Anda di halaman 1dari 26

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah serta kemudahan yang telah diberikan kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Dalam memenuhi tugas neurologi, makalah ini kami beri judul Miastenia Gravis. Makalah ini akan menjelaskan mengenai definisi dari penyakit miastenia gravis, gejala klinis, penatalaksanaan serta komplikasi dari penyakit ini . Kami berharap, dengan ditulisnya makalah ini, kami bisa membantu teman-teman mahasiswa kedokteran untuk lebih memperdalam pengetahuan tentang penyakit- penyakit yang menyerang sistem saraf, khususnya miastenia gravis. Selama proses pengerjaan makalah ini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Albert Liangtono Tandrawarsito, Sp.S Kritik dan saran yang membangun akan membantu kami agar makalah ini lebih sempurna. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kami maupun para pembaca.

Mojokerto, 30 Juni 2012

Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar Daftar Isi Bab 1 Pendahuluan 1.1.1. Latar Belakang 1.1.2. Tujuan Penulisan Bab 2 Pembahasan 2.1. Penyakit Miastenia Gravis 2.1.1. Epidemiologi Miastenia Gravis 2.1.2. Etiologi Miastenia Gravis 2.1.3 Patofisiologi Miastenia Gravis

i ii 1 1 1 3 3 4 4 5 6 10 11 12 15 15 15 18 20

2.1.3. Manifestasi Klinik Miastenia Gravis 2.1.4 2.1.5 Klasifikasi Miastenia Gravis Diferential Diagnosis

2.1.6. Penatalaksanaan Miastenia Gravis 2.1.7 2.2. Prognosa

Neuromuscular Junction 2.2.1. Anatomi dan Fisiologi Neuromuscular 2.2.2. Mekanisme Neurotransmisi

Daftar Pustaka

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakag (1) Miastenia gravis atau disebut dengan asthenic bulbar palsy, myasthenia gravis pseudoparalytica atau Goldflam's disease ialah suatu penyakit kronik dengan dasar imunologik, ditandai oleh kelemahan otot serat lintang, berpredileksi otot-otot mata dan otot-otot lain yang disarafi saraf cranial. Miastenia gravis merupakan penyakit neromuskuler dengan kelainan pada neuromuscular junction. Gejala klinik akibat kelemahan otot karena penyakit ini, sering timbul atau bertambah setelah kegiatan yang cenderung membaik atau berkurang sesudah istirahat. Kelemahan otot tersebut umumnya terjadi pada otot-otot gerak mata, kelopak mata, pengunyah, otot gerakan menelan, otot-otot mimik. Walaupun jarang, kelemahan otot dapat juga terjadi pada otot-otot pernapasan leher, badan dan anggota gerak. Sedangkan untuk otot jantung dan otot polos tidak diserang. Kelainan primer dari penyakit ini seringkali dihubungkan dengan gangguan transrnisi pada neuromuscular junction. Penyebab pasti belumdiketahui, tetapi teori terakhir mengatakan bahwa Miastenia Gravis merupakan kelainan imunologik. Miastenia gravis lebih sering terdapat pada orang dewasa, tetapi dapat juga terdapat pada anak dan bisa timbul segera setelah lahir atau sesudah umur 10 tahun. Penyakit ini perlu diobati meskipun kadang-kadang dapat terjadi remisi spontan.

1.2 Tujuan Penulisan a. Mengetahui definisi penyakit Miastenia Gravis. b. Mengetahui penyebab penyakit Miastenia Gravis. c. Mengetahui epidemologi penyakit Miastenia Gravis.

