekati pintu. Mendadak ayah keluar, lampu ditaruh di meja. Duduk lemas pada meja, gemetar. Ibu mendekat. (Pause) Ayah menggeleng.

Gadis Ibu Ayah

: Pisaunya bersih. : Sudah beres. : Aku... (Meringkuk) tidak. Aku rasa mau muntah. Aku tak bisa! Aku bekerja sehari-harian. Aku jadi sakit.

Ibu Ayah Ibu

(Batuk dan gerakkan lehernya) : Mesti! : Aku tak bisa. . . seperti ini. Tuak. Aku perlu tuak. : Sudah habis diminumnya. Kau mesti melakukannya. Ayah terhuyung-huyung kedinding belakang dan mengenakan baju.

Ayah

: (Merogoh kantongnya) Aku kewarung dulu beli tuak. Aku ada duit sedikit. Aku mesti minum tuak. Kalau tidak, tak bisa aku kerjakan itu. Aku akan minum sampai setengah mampus. Ya, Tuhan! (Tegakkan badannya dan bicara agak teratur) Jika aku kembali nanti, lihatlah aku akn siap tikam siapa saja. Aku sekarang capek dan sakit. Aku tak bisa bunuh orang kalau kerongkonganku kambuh dan terasa sakit. Aku telah bekerja sehari suntuk. (Membuka pintu) Aku akan segera kembali. Aku bersumpah, akan bunuh dia. (Keluar) Bayangannya tampak dibalik jendela, jalan ke kiri, jalan agak cepat. Ibu dan gadis mengikuti ia, kemudian mendengarkan sebentar. Tak terdengar suara-suara dari kamar orang asing. Ibu mematikan lampu. Mereka duduk di tempat masing-masing didekat api. Gadis membesarkan api dengan menaruh beberapa potong kayu diapi.

Ibu Gadis Ibu Gadis Ibu Gadis Ibu Gadis Ibu Gadis Ibu Gadis Ibu Gadis Ibu Gadis Ibu Gadis Ibu Gadis Ibu Gadis Ibu Ibu Orang asing Ibu Orang asing

: Dia tak apa-apa... : Dia pengecut. : Dia bukan pengecut. Dia terlalu banyak berfikir. Kau tak mengerti kalau dia sudah mabuk... Beres. Dia tidak akan pikir lagi. : Kalau aku mau bunuh orang. Aku tak perlu minum tuak lebih dahulu. : Ya, kau akan... Aku takut dia tidak akan... : Dia akan mabuk. : Uangnya tak cukup untuk jadi mabuk... Disamping itu ia telah tahu apa yang mesti dilakukannya kalau kembali. : Dia keluar untuk lari. (Diam sejenak) Tak betah aku menunggu. : Dia akan bertindak jika kembali. (Berdiri kearah pintu orang asing, kemudian kembali ketempat semula, berdiri) Aku kenal dia... (Mengambil arloji dan mengamatinya) Apa kau kira dia pencuri? : Aku tak tahu, pokoknya kita akan jadi kaya. Kita akan pindah dari sini. : (Menggantung kembali arloji) Sama saja dimana-mana. Tapi yang pasti kita akan mati kelaparan. : Kesal menunggu. (Pause) Seseorang harus melakukannya segera. Tak usah banyak fikir. Tambah mempersulit. : (Pergi perlahan-lahan kejendela) Terang diluar (Tiba-tiba) Tak seorangpun yang lihat dia kemari bukan? Lagipula tak ada yang tahu kalau dia makan di sini. (Berbalik) : Tidak. Mereka tak akan melihat dari jalan. : (Kembali duduk) Lagi pula siapa yang akan datang malam seperti ini. : Kadang-kadang mereka datang. : Ya, kadang-kadang mereka datang untuk menemui kau, bukan? Kebiasaan anak-anak muda seminggu sekali ketika aku masih gadis. : Ibu selalu cemburu padaku. : Cemburu? Ketika aku masih gadis, berpuluh-puluh pemuda mengikuti aku. : Jadi tua dan pencemburu. : Kau selalu benci padaku. Aku ibumu. Kau keliru membenci ibumu. Kau aneh. : Ibu yang benci padaku. Memang benar kau ibu, tapi sekarang cinta telah berubah. : Kau tak tahu bagaimana menjadi ibu. Dan tak akan pernah tahu. (Muncul orang asing, ibu dan gadis agak kaget) : Ndoro mau apa? : Oh, apakah suami ibu tidak ada? : Ia sedang keluar sebentar. Ada sesuatu yang mengganggu Ndoro? : Tidak. Ibu tahu, tidak! Saya ingin bicara dengan Bapak. Saya kira saya harus melakukannya malam ini

