Anda di halaman 1dari 19

1.

Jelaskan definisi , ruang lingkup, asas prinsip tujuan, dalil quran di perundang undangan nikah beda agama , sirri, mutah, campuran dan dibawah umur Definisi Definisi dari pernikahan beda agama adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang muslim baik pria maupun wanitanya dengan penganut agama lain (non muslim) secara keseluruhan, tanpa terkecuali pria dan wanitanya berasal dari agama yang mana. Definisi dari nikah sirri adalah nikah secara rahasia, atau sesuatu yang disembunyikan berbeda dengan Nikah pada umumnya yang dilakukan secara terang-terangan Nikah siri tidak dicatatkan secara resmi dalam lembaga pencatatan negara sering pula diistilahkan dengan Nikah di bawah tangan Nikah di bawah tangan adalah Nikah yang dilakukan tidak menurut hukum. Definisi dari mutah adalah sesuatu (uang, barang, dsb) yg diberikan suami kpd istri yg diceraikannya sebagai bekal hidup (penghibur hati) bekas istrinya Definisi dari Perkawinan Campuran adalah Perkawinan antara dua orang yang ada di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia Definisi dari Perkawinan Dibawah Umur adalah Perkawinan antara dua orang yang salah satu atau keduanya yang masih belum dapat dikatakan cukup umur untuk melakukan suatu pernikahan

PENJELASAN Pernikahan beda agama Seiring dengan berkembangnya kehidupan perkotaan, serta semakin majunya teknologi, maka ruang lingkup sosialisasi dari setiap individu menjadi begitu luas. mulai dari yang sekedar hijrah ke kota untuk bersekolah, sampai dengan yang bertujuan merubah nasib yanitu menata karir . Pada kehidupan perkotaan, termasuk juga kehidupan pedesaan di jaman sekarang, setiap individu yang merasa saling tertarik dan memiliki niat baik untuk membina suatu hubungan pribadi , tentu banyak yang berlatar belakang dengan agama yang berbeda. tapi yang namanya cinta, pasti bisa mengalahkan segalanya, mungkin yang tadinya terlau fanatik , lau kemudian cara pandangnya mulai berubah hingga tidak lagi melihat perbedaan agama sebagai suatu hambatan untuk membina sebuah hubungan yang bersifat pribadi . Melihat ringkasan di atas, sebagaimana kita ketahui, bahwa, di indonesia belum ada suatu aturan hukum ataupun undang undang tambahan yang membolehkan pernikahan beda agama di sahkan menurut hukum. Tapi, kalau di Luar negeri, sudah banyak negara yang membolehkan pernikahan beda agama. Ini sangat penting, karna mengingat bahwa keyakinan beragama adalah bagian dari hak azasi manusia yang tak bisa di pisahkan oleh siapapun dari individiu manapun . Banyak yang menjadi korban dari ketidak jelasan mengenai aturan nikah beda agama ini, yang mana, kebanyakan salah satu pihak harus mengikuti si pria atau mengikuti si wanita 1

dalam hal agama, demi mempermudah pengurusan dokumen pernikahan yang sah. Kalau sudah begini, secara tidak langsung tentu ini sudah masuk kepada pelanggaran hak azasi manusia, karna sudah secara tidak langsung memaksa orang lain untuk mengikuti keyakinan / agama dari salah satu pasangannya. Imbasnya adalah, ketika menyandang status agama yang baru, pasti ada gejolak bathin bagi individu yang terpaksa harus berpindah agama mengikuti sang suami atau istri. dan, tentu saja, urusan berbicara dengan tuhan secara perlahan mulai terusik dan mungkin akan terabaikan. Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, di Indonesia pernah ada suatu peraturan hukum antar golongan yang mengatur masalah perkawinan campuran. Peraturan yang dimaksud adalah peraturan yang dahulu dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda yang bernama Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR) atau Peraturan tentang Perkawinan Campuran sebagaimana dimuat dalam Staatsblad 1898 No. 158.[6] Pada pasal 1 GHR dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Perkawinan Campuran adalah Perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yang berlainan. Ada 3 pendapat mengenai apakah GHR berlaku pula untuk perkawinan antar agama dan antar tempat yakni, pertama, kelompok yang berpendirian luas yang menganggap bahwa perkawinan campuran antar agama dan antar tempat termasuk di dalam GHR; kedua, kelompok yang berpendirian sempit yang menganggap bahwa perkawinan campuran antar agama dan antar tempat tidak termasuk di dalam GHR; dan ketiga, kelompok yang berpendirian setengah luas setengah sempit yang menganggap bahwa hanya perkawinan antar agama saja yang termasuk dalam GHR, sedangkan perkawinan antar tempat tidak termasuk di dalam GHR.[7] Soudargo Gautama berpendapat bahwa istilah perkawinan campuran pada pasal 1 GHR berarti perbedaan perlakuan hukum atau hukum yang berlainan dan dapat disebabkan karena perbedaan kewarganegaraan, kependudukan dalam berbagai regio, golongan rakyat, tempat kediaman, dan agama sehingga dari situ pendirian yang luaslah yang banyak di dukung oleh para sarjana hukum. Namun menurut O.S. Eoh, semenjak dikeluarkannya Instruksi Presidium Kabinet No. 31/U/IN/12/1966, tidak ada lagi penggolongan penduduk kecuali dibedakan antara WNI dan WNA sehingga di Indonesia tidak mungkin lagi ada perkawinan campuran antar tempat dan antar golongan. Setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, maka pengaturan perkawinan beda agama menjadi cenderung terhalangi. Hal ini berdasarkan alasan yakni pertama, dengan mengingat kembali pada sejarah undang-undang perkawinan 1973, terutama perdebatan yang berkaitan dengan pasal 11 ayat (2) bahwa perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, negara asal, tempat asal, agama, kepercayaan dan keturunan tidak merupakan penghalang perkawinan dan kemudian mendapat perubahan, maka perkawinan beda agama tidak dimungkinkan (dilarang) di Indonesia.[8] Kedua, ada beberapa pasal yang dapat dijadikan dasar dilarangnya perkawinan beda agama dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yaitu pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 haruf (f). Dalam pasal 2 ayat (1) dinyatakan, Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kemudian dalam penjelasannya dinyatakan Dengan perumusan pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan 2

kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undangundang ini. Bila pasal ini diperhatikan secara cermat, maka dapat difahami bahwa undang-undang menyerahkan kepada masing-masing agama untuk menentukan cara-cara dan syarat-syarat pelaksanaan perkawinan tersebut, disamping cara-cara dan syarat-syarat yang telah ditepkan oleh negara. Jadi apakah suatu perkawinan dilarang atau tidak, atau apakah para calon mempelai telah memenuhi syarat-syarat atau belum, maka disamping tergantung kepada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, hal tersebut juga ditentukan oleh hukum agamanya masing-masing. Dalam perspektif agama-agama di Indonesia, maka perkawinan beda agama tidak dibenarkan karena tidak sesuai dengan hukum agama-agama yang diakui di Indonesia. Argumentasi ini diperkuat oleh pasal 8 huruf (f) bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang ; mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.[9] Ketiga, merujuk kepada pasal 66 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijks Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Chisten Indonesiers S. 1933 No 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemegnde Huwelijken S. 1989 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku. Dari ketentuan pasal 66 itu, jelas bahwa ketentuan-ketentuan GHR (STB. 1898/158) sebagaimana yang diungkapkan diawal juga tidak dapat diberlakukan lagi karena di samping ketentuannya telah mendapat pengaturan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, GHR juga mengandung asas yang bertentangan dengan asas keseimbangan hukum antara suami istri sebagaimana yang dianut oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Selain itu, rumusan mengenai perkawinan campuran dalam GHR berbeda dengan rumusan dalam pasal 57 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Rumusan di atas membatasi diri hanya pada perkawinan antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing. Adapun perkawinan antara sesama warga negara Indonesia yang tunduk kepada hukum yang berlainan, termasuk perkawinan antar agama, tidak termasuk dalam lingkup batasan perkawinan campuran menurut undang-undang ini.

http://bangdenjambi.wordpress.com/perkawinan-beda-agama-dan-hak-asasi-manusia-diindonesia/

Pernikahan siri Pernyataan mengenai Siri benar adanya dan memang umum pelaksanaannya. Jadi, nikah siri sah di mata Islam dan syarat sahnya pun sama dengan syarat sahnya nikah biasa, yaitu adanya calon suami dan istri, mahar, ijab kabul, wali dari pihak perempuan (menurut jumhur), dan saksi-saksi. Jumhur berpendapat adanya izin orangtua atau wali merupakan salah satu syarat sahnya akad nikah, namun sebagian ulama membantahnya. Ulama yang membantahnya berpendapat bahwa seseorang yang tinggal bernegara dan berbangsa haruslah terdaftar dalam lingkup ruang badan hukum yang ada di Negara tersebut. Di samping itu, calon istri haruslah seorang yang tidak sedang terikat pernikahan dengan pria lain, tidak dalam keadaan iddah (masa menunggu) baik karena kematian atau perceraian, tidak hamil, dan tidak pula termasuk mereka yang terlarang dinikahi seperti keponakan atau bibi. Sebab ketentuan tersebut sesudah memasuki ranah rukun. Yakni syarat sah atau syarat pokok dalam kaidah-kaidah islam. Namun, jika tidak adanya kaidah atau tuntunan rukun, tidak akan dikatakan sah. Seperti apa pandangan hukum Indonesia? Sah. Karena sudah mewakili satu dari semua syarat-syarat sah mengenai perkawinan, apapun jika sesuai dengan hukum masing-masing agama, nampak sah. Tapi hal demikian tidak sah menurut Negara. Sebab UU kita menambahkan mesti adanya pendataan/sensus agar akta pernikahan (baca: Siri) diinput demi kepentingan Negara; lahir, pendidikan, dan kematian. Hal ini telah tertulis dalam peraturan UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan tertulis pada Bab I dasar perkawinan pasal 2 ayat 2: Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sekian dari pandangan Siri dengan Negara yang nampaknya kurang bersinergi dalam realitas yang ada, mestinya hal yang dilakukan pemerintah ialah menjalani setiap, kebebasan menyeluruh bagi pemeluk Siri, tidak bertetangan dengan Negara. Hanya Negara saja disini terlihat tidak penuh mengambil poin-poin pernikahan siri itu. Secara etimologis, nikah siri berarti nikah yang dilakukan secara sembunyi atau rahasia. Pengertian lebih luas, nikah siri merupakan pernikahan yang dinyatakan sah menurut ketentuan agama Islam karena telah memenuhi syarat dan rukun pernikahan, namun tidak dicatat dan diawasi oleh pejabat negara (KUA). Ketentuan sah menurut agama ini ternyata berlawanan ketentuan hukum nasional. Pernikahan siri dinyatakan tidak sah karena menyimpang dari UU No.1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (2) tentang pencatatan perkawinan. Persoalannya adalah, ada pertentangan antara hukum Islam dengan hukum nasional yang dalam perjalanannya melahirkan ketegangan. Mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah Islam, hukum Islam berpengaruh kuat dalam menuntun praktik keberagamaan umat. Fiqh merupakan kenyataan operasional dalam beragama. Ia adalah hukum yang hidup di masyarakat. Hukum nasional dan hukum Islam, keduanya sama-sama menuntut ketaatan dan kepatuhan. Keduanya mesti dikembangkan secara searah, serasi, dan seimbang. Tanpa pertentangan. Jika ditarik ke ranah lebih luas, negara dan agama, keduanya bertolak pada satu tujuan, mewujudkan kemaslahatan bagi warga atau umat. Atau dalam bahasa Aristoteles, negara dibentuk untuk kebaikan umum. Terutama dalam kebijakan hukum, aspek tersebut tak boleh diabaikan. Dalam pembahasan fiqh, maslahat (maqasid asy-syariah) menjadi kendali hukum, meski harus bertentangan dengan teks. Menurut Ath-Thufi, maslahat adalah dalil syariat paling kuat. 4

