Anda di halaman 1dari 52

UNIVERSITAS INDONESIA

TUGAS AKHIR MATA KULIAH MANAJEMEN PELAYANAN KEPERAWATAN

Judul:
UPAYA PENINGKATAN MUTU PELAYANAN DALAM PENANGANAN PATIENT SAFETY DI RUANG STROKE RUMAH SAKIT UMUM P

Dosen : Hanny Handayani, Skp, M.Kep

Makalah ini disusun oleh: Christina Anugrahini Diah Arruum Ernawati NPM: 0806446044 NPM: 0806446095 NPM: 0806446233

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN 2008

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Mutu pelayanan di rumah sakit pada saat ini masih belum memadai. Mutu

merupakan gambaran total sifat dari suatu jasa pelayanan yang berhubungan dengan kemampuannya untuk memberikan kebutuhan kepuasan. Mutu dalam pelayanan di rumah sakit berguna untuk mengurangi tingkat kecacatan atau kesalahan (Wijono, 1999). Keselamatan (safety) telah menjadi isu global termasuk juga untuk rumah sakit. Keselamatan pasien merupakan prioritas utama untuk dilaksanakan di rumah sakit dan hal itu terkait dengan isu mutu dan citra rumah sakit. Sejak awal tahun 1900 Institusi rumah sakit selalu meningkatkan mutu pada tiga elemen yaitu struktur, proses, dan outcome dengan berbagai macam program regulasi yang berwenang misalnya antara lain penerapan Standar Pelayanan Rumah Sakit, ISO, Indikator Klinis dan lain sebagainya. Namun harus diakui, pada pelayanan yang berkualitas masih terjadi Kejadian Tidak Diduga (KTD) (Dep Kes R.I 2006). Keselamatan pasien adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi assament risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan pasien koma, pelaporan dan analisis accident, kemampuan belajar dari accident dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko (Dep Kes R.I, 2006). Rumah Sakit Umum P merupakan rumah sakit rujukan seluruh Kalimantan Barat dengan tipe B. Rumah Sakit ini terdiri dari tiga instalasi yaitu, instalasi rawat jalan, instalasi rawat inap, dan instalasi rawat khusus (ICU, ICCU, HD, OK, VK partus kamar bersalin). Instalasi rawat inap membawahi 16 ruangan, dengan kapasitas tempat tidur berjumlah 450. Jumlah perawat 364 orang. Data yang didapat dari rumah sakit umum P bahwa mutu pelayanan dirumah sakit tersebut sejak 2 tahun belakangan ini mulai mengalami kemunduran dalam hal keselamatan pasien yang dikarenakan sekitar 40% ketidakpuasan pasien terhadap mutu

pelayanan di rumah sakit tersebut. Indikator terjadinya ketidakpuasan tersebut jika dikaitkan dengan keselamatan pasien diantaranya didapatkan data kesalahan dalam prosedur pemberian obat; 22,4 %, angka kejadian cidera 34,5 %, Selain itu data yang ditemukan pada tahun 2007 rata-rata BOR di ruang Stroke: 65 %. Pada bulan Januari Juni 2008 menurun menjadi 58% (Rekam Medik RS P). Di sisi lain terdapat RS yang telah menjadi pusat percontohan untuk penanganan patient safety, yaitu RS.J. Rumah Sakit ini sudah mendapatkan akreditasi baik International Sandart Organization (ISO) terakhir tanggal 20 sampai dengan 21 2008 dan maupun melalui akreditasi yang diterima dari The Joint Commission International (JCI) Amerika Serikat pada bulan Febuari 2008, akreditasi JCI merupakan penghargaan akreditasi rumah sakit terkemuka di dunia yang bertaraf internasional. Penilaian terhadap RS.J dilakukan dengan standar yang sama dengan rumah sakit bertaraf internasional lainnya. Pada permasalahan di atas maka penulis tertarik untuk mengambil judul Upaya Peningkatan Mutu Pelayanan dalam Penanganan Patient Safety di Ruang Stroke RS. P B. Tujuan: 1. Tujuan Umum: mengetahui gambaran upaya peningkatan mutu pelayanan dalam penanganan Patient Safety di ruang Stroke RS. P. 2. Tujuan Khusus: a. Mengidentifikasi indikator mutu pelayanan di ruang stroke RS. P. b. Mengidentifikasi indikator keselamatan pasien (patient safety) di ruang Stroke RS. P C. Manfaat: 1. Bagi Akademik : Makalah tentang upaya mutu pelayanan dalam penanganan patient safety diharapkan dapat menambah informasi bagi akademik bahwa patient safety masih banyak terjadi di rumah sakit dan perlu menjadi perhatian bagi mahasiswa dalam penanganan patient safety.

2.

Bagi Pelayanan Keperawatan: Makalah ini diharapkan dapat memberi masukan dan menjadi perhatian bagi petugas kesehatan bahwa menjamin keselamatan pasien merupakan hal yang sangat penting, perlu adanya Standar Pelayanan terhadap Patient Safety. Dengan meningkatnya mutu pelayanan di rumah sakit akan dapat meningkatkan kepuasan bagi pasien.

3.

Bagi Penulis: Makalah ini diharapkan dapat menambah informasi bagi penulis sendiri dan dapat menjadi tanggung jawab bersama sebagai mahasiswa keperawatan dalam meningkatkan mutu pelayanan dengan patient safety baik di rumah sakit pemerintah maupun swasta.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. MUTU PELAYANAN 1. Mutu Pelayanan 1.1 Pengertian Mutu merupakan sesuatu yang harus dikerjakan dengan baik oleh penyedia jasa atau pelayanan (Tomey, 2006). Aplikasi mutu sebagai suatu sifat dari penampilan produk atau kinerja yang merupakan bagian utama strategi perusahaan dalam rangka meraih keunggulan yan g berkesinambungan, baik sebagai pemimpin pasar atau pun sebagai strategi untuk terus tumbuh. Keunggulan suatu produk jasa atau pelayanan adalah tergantung dari keunikan jasa tersebut, apakah sudah sesuai dengan harapan keinginan pelanggan (Supranto, 2001). Mutu adalah penentuan pelanggan, bukan ketetapan insinyur, pasar atau ketetapan manajemen. Ia berdasarkan atas pengalaman nyata pelanggan terhadap produk dan jasa pelayanan, mengukurnya, mengharapkannya, dijanjikan atau tidak, sadar atau hanya dirasakan, operasional teknik atau subyektif sama sekali dan selalu menggambarkan target yang bergerak dalam pasar yang kompetitif (Wijono, 1999) Jadi mutu merupakan suatu produk yang diberikan kepada pelanggan untuk memberikan kepuasan akan kebutuhan dalam pelayanan jasa yang diberikan kepada pelanggan, dengan menjamin kualitas pelayanan yang berkesinambungan, efektif dan efisien serta tanggap terhadap adanya indikator yang menyebabkan ketidakpuasan. Manajemen Mutu menurut J.M Juran dan Wijono, 1999 bahwa mutu yang lebih tinggi memungkinkan untuk mengurangi tingkat kesalahan, mengurangi pekerjaan ulang, mengurangi kegagalan di lapangan, mengurangi ketidakpuasan pelanggan, mengurangi keharusan memeriksa dan menguji, meningkatkan hasil kapasitas, memberikan dampak utama pada biaya, dan biasanya mutu pebih tinggi biaya lebih sedikit

1.2 Dimensi Mutu Pelayanan Kesehatan Lori Di Prete Brown, et. al dalam Wijono, 1999, menjelaskan bahwa kegiatan menjaga mutu dapat menyangkut dalam beberapa dimensi: - Kompetensi teknis, yang terkait dengan keterampilan, kemampuan dan penampilan petugas. Kompetensi teknis berhubungan dengan standar pelayanan yang telah ditetapkan. Kompetensi teknis yang tidak sesuai standar dapat merugikan pasien. - Akses terhadap pelayanan kesehatan tidak terhalang oleh keadaan geografis, sosial dan ekonomi, budaya atau hambatan bahasa. - Efektifitas, kualitas pelayanan kesehatan tergantung dari efektifitas pelayanan kesehatan dan petunjuk klinis sesuai standar yang ada. - Hubungan antar manusia, berkaitan dengan interaksi antara petugas kesehatan dan pasien, manajer, petugas serta antar tim kesehatan. Hubungan antar manusia yang baik menanamkan kepercayaan dan kredibilitas dengan cara menghargai, menjaga rahasia, menghormati, responsif , dan memberikan perhatian. - Efisiensi, pelayanan kesehatan dapat dipengaruhi oleh efisiensi sumber daya pelayanan kesehatan. Pelayanan yang efisien akan memberikan perhatian yang optimal daripada memaksimalkan pelayanan pasien dan masyarakat. - Kelangsungan pelayanan, klien menerima pelayanan yang lengkap sesuai yang dibutuhkan. Klien hendaknya mempunyai terhadap pelayanan rutin dan preventif. - Keamanan dan kenyamanan klien, mengurangi risiko cidera, infeksi, efek samping, atau bahaya lain yang berkaitan dengan pelayanan. Keamanan pelayanan melibatkan petugas dan pasien. Keramahan/kenikmatan (Amenietis) berkaitan dengan pelayanan kesehatan yang tidak berhubungan langsung dengan efektifitas klinik tetapi dapat mempengaruhi kepuasan pasien dan bersedia untuk kembali ke fasilitas kesehatan untuk memperoleh pelayanan berikutnya. Dimensi mutu yang lain menurut Dep Kes 2006, yaitu keprofesian, efisiensi, keamanan pasien, kepuasan pasien, aspek sosial budaya.

1. 3. Pendekatan Sistem dalam Menjaga Mutu Mutu pelayanan rumah sakit perlu untuk ditingkatkan dengan pendekatan sistem, menurut Donabedian dalam Wijono, 1999 bahwa penilaian mutu terbagi atas input/struktur, proses, dan outcome. Struktur meliputi peralatan dan sarana fisik, keuangan, organisasi dan ,sumber daya kesehatan lainnya. Baik tidaknya struktur sebagai input dapat diukur dari : jumlah besarnya input, mutu struktur atau mutu input, besarnya anggaran atau biaya, kewajaran. Proses merupakan kegiatan yang dilaksanakan secara professional oleh tenaga kesehatan. Proses mencakup diagnosa, rencana pengobatan, indikasi tindakan, prosedur dan penanganan kasus. Sedangkan outcome adalah hasil akhir kegiatan dan tindakan tenaga kesehatan professional terhadap pasien. Penilaian terhadap outcome merupakan evaluasi hasil akhir dari kesehatan atau kepuasan pelanggan (Wijono, 1999). Penilaian mutu menurut Dep Kes R.I, 2006 terdiri dari struktur, proses, dan

outcome. Struktur adalah sumber daya manusia, sumber daya fisik, sumber daya keuangan, dan sumber daya pada fasilitas pelayanan kesehatan, Proses adalah kegiatan yang dilakukan dokter dan tenaga profesi lain terhadap pasien, evaluasi, diagnosa keperawatan, konseling, pengobatan, tindakan dan penanganan pasien secara efektif dan bermutu. Outcome adalah kegiatan dan tindakan dokter dan tenaga profesi lain terhadap pasien dalam arti perubahan derajat keseahtan dan kepuasan pelanggan. 1.4. Mengukur Mutu Pelayanan Kesehatan Murtu pelayanan kesehatan perlu dilakukan pengukuran, dengan cara mengetahui tentang pengertian indikator, kriteria, dan standar. Indikator adalah petunjuk atau tolak ukur. Indikator mutu asuhan kesehatan atau pelayanan kesehatan dapat mengacu pada indikator yang relevan berkaitan dengan struktur, proses, dan outcomes. Indikator terdiri dari indikator proses, indikator outcome. Indikator proses memberikan petunjuk tentang pelaksanaan kegiatan pelayanan kesehatan, prosedur asuhan yang ditempuh oleh tenaga kesehatan dalam menjalankan tugasnya. Indikator outcomes merupakan indikator hasil daripada keadaan sebelumnya, yaitu Input dan Proses seperti BOR, LOS, dan Indikator klinis lain seperti : Angka

Kesembuhan Penyakit, Angka Kematian 48 jam, Angka Infeksi Nosokomial, Komplikasi Perawatan , dan sebagainya. Indikator dispesifikasikan dalam berbagai kriteria. Untuk pelayanan kesehatan, kriteria ini adalah fenomena yang dapat dihitung. Selanjutnya setelah kriteria ditentukan dibuat standar-standar yang eksak dan dapat dihitung kuantitatif, yang biasanya mencakup hal-hal yang standar baik (Wijono, 1999). Prinsip dasar upaya peningkatan mutu pelayanan yang dapat mengukur mutu

pelayanan kesehatan menurut Dep Kes 2006 yaitu melalui indikator, kriteria, dan standar. Indikator adalah ukuran atau cara mengukur sehingga menunjukkan suatu indikasi. Indikator merupakan suatu variabel yang digunakan untuk dapat melihat perubahan. Kriteria adalah spesifikasi dari indikator. Standar adalah tingkatan performance atau keadaan yang dapat diterima oleh seseorang yang berwenang an dan merupakan suatu norma atau persetujuan mengenai keadaan atau prestasi yang sangat baik. Indikator mutu yang mengacu pada keselamatan pasien diantaranya pasien terjatuh dari tempat tidur, pasien diberi obat salah, tidak ada obat/alat emergensi, tidak ada oksigen, tidakada alat penyedot lendir, tidak tersedia alat pemadam kebakaran, dan pemakaian obat (Muninjaya, 1999).