d. Mengetahui patogenesis/patofisiologi penyakit Miastenia Gravis. e. Mengetahui tanda dan gejala penyakit Miastenia Gravis. f. Mengetahui komplikasi yang bisa ditimbulkan oleh penyakit Miastenia Gravis. g. Mengetahui pencegahan penyakit Miastenia Gravis. h. Mengetahui penatalaksanaan penyakit Miastenia Gravis. i. Mengetahui prognosis penyakit Miastenia Gravis.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Penyakit Miastenia Gravis (2, 3, 4, 5) Miastenia gravis adalah salah satu penyakit gangguan autoimun yang mengganggu sistem sambungan saraf (synaps). Pada penderita miastenia gravis, sel antibodi tubuh atau kekebalan akan menyerang sambungan saraf yang mengandung acetylcholine (ACh), yaitu neurotransmiter yang mengantarkan rangsangan dari saraf satu ke saraf lainnya. Jika reseptor mengalami gangguan maka akan menyebabkan defisiensi, sehingga komunikasi antara sel saraf dan otot terganggu dan menyebabkan kelemahan otot. Istilah miastenia gravis berarti kelemahan otot yang parah. Miastenia gravis merupakan satu-satunya penyakit neuromuskular yang merupakan gabungan antara cepatnya terjadi kelemahan otot-otot voluntar dan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10 hingga 20 kali lebih lama dari normal). Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction. Gangguan tersebut akan mempengaruhi transmisi neuromuscular pada otot tubuh yang kerjanya di bawah kesadaran seseorang (volunter). Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan, dan umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial.(Dewabenny, 2008).

Miastenia gravis merupakan sindroma klinis akibat kegagalan transmisi neuromuskuler yang disebabkan oleh hambatan dan destruksi reseptor asetilkolin oleh autoantibodi. Sehingga dalam hal ini, miasteniagravis merupakan penyakit autoimun yang spesifik organ. Antibodi reseptor asetilkolin terdapat didalam serum pada hampir semua pasien. Antibodi ini merupakan antibodi IgG dan dapat melewati plasenta pada kehamilan. (Chandrasoma dan Taylor, 2005). Miastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi transmisi neuromuskuler pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang (volunteer) . Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial (Brunner and Suddarth 2002). Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun saaf perifer berupa terbentuknya antibody terhadap reseptor pascasinaptik asetilkolin (ACH) nikotinik pada myoneural junction.Diaman penurunan jumlah reseptor ACH ini menyebabkan penurunan kekuatan otot yang progesif dan terjadi pemulihan setelah istirahat (Dewanto dkk,2009:62). 2.1.1 Epidemiologi Miastenia Gravis Myastenia gravis memiliki insiden yang hampir sama pada semua ras, grup dan gender. Insidennya dikatakan 1 dalam 20.000. Pada wanita lebih banyak didapati pada usia dibawah 40 tahun, yang terbanyak 20 tahunan. Sedangakan laki-laki lebih banyak terkena pada usia 40-50 tahun. Perbandingan wanita dan laki-laki adalah 3:2. Sekitar 5% penyakit ini adalah familial. Faktor resikonya adalah familial, suatu myasthenia gravis yang dipicu oleh obat-obatan seperti D-penicilamin, terdapat hiperplasia timus dan adanya penyakit autoimun yang lain. 2.2 Etologi Miastenia Gravis Kelainan primer pada MiasteniaGravis dihubungkan dengan gangguan transmisi pada neuromuscular junction, yaitu penghubung antara unsur saraf dan unsur otot. Pada ujung akson motor neuron terdapat partikel- partikel globuler yang merupakan penimbunan asetilkolin (ACh). Jika rangsangan motorik tiba pada ujung akson, partikel globuler pecah dan ACh dibebaskan yang dapat memindahkan gaya sarafi yang kemudian bereaksi dengan ACh Reseptor (AChR) pada membran postsinaptik. Reaksi ini

membuka saluran ion pada membran serat otot dan menyebabkan masuknya kation, terutama Na, sehingga dengan demikian terjadilah kontraksi otot.

Penyebab pasti gangguan transmisi neromuskuler pada Miastenia gravis tidak diketahui. Dulu dikatakan, pada Miastenia gravis terdapat kekurangan ACh atau kelebihan kolinesterase, tetapi menurut teori terakhir, faktor imunologik yang berperanan.

