Anda di halaman 1dari 53

Hukum pidana dan Tipikor

1. Pengertian dan istilah -istilah hukum pidana di Indonesia 1.1. Pengertian dan istilah hukum pidana 1.2. Hk Pidana yang berlaku di Indonesia 1.3. Kitab Undang-Undang Hk Pidana

1.1. Pengertian dan istilah hukum pidana a. Obyek Studi :  hukum pidana hukum pidana materiel(ius poenale)_isi/substansinya, bersifat abstrak/diam.  hukum acara pidana hukum pidana for mel(ius poenaen di)_bersifat nyata/kongkrit, dalam suatu pros es b. Ber dasarkan Pengalaman :  kriminologi I. Pengetahuan ten tang perbuatan jahat dan kejahatan.  Kriminalistik Ajaran tentang pengusutan  psikiatri forensik dan psikologi forensik  sosiologi hukum pidana sebagai gejala masyarakat, ketaatan hukum di dalam masyarakat c. Prof Moelyatno merumuskan sebagai berikut : Hukum pidana adalah s ebagian daripada kes eluruhan hukum yang berlaku di suatu negar a, yang mengadakan dasar -dasar dan aturanaturan untuk :  menen tukan perbuatan-2 yang tidak boleh dilakukan/dilarang diser tai ancaman atau sanksi berupa pidana tetentu  menen tukan kapan dan dalam hal apa dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana diancamkan  menen tukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana tersebut dapat di laksanakan 1.2. Hk Pidana yang berlaku di Indonesia a. Zaman VOC  hukum statuta, ter muat dalama Statuten van Batavia  hukum Belanda Kuno  azas-azas hukum Ro mawi  tahun 1866 berlaku dua KUHP :  Het Wetboek van Strafrecht voor Europeanen, berlaku bagi golongan Eropa  Het Wetboek van Strafrecht voor Inlands en daarmede gelijk gestelde b. Zaman Hindia Belanda  tahun 1915 lahir Wetboek van Strafrecht voor Nederlansch Indie (WvSI) berlaku untuk seluruh golongan penduduk c. Zaman Jepang  WvSI tetap berlaku sebagaimana ter muat dal am pasal 3 Osamu serei (Undang-undang) asal saja tidak ber tentangan dengan aturan pemerintah militer d. Zaman Kemerdekaan  Pasal II aturan peralihan UUD 1945, mengatakan : s egala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku s elama

Hukum pidana dan Tipikor

belum diadakan yang baru menurut Undang -undang Dasar ini. Hal ini dikuatkan P eraturan Nomor 2 tanggal 10 Oktober 1945 dari Presiden. Dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 yang menetapkan bahwa Wetboek van S trafrecht voor Nederlansch Indie (WvSI) diubah menjadi Wetboek van Str afrecht yang disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan beberapa perubahan

1.3. Kita b Undang-Undang Hk Pidana a. Tahun 1971 disusun Rancangan Buku I KUHP b. Tahun 1976 disusun Rancangan Buku II KUHP c. Tahun 1979 dibentuk Tim Pengkajian Hukum Pidana I dengan Ketua Menteri Kehakiman ( dibentuk BP HN : Badan Pembinaan Hukum Nasional) d. Tahun 1980-1981 mulai disusun Rancangan Buku I KUHP dan secara kas ar selesai Tahun 1982 e. Materi Buku II 95% sama denga KUHP lama dengan catatan ti dak ter dapat perbedaan antara delik kejahatan dan delik pelanggar a n.

Hukum pidana dan Tipikor

2. Asas-asas berlakunya hukum pidana menurut waktu dan tempat 2.1. Menurut waktu : a. asas legalitas b. asas nonretroaktif c. penerapan asas legalitas 2.2. Menurut tempat : a. asas teritorial b. asas nasional aktif c. asas universal 2.1 MENURUT WAKTU 2.1.1 Asas Legalitas Asas legalitas ter cantum di dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP. Yang sesuai dengan terjemahan dari bahasa Belanda -nya, berbunyi Tiada suatu perbuatan ( feit) yang dapat dipidana selain ber dasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya . Feit juga bisa berar ti perbuatan karena meliputi baik perbuatan yang melanggar sesuatu yang dilarang oleh hukum pidana maupun mengabai kan sesuatu yang diharus kan. Menurut Hazewinkel -Suringa, jika suatu perbutan (feit) yang mencocoki rumusan delik yang dilakukan sebelum berlakunya ketentuan yang bersangkutan , maka bukan saja hal itu tidak dapat dituntut tetapi untuk orang yang ber sangkutan sama s ekali tidak dapat dipidana . Asas Legalitas yang ter cantum di dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP dirumus kan di dalam bahasa Latin: y Nullum delictum nulla poena sine praevia l ige poenali yang dapat diartikan tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya, y Nullum crimen sine lege stricta yang arti nya tid ak ada delik tanpa ketentuan yang tegas . Hazewinkel -Suringa memakai kata-kata dalam bahasa Belanda, yaitu : y geen delict, geen straf zonder een voorafgaande strafbepaling yang dapat diarti kan tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya, y geen delict, zonder een precieze wettelijke bepaling yang ar tinya tidak ada delik tanpa ketentuan yang tegas. Ada dua hal yang dapat ditarik sebagai kes impulan dari rumusan tersebut, yaitu sebagai berikut. a. Jika sesuatu per buatan yang dilarang atau pengabaian sesuatu yang diharuskan dan diancam dengan pidana, maka per buatan atau pengabaian tersebut ter cantum di dalam undang -undang pidana. b. Ketentuan tersebut tidak boleh berlaku surut, dengan satu kekecualian yang ter cantum didalam Pasal 1 ayat 2 KUHP. Moeljanto menulis bahwa asas legalitas itu mengandung tiga penger tian, yaitu sebagai berikut.

Hukum pidana dan Tipikor

a. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau kal itu terlebih dahulu belum dinyatkan dalam suatu atur an undang -undang. b. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi ( kias). c. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku sur ut. Meskipun istilah ini ber asal dari bahasa Latin, namun ketentuan ini tidak berasal dari Hukum Romawi. A sas legalitas dimanifestasikan per tama kali di dalam Konstitusi Amerika Serikat pada tahun 1783 dan kemudian di dalam Pasal 8 Declaration des droit de Ihomme et du cotiyen tahun1789. A khirnya muncul didalam pasal 4 C ode Penal dan WvS Belanda yang kemudian turun ke KUHP Indonesia, dan KU HP Belgia pada pasal 2. Menurut van der Donk yang dikutip oleh A. Z. A bidin, pencantuman asas legalitas di dalam KUHP, per tama kali di Austria pada tahun 1787. Jadi. mungkin dapat disimpul kan bahwa asas legalitas per tama kali ter cantum di dalam Konstitusi A merika Serikat tahun 1783 dan berikutnya, tetapi dalam pencantuman di dalam KUHP, per tama kali di Austria. Asas Legalitas kemudian muncul di dalam banyak KUHP modern, yaitu seperti : a. Pasal 1 ayat 1 KUHP Republik Korea, b. Pasal 2 KUHP Thailand, c. Pasal 1 KUH P Tur ki, d. Pasal 1 KUHP Jepang, dll. Disamping itu, ada pula KUHP yang tidak mencantumkan asas legalitas seperti KUHP yang bersumber pada Inggris, yaitu KUHP Malaysia, KUHP Brunei, KUHP Singapur a, KUHP Argentina. Menurut A. Z. A bidin, katiadaan asas legalitas di Inggris diimbangi dengan : a. hakim yang berintegritas, mampu, dan jujur; b. hakim, juri, penuntut hukum dan pengacar a yang menjunjung tinggi kehor matan dan semangat dan jiwa kerakyatan; c. kesadaran hukum rakyatnya; dan d. polisinya yang efisien. Yang intinya orang Inggris lebih mementingkan pelaksanaan hukum yang berintegritas dan ber moral tinggi daripada rumus -rumus diker tas yang muluk muluk.

2.1.2 Asas Nonretroaktif Prinsip atau asas nonretroaktif , yang dalam bahasa asalnya adalah sebuah maksim Latin yang berbu nyi "nullum delictum nulla poena sine praevia lege punali ", sesungguhnya bukanlah prinsip atau asas hukum yang ber diri sendiri. Ada sejumlah asas hukum yang mendahului asas nullum delictum tadi. Asas-asas hukum itu adalah asas nullum crimen sine poena ( tiada kejahatan tanpa hukuman), nullum crimen sine lege (tidak ada kejahatan kecuali ditentukan oleh hukum atau undang -undang), nulla poena sine lege (tiada hukuman kecuali ditentukan oleh hukum atau undang -undang).

Hukum pidana dan Tipikor

Dengan demikian gagasan yang mendahul ui asas nonretroaktif itu berupa sejumlah asas hukum yang pada akhirnya, sebagaimana dikatakan James Popple , yaitu bahwa tidak ada kejahatan atau hukuman di luar yang ditentukan oleh hukum. Tak ada kejahatan yang tak bisa dihukum karena ketiadaan aturan hu kum. Menurut s ejarahnya, tujuan diterapkannya asas nonretroakti f ialah untuk menghindari kewenang -wenangan negar a. Para penguasa bisa seenaknya menghukum s eseor ang yang melakukan suatu perbuatan dengan serta-mer ta menyatakan bahwa perbuatan itu adalah kej ahatan atau perbuatan pidana, padahal ketika perbuatan itu dilakukan, hukum atau undang-undang tidak menyatakan perbuatan itu s ebagai perbuatan pidana. Prinsip ini kemudian diterima secara luas di Eropa menjelang akhir abad ke-19, dimulai dari Prancis ket ika asas ini dimasukkan ke dalam ketentuan pasal 8 Deklarasi Prancis tentang Hak -hak Asasi Manusia tahun 1789 ( French Declaration of the Rights of Man of 1789 ), yang kemudian juga dimasukkan ke dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Prancis dan Konstitusi Prancis 1791. Sedangkan dalam Konstitusi Amerika Serikat ketentuan s erupa baru dimasukkan pada tahun 1789 dengan sebutan ex post facto laws, sebagaimana kemudian dimuat dalam pasal 1 ayat 9 (3). Sejalan dengan perkembangan gerakan hak asasi manusia, asas atau prinsip non-retroaktif atau ex post facto laws tadi kemudian juga dituangkan dalam berbagai instrumen hukum internasional. Isi penting pasal 11 (2) Uni versal Declaration of Human Rights bahwa dilarang adalah (1) menyatakan s eseor ang bersalah karena m elakukan suatu perbuatan pidana yang ketika perbuatan itu dilakukan bukan merupakan perbuatan yang dapat dipidana, (2) menjatuhkan hukuman atau pidana yang lebih berat daripada hukuman atau pidana yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan. Pengertian azas nonretroaktif ini juga telah ter cantum dalam KUH Pidana Pasal 1 dan A mandemen keempat UUD 1945 Pasal 28 I ( ayat 1 ). Adapun bunyinya adalah sebagai berikut : a. KUH Pidana Pasal 1 ( ayat 1 ) : Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam peraturan perundang -undangan yang telah ada, s ebelum per buatan dilakukan. b. KUH Pidana Pasal 1 ( ayat 2 ) : Jika sesudah perbuatan dilakukan ada per ubahan dalam perundang undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa . c. UUD 1945 Pasal 28I ( ayat 1 ) : Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diper budak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun . Dari ketentuan perundangan -undangan di atas dapat disimpulkan bahwa Asas nonretroaktif berarti bahwa setiap peraturan perundang undangan tidak berlaku surut dan menega s kan bahwa s eseorang tidak boleh

Hukum pidana dan Tipikor

dihukum karena peraturan yang belum ada sebelumnya. Fungsi azas nonretroaktif ini adalah menjamin keadilan bagi ses eorang agar tidak diberlakukan tidak adil dan s ewenang -wenang ser ta memberikan kepastian hukum. 2.1.3 Penerapan Asas Legalitas Sebagaimana yang dikemukakan oleh Moeljatno bahwa salah satu pengertian Asas Legalitas , yaitu tidak boleh diper gunakan analogi , maka perlu dikemukakan disini tentang hal itu. Hazewinkel-Suringa mengatakan bahwa penerapan analogi itu relatif, karena ditolak penciptaan hukum pidana baru oleh hakim pidana dengan sarana analogi, tetapi tidak keberatan jika hakim menciptakan hukum baru in bonam partem, tapi kadang-kadang pembuat undang -undang sendiri menciptakan analogi, misalnya bahwa dengan pemb or ongan diartikan semua per buatan apapun namanya yang jelas dipandang yang begitu pula ( Pasal 90 bis ayat 2 WvS N). Bentuk analogi yang dilarang s ebenarnya adalah analogi yang mengatakan bahwa penerapan analogi tidak dijinkan setidak -tidaknya dalam hal yang dengan analogi diciptakan delik -delik baru dan bertentangan dengan Pasal 1 ayat 1 KUHP. 2.2 MENURUT TEMPAT 2.2.1 Asas Teritorial Hukum pidana berlaku dinegaranya s endiri. Ini merupakan yang paling pokok dan juga merupakan asas yang paling tua. Bahkan dalam hukum adat pun dikenal asas demikian. Misalnya Van Vollenhoven membagi Indonesia atas 19 wilayah hukum adat, yang merupakan pembagian ber dasar kan asas teritorialitas. Asas wilayah ini menunjukkan, bahwa siapa pun yang melakukan delik di wilayah Negar a temp at berlakunya hukum pidana, tunduk pada hukum pidana itu. Dapat dikatakan semua Negar a menganut asas ini, ter masuk Indonesia. Yang menjadi patokan ialah tempat atau wilayah sedangkan orangnya tidak dipers oalkan. Asas teritorialitas atau wilayah ini ter cant um di dalam pasal 2 KUHP, yang berbunyi : Peraturan hukum pidana Indonesia berlaku terhadap tiap tiap orang di dalam wilayah Indonesia melakukan delik ( strafbaar feit ). Disini berar ti, bahwa orangnya yang melakukan delik itu tidak harus s ecara fisik betul-betul berada di Indonesia tetapi deliknya ( strafbaar feit ) terjadi di Indonesia. Asas ini sebenarnya berlandaskan kedaulatan Negara di wilayahnya sendiri. Hukum pidana berlaku bagi siapa pun juga yang melakukan delik di wilayah Negara ter sebut. A dalah kew ajiban suatu Negara untuk menegakkan hukum dan memelihara keter tiban hukum di wilayahnya sendiri terhadap siapa pun. Wilayah itu ter diri atas tanah daratan, laut sampai 12 mil dan ruang udara diatasnya. Khusus untuk Indonesia dianut wawasan nusantara yang diundangkan dalam Undang -undang Nomor 4 (PRP) tahun 1960, kemudian dikukuhkan dengan Ketetapan MPR tahun 1973 tentang GBHN. Wawasan

Hukum pidana dan Tipikor

nusantara menyatakan bahwa semua wilayah laut antar a pulau -pulau Nusantara merupakan kesatuan wilayah Indonesia. Ini berar ti , wilayah darat dan laut Indonesia ialah 12 mil diukur dari pulau -pulau Indonesia terluar. Sudah tentu meliputi pula wilayah udara di atasnya. Tentu ada kekecualian juga jika jarak pantai antara pulau terluar Indonesia dan Negara tetangga lebih sempit dari 24 mil, misalnya selat Malaka antar a Indonesia dan Malaysia , batasnya ber ada di tengah -tengah. Pasal 3 KUHP memperluas berlakunya asas teritorialitas atau wilayah dengan memandang kendaraan air ( vaartuig) Indonesia sebagai ruang tempat berlakunya hukum p idana (bukan memperluas wilayah). Utrecht menunjukkan bahwa Pompe, Jonkers, van Hattum, Hazenwikel Suringa mengatakan bahwa orang tidak boleh menarik kesimpulan seolah -olah kendaraan air (vaar tuig) itu merupakan wilayah Negara itu. Hukum internasional modern hanya mengakui kapal perang, kapal dagang di laut terbuka dan dalam hal dijalankan ius passagii innoxii (ketentuan yang mengatur suatu kapal yang lewat secara damai di wilayah laut suatu negar lain) sebagai wilayah nasional. Asli istilah dalam pasal 3 i alah vaartuig yang diterjemahkan menjadi kendar aan air. Menurut Pompe, vaartuig berar ti segala s esuatu yang dapat berlayar , yakni segala sesuatu yang dapat bergerak diatas air. Jadi Undang-undang tidak menjelaskan apakah vaartuig itu. Yang dijelaskan oleh KUHP, pasal 95 ialah istilah kapal ( s chip). Pasal itu berbunyi : yang disebut vaar tuig Indonesia ialah kendaraan air yang mempunyai surat laut atas pas kapal, atau surat izin sementara, menurut aturan umum mengenai surat laut dan pas kapal Indonesia. Sec ara luas dapat disimpulkan bahwa vaar tuig tdak hanya berupa kapal saja, juga merupakan per ahu, bahkan r akit. Semula Pasal 3 KUHP (juga WvS N) tidak menyebut kapal udara karena pada waktu WvS N 1881 disusun, belum terpikirkan untuk memasukkan ke dalam teks alat angkut yang canggih ters ebut. Tidaklah ada keberatan untuk memakai penerapan analogi dalam hal ini, sehingga pasal 3 meliputi pula pesawat udara ( vliegtuigen) dan kapal terbang (luchts chepen). Yang dilarang oleh pasal 1 ayat 1 KUHP menurut Pompe adal ah yang ber kaitan dengan strafbaarheid ( dapatnya dipidana) perbuatan dan pasal 3 mengenai ver volgbaarheid ( dapatnya dituntut) suatu delik. Dengan Undang undang Nomor 4 tahun 1976, pasal 3 KUHP Indenesia telah ditambah juga dengan kata pesawat udara. Kewarganegaraan kendaraan air dan kapal udara itu haruslah Indonesia. Para pengarang merinci mereka yang diber i imunitas mereka yang diberi imunitas, artinya hukum pidana ( Indonesia) tidak berlaku bagi mereka yang sedang berada di Indonesia : 1. Kepala -kepala Negara dan keluarganya. Mengenai pengikutnya, ter dapat bebearapa perbedaan pendapat. Kepala -kepala Negara dan keluarga keluarganya itu berada di Indonesia s ecar a resmi, bukan incognito ter masuk jika mereka siggah di pelabuhan dan laangan terbang (stopover). Jika keluarganya dating sendiri -sendiri, maka mereka tunduk pada hukum Negara temapt ia ber ada itu.