Ibu Gadis Orang asing Ibu Orang asing Ibu Orang asing Ibu Orang asing Ibu

juga. Tapi tak apalah. Kapan suami ibu akan kembali? : Saya,saya tidak tahu, Ndoro. : Mungkin dia datang agak lambat. : (Maju beberapa langkah) Lebih baik besok. : (Pergi cepat ke jendela) Diluar sangat dingin. Kita akan segera tidur. Dan pintu-pintu akan saya kunci. Biar bapak nanti menyusul. Ada sesuatu yang ndoro inginkan? : Oh, tidak. Saya kira bapak ada. Ada sesuatu yang ingin saya jelaskan sebelum saya tidur. Tapi biarlah. (Mau kembali kekamarnya) : Apakah pembicaraan kami tadi menggangu ndoro? Omongan kami terlalu keras barangkali? : Oh, tidak. Tidak apa-apa, ibu tak apa-apa. Saya . . . saya tidur sebentar, dan tiba-tiba terbangun. Saya jatuh, kaget hingga saya tidak bisa tidur lagi sebelum saya jelaskan persoalannya. : Ndoro akan tidur nyenyak. Terlalu capek. Ndoro tak akan dengar apa-apa lagi. : (Mendadak) Ya, maafkan saya bikin kalian kaget. Aneh. (Pause) Besok saja... Saya akan tidur nyenyak. (Kembali kearah kamarnya) : (Masih di depan jendela) Ya, Ndoro tentu sangat lelah. (Gadis berdiri, orang asing masuk kamarnya, Ibu melangkah ke depan) Ibu dan gadis bisik-bisik.

Ibu Gadis Ibu Gadis Ibu Gadis Ibu Gadis Ibu

: Apa maksudnya? Kenapa dia keluar? : Tak tahu aku. : Dia dengar? : Aku kira tidak. Barangkali kaget terbangun. : Atau dia gila. : Kelakuannya aneh-aneh saja sejak datang. : Mungkin dia mabuk karena tuak yang diminum sedikit itu. Laki-laki suka berbuat aneh kalau dia mabuk. : Mungkin dia datang. : Akan berabe jadinya. Ketukan di pintu, mereka saling berdekapan, memandang keliling. Ketukan lagi. Ibu berbisik.

Ibu

: Kita harus buka. Gadis mengangguk cepat. Ia pergi kedekat api mengambil arloji, lalu memasukkannya kedalam kutang. Ibu pelan-pelan membuka pintu, mengintip, membuka pintu lebar-lebar.

Ibu : Ah, kau Siman. Masuklah! (Disongsongnya seseorang anak muda yang membawa sesuatu. Anak muda membersihkan kaki. Dia agak tinggi, mukanya kuat dan bersih, umur 23 tahun) Ibu : Kok malam-malam? Anak muda : Belum lagi setengah sembilan. Saya mampir sebentar saja. Ibu : Kami sudah berkemas-kemas, mau lekas tidur. Anak muda : Saya cuma singgah untuk mengantarkan ini. (Meletakkan barang itu) Ibu : Kau terlalu baik. (Memperhatikan barang itu) Anak muda : Saya mau berdiang sebentar, biar agak panas. (Gadis dan anak muda bersama-sama menuju api) Ibu : Aku mau tidur. (Mengangkat lentera dan menuju kamar) (Tertuju kepada gadis) Lekas menyusul, ya! (Ibu masuk kamar pintu kedua. Gadis memperhatikan barang itu) Anak muda : Enak disini. Becek dan dingin diluar. Ayah ada? Gadis : Dia pergi minum. Anak muda : Ibumu bijaksana, meninggalkan kita berdua. Gadis : Dia belum tidur. Anak muda : (Tersenyum) Dia tak mengintip. Tak ada suaranya. Gadis : Dia belum. . . Anak muda : Aku tak mengerti, mengapa engkau tidur begitu cepat.