2.1.2 Patofisiologi Miastenia Gravis Dalam kasus Miastenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl Choline Receptor (AChR). Kondisi ini mengakibakan Acetyl Choline (ACh) yang tetap dilepaskan dalam jumlah normal tidak dapat mengantarkan potensial aksi menuju membran post-synaptic. Kekurangan reseptor dan kehadiran ACh yang tetap pada jumlah normal akan mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang diaktifkan oleh impuls tertentu. inilah yang kemudian menyebabkan rasa sakit pada pasien. Pengurangan jumlah AChR ini dipercaya disebabkan karena proses auto-immun di dalam tubuh yang memproduksi anti-AChR bodies, yang dapat memblok AChR dan merusak membran post-synaptic. Menurut Shah pada tahun 2006, anti-AChR bodies ditemukan pada 80%-90% pasien Miastenia Gravis. Percobaan lainnya, yaitu penyuntikan mencit dengan Immunoglobulin G (IgG) dari pasien penderita Miastenia Gravis dapat mengakibatkan gejala-gejala Miastenic pada mencit tersebut, ini menujukkan bahwa faktor immunologis memainkan peranan penting dalam etiologi penyakit ini.

Alasan mengapa pada penderita Miastenia Gravis, tubuh menjadi kehilangan toleransi terhadap AChR sampai saat ini masih belum diketahui. Sampai saat ini, Miastenia Gravis dianggap sebagai penyakit yang disebabkan oleh sel B, karena sel B lah yang memproduksi anti-AChR bodies. Namun, penemuan baru menunjukkan bahwa sel T yang diproduksi oleh Thymus, memiliki peranan penting pada patofisiologis penyakit Miastenia Gravis. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya penderita Miastenic mengalami hiperplasia thymic dan thymoma.

2.1.3 Manifestasi Klinik Gejala miastenia gravis dapat bermacam-macam sehingga kadang sulit untuk membedakan dengan kelainan neurologis yang lain dan variasi normal. Pasien akan mengalami mudah lelah, kelemahan yang membaik dengan istirahat dan memburuk dengan gerakan berulang, dan berkurangnya toleransi terhadap exercise. Pasien jarang

mengeluh ngantuk atau nyeri otot, lebih sering datang dengan keluhan lemah pada grup otot tertentu ( misalnya saat naik tangga). Pada 85% kasus kelopak mata dan otot ekstra okular terlibat sehingga terdapat gejala ptosis dan diplopia.

MG: Limitation of adduction

MG: Ptosis

Pada keterlibatan otot wajah akan terjadi gejala perubahan bicara dan ekspresi. Kelemahan otot faringeal memberi gejala kesulitan mengunyah dan menelan yang progresif. Kelemahan otot pernafasan dapat menyebabkan kegagalan nafas, kejadiannya sekitar 1%. Pada 10-15 kasus dapat terjadi kelamahan otot bulbar saja, namun sebagian besar kelemahan generalisata. Pasien yang datang pada unit gawat darurat dan didiagnosa miastenia gravis biasanya sudah memiliki medikamentosa. Penyakit ini memiliki gejala yang berfluktuasi sehingga butuh penyesuaian dosis. Eksaserbasi dapat terjadi karena infeksi, adanya stress psikologi, non compliance pada obat, dan penggunaan obat. Obat yang dapat memicu eksaserbasi adalah antibiotik ( makrolid, fluoroquinolon, aminoglycosides, tetracycline, and chloroquine), Antiaritmia Beta blockers, calcium channel blockers, quinidine, lidocaine, procainamide, dan trimethaphan, lain-lain diphenylhydantoin, lithium,

