Anda di halaman 1dari 2

Lebih Untung Jual Beras daripada Jual Gabah

Harga gabah jatuh pada setiap musim panen tampaknya sudah menjadi masalah klasik. Untuk melindungi petani dari kerugian tersebut sebenarnya cukup sederhana, yaitu dengan mengubah kebiasaan dari menjual gabah ke beras. Dengan cara ini, biaya pemrosesan beras yang mencapai Rp177,5/kg dapat dinikmati petani dan masih ada pula keuntungan lainnya.

ulisan ini diangkat dari pengalaman petani yang saat ini sebagai ketua KTNA Kabupaten Malang, tepatnya berdomisili di Kecamatan Kepanjen. Diharapkan pengalaman ini dapat menjadi inspirasi bagi kelompok tani padi lainnya atau pengambil kebijakan dalam memecahkan masalah klasik yang dialami oleh petani padi, yaitu harga gabah di tingkat petani jatuh pada setiap musim panen. Pada musim hujan biasanya petani tidak memiliki pilihan lain kecuali menanam padi di lahan sawahnya, karena lahan tergenang air baik yang berasal dari saluran irigasi maupun dari air hujan. Pada kondisi demikian, hanya tanaman padi yang cocok untuk diusahakan. Akibatnya, pada musim hujan tanaman padi menjadi dominan. Selain itu, waktu tanam padi yang relatif serempak mengakibatkan waktu panen juga menjadi serempak pula. Kejadian seperti itu selalu dialami oleh petani padi sawah khususnya di Jawa. Waktu panen yang

serempak pada waktu relatif singkat, dan pada hamparan yang cukup luas, kadang mencapai ribuan hektar, mengakibatkan harga gabah waktu panen selalu jatuh. Bahkan di beberapa daerah, waktu panen jatuh pada bulan Januari/Februari saat curah hujan masih cukup tinggi. Kondisi demikian turut menyebabkan kualitas gabah menurun apabila petani tidak memiliki alat pengering. Ditambah lagi, pada saat itu operasi pasar oleh Dolog biasanya terlambat. Semua masalah ini mengakibatkan setiap musim panen raya harga gabah di tingkat petani selalu lebih rendah daripada harga dasar gabah yang ditetapkan pemerintah. Kejadian di atas menjadi masalah rutin bagi petani padi pada setiap musim panen raya. Biasanya tekanan yang bertubi-tubi akan melahirkan pemikiran yang pragmatis dan realistis. Salah satu petani yang memiliki pemikiran pragmatis dan realistis ini adalah ketua KTNA Kabupaten Malang, yang merasa tertantang menghadapi kejadian

rutin yang merugikan petani padi. Sadar akan tanggung jawabnya sebagai ketua KTNA, timbul pemikirannya untuk mengubah kebiasaan petani padi dari menjual gabah menjadi menjual beras. Pemikiran ini didasari oleh pengalaman bahwa fluktuasi harga gabah di tingkat petani sangat tajam dari musim ke musim, bulan ke bulan bahkan hari ke hari. Sebaliknya, harga beras relatif stabil dan goncangan harganya tidak terlalu besar. Hal ini dapat dimaklumi karena beras merupakan komoditas strategis, sehingga pemerintah berusaha keras untuk meredam goncangan harga beras melalui operasi pasar. Goncangan harga beras yang cukup tinggi akan membahayakan stabilitas politik nasional seperti yang terjadi pada tahun 1966 dan 1998. Atas dasar analisis sederhana inilah timbul inspirasi dari ketua KTNA untuk merebut margin pemasaran gabah ke beras. Selama ini, margin ini dinikmati oleh pedagang dan pemilik rice milling unit (RMU). Untuk dapat merebut margin tadi, usaha yang dilakukan adalah melalui kegiatan agribisnis beras. Agribisnis beras ini dikerjakan oleh petani melalui kegiatan berkelompok. Menurut pengakuan ketua KTNA tersebut, sampai saat ini telah dibina lima kelompok tani yang melakukan kegiatan agribisnis beras. Setiap kelompok beranggotakan rata-rata 30 orang petani. Setiap kelompok tani yang dibina telah memiliki satu unit RMU berkapasitas 1-2 ton beras per hari, dan satu unit alat pengering gabah

