Anda di halaman 1dari 29

BAB I PENDAHULUAN

Tugas terpenting dari ahli anestesiologi adalah manajemen jalan napas pasien. Meskipun banyak disiplin kedokteran yang menangani masalah jalan napas berdasarkan masalah kegawatdaruratan, namun hanya beberapa yang bertanggung jawab atas rutinitas, pertimbangan, pilihan dari keadaan intrinsik pasien terhadap kontrol pernapasan. Data morbiditas dan mortilitas yang telah dipublikasikan menunjukkan dimana kesulitan dalam menangani jalan napas dan kesalahan dalam tatalaksananya justru akan memberikan hasil akhir yang buruk bagi pasien tersebut. Keenan dan Boyan melaporkan bahwa kelalaian dalam memberikan ventilasi yang adekuat menyebabkan 12 dari 27 pasien yang sedang dioperasi mengalami mati jantung (cardiac arrest). Salah satu penyebab utama dari hasil akhir tatalaksana pasien yang buruk yang didata oleh American Society of Anesthesiologist (ASA) berdasarkan studi tertutup terhadap episode pernapasan yang buruk, terhitung sebanyak 34% dari 1541 pasien dalam studi tersebut. Tiga kesalahan mekanis, yang terhitung terjadi sebanyak 75% pada saat tatalaksanan jalan napas yaitu : ventilasi yang tidak adekuat (38%), intubasi esofagus (18%), dan kesulitan intubasi trakhea (17%). Sebanyak 85% pasien yang didapatkan dari studi kasus, mengalami kematian dan kerusakan otak. Sebanyak 300 pasien (dari 15411 pasien di atas), mengalami masalah sehubungan dengan tatalaksana jalan napas yang minimal. Menurut Cheney et al menyatakan beberapa hal yang menjadi komplikasi dari tatalaksana jalan napas yang salah yaitu : trauma jalan napas, pneumothoraks, obstruksi jalan napas, aspirasi dan spasme bronkus. Berdasarkan data-data tersebut, telah jelas bahwa tatalaksana jalan napas yang baik sangat penting bagi keberhasilan proses operasi dan beberapa langkah berikut adalah penting agar hasil akhir menjadi baik, yaitu : (1) anamnesa dan pemeriksaan fisik, terutama yang berhubungan dengan penyulit dalam sistem pernapasan, (2) penggunaan ventilasi supraglotik ( seperti face mask, Laryngeal Mask Airway/LMA), (3) tehnik intubasi dan ekstubasi yang benar, (4) rencana alternatif bila keadaan gawat darurat terjadi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Jalan Nafas Kata jalan nafas atau airway mengarah kepada saluran pernapasan atas, yang terdiri dari rongga hidung dan rongga mulut, faring, laring, trakhea dan brokus. Jalan napas pada manusia merupakan suatu saluran udara yang sangat penting dan saling berhubungan. Karena jalan oroesofageal dan nasotrakheal bersilangan, terjadilah suatu evolusi atau perubahan secara anatomis dan fungsional untuk melindungi jalan napas sublaringeal agar tidak terjadi aspirasi makanan yang melewati faring. Secara anatomis, pertumbuhan dan perkembangan saluran pernapasan atas sangat kompleks selama masa neonatal maupun anakanak, dan berjalan sesuai dengan ukuran dan bentuk, disesuaikan lagi dengan ukuran tulang servikal. Hal ini serupa dengan sistem lainnya dalam tubuh,

pertumbuhan dan perkembangan saluran napas atas dipengaruhi oleh genetik, nutrisi dan hormonal. Tabel berikut ini menunjukan perbedaan anatomis laryng antara orang dewasa dengan bayi. Tabel 2.1 Perbedaan Anatomis antara Anak dan Dewasa Perbedaan Ukuran Bagian tersempit Daerah vertikal Epiglotis Plika ariepiglotika Pita suara Anak Lebih kecil Kartilago krikoid C3, C4, C5 Lebih panjang, lebar dan kaku Lebih dekat ke midline Dewasa Lebih besar Plika vokalis C4, C5, C6 Lebih pendek

Kartilago laryng Mukosa

Relatif lebih jauh ke midline Sudut anterior Tidak tegak lurus dengan bersinggungan secara tegak laring lurus dengan laring Dapat dibengkokkan Tidak dapat dibengkokkan Cenderung mudah rusak Realtif tidak mudah rusak karena tindakan akibat tindakan manipulatif manipulatif

Tulang di daerah laring terdiri dari sembilan kartilago (terdapat tiga pasang ditambah tiga lainnya), yang secara bersama-sama tulang rawan ini membentuk rumah bagi plika vokalis, yang terbentang dari anterior sampai poterior (kartilago thiroid sampai kartilago arytenoid). Kartilago thyroid yang berbentuk seperti tameng, bertindak sebagai pelindung di bagian anterior bagi pita suara. Otot-otot laring terdiri dari dua grup otot yaitu otot ekstrinsik yang bertugas menggerakkan laring, dan otot intrinsik yang tugasnya berhubungan dengan otototot pada kartilago laring. Laring dipersarafi secara bilateral oleh dua cabang saraf dari nervus vagus: nervur laringeus superior dan nervus laringeus rekuren. Oleh karena nervus laringeus rekuren mempersarafi otot intrinsik laring (kecuali kartilago krikothiroid), adanya trauma pada saraf ini dapat menyebabkan kerusakan pita suara. Sebagai akibat dari trauma saraf unilateral, fungsi jalan nafas masih baik, tetapi kemampuan laring mencegah terjadinya aspirasi menjadi menurun. Membran krikotiroid memberikan perlindungan di ruang krikotiroid. Membran ini, berukuran 9mm x 3mm, terdiri dari jaringan kekuningan yang elastis yang terletak tepat di bawah jaringan subkutan kulit dan di daerah wajah. Membran ini terletak di daerah anterior leher, yang berbatasan dengan kartilago thyroid di superior dan kartilago krikoid di inferior. Membran ini dapat dirasakan 1-1,5 jari di bawah tonjolan laringeal (thyroid notch, atau Adams apple). Dua pertiga atas dari membran ini dilalui oleh anastomosis dari arteri krikothiroid superior kiri dan kanan yang berjalan secara horisontal. Di tengah membran terdapat suatu tonjolah yang disebut conus elasticus, dan dua tonjolan besar lainnya yang terletak di daerah lateral, yang lebih tipis dan melekat di mukosa laring. Akibat adanya variasi anatomis terhadap jalannya pembuluh vena dan arteri serta letaknya yang berdekatan dengan plika vokalis ( yaitu 0,9 cm di atas ligamen teratas), maka disarankan bahwa segala bentuk insisi dan pungsi terhadap membran ini, dapat dilakukan pada sepertiga bawah dan diarahkan ke posterior. Pada bagian dasar dari laring, terdapat karilago krikoid yang berbentuk cincin, dan kartilago ini menggantung dari bagian bawah membran krikotiroid. Kartilago krikoid berukuran 1cm di anterior dan 2cm di daerah posterior. Trakhea dihubungkan dengan kartilago krikoid oleh ligamen krikotrakheal. Trakhea

memiliki panjang ~15cm pada orang dewasa dan terdiri dari 17-18 buah kartilago yang berbentuk C dan di daerah posterior terdapat membran yang berbatasan dengan esofagus. Cincin trakhea yang pertama, sejajar dengan tulang servikal keenam (C6). Tulang-tulang rawan trakhea saling dihubungkan dengan jaringan fibroelastik, yang memudah peregangan dari trakhea baik panjang dan diameternya pada saat proses inhalasi/ekspirasi dan pada saat fleksi/ekstensi leher. Trakhea berakhir di karina, yaitu pada vertebra thorakalis kelima (Th5), dan bercabang menjadi dua cabang bronki. Bronkus kanan memiliki diameter yang lebih besar bila dibandingkan dengan yang kiri dan membentuk sudut yang lebih besar dengan trakhea. Karena bronkus ini merupakan cabang langsung dari trakhea, maka bahan-bahan yang teraspirasi, atau bahkan tube, cenderung lebih mudah masuk ke bronkus kanan. Cincin tulang rawan akan melindungi bronki sampai tujuh percabangan terakhir.