Gadis Anak muda Gadis Anak muda Gadis Anak muda Gadis Anak muda Gadis Anak muda Gadis Anak muda Gadis Anak muda Gadis Anak muda

Gadis Anak muda Gadis Anak muda Gadis Anak muda Gadis Anak muda Gadis Anak muda Ibu Gadis Ibu Gadis Ibu Gadis Ibu Ibu Gadis Ibu Gadis Ibu Gadis Ibu Ibu Gadis Ibu Gadis Ibu Gadis

: Kau jarang datang, ya, Man. : Mungkin aku tak akan kemari, kalau aku tahu... kalian tidak peramah dirumah ini. : Baik benar kau bawakan ini. : Baru kudapat tadi. : Aku ingin. . . barangkali Ibu. . . mau mengunci pintu. : Kau tak senang aku datang? : Ah, aku sangat lelah. Lebih baik aku tidur saja. : Kau tidak ke ladang siang tadi. Aku cari-cari. : Banyak pekerjaan di rumah. (Mendekati anak muda) Pergilah sekarang! Datanglah lagi... kapan saja. (Mendadak buru-buru) Pergilah dulu! : (Meletakkan tangan dibahu gadis) Kenapa kau tak suka bicara? Aku tak mengerti watakmu. : (Melepaskan diri dari anak muda) Pergilah sekarang! Nanti ketemu lagi! : (Cepat menangkap tangan gadis waktu tangannya jatuh dari bahunya) Tidak! Aku akan tinggal sebentar. : (Melepaskan diri) Pergi! : Kalau aku tak mau? : (Gadis menangkap lengannya dengan keras dan mendorong) Pergi kataku! : (Mereka seperti bergulat) Kau tak begitu kuat. (Gadis lepas, kemudian gadis dipegang lagi. Gadis terdorong kebelakang menubruk meja hingga berbunyi. Anak muda melepaskan gadis. Gadis bersandar pada meja. Anak muda tersenyum) : Kau habiskan tenagamu. : Kau tidak begitu kuat. : Pergilah, kupinta! : Aku akan datang lagi. : Ya, besok datanglah. : Aku datang agak siangan. Jumpai aku di jalanan! : Baik. : Ada yang ingin kukatakan. : Aku harus tidur sekarang. : Salaman dulu. (Gadis melengos) Selamat tidur! (Anak muda keluar, gadis menutup pintu perlahanlahan) : (Cepat keluar dari kamarnya) Dia sudah pergi? (Gadis menggangguk. Dengan tangannya menunjuk kamar orang asing) Ah, bagaimana kalau dia keluar tadi? : Orang lain pun bisa datang. : Banyak anak muda yang menanyakan kau, bukan? : Ah, gila... kita mesti dapatkan uang itu. Aku mau pergi dari sini. : Kau kira orang akan memperhatikan kau dikota? Gadis kota cantik-cantik. : Dia mesti lekas datang. Dia mesti bertindak. (Duduk) (Pause) Sudah lebih dari satu jam. : Baru lima menit. (Pause) : (Mendadak bangun) Apa itu? : Apa? : Langkah orang. : Di mana? : Diluar. Ayahmu barangkali. : Aku tak dengar apa-apa. : Mungkin orang lain. (Pause) (Sepi) : Jika sekali ini dia tak berani lagi... : Dia pengecut. : (Berubah) Bosan aku menunggu. Seperti ada orang yang mengintip kita. : (Berdiri dan berjalan pincang kearah sebuah peti di dekat api, mencari-cari di dalamnya) : Lagi apa kau? : Pisau ini tua dan kuat.

Ibu Gadis Ibu Gadis Ibu Gadis Ibu Gadis

: Duduk saja kau! Ayahmu segera kembali. : (Sedang mencari sesuatu dalam peti lain) Aku bisa gila, menunggu. (Berdiri dengan kapak ditangannya) Tak begitu tajam, tapi kuat. : Apa maksudmu? : (Pasang lampu dimeja) Diam! kita bereskan sendiri saja. : (Bangun) Jangan! Kau kira... : Dia kecil dan lemah. Ambil sarung itu! Lemparkan diatas kepalanya, dan sekap supaya tangannya tak bisa keluar! Tahan yang kuat! (Ibu mengambil sarung dan gadis mengangkat lampu) : (Jalan kearah kamar orang asing) Ayo lekas, ya, Nabi! Syukur! : Taruh lampu itu diatas lemari! (Pelan-pelan mereka masuk kedalam kamar) Gadis di depan. Pause. Terdengar gerak-gerik pelan-pelan. Teriakan, pukulan, rintihan yang terhenti kerena pukulan. Pukulan yang kuat bertubi-tubi. Ketika itu berlangsung, ibu keluar kamar. Mengeluh. Pukulan berhenti)

Ibu

: (Habis tenaga, jatuh di kursi di samping meja) Ya, Tuhan. Berhenti. Ya, Tuhan! Gadis keluar kamar pelan-pelan, lampu ditangan kiri, kapak di kanan dipegang kuat. Nafas terengah-engah.