chlorpromazine, muscle relaxants, levothyroxine, adrenocorticotropic hormone (ACTH), dan paradoxically, corticosteroid. Pemerikasaan fisik secara lengkap dan teliti diperlukan untuk mendiagnosa miastenia gravis. Pada mata diperiksa keadaan kelopak mata, gerakan bola mata, dan adanya diplopia. Tes dengan meminta pasien melihat kedepan dan kesamping selama 30 detik akan menimbulkan gejala ptosis dan diplopia. Bisa juga dilakukan dengan pasien berbaring lalu melihat kaki selama 60 detik. Untuk otot facialis diperiksa dengan gerakan-gerakan wajah. Pada tenggorokan yang perlu diperiksa adalah tone suara, kemampuan berbicara dalam periode waktu tertentu, kemampuan menelan, mengunyah, dan minum. Otot-otot yang lain diperiksa pada semua ekstremitas. Pada bahu diperiksa dengan merentangkan lengan dan dipertahankan beberapa waktu. Untuk ekstremitas bawah pasien dapat diminta untuk jongkok berdiri bebrapa kali, jalan dengan tumit dan tungkak selama 30 langkah. kekuatan otot abdomen diperiksa dengan gerakan sit up beberapa kali. Refleks fisiologis dan sensorik normal pada myasthenia gravis. Dan pada penyakit yang lama dapat ditemukan tanda-tanda atrofi otot. Karena myasthenia gravis berkaitan dengan penyakit tiroid maka perlu diperhatikan tekanan darah dan adanya glaucoma. Tanda-tanda artritis juga perlu dicari antara lain nyeri, pembengkakan sendi, kemerahan, dan hangat pada perabaan. Serta perlunya pemeriksaan untuk mencari penyakit-penyakit lain yang dapat menyertai myasthenia gravis seperti Diabetes Melitus tipe 1 dan SLE. Pemeriksaan Ice test dilakukan dengan mengaplikasikan ice pack pada kelopak mata setelah terjadi kelopak mata yang jatuh. Pada miastenia gravis, pemberian icing beberapa saat akan tampak perbaikan yang signifikan. Tes yang kedua adalah Tensilon tes, yaitu dengan memberikan obat tensilon yang bekerja short duration effect. Obat lain yang bisa digunakan untuk tes adalah mestinon dan neostgmin.

Tensilon test: Before (left); After (right)

Gb. Tensilon tes

Penting untuk mengetahui terjadinya miastenic krisis yaitu suatu kondisi mengancam nyawa dimana kelemahan yang terjadi cukup parah sehingga pasien membutuhkan intubasi atau ekstubasi setelah pembedahan tertunda. Kelemahan bulbar (orofaringeal) sering terjadi besama kelemahan otot pernafasan. Bila ini sangat berat sampai menyebabkan obstruksi jalan nafas atas atau aspirasi berat, maka dibutuhkan ventilator atau intubasi. Pemeriksaan penunjang 1. Tes darah : untuk mengetahui antibody terhadap reseptor asetilkolin nikotinik, sensitifitasnya 80-96%. Pada beberapa kasus antibody bisa negatif ( seronegatif ) dan separuh kasus terdapat antibody terhadap MuSK ( Muscle Specific Tyrosin Kinase), yaitu protein yang terdapat pada neuromuscular junction.

2. Electromyografi: - Repetitive Nerve Stimulation Test (RNS) : mengukur kelelahan otot dengan memberi stimulasi impulse listrik yang berulang.

Gb. RNS (Repetitive Nerve Stimulation)

Gb. Decremental response to RNS in Myasthenia Gravis

- Single Fiber Electromyography (SFEMG) : paling sensitive myasthenia gravis. Mengukur potensial aksi dari beberapa serat saraf.

Normal SFEMG

Increased jitter: MG patient

3. Thorax x-ray : untuk mencari adanya thymoma

Gb. Thymoma (T) in the anterior mediastinum

4. MRI otak: untuk menyingkirkan penyebab lain dari defisit saraf cranial, namun tidak rutin dilakukan.

3.1.4

Klasifikasi Miastenia Gravis Klasifikasi Myasthenia Gravis berdasarkan The Medical Scientific Advisory Board (MSAB) of the Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA) : Class I: Kelemahan otot okular dan Gangguan menutup mata, Otot lain masih normal Class II: Kelemahan ringan pada otot selain okular, Otot okular meningkat kelemahannya Class IIa: Mempengaruhi ekstrimitas, Sedikit mempengaruhi otot-otot oropharyngeal

Class IIb: Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan pernapasan, Juga mempengaruhi ekstrimitas Class III: Kelemahan sedang pada otot selain okuler, Meningkatnya kelemahan pada otot okuler Class IIIa: Mempengaruhi ektrimitas , Sedikit mempengaruhi otot-otot oropharyngeal Class IIIb: Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan pernapasan, Juga mempengaruhi ekstrimitas Class IV: Kelemahan berat pada selain otot okuler, Kelemahan berat pada otot okuler Class Iva: Mempengaruhi ekstrimitas, Sedikit pengaruh pada otot-otot oropharyngeal Class IVb: Terutama mempengaruhi otot-otot pernapasan oropharyngeal, Juga mempengruhi otot-otot ekstrimitas dan

Class V: Pasien yang membutuhkan intubasi (kecuali pada kasus postoperative)

Myastenia gravis yang terjadi pada anak-anak dapat dibagi menjadi: 1. Neonatal : terjadi pada 12 % anak yang ibunya menderita myasthenia gravis. Antibody akan melewati placenta dan akan ditrasnfer dari ibu ke janin, maka gejala miastenia gravis akan terlihat pada 2 hari pertama kelahiran. Gejala ini dapat menghilang beberapa minggu setelah lahir. Wanita dengan miastenia gravis biasanya akan membaik gejalanya saat hamil namun akan kembali memburuk setelah melahirkan. Namun beberapa penelitian menunjukkan perbrukan gejala miastenia gravis pada wanita hamil. 2. Kongenital : miastenia gravis kongenital jarang terjadi pada anak yang lahir dari ibu yang sehat. Gejala enyakit ini muncul sejak lahir. Kelainan ini bukan karena autoimun disease namun timbul karena adanya malformasi sinaps yang berasal dari mutasi genetic. Congenital Miastenia Syndrome (CMS) ini bersifat herediter.

3. Juvenile Myastenia Gravis : terjadi pada anak-anak namun setelah peripartum.

3.1.5

Diferential Diagnosis 1. Histeria 2. Multiple sclerosis 3. Symptomatic myasthenia 4. Moebius Syndrome 5. Cholinergic crisis Pada generalized Miastenia Gravis: 6. Lambert-Eaton myasthenic syndrome 7. Botulism 8. Myopathy Pada ocular miastenia: 9. Progressive external ophthalmoplegia 10. Thyroid disease 11. Oculopharyngeal muscular dystrophy Pada penderita dengan bulbar predominant Miestenia Gravis: 12. Motor neuron disease 13. Brainstem stroke 14. Diphtheria

2.1.6

Penatalaksanaan Miastenia Gravis 1. Medikamentosa, yang mempengaruhi transmisi neuromuskuler: Memblokir pemecahan Ach, seperti golongan Acetilcholin Esterase Inhibitor : Pyridostigmine bromide (Mestinon), Neostigmine bromide, diberikan sesuai toleransi penderita,biasanya dimulai dosis kecil sampai

dicapai dosis optimal. Pada bayi dapat dimulai dengan dosis 10 mg piridostigmin per os dan pada anak besar 30 mg , kelebihan dosis dapat menyebabkan krisis kolinergik (dispneu, miosis, lakrimasi, hipersalivasi, emesis, diare). Neostigmin Bromide (Prostigmin). Kerja lebih pendek. Dosis 15 mg tiap 3-4 jam Pyridostigmine bromide Dosis: sampai 600 mg/hari dengan dosis disesuikan dengan gejala (misalnya: 60-120 mg PO setiap 4-6 jam).

Kortikosteroid Diberikan prednison dosis tunggal atau alternating untuk mencegah efek samping. Dimulai dengan dosis kecil (12-50 mg prednison), dinaikkan perlahan-lahan sampai dicapai dosis yang diinginkan (maksimal 50-60 mg prednison). Kerja kortikosteroid untuk mencegah kerusakan jaringan oleh pengaruh imunologik atau bekerja langsung pada transmisi neromuskuler. Imunosupresan Yaitu dengan menggunakan Azathioprine, Cyclosporine,

Cyclophosphamide (CPM). Namun biasanya digunakan azathioprin (imuran) dengan dosis 2 mg/kg BB. Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikitdibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya. Perbaikan lambatsesudah 3-12 bulan. Kombinasi azathioprine dan kortikosteroid lebih efektif yang dianjurkan terutama pada kasus-kasus berat. Obat azathioprine 1-2,5 mg/minggu biasanya dipakai bersama prednison