Bila terjadi pertentangan antara keduanya, maslahatlah yang dikedepankan. (Jamal al Banna :1997) Nikah siri bertentangan dengan prinsip tujuan tersebut. Nikah siri dalam praktiknya banyak menimbulkan persoalan. Pada akhirnya, menjurus pada kekerasan terhadap perempuan dan anak. Antara lain, kekerasan psikologis. Misalnya, istri mendapat stigma istri simpanan 2 sehingga sulit untuk bersosialisasi. Istri juga sewaktu-watu bisa ditinggal sang suami pergi begitu saja, atau menikah lagi, karena tidak adanya ikatan hukum. Atau, kekerasan ekonomi, misal, istri tidak dinafkahi. Di samping, kekerasan fisik atau seksual yang biasa terjadi. Belum termasuk konskuensi hukum yang bakal diterima. Sebab menurut UU, istri dari pernikahan siri bukan merupakan istri sah. Karenanya, istri tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami, serta tidak berhak atas harta gono-gini. Begitu juga dengan anak hasil perkawinan siri, ia bukan merupakan anak sah. Statusnya sama dengan anak luar kawin, atau anak hasil zina. Ia hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan tak berhak atas nafkah, biaya pendidikan, atau warisan dari ayahnya. Langkah negara sudah tepat, meski belum tegas dalam menindak pelaku nikah siri. Yaitu, dalam rangka penertiban umum untuk mencapai kebaikan bersama. Juga untuk melindungi kaum perempuan dari praktik perkawinan yang tak bertanggungjawab. Perdebatan hukum nikah siri berpangkal pada masalah pencatatan perkawinan. Fiqh tidak mengharuskan adanya pencatatan, sebab itu tidak termasuk syarat atau rukun pernikahan. Pun, di zaman rasulullah tidak ada istilah pencatatan perkawinan. Sosialisasi hukum Islam kepada masyarakat penting. Bukan hanya bentuk rumusan hukum normatifnya saja, namun, terutama tentang aspek tujuan hukum (maqasid asy-syariah). Secara teoritis, hukum Islam dirumuskan perumusnya (Allah SWT). Secara umum, tidak lain bertujuan untuk meraih kemaslahatan dan menghindari kemudharatan. Berpijak dari tujuan meraih kemaslahatan dan menghindari kemudharatan, maka pencatatan perkawinan wajib hukumnya. Fungsi pencatatan di samping untuk mencapai ketertiban umum, sekaligus memberikan perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak. Jika suatu saat terjadi pengingkaran perkawinan, negara bisa memberikan sanksi hukum bagi yang bersangkutan. Pencatatan sebagai bukti pertanggungjawaban dalam perkawinan. Di tengah terjadinya desakralisasi, serta merosotnya kualitas keagamaan umat Islam saat ini, saksi saja tidak cukup. Perlu bukti otentik untuk menjamin kelangsungan perkawinan itu dapat dipertanggungjawabkan. Allah sendiri memerintahkan untuk mencatatkan setiap transaksi (hutang piutang) yang dilakukan oleh hambanya. (Q.S. Al Baqarah:282). Menurut teori Mariage Market yang dikemukakan Collins (Sociology of Marriege and the Family: 1987), perkawinan merupakan proses transaksi, semacam perdagangan permanen antara sepasangan laki-laki dan perempuan. Masing-masing memiliki sumber daya personal untuk diperdagangkan kepada lawan pasangannya.

http://amanat-online.com/mempertegas-hukum-nikah-siri/

Jika dalam transaksi hutang piutang saja wajib dicatatkan, apalagi dalam pernikahan yang bukan sekadar transaksi biasa. Ia merupakan ritus sakral yang di dalam Al Quran disebut sebagai suatu akad atau perjanjian yang kuat mitsaqan ghalidzan (an nisa:21). Di tengah kemudahan pengurusan administrasi perkawinan saat ini, tak ada alasan bagi setiap warga untuk tidak mencatatkan perkawinannya.

Pernikahan mutah Kebanyakan masyarakat muslim Indonesia adalah bermadzhab sunnah syafii. Keberadaan hukum tentang mutah tidak disetujui dalam madzhab tersebut, meski Imam Syafi. tidak memberikan legitimasi yang konkrit tentang pengharaman mutah, jadi secara otomatis pula masyarakat Indonesia yang bermadzhab Syafi banyak yang tidak mengenal adanya nikah mutah dan memilih untuk tidak melakukannya. Dikarenakan adanya pelarangan dari khalifah kedua tentang hal tersebut. Bukti dari itu dapat anda lihat pada beberapa hadis di bawah ini. Abu Zubair meriwayatkan dari Jabir Ibn Abdillah, bahwa beliau berkata: Kami para sahabat di zaman Rasulullah SAW dan di zaman Abu Bakr melakukan mutah dengan mas kawin segenggam kurma dan tepung, lalu Umar mengharamkannya karena ulah Amr Ibn Khuraist. Jabir Ibn Abdillah dalam suatu hadis berkata,Kita para sahabat dahulu melakukan mutah dengan wanita-wanita sampai Umar melarangnya. Dan masih banyak lagi hadis-hadis lainnya. Akan tetapi, jika kita lihat lagi sebenarnya Umar tidak sepenuhnya melarang mutah, beliau melarang dikarenakan adanya penyalahgunaan oleh beberapa orang seperti yang disampaikan dalam hadis di atas. Beliau berkata,Nikah mutah adalah salah satu jenis nikah yang dihalalkan oleh Allah SWT. Contoh bukti lain adanya bahwa Umar tidak melakukan pelarangan mutah secara syari telah dilontarkan oleh At-Turmudzi dalam kitab nawadirnya yang diriwayatkan dari Qasim, Abban, Ishaq dari Al-Fadhl bahwa beliau mendengar Imam Jafar Shadiq berkata,Umar mendengar tuduhan orang Irak bahwa beliau mengharamkan nikah mutah. Kemudian Umar mengutus seseorang sambil memberinya pesan: Katakan kepada mereka bahwa Umar tidak berhak mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah SWT, tetapi Umar melarangnya untuk tujuan kenegaraan. Jika dilihat dari segi sosial, memanglah mutah kurang pantas. Akan tetapi ini merupakan syariat dari Allah yang diturunkan melalui rasul-Nya yang bertujuan untuk membimbing manusia kepada jalan yang benar dan mengarahkan kepada manusia agar tidak melakukan perbuatan maksiat seperti berzina. Apa yang dihalalkan oleh Rasulullah niscaya halal sampai hari kiamat, begitupula dengan adanya nikah mutah yang beliau jelas telah menghalalkannya. Nikah mutah merupakan bentuk solusi dari adanya perzinaan di dalam ruang lingkup kehidupan remaja, kalaupun nikah mutah dirasa masih kurang pas, akankah kita memakai cara lain? Seperti contoh kita paksa mereka untuk menekan amarah nafsu seksualnya sampai mereka mempunyai bekal untuk menjalani kehidupan berumah tangganya. Apa mungkin dengan jalan ini kita dapat mendapatkan solusinya? Sedangkan fakta terjadinya perzinaan dikarenakan adanya paksaan seperti ini. Kedua, kita mengadopsi cara orang barat, yang telah sedikitnya telah dicontoh oleh pemerintah Indonesia, yaitu mendirikan tempat-tempat prostitusi yang keberadaannya dilindungi oleh negara. Lalu kalangan remaja dapat melampiaskan nafsu seksualnya di sana dengan alasan agar mereka terjaga dari kesesatan dan kebejatan moral. Walaupun tidak terlihat oleh khalayak ramai, akan tetapi tetap saja hal itu dipandang merupakan sebauh kebejatan moral di mata Allah. Lagipula dengan diberjalankannya cara ini maka akan ada 6