Hukum pidana dan Tipikor

2. Duta Negara asing dan keluarganya. Mengenai pejabat -pejabat per wakilan seper ti konsul, tidak berlaku umum imunitas itu, tergantung pada tr aktat antar Negara. Landgerecht Batavia tanggal 7 November 1922, T. 142, hlm. 789, memutuskan bahwa pegawai -pegawai konsuler tunduk pada yuridiksi negar a di tempat ia ber ada. Tidak dapatnya diganggu -gugat mereka itu dikatkan dengan pribadi per wakilan itu. Mereka dijamin dari pemaksaan badan dan penyanderaan, kehidupan keluarga dan pelaksanaan jabatan tidak terganggu. Jika delik dilakukan di hotel, maka or ang yang turut s erta tetap dituntut dan dipidana. Diper samakan dengan konsul ialah pegawai -pegawai organisasi internasional. 3. Anak buah kapal perang asing, walaupun delik dilakukan di luar kapal, juga ter masuk awak kapal terbang m iliter. 4. Pasukan Negara sahabat yang berada di wilayah Negara atas pers etujuan Negara yang bersangkutan. Jika mereka datang tanpa pers etujuan Negara yang ber sangkutan, maka mereka dipandang sebagai musuh. 2.2.2 Asas Nasional Aktif Asas Nasional Aktif bertumpu p ada kewarganegaraan pembuat delik. Hukum pidana indonesia mengikuti warganegaranya kemana pun ia ber ada. Inti asas ini ter cantum daidalam pasal 5 KUHP yang berbunyi : Ketentuan pidana dalam perundang -undangan Republik Indonesia berlaku bagi warganegar a In donesia yang melakukan di luar wilayah Indonesia : 1. Salah satu kejahatan yang ter sebut dalam Bab I dan II Buku II dan dalam pasal-pasal 160,161,240,279,450, dan 451 KUHP ; dan 2. suatu kejahatan yang dipandang sebagai kejahatan menurut undang undang negara, dimana perbuatan itu dilakukan. Penuntutan terhadap suatu perbuata yang dimaksudkan pada sub 2 bisa dijalankan apabila ter dakwa baru menjadi warganegara Indonesia setelah melakukan perbuatan itu. Pasal 5 ayat 1 ke -1 menentukan sejumlah pasal yang jika dilakukan oleh orang Indonesia di luar negeri maka berlakulah hukum pidana Indonesia. Tidak menjadi masalah apakah kejahatan -kejahatan ters ebut juga diancam pidana oleh negara tempat perbuatan itu dilakukan. Ketentuan di dalam pasal 5 ayat 1 ke -2 ber maksud ag ar or ang Indonesia yang melakukan kejahatan di luar negeri, jangan sampai lolos dari hukum pidana. Indonesia tidak akan menyer ahkan warganya untuk diadili di luar negeri. Ketentuan ini berlaku bagi semua kejahatan menurut KUHP Indonesia. Ketentuan ini tid ak berlaku bagi delik Pelanggar an. Asal Nasional aktif ini diperluas dengan pasal 7 yang disamping mengandung asas nasional aktif (Personalitas juga mengandung asas nasional pasif ( asas perlindungan). Pasal itu berbunyi : A turan hukum pidana dalam perun dang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang pegawai negeri yang di luar Indonesia melakukan salah satu perbuatan pidana tersebut Pengertian pegawai ( ambtenaar) dijelaskan secara otentik oleh pasal 92 KUHP. Dapat disimpulkan dari pasal itu bahwa pe gawai negeri termasuk juga orang-orang yang dipilih berdasar kan aturan umum, bukan karena

Hukum pidana dan Tipikor

pemilihan menjadi anggota badan pembentuk undang -undang, badan pemerintahan, atau dewan per wakilan rakyat yang dibentuk oleh pemerintah atau atas nama pemerintah. Khu sus untuk delik korupsi , pengertian pegawai negeri diperluas lagi oleh pasal 2 UUPTKP, sehingga meliputi juga pegawai swasta yang mendapat subsidi atau kelonggran -kelonggar an dari pemerintah. Ketentuan tentang pegawai negeri yang melakukan delik jabatan di luar negeri ini bersifat campur an, karena kalau dilihat dari sudut hukum pidana mengikuti warganegaranya keluar negeri, maka merupakan asas personalitas atau nasional aktif, sedangkan kalau dilihat jenis deliknya, yaitu delik jabatan maka ter masuk asas perlindungan (asas nasional pasif). 2.2.3 Asas Universalitas Asas ini melihat hukum pidana berlaku umum, melampaui batas ruang wilayah dan ruang orang (Indonesia). Yang dilindungi disini ialah kepentingan dunia. Jenis kejahatan yang diancam pidana menurut asas ini sangat berbahaya bukan saja dilihat dari kepentingan Indonesia tetapi juga kepentingan dunia. Secara universal kejahatan ini perlu dicegah dan diberantas . Demikianlah Bangsa jer man menamakan asas ini welter chts prinzip (asas hukum dunia). Di sini kekuas aan kehakiman menjadi mutlak karena yuridiksi pengadilan tidak tergantung lagi pada tempat terjadinya delik atau nasionalitas atau domisili ter dakwa. Asas ini diatur didalam pasal -pasal : a. Pasal 4 sub ke-2 KUHP, khususnya kalimat per tama yang berbunyi : melakukan salah satu kejahatan tentang mata uang, uang kertas yang dikeluar kan oleh negara atau bank. b. Pasal 4 sub ke-4, yang berbunyi melakukan salah satu kejahatan yang ditentukan dalam pasal 458,444 -446 tentang perampokan di laut dan yang ditentukan dalam pasal 447 tenatng penyerahan alat pelayar kepada perampok laut. Pasal 1 Undang-undang no 4 tahun 1976, selain mengubah pasal 3 KUHP juga mengubah dan menambah pasal 4 sub 4 sehingga berbunyi : salah satu kejahatan yang ter sebut dalam pasal 438,4 44 sampai dengan pasal 440 tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udaras ecara melawan hukum, pasal 479 huruf l,m,n, dan o tentang kejahatan yang mengancam ke s elamatan penerbangan sipil. Dalam Undang -undang Nomor 4 tahun 1976 ini, diciptakan juga delik baru tabtang penerbangan, yaitu bab XXIX A dari pasal 479 samapi 479b. Mengenai kejahatan mata uang dapat kita katakan sebagai hukum internasional yang didasar k an pada konvesi Jenewa 1929. Begitu pula tentang perompakan dilaut, didasarkan pada Decleration of Paris 1858. Mengenai pembajakan pesawat udara didasar kan pada konvensi Tokyo tahun 1963, Koinvensi The Hague Tahun 1970 dan konvensi Montreal 1971. Ketiga k onvensi tersebut telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-undang No. 2 tahun 1976. Untuk menerapkan ketiga konvensi ters ebut di Indonesia, maka dikeluar kan Undang-undang No. 4 tahun 1976. Perumusan delik dan ancaman

Hukum pidana dan Tipikor

pidana dalam undang -undang ini tidaklah per sis sama dengan yang ter cantum di dalam ketiga konvensi ter sebut. Ancaman pidana diserahkan kepada negara pes erta , karena hanya dikatakan di dalam konvensi Montreal pasal 3, bahwa akan diancam pidana yang berat ( severe penalties ) Indonesia telah ikut dalam konvensi Jenewa 1949 (Konvensi Palng Merah) ber dasar kan Undang -Undang No. 59 tahun 1958. Konvensi ini pun menentukan ancaman pidana, tetapi berbeda dengan dengan kejahatan penerbangan yang telah diinkorpor asikan ke dalam KUHP, kejahatan me nurut konvensi Jenewa tahun 1949 (Kejahatan menurut hukum perang) belum ada undang-undangnya atau belum dimasukkan dalam KUHP sampai kini.

Hukum pidana dan Tipikor

3. Penafsiran hukum pidana menurut Undang-Undang : 3.1. penafsiran gramatikal 3.2. penafsiran sistimatis 3.3. penafsiran logis 3.4. penafsiran historis 3.5. penafsiran analogis 3.6. penafsiran a contrario 3.7. penafsiran ekstensif 3.8. penafsiran terbatas

3. PENAFSIRAN HUKUM PIDANA (RECHTSINTERPRETATIE) Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang jelas mengenai teks undang -undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan s ehubungan dengan peristiwa ter tentu. Penafsiran dalam penger tian subyektif adalah upaya penafsiran s esuai dengan yang dikehendaki oleh pembuat U ndang-Undang. Adapun Penafsiran dengan penger tian obyektif adalah penafsiran yang lepas dari pendapat pembuat U ndang-Undang dan disesuaikan dengan adat bahasa sehari -hari. Dalam melakukan p enafsiran hukum terhadap suatu peraturan perundang -undangan yang dianggap tidak lengkap atau tidak jelas, seor ang ahli hukum tidak dapat bertindak sewenang -wenang. Menurut Prof. J.H.A. Logemann : Dalam melakukan penafsiran hukum, seorang ahli hukum diwaj ibkan untuk mencari maksud dan kehendak pembuat undang-undang s edemikian rupa sehingga menyimpang dari apa yang dikehendaki oleh pembuat undang -undang itu. Dalam usaha mencari dan menentukan kehendak pembuat undang -undang itulah maka dalam ilmu hukum dike mbangkan beberapa metoda atau car a menafsirkan per aturan perundang -undangan yang dapat digunakan s eorang ahli hukum yaitu s ebagai berikut : 3.1 PENAFSIRAN GRAMATIKAL (TAATKUNDIGE INTERPRETATIE) Yaitu penafsiran yang dilakukan terhadap peristilahan atau kata -kata, tata kalimat didalam suatu konteks bahasa yang digunakan pembuat undang undang dalam merumuskan peraturan perundang -undangan ter tentu. Bahasa merupakan sarana yang penting bagi hukum. P enafsiran UU itu pada dasarnya selalu merupakan penjelasan dari segi bahasa. Peraturan hukum hendaknya dirumuskan dengan singkat, jelas dan tidak mengandung pengertian beraneka ragam. A kan tetapi pembuat UU tidak selamanya dapat melakukannya. Dalam kondisi seper ti ini seorang hakim wajib mencari arti kata s esuai dengan kelaziman penggunaan s ehari -hari, menggunakan kamus, meminta keterangan dari ahli bahasa, atau dengan mengkaji sejarah penggunaan kata. 3.2 PENAFSIRAN SISTEMATIS (SYSTEMATISCHE INTERPRETATIE) Yaitu penafsiran terhadap satu atau lebih peraturan perundang -undangan, dengan car a menyelidiki suatu sistem tertentu yang ter dapat didalam suatu

Hukum pidana dan Tipikor

tata hukum, dalam r angka penemuan asas -asas hukum umum yang dapat diterapkan dalam suatu masalah hukum ter tentu. Terjadinya s ebuah UU selalu ber kaitan dan berhubungan dengan peraturan perundang -undangan yang lain. Setiap UU atau aturan adalah bagian dari suatu sistem hukum. Menafsirkan UU sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang -undangan dengan jalan menghub ungkannya dengan UU lain disebut interpretasi sistematis. Misalnya: Seorang hakim hendak memahami sifat pengakuan anak yang dilahirkan di luar perkawinan oleh orang tuanya, tidak cukup hanya mencari ketentuan-ketentuan dalam BW saja, tetapi harus melihat p ada UU no 1 1974 (pasal 42 -44) , juga dalam KHI (pasal 99 -103). 3.3 PENAFSIRAN LOGIS Yaitu penafsiran dengan mencari pengertian dari suatu istilah atau ketentuan ber dasar kan hal-hal yang masuk di akal 3.4 PENAFSIRAN HISTORIS (HISTORICHE INTERPRETATIE) Yaitu penafsiran yang ber dasar kan pada sejar ah terbentuknya undang -undang (pros es pembentukan undang -undang dari memori penjelasan, lapor an sidang di dpr, surat -menyurat antara menteri dan dpr), maupun s ejarah hukum (ter masuk penyelidikan terhadap maksud pembent uk undang-undang pada waktu membentuk undang-undang ters ebut) dengan menyelidiki asal usul suatu peraturan dikaitkan dengan suatu sistem hukum yang pernah berlaku atau dengan suatu sistem hukum asing ter tentu 3.5 PENAFSIRAN ANALOGIS Bila ter dapat sesuatu yang diatur dengan tegas oleh undang -undang kemudian ter dapat hal lain yang mempunyai sifat dan sandaran yang sama, dengan hal yang diatur s ecara tegas tadi, maka undang -undang yang mengatur s ecara tegas tadi boleh dipergunakan untuk hal -hal yang belum diatur tadi 3.6 PENAFSIRAN A CONTRARIO (KEBALIKAN ANALOGIS) bila terdapat hal -hal yang secar a tegas diatur dalam undang -undang, disamping itu terdapat hal -hal yang sandar an / sifatnya sama, tapi hal ini tidak diliputi oleh undang -undang yang mengatur secar a tegas tad i . (memper sempit lapangan undang -undang). 3.7 PENAFSIRAN EKSTENSIF Adalah penafsiran hukum secar a kontekstual sehingga lebih luas dari pada penafsiran gramatikal ( memperluas makna atau penger tian yang ter cakup dari suatu undang-undang.). Sebagai contoh, istila h jual dalam Pasal 1576 KUH Perdata yang mengatakan bahwa penjualan barang yang disewakan tidak memutuskan hubungan hukum sewa menyewa ditafsirkan oleh HogeRaad tidak hanya sebagai perbuatan hukum penjualan, melainkan mencakup s etia p perbuatan hukum ya ng ber tujuan untuk mengalihkan kepemilikan barang yang disewakan. Atau Metode Interpretasi secara ekstentif yaitu penafsiran dengan car a memperluas ar ti kata -kata yang terdapat dalam Undang -undang sehingga suatu peristiwa dapat dimasukkan kedalamnya. Conto h : Bahwa Juris prudensi

Hukum pidana dan Tipikor

di Nederland : Menyambung atau menyadap aliran listrik dapat dikenakan pasal 362 KUHP artinya Jurisprudensi memperluas penger tian unsur bar ang (benda), dalam pasal 362 KUHP. 3.8 PENAFSIRAN TERBATAS Yaitu penafsiran yang membatasi/m empers empit maksud suatu pasal dalam Undang-undang seperti : Putusan Hoge Road Belanda tentang kasus Per Kereta A pi Linden baum bahwa kerugian yang dimaksud pasal 1365 KUHPerdata juga ter masuk kerugian immateril yaitu pejalan kaki harus bersikap hati -hati sehingga pejalan kaki juga harus menanggung tuntutan ganti rugi s eparuhnya (orang yang dirugikan juga ada kesalahannya) ( Mr. C. Asser, 1986, hal 84-85).

Hukum pidana dan Tipikor

4. Perbuatan dan rumusan delik : 4.1. pengertian delik 4.2. cara merumuskan delik 4.3. jenis-jenis delik PERBUATAN DAN RUMUSAN DELIK 4.1 Pengertian Delik 4.1.1 Istilah Perbuatan Pidana (straf baarfeit) : y Perbuatan Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana diser tai ancaman (sanksi) yang berupa pidana ter tentu, bagi bar angsiapa melanggar larangan ters ebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal kan larangan tersebut ditujukan kepada perbuatan ( yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian. Istilah perbuatan merupakan penger tian abstrak yang menunjuk kepada dua keadaan konkrit, yaitu :  Adanya kejadian yang ter tentu  Adanya orang yang berbuat, ya ng menimbukan kejadian tersebut y Peristiwa Pidana adalah penger tian yang konkrit, yang hanya menunjuk kepada suatu kejadian ter tentu saja, misalnya matinya or ang. Hukum pidana tidak melarang orang mati tetapi melarang adanya or ang mati karena perbuatannya o rang lain, misalnya tindakan pembunuhan mutilasi oleh Ryan. y Tindak Pidana, istilah yang sering dipakai oleh Kementrian Kehakiman, terutama dalam perundang -undangan, seperti Undang -Undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, dst. Meskipun kata tindak lebih pendek daripada perbuatan namun t idak menunjuk kepada hal yang abstrak seper ti perbuatan, tapi hanya menyatakan keadaan yang konkrit, s ebagaimana halnya dengan peristiwa. y Strafbar feit (Is tilah dalam Hukum Pidana Belanda). Strafbar feit menurut Simons adalah kelakuan ( handeling ) yang diancam dengan pidana , yang besifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kes alahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu ber tanggungjawab. y Criminal Act ( Is tilah Inggris) adalah akibat dari kelakuan ( actus reus ), yang dilarang oleh hukum. y Delik (Lati n - delictum), padanan kata istilah strafbar feit 4.1.2 Pendapat Ahli hukum terhadap istilah dalam perbuatan pidana 1. Moelyatno  Moeljatno menolak istilah peristiwa pidana, s ebab merupakan pengertian yang konkrit dan menujuk pada satu kejadian tertentu saja, misalnya matinya orang

Hukum pidana dan Tipikor

Moeljatno kurang setuju dengan istilah tindak pidana, oleh karena tindak sebagai kata tidak begitu dikenal, maka dalam perundang undangan yang menggunakan istilah tindak ti ndak pidana baik dalam pasalnya maupun dalam penjelasan hampi r selalu dipakai kata perbuatan  Moeljatno lebih menyetujui istilah perbuatan pidana, perbuatan pidana dapat disamakan dengan criminal act, yang berbeda dengan strafbaar feit, yang meliputi pula per tanggungjawaban pidana. Katanya criminal act itu ber arti kelakuan dan akibat, yang disebut juga actus reus . 2. Van der Hoeven Van der Hoevenmengkritik istilah feit pada Negeri Belanda, karena katanya yang dapat dipidana ialah pembuat, bukan feit itu. 3. Van Hamel Van Hamel mengusulkan istilah strafwaardig feit (patut d ipidana). Van Hamel merumuskan bahwa strafbar feit merupakan kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, bersifat melawan hukum, patut dipidana ( strafwaar dig) dan di lakukan dengan kesalahan. Inti pokok dalam pengertian tersebut adalah :  bahwa feit dalam strafbar feit ber arti handeling, kelakuan atau tingkah laku (istilah ini berlainan dengan pengertian perbuatan dalam perbuatan pidana, karena dalam perbuatan selain kelakuan juga kejadian atau akibat yang ditumbulkan oleh kelakuan)  bahwa penger tian s trafbar feit dihubungkan dengan kes alahan orang yang melakukan tersebut. 4. Simons Simon mengatakan bahwa s trafbar feit itu bukan hanya kelakuan saja. Beliau berkata : s tarfbar feit itu sendiri terdiri atas handeling dan gevolg (kelakuan dan a kibat) . Pada s trafbar feit juga mencakup pengertian per buatan pidana dan kesalahan. Sedangkan pada perbuatan pidana hanya menunjuk kepada sifatnya per buatan saja tanpa melihat hubungan batinnya dengan per buatan tersebut, yaitu kesalahannya. 5. A.Z Abidin  A.Z. Abidin mengusulkan istilah perbuatan kriminal, karena perbuatan pidana yang dipakai oleh Meoljatno juga kurang tepat, karena tidak ada hubungan logis antara keduanya.  A.Z. Abidin menambahkan bahwa lebih baik dipakai istilah padana dari kata feit, ya ng umum dipakai oleh para sarjana, yaitu delik (dari bahasa Latin delictum ) 6. Roeslan Saleh Roeslan Saleh di samping memakai perbuatan pidana juga memakai istilah delik , begitu pula oleh Oemar Seno A dji, di samping memakai istilah tindak pidana juga memakai istilah delik Oleh karena itu banyak referensi hukum memakai istilah delik saja yang netral itu.