B. KEJADIAN TIDAK DIHARAPKAN (KTD) (Adverse Event) Pengertian: Suatu kejadian yang mengakibatkan cedera yang tidak diharapkan pada pasien karena suatu tindakan (commision) atau karena tidak bertindak (ommision), dan bukan karena underlying disease atau kondisi pasien (KKP-RS). KTD yang tidak dapat dicegah (unpreventable adverse event): - suatu KTD akibat komplikasi yang tidak dapat dicegah dengan pengetahuan yang mutakhir (KKP-RS). Masalah KTD bisa terjadi dikarenakan (AHRQ Publication No.04-RG005, Agency for Healthcare Research and Quality December 2003):

Masalah komunikasi. Penyebab yang paling umum terjadi medical errors. Kegagalan komunikasi: verbal/tertulis, miskomunikasi antar staf, antar shif, informasi tidak didokumentasikan dengan baik / hilang, masalah-masalah komunikasi: tim layanan kesehatan di 1 lokasi, antar berbagai lokasi, antar tim layanan dengan pekerja non klinis, dan antar staf dengan pasien. Arus informasi yang tidak adekuat. Ketersediaan informasi yang kritis saat akan merumuskan keputusan penting, komunikasi tepat waktu dan dapat diandalkan saat pemberian hasil pemeriksaan yang kritis, koordinasi instruksi obat saat transfer antara unit, informasi penting tidak disertakan saat pasien ditransfer ke unit lain / dirujuk ke RS lain. Masalah SDM. Gagal mengikuti kebijakan, SOP dan proses-proses, dokumentasi suboptimal dan labeling spesimen yang buruk, kesalahan berbasis pengetahuan, staf tidak punya pengetahuan yang adekuat, untuk setiap pasien pada saat diperlukan Hal-hal yang berhubungan dengan pasien . Idenifikasi pasien yang tidak tepat, asesmen pasien yang tidak lengkap, kegagalan memperoleh consent, pendidikan pasien yang tidak adekuat Transfer pengetahuan di rumah sakit . Kekurangan pada orientasi atau training, tingkat pengetahuan staf untuk jalankan tugasnya, transfer pengetahuan di RS pendidikan Pola SDM / alur kerja. Para dokter, perawat,, dan staf lain sibuk karena SDM tidak memadai, pengawasan / Supervisi yang tidak adekuat Kegagalan-kegagalan teknis. Kegagalan alat / perlengkapan: pompa infus, monitor. Komplikasi / kegagalan implants atau grafts. Instruksi tidak adekuat, peralatan dirancang secara buruk bisa sebabkan pasien cidera. Kegagalan alat tidak teridentifikasi secara tepat sebagai dasar cideranya pasien, dan diasumsikan staf yang buat salah. RCA yang lengkap, sering tampilkan kegagalan teknis, yang mula-mula tidak tampak, terjadi pada suatu KTD

Kebijakan dan prosedur yang tidak adekuat . Pedoman cara pelayanan dapat merupakan faktor penentu terjadinya banyak medical errors. Kegagalan dalam proses layanan dapat ditelusuri sebabnya pada buruknya dokumentasi, bahkan tidak ada pencatatan, atau SOP klinis yang adekuat

C. PASIENT SAFETY Pengertian: Keselamatan pasien (patient safety) rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi asesmen resiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko. Sistem tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya cedera yan disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan. (Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah sakit, Depkes R.I. 2006)

Setiap tahun menetapkan National Patient Safety Goals (sejak 2002), Juli 2003: Menerbitkan Pedoman The Universal Protocol for Preventing Wrong Site, Wrong Procedure, Wrong Person Surgery, Maret 2005 mendirikan International Center for Patient Safety. (JCAHO (Joint Comm. On Accreditation for Healthcare organization USA) WHO Health Assembly ke 55 Mei 2002 menetapkan resolusi yang mendorong (urge) Negara untuk memberikan perhatian kepada problem Patient Safety meningkatkan keselamatan dan system monitoring. Oktober 2004 WHO dan berbagai lembaga mendirikan World Alliance for Patient Safety dengan tujuan mengangkat Patient Safety Goal First do no harm dan menurunkan morbiditas, cidera dan kematian yang diderita pasien. (WHO: World Alliance for Patient Safety, Forward Programme, 2004)

10

Enam tujuan penanganan patient safety menurut (Joint Commission International): mengidentifikasi pasien dengan benar, meningkatkan komunikasi secara efektif, meningkatkan keamanan dari high-alert medications, memastikan benar tempat, benar prosedur, dan benar pembedahan pasien, mengurangi resiko infeksi dari pekerja kesehatan, mengurangi resiko terjadinya kesalahan yang lebih buruk pada pasien Salah satu penyebab utama kesalahan yang tidak dapat dihindarkan oleh pasien dalam organisasi perawatan kesehatan adalah kesalahan pengobatan. Pengobatan dengan risiko yang paling tinggi yang menyebakan luka melalui pnyalahgunaan (meliputi kemoterapi, konsentrasi cairan elektrolit, heparin, IV digoxin, dan adrenergic agonists) adalah dkenal sebagai high-alert drugs. Namun mungkin kesalahan atau mungkin tidak menjadi lebih banyak dengan obat-obatan tersebut dibandingkan obat yang lainnya, mungkin berhubungan dapat juga lebih menghancurkan atau memperburuk.

MENINGKATKAN KEAMANAN PADA HIGH-ALERT MEDICATIONS Pada tahun 1999, sekitar 160 organisasi perawat kesehatan melalui United Statesbased Institute for Safe Medication Practices (ISMP), lima pengobatan yang sering terjadi dan hasil yang salah dalam kematian atau masalah yang serius yang mana adalah Insulin, Opiates and narcotics, Injectable potassium chloride/phosphate concentrate, Intravenous anticoagulants (heparin) dan sodium chloride solutions diatas 0.9 %. Obat-obatan adalah salah satu bagian yang terpenting dalam penanganan pada pasien. Management dengan benar untuk memastikan dalam pasien safety. Seperti, potassium chloride (2 mEq/ml atau konsentrasi yang lebih), pothasium phosphate, Sodium chloride (0,9%) atau dengan konsentrasi lebih), dan magnesium sulfate (50% atau konsentrasi lebih). Kesalahan ini dapat juga muncul ketika angota staff tidak engan benar mengorientasikan ke unit perawatan pasien, ketika perawat kontrak dan digunakan dan tidak berorientasi dengan benar, atau selama keadaan gawat darurat.

11

High Allert Medication High Allert Medication adalah Obat-obatan yang menyebabkan resiko tinggi memperburuk pasien ketika diberikan kesalahan dalam pengobatan. Namun kesalahan mungkin atau tidak mungkin lebih banyak dengan obat-obatan ini. (JCI, 2007) PERENCANAAN PROAKTIF UNTUKMENGURANGI FAKTOR RESIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN HIGH-ALERT MEDICATIONS Tipe obat Insulin Faktor Resiko Umum Rencana Proaktif Tidak ada system cek Menetapkan sistem dosis pengecekan yang mana satu perawat membuat botol-botol insulin dan preparat dosis dan perawat heparin dicampur dan lainnya melakukan review dijaga dalam kedekatan terhadapnya. tertutup satu sama Menyimpan insulin dan lainnya pada unit keperawatan. heparin tidak berdekatan. untuk unit-unit dalam Melakukan ejaan untuk order. (dapat setiap unit lebih baik dibingungkan dengan O, daripada menyingkatnya mudah overdosis 10x Menetapkan sebuah sistem lipat). pengecekan yang Angka kesalahan terjadi independen untuk angka ke dalam cairan infus pompa infuse dan pengaturan konsentrasi. Opiates dan Membatasi ketersediaan Faktor resiko umum opium dan narkotik dalam narkotik stok dasar. Narkotik parenteral Mengajarkan para staff disimpan sebagai stok dasar di area tentang kemungkinan keperawatan. pencampuran hydromorphone dan Hydromorphine morphine. dibingungkan dengan Menyediakan Protocol morphine peralatan PCA untuk dua Patient-controled kali cek obat, pengaturan analgesia (PCA) pompa, dan dosis. mengacaukan konsentrasi. Penyuntikan Menyimpan concentrated Memindahakan potassium potassium potassium chloride/phosphate dari stok chloride/phosp chloride/phosphate di dasar. hate luar farmasi. Memindahakan preparasi obat concentrate Mencampur tanpa dan gunakan pra campuran persiapan dari potassium komersial dari IV. chloride/phosphate Menetapkan standard an batasi 12

Antikoagulan Intravena / Heparin

Reguests for concentrations

unusual

konsentrasi obat.

Sodium chlorine solutions atas 0.9%

di

Factor resiko umum Konsentrasi dan total volume tidak terlabel dengan jelas. Botol multidosis botol-botol insulin dan heparin dicampur dan dijaga dalam kedekatan tertutup satu sama lainnya pada unit keperawatan. menyimpan sodium chloride solution di atas 0.9 % di atas nursing unit. Tersedianya banyak konsentrasi/formula Tidak ada sistem pengecekan dua kali.

Menetapkan standar konsentrasi dan menggunakan premixed solutions Menggunakan botol singledosis Memisahkan heparin dan insulin: pindahkan heparin dari top of medication carts

Membatasi jalan masuk sodium chloride solutions di atas 0.9%: pindahkan solutions ini dari nursing unit. Membuat satandar dan batasan obat dan konsentrasi. Menyediakan protokol peralatan untuk doublecheck angka pompa obat, konsentrasi, dan garis tambahan. (Joint Commission International, 2007).

Pada staf pendidik dapat dicegah Look-Alike, Sound Alike Errors Mengajarkan staf untuk mencegah bunyi kedengarannya sama tetapi berbeda dengan menggunakan: 1. Menuliskan dengan benar dan mengucapkan ketika mengkomunikasikan informasi dalam pengobatan. Buat pendengar tersebut mengulang kembali pengobatan tersebut untuk meyakinkan mereka mengerti dengan benar. 2. Mengingatkan merek tersebut dan nama obat generik yang biasa diucapakan dan seperti terlihat. 3. Memperhatikan potensial untuk kesalahan kesalahan pembagian ketika menambahkan obat 4. Kelompokkan obat dengan kategori daripada dengan alpabet.

13

5. Mengingatkan menempatkan dalam sistem komputer dan diatas label pada tempat pengobatan untuk tanda dokter, perawat, dan farmasi pada masalah yang potensial. 6. Meliputi indikasi pada pengobatan dalam menolong farmasi mengidentifikasi masalah potensial. 7. Melakukan check tempat atau label pengobatan selain label pasien sebelum memberikan dosis kepada pasien. (Joint Commission International,2007) ENAM TAHAPAN UNTUK MNGAMBIL KEPUTUSAN DALAM PEMBERIAN PENGOBATAN ADALAH: (1). Membuat diagnosa yang benar, (2). Mengerti patofisiologi pada penyakit tersebut, review pilihan menu dari farmakoteraphy, (3). Teliti pasien obat dan dosis yang benar, (4). Memilih poin poin akhir atau bagian untuk mengikuti, (5). Memelihara hubungan terapeutik dg pasien. (Melmon and Morellis Clinical Pharmacology, 2000) TINDAKAN ENAM TEPAT DALAM PEMBERIAN OBAT 1. Tepat Obat : mengecek program terapi pengobatan dari dokter, menanyakan ada tidaknya alergi obat, menanyakan keluhan pasien sebelum dan setelah memberikan obat, mengecek label obat, mengetahui reaksi obat, mengetahui efek samping obat, hanya memberikan obat yang didiapkan diri sendiri. 2. Tepat dosis : mengecek program terapi pengobatan dari dokter, mengecek hasil hitungan dosis dengan dengan perawat lain, mencampur/mengoplos obat. 3. Tepat waktu : mengecek program terapi pengobatan dari dokter, mengecek tanggal kadarluarsa obat, memberikan obat dalam rentang 30 menit. 4. Tepat pasien : mengecek program terapi pengobatan dari dokter, memanggil nama pasien yang akan diberikan obat, mengecek identitas pasien pada papan/kardeks di tempat tidur pasien 5. Tepat cara pemberian : mengecek program terapi pengobatan dari dokter, mengecek cara pemberian pada label/kemasan obat. 6. Tepat dokumentasi : mengecek program terapi pengobatan dari dokter, mencatat nama pasien, nama obat, dosis, cara, dan waktu pemberian obat (Kozier, B. Erb, G. & Blais, K. (1997).