beberapa wanita yang bernasib sial yang harus menyerahkan diri mereka kepada kehinaan. Lalu di mana letak keadilannya? Justru hal seperti inilah yang memperlakukan wanita sebagai budak nafsu lelaki. Coba kita lihat kepada mutah, yaitu jenis perkawinan yang ditawarkan oleh Islam. Tidak ada paksaan dan kerugian bagi yang melakukannya, karena hal ini terjadi atas persetujuan pihak wanita dan laki-laki, tanggung jawabnya berbeda dengan nikah permanen yang harus mengeluarkan uang lamaran untuk pestanya, menanggung dan menafkahi kehidupan istri. Hanya saja jika perkawinan ini membuahkan seorang anak, maka anak tersebut merupakan tanggung jawab yang harus ditanggung oleh pihak laki-laki. Cara dan hukum dari perkawinan ini secara garis besar sama dengan nikah daim (permanen), hanya perbedaan kecil saja yang membedakan antara keduanya. Menurut pemakalah, cara yang seperti inilah yang memenuhi persyaratan dalam segala aspek selain aspek sosial. Sebenarnya, masyarakat muslim Indonesia merupakan masyarakat muslim yang rumit, jangankan tentang mutah, keberadaan poligami juga ditentang, sekalipun hal tersebut mempunyai dalil yang konkrit bahwa adanya poligami dibolehkan oleh Allah SWT. Sebagai muslim layaknya kita tidak boleh memperdebatkan syariat yang dibuat oleh Allah SWT. Kita hanya layak untuk melaksanakan kewajiban kita yang masih setengah-setengah, yaitu beribadah kepada-Nya. Hukum Nikah Mutah Dalam Islam Kawin mutah diperbolehkan pada masa awal pada pembentukan ajaran Islam, sebelum Syariah Islam ditetapkan secara lengkap sempurna. Kawin mutah diperbolehkan di harihari awal ketika seseorang melakukan perjalanan atau orang- orang sedang berperang melawan musuh. Alasan dibolehkannya Mutah adalah orang- orang yang masuk Islam dahulu, adalah tengah dalam proses peralihan zaman dari Jahiliah ke zaman Islam. Pada zaman Jahiliah, zina merupakan hal yang sangat wajar sampai tidak dianggap berdosa. Lalu turun larangan Islam tentang hubungan riba dan minuman keras secara bertahap karena masyarakat sudah sangat akrab dengan riba dan minuman keras tersebut. Sementara kawin Mutah hanya diperbolehkan di masa- masa awal Islam karena orang- orang berjuang dimedan laga atau Ghazwah. Mereka yang imanya masih lemah mencoba melakukajn zina dimasa perang. Sedang orang yang kuat imanya menekan keinginannya dengan keras untuk mengendalikan hawa nafsunya. Abdullah bin Masud pernah berkata sebagai berikut: kami pernah berperang bersama Rasulallah SAW. Dan kami tidak menyertakan kaum perempuan. Maka kami bertanya kepada beliau, akapah kami boleh mengebiri diri, Rasulallha SAW melarang kami melakukan pengebiran itu, dan mengizini kami mengawini perempuan untuk sementara waktu dengan memberikan pakaian.[7] Diriwayatkan pula oleh Ali bin Abi Thalib; Aku menjalankan kepada Ibnu Abbas pada waktu perang Khibar, sesungguhnya Rasulullah SAW. Melarang kawin Mutah dan memakan daging keledai (H.R Bukhari). Syiah Imamiyah sebaliknya berpendapat bahwa Rasulallah tidak pernah melarang pernikahan Mutah dan ia tetap halal sampai kiamat. Bahkan Al- Quran sendiri merupakan sandaran hujjah syari yang tidak terbantahkan melegalkan bentuk pernikahan mutah tersebut. Setelah Syariah sempurna, kawin Mutah di kharamkan. Izin kawin sementara karena keadaan memaksa yang telah diberikan Nabi itu segera dikharamkan setelah pembukaan kota Makkah, sebagaimana diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib. 7