Ibu Gadis Ibu Gadis Ibu Gadis Ibu Gadis Ibu

: (Hentikan keluhnya) Kenapa kau pukul terus? : (Menaruh lampu di meja) Tak tahu aku... : Kau terus saja memukul. Kukira kau gila. Dia mula-mula berteriak, memanggil-manggil ibu. . . : (Berdiri) Tidak! : Dia panggil ibunya. Ibunya tak akan tahu. Kau terus saja memukul. Kau biadab! Kenapa kau teruskan juga? : Aku tak bisa berhenti. (Jalan memutar dan berdiri mendekati api) : Kenapa kau terus saja memukul? Kukira kau gila. Aku benci padamu. : Aku tak tahu. (Pause) : Kenapa kau pegang juga kampak itu? Gadis melemparkan kapak ke dalam peti. Ia berbalik dan duduk di kursinya.

Ibu

Gadis Ibu Gadis Ibu

: Sudahlah. Dia takkan lagi bergerak. Ayahmu mesti mengubur dia di hutan sekarang juga. Atau besok. Kita akan pergi dari sini. Sebelum musim hujan. Kita tak akan miskin lagi. (Terdengar sayup-sayup diluar, agak jauh) Apa itu? Ayahmu pulang. (Suaranya bertambah keras) Siap-siaplah! Ia tidak sendiri. Aku dengar ia ngomong-ngomong. Mungkin dengan orang lain. Bangunlah! Lihatlah sendiri! kita harus siap. : (Cepat berdiri) Selesai. Kita bisa bilang, sudah selesai semuanya. Aku senang kita bisa pergi. Kita akan kaya. Aku akan kaya dan pakai baju sutra. : (Menyela) Itu ayahmu! Ada orang yang menyebutkan namanya. Siapa sih yang bersama dia? Gila? : Dia mabuk. (Orang ketuk-ketuk pintu) : Dia ditangkap. (Ke pintu dan membukanya) Tukang warung bersama anaknya masuk, ayah diantara mereka. Tukang warung tinggi, periang, kira-kira 40 tahun. Anaknya 18 tahun, kurus, agak hitam. Tukang warung menjinjing sandal. Ditangan kanannya anaknya lemas. Tukang warung dan anaknya juga agak mabuk. Tukang warung ribut. Anaknya dengan pandangan licik dan muka merah. Gadis berdiri.

Tukang warung Ibu Tukang warung Tukang warung

: Selamat malam, Yu! Kami bawa pulang suamimu. (Ketawa) : Pak...? : Dia mau pulang sendiri. Dia bilang ada pekerjaan menunggu. (Ketawa) : Dia bilang bahwa dia harus pergi diam-diam. Dia mau lepaskan sandal. (Menjinjing sandal tinggi-tinggi)

