Anda di halaman 1dari 16

TINJAUAN TEORI ASMA BRONCHIALE

1. KONSEP DASAR PENYAKIT 1.1 Pengertian Asma bronchiale adalah suatu penyakit paru dengan tanda-tanda khas berupa manifestasi berupa penyumbatan (obstruksi) saluran pernafasan yang dapat pulih kembali baik secara spontan maupun dengan pengobatan, keradangan saluran pernafasan, peningkatan kepekaan yang berlebihan dari saluran pernafasan terhadap berbagai rangsangan (Alsagaaf Hood, 2005). Asma bronchiale adalah suatu gangguan pada saluran bronchial dengan ciri bronkospasme, periodik (kontraksi spasme pada saluran nafas). Asma merupakan penyakit kompleks yang dapat diakibatkan oleh faktor biokimia, endokrin, infeksi, otonomik dan psikologi (Somantri, 2008). 1.2 Kalsifikasi Menurut Konthen, P.G, dkk dalam buku pedoman diagnosis dan terapi Konthen, P.G, dkk (2008; 53) asma dibagi menjadi 4 derajat yaitu: 1) Derajat I: intermitten (1) Gejala muncul kurang dari sekali dalam satu minggu (2) Kekambuhan berlangsung singkat (3) Serangan atau gejala asma pada malam hari < 2 kali dalam sebulan (4) FEV2 (Force Expiratory Volume dalam 2 detik) > 80% prediksi atau PEF (Peak Respiratory Flow) > 80% nilai terbaik penderita (5) Variabilitas PEEF atau FEV1 < 20% 2) Derajat II: persisten ringan (1) Gejala muncul > 1 kali dalam seminggu, tetapi tidak setiap hari (2) Kekambuhan mengganggu aktivitas sehari-hari dan mengganggu tidur (3) Serangan atau gejala asma pada malam hari > 2 kali dalam sebulan (4) FEV1 > 80% prediksi atau PEEF > 80% nilai terbaik penderita (5) Variabilitas PEF atau FEV, 20-30%

3) Derajat III: persisten sedang (1) Gejala muncul setiap hari (2) Kekambuhan mengganggu aktivitas sehari-hari dan mengganggu tidur (3) Serangan atau gejala asma pada malam hari > 1 x dalam seminggu (4) FEV1 60-80% prediksi atau PEF 60-80% nilai terbaik penderita (5) Variabilitas PEEF atau FEV1 >30% 4) Derajat IV persisten berat (1) Gejala muncul setiap hari (2) Kekambuhan sering terjadi (3) Serangan atau gejala asma pada malam hari sering terjadi (4) FEV1 < 60% prediksi atau PEF < 60% nilai terbaik penderita Variabilitas PEF atau FEV1 > 30%. 1.3 Etiologi Penyebab terjadinya asma menurut Kowalak (2011), Konthen, P.G, dkk (2008;50), dan Danusantoso (2000) 1) Faktor ekstrinsik: reaksi antigen-antibodi; karena inhalasi alergen (debu, serbuk-serbuk, bulu-bulu binatang, spora jamur, dan tepung sari rerumputan). polen (tepung sari bunga), debu rumah atau kapang, bantal kapuk atau bulu, zat aditif pangan yang mengandung sulfit, zat lain yang menm,bulkan sensitifitas 2) Faktor intrinsik: infeksi: para influenza virus, pneumonia, Mycoplasma, Kemudian dari fisik: cuaca dingin, perubahan temperature atau kelembapan, tertawa, faktor genetik, emosional; takut, cemas, dan tegang, perubahan endokrin. 3) Iritan: kimia, polusi udara ( CO, asap rokok, parfum ). 4) Aktivitas yang berlebihan juga dapat menjadi faktor pencetus. 5) Obat-obatan: aspirin, NSAID, -bloker. 1.4 Patofisiologi Menurut Smeltzer (2001:611), patologi dari asma adalah sbb: Asma terjadi karena adanya penyempitan pada jalan nafas dan hipereaktif bronkus terhadap bahan iritasi, alergen, atau stimulus lain. Dengan adanya bahan iritasi atau allergen otot-otot bronkus menjadi spasme dan zat antibodi tubuh 2