Intravenous Imunoglobulin (IVIG ) Dosis : 0,4 gr/kg BB/hari selama 5 hari berturut- turut Plasmaferesis Adalah suatu prosedur yang didesain untuk membuang plasma dari darah dengan melakukan transfusi berulang elemen yang terbentuk ke dalam donor. Umumnya digunakan albumin atau plasma beku segar jenis tertentu, untuk menggantikan plasma yang dikeluarkan. Prosedur ini juga dimaksudkan untuk mengumpulkan komponen-komponen plasma, tujuan terapeutik, dan digunakan untuk mengeluarkan antibodi berlebihan dari darah seorang penderita, misalnya: lupus, multipel sklerosis, multipel mieloma, dsb Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50 ml/kg BB. Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam waktu singkat. Plasmaferesis bila dikombinasikan dengan pemberian obat imusupresan akan sangat bermanfaat bagi kasus yang berat. Namun demikian belum ada bukti yang jelas bahwa terapi demikian ini dapat memberi hasil yang baik sehingga penderita mampu hidup atau tinggal di rumah. Plasmaferesis mungkin efektif padakrisi miastenik karena kemampuannya untuk membuang antibodi pada reseptor asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada penanganan kasus kronik. 2. Non Medikamentosa Istirahat Dengan istirahat, banyaknya ACh dengan rangsangan saraf akanbertambah sehingga serat-serat otot yang kekurangan AChR di bawah ambang rangsang dapat berkontraksi. Thymectomy pada kasus timoma

Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang permanen dari pasien. Timektomi dianjurkan pada Miastenia Gravis tanpa timoma yang telah berlangsung 3-5 tahun. Dengan timektomi, setelah 3 tahun 25% penderita akan mengalami remisi klinik dan40-50% mengalami perbaikan. Terapi fisik dan rehabilitas, meliputi: Latihan luas gerak sendi, dapat diawali dengan latihan aktif assistif, kemudaiann bila sudah membaik kekuatannya dilakukan secara aktif. Penguatan : latihan penguatan penting untuk membuat pasien se fungsional mungkin. Penelitian oleh Loli dkk, 1997, menyimpulkan bahwa latihan pada penderita Miastenia gravis meningkatkan kekuatan otot terutama ekstensor lutut. Latihan pernafasan: dapat dilakukan latihan otot inspirasi untuk menguatkan otot-otot pernafasan. Selain itu perlu dilakukan pursed lip breathing dan pernafasan abdomen. Latihan ketahanan : latihan ketahanan yang disertai penguatan terbukti efektif untuk penyakit otot. Terapi okupasi: melatih bagaimana melakukan gerakan atau aktifitas secara efektif Terapi bicara : pada pasien yang mengalami kelemahan otot wajah dan tenggorokan Vocasional counseling Intervensi psikologi

2.1.7

Prognosa Secara umum penderita myasthenia gravis memiliki angka harapan hidup yang

normal, kecuali pada yang disertai timoma maligna dimana penurunan angka harapan hidup disebabkan karena timomanya. Pada yang tidak diterapi mortality rate nya 25-31%, sedangkan yang diterapi angkanya menjadi 4%. Dari seluruh pasien yang hanya memiliki gejala okuler, 16% akan tetap pada okuler saja setelah 2 tahun. Penyakit ini jarang menjaadi penyakit progresif dan pada beberapa kasus dapat terjadi remisi temporer dimana kelemahan otot tidak ada.