2.2 Evaluasi Jalan Nafas Evaluasi preoperatif harus mencakup anamnesa atau riwayat terutama yang berhubungan dengan jalan napas atau gejala-gejala yang berhubungan dengan saluran pernapasan atas. Bila mungkin, perlu dilakukan dokumentasi terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan saluran pernapasan atas. Tanda dan gejala yang berhubungan dengan jalan napas harus dijelaskan misalnya snoring atau mengorok (misalnya pada sleep apnea yang obstruktif), gigi terkikis, perubahan suara, disfagi, stridor, nyeri servikal atau pergerakan leher yang terbatas, neuropathi ekstremitas atas, nyeri atau disfungsi sendi

temporomandibular dan nyeri tenggorokan atau rahang yang berlangsung lama setelah pembiusan. Banyak kelainan kongenital dan gejala yang didapat berhubungan dengan penyulit tatalaksana jalan napas. Suatu keadaan yang patologis dapat ditemukan pada saat dimulai dilakukannya tindakan anestesi, misalnya pada saat induksi atau ketika laringoskop dipasang, misalnya pada pasien dengan kesulitan dilakukan mask ventilation, laringoskopi maupun LMA dikarenakan adanya suatu massa di leher yang baru ditemukan pada saat itu.

Secara umum, intubasi sulit dilakukan akibat kondisi berikut ini: timbulnya masalah atau kondisi yang tidak memungkinkan untuk intubasi (misal perut penuh, open globe) anatomi saluran napas yang abnormal keadaan gawat darurat trauma langsung pada laryng dan atau trakhea.

Pemeriksaan fisik harus lebih terfokus pada keadaan gigi geligi, adanya janggut, ukuran mulut, kemampuan peregangan jaringan lunak di daerah submandibula, ekstensi atlantooksipital, identifikasi membran krikothiroid dan adanya kelainan patologis di faring. Meskipun penemuan anatomi yang abnormal kemungkinan tidak sepenuhnya menyebabkan kesulitan dalam bernapas, tetapi kita tetap perlu berhati-hati. Beberapa peneliti telah menemukan bentuk anatomis yang tidak menguntungkan apabila dilakukan tindakan laringoskop direk, sendi yang tidak proporsional, adanya distorsi, terbatasnya gerak sendi, dan tergigit. Dalam usaha-usaha pertama untuk menjelaskan keadaan anatomi yang berhubungan dengan intubasi yang sulit, Cass et al menekankan pada keadaan leher pendek dengan jumlah gigi lengkap, letak mandibula yang lebih ke posterior dengan sudut mandibula yang lebar, gigi insisifus di maksila yang menonjol, gerakan terbatas dari sendi temporomandibula, palatum yang tinggi dan bersudut, dan meningkatnya jarak alveolar-mental. Studi radiografik pertama, menunjukkan kedalaman di daerah posterior mandibula (suatu jarak antara alveolar yang bertulang yang terletak di belakang gigi molar ketiga dan batas bawah mandibula) adalah faktor penting yang menentukan sulit tidaknya laringoskopi. Lalu, terdapat jarak thiro-mental, suatu jarak yang berawal dari ujung mentum sampai dengan tonjolan thiroid, yang dikatakan sebagai suatu pengukuran yang sangat penting dan perlu dievaluasi. Bila hasil pengukuran kurang dari 6 cm, maka kesulitan dalam tindakan laringoskopi sudah pasti timbul. Konsep ini diperluas oleh Savva, seorang yang mengukur jarak sternomental dengan kepala dalam keadaan ekstensi maksimal. Pada perhitungan ini ditambahkan keadaan sendi atlanto-oksipital ke dalam penilaian. Bila hasil pengukuran kurang dari 12 cm akan memberikan hasil yang positif. Bila perhatian kita fokuskan pada keadaan rongga mulut, Mallampati menyarankan bila basis lidah memiliki ukuran besar dan tidak proporsional, maka

kemungkinan besar sulit dilakukan laringoskopi dan intubasi; penyulit timbul selain karena keadaan anatomis teteapi juga karena sudut antara basis lidah dan laring yang sempit. Keadaan anatomis ini juga menyebabkan glotis sukar dilihat. Kebalikannya, secara logika, tentu saja lidah yang proporsional tidak akan menghalangi jalan atau saluran menuju laryng, sudut tidak sempit atau terbatasnya gerakan persendian. Lidah yang sangat besar tidak hanya menghalangi laryng, tetapi juga menutupi ruangan faringeal dan struktur lainnya, termasuk palatum, uvula dan pilar fausial. Untuk melihat tanda klinis ini, pasien diminta duduk dengan kepala dalam posisi netral, membuka mulut selebar-lebarnya dan menjulurkan lidahnya semaksimal mungkin. Klasifikasi Mallampati berdasarkan pada seberapa jauh basis lidah mampu menutupi struktur daerah faring. Samson dan Young memodifikasi klasifikasi Mallampati dengan menambah kelas keempat, yang menggambarkan suatu keadaan yang ekstrim dari Mallampati kelas III, di mana palatum mole tertutup seluruhnya oleh lidah. Dalam kelas IV ini, hanya palatum durum saja yang masih tampak. Hubungan yang signifikan ditemukan antara kelas dan derajat jalan napas dari sulit tidaknya penampakan glotis melalui laringoskopi direk. Penilaian yang praktis dari metode ini dilihat dari mudahnya aplikasi. Sayangnya, indeks ini, sama dengan sebagian lainnya, tidak terbukti cukup sensitif maupun spesifik dalam menentukan sulit tidaknya mengintubasi pasien. Dalam percobaan dari 675 pasien, indeks ini ditemukan hanya 5 dari 12 kesulitan tatalaksana jalan napas dan memberikan hasil 139 positif salah. Perlu dicatat bahwa pemeriksaan tradisional dari jalan napas, termasuk klasifikasi Mallampati/ Samson dan Young, jarak thiromental dan jarak sternomental lebih menunjukkan ke arah kemampuan klinisi untuk melakukan laringoskopi direk, tetapi hanya sebagian kecil yang mampu menggunakan peralatan ventilator supraglotis (contohnya LMA, Cuffed Orophrayngeal Airway[COPA], Tracheal Esophageal Combitube) atau alat penunjuk visual indirek (contohnya bronkoskopi fiberoptik, Bullard laryngoscope).

2.3 Manajemen Klinis Jalan Napas a) Preoksigenasi

Preoksigenasi (disebut juga denitrogenasi) harus dipraktekkan bila waktu memungkinkan. Prosedur ini menyebabkan pergantian volume nitrogen di paru (meningkat sampai 69% dari kapasitas residu fungsional [FRC]) dengan oksigen untuk menyediakan suatu tempat untuk proses difusi dalam pembuluh darah kapiler alveolus setelah terjadinya apneu. Preoksigenasi dengan 100% O2 dan ventilasi spontan dengan face mask selama 5 menit dapat memeberikan persediaan O2 untuk 10 menit setelah terjadi apneu (pada pasien tanpa penyakit kardiovaskuler dan konsumsi oksigen normal). Pada satu penelitian pasien yang sehat dan tanpa obesitas, dimana mereka diminta untuk menghirup O2 100% preoperatif, ternyata konsentrasi saturasi O2 dari pasien-pasien tersebut dapat dipertahankan lebih dari 90 % selama 6 0,5 menit, sedangkan pada pasien dengan obesitas mengalami desaturasi oksihemoglobin hingga kurang dari 90 % dalam 2,7 0,25 menit. Udara pernapasan pasien (21% O2) akan mengalami desaturasi oksihemoglobin hingga kurang dari 90% setelah kurang 2 menit dalam kondisi yang ideal. Pasien dengan gagal napas, atau menderita suatu keadaan yang mempengaruhi metabolisme atau volume paru, biasanya akan mengalami desaturasi lebih cepat, disebabkan karena meningkatnya ekstraksi O2, FRC yang menurun atau hubungan transpulmoner. Penyebab yang sering terjadi karena tidak tercapainya maximum alveolar FI02 selama preoksigenasi adalah karena sungkup yang kurang menutup, yang menyebabkan udara ruangan masuk. Adapun metode preoksigenasi lainnya, dengan waktu yang lebih singkat, dijelaskan berikut ini. Metode ini menggunakan 4 seri kapasitas vital pernapasan dari 100% O2 selama lebih dari periode 30 detik, PaO2 yang tinggi (339 torr) dapat dicapai, tetapi waktu terjadinya desaturasi menjadi lebih pendek bila dibanding dengan teknik bernapas dengan O2 100% selama 5 menit. Suatu teknik kapasitas vital yang telah dimodifikasi, dimana pasien diminta untuk mengambil 8 kali napas panjang dengan selang 60 detik, menunjukkan adanya terjadinya desaturasi menjadi lebih lama. Insuflasi oksigen ke dalam faring adalah teknik yang dinyatakan dapat memperpanjang waktu untuk mempertahankan saturasi oksihemoglobin >90% seorang pasien yang apneu. Dalam teknik ini oksigen dimasukkan selama 31 min-1 melalui kateter yang dimasukkan melalui hidung. Teknik ini bergantung pada fenomena oksigenasi pada pasien apneu, suatu proses