Kami tak dapat menahannya. Dia bilang harus pergi diam-diam. Dia mau pergi diam-diam.. lucu. . lucu. . Ayah tertidur, terjatuh di lantai dekat kamar. Tukang warung : Ini, bantu dia! Dia keder kena angin malam. Beri dia air seteguk, biar bangun! Anak menuangkan tuak ke dalam gelas di meja, menggoyang-goyangkan badan Ayah dan meminumkannya. Anak : Dia datang ke warung, Ada yang mesti aku lakukan katanya gemetar dan pucat. Ya Tuhan, Minum katanya. (Ketawa terkekeh-kekeh) Tukang warung : Waktu aku datang, dia sudah mabuk buta. Dia tentu tidak makan seharian. Kalau tidak, masakan sudah mabuk baru tiga gelas. Dia membual tentang nasib baiknya. Kita semua minum karena dapat nasib baik Minum sepuas-puasnya katanya. Ayah : (MENDADAK) Hhss. (Mencoba berdiri dan merayap di dinding. Jatuh lagi) Ibu : Pak! (Teriak) Tukang warung : (Gembira) Nah, aaa. Tak apa-apa. Coba Mbakyu lihat dia meloncat-loncat di tanah seperti kelinci pincang. Aku mesti diam-diam masuk katanya. Kita ketawa setengah mati. Terpuji Tuhan, kataku. Aku tahu kau nasib baik, tidak akan kelaparan lagi. Kami semua minum. (Tuang tuak digelas dan minum) Ibu dan gadis memandang melihat ayah. Dia selalu bangun dan berdiri, gemetar mengangkat tangan. Ayah : Diam! Diam! (Menganggukkan kepala) Ibu lari kepadanya dan memapahnya, takut melihat tukang warung. Anak : (Ketawa kecil) Dia terus saja bilang Diam. Bukan begitu, Pak? Ada yang mesti aku lakukan diam-diam. Katanya. Tak boleh ada yang bunyi. Ia lepaskan sandalnya dan meloncat-loncat dihalaman seperti... seperti... kelinci pincang. Ibu : (Pada tukang warung) Kau tahu. . . Tukang warung : (Ketawa kecil) Banyak tahu. . . Ibu : (Tenang) Tentu kau tahu akan dapat bagian dari nasib baik itu. Tukang warung : (Gembira) Aku akan dapat bagianku. Aku bilang padanya. Kita semua dapat sedikit-sedikit. Hari ini hari besar. (Menunjuk ke kamar orang asing) Orangnya tentu disana, barangkali. (Ibu mengangguk) Capek tentunya. (Ketawa) Ibu, sesudah diam sebentar meninggalkan ayah. Ibu : Jadi, dia sudah cerita? Kau lihat dia juga? Tukang warung : Ya, saya lihat. Sampai di desa dia masuk warungku. Aku takkan pernah kenal dia, jika dia tak kenal aku dulu. Sesudah sepuluh tahun! Kami minum tuak bersama-sama. Dia ceritakan leluconnya. Aku yang pertama-tama akan kasih selamat pada mereka besok pagi. Sebab jarang orang ketemu anaknya kembali, setelah anaknya minggat. Ayahmu senang punya anak laki-laki lagi kataku. (Pause) Anak melambai-lambai dengan gelasnya, bicara berahasia. Anak : Pak ada yang mesti aku kerjakan. (Jatuh ditanah dan terhuyung-huyung karena mabuk) Ibu : (Tak sadar) Anak, anak laki-laki. (Bersandar pada meja, gadis berdiri membantu) Tukang warung : (Ketawa gelak) Semua sampai hampir semaput mendengar. Dia bilang padaku. Akan kulakukan begini. Akan aku ketuk pintu dan aku bilang aku orang kaya yang kesasar dihutan dan perlu penginapan. Aku akan perlihatkan uangku. Aku akan perhatikan muka mereka. Dan esok harinya aku akan bilang, lihat inilah anakmu yang telah meninggal dan yang telah kembali. Sangat gembira nampaknya. Kau takkkan bisa simpan rahasiamu semalam-malaman kataku. Dan rupanya memang tak bisa. Aku tak bisa simpan

Ibu Gadis Tukang warung Gadis Ibu Tukang warung Ayah Gadis Tukang warung Gadis Tukang warung Ayah Ibu Tukang warung Anak Tukang warung Gadis Ayah Gadis

rahasia itu. Akulah yang pertama-tama akan kasih selamat pada mereka besok pagi kataku. Biarlah sekarang aku kasih selamt kamu semua. (Minum dari gelas) (Pause) : (Menunduk melihat kearah meja) : Paman kenal dia? : (Keras) Ya, tentu! Waktu dia cerita tentang masa lampau. Kenapa kalian memandang seperti itu. Apakah dia tak datang kemati? : Dia datang. : Ia berteriak IBU. (Lalu duduk) : Tentu dia akan berbuat sesuatu. : (Jalan tiba-tiba) Sesuatu telah terjadi. (Ibu tiba-tiba berteriak) : Berhenti, ibu! : Ada apa ini, apa yang telah kalian lakukan? (Tukang warung dan anaknya mundur) Kenapa kau memandang seperti itu? Apakah dia tidak menceritakan bahwa dia anakmu? : Tidak! : Apa yang telah kalian lakukan? Di mana dia sekarang? : Jangan ada suara! : Dia berteriak IBU. Kau terus saja memukulnya! : Apa yang kalian telah lakukan? Kalian telah... (Tukang warung memandang, terus mundur mau pergi) : (Melihat Gadis) Lihat di tangannya, Ayah! : Kau telah... (Berlari) : Berhenti! ibu! : Tenang-tenang, jangan ribut. (Jatuh) : Mereka akan memasukkan saya ke dalam penjara.

Anda mungkin juga menyukai