2.2 Neuromuscular Junction (6, 7) Adalah tempat dalam tubuh, tempat akson dari saraf motorik bertemu dengan otot dalam upaya transmisi sinyal dari otak yang memerintahkan otot untuk berkontraksi atau berelaksasi. Potensial aksi masuk ke serabut otot melalui sinapsis antara serabut saraf dan otot (neuromuscular junction). Di dalam synaptic knob terdapat synaptic vesicles yang mengandung asetilcolin sebagai neurotransmitter. Pada saat ada sinyal dari otak untuk berkontraksi, vesicles berisi neurotransmitter melebur ke membran synaptic melepas asetilcolin. 2.2.1 Anatomi dan Fisiologi Neuromuscular Daerah antara motor neuron dan sel otot disebut neuromuscular junction. Membran sel neuron dan serat otot dipisahkan oleh celah sempit (20-nm), belahan sinap. Pada saat depolarisasi potensial aksi saraf terminal, terjadi influks ion-ion kalsium melalui gerbang saluran kalsium bervoltasi ke sitoplasma saraf yang menyebabkan vesikel di membran terminal dan mengeluarkan asetilkolin (Acethylcholine). Molekul acethylcholine berdifusi sepanjang belahan sinap untuk berikatan dengan reseptor nikotinik kolinergik pada membran otot, di motor end-plate. Setiap neuromuscular junction berisi 5 juta reseptor, tapi hanya diperlukan 500,000 reseptor untuk kontraksi normal otot.

The neuromuscular junction. V, transmitter vesicle; M, mitochondrion; Acethylcholine, acetylcholine; AcethylcholineE, acetylcholinesterase; JF, junctional folds. (Reproduced, with permission, from DrAcethylcholineman DB: Myasthenia gravis. N Engl J Med 1978;298:135.)

Struktur reseptor acethylcholine bervariasi di setiap jaringan dan perkembangannya juga berbeda. Setiap reseptor acethylcholine pada neuromuskular junction normalnya mempunyai 5 subunit protein, 2 subunit dan subunit tunggal , , dan . Hanya sub unit identik yang bisa mengikat molekul acethylcholine. Bila kedua tempat pengikat diduduki acethylcholine, terjadi perubahan cepat pada subunit (1milisekon) membuka saluran ion pada inti reseptor (gambar 2). Saluran ini tidak akan terbuka jika acethylcholine hanya menduduki satu tempat.

A: struktur reseptor Acethylcholine. Note 2 subunit yang sama berikatan dengan Acethylcholine dan center channel. B: berikatannya Acethylcholine dengan reseptor pada mucle end-plate menyebaban terbukanya saluran (channel) dan ion flux .

Kation keluar melalui saluran acethylcholine yang terbuka (sodium dan kalsium masuk; potasium keluar), menghasilkan end-plate potential.Jika reseptor-reseptor telah cukup diduduki oleh acethylcholine, end-plate potential akan cukup kuat mendepolarisasi membran perijunctional. Saluran-saluran sodium pada bagian ini akan terbuka bila ambang batas voltase terlewati, berlawanan dengan reseptor-reseptor end-plate yang terbuka jika ada acethylcholine. Area perijunctional pada membran otot mempunyai densitas yang lebih

tinggi terhadap saluran-saluran sodium dibandingkan bagian-bagian lainnya. Resultan potensial aksi menyebar sepanjang membran otot dan sistem T-tubule yang membuka saluran-saluran sodium dan melepaskan kalsium dari sarkoplasma retikulum. Kalsium intraselular ini membuat actin dan myosin berinteraksi, yang membuat kontraksi otot. Jumlah acethylcholine yang biasanya terlepas dan jumlah reseptor-reseptor yang selanjutnya teraktivasi secara normal melebihi kebutuhan minimum untuk memulai suatu potensial aksi. Acethylcholine segera dihidrolisis ke dalam bentuk asetat dan kolin oleh enzim spesifik acetylcholinesterase. Enzim ini (disebut juga specific cholinesterase atau true cholinesterase) tertanam pada membran motor end-plate dan segera mendekati reseptorreseptor acethylcholine. Akhirnya reseptor saluran ion menutup, menyebabkan repolarisasi end-plate. Ketika potensial aksi berhenti, saluran-saluran sodium pada membran otot juga tertutup. Kalsium memisahkan diri ke sarkoplasmik retikulum, dan sel otot relaks. 2.2.2 Mekanisme Neurotransmisi Setiap serabut saraf bermielin yang masuk ke otot rangka membentuk banyak cabang yang jumlahnya tergantung pada ukuran unit motoriknya. Cabang tersebut akan berakhir pada otot rangka di tempat yang disebut neuromuscular junction atau motor-end-plate. Sebagian serabut- serabut otot hanya dipersarafi oleh satu motor-end-plate. Saat mencapai serabut otot, saraf kehilangan selubung myelin dan pecah menjadi cabang- cabang halus. Masing- masing saraf berakhir sebagai akson yang terbuka dan membentuk unsur neural motor-end-plate. Pada motor-end-plate, permukaan serabut otot sedikit meninggi serta membentuk unsur otot (sole plate). Elevasi terjadi akibat akumulasi sarkoplasma granular di bawah sarkolema serta banyak inti dan mitokondria.