dimana gas masuk ke dalam ruang selama terjadinya apneu, selama jalan napas bebas. Proses ini menyediakan oksigen yang cukup untuk mempertahankan saturasi hemoglobin untuk periode lama. Hal ini berdasarkan keadaan menurunnya tekanan intrathorakal, setara dengan tekanan atmosfir, memproduksi kurang lebih 210 cm3 oksigen yang berdifusi ke dalam pembuluh darah alveolus setiap menit sementara sedikitnya 12 cm3 karbondioksida berdifusi ke dalam ruang alveolus (karbondioksida yang tersisa akan mengalami proses buffer dalam darah dan jaringan). Karbondioksida alveolus tidak berpindah atau hilang dalam keadaan ini, sehingga teknik ini memiliki waktu yang terbatas.

b) Dukungan terhadap Jalan Napas pada Induksi Anestesi Adanya induksi anestesia dan terjadinya apneu, maka proses ventilasi dan oksigenasi dibantu oleh ahli anestesi. Metode tradisional yang digunakan yaitu pemakaian sungkup wajah dan trakheal tube. Baru-baru ini, terdapat alat bantu pernapasan supralaringeal baru yang telah diperkenalkan secara global. Salah satunya yaitu Laryngeal Mask Airway (LMA) telah dapat diterima di antara para ahli anestesi di Amerika Serikat, dimana penggunaannya mencapai 35% dari semua kasus anestesia umum. Alat ini dan beberapa alat yang serupa akan dibahas secara ektensif, karena munculnya alat-alat tersebut menyebabkan adanya perubahan dalam tatalaksana jalan napas. Sungkup Anestesi Sungkup anestesi adalah salah satu alat yang paling sering digunakan untuk mengalirkan gas anestesi dan oksigen, serta sebagai alat ventilasi pasien dalam keadaan apnea. Untuk menguasai penggunaan sungkup wajah yang benar adalah suatu tantangan dan meskipun banyak terdapat kemajuan dalam hal penatalaksanaan jalan napas, tetap saja sungkup wajah lebih terpilih karena memiliki fungsi utama sebagai alat untuk mengalirkan gas anestesi dan sebagai alat resusitasi. Ketika induksi dimulai, status kesadaran pasien yang mulanya sadar, dengan jalan napas jalan kompeten dan terlindungi, menjadi tidak sadar dimana jalan napas menjadi tidak terlindungi dan berpotensi timbul obstruksi. Pada saat induksi terjadi depresi pusat pernapasan akibat pengaruh obat anestesi yang disertai dengan relaksasi

otot-otot saluran pernapasan atas sehingga kemungkinan dapat timbul hiperkapnea dan hipoksia. Oleh karena itu, ventilasi dengan bantuan sungkup wajah sangat berperan penting dalam penatalaksanaan jalan napas. Posisi pasien yang benar merupakan kunci sukses penggunaan sungkup wajah yang tepat. Posisi pasien dalam keadaan supine, dimana kepala dan leher diposisikan dalam keadaan menghirup (sniffing position). Dengan posisi ini, ventilasi berlangsung baik karena basis lidah terdorong ke arah anterior dan terbentuk suatu jalur mulai dari rongga mulut, faring dan trakhea sehingga memudahkan laringoskopi. Sungkup diletakkan pada wajah pasien, meliputi mulut dan hidung, dengan menggunakan tangan kiri. Tali pengikat yang elastis digunakan agar sungkup tidak bergeser; dapat digunakan pada pasien yang sadar, maupun yang tidak sadar karena pembiusan dengan pernapasan spontan dan tidak terdapat obstruksi. Tali pengikat ini sangat membantu bagi seorang klinisi yang memiliki jari-jari yang pendek. Tetapi, perlu diingat bahwa pemakaian tali pengikat yang terlalu lama dan ketat dapat meyebabkan neuropraksia sensoris dan motoris. Setelah dilakukan induksi, sungkup dipegang dengan erat, yaitu dengan cara meletakkan ibu jari dan telunjuk pada sungkup, sedangkan tiga jari lainnya memegang rahang bawah pasien. Mandibula diusahakan ditarik ke atas. Pada saat memegang sungkup, connector atau sambungan sungkup terletak di antara ibu jari dan telunjuk ahli anestesi lebih ke arah kanan, sehingga sungkup di bagian kanan tertutup, sementara telapak tangan kiri menahan bagian kiri sungkup. Saat

menahan rahang bawah, jari tengah berada tepat di bawah mentum, dan jari lainnya berada di bawah sudut temporomandibula, sepanjang temporomandibular ridge. Manuver ini dikenal sebagai jaw thrust, yang berfungsi untuk mendorong jaringan lunak ke arah anterior sehingga daerah faring bebas obstruksi dan ventilasi terjadi dengan lancar. Pada pasien dengan kegemukan, memiliki kelainan gigi, berjanggut, diperlukan dua tangan atau tali pengikat agar sungkup benarbenar tertutup. Karena diperlukan dua tangan, maka dibutuhkan operator kedua untuk melaksanakan proses ventilasi.

Tabel 2.2 Kelainan yang Manajemen Jalan Nafas


Keadaan Patologis Kongenital Sindroma Pierre Robin Keadaan Klinis Micrognasia, glossoptosis, cleft soft palate makroglossia,

Sindroma Sindroma

Treacher Goldenhars

Collins

Defek telinga dan mata, hipoplasi malar dan mandibula, mikrostomia, atresia

(dysostosis mandibulofacial)

(okulo- choane Defek telinga dan matal; hipoplasia malar dan mandibula; oksipitalisasi tulang atlas

aurikula-vertebral) Sindroma Down

Sindrom Klippel-Feil Sindrom Alpert

Jembatan hidung tidak terbentuk dengan baik;

makroglosia;mikrosefalus;kelainan tulang Sindrom gigantisme) Cherubism Cretinismus Beckwith (infantile servikal Penyatuan tulang servikal,

terbatasnya gerakan leher Hipoplasia maksila; cleft soft palate; kelainan tulang rawan di tracheobronchial

Sindrom Cri du Chat

Makroglossia

Sindrom Meckel Von Recklinghausen disease

Lesi menyerupi tumor di mandibula dan maksila di rongga mulut Hilangnya jaringan thiroid; pada

Sindrom Hurler

makroglossia;

goiter;

penekanan

trakhea, deviasi laryng atau trakhea Sindrom Hunter Abnormalitas kromosom 5P;

mikrosepal; mikrognathia; laryngomalacia, Sindrom Pompe stridor Mikorsepalus, mikrognasia, celah pada epiglotis Meningkatnya kejadian

pheochromocytoma; tumor dapat muncul di laryng dan Kaku sendi, obstruksi saluran napas

atas akibat infiltrasi jaringan limfoid; abnormalitas ISPA berulang Sama dengan sindrom Hurler, tetapi lebih berat; pneumonia Deposit otot, makroglossia kartilago trakeobronkial;

DIDAPAT Infeksi Supraglotis Croup Abses (intraoral, retrofaringeal) Papilomatosis

Edema laryng Edema laryng Distorsi dan stenosis jalan napas dan trismus Infeksi virus kronis yang membentuk papiloma yang obstruktif, terutam di suprlagotis. Perlu pembedahan. Dapat

berpindah ke subglotis setelah trakeostomi. Ludwigs Angina Arthritis Rheumatoid arthritis Distorsi dan stenosis jalan napas dan trismus

Spondilitis ankilosis

Ankilosis sendi temporomandibula, artritis krikoarytenoid, deviasi laryng,

terbatasnya gerakan leher Tumor Jinak Kistik higroma,lipoma, adenoma, terjadi goiter Tumor Ganas Karsinoma lidah, laryng, thiroid Stenosis atau distorsi jalan napas Ankilosis tulang servikal, jarang di daerah temporomandibula,

terbatasnya gerakan leher.