14

PENANGANAN PASIEN CIDERA a. Definisi Jatuh Jatuh merupakan pengalaman pasien yang tidak direncanakan untuk terjadinya jatuh, suatu kejadian yang tidak disengaja pada seseorang pada saat istirahat yan gdapat dilihat/dirasakan atau kejadian jatuh yang tidak dapat dilihat karena suatu kondisi adanya penyakit seperti stroke, pingsan, dan lainnya. b. Beberapa hal untuk mencegah terjadinya jatuh Obat-obatan: perawat melihat efek samping obat yang memungkinkan terjadinya jatuh Penglihatan menurun: perawat dapat tetap menjaga daerah yang dapat menyebabkan jatuh, menggunakan kaca mata, sehingga pasien dapat berjalan sendiri misalnya pada malam hari. Perubahan status mental: perawat tanggap terhadap perubahan perilaku pasien Meletakkan sepatu dan tali sepatu pada tempatnya: perawat mengecek seluruh daerah yang dapat menyebabkan jatuh (misal sepatu atau tali sepatu yang tidak pada tempatnya). Jatuh di lantai: perawat mengecek penyebab sering terjadinya jatuh. Terlalu banyak furniture, daerah yang gelap, dan sedikit hidarasi (perawat menganjurkan untuk minum 6-8 gelas per hari). (Joint Commission International, 2007) c. Mengidentifikasi resiko jatuh Di Josephs hospital dan medical center sejak tahun 2001 sudah mengidentifikasi resiko terjadinya jatuh (misalnya pada pasien acute). Manajer mengidentifikasi kondisi medis, oabt-obatan, status mental, lingkungan, kemampuan beraktivitas, dan pola tidur pasien. Mengkaji kemungkinan terjadinya resiko jatuh adalah dengan cara meletakkan stiker berupa simbol senyuman (green smiling-face sticke)r yang ditempelkan di pintu pasien sebagai tanda/sinyal untuk kemungkinan terjadinya jatuh sehingga perawat dapat memonitor pasien dengan lebih dekat. Keluarga juga ikut dilibatkan dalam program ini. d. Mengklasifikasi resiko jatuh dengan cara: jatuh yang tidak disengaja, jatuh secara fisik yang tidak diantisipasi (misalnya, pingsan, serangan mendadak, dan lain-

15

lain), jatuh yang diantisipasi dapat diukur dengan menggunakan Morse Fall Scale (karakteristik pasien yang mesti diketahui seperti jatuh, lemah atau gangguan pada cara berjalan, menggunakan alat bantu berjalan, mengkaji intravena, atau gangguan status mental). e. Jatuh dapat dikarenakan faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik (jatuh yang pernah terjadi sebelumnya, menurunnya pandangan, sistem muskuloskeletal, status mental, penyakit akute. Faktor ekstrinsik (obat-obatan, bathtubs dan toilet, desain alat-alat furniture, tidak adekuatnya perlengkapan). Keamanan fisik (Biologic safety) merupakan keadaan fisik yang aman terbebas dari ancaman kecelakaan dan cidera (injury) baik secara mekanis, thermis, elektris maupun bakteriologis. Kebutuhan keamanan fisik merupakan kebutuhan untuk melindungi diri dari bahaya yang mengancam kesehatan fisik Mencegah terjadinya jatuh pada klien :orientasikan klien pada saat masuk rumah sakit dan jelaskan sistem komunikasi yang ada, hati-hati saat mengkaji klien dengan keterbatasan gerak, supervisi ketat pada awal klien dirawat terutama malam hari, anjurkan klien menggunakan bel bila membutuhkan bantuan, berikan alas kaki yang tidak licin, berikan pencahayaan yang adekuat, pasang pengaman tempat tidur terutama pada klien dengan penurunan kesadaran dan gangguan mobilitas, jaga lantai kamar mandi agar tidak licin (Potter and Perry, 1997). Penggunaan alat seperti restrains merupakan salah satu alat untuk immobilisasi pasien. Alat restrain dapat manual ataupun mekanik, alat ini berguna untuk memberikan batasan pada klien untuk bergerak secara bebas. Untuk menghindari jatuh dapat dimodifikasi dengan memodofikasi lingkungan yang dapat mengurangi cidera seperti memberi keamanan pada tempat tidur, toilet, dan bel. Jeruji (side rails) pada sisi tempat tidur juga dapat mencegah terjadi cidera pada klien. Said rails dapat meningkatkan mobilisasi klien dan stabilitas di tempat tidur pada saat klien akan bergerak dari tempat tidur ke kursi (Potter dan Perry, 1997). Program Keselamatan Pasien Rumah sakit sebagai Langkah Strategis Keselamatan Pasien Rumah Sakit- KPRS (Patient Safety) adalah suatu system dimana RS membuat asuhan pasien lebih aman. Hal ni termasuk: asesment risiko,

16

Identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, Peloporan dan analisis insiden, Kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko. Sistem ini mencegah terjadinya cidera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil. Tujuan sistem keselamatan pasien RS 1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di RS 2. Meningkatnya akuntabilitas RS terhadap pasien dan masyarakat 3. Menurunnya KTD di RS 4. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak trjadi pengulangan KTD (Buku Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah sakit, Depkes R.I. 2006) World Alliance for Patient Safety Program: Six areas of action for 2005 1. Tantangan Global Keselamatan Pasien Focusing over an initial two-year cycle on the challenge of health-care associated infection 2005-2006: Clean care associated infection: Clean Care is safer Care 2. Pasien untuk Keselamatan Pasien Involving patient organizations and individuals in Alliance work. 3. Taxonomy untuk Keselamatan Pasien Ensuring consistency in the concepts, principles, norms and terminology used in patient safety work 4. Riset untuk Keselamatan Pasien Promoting existing interventions in patient safety and coordinating international efforts to develop solutions. 5. Pelaporan dan Pembelajaran Generating best practice guidelines for existing and new reporting systems.

17

Programe: six areas of action (2005) 1. Speak up if you have guestions or concerns: its your right to know 2. Pay attention to the care you are receiving 3. Educate youself about your diagnosis, test and treatment 4. Ask a trusted family member or friend to be your advocate 5. Know what medications you take and why you take them 6. Use a health care provider that rigorously evaluates itself against safety standars 7. Participate in all decisions about your care (WHO: World Alliance for Patient safety, Forward Programme, 2004) Menurut Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah sakit (Depkes R.I. 2006) 1. Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit : 1. MEMBANGUN KESADARAN AKAN NILAI KP, menciptakan

kepemimpinan & budaya yg terbuka & adil. 2. MEMIMPIN DAN DUKUNG STAF ANDA, membangun komitmen & fokus yang kuat & jelas tentang KP di RS Anda 3. MENGINTEGRASIKAN AKTIVITAS PENGELOLAAN RISIKO, mengembangkan sistem & proses pengelolaan risiko, serta melakukan identifikasi & asesmen hal yang potensial bermasalah 4. MENGEMBANGKAN SISTEM PELAPORAN, memastikan staf 5. agar dgn mudah dapat melaporkan kejadian / insiden, serta RS mengatur pelaporan kpd KKP-RS. 6. MELIBATKAN DAN BERKOMUNIKASI DENGAN PASIEN, Mengembangkan cara-cara komunikasi yg terbuka dgn pasien 7. MELAKUKAN KEGIATAN BELAJAR & BERBAGI PENGALAMAN TENTANG KP, mendorong staf anda utk melakukan analisis akar masalah untuk belajar bagaimana & mengapa kejadian itu timbul 8. MENCEGAH CEDERA MELALUI IMPLEMENTASI SISTEM KP, Menggunakan informasi yang ada tentang kejadian / masalah untuk melakukan perubahan pada sistem pelayanan

18

7. Standar Keselamatan Pasien RS (KARS DepKes) 1. Hak pasien 2. Mendidik pasien dan keluarga 3. Keselamatan pasien dan asuhan berkesinambungan 4. Penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja, untuk melakukan evaluasi dan meningkatkan keselamatan pasien 5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien 6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien 7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien. (Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah sakit, Depkes R.I. 2006) Uraian tujuh standar tersebut diatas adalah sebagai berikut: Standar I. Hak pasien Standar: Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya Kejadian Tidak Diharapkan. Kriteria: Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan, dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana pelayanan, dokter penanggung jawab pelayanan wajib memberikan penjelasan secara jelas dan benar kepada pasien dan keluarganya tentang rencana dan hasil pelayanan, pengobatan atau prosedur untuk pasien termasuk kemungkinan terjadinya Kejadian Tidak Diharapkan. Standar II. Mendidik pasien dan keluarga Standar: RS harus mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien. Kriteria : Keselamatan dalam pemberian pelayanan dapat ditingkatkan dengan keterlibatan pasien yang merupakan partner dalam proses pelayanan. Karena itu, di RS harus ada sistem dan mekanisme mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan

19

tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien. Dengan pendidikan tersebut diharapkan pasien dan keluarga dapat : Memberikan informasi yang benar, jelas, lengkap dan jujur, mengetahui kewajiban dan tanggung jawab pasien dan keluarga, mengajukan pertanyaanpertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti, memahami dan menerima konsekuensi pelayanan, mematuhi instruksi dan menghormati peraturan RS, memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa dan emenuhi kewajiban finansial yang disepakati. Standar III. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan. Standar : RS menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan. Kriteria : Terdapat koordinasi pelayanan secara menyeluruh mulai dari saat pasien masuk, pemeriksaan, diagnosis, perencanaan pelayanan, tindakan pengobatan, rujukan dan saat pasien keluar dari RS, terdapat koordinasi pelayanan yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan kelayakan sumber daya secara berkesinambungan sehingga pada seluruh tahap pelayanan transisi antar unit pelayanan dapat berjalan baik dan lancar, terdapat koordinasi pelayanan yang mencakup peningkatan komunikasi untuk memfasilitasi dukungan keluarga, pelayanan keperawatan, pelayanan sosial, konsultasi dan rujukan, pelayanan kesehatan primer dan tindak lanjut lainnya, terdapat komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan sehingga dapat tercapainya proses koordinasi tanpa hambatan, aman dan efektif. Standar IV. Penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien. Standar : RS harus mendesain proses baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif Kejadian Tidak Diharapkan, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien. Kriteria : Setiap RS harus melakukan proses perancangan (desain) yang baik, mengacu pada visi, misi, dan tujuan RS, kebutuhan pasien, petugas pelayanan kesehatan, kaidah

20

klinis terkini, praktik bisnis yang sehat, dan faktor-faktor lain yang berpotensi risiko bagi pasien sesuai dengan "Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien RS", setiap RS harus melakukan pengumpulan data kinerja yang antara lain terkait dengan: pelaporan insiden, akreditasi, manajemen risiko, utilisasi, mutu pelayanan, keuangan, setiap RS harus melakukan evaluasi intensif terkait dengan semua Kejadian Tidak Diharapkan, dan secara proaktif melakukan evaluasi satu proses kasus risiko tinggi, setiap RS harus menggunakan semua data dan informasi hasil analisis untuk menentukan perubahan sistem yang diperlukan, agar kinerja dan keselamatan pasien terjamin. Standar V. Peran kepemimpina dalam meningkatkan keselamatan pasien Standar: Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan pasien secara terintegrasi dalam organsasi melalui penerapan Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah sakit, pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan pasien dan program menekan atau mengurangi kejadian tidak diharapkan, pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan oordinasi antar unit dan individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang keselamatan pasien, pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengukur, mengkaji, dan menigkatkan kinerja rumah sait serta meningkatkan keselamatan pasien dan pimpinan mengukur dan mengkaji efektifitas konribusinya dalam meningkatkan kinerja rumah sakit dan keselamatan pasien. Kriteria: Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan pasien, tersedia program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan dan program meminimalkan insiden, yang mencakup jenis-jenis kejadian yang memerlukan perhatian, mulai dari kejadian nyaris cedera (Near miss) sampai dengan Kejadian Tidak Diharapkan (Adverse event), Tersedia mekanisme kerja untuk menjmin bahwa semua komponen dari rumah sakit terintregrasi dan berpatisipasi dalam program keselamatan pasien, tersedia prosedure cepat tanggap terhadap insiden, termasuk asuhan kepada pasien yang terkena musibah, membatasi risiko pada orang lain dan penyampaian informasi yang benar dan jelas untuk keperluan analisis.