Akson terbuka yang melebar terletak pada alur permukaan serabut otot yang dibentuk oleh lipatan sarkolema ke dalam (junctional fold= dasar alur dibentuk oleh sarkolema yang membentuk lipatan- lipatan). Junctional fold berfungsi memperuluas area permukaan sarkolema yang terletak di dekat akson yang melebar. Di antara membran plasma akson (aksolema atau membran prasinaps) dan membran plasma serabut otot (sarkolema atau membran pasca sinaps) terdapat celah sinaps. Saat potensial aksi mencapai membran prasinaps motor-end-plate, kanal voltage-gated Ca2+ terbuka dan Ca2+ masuk ke dalam akson. Hal ini menstimulasi penggabungan vesikel sinaptik dengan membran prasinaps dan menyebabkan pelepasan asetilkolin ke celah sinaps. Kemudian asetilkolin menyebar dan mencapai reseptor Ach tipe nikotinik di membran pascasinaps junctional fold. Setelah pintu kanal terbuka, membran pasca sinaps lebih permeabel terhadap Na+ yang mengalir ke dalam sel- sel otot dan terjadi potensial local (end-plate-potensial). Pintu kanal Ach permeabel terhadap K+ yang keluar dari sel namun dalam jumlah yang lebih kecil. Jika end-plate-potensial lebih besar, kanal voltage gated untuk Na+ terbuka dan timbul potensial aksi yang menyebar sepanjang permukaan sarkolema. Gelombang depolarisasi diteruskan ke serabut otot oleh sistem tubulus T menuju myofibril yang kontraktil. Hal ini menyebabkan pelepasan Ca2+ dari reticulum sarkoplasma yang akan menimbulkan kontraksi otot.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Nara, Dr. P. dan Dr. Endang. D Thamrin, 1986. Miastenia Gravis (Online), Cermin Dunia Kedokteran. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/12_MiasteniaGravis.pdf/12_MiasteniaGravis.pdf. 23 Juni 2012

2.

Judarwanto, dr Widodo, 2012. Penyakit Autoimun Miastenia Gravis, Manifestasi Klinis dan Pengobatan (Online), http://allergyclinic.wordpress.com/2012/03/17/penyakitautoimun-miastenia-gravis-manifestasi-klinis-dan-pengobatan/. 23 Juni 2012

3.

Santoso, farida, 2011. Myastenia Gravis (Online), http://faridasantoso.wordpress.com/2011/12/22/myastenia-gravis/. 23 Juni 2012

4. 5.

http://medlinux.blogspot.com/2009/02/miastenia-gravis.html Anurogo, dr. Dito, 2008. Tips Praktis Mengenali Myasthenia Gravis (Online), http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=3&dn=20080503023219, 23 Juni 2012

6. 7.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24478/4/Chapter%20II.pdf Anisa, lyriestrata, 2010. Mekanisme Impuls Saraf (Online). http://www.medicinesia.com/kedokteran-dasar/neurosains/mekanisme-impuls-saraf/. 23 Juni 2012

8.

Sidharta, P., 1999, Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum, hal 129,142, 167, 174, 421, Dian Rakyat, Jakarta

9.

Sidharta, P., 1999, Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi, hal 139, 280, 317, 366, 390, 421, 576, Dian Rakyat, Jakarta Dikoreksi oleh

(dr. Albert Liangtono. T, Sp.S)

MIASTENIA GRAVIS

Disusun Oleh : Anggie Parameswari Tanaya Parahita Muhammad Zulfa Nizar Anas

KEPANITERAAN KLINIK SMF NEUROLOGI RSUD dr. WAHIDIN SUDIRO HUSODO MOJOKERTO 2012

Anda mungkin juga menyukai