Anda di halaman 1dari 18

Batasan keuntungan dan Riba

Maulina Virgyawan Rizky Indria yulan dara Putri rizky Rahmadani Rezka silvawan

Keuntungan
Mencari keuntungan dalam bisnis pada prinsipnya merupakan suatu perkara yang jaiz (boleh) dan dibenarkan syara, bahkan secara khusus diperintahkan Allah kepada orang-orang yang mendapatkan amanah harta milik orang-orang yang tidak bisa bisnis dengan baik, misalnya anak-anak yatim (lihat QS. AnNisa:29, Al-Baqarah: 194, 275, 282, An-Nur:37, Al-Jumah:10, Al-Muzzammil:20, Quraisy:1-3) Dan, tak ada satu nash pun yang membatasi margin keuntungan, misalnya 25 %, 50%, 100% atau lebih dari modal. Bila kita jumpai pembatasan jumlah keuntungan yang dibolehkan maka pada umumnya tidak memiliki landasan hukum yang kuat.

Tingkat laba/keuntungan atau profit margin berapa pun besarnya selama tidak mengandung unsur-unsur keharaman dan kezhaliman dalam praktek pencapaiannya, maka hal itu dibenarkan syariah sekalipun mencapai margin 100 % dari modal bahkan beberapa kali lipat. Hal itu berdasarkan dalil berikut: Ada beberapa hadits Rasulullah saw menunjukkan bolehnya mengambil laba hingga 100% dari modal. Misalnya hadits yang terdapat pada riwayat Imam Ahmad dalam Musnadnya (IV/376), Bukhari (Fathul Bari VI/632), Abu Dawud (no. 3384), Tirmidzi (no.1258), dan Ibnu Majah (no.2402) dari penuturan Urwah Ibnul Jad al-Bariqi ra.

Sahabat Urwah diberi uang satu dinar oleh Rasulullah saw untuk membeli seekor kambing. Kemudian ia membeli dua ekor kambing dengan harga satu dinar. Ketika ia menuntun kedua ekor kambing itu, tiba-tiba seorang lelaki menghampirinya dan menawar kambing tersebut. Maka ia menjual seekor dengan harga satu dinar. Kemudian ia menghadap Rasulullah dengan membawa satu dinar uang dan satu ekor kambing. Beliau lalu meminta penjelasan dan ia ceritakan kejadiannya maka beliau pun berdoa: Ya Allah berkatilah Urwah dalam bisnisnya.

Dan meraih keuntungan lebih dari yang diambil Urwah pun diperkenankan asalkan bebas dari praktik penipuan, penimbunan, kecurangan, kezhaliman, contoh kasusnya pernah dilakukan oleh Zubeir bin Awwam salah seorang dari sepuluh sahabat Nabi yang dijamin masuk surga. Ia pernah membeli sebidang tanah di daerah Awali Madinah dengan harga 170.000 kemudian dijualnya dengan harga 1.600.000. ini artinya sembilan kali lipat dari harga belinya (Shahih alBukhari, nomor hadits 3129).

Adapun keuntungan yang diharamkan Islam adalah keuntungan yang mengandung unsur dan praktik bisnis haram di antaranya sebagai berikut: 1. Keuntungan dari Bisnis Barang dan Jasa Haram. Yang tergolong bisnis haram adalah seperti bisnis minuman keras, narkoba (NAZA), jasa kemaksiatan, perjudian, rentenir dan praktik riba, makanan dan minuman merusak, bendabenda yang membahayakan rohani dan jasmani. Di antara hadits yang melarang melakukan bisnis barang dan jasa haram serta memanfaatkan hasil keuntungannya adalah hadits riwayat Jabir ra, Nabi SAW. Bersabda: Sesungguhnya Allah mengharamkan jual beli minuman keras, bangkai, babi, dan patung. (HR. Jamaah, lihat al-Albani dalam Irwa Gholil, 1290).