21

Standar VI: mencakup keterkaitan jabatan dengan keselamatan pasien secara jelas Standar: rumah sakit menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta mendukung pendekatan interdisiplin dalam pelayanan pasien. Kriteria: Setiap rumah sakit harus memiliki program pendidikan, pelatihan dan orientasi bagi staf baru yang memuat topik keselamatan pasien sesuai dengan tugasnya masingmasing, setiap rumah sakit harus megintregasikan topik keselamatan pasien dalam setiap kegiatan in-service training dan memberi pedoman yan jelas tentang pelaporan insiden dan setiap rumah sakit harus menyelenggarkan pelatihan tentang kerjasama kelompok (teamwork) guna mendukung pendekatan interdisiplin dan kolaboratif dalam rangka melayani pasien. Standar VII: Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien Standar: Rumah sakit merencanakan dan mendesain proses manajemen informasi keelamatan pasien untuk memenuhi kebutuhan informasi internal dan eksternal, transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat. Kriteria: Perlu disediakan anggaran untuk merencanakan dan mendesain proses manajemen untuk memperoleh data dan informasi tentang hal-hal terkait dengan keselamatan pasien, tesedia mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi untuk merevisi manajemen informasi yang ada. Indikator Patient Safety Indikator patient safety merupakan ukuran yang digunakan untuk mengetahui tingkat keselamatan pasien selama dirawat di rumah sakit. Indikator ini dapat digunakan bersama dengan data pasien rawat inap yang sudah diperbolehkan meninggalkan rumah sakit. Indikator patient safety bermanfaat untuk menggambarkan besarnya masalah yang dialami pasien selama dirawat di rumah sakit, khususnya yang berkaitan dengan berbagai tindakan medik yang berpotensi menimbulkan risiko di sisi pasien. Dengan mendasarkan pada IPS

22

ini maka rumah sakit dapat menetapkan upaya-upaya yang dapat mencegah timbulnya outcome klinik yang tidak diharapkan pada pasien. (Dwiprahasto, 2008). Secara umum IPS terdiri atas 2 jenis, yaitu IPS tingkat rumah sakit dan IPS tingkat area pelayanan. 1. Indikator tingkat rumah sakit (hospital level indicator) digunakan untuk mengukur potensi komplikasi yang sebenarnya dapat dicegah saat pasien mendapatkan berbagai tindakan medik di rumah sakit. Indikator ini hanya mencakup kasus-kasus yang merupakan diagnosis sekunder akibat terjadinya risiko pasca tindakan medik. 2. Indikator tingkat area mencakup semua risiko komplikasi akibat tindakan medik yang didokumentasikan di tingkat pelayanan setempat (kabupaten/kota). Indikator ini mencakup diagnosis utama maupun diagnosis sekunder untuk komplikasi akibat tindakan medik. Tujuan penggunaan Indikator Patient Safety Indikator patient safety (IPS) bermanfaat untuk mengidentifikasi area-area pelayanan yang memerlukan pengamatan dan perbaikan lebih lanjut, seperti misalnya untuk menunjukkan: 2. Adanya penurunan mutu pelayanan dari waktu ke waktu. 3. bahwa suatu area pelayanan ternyata tidak memenuhi standar klinik atau terapi sebagaimana yang diharapkan 4. tingginya variasi antar rumah sakit dan antar pemberi pelayanan 5. disparitas geografi antar unit-unit pelayanan kesehatan (pemerintah vs swasta atau urban vs rural). (Dwiprahasto, 2008).

Selain penjelasan diatas metode tim perlu menjadi strategi dalam penanganan patient safety karena metode tim merupakan metode pemberian asuhan keperawatan, yaitu seorang perawat professional memimpin sekelompok tenaga keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan pada sekelompok pasien melalui upaya kooperatif dan kolaboratif. (Sitorus, 2006). Pada metode ini juga memungkinkan pelayanan keperawatan yang menyeluruh. Adanya pemberian asuhan keperawatan terhadap sekelompok pasien.

23

(Nursalam, 2002). Jadi dengan pemberian asuhan keperawatan yang menyeluruh kepada pasien diharapkan keselamatan pasien dapat diperhatikan, sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan.

PENERAPAN PEDOMAN PENTING INTERNATIONAL PATIENT SAFETY GOALS (IPSG) Ada 6 sasaran penting dengan total 8 syarat (berdasarkan syarat yang ditetapkan di RS J): Target 1; Syarat 1 :Identifikasi Pasien secara Tepat. Target 2; Syarat 2 : Meningkatkan Komunikasi yang Efektif. Target 3;Syarat 3 : Meningkatkan Keamanan Penggunaan Obat yang, Membutuhkan Perhatian. Target 4; Syarat 4, 5, & 6 : Mengurangi Salah Lokasi, Salah Pasien dan Salah, Tindakan Operasi. Target 5; Syarat 7 : Mengurangi Risiko Infeksi. Target 6; Syarat 8 : Mengurangi risiko pasien cidera karena jatuh.

TARGET 1; SYARAT 1 Identifikasi Pasien secara Tepat: Tujuan dari sasaran ini adalah untuk mendapatkan identitifikasi yang setepatnya dari individu yang menerima perawatan tersebut. A: Menggunakan paling sedikit dua (2) cara untuk menilai pasien ketika memberikan obat, darah atau produk dari darah; mengambil contoh darah dan spesimen-spesimen lain untuk pengujian secara klinis. Nomor ruangan pasien tidak diperbolehkan untuk digunakan sebagai pengenalan pasien, sampel dan spesimen, yaitu: a) Nomor catatan medis pasien harus diperiksa b) Tanggal lahirnya pasien harus diperiksa ini harus dilakukan secara lisan atau mengenai pasien yang tidak sadar, harus ditunjukkan pada gelang nama pasien. pengenal yang digunakan untuk semua , pemeriksaan prosedur, pengantaran obat, pengambilan

24

B: Semua pasien yang diprosedur/dioperasi, akan diharuskan unutk memiliki 2 Gelang Nama pada salah satu diantara pergelangan tangan atau pergelangan kaki. TARGET 2; SYARAT 2 Meningkatkan komunikasi yang efektif: Komunikasi yg tidak efektif adalah hal yang paling sering disebutkan sebagai penyebab dalam kasus-kasus Sentinel. Komunikasi harus tepat pada waktunya, akurat, komplit, tidak rancu dan dimengerti oleh sang penerima. Penelitian juga menunjukan bahwa penundaan dalam menanggapi hasil yang penting dapat mempengaruhi secara negatif hasil akhir pasien. Menerapkan sebuah proses/prosedur untuk perintah yang disampaikan melalui telepon (lisan), atau penyampaian hasil uji klinis penting, yang harus diverifikasi dengan mengulang selengkapnya perintah atau pun hasil uji klinis yang diterima, yang harus dilakukan oleh orang yang menerima informasi tersebut. RS J harus mengembangkan dan mensosialisasikan sebuah sistem dimana semua perintah maupun hasil uji yang diterima harus diverifikasi atau dibacakan ulang kepada pihak yang memberi perintah atau hasil uji klinis tersebut. Termasuk pula proses dokumentasi dam penanda-tanganan sebagai bentuk konfirmasi atas perintah/hasil uji yang diterima.

TARGET 3; SYARAT 3 Meningkatkan Keamanan Penggunaan Obat yang, membutuhkan perhatian: manajamen obatobatan yang tepat merupakan faktor penting dalam menjamin keselamatan pasien: Memindahkan semua konsentrat elektrolit (termasuk potasium klorida, potasium fosfat, sodium korida > 0.9%, dan tidak terbatas hanya itu semua) dari semua ruang perawatan pasien. Di RS J, potasium banyak disimpan di berbagai area klinik. Penelitian di seluruh dunia telah menunjukkan bahwa tindakan ini menempatkan pasien dalam bahaya. Dengan adanya departemen obat-obatan yang buka 24 jam pada semua RS J pemindahan obat-obatan tersebut tidak akan mempengaruhi jalannya penanganan pasien.

25

TARGET 4; SYARAT 4, 5 & 6 Mengurangi Salah lokasi, Salah Pasien dan Salah Tindakan Operasi: Tujuan dari target ini adalah untuk SELALU mengenali Tepat lokasi, Tepat pasien dan Tepat tindakan. Syarat 4 Melakukan time out tepat sebelum memulai sebuah operasi, untuk memastikan pasien, prosedur dan bagian tubuh yang akan dioperasi adalah tepat. Pada setiap RS J pengecekan langkah- langkah pada setiap operasi atau tindakan sudah digunakan. Tetapi konsep time out akan menjadi hal baru bagi banyak staf medis di organisasi ini. Time out ini harus berupa pengecekan aktif (secara lisan), dilakukan di tempat dimana tindakan itu akan dilakukan dan melibatkan semua anggota tim dari operasi/ prosedur, termasuk pula dari pasien, bila memungkinkan. RS J menerapkan proses ini dalam rangka memperoleh akreditasi dari JCI. Bukan, merupakan hal mudah untuk dijalankan, dan tentunya akan dibutuhkan revisi dokumen implementasi proses dan pendidikan untuk para staf, serta tak lupa, dukungan dari semua staf. Diharapkan, dengan berjalannya waktu, proses time out akan menjadi tindakan rutin di RS J. Syarat 5 Membuat suatu proses atau checklist untuk memeriksa semua dokumen dan peralatan yang diperlukan untuk operasi siap digunakan dan berfungsi dengan baik sebelum operasi dimulai. Di setiap Siloam Hospitals, penggunaan checklist sebelum operasi atau tindakan telah dilakukan. Untuk memenuhi kualifikasi di atas, bisa saja dibutuhkan revisi untuk memasukkan aspek-aspek penting dalam checklist. Syarat 6 Berikan tanda pada bagian yang tepat dimana operasi akan dilakukan. Gunakan tanda yang dapat dipahami dengan jelas dan libatkan pasien dalam melakukan hal ini. Ini adalah konsep baru di RS J. Pemberian tanda diharuskan untuk semua prosedur yang meliputi:

26

- Perbedaan kanan dan kiri - Struktur Multipel (contoh: jari-jari tangan & kaki) - Tingkat-tingkat (contoh: tulang belakang) Pemberiaan tanda tidak diperlukan bila ada luka/lesi yang jelas dimana, luka/lesi tersebut menjadi bagian yang akan ditindak. Prosedur dental dikecualikan dari proses iniwalaupun dental x-ray harus diberi penandaan. Tanda harus jelas dan dimengerti oleh semua. Proses pemberian tanda harus terjadi sebelum memindahkan pasien ke lokasi dimana tindakan operasi akan dilakukan. Proses pemberian tanda adalah tanggung jawab dari dokter bedah atau asistennya. TARGET 5; SYARAT 7 Mengurangi Risiko Infeksi: Penelitian telah membuktikan bahwa melakukan petunjuk cuci tangan akan mengurangi transmisi infeksi dari staf ke pasien. Hal ini akan mengurangi insiden kesehatan yang berhubungan dengan infeksi. Mengikuti sesuai dengan petunjuk cuci tangan yang telah dipublikasikan dan diterima secara umum. Di RS J memiliki komitmen sepenuhnya untuk menyajikan praktek terbaik dalam Pedoman Infection Control. Untuk mendukung kegiatan mencuci tangan di wastafel dan penenempatan sabun cuci tangan, telah dan akan terus ditinjau ulang di seluruh rumah sakit. Edukasi dan auditing adalah bagian yang penting dalam menjaga tingkat kesadaran. Pedoman Infection Control akan terus ditinjau-ulang dan diperbaharui sesuai kebutuhan, dan pedoman manual akan tersedia di seluruh area klinik untuk mencapai hasil terbaik. TARGET 6; SYARAT 8 Mengurangi risiko pasien cidera karena jatuh: Jatuh menjadi salah satu bagian besar dari penyebab cideranya pasien yang sedang dirawat di rumah sakit. Di RS J akan menerapkan sistem dan proses yang menghasilkan pengkajian yang akurat dan berulang secara berkala pada setiap risiko jatuhnya pasien. Hal ini juga berhubungan dengan pengkajian ulang pola pemberian obat untuk pasien, dimana nomor dan tipe obat dapat menjadi penyebab langsung meningkatnya risiko pasien jatuh. Di RS J juga akan

27

menerapkan tindakan-tindakan preventif untuk mengurangi dan/ menghilangkan segala risiko yang telah teridentifikasi. Mengedukasi pasien, keluarga dan staf menjadi bagian yang penting dalam upaya menjaga tingkat kesadaran dan mengurangi risiko pasien. Pedoman IPSG sedang berlangsung di RS J. Terimakasih kepada setiap dan semua orang yang sedang dan akan terus mendukung, serta terlibat di dalam semua proses perubahan dan penerapan. Keselamatan pasien dan hasil yang lebih baik adalah goal kita yang utama.