4.2 CARA MERUMUSAN DELIK 4.2.1 Pengertian Rumusan Delik

Hukum pidana dan Tipikor

Jonkers dan Utrecht memandang Rumusan Simons merupakan rumusan yang lengkap, yang meliputi : 1. diancam dengan pidana oleh hukum, 2. ber tentangan dengan hukum, 3. dilakukan oleh orang yang ber salah, 4. orang itu dipandang ber tanggungjawab atas perbuatannya. Rumusan Delik lainnya, antar a lain : 1. Van Hamel merumuskan delik ( strafbar feit) itu sebagai kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang -undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan 2. Rumusan Vos, mengatakan bahwa suatu kel akuan manusia yang oleh peraturan perundang-undangan diberi pidana; jadi suatu kelakuan manusia yang pada umumnya dilarang dan diancam dengan pidana . 3. Simons, Van Hamel, dan Vos semuanya merumuskan delik itu secara bulat, tidak memisahkan antar a perbuatan dan akibatnya di satu pihak dan per tanggungjawaban di lain pihak 4. A.Z. A bidin merumuskan delik sebagai aliran monistik tentang delik 5. Aliran Dualistis merumuskan delik dengan memisahkan antara perbuatan ( actus reus ) dengan aki batnya di satu pihak dan per tanggungjawaban ( mens rea) di lain pihak. Contoh : Undangundang di Inggris. A.Z. A bidin digolongkan s ebag ai yang memisahkan kedua unsur itu, karena mengatakan bahwa pandangan monistis yang dianut oleh mayoritas sarjana hukum dapat menghasilkan ketidakadilah dengan mengemukakan kasus hipotesis. Berdasar kan uraiannya itu, A.Z. Abidin membuat bagan tentang syara t pemidanan yang dibagi dua : a. actus reus (delictum), perbuatan kriminal sebagai syarat pemidanan obyektif; b. mens rea, per tanggungjawaban kriminal sebagai syarat pemidanan subyektif. 6. Hazewinkel - Suringa menulis bahwa sesuai berfungsinya sistem undang-undang pidana Belanda, lebih baik dikatakan suatu kelakuan manusia ( yang meliputi perbuatan dan pengabaian) yang memenuhi rumusan yang dilarang oleh undang -undang dan diancam pidana 7. Sudarto mengemukakan bahwa tidak perlu memper tentangkan kedua macam perumusan delik (strafbaarheid ) tersebut, karena keduanya sama saja. 4.2.2 Perbuatan & Rumusan Delik dalam Undang-undang Dalam hukum pidana Belanda selalu memakai istilah feit. Dr. Andi Hamzah, SH lebih menyetujui istilah perbuatan bukan dengan maksud s ebagai terjemahan istilah feit, tetapi s ejajar dengan itu, karena perbuatan berar ti meliputi pula baik perbuatan positif maupun pengabaian ( nalaten). Code Penal memakai istila h infraction yang terbagi atas crimes ( kejahatan), delits ( kejahatan ringan). Hukum pidana Inggris memakai istilah act ( tindakan) dan lawannya omission (pengabaian). Menurut Andi Hamzah, tidak tepat memakai istilah tindak pidana karena tindak hanya me liputi perbuatan positif dan tidak meliputi pengabaian ( nalaten).

Hukum pidana dan Tipikor

4.2.3 Cara merumuskan delik 1. Rumusan suatu delik berisi bagian inti ( bestanddellen). Artinya, bagian-bagian inti tersebut harus sesuai dengan perbuatan yang dilakukan, barulah ses eorang diancam de ngan pidana. Contoh: Delik pencurian terdiri dari bagian inti ( bestanddellen): 1) Mengambil 2) Barang yang seluruhnya/s ebagian kepunyaan orang lain 3) Dengan maksud memiliki 4) Melawan hukum Keempat bagian inti delik ini harus sesuai dengan perbuatan nyata yang dilakukan,sehingga harus ter muat di dalam surat dakwaan. Apabila satu/lebih bagian inti ini tidak dapat dibuktikan di Sidang Pengadilan, maka ter dakwa bebas. 2. Rumusan delik tidak menyebut unsur -unsur /kenyataan sebagai bagian inti (bestanddellen) delik. Dalam rumusan delik dicantumkan pengertian umum dari perbuatan yang dilarang. Pembuat Undang -Undang dalam hal ini tidak memapar kan unsur-unsur delik berupa bagian inti, karena khawatir dengan membuat rumusan demikian mungkin ternyata sangat sempit penger ti annya sehingga sangat sulit dijalankan sebagaimana mestinya. Untuk menyatakan kenyatan-kenyataan demikian diserahkan kepada hakim dan ilmu hukum pidana. Contoh: y Delik penganiayaan (pasal 351 KUHP) y Delik perdagangan wanita (pasal 297 KUHP) y Delik perkelahian tanding (pasal 184 KUHP) 3. Rumusan delik hanya mencantumkan unsur -unsur/kenyataan berupa bagian inti (bestanddellen) belaka tanpa kualifikasi. Contoh pasal 106, 108, 167, 168, 209, 279, 259, 479a, dan masih banyak lagi. 4. Dalam rumusan delik yang dicantumkan hanya bagian intinya saja tanpa kualifikasi tetapi sebenarnya mempunyai nama popular dalam masyarakat dan dalam buku pelajaran hokum pidana. Contoh pasal 415 KUHP dengan nama penggelapan oleh pegawai negeri/ pejabat: Pasal 279 dengan nama bigamy, pasal 296 dengan nama muncikari (koppelarij). 4.3 JENIS-JENIS DELIK 4.3.1 Pembagian Delik Delik dapat dibedakan atas pembagian ter tentu, seper ti berikut ini : 1. Delik kejahatan dan delik pelanggaran ( misdrijven en overtredingen). Pembagian delik atas kejahatan dan pelanggaran ini muncul di dalam Wvs ( KUHP) Belanda tahun 1886, yang kemudian turun ke Wvs (KUHP) Indonesia tahun 1918. Sebelu itu di negeri Belanda dikenal tiga macam delik, yaitu kejahatan, perbuatan buruk dan pelanggar an. 2. Delik materiel dan delik for mil (materiele en formeledelicten) . Pada delik materiel disebutkan adanya akibat ter tentu, dengan ada atau tanpa

Hukum pidana dan Tipikor

menyebut perbuatan ter tentu. Pada delik formel, disebut hanya satu perbuatan ter tentu sebagai dapat dipidana, misalnya Pasal 160, 209, 242, 263, 362 KUHP. 3. Delik komisi dan delik omisi (commissiedelicten en omissiedelicten) . Delik komisi ialah delik yang dilakukan dengan perbuatan. Ini dapat berupa delik yang dirumuskan s ecara materiel maupun for mel. Disini orang melakukan perbuatan aktif dengan mel anggar larangan. Delik omisi dilakukan dengan membiarkan atau mengabaikan. Dibedakan dengan delik omisi murni dan yang tidak murni. Delik omisi murni adalah membiarkan s esuatu yang diperintahkan, s edangkan delik omisi tidak murni terjadi jika oleh Undang -undang tidak dikehendaki suatu akibat (yang akibat itu dapat ditimbulkan dengan suatu pengabaian). 4. Delik yang ber diri sendiri dan delik yang diteruskan (Zelfs tandige en voorgezette) . Mengenai delik yang ber diri sendiri dan delik yang diteruskan dapat di baca pada uraian gabungan delik atau perbarengan (Samenloop). 5. Delik selesai dan delik berlanjut (aflopende en voortdurende delicten) . Delik yang selesai adalah delik yang terjadi dengan melakukan suatu atau beberapa perbuatan tertentu. Delik yang berlangsung t erus adalah delik yang terjadi karena meneruskan suatu keadaan yang dilarang. Misalnya Pasal 169, 250 KUHP. 6. Delik tunggal dan delik berangkai (enkelvoudige en samenges telde delicten) . Delik berangkai berarti suatu delik yang dilakukan dengan lebih dari satu perbuatan untuk terjadinya delik itu. Van Hamel menyebut ini sebagai delik kolektif. Contohnya yang paling utama ialah delik yang dilakukan sebagai kebiasaan. Seperti pasal 296 KUHP. 7. Delik ber sahaja dan delik ber kualifikasi (eenvoudige en gequalificeerde delicten) . Delik ber kualifikasi adalah bentuk khusus, mempunyai semua unsur bentuk dasar, tetapi satu atau lebih keadaan yang memperberat pidana (tidak menjadi soal apakah itu unsur atau tidak), misalnya pencurian dengan membongkar , penganiayaan yang meng akibatkan kematian, pembunuhan berencana (sebagai lawan pembunuhan). Sebaliknya ialah delik yang berprivilege, bentuk khusus yang mengakibatkan keadaan-keadaan pengurangan pidana (tidak menjadi soal apakah itu unsur atau tidak), dipidana lebih ringan dari bentuk dasar , misalnya pembunuhan anak lebih ringan dari pembunuhan biasa. 8. Delik sengaja dan delik kelalaian atau culpa (Doleus e en culpose delicten) . Delik yang dilakukan dengan sengaja dan delik kelalaian (Culpa) penting dalam hal percobaan, penyertaan, pidana kurungan, pidana perampasan. 9. Delik politik dan delik komun atau umum (politieke en commune delicten) . Delik politik dibagi atas : yang murni, yaitu tujuan politik yang hendak di capai tercantum dalam Bab 1 Buku II, s eperti Pasal 107 KUHP. Disini termasuk Landes Verrat dan Hochverr at. Delik politik campuran, setengah delik politik, s etengah delik komun (umum) s eperti pembunuhan s eorang tiran. Disini pembunuhan politik. 10. Delik proparia dan delik komun atau umum ( delicta proparia en commune delicten) . Dengan delicta proparia diartikan delik yang hanya

Hukum pidana dan Tipikor

dapat dilakukan oleh orang -orang yang mempunyai kualitas tetentu, seperti delik jabatan, delik militer dan s ebagai nya. 11. Delik-delik dapat dibagi juga atas kepentingan hukum yang dilindungi, seperti delik atas keamanan negara, del ik terhadap orang, delik kesusilaan, delik terhadap har ta benda dan lain -lain. 12. Untuk Indonesia, menurut Kitab Undang -undang Hukum A cara Pidana Pasal 284, dikenal pula delik umum dan delik khusus, s eperti delik ekonomi, korupsi, subversi dan lain-lain. 4.3.2 Delik Pengaduan (Klachtdelicten) Menurut jenisnya delik pengaduan dapat dibagi menjadi menjadi : 1. Delik pengaduan absolut (absolute klachtdelicten) . Yaitu beber apa jenis delik tertentu yang untuk menentukannya pada umumnya dibutuhkan pengaduan. Contoh : a. Delik pengaduan : y Pasal 310 : menista ( menghina) y Pasal 331 : memfitnah (laster) y Pasal 315 : penghinaan sederhana ( oenvoudigbeladiging) y Pasal 319 : (disini ditentukan syarat bahwa kejahatan penghinaan dapat dituntut setelah oleh pihak penderita dilakukan pengaduan, kecuali dalam hal Pasal 316) y Pasal 316 : (penghinaan terhadap seorang pejabat pemerintah yang sedang melakukan tugas secara syah, untuk menuntutnya ber dasar kan Pasal 319, tidak diperlukan pengaduan). b. Dalam hal ini merupakan penyimpangan. Contoh : Kejahatan kesusilaan (zeder misdrijven). y Pasal 284 : zina (overpel) y Pasal 287 : per kosaan (ver krachting) y Pasal 293 : perbuatan cabul ( omtucht). Contoh : Membuka rahasia (schending van geheimen) . Pasal 322 dan Pasal 323 (guna melakukan penuntutan terhadap kejahatan ini harus dilakukuan pengaduan, ditentukan dalam ayat dari kedua pasal itu). Contoh : Mengancam (afdreiging). Pasal 369 (dalam ayat (2) ditentukan bahwa diperlakukan pengaduan untuk mengadakan penuntutan. 2. Delik pengaduan relatif. Yaitu beberapa jenis delik ter tentu yang guna penuntutannya pada umumnya ti dak dibutuhkan pengaduan, tetapi dalam hal ini merupakan syarat, apabila antar a si pelaku dan si penderita terdapat hubungan keluarga. Contoh : Delik kekayaan ter tentu (bepalde vermegens delicten) a. Pencurian b. Penggelapan c. Penipuan d. Pemerasan Pasal 362 adalah pencurian biasa, tetapi Pasal 367 ayat (2), penuntutan terhadap si pelaku hanya dapat dilakukan dengan pengaduan.

Hukum pidana dan Tipikor

5. Pengertian kesalahan dalam arti luas dan mela wan hukum :  5.1. kesalahan dalam arti hukum pidana  5.2. kesalahan dalam arti luas  5.3. dapat dipertanggungjawabkan  5.4.perbuatan melawan hukum

KESALAHAN DALAM ARTI LUAS DAN MELAWAN HUKUM 5.1 KESALAHAN DALAM ARTI HUKUM PIDANA Kesalahan dalam hukum pidana terbagi dua yaitu kes engajaan (opzet/dolus) dan Kelalaian ( culpa) a. Sengaja Berdasar kan memori penjelasan ( Memorie Van Toelichting ) sengaja berarti kehendak yang didasari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu. Menurut Penjelasan ter sebut sengaja (opzet) sama dengan willens en wettens yakni dikehendaki dan diketahui. Jenis-jenis sengaja yang secar a tradisional telah ditulis di berbagai buku hukum pidana : - Sengaja dengan maksud Yakni merupakan bentuk sengaja yang paling sederhana, sengaja sebagai maksud apabila pembuat mengkehendaki akibat perbuatannya. Ia tidak pernah melakukan perbuatannya apabila pembuat mengetahui bahwa akibat perbuatannya tidak terjadi. Contoh : A pabila seseorang menembak or ang lain dan senjatanya diarahkan ke jantung atau kep ala orang itu, maka perbuatan itu disimpul kan s engaja (sebagai maksud) menghilangkan ny awa orang ters ebut - Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian Yang dikatakan dengan s engaja dengan kesadaran dan kepastian terjadi apabila pembuat yakin bahwa akibat yan g dimaksudnya tidak akan ter capai tanpa terjadinya akibat yang tidak dimaksud. Menurut teori kehendak, apabila pembuat juga mengkehendaki akibat atau hal hal yang terlebih dahulu telah dapat digambarkan sebagai suatu akibat yang tidak dapat diela kkan terjadinya maka or ang itu melakukan sengaja dengan kepastian terjadi. Sedangkan menurut teor i membayangkan, apabila bayangan tentang akibat atau hal -hal yang turut s erta mempengaruhi terjadinya akibat tidak langsung dikehendaki tetapi juga tidak dapat diela kkan, maka orang itu melakukan sengaj a dengan kepastian yang terjadi. Contoh : Kasus Thomas van Bremerhanen yang belayar ke Southampton dan meminta asuransi yang sangat tinggi disana. I a memasang dinamit, supaya kapalnya diledakan dan ditenggelamkan dilaut lepas. Motifnya ialah untuk menerima uang asuransi. Kesengajaannya ialah menenggelamkan kapal itu. Jika orang yang berlayar dengan kapal itu mati tenggelam maka itu adalah sengaja

Hukum pidana dan Tipikor

dengan kepastian. - Sengaja dengan kesadaran kemungkinan sekali terjadi Sengaja kemungkinan sekali terjadi dicontohkan dalam kasus kue tar t dari kota hoorn, dimana seorang membunuh kepala pasar dengan mengirim kue tar t yang dibuuhi racun tikus ke alamat ter sebut. I a mengetahui bahwa disamping musuhnya itu juga berdiam istrinya. I a mengetahui bahwa sang istri tersebut juga akan memakan kue ters ebut dan ia masih mempunyai waktu untuk mencegahnya namun tidak ia lakukan - Sengaja dengan kemungkinan terjadi atau sengaja bersyarat terjadi jika pembuat tetap melakukan yang dikehendakinya walaup un ada kemungkinan akibat lain yang sama sekali tidak diinginkan terjadi . Jika walaupun akibat ( yang sama sekali tidak diinginkan) itu diinginkan daripada menghentikan perbuatannya maka terjadi pula kesengajaan. b. Kelalaian (culpa) Undang-undang tidak memberi definisi yang jelas tentang kelalaian. Hanya Memori Penjelasan mengatakan, bahwa kelalaian ( culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan. Bagaimanapun juga culpa dipandang lebih ringan dibandingkan dengan sengaja. Van Hamel membagi culpa atas 2 jenis : a. Kurang melihat kedepan yang perlu b. Kurang kehati -hatian yang perlu Sedangkan Vos membedakan dua unsur dari culpa : a. Terdakwa dapat melihat kedepan apa yang akan terjadi b. Kurangnya kehati -hatian. 5.2 KESALAHAN DALAM ARTI LUAS DAN MELAWAN HUKUM Kesalahan dala m ar ti luas meliputi: 1) Sengaja 2) Kelalaian (culpa) 3) Dapat diper tanggungjawabkan Menurut Pompe, melawan hukum ( wederrechtelijkheid) terletak di luar pelanggaran hukum, sedangkan sengaja, kelalaian dan dapat diper tanggungjawabkan terletak di dalam pelanggaran hukum. Sengaja dan kelalaian ( onachtzaamheid ) itu harus dilakukan s ecara melawan hukum supaya memenuhi unsur kesalahan dalam arti luas Sejak tahun 1930 dikenal asas tiada pidana tanpa kesalahan ( Keine Strafe ohne Schuld ). Hanya or ang yang bersalah atau perbuatan yang diper tanggungjawabkan kepada pembuat yang dapat dipidana. Menurut Memori Penjelasan ( Memori van Toel ichting), 2 hal yang menyebabkan diterima atau tidaknya dapat dipertanggungjawabkan pembuat: a. Dalam hal perbuatan yang dipaksakan b. Nafsu, pathologis, gila, pikiran sesat ds b Menurut Hazewinkel-Suringa, jika tidak dapat diper tanggungjawabkan maka tidak ada kesalahan. 5.2.1 Sengaja