muncul ( immunoglobulin E atau IgE ) dengan adanya alergi. IgE di muculkan pada reseptor sel mast dan akibat ikatan IgE dan antigen menyebabkan pengeluaran histamine, bradikinin, anafilaktosin. Mediator tersebut akan menyebabkan kontraksi otot polos yang menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler, oedema mukosa,sekresi mukus meningkat sehingga produksi sekret meningkat. Respon asma terjadi dalam tiga tahap : pertama tahap immediate/ segera yang ditandai dengan bronkokontriksi dalam 1-2 jam (puncaknya dalam 30 menit), tahap delayed dimana brokokontriksi dapat berulang dalam 4-6 jam dan terus-menerus 2-5 jam lebih lama dan menghilang dalam 12-24 jam, tahap late yang ditandai dengan peradangan dan hiperresponsif jalan nafas beberapa minggu atau bulan. Selama serangan asthmatik, bronkiulus menjadi meradang dan peningkatan sekresi mukus. Hal ini menyebabkan lumen jalan nafas menjadi bengkak dan obstruksi sehingga ventilasi tidak adekuat terjadi penurunan P02 ( hipoxia). Selama serangan astma , CO2 tertahan dengan meningkatnya resistensi jalan nafas selama ekspirasi, dan menyebabkan acidosis respiratory dan hypercapnea dan dapat menimbulkan distress nafas 1.5 Manifestasi Klinis Menurut Djojodibroto (2009:69) dan Muttaqin (2008:172) ada beberapa manifestasi klinis yang dapat muncul pada pasien dengan asma: 1) Wheezing, yaitu suara yang terdengar kontinu, nadanyalebih tinggi dibanding suara napas lainnya. Suara ini disebabkan karena adanya penyempitan saluran napas kecil (bronkus perifer dan bronkiolus). Karena udara melewati suatu peyempitan (Djojodibroto,2009:69). 2) Dispnea dengan lama ekspirasi, penggunaan otot-otot aksesoris pernafasan, cuping hidung, retraksi dada dan stridor Akibat dari bronkospasme, edema mukosa dan dinding bronkholus serta hipereksresi mucus menyebabkan terjadinya penyempitan pada bronkiolus dan percabangannya sehingga akan menimbulkan rasa sesak, napas berbunyi dan batuk produktif (Muttaqin, 2008:172). 3

3) Gelisah Lebih sering terjadi pada anak-anak. Anak mengalami gelisah kerana sesak napas yang dialami. 4) Tidak toleran terhadap aktivitas, makan, bermain, berjalan, bicara 5) Meningkatnya ukuran diameter anteroposterior (barrel chest ini timbul akibat terjadinya overinflasi paru, overinflamasi paru terjadi karena adanya sumbatan sehingga paru berusaha mengambil udara secara paksa) 1.6 Pemeriksaan Penunjang Menurut Muttaqin (2008:178) ada beberapa pemeriksaan yang dilakukan pada penderita asma yaitu: 1) Pemeriksaan Fungsi Paru (Spirometri) Pengukuran ini dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator aerosol golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20 % menunjukkan diagnosa asma 2) Tes Provokasi Bronkhus Tes ini dilakukan pada spirometri internal. Penurunan FEV 1 sebesar 20 % atau lebih setelah tes provokasi dan denyut jantung 80-90 % dari maksimum dianggap bermakna bila menimbulkan penurunan PEF 10 % atau lebih. 3) Pemeriksaan Kulit Untuk menunjukkan adanya antibodi IgE hipersensitif yang spesifik dalam tubuh. 4) Pemeriksaan Laboratorium (1) Analisa Gas Darah Hanya dilakukan pada serangan asma berat karena terdapat hipoksemia, hiperkapnea, dan asidosis respiratorik 4