28

BAB III GAMBARAN MUTU PELAYANAN DALAM PENANGANAN PATIENT SAFETY DI RUANG STROKE

Pelayanan Rumah Sakit adalah pelayanan yang sangat komplek sehingga risiko terjadinya kesalahan maupun kekhilafan cukup besar. Data yang dikeluarkan di ruang stroke RS. P angka Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) berkisar 17,7% pada tahun 2007, sedangkan bulan Januari-Juni 2008 mengalami peningkatan menjadi 40,5%. Angka ini tentu saja memiliki arti yang sangat riskan bagi rumah sakit. Sejalan dengan itu, harapan masyarakat terhadap pelayanan di Rumah Sakit RS.P semakin tinggi. Harapan yang tinggi ini cenderung memunculkan masalah serius apabila harapan tidak dapat dipenuhi oleh pihak rumah sakit. Masalah yang terjadi bisa berkembang ketika masalah biaya dan manajemen lingkungan rumah sakit ikut memberikan kontribusi didalamnya. Selain itu data yang ditemukan pada tahun 2007 rata-rata BOR di ruang stroke 65 %. Pada bulan Januari - Juni 2008 menurun menjadi 58%. Berdasarkan data dari RS.P bahwa mutu pelayanan dirumah sakit tersebut sejak 2 tahun belakangan ini mulai mengalami kemunduran dalam hal kualitas pelayanan yang dikarenakan sekitar 40% ketidakpuasan pasien terhadap mutu pelayanan di rumah sakit tersebut. Indikator terjadinya ketidakpuasan tersebut jika dikaitkan dengan keselamatan pasien diantaranya adalah ditemukan sejak 2 tahun belakangan ini mulai mengalami kemunduran dalam hal kualitas pelayanan yang dikarenakan sekitar 40% ketidakpuasan pasien terhadap mutu pelayanan di rumah sakit tersebut. Indikator terjadinya ketidakpuasan pasien terhadap pelayanan keperawatan 40,4%, kesalahan dalam prosedur pemberian obat 22,4 %, angka kejadian cidera 34,5 %. Tingkat pendidikan perawat di ruang Stroke terdiri dari DIII Keperawatan 5 (lima) orang, SPK 11 (sebelas) orang, belum pernah dilakukan pelatihan bagi perawat khusus untuk patient safety di RS.P. Metode pemberian asuhan keperawatan merupakan metode TIM yang terdiri dari TIM A dan TIM B. Dalam pemberian Asuhan keperawatan kadang-kadang tidak sesuai standar operasional prosedur yang sudah ditetapkan. Sarana fasilitas di ruang stroke RS. P kurang

29

memadai seperti halnya penghalang tempat tidur pasien sangat terbatas (dari 38 tempat tidur hanya ada 5 penghalang yang terpasang), belum ada restrain. Di sisi lain terdapat RS yang telah menjadi pusat percontohan untuk penanganan patient safety, yaitu RS.J. Rumah Sakit ini sudah mendapatkan akreditasi baik International Sandart Organization (ISO) terakhir tanggal 20 sampai dengan 21 2008 dan maupun melalui akreditasi yang diterima dari The Joint Commission International (JCI) Amerika Serikat pada bulan Febuari 2008, akreditasi JCI merupakan penghargaan akreditasi rumah sakit terkemuka di dunia yang bertaraf internasional. Penilaian terhadap RS.J dilakukan dengan standar yang sama dengan rumah sakit bertaraf internasional lainnya.

30

BAB IV ANALISA HASIL KAJIAN MUTU PELAYANAN DALAM PENANGANAN PATIENT SAFETY A. PENANGANAN PATIENT SAFETY DI RS.P Pelayanan di rumah sakit menjadi perhatian terus dari masyarakat. Kebutuhan akan pelayanan yang prima terus menjadi tuntutan dari masyarakat. Keamanan pasien merupakan ujung tombak untuk melihat peningkatan kualitas pelayanan, untuk itu pihak rumah sakit perlu mengetahui permasalahan-permasalahan yang menyebabkan penurunan pada kualits pelayanan dalam penanganan patient safety. .Dari gambaran kasus di RS. P maka dapat dianalisa permasalahan dengan menggunakan analisa SWOT. Analisa SWOT adalah sebuah bentuk analisa situasi dan kondisi yang bersifat deskriptif (memberi gambaran). Analisa ini menempatkan situasi dan kondisi sebagai sebagai faktor masukan, yang kemudian dikelompokkan menurut kontribusinya masing-masing. S W O = Strength, adalah situasi atau kondisi yang merupakan kekuatan dari organisasi atau program pada saat ini.

= Weakness,.adalah situasi atau kondisi yang merupakan kelemahan dari organisasi atau program pada saat ini. = Opportunity, adalah situasi atau kondisi yang merupakan peluang di luar organisasi dan memberikan peluang berkembang bagi organisasi di masa depan. Threat, adalah situasi yang merupakan ancaman bagi organisasi yang datang dari luar organisasi dan dapat mengancam eksistensi organisasi di masa depan.

STRENGTH WEAKNESS OPPORTUNITY THREATENED 1. Memiliki visi, misi 1. Kualitas tenaga 1. Terbukanya 1. Persaingan antar keperawatan di ruang belum memenuhi kesemptan rumah sakit Stroke kualifikasi melanjutkan yang semakin pendidikan pada kuat program yang lebih 2. SDM terdiri dari : 2. Metode TIM baik DIII (6 orang), SPK belum dijalankan 2. Adanya tuntutan (11 orang) secara optimal masyarkat yang 31

3. Rumah Sakit Pemerintah Tipe B

3. Belum ada kualifikasi pendidikan S1 keperawatan dan S1 K3 3. Membuat program (Kecelakaan standar Keamanan Kerja). penanganan patient safety 4. Belum ada pelatihan patient 4. Sosialisasi safety penanganan patient safety ke seluruh karyawan 5. Belum terdapat standard penanganan pada patient safety

2. Adanya program pelatihan/kursus yang telah dimulai pada Nopember 2008

lebih tinggi untuk mendapatkan mutu pelayanan yang optimal

Dengan menggunakan pendekatan indikator mutu pelayanan dalam penanganan patient safety perlu diketahui indikator, kriteria, dan standar dari mutu pelayanan. Indikator patient safety merupakan ukuran yang digunakan untuk mengetahui tingkat keselamatan pasien selama dirawat di rumah sakit. Indikator ini dapat digunakan bersama dengan data pasien rawat inap yang sudah diperbolehkan meninggalkan rumah sakit. Indikator patient safety bermanfaat untuk menggambarkan besarnya masalah yang dialami pasien selama dirawat di rumah sakit, khususnya yang berkaitan dengan berbagai tindakan medik yang berpotensi menimbulkan risiko di sisi pasien. a. Indikator adalah petunjuk atau tolak ukur. Petunjuk indikator atau tolok ukur status kesehatan yang ditemukan pada data di RS.P yaitu 40,4% ketidakpuasan pasien akan pelayanan keperawatan, kesalahan dalam prosedur pemberian obat, 22,4 %, angka kejadian cidera 34,5 %, selain itu data yang ditemukan pada tahun 2007 rata-rata BOR di ruang stroke 65 %. Pada bulan Januari-Juni 2008 menurun menjadi 58%. Indikator proses

32

Dalam manajemen pelayanan, metode pemberian asuhan keperawatan belum sesuai dengan standar operasional prosedur yang telah ditetapkan. Terjadinya dekubitus dikarenakan mobilisasi yang tidak dilakukan secara bertahap, dalam pemberian obatobatan belum sesuai dengan prinsip enam benar, cidera pada pasien stroke dikarenakan kurangnya penghalang tempat tidur. Hal ini terjadi dikarenakan metode dalam proses pemberian asuhan keperawatan masih fungsional, selain itu kurangnya promosi kesehatan yang dikarenakan tingkat pendidikan perawat yang masih rendah sedangkan komunikasi merupakan tindakan yang penting dalam penanganan patient safety. Indikator outcomes Pada indikator proses diatas dapat dihasilkan data pada tahun 2007 rata-rata BOR di ruang stroke 65 %. Pada bulan Januari - Juni 2008 menurun menjadi 58%. Angka cidera dan kesalahan dalam pemebrian obat dapat mengakibatkan lamanya hari rawat pasien. Average Length of Stay (Av.LOS) mempunyai arti rata-rata lamanya seorang pasien dirawat. Indikator ini secara sakit. Angka LOS ini dapat juga memberikan indikasi mutu pelayanan suatu rumah sakit Lama hari rawat (LOS) semakin meningkat dimana lamanya stroke yang dirawat biasanya rata-rata 2 minggu menjadi 1 bulan. 40% ketidakpuasan pasien dalam pelayanan yang diberikan. b. Kriteria. Kriteria pada kesalahan pemberian obat, cidera pada pasien. c. Standar. Standar pada masalah diatas adalah tidak terjadinya angka kejadian tidak terjadi kesalahan pemberian obat, dan tidak terjadi cidera pada pasien. umum bisa memberi gambaran efisiensi pelayanan di rumah

B. PENANGANAN PATIENT SAFETY DI RS J

33

Rumah Sakit J merupakan rumah sakit swasta yang berstandarkan Internasional dengan Akreditasi International Sertification Organisation (ISO) dan Joint Commission International (JCI). Rumah Sakit J mempunyai kapasitas dan SDM yang memadai. Pada Unit Stroke RS J Jakarta mempunyai kapasitas 15 tempat tidur, dengan 24 perawat yang rata-rata berkualifikasi DIII Keperawatan, dengan ditambah beberapa ahli Neurologi yaitu RN (Register Nurse). Data yang didapat dari Rumah Sakit J bahwa pada 1 Juni 2005 RS J mulai membentuk Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKP-RS) dibentuk PERSI. Menteri Kesehatan bersama PERSI & KKP-RS telah mencanangkan Gerakan Keselamatan Pasien Rumah Sakit pada Seminar Nasional PERSI tanggal 21 Agustus 2005, di JCC (Joint Commission International) (PERSI KARS KKP-RS, 2006). RS. J dalam hal ini menerapkan Enam tujuan penanganan patient safety menurut (Joint Commission International): mengidentifikasi pasien dengan benar, meningkatkan komunikasi secara efektif, meningkatkan keamanan dari high-alert medications, memastikan benar tempat, benar prosedur, dan benar pembedahan pasien, mengurangi resiko infeksi dari pekerja kesehatan, mengurangi resiko terjadinya kesalahan yang lebih buruk pada pasien. Penerapan standard penanganan patient safety di RS J : International Patient Safety Goals (IPSG) adalah inisiatif yang penting bagi RS J di tahun 2007. Sasaran utama dalam penerapan IPSG adalah untuk mempromosikan sebuah lingkungan yang berorientasi pada keselamatan pasien, dimana semua staf dalam organisasi menyadari dan bertindak untuk mendukung keselamatan dan praktek yang terbaik, dalam semua hal yang berhubungan dengan perawatan pasien dan manajemen. Ada 6 sasaran penting dengan total 8 syarat (berdasarkan syarat yang ditetapkan di RS J): Target 1; Syarat 1 :Identifikasi Pasien secara Tepat. Target 2; Syarat 2 : Meningkatkan Komunikasi yang Efektif. Target 3;Syarat 3 : Meningkatkan Keamanan Penggunaan Obat yang, Membutuhkan Perhatian. Target 4; Syarat 4, 5, & 6 : Mengurangi Salah Lokasi, Salah Pasien dan Salah, Tindakan Operasi. Target 5; Syarat 7 : Mengurangi Risiko Infeksi. Target 6; Syarat 8 : Mengurangi risiko pasien cidera karena jatuh. BAB V PEMBAHASAN DAN PEMECAHAN MASALAH