Hukum pidana dan Tipikor

Menurut Memori Penjelasan ( MvT) WvS Belanda tahun 1886, sengaja berar ti kehendak yang disadari yang ditujukan untuk m elakukan kejahatan ter tentu. Sengaja (opzet) sama dengan willens en wetens ( dikehendaki dan diketahui). Van Hattum membantah bahwa willen tidak sama dengan weten. Jadi dengan sengaja tidak sama dengan willen dan weten. Seseorang yang willen (hendak) berbuat s esuatu belum tentu menghendaki akibat yang terjadi karena perbuatan ter sebut. Menurut Jonkers, sudah memadai jika pembuat dengan s engaja melakukan perbuatan atau pengabaian ( nal aten) mengenai apa yang oleh undang-undang ditentukan sebagai pidana. Beberapa KUHP asing mencantumkan error in juris (khilaf tentang undang-undang), ar tinya keliru tentang dapatnya dipidana sautu perbuatan atau pengabaian oleh undang -undang, sebagai dasar peniadaan pidana atau pengurangan pidana. Teori-teori Tentang Sengaja 1. Teori Kehendak (wilstheorie) Dikemukakan oleh : Von Hippel Buku : Die Gr enze von Vors atz und Fahrlassigkeit , 1903 Sengaja berar ti bahwa akibat suatu perbuatan dikehendaki dan ini ternyata apabila akibat itu sungguh -sungguh dimaksud oleh perbuatan yan g dilakukan itu. Contoh : A menghendaki kematian B. Ia menembak kepala si B dari jarak dekat. Berar ti A sungguh -sungguh menghendaki kematian B. 2. Teori Membayangkan (Voorstellings-theorie) Dikemukakan oleh : Frank Dalam tulisan : Ueber den Aufbau des Schuldbegriffs, dalam Fetschrift Gieszen, 1907 Secar a psikologis, tidak mungkin suatu akibat dapat dikehendaki. Manusia tidak mungkin menghendaki suatu akibat. Ia hanya dapat membayangkan, mengingini, mengharapkan atau membayangkan adanya suatu akibat. Istilah lain yang dipakai undang -undang di samping istilah dengan sengaja: 1. mengetahui bahwa ( wetende dat ) 2. tahu tentang ( kennis dr agende van ) 3. dengan maksud (oogmer k) 4. niat (voornemen) 5. dengan rencana lebih dahulu ( met voorber achterade) Secar a tradisional, dikenal 3 jenis sengaja: a. Sengaja sebagai maksud  Apabila pembuat menghendaki akibat perbuatannya. Ia tidak pernah melakukan perbuatannya apabila pembuat mengetahui bahwa akibat perbuatannya tidak akan terjadi .  Sengaja bentuk ini paling mudah dibuktikan.  Contoh: s eseor ang menembak orang lain dan senjatanya ditujukan ke arah bagian tubuh yang berbahaya bagi nyawanya (jantung,

Hukum pidana dan Tipikor

kepala, leher, ds b), maka dapat disimpul kan bahwa pembuat sengaja ( sebagai maksud) menghilangkan nyawa or ang tersebut. b. Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian  Apabila pembuat yakin bahwa akibat yang dimaksudkannya tidak akan ter capai tanpa terjadinya akibat yang tidak dimaksud.  Contoh: Penenggelaman kapal dengan dinamit oleh Thomas van Bremerhaven dengan motif agar mener ima uang asu ransi. Penenggelaman itu merupakan sengaja sebagai maksud, tidak akan terjadi tanpa matinya par a penumpang yang tidak dimaksud itu. Kematian par a penumpang merupakan kepastian terjadi jika kapal ditenggelamkan dengan dinamit di laut lepas. c. Sengaja dengan kesadaran kemungkinan sekali terjadi / Sengaja dengan kemungkinan terjadi / Sengaja bersyarat  Terjadi jika pembuat tetap melakukan yang dikehendakinya walaupun ada kemungkinan akibat lain yang sama s ekali tidak diinginkannya terjadi.  Contoh: Seseor ang ya ng berniat untuk membunuh dengan cara mengirimi calon korban kue tar yang telah dibubuhi racun. Ia mengetahui bahwa di samping korban, ter dapat pula istrinya yang kemungkinan besar akan ikut memakan kue tersebut, padahal yang menjadi target hanyalah suami nya. Apabila dalam rumusan delik ter cantum dengan sengaja dan melawan hukum, ada 3 pendapat tentang arti penghubung dan : a. Artinya sejajar satu sama lain, terlepas dan tidak saling mempengaruhi. Terdakwa harus melakukan perbuatan dengan sengaja dan juga melawan hukum, masing-masing ber diri sendi ri. b. Tiadanya kata dan tidak berar ti apa -apa. Keduanya mempunyai ciri ters endiri tanpa mempengaruhi satu sama lain. c. Kata penghubung dan tidak mempunyai arti. Jadi, istilah dengan sengaja meliputi pula mela wan hukum. Beberapa istilah kuno untuk s engaja (jarang muncul dalam praktek dan literature): 1) Dolus Directus Sama dengan sengaja sebagai maksud 2) Dolus Indirectus Sengaja ini terdapat dalam Code Penal. Contoh: dalam suatu per tengkaran seseorang mendorong orang lain lalu jatuh dan tergilas mobil yang kebetulan lewat. 3) Dolus Determinatus/ Dolus Indeterminatus/ Dol us Alternativus Dolus Determinatus : sengaja yang ditujukan kepada orang ter tentu Dolus Indeterminatus : kehendak untuk membunuh yang sama sekali tidak mempedulikan orangnya ( misalnya menembak ke arah kerumunan orang, meledakkan ker eta) Dolus Al ternativus : pembuat dapat memperkirakan satu dan lain akibat (misalnya meracuni sumur) 4) Dolus Generalis Dilakukan dengan berbagai kasus. Contoh: A mencekik B k emudian melemparkannya ke air. B tidak mati

Hukum pidana dan Tipikor

karena cekikan tetapi karena mati lemas . 5) Dolus Premeditatus/ Dolus Repentinus Dolus Premeditatus : s engaja yang telah direnungkan atau dipikirkan terlebih dahulu Dolus Repentinus : sengaja yang tidak direnungkan atau dipikirkan terlebih dahulu 6) Dolus Antecedens/ Dolus Subsequens Dolus Antecedens : artinya sebelumnya telah terjadi Contoh: A berencana membunuh istrinya pada 3 November dengan senapan untuk berburu. Pada 2 November A membersihkan senapan dan karena k ecelakaan istrinya ter tembak mati. Walau ada kehendak sengaja untuk membunuh tanggal 3, namun tidaklah merupakan sengaja yang terjadi tanggal 2. Contoh Dolus Subsequens : A karena culpa menabrak seseorang yang ternyata adalah musuhnya. Penabrakan bukanlah sengaja. Tapi jika ia sengaja membiar kan korban misal tidak memanggil dokter, maka ia sengaja membunuh dengan cara pengabaian. 7) Dolus Malus Seseorang dipi dana jika ia sadar bahwa perbuatannya melawan hukum dan dapat dipidana menurut undang -undang. 5.2.2 Kelalaian ( Culpa ) Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan. Culpa dipandang lebih ringan dibanding sengaja. Van Hamel membagi culpa atas 2 jenis : 1) Kurang melihat ke depan yang perlu 2) Kurang hati -hati yang perlu Vos membedakan culpa atas 2 unsur : 1) Terdakwa dapat melihat ke depan yang akan terjadi Hal ini merupakan syarat subyektif Contoh: anak kecil yang memindahkan wis el rel kereta api sehingga keluar jalur, tidaklah ia ber salah jika ia tidak tahu apakah wisel kereta api itu 2) Ketidakhati -hatian dalam perbuatan yang dilakukan (pengabaian) Terdapat batas yang tipis antara culpa yang disadari dan sengaja kemungkinan (sengaja bersyar at). Persamaan : pembuat dapat melihat ke depan kemungkinan akibat perbuatannya. Perbedaan : pada culpa yang d isadari pembuat sama sekali tidak menghendaki akibat atau keadaan yang berhubungan dengan hal itu. Ia melakukan perbuatan dengan kesadar an dapat menghindari aki batnya. Delik kelalaian dalam rumusan undang -undang ada 2 macam: 1) Delik Kelalaian ( culpa) yang m enimbulkan akibat Dengan terjadinya akibat, maka ter ci ptalah delik kelalaian 2) Delik Kelalaian ( culpa) yang tidak menimbulkan akibat Dengan kelalaian atau kekuranghati -hatian itu sendiri sudah diancam dengan pidana

Hukum pidana dan Tipikor

5.2.3 Kesalahan dan Pertanggungjawaban Pidana Ciri atau unsur kesalahan dalam arti luas: a. Dapat diper tanggungjawabkan pembuat b. Ada kaitan psikis antar a pembuat dan perbuatan ( sengaja atau kesalahan dalam ar ti s empit) c. Tidak adanya dasar peniadaan pidana yang menghapus dapatnya diper tanggung-jawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat Tidak mungkin ada kesalahan tanpa adanya melawan hukum. Namun kata Vos, mungkin ada melawan hukum tanpa adanya kesalahan. Melawan hukum adalah mengenai perbuatan yang abnor mal secara obyektif. Kalau perbuatan itu tidak melawan hukum berar ti bukan perbuatan abnor mal, dan berar ti pembuatnya tidak ber salah. Kesalahan adalah unsur subyektif, yaitu untuk pembuat tertentu. Dikatakan ada kesalahan jika pembuatnya dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan. Dalam bahasa Indonesia hanya ada 1 istilah yaitu per tanggungjawaban. Dalam bahasa Belanda ada 3 sinonim: aansprakelijk, verantwoor delijk, dan toerekenbaar. 5.3. KESALAHAN DAPAT DIPERTANGGUNGJAWABKAN. Sebelum me mbahas Peringanan Pidana yang Dapat Diper tanggungjawabkan maka perlu pembahasan siapa penanggungjawab dalam kesalahan atau peristiwa pidana. 5.3.1 Pengertian Penanggung jawab Subjek hukum adalah manusia pribadi atau badan hukum yang menjadi pendukung hak dan kewajiban ( drager van rechten en plichten ). Subjek hukum pidana adalah manusia yang : 1. Penanggung jawab peristiwa pidana; 2. Polisi yang melakukan penyelidikan; 3. Jaksa yang melakukan penuntutan; 4. Pengacara; 5. Hakim yang mengadili; atau 6. Petugas lembaga pemasyar akatan yang melaksanakan eksekusi keputusan hakim. Fokus pembahasan mengar ah pada butir satu di atas yaitu penanggung jawab peristiwa pidana yang diklasifikasi atas : 1. Penanggung jawab penuh; 2. Penanggung jawab s ebagian. 5.3.2 Penanggung Jawab Penuh. Penanggung jawab penuh adalah tiap orang yang menyebabkan ( turut ser ta menyebabkan) peristiwa pidana yang diancam dengan pidana setinggi pidana pokoknya. Penanggung jawab penuh terbagi atas : 1. Dader (pelaku) penanggung jawab mandiri; 2. Mededader (peser ta pelaku) penanggung jawab ber sama; 3. Medepleger (pembantu pelaku) penanggung jawab ser ta;

Hukum pidana dan Tipikor

4. Doen pleger ( penyuruh melakukan) penanggung jawab penyuruh; 5. Uitlokker ( pembujuk) penanggung jawab pembujuk/ perencana. 5.3.3 Penanggung Jawab Sebagian. Penanggung jawab sebagian apabila seseorang ber tanggung jawab atas bantuan per cobaan suatu kejahatan dan dian cam pidana s ebesar 2/3 (dua per tiga) pidana kejahatan yang selesai. Penanggung jawab s ebagian terbagi atas : 1. Poger (or angnya) , Poging ( kegiatannya); 2. Medeplichtige (penanggung jawab bantuan). 5.3.4 Peniadaan. Titel ke-3 dari Buku Per tama KUHP menyebutkan alasan -alasan penghapusan pidana: 1. Alasan pembenar yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan. 2. Alasan pemaaf yaitu alasan yang menghapuskan kesahalan terdakwa. 3. Alasan penghapus penuntutan alasan dengan tidak melaksanakan penuntutan ( contoh: Pasal 53 KUHP pelaku yang tidak menyelesaikan tindakan pidana). Dari pembahasan dasar peniadaan pidana serta penanggung jawab peristiwa pidana, maka perlu diuraikan jenis -jenisnya secara terinci. Biasan ya uraian para pengar ang hukum pidana dimulai dengan Pasal 48 KUHP (daya paksa) atau Pasal 49 KUHP (pembelaan terpaksa), ialah Pasal 44 yang dikaitkan dengan hal tidak dapat diper tanggungjawabkan ( ontoerekenings vatbaarheid ) maka hal inilah yang per tama diu raikan. Terjer mahan pasal itu sebagai berikut: ayat 1: "Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat diper tanggungjawabkan padanya, disebabkan karena akal sehatnya cacad dalam per tumbuhan atau terganggg karena penyakit, tidak di pidana" Masalah ada tidaknya per tanggungjawaban pidana diputuskan oleh hakim. Menurut Pompe ini merupakan penger tian yuridis bukan medis. Memang medikus yang member keter angan kepada Hakim yang memutuskan. Menurutnya dapat diper tanggungjawabkan ( toerekenbaarheid ) itu ber kaitan dengan kesalalan ( schuld). Orang dapat menyatakan dapat diper tanggungjawabkan itu sendiri Merupakan kesalahan ( schuld). Dapat diper tanggungjawabkan ter dakwa berarti bahwa keadaan jiwanya dapat menentukan perbuatan itu di per tanggungjawabkan kepadanya. Is tilah di dalam Pasal 44 itu terbatas ar tinya, tidak meliputi melawan hukum. Menurut Pompe selanjutnya dapat diper tanggungjawabkan bukanlah merupakan bagian inti (bestanddeel) tetapi tidak dapat diper tanggungjawabkan itu merupakan dasar peniadaan pidana. Dari pendapatnya itulah ia mengatakan jika terjadi ker agu -r aguan tentang ada tidaknya hal tidak dapat di per tanggungjawabkan,ter dakwa tetap dijatuhi pidana. Ia mengatakan bahwa jika orang setelah melakukan pemeriksaan tetap ragu tentang dapatnya diper tanggung jawabkan, maka

Hukum pidana dan Tipikor

pembuat tetap dapat dipidana. Pendapat Pompe ini berlawanan dengan pendapat Van Hamel (halaman 326), Simons I (halaman 209), Zeven Bergen (halaman 141), Langemaijer TvS XLI (halaman 89), Noyon Langemaijer I (halaman 215), Vos (halaman 85) , Van Hattum (halaman 339). Jalan pikiran Pompe mungkin didasar kan atas hal dapat diper tanggungjawabkan itu bukan bagian inti delik sehingga dianggap ada sampai dibuktikan sebaliknya, misalnya dengan keterangan psikiater. Kita harus memperhatikan kata -katanya yang mengatakan bahwa jika terjadi keragu-raguan sesudah diadakan pemeriksaan (oleh psikiater?) maka pembuat tetap dapat dipidana. Ini berar ti s etelah diadakan pemeriksaan (psikiater) tetap hakim ragu ragu, maka pembuat tetap dipidana. Pendapat Pompe i ni mungkin ada benarnya jika dibandingkan dengan hukum pidana negara -negara lain, misalnya menurut Evidence Code Pasal 522, terdakwalah yang memikul beban pembuktian hal sakit jiwa (insanity) dengan bukti -bukti yang kuat, yang dapat meyakinkan juri. Tentul ah hal ini melalui penasihat hukumnya. Moeljatno, meskipun juga mengatakan bahwa dapat diper tanggungjawabkan merupakan unsur diam-diam selalu ada, kecuali kalau ada tanda -tanda yang menunjukkan tidak normal, ia berpendapat s esuai dengan ajaran dua tahap hu kum pidana ( maksudnya: actus reus dan mens rea), kemampuan ber tanggungjawab sebagai unsur kesalahan. Ia mengikuti pendapat Van Hattum, bahwa jika terjadi ker agu -r aguan apakah ter dakwa berpenyakit jiwa atau bukan maka ter dakwa tidak dipidana. Bagaimana jika ada terdakwa berpura -pura sakit ingatan, lalu meragukan hakim? Untuk mencegah hal seper ti ini, KUHP Republik Korea Pasal 10 ayat (3) mengatakan orang yang sengaja membuat dirinya sakit mental dapat dipidana. Lalu Pasal 10 itu membedakan or ang yang sakit mental yang tidak dapat membuat penilaian yang rasional atau mengendalikan kehendaknya tidak dapat di pidana, sedangkan kalau kurang mampu membuat penilaian yang rasional , dikur angi pidananya. Beberapa KUHP Asing mengatur lain tentang tidak dapat diper tanggungjawabkan karena penyakit jiwa. KUHP Rusia misalnya keadaan sakit jiwa tidak meniadakan pidana, tet api merupakan pemilihan ti ndakan. Jadi, tidak menyangkut lepas dari tuntutan hukum ( ontslag van rechts ver volging). Begitu pula KUHP Swedi`a tidak menghubungkan antara dapat diper tanggungjawab-kan dan sakit jiwa. Paragraf 3 Bab 31 mengatakan: If a person wha has committed a criminal act has been in a report of his mental examination to be in need of care in a mental hospital, the cour t may, if it finds the need for such care established order his surrender for care in accor d with the Mental Health A ct . Penulis setuju kiranya ketentuan semacam ini dimasukkan ke dalam RUU (KUHP) Indonesia karena: 1) Mencegah orang berpura -pura sakit jiwa untuk menghindari pemidanaan. Di Indonesia ter kenal ter dakwa pembunuh peragawati Julia Yasin, yang dicurigai oleh orang s eba gai berpur a -pur a sakit ingatan (s elalu tertidur di