(2) Sputum Adanya badan kreola adalah karekteristik untuk serangan asma berat, karena reaksi yang hebat saja yang menyebabkan transudasi dari edema mukosa, sehingga terlepaslah sekelompok sel-sel epitel dari perlekatannya. Pewarnaan gram penting untuk melihat adanya bakteri, cara tersebut kemudian diikuti kultur dan uji resistensi terhadap beberapa antibiotik.

(3) Sel Eosinofil Sel eosinofil pada status asmatikus dapat mencapai 1000-1500/mm 3 baik asma intriksik maupun ekstrinsik, sedangkan hitung sel eosinofil normal antara 100-200/mm3. (4) Pemeriksaan darah rutin dan kimia Jumlah sel leukosit yag lebih dari 15.000/mm 3 terjadi karena adanya infeksi. SGOT dan SGPT meningkat disebabkan kerusakan hati akibat hipoksia atau hiperkapnea. 5) Pemeriksaan Radiologi Hasil pemeriksaan radiologi pada klien dengan asma bronkhial biasanya normal, tetapi prosedur ini tetap harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya proses patologi di paru atau komplikasi asma seperti pneumothoraks, pneumomediastinum, atelektasis. 1.7 1) Penatalaksanaan Edukasi penderita Penderita dan keluarga harus mendapatkan informasi dna pelatihan agar dapat mencapai kendali asma semaksimal mungkin. Diharapkan penderita dan keluarga dapat membina hubungan yang kooperatif dengan tingkat kepatuhan yang tinggi (Konthen, P.G, 2008: 55). 2) Upaya menghindari faktor resiko

Kekambuhan asma seringkali dipicu oleh beberapa macam alergen, polutan, makanan, obat-obatan, atau infeksi saluran nafas. Menghindari faktor-faktor pencetus dapat mengurangi frekuensi kekambuhan, meningkatkan kendali asma, dan mengurangi kebutuhan obat-obatan (Konthen, P.G, 2008: 55). 3) Terapi Medikamentosa Terapi ditentukan berdasarkan derajat asma. Secara umum terapi medikamentoda untuk asma dikelompokkan menjadi obat-obat pelega (reliever) dan obat-obat pengendali (controller). Setelah kendali asma tercapai sekurangnya selama 3 bulan dapat dicoba untuk mengurangi secara bertahap (step down) agar kendali asma dapat dicapai dengan terapi yang minimal (Konthen, P.G, 2008: 55).

Menurut Masjoer (2000) terapi serangan asma akut sebagai berikut: Beratnya serangan Ringan Aktivitas hampir normal, berbicara dalam kalimat penuh , denyut nasi 100x/menit APE > 60% Terapi Terbaik: agonis Beta-2 isap (Isap) 2 Isap boleh diulang 1 jam kemudian tiap 20 menit dalam 1 jam Alternatif: agonis Beta-2 oral dan atau 3x1/2-1 tablet (2mg) oral. Teofilin 75-150mg, lamanya terapi menurut kebutuhan. Terbaik Agonis beta 2 secara nebulisasi 2.5-5mg dapat diulang samapai 2x dalam 1 jam dan dapat dilanjutkan setiap 1-4jam kemudian Alternatif Agonis Beta 2 I.M/ adrenergik S.K Dan Steroid iv/Kortison 100200mg, im deksametason 5mg iv Oksigenasi 4 liter.menit Terbaik: Agonis beta 2 secara nebulisasi dapat diulangi s/d 3x 6 Lokasi Di rumah

Sedang Hanya mampu berjalan jarak dekat Bicara dalam kalimat terputusputus Denyut nadi 100120x/menit APE 40-60%