: Sesungguhnya dia beserta Nabi SAW. Ketika terjadi pertempuran untuk membuka kota Makkah. Nabi SAW. Mengizinkan para sahabat untuk kawin Mutah. Lalu Ali berkata: Maka Nabi SAW tidak keluar dari kota Makkah itu sampai beliau mengharamkannya. Menurut riwayat lain Nabi berkata : dan sesungguhnya Allah telah mengharamkan kawin Mutah sampai hari akhir. Islam inggin membangun sebuah masyarakat yang sejahtera. Kawin Mutah jika dibolehkan, dapat menimbulkan lebih banyak masalah ketimbang yang dapat dipecahkannya. Bila kawin Mutah itu tidak dilarang, akan menimbulkan pelacuran. Para ulama telah sepakat menyatakan bahwa Kawin Mutah itu dikharamkan. Hanya pendapat Abdullah Bin Abbas yang bertentangan dengan kesepakatan ini. Namun segera setelah melihat kawatnya keadaan dan orang- orang menyalahgunakan perkawinan Mutah ini yang hanya diperbolehkan di lingkungan wilayah pertempuran yang bergolak, tak lama kemudian dia mengharamkannya. (diriwayatkan oleh Bukhari).[9] Namun begitu, sebagian ulama Mazhab Syiah masih memperbolehkan kawin Mutah sampai hari ini, sekalipun jarang juga dipraktekkan. Hukum Nikah Mutah Untuk menetukan status hukum tentang nikah mutah, maka dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam pendapat; yaitu: a. Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, Imam Al - Latits dan Imam alAuzzaiy mengatakan; perkawinan mutah itu hukumnya haram. Pendapat ini didasarkan pada beberapa Hadist yang antara lain berbunyi: : , . , Artinya: bahwasannya Rasulallha SAW mengharamkan kawin mutah, maka ia berkata: Hai manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan kamu sekalian kawin mutah. Maka sekarang ketahuilah, bahwa Allah mengharamkannya sampai hari kiamat. H.R. Ibnu Majah b. Pengikut Mazhab Syiah mengatakan ; perkawinan mutah dibolehkan dalam agama. Pendapat ini didasarkan pada sebuah hadist yang berbunyi: . : . , Artinya: bahwasannya Umar berkata; Dua macam perkawinan mutah (yang pernah terjadi) di masa Rasulallah SAW. Maka dapatkah aku melarangnya dan memberikan sangsi hukum terhadap pelakunya? (keduaya itu) adalah perkawinan mutah terhadap wanita (di waktu tidak bepergian) dan kawin mutah (pada waktu bepergian) menunaikan ibadah haji. Karena hal itu, merupakan perkawinan yang berguna (pada saat tertentu), maka perlu menentukan waktu berlakunya seperti halnya sewa- menyewa [10] c. Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Zubair yang diperoleh dari Jabir bin Abdillah beliau berkata: Kita para sahabat di zaman Abu Bakar melakukan Mutah dengan segenggam kurma dan tepung sebagai mas kawinnya, kemudian Umar mengharamkannya karena ulah Amr bin Khuraist. d. Hadis yang diriwayatkan oleh Atha beliau berkata: Aku pernah mendengar perkataan Jabir bin Abdillah yang isinya: Kita lakukan mutah di zaman Nabi SAW dan zaman Abu Bakar dan sampai permulaan kepemimpinan Umar, kemudian Umar melarang orang- orang untuk melakukan nikah mutah tersebut. Al- Zailai menambahkan bahwa Abu Said AlKhudri berkata: Inilah pendapat yang di ikuti oleh orang- orang Syiah [11]

3. Syarat sah dan Rukun Nikah Mutah 1) Syarat Nikah Mutah a) Baligh. b) Berakal c) Tidak ada suatu halangan syari bagi terjadinya perkawinan tersebut seperti adanya nasab, saudara sesusu, masih menjadi istri orang lain, iddah atau lainnya. 2) Rukun Nikah Mutah Jurisprudensi Syiah mendiskusikan perkawinan sementara dengan hati-hati dalam hubungannya dengan pernikahan permanen. Seperti pernikahan permanen, mutah juga mempunyai rukun dan hukum yaitu :[12] a. Formula atau ijab qabul Karena ini adalah akad, maka mutah memerlukan pernyataan dan penerimaan seperti dalam pernikahan permanen, pernyataan adalah prasyarat dari wanita. Ia harus terdiri dari salah satu dari tiga formula berbahasa arab, yang juga dipakai oleh Syiah dalam pernikahan permanen. b. Orang Pria dapat melakukan akad mutah hanya dengan Muslimah atau salah seorang ahli kitab tidak diperbolehkan untuk melakukan perkawinan sementara dengamn orang kafir atau atau musuh dari keluarga nabi, jika pria itu mempunyai istri pemanen yang bebas, dia tidak dapat melakukan akad mutah dengan budak tanpa seizindari istrinya. Jika dia melakukannya, maka akadnya tidak sah atau ditangguhhkan seraya menunggu izin istrinya.[13] c. Periode waktu (Mudda) Periode waktu pernikahan sementara harus ditetapkan sedemikian rupa sehingga tidak dimungkinkan lagi adanya penambahan atau pengurangan. Menurut Imam al-Ridha, mutah harus merupakan hal yang tetap untuk periode yang tetap. Selain itu, Imam pernah ditanya apakah mungkin untuk melakukan mutah selama satu atau dua jam saja. Dia menjawab, tidak ada batas waktu yang dapat dimengerti dari satu atau dua jam.[14] d. Mahar Akad harus menyebutkan mahar dari harta yang diketahui, entah itu dalam bentuk tunai atau sejenisnya, yang jumlahnya tetap, tidak bisa ditambah atau dikurangi. Untuk mengetahui harta itu, maka si wanita cukup melihatnya saja , tidak perlu dityimbang, diukur atau dihitung. Nikah Mutah Di Tinjau dari UU No.1 TAHUN 1974 Perkawinan menurut UU No.1 tahun 1974 adalah ikatan lahir batin diantara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga perkawinan merupakan salah satu tujuan hidup manusia untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin, khususnya dalam rangka melanjutkan atau meneruskan keturunan dan diharapkan pula dengan adanya perkawinan mampu mewujudkan masyarakat yang sejahtera baik lahir maupun batin. Dalam perkembangan masyarakat sekarang ini, munculah istilah nikah mutah atau dalam bahasa indonesianya kawin kontrak. Nikah mutah atau kawin kontrak tidak diatur dalam UU No.1 tahun 1974, karena nikah mutah merupakan sebuah fenomena baru dalam masyarakat. Nikah mutah menggambarkan sebuah perkawinan yang didasarkan pada kontrak atau kesepakatan-kesepakatan tertentu, yang mengatur mengenai jangka waktu perkawinan, imbalan bagi salah satu pihak, hak dan kewajiban masing-masing pihak, dan lain-lain. Tujuan dari nikah mutah adalah untuk menyalurkan nafsu birahi, tanpa disertai adanya keinginan untuk membentuk rumah tangga yang kekal, serta terkadang juga tidak mengharapkan adanya keturunan. Nikah mutah merupakan perkawinan yang bersifat sementara, dan sangat menonjolkan nilai ekonomi, menyebabkan perkawinan ini berbeda dengan perkawinan. 9