kapasitas 4 ton GKP dengan lama pengeringan 8 jam. Alat pengering ini merupakan hasil rekayasa dari ketua KTNA sendiri. Sebagai sumber panas adalah batu bara atau kayu. Menurut pengalamannya, sekam padi tidak baik digunakan sebagai sumber energi karena dapat menurunkan kualitas beras yang dihasilkan, yaitu warna beras menjadi kekuningan. Total biaya investasi RMU dan alat pengering diperkirakan sebesar Rp28 juta, dan beserta bangunannya berkisar Rp32-Rp35 juta. Keuntungan Beragribisnis Beras Beragribisnis beras paling tidak akan memberikan tiga keuntungan. Pertama, margin proses dari gabah ke beras, minimal Rp177,5/ kg, menjadi milik anggota kelompok tani. Margin tersebut diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut: harga beras di tingkat RMU dikalikan dengan rendemen gabah ke beras, dikurangi dengan harga gabah di tingkat petani, ongkos pengeringan dan ongkos giling gabah menjadi beras. Dengan harga jual beras di tingkat RMU Rp2.450/ kg, rendemen dari gabah ke beras 55%, harga gabah di tingkat petani Rp1.100/kg, ongkos pengeringan gabah Rp30/kg, ongkos penggilingan dari gabah ke beras Rp 40/ kg maka besarnya margin = (2.450 x 55%)-(1.100-30-40) = 117,5. Nlai margin ini akan berubah mengikuti harga gabah di tingkat petani; makin menurun harga gabah di tingkat petani, nilai margin semakin besar, demikian sebaliknya. Kenyataan menunjukkan bahwa harga gabah di tingkat petani cenderung terus menurun, lebihlebih pada saat panen raya. Apabila harga gabah di tingkat petani turun menjadi Rp1.000/kg, maka margin yang dapat dinikmati kelompok tani meningkat dari Rp177,5 menjadi Rp277,5/kg beras. Kedua, selain keuntungan langsung berupa margin tadi, keuntungan tidak langsung yang ditimbulkan adalah kejenuhan pasar

gabah pada saat panen raya dapat dikurangi, karena gabah tidak secara langsung dijual ke pasar, tetapi secara bertahap diproses menjadi beras di tingkat kelompok tani. Dengan demikian diharapkan harga gabah di tingkat petani menjadi lebih stabil. Ketiga, keuntungan yang lebih penting dan memiliki dampak terhadap produksi beras nasional adalah penerapan teknologi terutama pemupukan secara berimbang sesuai rekomendasi. Karena petani memproses sendiri gabahnya menjadi beras, maka petani berusaha untuk meningkatkan rendemen padinya semaksimal mungkin melalui penggunaan pupuk berimbang, khususnya urea, SP-36 dan KCl, dengan takaran sesuai rekomendasi. Kemampuan meningkatkan produktivitas padi di tingkat kelompok tani dengan kesadaran sendiri diharapkan dapat memacu penggunaan inovasi teknologi padi. Biasanya, inovasi teknologi berkembang hanya pada saat ada proyek, begitu proyek berakhir kegiatan pengembangan inovasi teknologi juga berhenti. Jadi keuntungan tidak langsungnya adalah inovasi teknologi padi, khususnya di sentra produksi, menjadi berkembang dengan kesadaran kelompok tani sendiri. Peluang Keberhasilan Peningkatan produktivitas padi mempunyai peluang keberhasilan cukup tinggi karena senjang hasil (yield gap) di sentra produksi padi masih cukup besar. Rata-rata produktivitas yang dicapai petani saat ini masih di bawah potensi produktivitas lahannya. Faktor kunci terjadinya senjang hasil yang begitu besar antara lain adalah petani belum menggunakan pupuk sesuai takaran rekomendasi, bahkan ada yang sama sekali tidak menggunakannya, tetapi ada pula yang menggunakannya secara berlebihan. Cara dan waktu aplikasi juga belum sesuai rekomendasi. Bukti riil peluang peningkatan produktivitas ini telah dipraktekkan

oleh ketua KTNA pada lahan sawah miliknya seluas 0,75 ha. Dengan menggunakan pupuk secara berimbang sesuai takaran rekomendasi, khususnya urea, SP-36 dan KCl, hasil padi mencapai 11 t/ha. Menurut ketua KTNA, rata-rata produktivitas padi warganya baru 5,5 t/ha. Hal ini menunjukkan bahwa peluang meningkatkan produksi padi 1-2 t/ha di areal binaannya masih sangat memungkinkan untuk dilakukan. Di samping itu, keuntungan yang didapat adalah kenaikan rendemen. Dengan pemakaian pupuk berimbang, rendemen padi meningkat hingga 60% dari rata-rata sebelumnya yang hanya 55%. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa peluang keberhasilan agribisnis beras di tingkat kelompok tani sangat besar, karena banyak keuntungan yang dapat diraih. Di samping itu, kenapa petani padi kebanyakan belum menggunakan pupuk secara berimbang, khususnya pupuk SP-36 dan KCl, juga dapat diduga alasannya, yaitu petani tidak mendapat insentif harga atau keuntungan dari pemakaian pupuk SP-36 dan KCl apabila petani menjual produknya dalam bentuk gabah. Apabila petani menggunakan pupuk tersebut, biaya produksi menjadi bertambah karena harga kedua jenis pupuk tersebut lebih mahal dari pupuk urea. Oleh karena itu, dengan mengubah kebiasaan petani menjual hasil produksinya dari gabah ke beras, selain petani dapat meraih keuntungan, inovasi teknologi padi akan lebih berkembang di kalangan petani (Wayan Sudana).

Untuk informasi lebih lanjut hubungi: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jln. A. Yani No. 70 Bogor 16161 Telepon : (0251) 333964 Faksimile : (0251) 314496 E-mail : caser@indosat.net

10

Anda mungkin juga menyukai