Puskesmas Klinik rawat jalan Unit gawat darurat Praktik dokter umum Dirawat RS bila tidak berespon dalam 2-4jam

Berat Sesak pada istirahat

saat

Unit darurat Rawat

gawat bila

Bicara dalam katalata terputus Denyut nadi > 120x/menit APE <40% atau 1L/menit

Mengancam jiwa Kesadaran menurun Kelelahan Sianosis Henti napas

dalam 1 jam pertama tidak respon dalam 2 selanjutnya diulang setiap 1-4 jam maksimal 3 jam jam kemudian Pertimbangka Teofilin iv dan infus n rawat ICU bila Steroid iv dalapt diulang 8-12 cenderung memburuk progresif jam Agonis beta 2 sk/iv.6jam Oksigen 4 liter per menit. Terbaik: ICU Lanjutkan terapi sebelumnya Pertimbangkan intubasi dan ventilasi mekanik Pertimbangkan anasthesi umum untuk terapi pernapasan intensif, bila perlu lakukan kurasan bronkoalveolar (BAL)

4)

Menurut Mansjoer (2000) penatalaksanaan pada pasien asma sebagai Perlu diberikan edukasi, antara lain mengenai pantogenesis asma, peranan

berikut: terapi asma, jenis-jenis terapi yang tersedia, serta faktor pencetus yang perlu dihindari. Pastikan pasien menggunakan alat inhalasi yang sesuai. Secara umum, terdapat dua jenis obat dalam penatalaksanaan asma, yaitu obat pengendali (controller) dan pereda (reliever). Obat pengendali merupakan profilaksis serangan yang diberikan tiap hari, ada atau tidak ada serangan/gejala, sedangkan obat pereda adalah yang diberikan saat serangan. Terapi medikamentosa dapat diliat pada gambar di bawah ini. Asma episodik jarang (asma ringan) Obat pereda beta agonis atau teofilin (inhalasi atau oral) bila perlu (serangan) Dosis >3x <3x

Asma episodik sering (asma sedang)

Tambahkan obat pengendali: kromoglikat/nedokrimil hirupan 6-8 minggu, respons (-) (+)

Asma persisten (asma berat)

obat pengendali: ganti dengan steroid inhalasi dosis rendah obat pereda: beta agonis teruskan 6-8 minggu, respons (-) (+)

(asma sangat berat)

Pertimbangkan penambahan salah satu obat: >beta agonis kerja panjang >beta agonis lepas kendali >teofilinlepas lambat 6-8 minggu, respons (-) (+)

Naikkan dosis steroid inhalasi 6-8 minggu, respons (-) (+)

Tambahkan steroid oral

2.

KONSEP KEPERAWATAN

2.1 Pengkajian 2.1.1 Identitas (Smeltzer, 2001) 1) Usia dan jenis kelamin Asma dapat terjadi pada sembarang usia; sekitar setengah dari kasus terjadi pada anak-anak dan sepertiga lainnya terjadi sebelum usia 40 tahun. Asma terutama terjadi pada anak laki-laki di masa kecil, dengan rasio priaperempuan 2:1 sampai pubertas, jika rasio pria-perempuan menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar pada wanita setelah pubertas, dan mayoritas onset dewasa kasus didiagnosis pada orang tua dari 40 tahun terjadi pada wanita. 2) Tempat tinggal Terjadi pada seseorang, terutama mereka yang tinggal dipemukiman yang padat tempat tinggalnya, lembab, polusi udara, berdebu, ada binatang peliharaan di rumah, dan kurangnya ventilasi dari rumah. (Morris, 2012; Konthen. P. G, dkk, 2008). 3) Pekerjaan Pegawai pabrik, dan pekerjaan yang berhubungan dengan asap dan polusi yang dapat menyebabkan pernapasan terganggu (Muttaqin, 2008).

2.1.2 Riwayat kesehatan 1) Riwayat penyakit sekarang Serangan asma mendadak secara klinis dapat terjadi menjadi 3 stadium. Stadium pertama ditandai dengan batuk-batuk berkala dan kering. Stadium kedua ditandai dengan batuk disertai mukus yang jernih dan berbusa. Klien merasa sesak napas, berusaha untuk bernapas dalam, ekspirasi memanjang diikuti dengan mengi (wheezing). Stadium ketiga ditandai dengan hampir tidak terdengarnya suara napas karena aliran udara kecil, tidak ada batuk, pernapasan menjadi dangkal dan tidak teratur, irama napas meningkat karena afiksia (Muttaqim 2008). 2) Riwayat penyakit dahulu Menurut Mutaqin (2008) Salah satu riwayat penyakit dahulu selain asma yaitu pernah mengalami infeksi saluran pernapasan atas (ISPA). Ada riwayat alergi, ada riwayat sakit asma, timbul pada waktu / musim tertentu (Konthen, P.G, 2008; Smeltzer, 2001). 3) Riwayat penyakit keluarga Menurut teori Mutaqim (2008) riwayat penyakit keluarga didapatkan adanya anggota keluarga yang mempunyai riwayat penyakit asma, pneumonia, TBC, influenza yang berulang. 4) Riwayat alergi Menurut Smeltzer (2001: 611) pada pasien dengan asma alergik biasanya mempunyai riwayat keluarga yang alergik dan riwayat media masa lalu ekszem dan rhinitis alergik . pemajanan terhadap alergen mencetuskan serangan asma. 5) Riwayat Psikososialspiritual Pasien sering mengalami kecemasan, takut, mudah tersinggung, interaksi sosial terbatas, kurang pengetahuan terhadap kondisi penyakitnya, hubungan ketergantungan, kurang sistem pendukung, kegagalan dukungan dari orang terdekat (Konthen, P.G, 2008; smeltzer, 2001; Doengoes, 2000). 2.1.3 Activity Day Living

10

1)

Kebutuhan

aktivitas/istirahat:

keletihan,

kelemahan,

malaise,

ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit bernafas, ketidamampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi duduk tinggi, dispnea pada saat istirahat (Doengoes, 2000). 2) Kebutuhan nutrisi: mual, muntah, nafsu makan menurun, ketidakmampuan untuk makan karena distress pernafasan, turgor kulit buruk (Doengoes, 2000). 3) 4) Kebutuhan higiene perseorangan: penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktivitas sehari-hari (Doengoes, 2000). Kebutuhan eliminasi/urine: cenderung normal (Smeltzer, 2001).

2.1.4 Pemeriksaan Fisik 1) Sistem pernapasan Terjadi peningkatan usaha dan frekuensi napas yang cepat dan dangkal serta adanya penggunaan otot bantu pernapasan. Inpeksi dada untuk melihat postur bentuk dan kesimetrisan. Adanya peningkatan diameter anterosposterior, retraksi otot-otot interkostalis, sifat dan irama pernapasan. Napas cuping hidung, slem kental berbuih, terdapat suara vesikuler yang meningkat disertai dengan ekspirasi lebih dari 4 detik atau lebih dari 3 kali inspirasi, adanya wheezing saat ekspirasi (Konthen, P.G, 2008; Smeltzer, 2001; Muttaqim 2008). 2) Sistem kardiovaskuler Nadi meningkat, tekanan darah meningkat, turgor kulit menurun, suhu tubuh meningkat, berkeringat, ada pulsus paradoksus atau nadi kuat saat ekspirasi (Konthen, P.G, 2008; Muttaqim 2008). 3) Sistem persarafan Pasien gelisah, bingung, pada asma yang berat pasien akan mengalami penurunan kesadaran apakah composmetis, somnolen atau koma (Konthen, P.G, 2008; Smeltzer, 2001; Muttaqim 2008) 4) Sistem perkemihan

11

Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake cairan, namun biasanya cenderung normal (Muttaqim 2008 dan Smeltzer, 2001). 5) Sistem pencernaan Kehilangan nafsu makan, mual, muntah, penurunan berat badan, kulit kering dengan turgor kulit yang buruk. (Smeltzer, 2001; Muttaqim, 2008) 6) Sistem muskuloskeletal Kelemahan dan kelelahan, penurunan toleransi terhadap aktifitas. (Smeltzer,2001; Muttaqim 2008). 2.2 Masalah Keperawatan (Doenges, 2000; Capernito, 2006; Muttaqim 2008) 1) PK: Hipoksia 2) Kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan nafsu makan 3) Resiko cedera yang berhubungan dengan kesadaran menurut karena O2 kejaringan otak menurun. 4) Intoleran aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen dengan kebutuhan oksigen 5) Ansietas berhubungan dengan dampak kondisi dan lingkungan perawatan kritis 2.3 Intervensi (Doenges, 2000; Capernito, 2006) 1) PK: Hipoksia Tujuan : pasien tidak kekurangan oksigen setelah keperawatan dengan kriteria hasil : - pasien tidak sesak, tidak sianosis - frekwensi nafas normal (12-20x/menit) - tidak ada nafas cuping hidung - tidak menggunakan otot bantu pernafasan - tidak ada wheezing. - Rasio I:E=1:2 (tidak ada ekspirasi memanjang) - Hasil BGA normal (pH: 7,35- 7,45, PCO2: 35-45mmHg, PO2: 80100mmHg, HCO3: 22-26 mEq/L, BE:+2) Intervensi: (1) Jelaskan kepada keluarga penyebab dari sesak 12 dilakukan tindakan

R/sesak terjadi karena adanya penumpukan sekret sehingga terjadi penyempitan jalan nafas, hal ini menyebabkan oksigen yang masuk menjadi berkurang. (2) Berikan posisi semi fowler dan bed rest. R/Meningkatkan inspirasi maksimal, dan meningkatkan pengeluaran sekret untuk memperbaiki ventilasi (3) Kolaborasi dalam pemberian - O2 R/ O2 membantu pasien untuk pernapasan secara efektif - Steroid R/ bekerja melalui difusi pasif melalui membran sel yang berikatan dengan protein reseptor di dalam sitoplasma. Kompleks reseptor hormon kemudian masuk ke dalam nukleus mempengaruhi transkripsi sejumlah gen-gen target yang menyebabkan penurunan sintesis molekul-molekul proinflamasi termasuk sitokin, interleukin, molekul adhesi dan protease serta steroid membantu melawa edema mukosa bronchial. - Bronchodilator sesuai yg ditentukan (agonis -2 dan Xantin) R/Bronkhodilator akan merelaksasi otot polos bronkial. (4)Observasi RR, nadi, tanda hypoksia: gelisah, takhicardia, SpO 2, suara nafas tambahan R/ Deteksi efektitas jalan nafas dan adequatnya distribusi oksigen dalam tubuh. 2) Kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan nafsu makan. Tujuan: nutrisi pasien terpenuhi sesuai dengan kebutuhan tubuh setelah dilakukan perawatan dengan kriteria evaluasi: - Pasien menunjukkan peningkatan BB 0, 5 kg/minggu, - Hasil laboratorium ( Hb dan Albumin ) dalam batas normal (> 3,5 mMol/L). - Pasien menghabiskan porsi makannya - Intake caran terpenuhi 13

Intervensi (1)Jelaskan pentingnya nutrisi yang adekuat dan yang tidak membuat rasa mual. R/ Intake nutrisi yang adekuat memberikan kalori untuk tenaga dan protein untuk proses penyembuhan (2) Beri oral hygiene pada pasien sebelum makan R/ pemberian oral hygiene pada pasien untuk mengurangi bau mulut pada pasien (3)Beri makan porsi kecil dan sering (makanan yang lunak dan mudah dicerna) R/ makan sedikit tapi sering akan mengurangi energy untuk mengunyah dan tidak menyebabkan lambung terisi berlebihan sehingga dapat menurunkan ekspansi paru. (4)Hidangkan makanan yang menimbulkan selera dan menarik dalam penyajiannya. R/ Meningkatkan selera makan (5)Kolaborasi dalam pemberian obat antiemetik, pemeriksaan Albumin dan Hb R/ Mengurangi gejala gastrointestinal dan perasaan tidak enak pada perut, Albumin dan Hb merupakan indikator intake nutrisi tubuh terpenuhi (6) Observasi BB tiap minggu sekali dengan alat ukur yang sama. R/ Peningkatan BB 0, 5 kg/minggu menandakan indikator keberhasilan tindakan. 3) Resiko cedera yang berhubungan dengan perubahan fungsi serebral sekunder akibat hipoksia jaringan. Tujuan: tidak terjadi cedera setelah dilakukan tindakan keperawatan dengan kriteria hasil: 1) Pasien mampu mengubah posisi tubuh sendiri 2) Pasien mampu mengungkapkan keinginan untuk melakukan tindakan pengamanan untuk mencegah cedera Intervensi 14

(1)Batasi aktivitas seperti menggerakkan kepala tiba-tiba. R/ batasi aktivitas agar pulih kembali kesadaran. (2)Ambulasi dengan bantuan . R/ bantuan membantu pasien untuk mengurangi kecelakaan. (3)Tinggikan pengaman tempat tidur R/ membantu melindungi pasien dari cidera (4)observasi kesadaran dan aktivitas. R/ indikator keberhasilan tindakan keperawatan

4) Intoleran aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen dengan kebutuhan oksigen Tujuan : Klien lebih toleran thd aktivitas yg dilakukan setelah dilakukan tindakan keperawatan dengan kriteria : - Tidak didapatkan tanda- tanda hypoksia pada peningkatan aktivitas - Klien mampu melakukan aktivitas dengan bantuan minimal Intervensi: (1) Berikan lingkungan yang tenang dan batasi pengunjung R/ Menurunkan stres dan rangsangan berlebihan, meningkatkan istirahat (2)Bantu dan motivasi klien dalam meningkatkan aktivitasnya secara bertahap R/ Mencegah kelelahan yg berlebihan , mencegah peningkatan beban kerja jantung. (3) Observasi kemampuan aktivitas klien R/ Deteksi keberhasilan tindakan (4) Rencanakan program istirahat diantara aktivitas yg dilakukan R/ Peningkatan aktivitas secara bertahap memberikan kesempatan pada tubuh menyeimbangkan persediaan oksigen dengan kebutuhan. 5) Ansietas berhubungan dengan dampak kondisi dan lingkungan perawatan kritis 15

Tujuan : pasien menyatakan peningkatan kenyamanan psikologi dan fisiologi dengan kriteria hasil: - Menggambarkan ansietas dan pola kopingnya - Menggunakan mekanisme koping yang efektif Intervensi (1) Jelaskan kepada pasien tentang penyakit R/ pasien mampu menghindari faktor-faktor yang dapat menyebabkan penyakit.

(2)Jelaskan tentang tanda dan gejala yang perlu dilaporkan dan segera mendapatkan penanganan R/ keikutsertaan pasien dalam memonitor kesehatannya dan meningkatkan tanggung jawab dalam pemeliharaan kondisi serta mencegah penyakit berulang. (3)Libatkan keluarga dalam membantu memberikan asuhan keperawatan yang tepat. R/ peran keluarga merupakan support system dalam meningkatkan keberhasilan tindakan keperawatan (4)Beri dukungan emosional selama masa perawatan R/ perawatan medis menimbulkan krisis situasi. Mendengarkan kekhawatiran serta perasaannya akan membantu pasien untuk beradaptasi dengan krisis yang dialaminya.

16

Anda mungkin juga menyukai