Pada umumnya, sehingga nikah mutah dianggap menyimpang dari tujuan perkawinan yang mulia. Kawin kontrak(Nikah mutah) merupakan perkawinan berdasarkan kontrak yang dalam pelaksanaannya bersifat sementara, dan lebih menonjolkan nilai ekonomi, sehingga sangat bertentangan dengan perkawinan yang dikonsepkan dalam UU No.1 tahun 1974. Pelaksanaan kawin kontrak sangat bertentangan dengan asas-asas perkawinan dalam UU No.1 tahun 1974. Beberapa asas tersebut diantaranya adalah: a. Tujuan perkawinan Menurut UU No.1 tahun 1974, setiap perkawinan harus mempunyai tujuan membentuk keluarga/rumah tangga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan yang tidak mempunyai tujuan ini, bukan perkawinan dalam arti yang dimaksud dalam UU No.1 tahun 1974 Pelaksanaan kawin kontrak sangat bertentangan dengan tujuan perkawinan dalam UU No.1 tahun 1974. Kawin kontrak hanya bertujuan untuk menyalurkan kebutuhan biologis tanpa disertai keinginan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, serta sangat mengharapkan keuntungan secara ekonomi dari dilaksanakannya perkawinan, selain itu memiliki keturunan bukan merupakan tujuan utama dalam kawin kontrak. b. Perkawinan kekal Menurut UU No.1 tahun 1974, sekali perkawinan dilaksanakan, maka berlangsunglah perkawinan tersebut seumur hidup, tidak boleh diputuskan begitu saja. Perkawinan kekal tidak mengenal batas waktu. Perkawinan yang bersifat sementara sangat bertentangan dengan asas tersebut. Jika dilakukan juga maka perkawinan tersebut batal. Kawin kontrak sangat bertentangan dengan asas ini. Kawin kontrak merupakan perkawinan yang bersifat sementara, karena jangka waktunya dibatasi. Kawin kontrak tidak bersifat kekal, apabila jangka waktunya telah habis maka perkawinan dapat diputuskan. c. Perjanjian Perkawinan Mempelai laki-laki dan mempelai perempuan yang akan melangsungkan perkawinan dapat membuat perjanjian perkawinan. Hal ini diatur dalam pasal 29 UU No.1 tahun 1974 yang bunyinya: Pasal 1, Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. Pasal 2, Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Pasal 3, Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. Pasal 4, Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. Menurut isi ketentuan pasal 29 tersebut, perjanjian perkawinan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1) Dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, 2) Dalam bentuk tertulis disahkan oleh pegawai pencatat, 3) Isi perjanjian tidak melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan, 4) Mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, 5) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tidak dapat diubah, 6) Perjanjian dimuat dalam akta perkawinan. Dalam perjanjian perkawinan tidak termasuk taklik talak. Taklik talak adalah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang. Isi perjanjian perkawinan dapat mengenai segala hal, asal saja tidak melanggar batas-batas 10

hukum, agama, dan kesusilaan. Akibat hukum adanya perjanjian perkawinan antara suami dan istri adalah sebagai berikut: 1) Perjanjian mengikat pihak suami dan istri, 2) Perjanjian mengikat pihak ketiga yang berkepentingan, 3) Perjanjian hanya dapat diubah dengan persetujuan kedua pihak suami dan istri, serta disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Dalam kawin kontrak juga terdapat perjanjian perkawinan. Namun perjanjian perkawinan dalam kawin kontrak sangat bertentangan dengan perjanjian perkawinan dalam UU No.1 tahun 1974. Menurut UU No.1 tahun 1974, perjanjian perkawinan diperbolehkan selama tidak melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan. Perjanjian perkawinan dalam kawin kontrak sangat bertentangan dengan batasbatas hukum, agama dan kesusilaan. Karena isi perjanjian perkawinan dalam kawin kontrak mengatur tentang jangka waktu/lamanya perkawinan, imbalan yang akan diperoleh salah satu pihak, hak dan kewajiban masing-masing pihak, dan lain-lain. Dari isi perjanjian perkawinan tersebut menyebabkan kawin kontrak menjadi perkawinan yang bersifat sementara karena waktunya dibatasi, dan sangat menonjolkan nilai ekonomi, sehingga sangat bertentangan dengan hukum, agama, dan norma-norma kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat. Perkawinan yang sesuai dengan hukum, agama, dan kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat adalah perkawinan yang bersifat kekal, selama-lamanya, tidak hanya untuk kebahagiaan dunia tetapi juga untuk akhirat. Isi perjanjian perkawinan yang bertentangan dengan batas-batas agama, hukum dan kesusilaan tidak diperbolehkan, jadi dianggap tidak pernah ada perjanjian perkawinan. Apabila perjanjian perkawinan tetap ada maka perkawinan tersebut batal karena melanggar ketentuan UU No.1 tahun 1974. Menurut Efa Laela Fakhriah, secara hukum bila pernikahan berdasarkan kontrak dengan maksud mengadakan perjanjian untuk waktu tertentu dan juga ada imbalan, jelas menyalahi UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Jadi tidak ada perkawinan secara hukum. Apabila kawin kontrak didasarkan pada hukum perjanjian, juga tidak bisa. Syarat sahnya perjanjian ada 4, yaitu sepakat kedua belah pihak, cakap dalam perikatan, yang diperjanjikan adalah suatu hal tertentu, dan perjanjian dilakukan atas kausa yang halal. Perkawinan sendiri bukanlah perjanjian biasa, apalagi melihat tujuannya untuk membangun sebuah keluarga. Artinya, kehidupan baru yang dibangun bukanlah untuk kenikmatan sesaat atau dibangun berdasarkan kesepakatan untuk waktu tertentu. Jadi kawin kontrak sendiri bukan bentuk yang disyaratkan UU No.1 tahun 1974.3

33

http://arhamjelek.blogspot.com/2012/02/nikah-mutah.html

11

Pernikahan Campuran Jadi, perkawinan yang termasuk dalam ruang lingkup perkawinan campuran dalam arti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 hanyalah sebatas perkawinan campuran internasional, yaitu perkawinan yang terjadi antara warganegara Indonesia dan warganegara asing. Maka jika terjadi suatu perkawinan yang antara keduanya berlaku hukum yang berbeda bukan disebabkan karena perbedaan kewarganegaraan, bukanlah perkawinan campuran dalam arti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 mengenai perkawinan ini, seperti disebut pada Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka semua ketentuanketentuan perkawinan terdahulu seperti GHR, HOCI dan Hukum Perdata Barat (Burgerlijk wetboek) serta peraturan perkawinan lainnya sepanjang telah diatur dalam undang-undang tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi. Menelaah bunyi Pasal 66 tersebut, maka yang tidak berlaku itu adalah ketentuan-ketentuan yang diatur dalam beberapa peraturan yang telah ada sejauh halhal ini telah diatur dalam Undang-Undang yang baru ini. Jadi bukanlah peraturanperaturan itu secara keseluruhan. Hal-hal yang tidak diatur dalam Undang-Undang yang baru ini masih tetap dapat dipakai. Terkait dengan perbedaan pengertian yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan GHR terhadap perkawinan campuran yang tentunya ini menjadikan ruang lingkup dari perkawinan campuran itu juga berbeda, masih ada perdebatan di kalangan praktisi hukum. Menurut faham yang selama ini dianut, juga menurut yurisprudensi, perkawinan Internasional juga termasuk perkawinan campuran, sehingga ketentuan pada pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut merupakan sesuatu hal yang berlebihan. Sebab tanpa pasal tersebut pun tidak diragukan lagi, bahwa perkawinan Internasional adalah perkawinan campuran. Bahkan dikatakan, perkawinan Internasional selalu merupakan perkawinan campuran, baik antara warganegara Indonesia dengan warganegara asing maupun antara sesama warganegara asing dengan hukum yang berlainan. Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian perkawinan campuran yang ada dalam GHR, yang menyebutkan bahwa perkawinan yang terjadi di Indonesia antara seorang pria dan seorang wanita yang berlainan hukum disebabkan karena berlainan kewarganegaraan, tempat, golongan penduduk maupun agama adalah perkawinan campuran, dinyatakan tidak berlaku lagi. Sehingga perkawinan campuran yang dimaksud di Indonesia yang berlaku sejak diundangkannya UUP adalah hanya sebatas perkawinan yang terjadi antara seorang pria dan seorang wanita yang berlainan hukumnya yang hanya disebabkan karena adanya perbedaan kewarganegaraan. Maka, jika ada perkawinan yang terjadi di Indonesia yang mana hukum antara keduanya berlainan, seperti karena perbedaan agama atau yang lainnya, bukanlah termasuk perkawinan campuran dalam arti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 12

Perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan indonesia (pasal 57 UU no 1 tahun 1974) Pasal 58 UUP bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isteri dan dapat pula kewarganegaraanya.4

http://lib.uin-malang.ac.id/files/thesis/fullchapter/06210028.pdf

13

Pernikahan dibawah umur Adanya perkawinan di bawah umur atau perkawinan kanak-kanak tidak menjadi masalah di dalam hukum adat karena kedua suami istri itu akan tetap dibimbing oleh keluarganya, yang dalam hal ini telah menjadi dua keluarga, sehingga hukum adat tidak melarang perkawinan kanak-kanak. Sedangkan menurut negara pembatasan umur minimal untuk kawin bagi warga negara pada prinsipnya dimaksudkan agar orang yang akan menikah diharpakan sudah memiliki kematangan berpikir, kematangan jiwa dan kekuatan fisik yang memadai keuntungan lainnya yang diperoleh adalah kemungkinan keretakan rumah tangga yang berakhir dengan perceraian dapat dihindari, karena pasangan tersebut memiliki kesadaran dan pengertian yang lebih matang mengenai tujuan perkawinan yang menekankan pada aspek kebahagiaan lahir dan batin. Meskipun demikian dalam hal perkawinan di bawah umur terpaksa dilakukan, maka undangundang nomor 1 tahun 1974 masih memberikan kemungkinan penyimpangannya. Hal ini diatur dalam pasal 7 ayat (2) undang-undang nomor 1 tahun 1974 yaitu dengan adanya dispensasi dari pengadilan bagi yang belum mencapai batas umur minimal tersebut. Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 7 Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasa ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4) undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak pengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).

1. 2.

3.

PRISIP- PRINSIP PERKAWINAN DALAM UNDANG-UNDANG Asas asas dan prinsip perkawinan menurut undang-undang perkawinan : 1. Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal UU nomor 1 Tahun 1974 Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepri badiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material. 2. Perkawinan sah bilamana dilakukan menurut hukum masing agamanya. Pasal (1) ayat 1 dan 2 UU no 1 tahun 1974 Ayat 1. perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. 2. tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaanya itu, dan disamping itu 14

tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatau akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan. 3. Menganut Asas Monogami Pasal (3) ayat I dan 2 UU No 1 tahun 1974 Ayat 1. Pada asasnya dalam suatu perkawinan sorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya hanya boleh mempunyai seorang suami. 2. Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Undang-undang ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan mengijinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian pekawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan. 4. Calon suami isteri harus telah masak jiwa-raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan. Pasal (6) Ayat 1 dan Pasal (7) ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 Ayat 1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai Pasal (7) Ayat 1. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami-isteri itu harus telah masak jiwaraganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa barakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami isteri yang masih dibawah umur. Karena perkawinan itu mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan, maka untuk mengerem laju kelahiran yang lebih tinggi, harus dicegah terjadinya perkawinan antara calon suami isteri yang masih dibawah umur, sebab umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka undangundang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. Dalam halperkawinan seorang pria dan seorang wanita yang belum cukup umur standart.perkawian yang tetap berkehendak untuk melangsungkan perkawinan bisa mendapat kan ijin, pasal (6) ayat 2,3,4,5,6 dan pasal 7 ayat 2,5. dalam pasal tersebut telah dijelaskan untuk mendapatkan perizinan perkawinan yang dibawah umur standart perkawinan. 5. Membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dan sejahtera Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dan sejahtara, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian, untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang pengadilan. 6. Hak dan kedudukan isteri seimbang Pasal (31) UU No. 1 Tahun 1974 15

Ayat 1. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. 2. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum 3. Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat sehingga dengan demikian segala sesuatu dan keluraga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami isteri. Berkenaan dengan tujuan pernikahan antara suami isteri dalam berumah tangga menerapakan prinsip-prinsip yang juga merupakan asas-asas perkawinan dalam islam sebagai berikut : a. Pergaulan yang Ma`ruf (pergaulan yang baik ) yaitu saling menjaga rahasia masing-masing b. Pergaulan yang Sakinah (pergaulan yang aman dan tentam) c. Pergaulan yang mengalami rasa Mawaddah (saling mencintai) terutama dimasa muda d. Pergaulan yang disertai rahma (rasa santun menyantuni) terutama setelah masa tua. Hal serupa juga dijelaskan oleh musdah muliah yang didasarkan pada ayat-ayat al-Quran bahwa prinsip perkawinan adalah sebagai berikut : a. Prinsip kebebasan dalam memilih jodoh Prinsip ini sebenarnya kritik terhadap tradisi bangsa arab yang merupakan perempuan pada posisi yang lemah, sehingga untuk dirinya sendiri saja ia tak memiliki kebebasan untuk 5 menentukan apa yang terbaik pada dirinya. oleh sebab itu kebebasan memiliki jodoh adalah hak kebebasan bagi laki-laki dan perempuan sepanjang tidak bertentangan dengan syari`at isalam b. Prinsip Mawaddah Warahmah prinsip ini berdasarkan pada firman Allah QS Ar-rum : 21 seperti yang terlah tersebut diatas, Mawaddah Warahma adalah karakter manusia yang tidak dimiliki oelh makhluk lainnya karena jika hewan melakukan hubungan seksual semata-mata untuk kebutuhan seks dan pekembang bikan saja. sedangkan perkawinan manusia disamping tujuang yang besifat biologis juga untuk mencapai Ridho Allah c. Prisip saling melengkapi dan melindungi Berdasarkan firma allah QS. Al-baqarah 187 d. Prinsip Mu`asarah bi al Ma`ruf Annisa : 19 Prisip laki-laki untuk memperlakukan isterinya secara baik dan dengan mengayomi dan mengahargai kedudukan seorang wanita. Asas dan prinsip perkawinan dalam bahasa sederhana adalah sebgai berikut : e. Asas suka rela f. Partisipasi keluarga g. Perceraian dipersulit h. Poligami dibatasi secara ketat i. Kematangan calon mempelai j. Memperbaiki derajad kaum wanita Aburrahman ghazaly dalam bukunya fikih munakahat juga menyebutkan bahwa prinsipprinsip perkawinan dalam islam adalah sebagai berikut : 1. Memenuhi dan melaksanakan perintah agama

16

2. Kerelaan dan persetujuan 3. Perkawinan untuk selamanya Dari sekian prinsip atau asas perkawinan yang telah diuraikan diatas, menjadi acuan undangundang dalam menetapkan asas-asas perkawiwina dalam hal ini Ahmad Rafiq merumuskan sebagai berikut: 1. Tujuan perkawian adalah membentuk kelurga yang bahagia dan kekal 2. Suatu perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing -masing agamanya dan kepercayaannya. 3. Undang-undang ini menganut asas monogami hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan dan atas izin dari pengadilan, berhak poligami 4. Undang-undang perkawinan menganut prinsip bahwa calon suami isteri harus cukup umur dan matang jiwa raganya. 5. Karena tujuan perkainan adalah membentuk keluaga yang bahagia dan kekal, maka undang-undang menganut prinsip untuk mempersulit terjadinya perceraian 6. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat. Asas-asas dan prinsip perkawinan menurut hukum islam : a. Harus ada persetujuan secara suka rela dari pihak-pihak yang mengadakan perkawinan. Cara ialah diadakan peminangan terlebih dahulu untuk mengetahui apakah kedua belah pihak setuju untuk melaksanakan perkawinan atau tidak b. Tidak semua wanita dapat dikawini oleh seorang pria sebab ada ketentuan larangan-laranga perkawinan antara pria dan wanita yang harus diindahkan. c. Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, baik yang menyangkut kedua belah pihak mupun yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan itu sendiri. d. Perkawinan pada dasarnya adalah untuk membentuk satu keluarga/rumah tangga yang tentram, damai kekal untuk selama-lamanya. e. Hak dan kewajiban suami isteri adalah seimbang dalam rumah tangga, dimana tanggung jawab pimpinan keluarga ada pada suami.6

http://arhamjelek.blogspot.com/2012/02/nikah-di-bawah-umur.html

17

Referensi http://bangdenjambi.wordpress.com/perkawinan-beda-agama-dan-hak-asasi-manusia-diindonesia/ http://auliaazwani.blogspot.com/2012/03/makalah-kasus-hukum-perdata-perkawinan.html http://amanat-online.com/mempertegas-hukum-nikah-siri/ http://lib.uin-malang.ac.id/files/thesis/fullchapter/06210028.pdf http://ridhoyahya89.blogspot.com/2009/07/sekilas-tentang-nikah-mutah.html http://arhamjelek.blogspot.com/2012/02/nikah-di-bawah-umur.html http://makmum-anshory.blogspot.com/2008/06/prinsip-perkawinan.html http://sofiswa.blogspot.com/2011/12/nikah-mutah.html http://arhamjelek.blogspot.com/2012/02/nikah-mutah.html http://hukum.kompasiana.com/2013/03/14/nikah-siri-sah-atau-tidak-542184.html7

18

2.Jelaskan Definisi , ruang lingkup, asas prinsip, tujuan, sejarah dan dasar hukum quran hadits dan peraturan per undang-undangan toleransi dan penodaan agama

19

Anda mungkin juga menyukai