34

Mutu merupakan suatu produk yang diberikan dari pelanggan untuk memberikan kepuasan akan kebutuhan pelayanan penerima jasa secara berkesinambungan. Mutu adalah penentuan pelanggan berdasarkan pengalaman nyata terhadap pruduk dan jasa pelayanan, mengukur, mengharapkan, dan menggambarkan target yang bergerak pada pasar yang kompetitif (Wijono, 1999). Upaya peningkatan mutu pelayanan menurut Lori Di Prete Brown, berdasarkan dimensi mutu berupa kompetensi tekhnis dimana perawat memiliki kemampuan, ketrampilan, dan penampilan perawat. Kompetensi tehnis yang tidak sesuai estndar akan merugikan pasien. Misalnya pda kasus cidera akibat jatuh dari tempat tidur dan kesalahan dalam pemberian obat. Perawat memberi pelayanan secara efektif dan efisien, menjalin hubungan antar manusia, dan memberi kenyamanan dalam memberikan perawatan kepada pasien (Wijono, 1999). Juran dalam Wijono menjelaskan mengenai mutu bahwa mutu yang lebih tinggi memungkinkan untuk mengurangi tingkat kesalahan, mengurangi pekerjaan ulang, mengurangi kegagalan di lapangan, mengurangi ketidakpuasan pelanggan, mengurangi keharusan memeriksa dan menguji, meningkatkan hasil kapasitas, memberikan dampak utama pada biaya, dan biasanya mutu lebih tinggi biaya lebih sedikit. Dengan demikian angka ketidakpuasan pada klien (40,4%) akan pelayanan kesehatan di RS P dapat diturnkan setiap tahunnya dan kepuasan dapat tercipta secara berkesinambungan Penanganan pasien safety di area Pelayanan Rumah Sakit adalah pelayanan yang sangat kompleks sehingga risiko terjadinya kesalahan maupun kekhilafan cukup besar. Sejalan dengan itu, harapan masyarakat terhadap pelayanan di rumah sakit semakin tinggi. Harapan yang tinggi ini cenderung memunculkan masalah serius apabila harapan tidak dapat dipenuhi oleh pihak rumah sakit. Untuk itu, tiada pilihan lain bagi rumah sakit untuk segera melakukan langkah-langkah kongkrit dalam mempersiapkan diri terutama di era persaingan global yang begitu ketat. Indikator patient safety merupakan ukuran yang digunakan untuk mengetahui tingkat keselamatan pasien selama dirawat di rumah sakit. Indikator ini dapat digunakan bersama dengan data pasien rawat inap yang sudah diperbolehkan meninggalkan rumah sakit. Indikator patient safety bermanfaat untuk menggambarkan besarnya masalah yang dialami

35

pasien selama dirawat di rumah sakit, khususnya yang berkaitan dengan berbagai tindakan medik yang berpotensi menimbulkan risiko di sisi pasien (Yahya, 2007). Data yang didapat dari RS P bahwa 40,4% ketidakpuasan pasien akan pelayanan keperawatan, kesalahan dalam prosedur pemberian obat; 22,4 %, angka kejadian cidera; 34,5 %, selain itu data yang ditemukan pada tahun 2007 rata-rata BOR di Ruang Stroke : 65 %. Pada bulan Januari Juni 2008 menurun menjadi 58%. Di rumah sakit P belum ada standar untuk penanganan patient safety, serta belum pernah dilakukan pelatihan khusus untuk patient safety. Rumah sakit hendaknya memiliki standar dalam penanganan patient safety. Standar Keselamatan Pasien RS (KARS DepKes) hak pasien, mendidik pasien dan keluarga, keselamatan pasien dan asuhan berkesinambungan, penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja, untuk melakukan evaluasi dan meningkatkan keselamatan pasien, peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien, mendidik staf tentang keselamatan pasien, komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien (Dep Kes R.I 2006). Keselamatan pasien (patient safety) rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi asesment risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko (Dep Kes R.I, 2006) Upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan melalui pastient safety diantaranya adalah dengan melakukan kegiatan pelatihan pasien safety baik secara internal maupun external, hendaknya RS.Y tersebut membuat program untuk mengikuti pelatihan pasien safety 6 bulan sekali atau satu tahun sekali. Untuk pelatihan internal dianjurkan setiap satu bulan sekali yang harus diikuti semua ruangan yang akan diatur penjadwalannya oleh ruangan atau RS tersebut. Sehingga diharapkan semua perawat pelaksana dapat menerapkan prosedur prosedur yang sesuai dengan ilmu yang didapatkan atau sesuai standar operating prosedur. Selain itu menurut pendapat penulis bahwa kualifikasi pendidikan di RS P.

a. Penanganan Pemberian obat pada pasien 36

Angka kejadian kesalahan dalam prosedur pemberian obat; 22,4% di RS P dimana angka ini menunjukkan kelalaian dari kerja perawat yang dapat merugikan pasien. Pemberian obat yang benar berdasarkan JCI (Joint Comission International) bahwa sebagai perawat dalam pemberian obat harus memiliki aturan-aturan yang tepat yaitu enam benar dalam pemberian obat. Perawat bertanggung jawab dalam pemberian obat obatan yang aman . Perawat harus mengetahui semua komponen dari perintah pemberian obat dan mempertanyakan perintah tersebut jika tidak lengkap atau tidak jelas atau dosis yang diberikan di luar batas yang direkomendasikan. Obat-obatan adalah salah satu bagian yang terpenting dalam penanganan pada pasien. Management dengan benar untuk memastikan dalam pasien safety. Seperti, potassium chloride (2 mEq/ml atau konsentrasi yang lebih), pothasium phosphate, Sodium chloride (0,9%) atau dengan konsentrasi lebih), dan magnesium sulfate (50% atau konsentrasi lebih). Kesalahan ini dapat juga muncul ketika angota staff tidak dengan benar mengorientasikan ke unit perawatan pasien, ketika perawat kontrak dan digunakan dan tidak berorientasi dengan benar, atau selama keadaan gawat darurat. High Allert Medication High Allert Medication adalah Obat-obatan yang menyebabkan resiko tinggi memperburuk pasien ketika diberikan kesalahan dalam pengobatan. Namun kesalahan mungkin atau tidak mungkin lebih banyak dengan obat-obatan ini. (JCI, 2007) Tindakan-tindakan pemberian obat dengan enam benar perlu diterapkan di rumah sakit agar kesalahan dalam pemberian obat tidak terjadi. Pemberian obat dengan enam benar diantaranya adalah tepat obat, tepat dosis, tepat waktu, tepat pasien, tepat cara pemberian, tepat dokumentasi (Kozier, 1997). Solusi keselamatan pasien adalah sistem atau intervensi yang dibuat, mampu mencegah atau mengurangi cedera pasien yang berasal dari proses pelayanan kesehatan. Solusi tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan sembilan solusi Live-saving diantaranya memperhatikan nama obat, rupa, dan ucapan mirip (NORUM), yang dapat membingungkan staf pelaksana. Solusi Norum ditekankan pada penggunaan protokol untuk pengurangan risiko dan memastikan terbacanya lebel, atau penggunaan perintah yang dicetak terlebih dahulu. Perlu identifikasi pasien secara jelas yang sering mengarah pada kesalahan pengobatan atau transfusi. Komunikasi secara benar saat serah terima atau

37

pengoperan pasien karena kesenjangan komunikasi antara pelyanan kesehatan dapat mengakibatkan terputusnya kesinambungan layanan dan pengobatan yang tidak tepat serta mengurangi cedera pada pasien (PERSI, 2005). Selain itu komunikasi yg tidak efektif adalah hal yang paling sering disebutkan sebagai penyebab dalam kasus-kasus Sentinel. Komunikasi harus tepat pada waktunya, akurat, komplit, tidak rancu dan dimengerti oleh sang penerima Petugas kesehatan perlu memastikan akurasi pemberian obat pada pengalihan pelayanan. Pemberian obat melalui injeksi perlu diperhatikan hanya untuk sekali pakai untuk mencegah penyebaran HIV, HBV, da HVC yan gdisebabkan oleh pakai ulang (refuse) dari jarum suntik (PERSI, 2005). TINDAKAN ENAM TEPAT DALAM PEMBERIAN OBAT 1. Tepat Obat : mengecek program terapi pengobatan dari dokter, menanyakan ada tidaknya alergi obat, menanyakan keluhan pasien sebelum dan setelah memberikan obat, mengecek label obat, mengetahui reaksi obat, mengetahui efek samping obat, hanya memberikan obat yang didiapkan diri sendiri. 2. Tepat dosis : mengecek program terapi pengobatan dari dokter, mengecek hasil hitungan dosis dengan dengan perawat lain, mencampur/mengoplos obat. 3. Tepat waktu : mengecek program terapi pengobatan dari dokter, mengecek tanggal kadarluarsa obat, memberikan obat dalam rentang 30 menit. 4. Tepat pasien : mengecek program terapi pengobatan dari dokter, memanggil nama pasien yang akan diberikan obat, mengecek identitas pasien pada papan/kardeks di tempat tidur pasien 5. Tepat cara pemberian : mengecek program terapi pengobatan dari dokter, mengecek cara pemberian pada label/kemasan obat. 6. Tepat dokumentasi : mengecek program terapi pengobatan dari dokter, mencatat nama pasien, nama obat, dosis, cara, dan waktu pemberian obat (Kozier, B. Erb, G. & Blais, K. (1997). Mengajarkan perawat untuk pemberian obat dengan istilah Look-Alike, Sound Alike Errors yaitu mengajarkan staf untuk mencegah bunyi kedengarannya sama tetapi berbeda dengan menggunakan: menuliskan dengan benar dan mengucapkan ketika mengkomunikasikan informasi dalam pengobatan. Buat pendengar tersebut mengulang

38

kembali pengobatan tersebut untuk meyakinkan mereka mengerti dengan benar, mengingatkan merek tersebut dan nama obat generik yang biasa diucapakan dan seperti terlihat, memperhatikan potensial untuk kesalahan kesalahan pembagian ketika menambahkan obat, kelompokkan obat dengan kategori daripada dengan alpabet, mengingatkan menempatkan dalam sistem komputer dan diatas label pada tempat pengobatan untuk tanda dokter, perawat, dan farmasi pada masalah yang potensial, meliputi indikasi pada pengobatan dalam menolong farmasi mengidentifikasi masalah potensial, melakukan check tempat atau label pengobatan selain label pasien sebelum memberikan dosis kepada pasien. (Joint Commission International,2007) Pada metode ini memungkinkan pelayanan keperawatan yang menyeluruh. Adanya pemberian asuhan keperawatan terhadap sekelompok pasien. (Nursalam, 2002). Jadi dengan pemberian asuhan keperawatan yang menyeluruh kepada pasien diharapkan keselamatan pasien dapat diperhatikan, sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan. Mengurangi angka kejadian kesalahan dalam pemberian obat perlu juga dilakukan dengan metode TIM didalam penerapan asuhan keperawatan di ruang stroke. Menurut Sitorus R, 2008 bahwa metode tim merupakan metode pemberian asuhan keperawatan, yaitu seorang perawat professional memimpin sekelompok tenaga keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan pada sekelompok pasien melalui upaya kooperatif dan kolaboratif. Penanganan pemberian obat di RS P dengan menggunakan prinsip enam benar. Namun didalam implementasi asuhan keperawatan dalam pemeberian obat belum sesuai dengan SOP. Penanganan Pemberian Obat-obatan Patient safety pada Rumah Sakit J telah dilaksanakan beberapa syarat dan target sesuai dengan standar JCI dan KKP-RS dan RS J sudah mengimplementasikan dalam asuhan pelayanan keperawatan khususnya dalam pemberian High Light Medication.seperti (1). pemberian obat insulin menetapkan sistem pengecekan yang mana satu perawat membuat preparat dosis dan perawat lainnya melakukan review terhadapnya, menyimpan insulin dan heparin tidak berdekatan, melakukan ejaan untuk setiap unit lebih baik daripada menyingkatnya, menetapkan sebuah sistem pengecekan yang independen untuk angka pompa infuse dan pengaturan konsentrasi. (2). Opiat dan narkotik; membatasi ketersediaan opium dan narkotik dalam

39

stok dasar, mengajarkan para staff tentang kemungkinan pencampuran hydromorphone dan morphine, menyediakan Protocol peralatan Patient Control Analgetik (PCA) untuk dua kali cek obat, pengaturan pompa, dan dosis. (3). Penyuntikan potasium klorida/phosphate concentrate; Memindahakan potassium chloride/phosphate dari stok dasar., memindahakan preparasi obat dan gunakan pra campuran komersial dari IV.menetapkan standard an batasi konsentrasi obat. (4). Antikoagulan Intravena (heparin), menetapkan standar konsentrasi. (5). Sodium florida solution diatas 0,9% menggunakan premixed solutions, menggunakan botol single-dosis, memisahkan heparin dan insulin: pindahkan heparin dari top of medication carts.

b. Penanganan Pasien Cidera (Jatuh) Angka kejadian cidera di RS P yang didapat dimana angka kejadian cidera 34,5 % hal ini juga merupakan angka kejadian yang perlu menjadi perhatian bagi rumah sakit. Berdasarkan standar dari rumah sakit J bahwa mengurangi risiko pasien cidera menjadi salah satu bagian besar dari penyebab cideranya pasien yang sedang dirawat di rumah sakit, sebaiknya RS P menerapkan suatu sistem dan proses yang menghasilkan pengkajian yang akurat dan berulang secara berkala pada setiap risiko cidera pasien, selain itu di RS P sebaiknya juga menerapkan tindakan-tindakan preventif untuk mengurangi dan/ menghilangkan segala risiko yang telah teridentifikasi. Hal ini juga berhubungan dengan pengkajian ulang pola pemberian obat untuk pasien, dimana nomor dan tipe obat dapat menjadi penyebab langsung meningkatnya risiko pasien cidera. Jadi selain standar yang ditetapkan di Rumah Sakit J, penyediaan fasilitas juga perlu diperhatikan seperti penambahan tempat tidur yang mempunyai penghalang disamping tempat tidur, tersedia restrain, dan alat dressing yang sesuai dengan jumlah pasien. Pemasangan pengaman tempat tidur sangat penting disediakan terutama pada pasien dengan penurunan kesadaran dan gangguan mobilitas. Mencegah terjadinya jatuh pada klien diantaranya mengorientasikan klien pada saat masuk rumah sakit dan jelaskan sistem komunikasi yang ada, hati-hati saat mengkaji klien dengan keterbatasan gerak, supervisi ketat pada awal klien dirawat terutama malam hari, anjurkan klien menggunakan bel bila membutuhkan bantuan, berikan alas kaki yang tidak licin, berikan pencahayaan yang adekuat, pasang pengaman tempat tidur terutama pada

40

klien dengan penurunan kesadaran dan gangguan mobilitas, jaga lantai kamar mandi agar tidak licin. Penggunaan alat seperti restrains merupakan salah satu alat untuk immobilisasi pasien. Alat restrain dapat manual ataupun mekanik, alat ini berguna untuk memberikan batasan pada klien untuk bergerak secara bebas. Untuk menghindari jatuh dapat dimodifikasi dengan memodofikasi lingkungan yang dapat mengurangi cidera seperti memberi keamanan pada tempat tidur, toilet, dan bel. Jeruji (side rails) pada sisi tempat tidur juga dapat mencegah terjadi cidera pada klien. Said rails dapat meningkatkan mobilisasi klien dan stabilitas di tempat tidur pada saat klien akan bergerak dari tempat tidur ke kursi (Potter dan Perry, 1997). Delapan masalah untuk mencegah terjadinya jatuh; obat-obatan (perawat melihat efek samping obat yang memungkinkan terjadinya jatuh), penglihatan menurun (perawat dapat tetap menjaga daerah yang dapat menyebabkan jatuh, menggunakan kaca mata, sehingga pasien dapat berjalan sendiri misalnya pada malam hari), (perubahan status mental) perawat tanggap terhadap perubahan perilaku pasien, (meletakkan sepatu dan tali sepatu pada tempatnya) perawat mengecek seluruh daerah yang dapat menyebabkan jatuh (misal sepatu atau tali sepatu yang tidak pada tempatnya), (Jatuh di lantai) perawat mengecek penyebab sering terjadinya jatuh., terlalu banyak furniture, daerah yang gelap, dan sedikit hidarasi (perawat menganjurkan untuk minum 6-8 gelas per hari). Mengklasifikasi resiko jatuh dengan cara: jatuh yang tidak disengaja, jatuh secara fisik yang tidak diantisipasi (misalnya, pingsan, serangan mendadak, dan lain-lain), jatuh yang diantisipasi dapat diukur dengan menggunakan Morse Fall Scale (karakteristik pasien yang mesti diketahui seperti jatuh, lemah atau gangguan pada cara berjalan, menggunakan alat bantu berjalan, mengkaji intravena, atau gangguan status mental). Jatuh dapat dikarenakan faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik (jatuh yang pernah terjadi sebelumnya, menurunnya pandangan, sistem muskuloskeletal, status mental, penyakit akute. Faktor ekstrinsik (obat-obatan, bathtubs dan toilet, desain alat-alat furniture, tidak adekuatnya perlengkapan). Penanganan cidera di Rumah Sakit P masih belum optimal untuk mengatasi cidera, kurangnya atau keterbatasan peralatan seperti penghalang tempat tidur, perawat belum sepenuhnya mengontrol keadaan ruangan pasien, perawat belum mampu untuk mengantisipasi kejadian yang tidak diharapkan seperti resiko jatuh pada pasien stroke.

41

Cidera karena obat-obatan masih belum diperhatikan secara benar hanya masih terfokus pada cara pemberian obat. Penanganan di Rumah Sakit J untuk mencegah risiko jatuh sudah mengikuti cara pencegahan jatuh dari JCI yaitu menggunakan delapan masalah untuk mencegah terjadinya jatuh; seperti obat-obatan (perawat melihat efek samping obat yang memungkinkan terjadinya jatuh), penglihatan menurun (perawat dapat tetap menjaga daerah yang dapat menyebabkan jatuh, menggunakan kaca mata, sehingga pasien dapat berjalan sendiri misalnya pada malam hari), (perubahan status mental) perawat tanggap terhadap perubahan perilaku pasien, (meletakkan sepatu dan tali sepatu pada tempatnya) perawat mengecek seluruh daerah yang dapat menyebabkan jatuh (misal sepatu atau tali sepatu yang tidak pada tempatnya), (Jatuh di lantai) perawat mengecek penyebab sering terjadinya jatuh., terlalu banyak furniture, daerah yang gelap, dan sedikit hidarasi (perawat menganjurkan untuk minum 6-8 gelas per hari). Ada 6 sasaran ditetapkan di RS J): Target 1; Syarat 1 :Identifikasi Pasien secara Tepat. Target 2; Syarat 2 : Meningkatkan Komunikasi yang Efektif. Target 3;Syarat 3 : Meningkatkan Keamanan Penggunaan Obat yang, Membutuhkan Perhatian. Target 4; Syarat 4, 5, & 6 : Mengurangi Salah Lokasi, Salah Pasien dan Salah, Tindakan Operasi. Target 5; Syarat 7 : Mengurangi Risiko Infeksi. Target 6; Syarat 8 : Mengurangi risiko pasien cidera karena jatuh. penting dengan total 8 syarat (berdasarkan syarat yang

TARGET 1; SYARAT 1 Identifikasi Pasien secara Tepat: Tujuan dari sasaran ini adalah untuk mendapatkan identitifikasi yang setepatnya dari individu yang menerima perawatan tersebut. A: Menggunakan paling sedikit dua (2) cara untuk menilai pasien ketika memberikan obat, darah atau produk dari darah; mengambil contoh darah dan spesimen-spesimen lain untuk pengujian secara klinis. Nomor ruangan pasien tidak diperbolehkan untuk digunakan

42

sebagai pengenalan pasien, sampel dan spesimen, yaitu:

pengenal yang digunakan untuk semua , pemeriksaan

prosedur, pengantaran obat, pengambilan a) Nomor catatan medis pasien harus diperiksa b) Tanggal lahirnya pasien harus diperiksa ini harus dilakukan secara lisan atau mengenai pasien yang tidak sadar, harus ditunjukkan pada gelang nama pasien. B: Semua pasien yang diprosedur/dioperasi, akan diharuskan unutk memiliki 2 Gelang Nama pada salah satu diantara pergelangan tangan atau pergelangan kaki. TARGET 2; SYARAT 2 Meningkatkan komunikasi yang efektif: Komunikasi yg tidak efektif adalah hal yang paling sering disebutkan sebagai penyebab dalam kasus-kasus Sentinel. Komunikasi harus tepat pada waktunya, akurat, komplit, tidak rancu dan dimengerti oleh sang penerima. Penelitian juga menunjukan bahwa penundaan dalam menanggapi hasil yang penting dapat mempengaruhi secara negatif hasil akhir pasien. Menerapkan sebuah proses/prosedur untuk perintah yang disampaikan melalui telepon (lisan), atau penyampaian hasil uji klinis penting, yang harus diverifikasi dengan mengulang selengkapnya perintah atau pun hasil uji klinis yang diterima, yang harus dilakukan oleh orang yang menerima informasi tersebut. RS J harus mengembangkan dan mensosialisasikan sebuah sistem dimana semua perintah maupun hasil uji yang diterima harus diverifikasi atau dibacakan ulang kepada pihak yang memberi perintah atau hasil uji klinis tersebut. Termasuk pula proses dokumentasi dam penanda-tanganan sebagai bentuk konfirmasi atas perintah/hasil uji yang diterima. TARGET 3; SYARAT 3 Meningkatkan Keamanan Penggunaan Obat yang, membutuhkan perhatian: manajamen obatobatan yang tepat merupakan faktor penting dalam menjamin keselamatan pasien: Memindahkan semua konsentrat elektrolit (termasuk potasium klorida, potasium fosfat, sodium korida > 0.9%, dan tidak terbatas hanya itu semua) dari semua ruang perawatan pasien. Di RS J, potasium banyak disimpan di berbagai area klinik. Penelitian di seluruh dunia telah menunjukkan bahwa tindakan ini menempatkan pasien dalam bahaya.

43

Dengan adanya departemen obat-obatan yang buka 24 jam pada semua RS J pemindahan obat-obatan tersebut tidak akan mempengaruhi jalannya penanganan pasien. TARGET 4; SYARAT 4, 5 & 6 Mengurangi Salah lokasi, Salah Pasien dan Salah Tindakan Operasi: Tujuan dari target ini adalah untuk SELALU mengenali Tepat lokasi, Tepat pasien dan Tepat tindakan. Syarat 4 Melakukan time out tepat sebelum memulai sebuah operasi, untuk memastikan pasien, prosedur dan bagian tubuh yang akan dioperasi adalah tepat. Pada setiap RS J pengecekan langkah- langkah pada setiap operasi atau tindakan sudah digunakan. Tetapi konsep time out akan menjadi hal baru bagi banyak staf medis di organisasi ini. Time out ini harus berupa pengecekan aktif (secara lisan), dilakukan di tempat dimana tindakan itu akan dilakukan dan melibatkan semua anggota tim dari operasi/ prosedur, termasuk pula dari pasien, bila memungkinkan. RS J menerapkan proses ini dalam rangka memperoleh akreditasi dari JCI. Bukan, merupakan hal mudah untuk dijalankan, dan tentunya akan dibutuhkan revisi dokumen implementasi proses dan pendidikan untuk para staf, serta tak lupa, dukungan dari semua staf. Diharapkan, dengan berjalannya waktu, proses time out akan menjadi tindakan rutin di RS J. Syarat 5 Membuat suatu proses atau checklist untuk memeriksa semua dokumen dan peralatan yang diperlukan untuk operasi siap digunakan dan berfungsi dengan baik sebelum operasi dimulai. Di setiap RS J, penggunaan checklist sebelum operasi atau tindakan telah dilakukan. Untuk memenuhi kualifikasi di atas, bisa saja dibutuhkan revisi untuk memasukkan aspek-aspek penting dalam checklist.

44

Syarat 6 Berikan tanda pada bagian yang tepat dimana operasi akan dilakukan. Gunakan tanda yang dapat dipahami dengan jelas dan libatkan pasien dalam melakukan hal ini. Ini adalah konsep baru di RS J. Pemberian tanda diharuskan untuk semua prosedur yang meliputi: - Perbedaan kanan dan kiri - Struktur Multipel (contoh: jari-jari tangan & kaki) - Tingkat-tingkat (contoh: tulang belakang) Pemberiaan tanda tidak diperlukan bila ada luka/lesi yang jelas dimana, luka/lesi tersebut menjadi bagian yang akan ditindak. Prosedur dental dikecualikan dari proses iniwalaupun dental x-ray harus diberi penandaan. Tanda harus jelas dan dimengerti oleh semua. Proses pemberian tanda harus terjadi sebelum memindahkan pasien ke lokasi dimana tindakan operasi akan dilakukan. Proses pemberian tanda adalah tanggung jawab dari dokter bedah atau asistennya. TARGET 5; SYARAT 7 Mengurangi Risiko Infeksi: Penelitian telah membuktikan bahwa melakukan petunjuk cuci tangan akan mengurangi transmisi infeksi dari staf ke pasien. Hal ini akan mengurangi insiden kesehatan yang berhubungan dengan infeksi. Mengikuti sesuai dengan petunjuk cuci tangan yang telah dipublikasikan dan diterima secara umum. Di RS J memiliki komitmen sepenuhnya untuk menyajikan praktek terbaik dalam Pedoman Infection Control. Untuk mendukung kegiatan mencuci tangan di wastafel dan penenempatan sabun cuci tangan, telah dan akan terus ditinjau ulang di seluruh rumah sakit. Edukasi dan auditing adalah bagian yang penting dalam menjaga tingkat kesadaran. Pedoman Infection Control akan terus ditinjau-ulang dan diperbaharui sesuai kebutuhan, dan pedoman manual akan tersedia di seluruh area klinik untuk mencapai hasil terbaik.

45

TARGET 6; SYARAT 8 Mengurangi risiko pasien cidera karena jatuh: Jatuh menjadi salah satu bagian besar dari penyebab cideranya pasien yang sedang dirawat di rumah sakit. Di RS J akan menerapkan sistem dan proses yang menghasilkan pengkajian yang akurat dan berulang secara berkala pada setiap risiko jatuhnya pasien. Hal ini juga berhubungan dengan pengkajian ulang pola pemberian obat untuk pasien, dimana nomor dan tipe obat dapat menjadi penyebab langsung meningkatnya risiko pasien jatuh. Di RS J juga akan menerapkan tindakan-tindakan preventif untuk mengurangi dan/ menghilangkan segala risiko yang telah teridentifikasi. Mengedukasi pasien, keluarga dan staf menjadi bagian yang penting dalam upaya menjaga tingkat kesadaran dan mengurangi risiko pasien. Pedoman IPSG sedang berlangsung di RS J. Terimakasih kepada setiap dan semua orang yang sedang dan akan terus mendukung , serta terlibat di dalam semua proses perubahan dan penerapan. Keselamatan pasien dan hasil yang lebih baik adalah goal kita yang Management resiko Rumah Sakit Paradigma baru Enterprise Risk Management (ERM) yang mendasari manajemen resiko Rumah sakit yaitu suatu kerangka kerja dan kerangka berfikir manajemen finansial, manajemen operasional dan manajemen strategis, yang fokus pada identifikasi, pengelolaan dan pemanfaatan berbagai resiko di Ruamah Sakit. Sehingga Rumah Sakit memperoleh keuntungan kompetitif. Resiko adalah modal (capital, Risiko memang secara klasik berpotensi negatif, tetapi sebenarnya memiliki karakteristik profitable. (Roberta Caroll, editor: Risk Management Hanbook for Health Care Organization, 4th edition, Jossey Bass, 2004) Tujuan sistem keselamatan pasien RS 1. Menciptakan budaya keselamatan pasien di Rumah Sakit. 2. Meningkatnya akuntabilitas RS terhadap RS dan masyarakat. 3. Menurunya KTD di RS

46

4. Melakasanakan program program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan KTD (Buku Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit, DepKes RI, 2006) Pengorganisasian Sistem Keselamatan Pasien RS Terkait dengan manajemen mutu dan manajemen risiko RS, Asuhan pasien atau patient care, patient safety ada ditangan Padat Profesi di berbagai unit point of care dengan ujung tombak: Dokter dan Perawat. Pelayanan keselamatan pasien dapat menjadi unggulan. (Buku Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit, DepKes RI, 2006) Jadi, berdasarkan pembahasan diatas maka untuk peningkatan mutu pelayanan terhadap patient safety perlu dibuat suatu standar patient safety, menghindari terjadinya kesalahan-kesalahan dalam memberikan tindakan keperawatan, penanganan pasien cidera, dan kesalahan dalam pemberian obat. Serta dapat mendeteksi segera akan terjadinya kesalahan-kesalahan yang mengakibatkan terjadinya mal praktek. Di rumah Sakit P merencanakan penanganan patient safety mulai tahun 2009 s/d 2010 dan jika target keselamatan pasien berhasil maka kegiatan ini akan berjalan secara berkesinambungan. Adapun rencana kegiatan pengembangan layanan patient safety : melakukan kajian yang diperlukan meliputi kualifikasi tenaga yang diperlukan (Sarjana Keperawatan, dan D3 Keperawatan), membentuk tim dalam pembuatan proposal ini, Mengusulkan kepada pemerintah daerah untuk peningkatan Sumber Daya Manusia melalui program pendidikan berkelanjutan 1 orang Sarjana Keperawatan (tugas belajar), 2 orang pendidikan berkelanjutan bagi tenaga SPK kependidikan D3 Keperawatan (tugas belajar), Pengembangan SDM melalui pelatihan keperawatan patient safety untuk mendapatkan sertifikasi untuk 25 orang perawat dua kali periode, Merumuskan Standar Asuhan Keperawatan patient safety diantaranya penyusunan Standar Asuhan Keperawatan (SAK), penyusunan Standard Operating Prosedure (SOP), sosialisasi serta revisi dan penggunaan SAK dan SOP.

47

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Upaya peningkatan mutu pelayanan berdasarkan dimensi mutu berupa kompetensi tekhnis dimana perawat memiliki kemampuan, ketrampilan, dan penampilan perawat. Kompetensi tehnis yang tidak sesuai stndar akan merugikan pasien. Dapat disimpulkan bahwa upaya peningkatan mutu pelayanan keperawatan di RS.P masih belum maksimal dalam penanganan pasien safety khususnya dalam pemberian obat-obatan dan penanganan pasien cidera. Disisi lain RS.J sudah menerapkan penanganan pasien safety dengan standar international. Dalam hal ini hendaknya perawat memberi pelayanan secara efektif dan efisien, menjalin hubungan antar manusia, dan memberi kenyamanan dalam memberikan perawatan kepada pasien. Keselamatan pasien (patient safety) rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi asesment risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko. Sehingga peningkatan asuhan keperawatan yang meliputi aspek bio, psiko, sosio, spiritual dapat terwujud dengan adanya penanganan pada pasien safety.

B. SARAN Rumah Sakit diharapkan dapat menetapkan suatu unit kerja keselamatan pasien rumah sakit dengan fungsi unit kerja mengelola program keselamatan pasien dan pusat informasi keselamatan pasien. Dalam hal ini RS menetapkan program dan kerangka acuannya, menetapkan alur dan tatalaksana pencatatan dan pelaporan KTD, melakukan analisis tentang masalah cidera dan kesalahan dalam pemebrian obat. Selain itu RS dapat menyelenggarakan pelatihan KPRS yang merata untuk seluruh karyawan sehingga dapat mengatasi cara penanganan patient safety dalam unit kerja.

48

DAFTAR PUSTAKA Departemen Kesehatan R.I(2006). Panduan nasional keselamatan pasien rumah sakit. utamakan keselamatan pasien. Bakit Husada Depertemen Kesehatan R.I (2006). Upaya peningkatan mutu pelayanan rumah sakit. (konsep dasar dan prinsip). Direktorat Jendral Pelayanan Medik Direktorat Rumah Sakit Khusus dan Swasta. Kozier, B. Erb, G. & Blais, K. (1997) Professional nursing practice concept, and prespective. California: Addison Wesley Logman, Inc. Muninjaya, Gde, A.A.(1999). Manajemen kesehatan. Jakarta. EGC Nursalam, (2002). Manajemen keperawatan. aplikasi dalam praktik keperawatan profesional. Salemba Medik. Jakarta. PERSI KARS, KKP-RS. (2006). Membangun budaya keselamatan pasien rumah sakit. Lokakarya program KP-RS. 17 Nopember 2006 Potter, P.A and Perry , A.G. (1997). Fundamental of nursing concept; proses and Practice. St. Louis: Mosby. Jilid 2 Supranto.(2001). Pengukuran tingkat kepuasan pelanggan untuk menaikkan pangsa pasar. Jakarta: Rieneka Cipta Sitorus, R. (2006). Metode praktik keperawatan pofessional di rumah sakit. penataan struktur & proses (sistem) pemberian asuhan keperawatan di ruang rawat. EGC. Jakarta. Tomey. A.M. dan Alligoog, M.R.(2006). Nursing theorist and their work. 6th ed. St. Louis: Mosby. Wijono, D. (1999). Manajemen mutu pelayanan kesehatan . teori, strategi dan aplikasi. Volum e1 dan 2. Airlangga University Press. Surabaya. Yahya, A. A.(2007). Kecurangan dalam jaminan asuransi kesehatan . Fraud dan Patient Safety. Jakarta.Seminaar PAMJAKI. Hotel Bumi Karsa . 13 Desember 2007.www.pamjaki.org/new/download.php?file=fraud21.pdf ClinicalNews, http://www.google.co.id/search? hl=id&sa=X&oi=spell&resnum=0&ct=result&cd=1&q=Menangani+Pasien+Safety+di+R S+Siloam&spell=1, Tanggal 25 November 2008, Pukul 16.30 Wib

49

PROPOSAL PENGEMBANGAN PASIEN SAFETY DI RS.Y

A.

Latar Belakang

Semakin majunya ilmu dan tehnologi khususnya dalam pemberian asuhan keperawatan pasien dengan stroke. Semakin komplek pula permasalahan kesehatan masyarakat. Sehingga dituntut dalam layanan kesehatan yang bermutu dan berkualitas. Peningkatan pasien safety merupakan phenomena yang harus dapat diantisipasi dengan peningkatan ilmu pengetahuan khususnya pasien safety. Layanan pasien safety membutuhkan suatu mekanisme tim yang melibatkan segenap komponen tenaga kesehatan ketercukupan tenaga dan kualitas yang sesuai dengan standar ketenagaan yang diperlukan dalam layanan pasien safety, merupakan salah satu syarat untuk layanan berkualitas. Disamping itu layanan pasien safety juga membutuhkan sarana dan prasarana yang lengkap dan menunjang kegiatan pasien safety. Dari hasil kajian atau analisa pada RS.Y ditemukan beberapa data meliputi, jumlah dan kualifikasi tenaga yang terlibat dalam tim tidak memadai, bahkan tenaga yang seharusnya ada di rumah sakit tidak dimilki seperti: tenaga sarjana K3, dan perawat juga sebagian besar belum mengikuti atau memiliki sertifikat pelatihan atau pendidikan pasien safety (K3). Mekanisme kerja keperawatan yang belum maksimal menerapkan metode TIM, lemahnya control serta belum adanya standar perawatan pasien safety. Dengan perkembangan iptek dan terbukanya iklim globalisasi serta semakin sadarnya masyarakat akan kesehatan menuntut akan perkembangan pelayanan.

A.

Tujuan Adapun tujuan dari proposal ini adalah pengembangan layanan pasien safety pada RS.Y 1. Melaksanakan standar keperawatan dalam layanan pasien safety pada RS.Y dalam rangka mencegah terjadinya pasien safety. 2. Tersedianya tenaga kesehatan professional baik jumlah maupun kualifikasi enaga (D3, sarjana keperawatan, sarjana K3).

50

3. Dipenuhinya sarana dan prasarana (alat restrein, tempat tidur dengan pengamanan).

B.

Waktu Pelaksanaan Perencanaan : Nopember Desember 2007 Pelaksanaan : Nopember Desember 2008 - 2010 (tiga tahun)

C.

Sasaran Pengembangan 1. Sumber daya manusia ketenagaan 2. Manajemen pelayanan pasien safety dalam hal ini pelayanan stroke 3. Sarana dan prasarana (peralatan).

D.

Kepanitiaan Dalam rangka pelaksanaan program dibentuk kepanitiaan yang dialaminya terdapat unsur direksi, kepala bidang keperawatan, medis, diklat.

E.

Pendanaan Dana pengembangan bersumber dari anggaran pembangunan daerah dan HWS tahun anggaran 2008 2010.

F.

Program pengembangan 1. Pengembangan SDM yang meliputi upaya peningkatan sumber daya manusia yang sudah ada. 2. Pengembangan standar layanan keperawatan pasien safety. 51

3. Sarana dan prasarana pasien safety. F. Program antisipasi terhadap pengembangan layanan pasien safety. Perencanaan pemecahan masalah yang meliputi pengembangan tenaga atau sumber daya yang ada di RS berupa: 1. Pendidikan berkelanjutan bagi tenaga keperawatan untuk mengambil S1 keperawatan dan S1 K3 (program tugas belajar). 2. Pendidikan internal pasien safety di RS. Y secara berkesinambungan di semua ruangan.

52

Anda mungkin juga menyukai