Hukum pidana dan Tipikor

ruang sidang). Ada war tawan yang mengikuti terdakwa naik bus, yang kelihatannya Ia cukup sadar untuk mempersilakan s eorang wanita mengambil tempat duduknya. 2) Mencegah terjadinya kekeliruan hakim, karena ad a orang yang sakit jiwanya hanya datang secara ber kala. 3) Untuk memuaskan korban ( keluarga korban) bahwa memang keadilan telah ditegakkan. Karena terdakwa sakit jiwa maka dimasukkan ke rumah sakit jiwa, bukan dilepas dari tuntutan hukum. Akal sehat adalah terjemahan dari ver standelijke ver mogens, yang di dalam WvS Belanda telah diubah pada tahun 1928 menjadi geestver moges yang dapat diterjemahkan menjadi daya pikir. Sudah jelas bahwa geestver moges ( daya pikir) lebih luas ar tinya dari pada verstandelijke ver mogens (akal sehat). Yang tersebut duluan meliputi idiot, lemah akal, sakit jiwa, epilepsy dan lain -lain. Praktek di Indonesia mengikuti pengertian luas ters ebut. Menurut Van Bemmelen, dapat diper tanggungjawabkan itu meliputi : 1. Kemungkinan menentukan tingkah lakunya dengan kemauannya. 2. Mengerti tujuan nyata perbuatannya. 3. Sadar bahwa perbuatan itu tidak diper kenankan oleh masyarakat. Menurut Jonkers penger tian ters ebut agak sulit karena dalam paktek ketiganya sering saling bertentangan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sebagai manusia nor mal mereka di pandang dapat diper tanggungjawabkan. Hukum pidana katanya memandang secara nor mal dapat diper tanggungjawabkan itu dianggap ada. Dengan ini dianggap ada sampai ada kebalikannya atau keraguan yang memer t ukan pemeriksaan. Di samping Pasal 44 KUHP, yang menyebut dasar tidak dapat diper tanggungjawab-kan yang lain, misalnya umur yang belum cukup (belum dewasa) berada di bawah hypnos e, tidur sambil berjalan dan lain -lain. Tidak dapat dipertanggungjawabkan dipa ndang sebagai unsur kesalahan dalam arti luas atau merupakan unsur diam -diam suatu delik. Dalam tulisan ini, merupakan mens rea. Hoge Raad di dalam putusannya l0 November 1924, N.J. 1925 halaman 169, menyatakan bahwa dapat diper tanggungjawabkan bukanlah bagian inti (bestanddeel) del ik, tetapi jika tidak dapat diper tanggungjawabkan maka itu menghapuskan atau meniadakan dapatnya dipidana sesuatu perbuatan. Kalau melawan hukum yang tidak ada berar ti suatu perbuatan tidak dapat dipidana tetapi kalau tidak dap at diper tangungjawabkan, perbuatan itu tetap dapat dipidana hanya orangnya yang tidak dapat dipidana. Yang pertama merupakan unsur obyektif sedangkan yang kedua unsur subyektif dapatnya dipidana suatu perbuatan. Pengaruh hypnose dan tidur sambil berjalan t itak dapat diper tangungjawabkan karena menunrt Hoge Raad l0 November 1924, N.J. 1925, halaman. 169, itu merupakan unsur diam -diam pada setiap delik. Karena itu merupakan dasar peniadaan pidana maka hilang pula dapatnya dipidana si pembuat. Dari kata -kata Pasal 44 KUHP itu s endiri telah dapat disimpulkan bahwa tidak dapat diper tangungjawabkan itu tidak terbatas hanya yang tersebut di dalam pasal itu, yaitu cacad per tumbuhan akal sehat atau gangguan penyakit pada akal sehatnya.

Hukum pidana dan Tipikor

Menurut pasal 44 ayat 2 hakim dapat memasukkan ke rumah sakit jiwa selama satu tahun jika perbuatan itu tidak dapat diper tangungjawabkan kepada terdakwa karena kurang sempurna akalnya sakit berubah akalnya. Ini ber arti hakim dapat memutuskan lepas dari tuntutan hukum atau sebagai tindakan memerintahkan untuk dimasukkan ke rumah sakit jiwa ters ebut. Sebenarnya masih ada masalah gangguan penyakit yang tidak diperhatikan oleh hukum Pidana Belanda dan Eropa (juga Indonesia), yaitu ada orang yang tergangu jiwanya pada masa -masa ter tentu teta pi normal pada masa lain. Bagaimana jika orang demikian ini terganggu akal sehatnya pada waktu melakukan delik, tetapi pada waktu disidangkan ia nor mal? KUHP RRC Pasal 15 yang menyatakan:  "A mentally ill person who causes dangerous consequences at time when he is unable to r ecognize unable to control his own conduct is not to bear criminal responsibility; but his family or guar dian shall be ordered to subject him to strict surveillance and arrange for medical treatment.  A per son whose mental illness is of an inter mittent nature shall bear criminal res ponsibility if he commits a crime during a period of mental normality.  An intoxicated per son who commits a crime shall bear criminal responsibility. Pada alinea kedua itulah disebutkan bahwa seseorang yang me mpunyai penyakit mental yang bersifat berselang -seling diper tanggungjawabkan pidana jika ia melakukan delik selama masa mental nor mal. Sebelum berkembangnya psikiatri yang mulai pada tahun 1800 untuk menentukan ada tidaknya per tumbuhan yang titak sempurn a atau gangguan penyakit pada akal sehat seseorang, maka hal itu ditentukan dengan: 1) Mungkinkah dibedakan antara bai k dan buruk ( the right and wrong test). 2) Apakah hal dapat menahan dorongan hati ( the irresistible impulse test) sebagai kriteria untuk menentu kan dapat dipertanggungjawabkan? 3) Dapatkah diterima bahwa orang-orang yang hanya kurang daya pikirnya untuk membedakan dan menahan (godaan) juga dikurangi per tanggungjawabannya dan dengan demi kian di kurangi pidananya. Mengenai orang mabuk dapat dikatakan b ahwa dengan sengaja minumminuman keras dan mabuk. kemudian melakukan delik dapat diper tanggungjawabkan. Dengan sengaja minum dan mabuk merupakan penentuan kemauan. Ia dapat memperkirakan akibatnya ji ka ia mabuk. Menumt putusan Raad van Justitie Semarang, 2 Agustus 1938, T. 148 halaman., 790, seseorang mabuk yang menembak dua tembakan kepada kelompok orang ia tidak dipidana dengan sengaja melakukan pembunuhan melainkan sengaja melakukan penganiayaan berat berdasark an berkurangnya kesadarannya. Di dalam alinea ketiga Pasal 15 KUHP RRC ditegas kan bahwa orang mabuk yang melakukan delik ber tanggungjawab pidana ( An intoxicated person who commits a crime shall bear criminal res ponsibility ).

Hukum pidana dan Tipikor

Menurut Pompe, secara yuridis menurut Pasal 44 KUHP, mabuk tidak ter masuk, mabuk ber kaitan dengan sengaja atau kelalaian. Or ang memikirkan kemabukan sebagai Culpa in Causa . 5.4. PERBUATAN MELAWAN HUKUM Seringkali dalam pr aktek sehari -hari ada yang sepintas lalu sebagai perbuatan melawan hukum tetapi undang-undang memandangnya sebagai diperbolehkan oleh hukum, jadi tidak berlaku pembelaan terpaksa untuk melawannya. Misalnya perbuatan alat negara yang menangkap dan menahan orang yang diduga keras telah melakukan delik. Di sini kelihatan melanggar kebebasan bergerak orang. Tetapi undang-undang memandangnya s ebagai perbuatan yang tidak melawan hukum, karena perbuatan tersebut sesuai dengan undang -undang yaitu pasal 21 KUHP. Kemudian, kita lihat bahwa penger tian melawan hukum itu sen diri ber macam-macam. Ada mengar tikan s ebagai tanpa hak sendiri ( zonder egen recht). bertentangan dengan hak orang lain ( tegen eens anders recht), ber tentangan dengan hukum obyektif ( tegen het objectieve recht ). Karena ber macam -macamnya penger tian melawan hukum itu, NoyonLangemeyer (1954) mengusulkan agar fungsi kata itu hendaknya disesuaikan dengan setiap delik tanpa secar a asasi menghilangkan kesatuan artinya. Misalnya Hoge R aad dengan Arrestnya tanggal 28 Juni 1911, dalam menerapkan pasal 326 Ned; W.v.S. (= pasal 378 KUHP) mengatakan de dader geen eigen recht top de bevoordeling heeft ( ter dakwa tidak mempunyai hak sendiri untuk menikmati keuntungan itu). Dibedakan pula penger tian melawan hukum for mel dan materiel. Menurut Pompe, dari istilahnya saja sudah jelas, melawan hukum jadi bertentangan dengan hukum, bukan ber tentangan dengan undang -undang. Dengan demikian, Pompe memandang melawana hukum sebagai yang kita maksud dengan melawan hukum materiel. Sedangkan melawan hukum s ecara for mel dia rtikan ber tentangan dengan undang-undang. A pabila suatu perbuatan telah mencocoki rumusan delik, maka biasanya dikatakan telah melawan hukum secara for mel. Melawan hukum materiel harus berar ti hanya dalam ar ti negatif, artinya kalau tidak ada melawan hukum ( materiel) maka merupakan dasar pembenar. Dalam penjatuhan pidana harus di pakai hanya melawan hukum for mel, artinya yang ber tentangan dengan hukum positif yang tertulis, karena alasan asas nullun crimen lege stricta yang ter cantum di dalam pasal 1 ayat ( 1) KUHP. Melawan hukum sering merupakan bagian i nti delik, ar tinya ter sebut secara jelas di dalam rumusan delik seper ti pasal 362 KUHP, pasal 372 KUHP dan lain lain. Kadang-kadang hanya tersirat di dalam rumusan delik. Ar tinya melawan hukum secara umum. Misalnya pasal 338 KUHP. Di sini melawan hukum sebagai unsur dapatnya dipidana, bukan bagian inti delik. Apabila pada yang ters ebut per tama, bagian inti melawan hukum tidak terbukti , maka putusannya bebas. Jadi, melawan hukum sebagai bagian inti har us ter c antum dalam dakwaan, dan itulah yang harus dibuktikan. (Selengkapnya baca halaman 131 -134, Andi Hamzah)

Hukum pidana dan Tipikor

6. Dasar peniadaan pidana menurut KUHP dan diluar KUHP : 6.1. Dasar peniadaan pidana menurut KUHP: A. ontoerekeningsvatbaarheid, tidak dapat dihukum karena orangnya sendiri (pasal 44); B. overmacht ( daya paksa-> pasal 48 ); C. noodweer (pembelaan terpaksa ->pasal 49); D. melaksanakan Undang-Undang (pasal->50); E. melaksanakan perintah jabatan (pasal->51). 6.2. Dasar peniadaan pidana diluar KUHP : a.umum b.khusus c.tidak tertulis

DASAR PENIADAAN PIDANA MENURUT KUHP DAN DILUAR KUHP 6.1 DASAR PENIADAAN PIDANA MENURUT KUHP 6.1.1 Ontoerekeningsvatbaarheid Sebelum masalah ini diuraikan panjang lebar, per tama -tama akan ditinjau perumusan-perumusan yang terdapat dari Strafbaar feit atau delict. Menurut perumusan itu, maka Strafbaar feit itu mengandung beberapa unsure, yaitu : 1. Suatu perbuatan manusia ( mens elijke handeling). Dengan handeling dimaksudkan baik een doen ( melakuka n sesuatu) maupun een nalaten ( melalaikan). 2. Perbuatan ini dilarang dan diancam dengan hukum oleh undang undang. 3. Perbuatan i ni dilakukan oleh ses eorang yang dapat diper tanggungjawabkan (teerekenings vatbaar person). Menurut perumusan Simons, strafbaar feit itu harus merupakan: a. Perbuatan manusia b. Perbuatan itu adalah wederrechtelijke (ber tentangan dengan hukum) c. Perbuatan itu dilakukan orang yang dapat diper tanggungjawabkan (toerekenings vatbaarheid) d. Dan orang itu dapat dipersalahkan Strafbaar feit menurut Pr of. Mr. S. Kar tanegar a adalah : Suatu perbuatan manusia, jadi suatu handeling atau lebih tepat lagi ; suatu gedraging ( tindak -tanduk). Dalam KUHP, diambil pokok pangkal bahwa setiap orang adalah toerekenings vatbaarheid, itu harus dibuktikan oleh karena undang-undang menganggapbahwa setiap orang mempunyai jiwa yang sehat, namun kenyataannya menjadi lain apabila seseor ang adalah

Hukum pidana dan Tipikor

ontoerekenings vatbaarheid artinya bahwa ia tidak dapat dihukum secar a pidana karena kondisi kejiwaannya yang terganggu/sakit i ngatan atau jiwa yang tumbuh kurang s empurna. Pada pasal 44 : (1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat diper tanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam per tumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana. (2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat diper tanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lam satu tahun sebagai waktu per cobaan. (3) Ketentuan dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri. Oleh karena KUHP hanya menyatakan secara negati ve bila seseorang tidak toerekenings vatbaarheid , maka dalam penyikapan kasus ini dapat ditempuh beberapa cara yaitu : 1. Biologis, yaitu dengan meninjau keadaan jiwa ses eorang, bias ke Psikiater atau Dokter. 2. Meninjau hubungan antara perbuatan dengan jiwa si pelaku. Bilamana sesuatu perbuatan dapat diper tanggungjawabkan, maka timbullah per tanyaan, apakah ini ber arti bahwa, seseorang yang melakukan suatu perbuatan dan ia dihinggapi oleh keadaan seperti yang disebutkan di atas, tidak dapat dihukum. Halnya adalah tidak demikian, akan tetapi haruslah dibuktikan terlebih dahulu bahwa tingkat penyakit ingatan itu adalah demikian rupa, hingga orang yang dihinggapi tidak dapat diper tanggungjawabkan terhadap perbuatannya. Yang s eper ti demikian itu mempunyai tingkatan -tingkatannya ada yang ringan, ada pula yang berat dan terdapat pula yang sedang. Setelah itu, keadaan harus dihubungkan dengan k etiga syar at di bawah ini artinya haruslah diselidiki, apakah orang yang dihinggapi keadaan jiwa s eperti itu : 1. Dapat mengerti akan nilai perbuatannya, hingga dapat mengerti akan nilai -nilai dari pada akibat perbuatannya. 2. Dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang dilakukannya itu. 3. Dapat menyadari bahwa perbuatannya yang dilakukan itu, adalah perbuatan yang dilarang. 6.1.2 Overma cht ( keadaan memaksa) Ter cantum pada pasal 48 KUHP yang berbunyi Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh dayapaksa tidak dipidana. Kata dayapaksa ini adalah salinan kata Belanda over macht, yang artinya kekuatan atau daya yang lebih besar. Undang -undang hanya menyebut tentang tidak dipidana s eseor ang yang melakukan perbuatan karen a dorongan keadaan yang memaksa. Asl inya berbunyi : Niet Strafbaar is hij die een feit begat waartoe hij door over macht is gedrongen.

Hukum pidana dan Tipikor

Undang-undang tidak menjelaskan apakah itu keadaan memaksa (over macht). Tidaklah jelas, apakah menyangkut perbuatan (feit) ataukah pembuatnya. Masalah ini t elah berabad -abad dipersoal kan oleh para yuris dan filosuf. Remmelink yang mengerjakan buku Hazewinkel -Suringa, cetakan ke-8, mengatakan, bahwa pada cetakan tersebut ia akan membicarakan sebab yang menjadi dasar tidak dapat dipidananya over macht itu. Kekuatan fisik yang mutlak yang tak dapat dihindari dinamakan vis compulsive, karena sekalipun tidak memaksa secara mutlak, tetapi memaksa juga.Umumnya dikatakan bahwa vis abs oluta tidak masuk dalam pasal 48, tapi hanya vis compulsive saja. A dapun s ebabnya iala h bahwa dalam vis absoluta, orang yang berbuat bukan yang terkena pakasaan, tetapi orang yang member paksaan pisik. Mengenai vis compulsive biasanya ini dibagi dalam daya paksa dalam arti sempit (over macht in enge zin) di mana sumber atau musababnya paksaan keluar dari orang lain, dan keadaan darurat (noodtoestand) di mana daya tadi tidak disebabkan oleh orang lain, tetapi timbul dari keadaan keadaan yang ter tentu. Juga dikatakan, bahwa dalam dayapaksa yang sempit, inisiatif untuk berbuat kea rah perbuatan yang tertentu,ada pada orang yang member tekanan. Sedangkan dalam keadaan darurat, orang yang ter kena, bebas untuk memilih perbuatan mana yang akan dilakukan. Inisiatif ada pada dirinya sendiri. Contoh dari dayapaksa yang sempit adalah kalau orang ditodong dengan pistol untuk melakukan sesuatu perbuatan pidana. Dalam keadaan darurat biasanya dikatakan ada 3 kemungkinan yaitu : 1. Orang terjepit antara dua kepentingan. Dengan kata lain, di sini ada konflik antar a kepentingan yang satu dengan kepentingan yang la in. 2. Orang terjepit antara kepentingan dan kewajiban. Jadi ada konflik antara kepentingan dan kewajiban. 3. Ada konflik antara dua kewajiban. Orang dapat panggilan untuk hadir di pengadilan pada hari yang sama, di mana dia juga harus dating pada pengadilan di kota lain. Kewajiban yang per tama diabaikan untuk menunaikan kewajiban yang kedua. 6.1.3 PEMBELAAN TERPAKSA (Noodweer) Pembelaan terpaksa ada pada setiap hukum pidana dan sama usianya dengan hukum pidana itu sendiri. Istilah yang dipakai oleh Belanda adalah noodweer tidak terdapat dalam rumusan Undang -undang. Pasal 49 (1) KUHP ( terjemahan) mengatakan : tidak dipidana barang siapa yang melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri atau orang lain, kehor matan kesusilaan, atau har ta benda sendiri at au orang lain, karena serangan s ekejap itu atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum. Pembelaan terpaksa KUHP Indonesia ini berbeda dengan WvS belanda, karena KUHP Indonesia mengikuti WvS untuk golongan Eropa dulu (1898). Ia memperluas penger tian serangan bukan hanya yang sekejap itu seperti WvS Belanda (oogenblikke lijke) tetapi itu diperluas dengan ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu ( onmiddelijke dreigende ). Alasannya, karena situasi dan kondisi Indonesia (Hin dia belanda, waktu itu)

Hukum pidana dan Tipikor

berbeda dengan belanda. Tetapi menurut Lemaire, maksud ters ebut kurang berar ti, hanya memper tegas saja, karena menurut penulis Belanda, pasal 41 WvS (pasal 49 KUHP) itu berar ti juga ancaman serangan seketika itu Dari rumusan tersebut dapat ditarik unsure -unsur suatu pembelaan terpaksa (noodweer) ter sebut : 1) Pembelaan itu bersifat terpaksa 2) Yang dibela ialah diri sendiri, orang lain, kehormatan kesusilaan, atau harta benda s endiri atau or ang lain. 3) Ada serangan sekejap atau ancaman s eran gan yang sangat dekat pada saat itu. 4) Serangan itu melawan hukum. Pembelaan harus seimbang dengan ser angan atau ancaman. Serangan tidak boeh melampaui batas keperluan dan keharusan. A sas ini disebut asas subsidiaritas ( subsidiariteit ). Harus seimbang antara kepentingan yang dibela dan cara yang dipakai di satu pihak dan kepentingan yang dikorbankan. Jadi harus proporsional. Tidak semua alat dapat dipakai. Hanya yang pantas, masuk akal. Menurut Pompe, jika ancaman dengan pistol, dengan menembak tangannya sudah cukup maka jangan ditembak mati. Pembelaan itu harus sangat perlu. Kalau perlindungan cukup dengan lari maka pembelaan tidak perlu. Begitu juga putusan Hoge Raad 15 Januari 1957. tetapi Hazewinkel Suringa menyatakan bahwa lari jika mungkin itu kalau s era ngan dating dar i ornag gila. Pembelaan juga terpaksa terbatas hanya pada tubuh, kehor matan kesusilaan, dan har ta benda. Tubuh meliputi jiwa, melukai dan kebebasan bergerak badan. Kehor matan kesusilaan meliputi perasaan malu s eksual. Lebih sempit daripada k ehor matan tetapi lebih luas daripada tubuh saja (Hoge Raad 8 Januari 1917 N.J. 1957 halaman 175) Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas , Pasal 49 ayat (2) menyatakan : pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yan g hebat karena serangan atau ancaman s erangan itu tidak dipidana. Ada persamaan antar pembelaan terpaksa ( noodweer) dan pambelaan terpaksa yang melampaui batas ( noodweer exces ) , yaitu keduanya mensyaratkan adanya s erangan yang melawan hukum yang dibela j ug a sama, yaitu tubuh, kehor matan kesusilaan, dan harta benda, baik diri sendiri maupun or ang lain. Perbedaannya ialah : a. Pada pembelaan terpaksa yang melampaui batas ( noodweer exces ) , pembuat melampaui batas karena keguncangan jiwa yang hebat, oleh karena itu, b. Maka perbuatan membela diri melampaui batas itu tetap melawan hukum, hanya or angnya tidak dipidana karena keguncangan ji wa yang hebat. c. Lebih lanjut maka pembelaan terpaksa yang melampaui batas menjadi dasar pemaaf. Sedangkan pembelan terpaksa ( noodweer) merupakan dasar pembenar, karena melawan hukumnya tidak ada.

Hukum pidana dan Tipikor

Pada pembelaan terpaksa yang melampaui batas, batas pembelaan yang perlu dilampaui, jadi tidak proporsional. Melampaui batas pembelaan yang perlu ada dua macam . Pertama, orang yang diser ang s ebagai akibat keguncangan jiwa yang hebat melakukan pembelaan pada mulanya sekejap pada saat diser ang ( Hoge Raad 27 Mei 1975 N.J. 1975, no.463). jadi, disini orang yang berhak membela diri karena terpaksa karena akibat keguncangan jiwa yang hebat sejak semula memakai alat yang melampaui batas . 6.1.4 MELAKSANAKAN KETENTUAN UNDANG-UNDANG Pasal 50 KUHP menyatakan (terjemahan) : bar ang siapa yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang -undang tidak dipidana. Sederhana sekali bunyi undang -undang i ni. Namun masih terdapat perbedaan pendapat sekitar istilah apa yang dimaksud dengan undang undang disitu. A pakah hanya undang -undang dalam arti for mal saja ( yang dibuat pemerintah ber sama dengan DPR) ataukah meliputi juga undang undang dalam ar ti material sehingga meliputi pula Peraturan Pemrintah dan peraturan yang lebih rendah lainnya. Kalau kita bandingkan dengan sejarahnya di Belanda, maka mula -mula Hoge Raad (27 Juni 1887, W5447) mengar tiakna undang -undang dalam ar ti formal yaitu yang dibuat oleh raja dan Staten Gener aal ditambah dengan A MvB dan peraturan s ebagai pelengkap undang -undang secara keseluruhan atau diperintahkan oleh undang -undang. Kemudian, pandangan ini berubah dengan mengar tikan ketentuan undang-undang sebagai setiap ketentuan yang dikel uarkan oleh suatu kekuasaan yang mempunyai wewenang mengeluar kan undang -undang menurut Undang-undang dasar atau undang -undang (HR 26 Juni 1899 W7307, 30 Nov 1914, N.J. 1915, 282, w9747). Arrest terakhir itu mengenai hal : Seorang yang bernama Rambonnet mel anggar Pasal 7 Peraturan Air Leiding di Gemeente Doorns pijk. Ia telah mengeluarkan perintah untuk menempatkan tanggul di waduk Eeksterbeek dan dengan itu mengganggu jalan air di anak sungai. Di dalam peraturan lain ditentukan bahwa Rambonnet ber dasar kan syarat-syarat tertentu harus mengatur keadaan ai r di anak sungai itu. Rambonnet ber tindak melaksanakan ketentuan perundangan-undangan terakhir. Keistimewaan arrest ini ialah Hoge Raad mengakui di sini, bahwa sebagai ketentuan undang -undang ialah suatu peraturan yang berisi suatu aturan yang menyangkut satu orang. Menurut Pompe, ketentuan undang -undang meliputi peraturan (veror dening) dikeluar kan oleh penguasa yang ber wenang untuk itu menurut undang-undang. Jadi, meliputi ketentuan yang ber asal langsung dar i pembuat undang-undang, dari penguasa yang lebih rendah yang mempunyai wewenang (bukan kewajiban) untuk membuat peraturan yang berdasar undang-undang. Yang melakukan perbuatan itu merupakan kewajibannya, oleh karena itu undang-undang itu menyatakan : dalam melaksanakan suatu..ketentuan. Dalam melaksanakan wewenang penyidikan menurut hukum acar a pidana ter masuk penger tian Pasal 50 ini.

Hukum pidana dan Tipikor

Ada pula yang menyatakan antar a lain Hazewinkel -Suringa, bahwa ketentuan Pasal 50 ini sebagai dasar pembenar ber kelebihan ( overbodi g) , karena bagi orang yang menjalankan ketentuan undang -undang dengan sendirinya tidak melawan hukum. Contoh orang yang tidak mempunyai wewenang menyidik (orang swasta) tetapi menangkap tersangka dalam hal ter tangkap tangan, jika tidak ter masuk ke dalam penger tian Pasal 50 KUHP, yaitu menjalankan ketentuan undang -undang (KUHAP), ia toh tidak dapat dipidana karena tidak melawan hukum. Menurut Hoge R aad 14 oktober 1940, 1961 No. 165 untuk pener apan Pasal 50 KUHP disyaratkan pelaksanaan kewajiban ber d asar kan undangundang. Menurut Hazewinkel-Suringa , kata feit (perbuatan) di dalam pasal 50 berar ti perbuatan yang memenuhi isi delik. Bagaimana mungkin seseor ang berbuat melaksanakan ketentuan undang -undang bersamaan dengan itu melakukan delik. Sebenarnya ini berasal dari Code Penal, tetapi maksudnya khusus untuk delik kekerasan. Semula hanya perintah jabatan, tetapi kemudian di tambah dengan menjalankan ketentuan undang -undang di dalam WvS Belanda. Di dalam KUHP Belgia, terdapat dalam satu pasal, yaitu pasal 70, yang menyatakan tidak ada delik jika suatu perbuatan ditentukan dalam undang undang ( s ebagai delik ) dan oleh pemerintah diperintahkan. Di KUHP Jerman menjalankan ketentuan undang -undang dan menjalankan perintah jabatan tidak ter cantum, karena ketentuan semacam itu dipandang ber kelebihan (overbodig). Bagaimana ji ka seor ang penyidik dalam menjalankan ketentuan undang-undang misalnya akan menangkap tersangka, ia melukai bahkan membunuhnya karena melarikan diri atau melawan ? hal seper ti ini bersi fat kasusistis. Mungkin terjadi daya paksa (overmacht ) mungkin pembelaan terpaksa (noodweer) mungkin pula pembel aan terpaksa yang melampaui batas(noodweer exces ) bagi petugas yang menjalankan ketentuan undang undang itu. Dalam menjalankan ketentuan undang -undang harus patut, tidak ber kelebihan. Sebenarnya setiap perbuatan pemerintah melalui alat -alatnya dalam menjalankan ketentuan undang -undang adalah sah dan tidak melawan hukum, asalkan dilakukan dengan sebenarnya dan patut. Menurut Vos, petugas tidak bol eh pada umumnya dalam menangka p orang yang melarikan diri, membunuh atau melukai berat, kecuali mengenai delik yang sangat serius, misalnya pembunuh massal. 6.1.5 Melaksanakan perintah jabatan Pasal 51 KUHP menyatakan: (1) Barangsiapa melakukan perbuatan untuk mel aksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana. (2) Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanannya ter masuk dalam lingkungan pekerjaannya.

Hukum pidana dan Tipikor

a. Perintah itu karena jabatan. Jadi antara yang memberi perintah dan yang diperintah ada hubungan hukum publik. b. Tidak perlu hubugan jabatan ter sebut hubungan atasan bawahan secara langsung. Perintah jabatan yang diberikan oleh yang tidak ber wenang untuk lolos dar i pemidanaan harus memenuhi dua syarat: 1) Syarat subyektif: pembuat harus dengan itikad baik memandang bahwa perintah itu dating dari yang ber wenang. 2) Syarat obyektif: pelaksanaan perintah har us terletak dalam ruang lingkup pembuat sebagai bawahan. 6.2 DASAR PENIADAAN PIDANA DILUAR KUHP 6.2.1 Umum Dasar peniadaan pidana diluar undang -undang terbagi atas yang umum dan yang khusus. Yang umum masalnya tiada pidana tanpa kesalahan dan tidak melawan hukum se car a materiel . Dasar peniadaan pidana di luar undang -undang dapat dibagi atas yang umum dan yang khusus. Yang umum misalnya tiada pidana tanpa kesalahan dan tidak melawan hukum s ecara materiel 6.2.2 Khusus Yang khusus, yaitu mengenai kewenangan2 ter tentu ( menjalankan profesi/ pencaharian ter tentu) misalnya pekerjaan dokter , olahraga s eperti tinju dll. 6.2.3 Tidak Tertulis Alasan peniadaan pidana di luar undang -undang atau yang tidak ter tulis dapat dibagi menjadi: 1. yang merupakan dasar pembenar (tidak melawan huk um) Merupakan segi dari luar pembuat atau faktor obyektif. Hal ini sangat penting bagi acar a pidana, s ebab jika dasar pembenar itu ada, atau perbuatan itu tidak melawan hukum, dimana melawan hukum itu merupakan bagian inti (bestanddeel) delik, maka pu tusannya ialah bebas. 2. yang merupakan dasar pemaaf (tidak ada kesalahan) atau peniadaan pidana yang subjektif Merupakan segi dalam pembuat atau faktor subyektif. Faktor ini juga sangat penting, sebab jika kesalahan tidak ada atau dasar pemaaf ada, maka putusannya ialah lepas dari segala tuntutan hukum.

Hukum pidana dan Tipikor

Dasar pemberatan dan peringanan pidana : 7.1. Dasar pemberatan pidana : a.ambtelijkheid( tanggungjawab pejabat) b.recidive( tanggungjawab ulang ) c.samenloop( tanggungjawab majemuk ) 7.2. Dasar peringanan pidana a.poging(percobaan) b.medeplichtigheid c.minderjarigheid

DASAR PEMBERATAN DAN PERINGANAN PIDANA Menurut Pasal 132 rancangan KUH Pidana, faktor-faktor yang memperingan pidana meliputi : a. per cobaan melakukan tindak pidana; b. pembantuan terjadinya tindak pidana; c. penyerahan diri secara sukarela kepada yang ber wajib setelah melakukan tindak pidana d. tindak pidana yang dilakukan oleh wanita hamil; e. pemberian ganti kerugian yang layak atau perbaikan kerusakan secara sukarela sebagai aki bat tindak pidana yang dilakukan; f. tindak pidana yang dilakukan karena kegoncangan jiwa yang sangat hebat; g. tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat sebag aimana dimaksud dalam Pasal 39; atau h. faktor-faktor lain yang ber sumber dari hukum yang hidup dalam masyar akat. Dalam Pasal 133 rancangan KUH Pidana dijelaskan lebih lanjut atas peringanan tersebut sebagai berikut: a. Peringanan pidana adalah pengurangan 1/3 (satu per tiga) dari ancaman pidana maksimum maupun minimum khusus untuk tindak pidana ter tentu. b. Untuk tindak pidana yang diancam pidana mati dan penjara seumur hidup, maksimum pidananya penjar a 15 (lima belas) tahun. c. Berdasar kan per timbangan -per timbangan ter tentu, peringanan pidana dapat berupa perubahan jenis pidana dari yang lebih berat ke jenis pidana yang lebih ringan. Menurut Pasal 134 rancangan KUH Pidana, faktor-faktor yang memperberat pidana meliputi pelanggaran suatu kewajiban jabatan yang khusus diancam dengan pidana atau tindak pidana yang dilakukan oleh pegawai negeri dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan, misalnya : a. penggunaan bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, atau lambang Negara Indonesia pada waktu melakukan tindak pidana; b. penyalahgunaan keahlian atau profesi untuk melakukan tindak pidana;

Hukum pidana dan Tipikor

c. tindak pidana yang dilakukan orang dewasa bersama -sama dengan anak di bawah umur 18 (delapan belas ) tahun; d. tindak pidana yang dilakukan secar a ber s ekutu, bersama-sama, dengan keker asan, dengan car a yang kejam, atau dengan berencana; e. tindak pidana yang dilakukan pada waktu terjadi huru hara atau bencana alam; f. tindak pidana yang dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya; g. pengulangan tindak pidana ; atau h. faktor-faktor lain yang ber sumber dari hukum yang hidup dalam masyar akat. Kemudian dalam Pasal 135 dan 136 rancangan KUH Pidana diuraikan bahwa Pemberatan pidana adalah penambahan 1/3 (satu per tiga) dari maksimum ancaman pidana. Jika dalam suatu perkara terdapat faktor -faktor yang memperingan dan memperberat pidana secara bersama -sama, maka maksimum ancaman pidana diperberat lebih dahulu, kemudian hasil pemberatan tersebut dikurangi 1/3 (satu per tiga). Ber das arkan perti mbangan tertentu, hakim dapat tidak mener apkan ketentuan mengenai peringanan dan pember atan pidana 7.1 . DASAR PEMBERATAN PIDANA 7.1.1 Tanggung Jawab Pejabat (a mbtelijkeheid). Dalam KUH Pidana ter dapat dasar -dasar untuk memperberat hukuman ( grond van strafverzwaring ) yang berhubungan dengan jabatan pegawai negeri, antara lain dalam pasal 52 KUH Pidana yaitu : jika seseorang pegawai negeri melanggar salah satu kewajibannya dalam jabatannya, oleh karena melakukan perbuatan yang dapat dihukum atau dalam menjalankan per buatan itu ia memakai kekuasaannya atau kesempatannya atau ikhtiar yang diperolehnya dari jabatannya, maka dapatlah hukumannya ditambah sepertiganya . 7.1.2 Pengulangan tindak pidana ( recidive ) Recidive adalah apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan , yang merupakan beberapa delik yang berdiri sendiri yang telah dijatuhi hukuman oleh hakim. Dasar hukuman mengapa recidive dijadikan sebagai dasar pemberatan pidana adalah bahwa orang ( pers oon) ters ebut terbukti telah mempunyai tabiat yang jahat, dan diangga p berbahaya bagi masyarakat dan bagi keter tiban umum. Menurut doktrin, dari sudut sifatnya, sistem recidi ve itu dapat dibagi dalam : a. Generale recidive Yaitu apabila seseor ang yang telah melakukan kejahatan, dimana kejahatan ter sebut telah dijatuhi hukuman sebelumnya, maka apabila ia kemudian melakukan kejahatan lagi yang dapat merupakan bentuk kejahatan apapun, hal ini dapat dijadikan sebagai alasan untuk memperberat hukuman. b. Special recidive Jenis recidive ini terjadi apabila seseorang melakuk an kejahatan, dan terhadap kejahatan tersebut telah dijatuhi hukuman oleh hakim.

Hukum pidana dan Tipikor

Kemudian ia melakukan kejahatan lagi yang sejenis dengan kejahatan sebelumnya, maka per samaan kejahatan yang dilakukan itu merupakan dasar untuk memperberat hukuman. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ter khusus dalam pasal 486-488 menggunakan system/asas tengah ( toessenstelsel) yaitu kejahatankejahatan yang diatur tersebut dibagi dalam golongan -golongan menurut sifatnya yang oleh KUHP dianggap sama . Berdasar kan penggolongan menurut sifat kejahatan yang oleh ses eorang kemudian dilakukan lagi dan dapat memenuhi recidive adalah bukan setiap kejahatan dan bukan pula kejahatan yang sejenis. Dalam pasal 486 KUHPidana ( pengulangan kejahatan yang bersangkutan dengan berbagai s ebab) digolongkan beberapa jenis kejahatan yang dianggap mempunyai sifat yang sama yaitu yang dilakukan dengan maksud untuk mencari keuntungan yang tidak halal atau perbuatan perbuatan yang dilakukan dengan mempergunakan tipu muslihat seper ti pencurian, penggelapan dan penipuan -penipuan. Contoh : per tama -tama Parto mencuri barang Akri. Setelah Parto diadili, ia terbukti bersalah dan diberi hukuman penjar a s elama 5 tahun dan ia telah menjalani hukuman itu. Dikemudian hari setelah ia bebas dan menghirup udar a segar, ia melakukan perbuatan penggelapan atau penipuan terhadap Eko. Maka dalam per adilan atas kasus kedua ini, hal dalam kasus per tama dapat dijadikan sebagai dasar pemberat hukuman bagi Par to. Dalam pasal 487 KUHPidana digolongkan s ejumlah perbuatan d an menjadi dasar recidive adalah perbuatan -perbuatan yang merupakan perbuatan terhadap jiwa s eseorang. Seper ti penganiayaan dan pembunuhan. Dalam pasal 488 KUHPidana digolongkan s ejumlah besar kejahatan yang menurut sifatnya merupakan perbuatan penghinaan ataupun fitnah dan pencemar an nama baik. Secar a garis besar recidive harus memenuhi beberapa syarat agar dapat menjadi dasar pemberat dalam dakwaaan, yaitu : a. Terhadap kejahatan yang pertama yang tel ah dilakukan, harus telah ada keputusan hakim yang mengand ung hukuman (ada ancaman pidananya). b. Keputusan hakim ter sebut harus merupakan suatu keputusan yang tidak dapat diubah lagi, artinya yang mempunyai kekuatan hukum tetap (terakhir). c. Dalam pasal 486 KUHP dan 487 KUHP ditentukan bahwa hukuman yang dijatuhkan pada perbuatan yang per tama harus merupakan hukuman penjara, sedangkan dalam pasal 488 KUHP tidak ditentukan hukuman apa yang telah dijatuhkan dalam perbuatan yang per tama. d. Antara saat kejahatan yang diulangi kemudian dan hukuman yang dijatuhkan terhadap perbuatan yang per tama jangka waktunya adalah lima tahun. Dalam praktek untuk mengetahui apakah s eseorang sudah pernah dihukum atau belum pada pangadilan -pengadilan s elalu ters edia arsi p mengenai keputusan keputusan hakim.

