Anda di halaman 1dari 1

Aku menatapnya dalam-dalam. Ia baru saja kututup. Mulutnya pasti bungkam. Kini betul-betul tertutup.

Lihatlah, kulitnya tak lagi mengkilat. Tapi mengkerut dan buram. Syukurlah, setahun sudah cat baru tak menyentuh mukanya. Aku yakin tahun ini juga tak, muak aku padanya. Padahal sekitar semenit lalu, tepat di depan hidungnya berdiri seseorang yang paling kusayang dalam wujudnya yang utuh. Melipat tangan di dada, bersandar di kusen, dengan kaki yang disilangkan. Ia menatapku manja. Tadinya ia berdiri menghadap halaman. Ia tersenyum dan membiarkan angin bermain-main dengan rambutnya yang bergelombang. Melambai. Aku membalas lambaian itu dengan tangan terbuka dan juga tersenyum. Kubanting. Kututup. Ia terhempas. Aku meradang. Ia meringis. Kutatap dalam-dalam. Ia menunduk. Aku tak bisa memaafkannya. Ia telah memasang jerat yang tak lazim di tangannya. Dan ia berhasil. Lengan bajuku robek seketika. Aku tak jadi ke kantor. Aku keluar dan membeli sebuah baju baru. Ini gara-gara kau, teriakku. Pukimak!

Anda mungkin juga menyukai