Trauma Trauma kepala, wajah, tulang servikal Lain-lain Obesitas Akromegali Rhinorrhea, edema saluran napas, Stenosis atau distorsi jalan napas; laryng terfiksasi oleh jaringan fibrosis akibat radiasi

Combustio

perdarahan, fraktur maksila dan mandibula, kerusakan servikal laryng, dislokasi vertebra

Leher pendek dan tebal, lidah yang besar Makroglossia, prognatismus Edema saluran napas

Perlu diingat, bahwa pasien dengan compliance paru yang normal, memerlukan tekanan kurang dari 20-25 cm H2O untuk mengembangkan paru. Bila tekanannya lebih, klinisi tersebut harus melakukan evaluasi ulang jalan napas, lalu mengusahakan agar sungkup pas pada wajah pasien, mencari bantuan operator kedua dan atau mempertimbangkan untuk menggunakan alat lainnya yang dapat memberikan udara yang mengalir ke saluran pernapasan atas, dengan jalur yang terbuka. Penggunaan pipa orofaring atau nasofaring dapat menciptakan suatu saluran buatan di antara langit-langit mulut, lidah dan dinding posterior faring. Pipa orofaring (oral airways), yang memiliki berbagai jenis ukuran, dapat merangsang pasien yang kurang sadar dan menimbulkan batuk, muntah dan atau spasme laring. Pasien harus berada dalam keadaan teranestesi, bila pipa orofaring akan dimasukkan. Hal serupa berlaku juga untuk pemasangan LMA atau COPA. Pipa nasofaring (nasal airways) kurang merangsang pasien, tetapi dapat menyebabkan trauma pada rongga hidung dan perdarahan sehingga pemakaiannya memerlukan perhatian khusus, terutama pada pasien dengan kelainan

koagulopathi atau deformitas nasal. Peralatan ini merupakan kontraindikasi bagi pasien dengan fraktur basal tengkorak. Timbulnya obstruksi pada ventilasi dengan sungkup, dapat disebabkan adanya spasme laring, karena adanya penutupan intrinsik dari plika vokalis.

Spasme laring timbul akibat masuknya benda asing (contohnya oral atau nasal airway), saliva, darah atau muntah karena glotis tersentuh, atau mungkin juga karena anestesia yang ringan. Hipoksia dapat terjadi, bila ventilator secara spontan terus menerus memompa udara ke arah pita suara yang tertutup. Untuk

menghilangkan spasme laring, maka segala bentuk perangsangan atau tindakan yang dapat merangsang laring harus dihilangkan. Aliran udara tekanan positif tetap diberikan secara kontinyu, memperdalam status anestesi dan menggunakan obat relaksasi otot kerja cepat. Apabila tidak ditemukannya hal-hal yang menjadi kontraindikasi (misalnya perut penuh, risiko terjadinya aspirasi), ventilasi dengan sungkup dapat digunakan selama maintenance. Atau dapat juga, sungkup ini hanya digunakan untuk mengalirkan gas anestesi saja sampai status anestesi yang diinginkan tercapai, dan digunakan alat lain untuk mendukung jalan napas (misal: trakheal tube). Keputusan ini dibuat berdasarkan pertimbangan adakah penyakit yang menjadi penyulit atau keperluan pembedahan. Laryngeal Mask Airway (LMA) LMA pertama kali diperkenalkan ke dalam praktek klinik pada tahun 1980an dan disetujui sebagai alat pengganti sungkup wajah selama anestesia elektif oleh badan Food and Drug Administration dari Amerika Serikat pada tahun 1991. LMA juga direkomendasikan sebagai pengganti tracheal tube, pada kasuskasus dimana intubasi trakhea tidak diperlukan. Walaupun penggunaanya masih terbatas, peran LMA berkembang sepanjang waktu dan saat ini dilaporkan terdapat 23 % proses anestesi telah menggunakan LMA. Desain LMA LMA terdiri dari sebuah sungkup kecil, yang dibuat agar dapat masuk ke hipofaring, dengan lubang di bagian permukaan anterior yang berhadapan dengan jalan masuk dari laring. Bagian pinggir dari sungkup terdiri dari cuff silikon yang dapat ditiup dan cuff ini akan mengisi ruang hipofaring, membentuk suatu segel yang memungkinkan masuknya tekanan positif ventilasi hingga mencapai 20 cm H2O. Segel yang adekuat ini tergantung dari penempatan yang tepat dan ukuran yang sesuai. Segel ini tidak tergantung pada tekanan udara dalam cuff. Pada bagian posterior dari sungkup ini terdapat barel (airway tube) yang memanjang mulai dari bagian sentral sungkup hingga mulut dan dapat disambungkan dengan ambu bag atau sirkuit anestesi.

Berbagai macam ukuran tersedia, mulai dari LMA untuk pasien neonatal hingga dewasa. Pemilihan ukuran LMA sangat penting, agar tatalaksana jalan napas berlangsung dengan baik dan juga segala bentuk komplikasi pada saat pemakaian dapat dicegah. Para produsen LMA merekomendasi bahwa sebaiknya para klinisi memilih ukuran yang paling besar yang dapat masuk ke dalam rongga mulut, kemudian meniupkan cuff dengan tekanan minimum, sehingga tekanan ventilasi dapat mencapai 20 cm H2O tanpa adanya kebocoran. Tekanan di dalam cuff tidak boleh melebihi 60 cm H2O (dan harus selalu dimonitor secara periodik bila N2O digunakan untuk anestesi). Bila segel yang adekuat tidak dapat dicapai hingga tekanan 60 cm H2O, ada kemungkinan terjadi malposisi LMA atau ukurannya tidak sesuai. Anestesia yang ringan juga dapat menyebabkan segel menjadi kurang sempurna atau mengakibatkan timbulnya spasme laring parsial atau komplit.

Tabel 2.3 Klasifikasi Mallampati/ Samsoon-Young


Kelas I II III IV Penampakan Orofaring Tampak uvula, pilar fausial dan palatum mole Pilar fausial dan palatum mole terlihat Palatum durum dan palatum mole masih terlihat Palatum durum sulit terlihat

Insersi LMA Insersi LMA, seperti digambarkan oleh penemunya Dr.Archie J.L. Brain, telah mengalami banyak modifikasi oleh beberapa penulis. Dalam tulisan ini akan dibahas berbagai variasialternatif tersebut. Pemikiran awal Dr. Brain tentang tentang alat ini adalah sebuah proses alami dan rutin kita alami yaitu menggantikan benda asing di hipofaring-makanan. Dr.Brain berniat meniru penempatan makanan di hipofaring sehingga memungkinkan untuk menempatkan sebuah alat yang kemudian berfungsi sebagai jalan nafas.

Untuk mengerti teknik insersi, kita harus mengetahui terlebih dahulu proses deglutinasi : lubrikasi oleh saliva, pembentukan bolus makanan oleh lidah, dimulainya refleks menelan akibat stimulasi makanan, peningkatan tekanan lidah menghimpit bolus makanan terhadap palatum; mengarahkan bolus kearah dinding faring posterior, masuk ke dalam hipofaring mengikuti bentuk palatum dan dinding faring; ekstensi kepala dan fleksi leher membuka ruangan di belakang laring sehingga memungkinkan perjalanan bolus kedalam hipofaring sampai akhirnya mencapai spingter esophagus bagian atas kemudian memasuki esophagus. Fungsi tersebut memungkinkan makanan mencapai esophagus dengan sendirinya, menghindari struktur faring anterior dan respon refleks yang berarti melindungi jalan nafas. Metode insersi prototype melingkupi rotasi sampai 180 dan diawali dengan penggunaan introducer untuk menghindari epiglottis terlipat ke bawah. Teknik yang dewasa ini dianjurkan, diilustrasikan pada gambar 23-10 terbukti kurang traumatik dan mempunyai tingkat kesuksesan 98%. Pada teknik ini, sungkup dilubrikasi dengan lubrikan non silikon yang tidak mengandung anestesi lokal (diumpamakan sebagai saliva), kemudian dikempiskan sampai membentuk baji datar dan tipis (seperti makanan yang telah dikunyah). Tangan operator yang tidak dominan ditempatkan dibawah oksiput untuk mememfleksikan leher ke dada dan mengektensikan kepala terhadap sendi atlanto-occipital (membuat ruang di belakang laring: tindakan ini bertujuan untuk membuka mulut). Jari telunjuk tangan yang dominan ditempatkan di celah antara sungkup dan barrel. Hard palatum diperlihatkan dan permukaan superior sungkup ditempatkan di daerah tersebut. Dengan menggunakan jari telunjuk diberikan gaya keatas kearah kepala pasien. Hal ini akan mnyebabkan sungkup menempel pada palatum dan mengikuti bentuk palatum selama menyusuri faring dan hipofaring. Jari telunjuk tetap memberi tekanan di celah tersebut sampai dirasakan adanya tahanan dari spingter esofagus superior. Kesalahan yang biasa dilakukan adalah memberikan tekanan kearah vektor posterior. Hal ini cederung menyebabkan ujung LMA melekat pada dinding faring posterior sehingga terlipat yang berakibat kesalahan letak dan trauma.

Pada saat insersi selesai, untuk mengeluarkan tangan yang digunakan untuk insersi dilakukan dengan menstabilkan barrel LMA mengunakan tangan yang tidak dominan. Sebelum dihubungkan dengan sirkuit anestesi, LMA

dikembangkan dengan sejumlah gas untuk mementuk tutup yang efektif. Meskipun sulit menentukan jumlah gas yang diperlukan, operator harus

memeriksa balon pilot ketika dikembangkan pada tekanan maksimal yang dianjurkan yaitu 60 cm H2O. Sejalan dengan itu, harus ada yang memperhatikan kenaikan karitilago krikoid dan tiroid serta pengangkatan barrel keluar sekitar 1 cm saat sungkup mengangkat spingter atas esofagus. Sungkup difiksasikan pada posisinya dengan membawa barrel ke dagu dan diplester tepat di garis tengah sambil memberikan sedikit tekanan terhadap palatum. Jika posisi midline tidak memungkinkan karena proses operasinya atau posisi pasien, penggunaan LMA yang fleksibel perlu dipertimbangkan. Penggunaan bite block direkomendasikan untuk menghindari barrel LMA tergigit atau oklusi. LMA dan refluks gastroesofagus Meskipun ujung sungkup LMA berada di pintu masuk esofagus, namun tidak menutupnya secara sempurna. Persepsi klinik yang dominan adalah LMA tidak melindungi trakea dari regurgitasi isi gaster. Sejak Desember 1999, hanya 20 kasus curiga aspirasi pulmonal yang telah dilaporkan (dengan perkiraan penggunaan LMA sekitar 100.000 di seluruh dunia). Hanya 12 yang dibuktikan sebagai aspirasi dan tidak ada yang menyebabkan kematian, meskipun 5 pasien membutuhkan ventilasi tekanan positif. Terdapat beberapa faktor predisposisi diantaranya obesitas, demensia, operasi emergensi,operasi abdomen atas, posisi tredelenburg, insuflasi intraperitoneal dan jalan nafas yang sulit. Jika digunakan pada pasien dengan resiko rendah untuk regurgitasi, tingkat aspirasi pada pemasangan LMA sama saja dengan semua anestesi umum non-LMA (~2 dari 10.000 kasus), meskipun insidensi refluks gastroesofagus dapat meningkat jika dibandingkan dengan penggunaan face mask. Beberapa bukti menunjukkan kemungkinan terjadi refluks gastroesofagus selama penggunaan LMA dengan pasien pada posisi Tredelenburg atau litotomi. Jika diketahu terdapat isi lambung pada tabung LMA, tindakan yang sama pada penggunaan ETT harus dilaksanakan : Posisi Tredelenberg, oksigen 100%,

biarkan LMA pada tempatnya dan gunakan suction yang fleksibel ke dalam tabung, perdalam anestesi jika dibutuhkan. Ketika dilakukan penelitian pada pasien yang diperkirakan lambungnya penuh, kejadian aspirasi akibat penggunaan LMA pada operasi emergensi atau elektif tercatat sangat rendah. Laporan tersebut termasuk pasien dengan obesitas, sering mengalami refluks gastroesofagus dan operasi sesar atau pengamanan jalan nafas saat melahirkan dan pasien yang datang ke emergensi. Selama resusitasi kardiopulmonal, insidensi regurgitasi gastroesofageal 4 kali lebih besar dengan bagvalve mask dibandingkan LMA. Penggunaan LMA yang tidak biasa Sejak pertama kali diperkenalkan, banyak data klinis menunjukkan LMA dapat digunakan secara aman di ruang operasi dalam situasi klinis yang bervariasi. Sejumlah situasi klinis yang biasanya ditangani dengan intubasi trakea dan ventilasi mekanik dilakukan menggunakan LMA. LMA dan Ventilasi Tekanan Positif Meskipun pada awalnya diperkenalkan bagi pasien dengan pernafasan spontan, LMA telah terbukti bermanfaat untuk kasus dengan ventilasi tekanan positif. Berlawanan dengan pendapat awal, ventilasi tekanan positif dapat digunakan dengan aman bersama LMA. Tidak ada perbedaan dalam pengembangan gaster dengan tekanan positif (<17 cm H2O) jika dibandingkan antara LMA dan ETT. Ketika menggunakan LMA, kita harus membatasi volume tidal sampai 8 ml.kg-1 dan tekanan jalan nafas sampai 20 cm H2O karena ini adalah tekanan penutup alat tersebut dalam keadaan normal. Operator juga harus mendengarkan di daerah tenggorokan untuk mendeteksi kebocoran, atau di perut untuk mendeteksi insuflasi gaster. LMA dapat digunakan dalam posisi supine, prone, lateral, oblik, Tredelenberg dan litotomi. Durasi penggunaan LMA Jangka waktu penggunaan LMA juga menjadi hal yang kontroversial. Meskipun pembuatnya menyarankan penggunaan maksimal 2-3 jam, laporan penggunaan lebih dari 24 jam dapat ditemukan. Fleksibel LMA

Kehadiran fleksibel LMA telah meluaskan penggunaan LMA untuk berbagai kasus dimana jalan nafas harus berbagi dengan tim operasi (misalnya operasi THT). Fleksibel LMA berbeda dari pendahulunya dalam penampilan dinding yang tipis, diameter yang kecil, tabung yang berkawat, sehingga dapat diposisi diluar midline tanpa berakibat pada posisi hipofaring sungkup. Alat ini didesain untuk digunakan pada sumbatan tonsilar saat dilakukan operasi mulut dan faring. Fleksibel LMA juga terbukti bermanfaat saat tutup yang tebal diletakkan di atas kepala dan jalan nafas, ketika ada gerakan posisi kepala selama operasi atau ketika tabung LMA tidak dapat diamankan dimidline. Pengunaan sungkup ini pada operasi di atas hipofaring terbukti memiliki beberapa kelebihan dibanding intubasi trakea. Jika ditempatkan dengan benar, sungkup LMA menghalangi jalan nafas dari darah, sekresi dan debris diatasnya, jika dibandingkan dengan intubasi trakea yang tidak melindungi trakea dari cairan yang masuk ke dalam faring. LMA dan Bronkospasme Sebagai jalan nafas supraglotik, LMA sangat cocok untuk pasien dengan riwayat asma. Menggunakan LMA, operator dapat mengontrol jalan nafas, tanpa harus memasukkan benda asing ke dalam trakea. Karena itu hal ini merupakan alat yang ideal bagi penderita asma yang tidak beresiko refluks maupun aspirasi. Karena anastesi inhalasi halogenasi merupakan bronkodilator yang potensial, maka saat dihentikan pasien yang mempunyai risiko mengalami bronkospasme biasanya menjadi wheezing. Pada pasien yang dipasang LMA, tidak ada benda asing dalam bronkus yang sensitif, dan pasien dapat sadar sepenuhnya saat pelepasan alat ini. Pada keadaan bronkospasme yang tidak terkontrol selama operasi intubasi dapat dilakukan melalui LMA atau setelah LMA dilepas. Pelepasan LMA Waktu untuk melepaskan LMA saat akhir operasi juga penting. LMA harus dilepas jika pasien teranastesi dalam atau setelah refleks protektive kembali dan pasien dapat membuka mulut dengan perintah. Pengangkatan selama tahap eksitasi dapat disertai dengan batuk dan atau laringospasme. Banyak klinisi mengangkat LMA dalam keadaan mengembang karena hal itu sekaligus berfungsi

sebagai sendok untuk sekresi di atas sungkup, untuk dibawa keluar dari jalan nafas. Hal ini sangat bermanfaat pada operasi THT. Kontraiindikasi Penggunaan LMA Kontraindikasi primer penggunaan elektif LMA adalah resiko aspirasi isi lambung (misalnya : perut penuh, hiatus hernia dengan refluks gastroesofagus yang signifikan, obesitas, obstruksi intestinal, pengosongan lambung tertunda, riwayat yang buruk). Kontraindikasi lain termasuk compliance paru yang buruk atau resistensi jalan nafas yang tinggi, obstruksi glottis atau supraglottis, dan terbatasnya pembukaan mulut (<1,5mm). Komplikasi Penggunaan LMA Selain refluks gastroesofageal refluks dan aspirasi, komplikasi yang dilaporkan ermasuk laringospasme, batuk, gagging, muntah, bronkospasme, dan kejadian lain yang karakteristik untuk manipulasi jalan nafas. Insidensi untuk nyeri tenggorokan sekitar 10%, dibandingkan intubasi trakea yang 30%, tetapi dilaporkan antara 0-70%. Juga dilaporkan adanya suara serak (4-47%) dan disfagia (4-24%). LMA dapat menyebabkan perubahan sementara fungsi pita suara. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan overinflasi selama prosedur yang diperpanjang. Terdapat beberapa laporan cedera saraf berhubungan dengan penggunaan LMA. Pada April 1999, 11 kasus kelumpuhan saraf telah dilaporkan: N. Rekuren (7), hipoglosal (2) dan lingual (2). Seluruh kasus kecuali satu sembuh spontan. Pada semua kasus tersebut digunakan LMA ukuran 3 dan 4 dan NO adalah salah satu zat inhalasi (yang dapat meningkatkan tekanan cuff 9-38%). Tekanan cuff tidak dimonitor pada semua kasus. Diperkirakan bahwa kerusakan N. Lingualis terjadi ketika serabut saraf terperangkap diantara mandibula dan tabung LMA yang terletak lateral dari lidah. N. Hipoglosus berjalan rostral dan lateral dari dari os.hyoid, dan mungkin tertekan ke arah tulang. N. Rekuren kemungkinan tertekan antara cuff LMA dan kartilago krikoid atau tiroid. Tekanan cuff yang tidak termonitor akibat peningkatan tekanan oleh difusi N2O, anestesia ringan dengan konstriksi otot-otot faring, edema jaringan dan pembengkakan vena karena posisi kepala di bawah dan gel lubrikan yang mengandung lidokain seringkali

disalahkan untuk cedera saraf. Untuk mencegah cedera tersebut cuff LMA

seharusnya dikembangkan tidak lebih dari 60 cm H2O dan harus dimonitor jika N2O digunakan. Penggunaan LMA yang lebih besar dengan tekanan yang lebih kecil juga telah dianjurkan. Satu kematian dihubungkan dengan penggunaan LMA. Seorang wanita tua mengalami robek di esofagus setelah penggunaan LMA intubasi (LMA-Fastrach), maninggal 9 minggu kemudian karena shock sepsis setelah serangkaian komplikasi. Yang menarik, komplikasi sebenarnya adalah robekan kecil pada esofagus akibat intubasi esofagus yang kurang hati-hati. Karena itu komplikasi ini lebih merupakan kesalahan pemasangan bukan karena sifat LMA-Fastrach sendiri. Tidak ada kematian lain akibat komplikasi pemasangan LMA dilaporkan dalam literatur. Diperkirakan, 600 kematian terjadi setiap tahun di negara berkembang karena komplikasi dari intubasi trakea yang sulit. LMA-Proseal Meskipun LMA original dan fleksibel LMA telah sukses digunakan untuk ventilasi tekanan positif, keduanya tidak sesuai untuk hal ini karena dua alasan : pertama, jika kedudukan tidak stabil di hipofaring, dapat terjadi inflasi gaster, kedua, tekanan penutup terbatas sekitar 20 cm H2O. Pada tahun 1994 sebuah prototipe LMA yang termasuk gastric drain didesain. Diyakini desain semacam ini akan menurunkan risiko pengembangan gaster dan risiko aspirasi isi refluks gaster. Selanjutnya diketahui bahwa desain tersebut yang juga terdiri dari cuff kedua, dapat menerima ventilasi tekanan positif sampai 40 cm H2O.

Prototipesungkup jenis ini, dinamakan LMA-Proseal telah digunakan pada pasien dan saat ini sedang menjalani penelitian multisenter (komunikasi personal dengan Archie Brain). Keuntungan lain dari desain ini adalah gastric drain dapat menjadi alat bantu dalam menentukan posisi masker yang tepat, karena malposisi (misalnya nasofaring, intratrakeal) sering disertai dengan kebocoran udara dari lumen. Hal ini dapat terlihat dengan mengisi beberapa cm bagian proksimal lumen dengan lubrikan yang larut dalam air dan memeriksa adanya gelembung atau pergerakan meniskus. Desain LMA-Proseal juga mendayagunakan fleksibel LMA, membuatnya lebih aman dari displacement dengan pergerakan kepala. Kedua, gastric drain

selalu terbuat dari silikon yang lembut, menempel di lateral tuba jalan nafas. Gastric tube yang kecil dapat dimasukkan ke dalam lambung lewat lumen ini. Sebuah block bite silicon berada diantara kedua tuba. Karena tambahan

komponen setinggi level gigi geligi, maka LMA-Proseal kemungkinan akan lebih sulit dimasukkan ke dalam jalan nafas. Untuk alasan ini, disertakan alat insersi dari stainless steel. Setelah pemasangan, alat insersi dilepas. Diharapkan desain baru ini akan menambah kemampuan dan kenyamanan operator dalam menggunakan LMA dengan aman pada ventilasi tekanan positif untuk pasien berisiko aspirasi isi lambung. LMA dan jalan nafas yang sulit Selain fungsinya sebagai alat anestesi jalan nafas yang rutin, LMA mempunyai sejarah sebagai tube yang berjasa dalam perawatan pasien dengan jalan nafas yang sulit. The Cuffed Oropharyngeal Airway Alat jalan nafas supraglotis lain yang tersedia saat ini adalah The Cuffed Oropharyngeal Airway atau COPA (Mallinckrodt Medical, Athlone Irlandia). Alat ini menyerupai Guedel dengan cuff yang dapat dikembangkan pada setengah bagian distalnya dan sebuah adapter sirkuit 15 mm pada ujung proksimal. Cuff yang dikembangkan akan mengisi faring dan menggerakkan epiglotis serta basis lidah ke arah anterior sehingga didapatkan jalan nafas tanpa halangan. Sisi pinggir dari adapter sirkuit mempunya dua ujung untuk dihubungkan dengan tali yang menstabilkan kepala. COPA didesain untuk maintenan jalan nafas selama anestesi dengan pernafasan spontan dan dalam banyak hal sebanding dengan LMA. Alat ini juga digunakan untuk pasien yang sulit diintubasi.

Ini kira-kira ukuran 21-23 cm pada skala. Pilihan ukuran tracheal tube untuk dewasa apat digeneralisir, untuk wanita ukuran 7-8 cm id

Awake airway management (Manajemen airway pada pasien yang sadar)


Awake airway management tetap merupakan ASAs Difficult Airway Algorithm. Jika, setelah pemeriksaan airway dan mendapatkan riwayat anestesi atau keadaan emergensi lain, kemampuan mengontrol ventilasi dan oksigenasi, serta tanpa resiko aspirasi isi lambung diragukan, maka diindikasikan awake manajemen. Manajemen airway tidak sinonim dengan intubasi : mask anestesi, LMA, COPA, tracheal esophageal Combitube, dan peralatan lain merupakan alternatif selain intubasi, tergantung pada situasi klinis. Awake intubation memberikan banyak keuntungan pada keadaan teranestesi, termasuk pemeliharaan ventilasi spontan dalam keadaan dimana airway tidak dapat diamankan dengan baik, peningkatan ukuran dan patensi dari faring, letak basis lidah yang terlalu ke depan, laring lebih ke posterior, dan patensi dari retropharyngeal space.132,133 Efek sedatif dan anestesi umum pada patensi airway bisa merupakan sekunder dari efek langsung motoneuron dan pada reticular activating system. Pasien dengan sleep apnea dapat lebih mudah mengalami obstruksi dengan sedasi minimal. Awake state memberikan pemeliharaan terhadap tonus spingter esofagus atas dan bawah, yang akan mengurangi risiko refluks. Pada saat terjadi refluks, pasien dapat menutup glotis dan atau mengeluarkan bahan aspirasi dengan batuk sebgai hasil bahwa refleks ini tidak tertekan oleh anestesi lokal.135 Terakhir, pasien dengan risiko terjadi sekuele defisit neurologis (pasien dengan patologi vertebra servikan yang tidak stabil) bisa menjalani monitoring sensori-motor setelah intubasi trakeal. Dalam situasi emergensi, harus hati-hati(stimulkasi kardiovaskuler pada pasien dengan iskemia kardiak atau risiko iskhemia, bronkhospasme, peningkatan yekanan intraokuler, openingkatan tekan

intrakranial)136 tetapi tidak ada kontraindikasi absolut pada awake intubation. Kontraindikasi pada awake intubation elektif termasuk pasien menolak atau tidak

kooperatif (naak-anak, retardasi mental berat, demensia, intoksikasi) atau alergi pada anestesi lokal. Jika klinisi telah memutuskan untuk melakukan tindakan awake airway management, pasien harus disiapkan secara fisik dan psikologis. Hampir semua pasien dewasa akan menerima penjelasan tentang perlunya pemeriksaan airway dalam keadaan sadar dan akan lebih kooperatif setelah mereka menyadari akan pentingnya dan rasionalitas untuk setioap tindakan yang tidak nyaman itu. Prosedur secara keseluruhan tidak perlu dijelaskan dalam sekali waktu. Klinisi dapat menjelaskan bahwa pasien akan diamati jalan nafasnya dalam rangka untuk merencanakan tindakan. Dfalam hal ini dapat termasuk tindakan endoskopi. Setelah airway disiapkan dan diamati, pasien akan menyadari bahwa mereka harus mengalami ketidaknyamanan lebih lanjut selama intubasi, yang dapat

didiskusikan lebih lanjut. Premedikasi dapat digunakan untuk mengurangi kecemasan. Jika sedatif digunakan, klinisi harus berpikir bahwa obstruksi atau apneu pada pasien dengan airway bermasalah dapat mematikan dan pasien dengan sedasi tidak mampu untuk menjaga airway-nya dari regurgitasi isi lambung, atau bersikap kooperatif selama tindakan. Dosis kecil benzodiazepin (diazepam, midazolam, lorazepam) umum digunakan untuk mengurangi kecemasan tanpa depresi pernafasan yang signifikan. Obat-obatan ini dapat digunakan secara oral atau intravena dan dapat direverse dengan antagonisnya (flumazenil). Opioid receptor antagonist (fentanil, remifentanil, alfentanil) juga dapat digunakan dengan dosis rendah, dosis titrasi untuk efek sedasi dan antitusifnya, walaupun perlu hati-hati dalam

penggunaannya. Antagonis spesifik (nalokson) harus siap tersedia. Ketamin dan droperidol juga telah populer digunakan oleh para klinisi. Pemberian antisialagogues penting untuk keberhasilan awake intubation. Seperti yang akan didiskusikan di bawah ini, pembersihan sekret airway penting untuk penggunaan instrumen visual indirek (fiberoptic bronchoscope, rigid fiberoptic laryngoscope) karena sedikit saja cairan akan menghalangi lensa objektifnya. Biasanya digunakan atropin (0,5-1 mg im atau iv) dan glikopirolat (0,2-0,4 mg im atau iv) memiliki efek signifikan : dengan mengurangi produksi saliva, meningkatkan efektivitas anestesi lokal yang digunakan dengan cara

menghilangkan barier kontak dengan mukosa dan mengurangi dilusi obat anestesinya. Vasokonstriksi nasal diperlukan jika dilakukan instrumentasi melalui nasal. Jika pasien memiliki risikao untuk terjadi regurgitasi dan aspirasi, maka diperlukan tindakan profilaksis. Sering kali, penting juga untuk memberikan tambahan oksigen pada pasien melalui nasal kanul (yang dapat ditempatkan pada nasal atau mulut). Anestesi lokal adalah landasan untuk teknik awake airway control. Airway, mulai dari basis lidah sampai bronkus memiliki jaringan yang sensitif. Anestesi lokal dan anestesi blok telah dikembangkan untuk menumpulkan refleks protektif jalan nafas dan juga untuk menghasilkan analgesia. Seperti yang telah diketahui oleh para ahli anestesi, anestesi lokal adalah efektif, namun juga berbahaya. Para klinisi harus mengerti tentang mekanisme kerja, metabolisme, toksisitas, dan dosis kumulatif yang aman dari obat yang dipilih. Karena obat yang digunakan akan banyak diaplikasikan dalam tracheal-bronchial tree dan akan masuk ke alveoli, maka akan terjadi absorpsi ke dalam intravaskuler yang cepat. Walaupun tersedia banyak obat anestesi lokal, namun akan dibahas yang paling sering digunakan. Di antara ahli otalaringologi, kokain terkenal sebagai agen topikal. Tidak hanya efektivitasnya yang tinggi sebagai anestesi lokal, tetapi selain sebagai anestesi lokal, kokain juga adalah vasokonstriktor yang poten. Biasanya tersedia dalam larutan 4 %. Dosis total yang diaplikasikan pada mukosa tidak boleh lebih dari 200 mg pada dewasa. Kokain tidak boleh digunakan pada pasien yang hipersensitif terhadap kokain, hipertensi, penyakit jantung iskemik, pre-eklamsi, atau yang menggunakan monoamin oksidase inhibitor.137 Karena kokain dimetabolisme oleh pseudokolinesterase, maka dikontraindikasikan untuk pasien yang menderita defisiensi enzim ini. Lidokain, anestesi lokal golongan amida, terdeia dalam banyak sediaan dan dosis (Tabel 23-13). Pada pemberian topikal, memiliki puncak onset dalam 15 menit. Kadar toksis dalam plasma bukan tidak mungkin terjadi, namun tidak umum terjadi pada pemberian untuk airway management.

Tabel 23.13. Bentuk sedian lidokain

Sedian Injeksi/larutan topikal Larutan lengket Salep Aerosol

Dosis 1 %, 2 %, 4 % 1 %, 2 % 1 %, 5 % 10 %

Tetrakain adalah anestesi lokal golongan amida dengan lama kerja yang lebih panjang daripada kokain dan lidokain. Tersedia dalam bentuk larutan 0,5 %, 1% dan 2 %. Diabsorpsi cepat dari saluran nafas dan pencernaan dan toksisitas setelah pemberian secara nebulisasi pernah dilaporkan dengan dosis serendah 40 mg, walaupun dosis aman pada dewasa adalah 100 mg. Benzokain terkenal di antara beberapa klinisi karena onsetnya yang sangat cepat (< 1 menit) dan durasinya yang singkat ( 10 menit). Tersedia dalam bentuk larutan 10 %, 15 % dan 20 %. Pernah dikombinasikan dengan tetrakain (Hurricaine, Beutlich Pharmaceuticals) untuk memperpanjang masa kerja. Pemberian 0,5detik aerosol Hurircaine mengantarkan 30 mg benzocain, dosis toksisnya 100 mg. Sedian lain yang umum adalah spray Cetacaine, merupakan kombinasi antara benzocaine dan Tetracaine, butylaminobenzoate, benzalkonium klorida, dan cetyyldimethylethyl ammonium bromide. Benzocaine mungkin menghasilkan methemoglobinemia , yang bisa diatasi dengan pemberian methylene blue. Ada tiga area anatomis dimana klinisi memberikan anestesi lokal : kavum nasi/nasofaring, faring/basis lidah, dan laring/trakea. Kavum nasi dipersarafi oleh nervus palatina mayor dan minor (inervasi dari konkha dan septum nasi) dan nervus ethmoidalis anterir (inervasi nares dan sepertiga anterior septum nasi). Kedua nervus palatina keluar dari ganglion sphenopalatina, berada di posterior dari konkha media. Dua teknik untuk blok saraf telah dijelaskan. Ganglion dapat dicapai melalui nasal appproach noninvasive : dengan aplikator dari kapas (cottotipped applicator) yang telah direndam pada obat anestesi lokal, aplikasikan

sepanjang batas atas dari konkha media sampai dinding nasofaring posterior. Dibiarkan selama 5-10 menit. Pada oral approach, jarum dimasukkan melalui foramen palatina mayor, yang dapat dipalpasi di sebelah posterior bagian lateral palatum durum, 1 cm medial dari gigi molar satu dan dua rahang atas. Larutan anetesi (1-2%) dinjeksikan dengan jarum spinal dengan arah superior/posteror dengan kedalaman 2-3 cm. Hati-hati jangan sampai masuk ke dlam arteri sphenopalatina. Nervus ethmoidalis anterior dapat diblok dengan cara aplikasi cotton-tipped yang direndam dalam anestesi lokal sepanjang permukaan dorsal dari hidung sampai tercapai bagian anterior lempeng kribriformis. Aplikator didiamkan di tempatnya selama 5-10 menit. Orofaring dipersarafi oleh cabang nervus vagus, fasialis dan

glossafaringeal. Nervus glossofaringeal (GPN) berjalan ke anterior sepanjang permukaan lateral faring, tiga cabangnya memberikan persarafan sensoris untuk 1/3 posterior lidah, valekula, permukaan posterior epiglotis (cabang lingual), dinding faring (cabang faring), dan tonsil (cabang tonsil). Banyak variasi teknik yang dapat digunakan untuk menganestesi bagian dari airway ini. Teknik yang paling sederhana menggunakan anestesi lokal larutan aerosol atau swish and swallow volunter. Sepanjang klinisi merencanakan untuk menganestesi struktur yang sesuai, telah memberikan cukup waktu untuk bekerja, dan tetap pemberian kontinyu sampai dosis total dari anestesi lokal diperlukan, sebagian besar pasien akan teranestesi secara adekuat dengan cara ini. Beberapa pasien mungkin memerlukan blok GPN, khususnya ketika teknik topikal tidak adekuat untuk menekan refleks muntah. Cabang dari saraf ini sebagian besar mudah untuk dicapai ketika menyilang lipatan palatoglosus. Lipatan ini terlihat sebagai tepian jaringan lunak dari aspek posterior palatum ke basis lidah, bilateral (Gambar 23-27).

Gambar 23-27

Gambar 23-27. Arkus palatoglosus (panah) adalah lipatan jaringan lunak yang merupakan kelanjutan dari tepi posterior dari palatum molle ke basis lidah..

Kapas (swab) yang telah direndam dalam anestesi lokal ditempatkan dalam parit sepanjang basis lidah dan dibiarkan selama 5-10 menit.

Teknik noninvasif menggunakan aplikator cotton-tipped yang telah direndam dalam larutan anestesi diposisikan pada bagian paling bawah dari lipatan, dibiarkan selama 5-10 menit. Ketika teknik noninvasif kurang adekuat, anestesi lokal dapat diinjeksikan. Berdiri di sisi kontralateral dari sisi yang akan diblok, operator menggeserkan lidah ke sisi yang berlawanan dan jarum spinal 25G diinsersikan ke dalam membran dekat dasar mulut. Dilakukan tes aspirasi dulu. Jika udara teraspirasi, jarum telah melewati membran. Jika darah teraspirasi, jarum diarahkan kembali lebih medial. Cabang lingual lebih terblok dengan cara ini, tetapi penjejakan retrograd dari ijeksi juga pernah dilakukan.135. Walaupun menyediakan blok yang terpercaya, teknik ini dilaporkan menimbulkan rasa nyeri dan mungkin menghasilkan hematom yang mengganggu.139 Approach posterior ke GPN pernah disebutkan dalam literatur otolaringologi (untuk tonsilektomi). Mungkin akan sulit untuk melihat tempat insersi dari jarum, yang terletak di belakang arkus palatofaringeal dimana nervus berada berdekatan dengan arteri karotis. Karena risiko masuk ke dalam arteri dan perdarahan, teknik ini tidak akan dibahas di sini; tetapi, pembaca disarankan membacanya di dalam referensi yang lebih sesuai.140 Cabang interna dari nervus laringeal msuperior(SLN) yang merupakan cabang dari nervus vagus, memberikan persarafan sensoris dari basis lidah, epiglotis, lipatan ariepiglotika, dan aritenoid. Cabang yang berasal dari SLN, berada lateral dari kornu tulang hioid. Kemudian menembus membran tirohiod dan berjalan di bawah mukosa resesus piriformis. Bagian sisa dari SLN, cabang eksterna, memberikan inervasi motorik untuk otot krikotirid. Beberapa blok terhadap nervus ini telah diuraikan. Dalam banyak contoh, aplikasi anestesi topikal dalam rongga mulut akan menyediakan analgesia yang adekuat. Blok eksternal dilakukan pada pasien dalam posisi terlentang dengan kepala ekstensi dan klinisi berdiri ipsilateral dengan nervus yang akan diblok. Di bawah sudut mandibula, klinisi mengidentifikasi kornu superior dari tulang hioid (gambar 2328). Menggunakan satu tangan, kornu ditekan secara langsung ke arah medial,

memindahkan kornu hioid ipsilateral menjauhi klinisi. Kehati-hatian diperlukan untuk menentukan lokasi arteri karotis dan kemudian menggesernya jika diperlukan. Jarum diinsersikan secara langsung di atas kornu hioid, dan kemudian menggerakkan kartilago ke arah anterior-kaudal sampai jarum dapat melewati ligamen sedalam 1-2 cm (gambar 23-29A). Sebelum menginjeksikan anestesi lokal, dilakukan tes aspirasi untuk memastikan sudah masuk ke dalam faring atau struktur vaskuler. Anestesi lokal dengan epinefrin (1,5-2 ml) diinjeksikan ke dalam ruangan antara membran tirohioid dan mukosa faring. SLN juga dapat diblok dengan cara teknik blok noninvasive. Pasien diminta untuk membuka mulut lebar, dan dan lidah dipegang menggunakan spatula lidah atau kawat. Forsep sudut kanan (Forsep Jackson-Krause) dengan kapas yang telah direndam dalam obat anestesi lokal ditempatkan di lateral lidah dan ke dalam sinus piriformis bilateral. Dibiarkan selama 5 menit. Gambar 23-28

Gambar 23-28. Ketika akan dilakukan blok SLN, kornu superior hioid kontralateral ditekan untuk membantu mengidentifikasi anatomisnya. Jarum diinsersikan setinggi membran tirohioid sediki di bawah kornu kartilago tiroid mayor. Persarafan sensoris dari pita suara dan trakea berasal dari nervus laringeus rekuren. Penyuntikan anestesi lokal transtrakeal mudah untuk dilakukan untuk menghasilkan analgesia yang adekuat dan tekniknya dibicarakan secara detil di bawah ini (Lihat intubasi retrograd) (gambar 23-29B). Disuntikan 4 ml Lidokain 2% atau 4%. Teknik yang efektif dan noninvasif untuk analgesia topikal dengan menggunakan bronkhoskopi fiberoptik. Kerugian teknik ini, cairan yang berada di dalam saluran ini akan mengkaburkan lensa. Hal ini dapat diatasi dengan menggunakan kateter epidural, diinsersikan melalui saluran, seperti diuraikan oleh Ovassapian.141 Bukan hanya mencegah pengkaburan pandangan, tetapi juga memungkinkan tujuan tempat spesifik dari gelombang anestesi.

KESIMPULAN Selain monitoring, management jalan napas rutin merupakan tugas utama terpenting bagi anestesiologist bahkan selama pemberian anestesi regional, pernapasan harus dimonitor dan disupport. Sayangnya, tugas rutin sering diabaikan. Namun konsekuensi hilangnya pernapasan sangat luas sehingga klinisi tidak dapat menopang dengan pendekatan. Meskipun pendekatan penyulit jalan napas ASA telah menyumbangkan kepada masyarakat medis sesuatu alat yang bernilai dalam pendekatan terhadap pasien dengan penyulit jalan napas, algoritme ini harus dipandang hanya sebagai titik awal. Penilaian, pengalaman, situasi klinis, dan sarana yang tersedia keseluruhan mempengaruhi ketepatan dalam pemilihan jalur, atau pengembangan dari algoritme tersebut. Klinisi tidak diharapkan ahli dalam segala peralatan dan teknik yang tersedia saat ini. Meskipun demikian, rentang yang luas dari pendekatan harus dikuasai, sehingga kegagalan yang sebelumnya dapat menjadi kesuksesan. Demikian pula halnya, komunitas pengembang medis dan klinisi pengamat menyediakan untuk konsep produk-produk manajemen jalan napas, telah mensuplai berbagai macam alat-alat. Banyak yang mempersiapkan konsep dan masing-masingnya telah memiliki pendukung dan penyulit. Tidak satupun alat yang dianggap lebih superior dibanding alat lain. Klinisi dan sumber dayanya (peralatan dan personil) serta penilaian yang menentukan keefektifan dari teknik manapun.

Anda mungkin juga menyukai