Hukum pidana dan Tipikor

7.1.3 Gabungan dari Beberapa Perbuatan yang dapat Dihukum (Samenloop Van Strafbare Feite n) Adakalanya seseorang melakukan beberapa perbuatan sekaligus sehingga menimbulkan masalah tentang penerapannya. Kejadian yang sekaligus atau serentak tersebut disebut samenloop yang dalam bahasa Belanda juga disebut samenloop van strafbaar feit atau concursus . Ajaran mengenai samenloop ini merupakan salah satu ajaran yang tersulit di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, sehingga orang tidak akan dapat memahami apa yang s ebenarnya dimaksud dengan samenloop van str afbaar feit itu s endiri, maupun per masalahan -per masalahan yang timbul di dalam ajaran tersebut, apabila orang itu tidak mengikuti per kembangan paham paham mengenai per kataan feit yang terdapat di dalam rumusan pasal -pasal yang mengatur masalah samenloop itu sendiri. Perbarengan merupakan terjemahan dari samenloop atau concursus . Ada juga yang menerjemahkannya dengan gabungan. Dalam pembahasan kali ini yang menjadi sorotan adalah perbarengan dua atau lebih tindak pidana yang di per tanggungjaw abkan kepada satu orang atau beberapa orang dalam r angka penyertaan. Tindak pidana -tindak pidana yang telah terjadi itu sesuai dengan yang dirumuskan dalam perundang -undangan. Sedangkan kejadiannya sendiri dapat merupakan hanya satu tindakan saja, dua/lebih tindakan atau beberapa tindakan secara berlanjut. Dalam hal dua/lebih tindakan ters ebut masing-masing merupakan delik tersendiri, dipersyar atkan bahwa salah satu di antaranya belum pernah diadili. Ilmu Hukum Pidana mengenal 3 ( tiga ) bentuk concursus ya ng juga disebut ajaran, yakni s ebagai berikut : 1. Concursus idealis ( eendaadsche samenloop ) ; Terjadi apabila ses eorang melakukan satu perbuatan dan ternyata satu perbuatan ters ebut melanggar beber apa ketentuan hukum pidana. 2. Concursus Realis (meerdaadsche samenloop); Terjadi apabila seseor ang sekaligus merealisasikan beber apa perbuatan atau apabila seseor ang melakukan beberapa perbuatan, masing -masing perbuatan itu berdiri sendiri -sendiri sebagai tindak pidana. 3. Perbuatan Lanjutan ( voortgezette handeling ) ; Terjadi apabila seseorang melakukan perbuatan yang sama beberapa kali, dan diantara perbuatan -perbuatan itu ter dapat hubungan yang sedemikian eratnya s ehingga r angkaian perbuatan itu harus dianggap sebagai perbuatan lanjutan . Ukuran Pidana yang dapat Dijatuhkan atas Diri Seseorang dalam Tindak Pidana Concursus, telah di utarakan bahwa pers oalan pokok dalam bangunan perbarengan adalah mengenai ukuran pidana yang dikaitkan dengan stelsel atau sistem pemidanaan. Beberapa stelsel di antaranya s ebagai beri kut : 1. Stelsel pidana minimum secara umum ( algemene strafminima ), yaitu ditentukannya secar a umum pidana terendah yang berlaku untuk setiap tindak pidana. Y ang dianut dalam KUHP ialah : a. Pidana penjara terpendek adalah 1 hari ( pasal 12 ) b. Pidana kurungan terpendek adalah 1 hari ( pasal 18 )

Hukum pidana dan Tipikor

c. Pidana denda paling sedikit adalah 25 sen x 15 ( pasal 30 ) 2. Stelsel pidana maksimum secara umum ( algemene strafmaxima ), yaitu ditentukannya secar a umum pidana tertinggi yang berlaku untuk setiap tindak pidana, dengan pengecualian apabila ada hal-hal yang memberatkan dalam KUHP hal ini ditentukan : a. Pidana penjar a maksimum 15 tahun berlanjut kecuali dalam hal ters ebut pada pasal 12 ayat 3, b. Pidana kurungan maksimum 1 tahun, kecuali dalam hal tersebut pasal 18 ayat kedua. c. Untuk pidana denda dalam buku I KUHP tidak ditentukan maksimumnya, hal mana ber arti harus dicari dalam pasal -pasal tindak pidana yang ber sangkutan dalam KUHP, atau dalam perundang-undangan lain apabila di atur diluar KUHP ( Vide pasal 103 KUHP ). 3. Stelsel pidana maksimum secara khusus ( Speciale Strafmaxima ), yaitu ditentukan secar a khusus untuk sesuatu pasal tindak pidana, maksimum ancaman pidananya. Atau jika hal itu diatur di luar KUHP, ditentukan maksimum pidana untuk sesuatu pasal atau beberapa pasal dalam perundang-undangan yang ber sangkutan. Apabila dikaji ketentuan pasal 12 KUHP, sebenarnya manfaatnya lebih banyak untuk pembuat undang -undang, karena sistem yang dianut dalam perundangan pidana ialah : bahwa pada pasal atau pasal -pasal ter tentu sudah s ecara langsung diancamkan pidana maksimum dengan memperhatikan ketentuan pasal 12 KUHP ters ebut, misalnya : 1) Untuk kejahatan yang dipandang ber at sudah langsung diancamkan pidana penjara yang terber at yaitu maksimum 15 tahun. Pasal 107 ( 1 ), 108, 124 ( 1 ), 187 ke-2, 338, 347 ( 2), 335 ( 2 ), 365 ( 3 ), 438, 439, 440, 441, 442, ds b. 2) Untuk kejahatan yang dipandang sangat berat, juga sudah diancamkan pidana penjar a yang melebihi tersebut di atas , yaitu maksimum 20 tahun dalam hal ancaman pidana penjar a di al ternatifkan dengan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup atau hanya dengan pidana penjara s eumur hidup saja. Demikian juga dalam hal concursus, recidi ve dan pemberatan yang ditentukan pada pasal -pasal 52, 52 a KUHP dan sebagainya dapat dilampaui menj adi maksimum 20 tahun pidana penjara. 3) Dan untuk tindak pidana selebihnya di ancamkan pidana yang maksimumnya lebih rendah dari yang dicantumklan pada pasal 12 KUHP ters ebut. Dua stelsel pemidanaan untuk perbarengan adalah : stelsel kumulasi dan stelsel absor si murni, sedangkan stelsel antara adalah stelsel kumulasi terbatas dan stelsel absorsi diper tajam. a. Stelsel Kumulasi murni atau stelsel penjumlahan murni . Menurut stelsel ini untuk setiap tindak pidana di ancamkan/dikenakan pidana masing-masing tanpa pengurangan. Jadi, apabila seseorang melakukan 3 tindak pidana yang masing -masing ancaman pidananya

Hukum pidana dan Tipikor

maksimum 5 bulan, 4 bulan, 3 bulan maka jumlah ( kumulasi ) maksimun ancaman pidana adalah 12 bulan b. Stelsel absorsi murni atau stelsel penyerapan murni. Menurut stelsel ini, hanya maksimun ancaman pidana yang terber at yang dikenakan dengan penger tian bahwa maksimum pidana lainnya ( sejenis atau tidak s ejenis ) diser ap oleh yang lebih tinggi. Penggunaan stelsel ini sukar dielakkan apabila salah satu tindak pidana diantaranya di ancam dengan pidana yang ter tinggi, misalnya pidana mati, pidana penjara s eumur hidup atau pidana penjara sementara maksimum 20 tahun. Akan tetapi dalam hal terjadi perbarengan tindakan jamak, di mana yang satu diancam dengan p idana penjara maksimum 9 tahun dan yang lainnya maksimum 4 tahun, dengan penggunaan stelsel ini seakan-akan tindak pidana lainnya itu dibiarkan tanpa penyelesaian secara hukum pidana. Karenanaya para sarjana pada umumnya cenderung untuk memeper tajam at au menambahnya s eper ti yang ter sebut di d berikut. c. Stelsel Kumulasi terbatas, atau stelsel kumulasi terhambat atau reduksi stelsel ; sistem ini dapat dikatakan s ebagai bentuk antara atau bentuk tengah dari ter sebut a dan b. artinya untuk setiap tindak pidana dikenakan masing-masing ancaman pidana yang ditentukan pidananya, akan tetapi dibatasi dengan suatu penamb ahan yang lamanya/jumlahnya ditentukan berbilang pecahan dari yang ter tinggi. Misalnya 2 tindak pidana yang masing -masing diancam dengan maksimum 6 dan 4 tahun. Apabi la ditentukan maksimum penambahan seper tiga dari yang ter tinggi, maka maksimum ancaman pidana untuk kedua tindakan pidana ters ebut adalah 6 tahun + ( sepertiga x 6 tahun ) = 8 tahun. d. Stelsel penyerapan dipertajam. Stelsel ini merupakan variant dar i stelsel kumulasi terbatas. Menurut stelsel ini tindak pidana yang lebih ringan ancaman pidananya tidak dipidana, akan tetapi di pandang sebagai keadaan yang member atkan bagi tindak pidana yang lebih berat ancaman pidananya. Penentuan ma ksimum pidana menurut stelsel ini hampir sama dengan tersebut c ( stelsel kumulasi tebatas ) , yaitu pidana yang diancamkan terberat ditambah dengan seper tiganya. 7.2 .FAKTOR YANG MEMPERINGAN 7.2.1 Percobaan (Poging) 1. Percobaan Menurut KUHP Per cobaan melakukan kejahatan diatur dalam Buku ke satu tentang Aturan Umum, Bab IV pasal 53 dan 54 KUHP. A. Pasal 53 (1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya per mulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata -mata disebabkan karena kehendaknya sendiri. (2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam per c obaan dikurangi seper tiga.

Hukum pidana dan Tipikor

(3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. (4) Pidana tambahan bagi per cobaan sama dengan kejahatan selesai. B. Pasal 54 Mencoba melakukan pel anggaran tidak dipidana. Kedua pasal tersebut tidak memberikan defenisi tentang apa yang dimaksud dengan per cobaan melakukan kejahatan (poging), yang selanjutnya dalam tulisan ini disebut dengan per cobaan. Jika mengacu kepada ar ti kata sehari -hari, percobaan itu diartikan sebagai menuju ke sesuatu hal, akan tetapi tidak sampai kepada hal yang dituju itu, atau dengan kata lain hendak berbuat sesuatu, sudah dimulai tetapi tidak selesai. Misalnya seseorang bermaksud membunuh orang tetapi orangnya tidak mati, seseorang hendak mencuri barang tetapi tida k sampai dapat mengambil barang itu (Soesilo, 1980:59). Satu-satunya penjelasan yang dapat diperoleh tentang pembentukan Pasal 53 ayat (1) KUHP adalah bersumber dari MvT yang menyatakan: Poging tot misdrijf is d an de begonnen maar niet voltooide uitvoering van het mis drijf, of wel de door een begin van uitvoering geopenbaar de wil om een bepaald misdrijf te plegen. ( Dengan demikian, maka per cobaan untuk melakukan kejahatan itu adalah pelaksanaan untuk melakukan su atu kejahatan yang telah dimulai akan tetapi ternyata tidak selesai, ataupun suatu kehendak untuk melakukan suatu kejahatan ter tentu yang telah di wujudkan di dalam suatu per mulaan pelaksanaan) (Lamintang, 1984: 511). Pasal 53 KUHP hanya menentukan bila (k apan) per cobaan melakukan kejahatan itu terjadi atau dengan kata lain Pasal 53 KUHP hanya menentukan s yarat -syarat yang harus dipenuhi agar seorang pelaku dapat dihukum karena bersalah telah melakukan suatu per cobaan. Syarat-s yarat tersebut adalah sebagai berikut: a. Adanya niat/kehendak dari pelaku; b. Adanya per mulaan pelaksanaan dari niat/kehendak itu; c. Pelaksanaan tidak s elesai semata -mata bukan karena kehendak dar i pelaku. Oleh karena itu agar seseorang dapat dihukum melakukan per cobaan melakukan kejahatan, ketiga syar at ters ebut harus terbukti ada padanya, dengan kata lain suatu per cobaan dianggap ada jika memenuhi ketiga syarat tersebut. 2. Percobaan Menurut RUU KUHP Nasional A. Pasal 17 (1) Per cobaan melakukan tindak pidana, di pidana jika pembuat telah mulai melakukan per mulaan pelaksanaan dar i tindak pidana yang dituju, tetapi pelaksanaannya tidak selesai atau tidak mencapai hasil atau akibat yang dilarang.

Hukum pidana dan Tipikor

(2) Dikatakan ada per mulaan pelaksanaan, jika pembuat telah melakukan: a. Perbuatan melawan hukum; b. Secar a objektif perbuatan itu langsung mendekatkan pada terjadinya tindak pidana; dan c. Secar a subjektif tidak diragukan lagi bahwa perbuatan yang dilakukan itu diniatkan atau ditujukan pada terjadinya tindak pidana. B. Pasal 18 (1) Jika setelah per mulaan pelaksan aan dilakukan, pembuat tidak menyelesaikan perbuatannya karena kehendaknya sendiri secara sukarela, maka pembuat tidak dipidana. (2) Jika setelah per mulaan pelaksanaan dilakukan, pembuat dengan kehendaknya sendiri mencegah ter capainya tujuan atau akibat perbuatannya, maka pembuat tidak dipidana. (3) Jika perbuatan s ebagaimana dimaksud dalam ayat (2) telah menimbul kan kerugian atau menurut peraturan perundang undangan telah merupakan tindak pidana tersendiri, maka pembuat dapat diper tangungjawabkan untuk tindak pidana ters ebut. C. Pasal 19 Per cobaan mel akukan tindak pidana yang diancam dengan pidana denda Kategori I tidak dipidana. D. Pasal 20 Jika tidak selesai atau tidak mungkin terjadinya tindak pidana disebabkan ketidakmampuan alat yang digunakan atau ketidakmampuan objek yang dituju, maka pembuat tetap dianggap telah melakukan per cobaan tindak pidana dengan ancaman pidana telah lebih dari (satu per dua) maksimum pidana yang diancamkan untuk tindak pidana yang dituju. Berdasar kan kepada Penjelasan Pasal 17 Rancangan Penjelasan KUHP Nasional diketahui ketentuan dalam Pasal 17 ini tidak memberikan defenisi tentang per cobaan, tetapi hanya men entukan unsur-unsur kapan seseor ang disebut melakukan per cobaan tindak pidana. Adapun unsur unsur tersebut adalah: a. Pembuat telah mulai melakukan per mulaan pelaksanaan tindak pidana yang dituju. b. Pelaksanaan itu tidak selesai atau tidak mencapai hasil atau akibat yang dilarang. 7.2.2 Medeplichtigheid (Membantu Melakukan) 1. Pengertian Medeplichtigheid adalah membantu melakukan. Di dalam KUHP diatur dalam Pasal 56 : Sebagai pembantu melakukan kejahatan dihukum : 1. Orang yang dengan sengaja membantu waktu kejahatan itu dilakukan. 2. Orang yang dengan s engaja memberi kes empatan ikhtiar atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu .

Hukum pidana dan Tipikor

2. Jenis membantu Menurut pasal tersebut pembantu kejahatan dapat diperinci menjadi 2 jenis yaitu : 1. Pembantu kejahatan yang dilakukan seti ap perbuatan yang merupakan perbuatan, per tolongan , perbuatan per tolongan a. Asal diberikan pada saat kejahatan dilakukan b. Berupa apapun baik materiil ( misal alat -al at untuk melakukan kejahatan ), maupun idiil ( misal tahu baheal berupa penerangan ) 2. Pembantu kejahatan yang yang melakukan tiap perbuatan , yang berupa per tolongan, perbuatan per tolongan, dimana : a. Asal diberikan sebelum kejahatan itu dilakukan oleh orang lain. b. Berupa ikhtiar s ebagaimana ditentukan secara liminatif oleh KUHP, yaitu yang berupa :  Kesempatan (Gelegenheid) A s eorang pembantu rumah tangga ,tahu bahwa B akab melakukan kejahatan berupa pencurian pada malam itu. Pada malam itu A sengaja membuka pintu rrumah itu, sehingga B dapat masuk rumah untuk mencuri.  Sarana (Middelen) A mengetahui B akan membunuh C, A dengan sengaja memberi kan B s enjata dengan maksud senjata itu digunakan untuk membunuh B.  Keterangan (Inlichtingen) A Seorang pembantu rumah tangga tahu benar B akan mencuri dalam rumah i tu. Kemudian A memberi keter angan kepada B bahwa p ada hari, jam ter tentu tidak ada dirumah. Atau memberi keterngan dimana maji kannya menyi mpan uang atau perhiasan. Yang menjadi soal dalam pasal 56 adalah : penempatan unsur dengan sengaja, yang ar tinya A pabila didalam perumusan sesuatu delik dalam KUHP dipergunakan unsur dengan sengaja maka unsur lain dalam delik ter sebut yang letaknya dibelakang unsur dengan sengaja diliputi oleh kesengajaan (Opzet). 3. Pembedaan Medeplicticheid aktif dan Pasif a. Medeplictigheid aktif Adalah memberi bantuan secara aktif, yaitu dalam ar ti menurut tafsiran tata bahasa sehari -hari dan menurut pasal 56 KUHP . b. Medeplichtigheid pasif Adalah apabila seseorang tidak berbuat sesuatu apa, akan tetapi walaupun demikian ia toh mengakibatkan oleh orang lain melakukan sesuatu kejahatan. Contoh : A melihat B melakukan kejahatan tapi A tidak berbuat apa -apa. Pada yang pasif ini yang jadi soal adalah siapa yang dianggap medeplichtigheid.

Hukum pidana dan Tipikor

Mengenai hal itu terdapat 2 pendirian yaitu : 1. Sempit : Dalam hal ini ses eorang hanya dapat disalahkan telah melakukan medeplichtigheid pasif apabila Berdasar kan Undang-Undang atau Perjanjian mempunyai kewajiban mencegah kejahatan . Misal : Penjaga gudang mempunyai beban mencegah kejahatan yang mungkin terjadi dalam gudang yang dijaganya. Berdasar hal itu, maka penjaga gudang bisa dipersalahkan apabila tidak dapat mencegah terjadinya kejahatan dalam gudang dan apabila dia mengetahui seseorang melakukan kejahatan dalam gudang. 2. Luas : Menurut sandar an ini yang dapat dipersalahkan melakukan medeplichticheid pasif adalah : setiap orang yang menurut kepatutan dalam masyarakat ber kewajiban untuk mencegah kejahatan dan bukan saja orang yang mempunyai kewajiban berdasar perjanjian . Misal : Menurut contoh penjaga gudang, apabila gudang di curi yang bisa jadi medeplichticheid bukan Cuma penjaga gudang tapi supir truk, kuli dan orang lain yang mengetahui kejadian itu. Tapi dalam kehidupan sehari -hari yang dipakai adalah medeplichticheid pasif s ecara sempit. 4. Hukuman terhadap Medeplichtigen Ditinjau pada pasal 57 yaitu : 1. Maksimum hukuman pokok yang diancamkan atas kejahatan , dikurangi sepertiga bagi si pembantu, 2. Jika kejahatan dihukum mati atau seumur hidup maka untuk pembantu dijatuhi hukuman penjara selama -lamanya 15 tahun 3. Hukuman tambahan untuk kejahatan dan me mbantu sama saja 4. Pada penentuan hukuman hanya di perhatikan perbuatan yang sengaja dimudahkan atau dibantu oleh si pembantu serta akibat perbuatan itu. Per tanggung jawaban hukum pidana bagi medeplichtiheid Perbuatan medeplichtigheid digabung dengan perbuata n pelaku utama (heef dader ) 1. Membatasi per tanggung jawaban Medeplichti gheid Adalah Hanya diper tanggungjawabkan ter hadap perbuatannya yang merupakan sekedar perbuatan bantuan terhadap pelaku utama. 2. Memperluas per tanggungjawaban Medeplichticheid Sebaliknya per tanggungjawaban medeplichtigheid dapat diperluas yaitu, Ia juga diper tanggungjawabkan terhadap segala akibat, yang mungkin timbul akibat bantuannya. 5. Medeplictigheid dalam Pelanggaran ( Overtrading ) tidak dihukum. Menurut pasal 60 Memberi bantuan terhadap pelanggaran tidak dapat dihukum. Berhubungan dengan ketentuan ini menjadi per tanyaan, apa s ebabnya medeplichti gheid dalam kejahatan dapat dihukum. Alasan pembuat Undang undang untuk mengkukum medeplighti gheid dalam s oal kejahatan adalah : Bahwa dalam pelanggaran kepentingan hukum yang dapat dilanggar adalah tidak begitu penting

Hukum pidana dan Tipikor

Jika dalam hubungan ini ditinjau kembali per umpamaan yang ter dapat dalam pasal 56 maka dinyatakan dengan tegas bahwa : sebagai medeplichti gheid terhadap suatu ke jahatan Berhubung dengan itu, maka apabila pasal 60 ini dihubungkan dengan pasal 56 dapat timbul kesan bahwa ketentuan yang ter dapat dalam pasal 60 adalah berlebihan. Kesan ini dapat timbul , oleh s ebab pasal 56 dapat diambil kesimpulan bahwa : 1. Yang dap at dihukum hanyalah medeplichtige terhadap suatu kejahatan. 2. Berdasar atas ketentuan itu medeplichtigheid terhadap pelanggar an tidak dapat dihukum. Manfaat dari pasal 60 Pembuat undang-undang yang lebih rendah ti ngkatannya daripada pembuat undang-undang pusat dapat dicegah untuk membuat ketentuan yang mengandung ancaman hukuman terhadap medeplichtigheid terhadap pelanggaran. 7.2.3 Kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang belum cukup umur / kurang dari 16 tahun (minderjarigheid) Dalam pasal 45-47 KUH Pidana disebutkan bahwa dalam menuntut orang yang belum cukup umur ( minderjari g) karena melakukan perbuatan sebelum umur enam belas tahun maka hakim dapat menentukan hukuman antara lain: a. tanpa pidana apapun dan memerintahkan agar yang bersalah ters ebut dikembalikan kepada orang tuanya, atau walinya atau diser ahkan kepada pemerintah b. dipidana dengan hukuman penjara maksimum dikurangi seper tiga; atau penjara lima belas tahun jika kejahatan yang ia lakukan diancam pidan a maksimum hukuman mati atau penjara se umur hidup.

Hukum pidana dan Tipikor

8. Ajaran kausalitas dalam hukum pidana : 8.1. ajaran kausalitas dalam hukum pidana 8.2. Macam-ma cam ajaran kausalitas (von Buri,Traeger ) 8.3. Ajaran yang menginvidualiseer dan menggeneraliseer.

AJARAN KAUSALITAS DALAM HUKUM PIDANA 8.1 AJARAN KAUSALITAS DALAM HUKUM PIDANA Setiap peristiwa sosial menimbul kan satu atau beberapa peristiwa s osial yang lain, demikian s eterusnya; yang satu mempengaruhi yang lain sehingga merupakan satu lingkar an s ebab akibat. Hal i ni disebut hubungan kausal yang artinya adalah sebab akibat atau kausalitas. Delik atau actus reus hanya ada pada delik yang mensyar atkan adanya akibat ter tentu, yaitu: a. Delik materiel, misalnya pembunuhan (pasal 338 KUHP), penipuan (pasal 378 KUHP) b. Delik culpa, misalnya karena kelalaiannya mengakibatkan kematian orang lain (pasal 359 KUHP), karena kelalaiannya menyebabkan lukanya orang lain (pasal 360 KUHP) c. Delik yang dikualifikasikan karena akibatnya, misalnya penganiayaan yang berunsur kan luka berat (pasal 351 KUHP),dan matinya orang lain (pasal 351 ayat 3 KUHP) MACAM-MACAM AJARAN KAUSALITAS (VON BURI, TRAEGER) a. eori conditio sine qua non (syarat-syar at tanda mana tidak) Menurut Von Buri bahwa s emua faktor, yaitu semua syarat yang turut ser ta menyebabkan suatu aki bat dan yang tidak dapat weggedacht (dihilangkan) dari rangkaian faktor -faktor yang bersangkutan harus dianggap causa (sebab) akibat itu. Disebut juga sebaga teori ekivalen (acquivalente -leer) karena menurut Von Buri antara bedingung (syar at) dengan causa (sebab) itu tidak ada perbedaan. Kritik atas teori ini : Von Buri tidak memperhatikan hal -hal yang sifatnya kebetulan terjadi. b. Penganut teori Von Buri, yaitu Van Hamel, dan Reicsgericht Va n Hamel berpendapat bahwa pada pri nsipnya teori Von Buri dapat diterima walaupun harus diimbangi dengan estriksi (pembatasan).

8.2

8.3 AJARAN YANG MENGINDIVIDUALISEER DAN MENGGENERALISIR Teori Mengindividuallisasikan ( individualiserends theorien ) 1. eory der meist wirksame bedingung dar i Birkmeyer Birkmeyer menyatakan bahwa didalam rangkaian syarat -syarat yang tidak dapat dihilangkan untuk timbulnya akibat, lalu dicarinya syar at manakah yang

Hukum pidana dan Tipikor

dalam keadaan ter tentu itu, yang paling banyak membatu untuk terjadinya akibat ( meist wirksam ) Keberata n atas teori ini : y Bagaimana mengukur kekuatan suatu syarat untuk menentukan mana yang paling kuat, yang paling banyak membantu pada timbulnya aki bat y Musabab adalah syarat yang menurut sifatnya menimbulkan akibat. Jadi bukan mana yang kuantitas namun mana yang k ualitatif. 2. Ubergewichts theory dari Karl Binding Menurut teori ini, musabab adalah syarat yang mengadakan ketentuan terhadap syarat -syarat positif untuk melebihi syar at -syarat negatif. 3. heorie des letzten bedingung dari Or tmann Bahwa faktor yang terakhir yang mematahkan keseimbangan yang merupakan faktor. Teori yang menggeneralisasi, dibagi 3 yaitu : 1) eori adequaat dari Van Kries Adequaat ( sebanding, seimbang, sepadan) Dikai tkan dengan delik, maka perbuatan harus sepadan, seimbang atau sebanding dengan akib at yang s ebelumnya dapat diketahui, setidak tidaknya dapat diramal kan dengan pasti oleh pembuat. Disebut juga sebagai teori generalisasi yang subyektif adequaat, oleh karena menurut Von Kries yang menjadi sebab dari rangkaian faktor -faktor yang berhubungan dengan ter wujudnya delik, hanya satu s ebab saja yang dapat diterima yaitu yang sebelumnya telah dapat diketahui oleh si pembuat. 2) eori obyektif nachttraglicher prognose dari Rumelling Bahwa yang menjadi sebab atau akibat adalah faktor objektif yang diramalkan dari rangkaian faktor -faktor yang ber kaitan dengan ter wujudnya delik setelah delik itu terjadi. Tolok ukur teori ter sebut adalah bukan ramalan tetapi menetapkan harus timbul suatu aki bat. 3) eori adequaat dari Tr aeger Bahwa akibat dari delik haruslah in het algemeen voorzienbaar yang artinya adalah pada umumnya dapat disadari sebagai suatu yang mungkin sekali dapat terjadi. Keanekaragaman hubungan sebab akibat kadangkala meni mbul kan berbagai permasalahan yang tidak pa sti, oleh karena tidak mudahlah untuk menentukan mana yang menjadi sebab dan mana yang menjadi akibat, terutama apabila banyak ditemukan faktor berangkai yang meni mbul kan akibat. Misalnya : A menikam B dan karenanya terjadi luka berat di lengannya dan pada waktu itu diantar ke Rumah Sakit ia muntah darah pula karena ia berpenyakit TBC. Di Rumah Sakit ia meninggal dunia karena terlalu banyak mengeluar kan banyak darah baik karena luka maupun karena karena muntah darah itu. Faktor mana yang menjadi sebab kemat iannya? karena ditikam atau karena penyakit TBC itu? Bersandar pada sulitnya penentuan sebab akibat yang mutlak mengingat banyaknya rangkaian sebab-s ebab dalam hubungannya dengan pener apan ilmu hukum, menimbulkan beber apa aliran atau dalam teori dalam h ubuangan

Hukum pidana dan Tipikor

kausalitas ter sebut. Beberapa teori itu diantaranya adalah : 1. Teori Von Buri yang bernama teori Conditio Sine Qua Non (Syarat tanpa mana tidak) Toeri ini adalah teori yang per tama kali dicetuskan pada tahun 1873 oleh Von Buri. Menurut Von Buri s emua faktor, yaitu semua syarat yang turut s erta menyebabkan suatu akibat dan yang tidak dapat dihilangkan dari rangkaian faktor-faktor yang bersangkutan harus dianggap causa (sebab) akibat itu. Tiap faktor yang dapat dihilangkan dari rangkaian faktor -faktor yang adanya tidak perlu untuk terjadinya akibat yang bersangkutan, tidak diberi nilai. Demikian s ebaliknya tiap faktor yang tidak dapat dihilangkan dari rangkaian faktor-faktor tersebut, yaitu yang adanya perlu untuk terjadinya akibat yang bersangkutan , maka teori Von Buri disebut pula dengan teori Conditio Sine Qua Non. Teori ini juga dikenal dengan teor i ekuivalensi (aequivalentie -leer) karena menurut Von Buri semua faktor yang tidak dapat dihilangkan itu harus diberi nilai sama. Disamping itu teor i i ni juga disebut dengan Bedingungstheorie, karena baginya tidak ada perbedaan antara syarat (bedingung) dan causa (sebab). Kemudian dalam per kembangannya teori Von Buri banyak menimbulkan berbagai tanggapan dari kalangan ahli hukum. Beber apa tanggapan/ keberatan/ per tentangan itu antara lain ; a. Penganut teori Von Buri yaitu Van Hammel berpendapat bahwa pada prinsipnya teori Von Buri dapat diterima walaupun harus diimbangi dengan restriksi (pembatasan). Restriksi tersebut dapat ditemukan dalam pelajaran tentang kes engajaan dan kealpaan (O pzet en Schuldleer). b. Dengan menyamar atakan nilai tiap -tiap causa dengan syarat, meskipun hal itu secara logis adalah benar, tapi itu ber tentangan dengan pandangan umum dalam pergaulan masyarakat, yang justru membedakan antara syar at dan causa. c. Keberatan yang lain adalah bahwa hubungan kausal tak mungkin dikorogir oleh ajaran tentang kesalahan, sebab yang per tama yang letaknya dalam lapangan lahir, sedangkan yang belakangan ada dalam lapangan batin. Jadi, kalau toh akan mengada kan batasan, hal itu harus di lapangan s ein juga. Dan pada akhirnya, dengan tidak mengadakan perbedaan antara syarat dan causa, maka s ekalipun secara teoritis itu betul, teori Conditio Sine Qua Non tidaklah sesuai dengan praktek, karena dalam pergaulan mas yar akat justru diadakan perbedaan antara syar at dan causa. Juga dapat dikatakan, bahwa apa yang di pandang sebagai causa oleh teori ini untuk praktek adalah terlalu luas. Karena itu harus diadakan batasan dengan mengadakan perbedaan antara mana yang menjadi causa dan man yang syarat belaka 2. Teori Traeger Traeger memberi ajaran yang berlainan sekali dengan ajaran Von Buri. Ia mengadakan perbedaan antar a rangkaian -rangkaian perbuatan dan diantara perbuatan-perbuatan itu harus dicari yang manakah yang menimbulkan akibat yang dilarang dan diancam dengan hukum oleh Undang-Undang. Menurut ajarannya itu, maka ia tidak menganggap r angkaian perbuatan itu s ebagai syar at daripada timbulnya akibat, akan tetapi ia membedakan syarat dan alasan (Voor war de en Aanleiding). Dalam pada itu Traeger hanya mencari

Hukum pidana dan Tipikor

satu masalah saja, yang harus dianggap s ebagai s ebab daripada akibat. Para penganut Traeger dalam mencari satu perbuatan guna menentukan sebab daripada akibat yang timbul, menggunakan dua jenis cara yaitu :  Individualiserende Theorie Ajaran yang mengindividuliser dan menggeneraliseer (Indi vidualiserende theorien) dikembangkan oleh Birkmeyer. Birkmeyer berpangkal pada dalil Ur sache Is t Die Wirksamste Bedingung yaitu bahwa yang menjadi faktor dari penyebab suatu kejadian hukum adalah faktor (kejadian) yang paling berpegaruh atas terjadinya delik yang bersangkutan. Teori individualisir ini mengadakan batasan secara pandangan khusus, yaitu dengan melihat suatu kasus secara konkrit sehingga pendirian muncul setelah timbul akibat. Teori ini juga mengalami kekurangan da lam hal suatu kejadian disebabkan oleh banyak faktor dimana masi ng-masing faktor memiliki pengaruh yang sama kepada suatu kejadian ters ebut. A tau juga bila sifat atau corak kejadian dalam rangkaian faktor tersebut tidak sama maka akan timbul kesulitan dalam mengidentifikasi faktor mana yang benar-benar memiliki pengaruh paling besar dalam kejadian tersebut. Kohler mengajukan keberatan terhadap teor i ini dengan menyatakan bahwa bukanlah faktor yang secara kuantitatif lebih banyak yang dikatakan paling berpe ngaruh terhadap suatu kejadian, namun faktor yang secara kualitas lebih baiklah yang lebih utama menjadi penyebab atau akibat dari suatu kejadian. Teori individualier ini juga mencakup :  Teori Ueber gewi cht yang dikemukakan oleh Binding yang juga dianut oleh Schepper.  Theorie Des Letzten Bedingung yang dikemukakan oleh Ortmann. Teori ini mengajakan bahwa hal terakhir yang mematahkan keseimbanganlah yang merupakan faktor utama, namun kesulitannya adalah dalam menentukan mana yang merupakan faktor terakhir yang mematahkan keseimbangan tersebut.  Generaliserende Theorie Pada dasarnya teori generalisir ini menyatakan bahwa dalam menentukan penyebab atau akibat dari suatu delik maka harus dipilih salah satu faktor saja yaitu yang menurut pengalaman manusia pada umumnya dipandang sebagai causa ( Penyebab). Teori Gener alisir ini mengadakan batasan-batasan yang umun atau abstr ak, s ehingga tidak terikat pada per kara ter tentu saja. Teori ini mengambil pendirian pada saat s ebelum kejadian tersebut timbul. Teori generalisir ini terbagi manjadi 3, yaitu :  eori Adaequaat dari Von Kries (teori generalisasi yang subjektif adauquaat). Yang menjadi sebab dari rangkaian faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya delik, hanya satu sebab saja yang dapat diterima yaitu yang seb elumnya telah dapat diketahui oleh si pembuat. Disebut subjektif karena teori ini melihat sebab atau akibat menurut penilaian subjektif pelaku dari suatu delik s ebelum delik tersebut terjadi.

Hukum pidana dan Tipikor

eori objektif (Nachttraglicher Prognose) oleh Rumeling .

Bahwa yang menjadi sebab atau akibat dari suatu delik adalah faktor objaktif yang diramal kan dari rangkaian faktor -faktor yang ber kaitan dengan ter wujudnya delik setelah delik ter sebut terjadi. Tolak ukur teori ter sebut bukan ramalan tapi menetapkan harus timbul suatu akibat.  eori Ada equaat dari Tra eger. Bahwa akibat delik haruslah pada umumnya dapat disadari s ebagai suatu yang mungkin saja dapat terjadi.

Anda mungkin juga menyukai