2. Keuntungan dari Jalan Curang dan Manipulasi. Nabi saw. bersabda: Barangsiapa mencurangi kami maka bukanlah dari golongan kami. (HR. al-Jamaah kecuali Bukhari dan Nasai) Orang muslim itu adalah saudara orang muslim lainnya; tidak halal bagi seorang muslim menjual kepada saudaranya sesuatu yang ada cacatnya melainkan harus dijelaskannya kepadanya. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

3. Manipulasi dengan cara Merahasiakan Harga Aktual. Rasulullah saw. telah melarang Talaqqi Rukban yakni menghadang kafilah dagang di tengah jalan dan membeli barang-barangnya dengan berbohong mengenai harga aktual dan beliau juga melarang permainan bisnis Najasy (Insider Trading) yakni cara bisnis menaikkan penawaran harga dengan permainan orang dalam. (Pelarangan itu terdapat pada riwayat hadits Muttafaq Alaih dari Abu Hurairah, Lihat al-Ghozali dalam Ihya II/72)

4. Keuntungan dengan Cara Menimbun dan Usaha Spekulatif. Nabi saw. bersabda: Tidaklah menimbun kecuali orang yang berbuat dosa. (HR. Muslim) Barangsiapa yang menimbun bahan makanan selama empat puluh hari maka sungguh ia berlepas dari Allah dan Allah berlepas darinya. (HR. Ahmad dan Hakim). Sedangkan yang dimaksud dengan praktik menimbun (ihtikar) di sini ialah menahan barang-barang dagangan karena spekulasi untuk menaikkan harga yang membahayakan kepentingan umum. Praktik seperti ini merupakan sistem kapitalisme yang bertumpu pada dua pilar pokok; riba dan penimbunan (monopoli).

Defenisi Riba
Riba secara harfiah berarti kelebihan dalam bahasa Arab. Qadi Abu Bakar ibnu al Arabi, dalam bukunya Ahkamul Quran memberi definisi sebagai: Setiap kelebihan antara nilai barang yang diberikan dengan nilai-tandingnya (nilai barang yang diterimakan). Kelebihan ini mengacu pada dua hal: 1.Tambahan keuntungan yang berasal dari peningkatan yang tidak dapat dibenarkan dalam bobot maupun ukuran, dan 2. Tambahan keuntungan yang berasal dari penundaan (waktu) yang tidak dibenarkan.

Allah subhana wa taala dan Rasulullah salallaahu alayhi wasallam dengan jelas mengharamkan riba-yakni termasuk menetapkan dan mengambil bunga:

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.

Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orangorang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat, maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. al-Quran 2 : 275 278

Jenis jenis riba


1. Riba al-fadl adalah Penambahan dalam utang-piutang Dapat dijelaskan sebagai berikut, transaksi sewa-menyewa melibatkan kedua unsur, baik penundaan maupun penambahan nilai hanya dapat dilakukan atas benda-benda tertentu saja seperti bangunan, kendaraan, binatang, dan sejenisnya; dan tidak atas benda-benda lain yang habis terpakai dan tidak bisa dimanfaatkan bagian per bagiannya seperti makanan dan benda yang dipakai sebagai alat tukar, yakni uang. Sewa-menyewa uang berarti merusak fitrah transaksi, dan menjadikannya sebagai riba. Dalam hal ini riba yang terjadi adalah riba al-fadl, karena menyewakan uang serupa dengan menambahkan nilai pada utang-piutang.

2. Riba an-nasiah adalah kelebihan karena penundaan Memahami riba an-nasiah lebih pelik. Riba ini merupakan kelebihan dalam waktu (penundaan) yang secara artifisial ditambahkan pada transaksi yang berlangsung. Penundaan ini tidak dibolehkan. Hal ini mengacu pada benda nyata (ayn) dan benda tidak nyata (dayn), medium pembayaran (emas, perak dan bahan makanan yang digunakan sebagai uang).

Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai