Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam beberapa tahun terakhir ini kita kerapkali membaca berita mengenai kasus
perkosaan atau perampokan/pembunuhan yang disertai perkosaan. Kasus-kasus semacam
ini biasanya memiliki nilai berita yang tinggi dan akan diliput oleh berbagai media massa.
Di pihak lain, masyarakat yang mengetahui berita semacam ini umumnya ikut terlibat dan
seringkali merasa gemas dan mengutuk perbuatan itu. Di masyarakat, kerap terjadi
peristiwa pelanggaran hukum yang menyangkut tubuh dan nyawa manusia. Untuk
pengusutan dan penyidikan serta penyelesaian masalah hukum ini di tingkat lebih lanjut
sampai akhirnya pemutusan perkara di pengadilan, diperlukan bantuan berbagai ahli di
bidang terkait untuk membuat jelas jalannya peristiwa serta keterkaitan antara tindakan
yang satu dengan yang lain dalam rangkaian peristiwa tersebut.
Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya
adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara
tersebut. Hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum dalam memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mengungkap suatu perkara
baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan dan penuntutan maupun pada
tahap persidangan perkara tersebut.
Usaha-usaha yang dilakukan oleh para penegak hukum untuk mencari kebenaran
materiil suatu perkara pidana dimaksudkan untuk menghindari adanya kekeliruan dalam
penjatuhan pidana terhadap diri seseorang, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Undang-
undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pasal 6 ayat 2
yang menyatakan: “Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan
karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang mendapat keyakinan bahwa
seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang
dituduhkan atas dirinya”.
Menurut ketentuan hukum acara pidana di Indonesia, mengenai permintaan bantuan
tenaga ahli diatur dan disebutkan didalam KUHAP. Untuk permintaan bantuan tenaga ahli
pada tahap penyidikan disebutkan pada pasal 120 ayat (1), yang menyatakan: “Dalam hal
penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki
keahlian khusus”.

-1-
Sedangkan untuk permintaan bantuan keterangan ahli pada tahap pemeriksaan
persidangan, disebutkan pada pasal 180 ayat (1) yang menyatakan: “Dalam hal diperlukan
untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua
sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang
berkepentingan”.
Suatu kasus yang dapat menunjukkan bahwa pihak Kepolisian selaku aparat penyidik
membutuhkan keterangan ahli dalam tindakan penyidikan yang dilakukannya yaitu pada
pengungkapan kasus perkosaan. Kasus kejahatan kesusilaan yang menyerang kehormatan
seseorang dimana dilakukan tindakan seksual dalam bentuk persetubuhan dengan
menggunakan ancaman kekerasan atau kekerasan ini, membutuhkan bantuan keterangan ahli
dalam penyidikannya. Keterangan ahli yang dimaksud ini yaitu keterangan dari dokter yang
dapat membantu penyidik dalam memberikan bukti berupa keterangan medis yang sah dan
dapat dipertanggungjawabkan mengenai keadaan korban, terutama terkait dengan
pembuktian adanya tanda-tanda telah dilakukannya suatu persetubuhan yang dilakukan
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Dengan demikian upaya pembuktian secara kedokteran forensik pada setiap kasus
kejahatan kesusilaan, seperti perkosaan, sebenarnya terbatas di dalam upaya pembuktian
ada tidaknya tanda-tanda persetubuhan, tanda-tanda kekerasan, perkiraan umur, serta
pembuktian apakah seseorang itu memang sudah pantas atau sudah mampu untuk
dikawini atau tidak.
Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara tertulis dalam
bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan visum et repertum. Menurut
pengertiannya, visum et repertum diartikan sebagai laporan tertulis untuk kepentingan
peradilan (pro yustisia) atas permintaan yang berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap
segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan
sumpah pada waktu menerima jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-
baiknya.

-2-
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Pemerkosaan


Pemerkosaan merupakan bagian dari kejahatan seksual, yang berasal dari bahasa
latin yaitu rapere, yang artinya menangkap atau mengambil dengan paksa. Kata-kata
tersebut secara murni tidak memiliki konotasi seksual dan masih dipergunakan secara
luas dalam bahasa Inggris. Pemerkosaan adalah suatu tindakan kriminal di mana si
korban dipaksa untuk melakukan aktivitas seksual, khususnya penetrasi dengan alat
kelamin, di luar kemauannya sendiri. Istilah pemerkosaan dapat pula digunakan dalam
arti kiasan, misalnya untuk mengacu kepada pelanggaran yang lebih umum seperti
perampokan, penghancuran, penangkapan atas warga masyarakat yang terjadi pada saat
sebuah kota atau negara dilanda perang. Pemerkosaan sekarang dikenal sebagai sebuah
tindak kriminal perilaku penyerangan terhadap suatu anggota dari suatu kelompok
seksual oleh suatu anggota kelompok seksual lainnya. Dalam pengertian lain,
pemerkosaan adalah segala bentuk pemaksaan hubungan seksual.
Di dalam kebanyakan hukum tertulis, kasus tindak kriminal pemerkosaan jelas
terjadi apabila terdapat persetubuhan (atau terjadi penyerangan) tanpa adanya persetujuan
yang nyata dari salah satu pihak yang terlibat. Persetubuhan ini sering diartikan sebagai
penetrasi penis ke dalam anus atau vagina. Namun bentuk perkosaan tidak selalu
persetubuhan, akan tetapi segala bentuk serangan atau pemaksaan yang melibatkan alat
kelamin. Oral seks, anal seks (sodomi), perusakan alat kelamin perempuan dengan benda
adalah juga perkosaan. Perkosaan juga dapat terjadi dalam sebuah pernikahan. Sedangkan
dalam dalam Pasal 285 KUHP disebutkan bahwa: ”barangsiapa dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan,
diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun”.
Pemerkosaaan tidak hanya menghilangkan keperawanan seorang perempuan,
namun telah memberi dampak besar bagi korban antaranya; (1) pengucilan dalam
keluarga, (2) pengucilan dalam masyarakat, (3) hilangnya rasa percaya diri korban
dikarenakan kesucian sebagai salah satu indentitas diri perempuan telah hilang, dan (4)

-3-
hilangnya hak dalam mengeyam pendidikan. Dampak psikologis bagi korban sangat
besar, korban depresi dan juga bisa berakhir bunuh diri akibat beban mental yang dialami.
Pengertian pasal 285 KUHP, dimana perkosaan didefinisikan ”bila dilakukan
hanya di luar perkawinan”. Selain itu kata-kata bersetubuh memiliki arti bahwa secara
hukum perkosaan terjadi pada saat sudah terjadi penetrasi. Pada saat belum terjadi
penetrasi maka peristiwa tersebut tidak dapat dikatakan perkosaan akan tetapi masuk
dalam kategori pencabulan.

2.2 Sejarah Mengenai Pemerkosaan


Di zaman kuno hingga akhir Abad Pertengahan, pemerkosaan pada umumnya tidak
dianggap sebagai kejahatan terhadap seorang gadis atau perempuan, melainkan lebih kepada
pribadi sang laki-laki yang "memilikinya". Jadi, hukuman atas pemerkosaan seringkali
berupa denda, yang harus dibayarkan kepada sang ayah atau suami yang mengalami
"kerugian" karena "harta miliknya" "dirusak". Posisi ini kemudian diubah di banyak
lingkungan budaya karena pandangan bahwa, seperti halnya sang "pemilik", si perempuan itu
sendiripun mestinya ikut mendapatkan ganti ruginya. Dalam hukum zaman Romawi,
pemerkosaan diklasifikasikan sebagai suatu crimen vis, "kejahatan penyerangan." Berbeda
dengan pencurian atau perampokan, pemerkosaan dianggap sebagai suatu “kesalahan
publik” iniuria publica.

Gambar 1.
The Rape of Proserpine

-4-
Pemerkosaan dalam peperangan juga dapat dilihat terjadi di zaman kuno sehingga
disebutkan pula di dalam Alkitab, misalnya di dalam kisah tentang kaum perempuan yang
diculik sebagai hadiah kemenangan. Tentara Yunani, Kekaisaran Persia dan Kekaisaran
Romawi, secara rutin memperkosa kaum perempuan maupun anak-anak lelaki di kota-kota
yang ditaklukkan. Perilaku yang sama masih terjadi bahkan hingga tahun 1990-an, ketika
pasukan-pasukan Serbia yang menyerang Bosnia dan Kosovo, melakukan kampanye yang
penuh perhitungan dengan memperkosa kaum perempuan dan anak-anak lelaki di daerah-
daerah yang mereka kuasai.
Hal yang sama pun terjadi di Indonesia. Kabarnya di Timor Timur, ketika masih
menjadi bagian Indonesia, kaum perempuannya seringkali diperkosa sebagai bagian dari
perang psikologis untuk menekan semangat untuk berontak. Demikian pula dalam Kerusuhan
Mei 1998, dilaporkan banyak kaum perempuan keturunan Tionghoa yang diperkosa dan
dibunuh sebagai bagian dari strategi untuk mengancam mereka.
Pemerkosaan, sebagai strategi perang, dilarang oleh hukum militer yang disusun oleh
Richard II dan Henry V (masing-masing tahun 1385 dan 1419). Hukum-hukum ini
merupakan dasar untuk menjatuhkan hukuman dan mengeksekusi para pemerkosa pada masa
Perang Seratus Tahun (1337-1453).

2.3 Berbagai Jenis Pemerkosaan


Menurut KUHP pasal 285 perkosaan adalah dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan menyetubuhi seorang wanita di luar perkawinan. Termasuk dalam kategori
kekerasan disini adalah dengan sengaja membuat orang pingsan atau tidak berdaya (pasal
89 KUHP). Hukuman maksimalnya adalah 12 tahun penjara.
Terdapat berbagai jenis pemerkosaan yang pada umumnya dikategorikan
berdasarkan hubungannya pada situasi dimana hal tersebut terjadi, jenis kelamin atau
karakteristik si korban, dan/atau jenis kelamin si pelaku. Jenis-jenis pemerkosaan yang
lain termasuk diantaranya adalah: perkosaan pada saat berkencan (date rape),
perkosaan yang dilakukan oleh suatu gang/kelompok (gang rape), perkosaan dalam
perkawinan (marital rape), pemerkosaan dibawah umur (Statutory rape) dan lain
sebagainya. Sangatlah penting untuk diketahui bahwa hampir seluruh jenis penelitian dan
kasus perkosaan yang dilaporkan selama ini adalah terbatas pada bentuk perkosaan antara
laki-laki dan perempuan walaupun diketahui kejadian pemerkosaan sesama jenis juga

-5-
terjadi dan telah tertuang dalam pasal 292 KUHP, yaitu terdapat ancaman hukuman bagi
seseorang yang cukup umur yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang
sama kelaminnya yang belum cukup umur.

2.4 Undang-Undang Tentang Kejahatan Seksual


Persetubuhan yang merupakan kejahatan seperti yang dimaksudkan oleh undang-
undang, dapat dilihat pada pasal-pasal yang tertera pada bab XIV KUHP, yaitu bab
tentang kejahatan terhadap kesusilaan; yang meliputi baik persetubuhan di dalam
perkawinan maupun persetubuhan di luar perkawinan.

KUHP pasal 284


(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
1a. Seorang pria telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui,
bahwa pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek) berlaku baginya.
b. Seorang wanita telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui, bahwa
pasal 27 BW (Burgelyk Wetboek) berlaku baginya.
2a. Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui, bahwa
yang turut bersalah telah kawin.
b. Seorang wanita tidak kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu padal
diketahui olehnya, bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW
(Burgerly Wetboek) berlaku baginya.
(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan
bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tempo tiga bulan diikuti dengan
permintaan bercerai atau pisah meja dan tempat tidur, karena alasan itu juga.
(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum
dimulai.
(5) Jika bagi suami istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan ini tidak diindahkan selama
perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum keputusan yang
menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.

-6-
BW pasal 27
Dalam waktu yang sama seorang laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang
perempuan sebagai istrinya, seorang perempuan hanya satu orang laki sebagai suaminya.

KUHP pasal 285


Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita
bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan
pidana penjara paling lama dua belas tahun.

KUHP pasal 286


Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui
bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.

KUHP pasal 287


(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal
diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau
kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umurnya wanita belum
sampai dua belas tahun atau jika ada salah suatu hal tersebut pasal 291 dan pasal 294.

KUHP pasal 288


(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di dalam perkawinan, yang diketahui
atau sepatutnya harus diduga bahwa belum mampu dikawin, diancam, apabila
perbuatan mengakibatkan luka-luka dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama
delapan tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

-7-
KUHP pasal 289
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk
melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena perbuatan yang
menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana pejara paling lama sembilan tahun.

KUHP pasal 290


Diancam dengan pidana paling lama tujuh tahun:
1: barang siapa melakukan perbuatan cabul, dengan seorang padahal diketahui, bahwa
orang itu pingsan atau tidak berdaya;
2: barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahui atau
sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalu umurnya
tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin.
3: barang siapa membujuk seorang yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa
umurnya belum lima belas tahun atau kalu umurnya tidak ternyata, bahwa belum
mampu dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau
bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain.

KUHP pasal 291


(1) Jika salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 286, 287, 289, dan 290
mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama 12 tahun.
(2) Jika salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 285, 286, 287, dan 290 itu
mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

KUHP pasal 292


Orang yang cukup umur, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sama
kelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa belum cukup umur,
deancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

KUHP pasal 293


(1) Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan
perbawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan menyesatkan sengaja

-8-
menggerakkan seorang belum cukup umur dan baik tingkahlakunya, untuk
melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang
belum cukup umurnya itudiketahui atau selayaknya harus diduga, diancam dengan
pidana penjara lima tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakuan atas pngaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan
kejahatan itu.
(3) Tenggang tersebut dalam pasal 74, bagi pengaduan ini adalah masing-masing 9 bulan
dan 12 bulan.

KUHP pasal 294


Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya,
anak di bawah pengawasannya, yang belum cukup umur, atau dengan orang yang belum
cukup umur pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya,
diancam dengan pidana penjarapaling lama tujuh tahun:
1: pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah
bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan
kepadanya:
2: seorang pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara,
tempat pekerjaan negara, tempat pemudikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit
ingatan atau lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang
dimasukkan ke dalamnya.

KUHP pasal 295


(1) Diancam:
1: dengan pidana penjara paling lama 5 tahun, barang siapa dengan sengaja
menghubungkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh anaknya,
anak tirinya, anak angkatnya, atau anak di bawah pengawasannya yang belum
cukup umur, atau oleh orang yang belum cukup umur yang pemeliharaannya,
pendidikan, atau penjagaannya diserahkan kepadanya, atau pun oleh bujangnya
atau bawahannya yang belum cukup umur, dengan orang lain;

-9-
2: dengan pidana penjara paling lama empat tahun, barang siapa dengan sengaja
menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul kecuali tersebut ke-1 di atas
yang dilakukan oleh orang yang diketahui belum cukup umurnya atau yang
sepatutnya harus diduga demikian, dengan orang lain.
(2) Jika yang bersalah, melakukan keahatan itu sebagai pencaharian atau kebiasaan, maka
pidana dapat ditambah sepertiga.

KUHP pasal 296


Barang siapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh
orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencaharian atau kebiasaan,
diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan, atau denda paling
banyak seribu rupiah.

2.5 Pemeriksaan dan Pembuktian dalam Kasus Pemerkosaan


Dalam sistim peradilan yang dianut negara kita, seorang hakim tidak dapat
menjatuhkan hukuman kepada seseorang terdakwa kecuali dengan sekurangnya dua alat
bukti yang sah ia merasa yakin bahwa tindak pidana itu memang telah terjadi (pasal 183
KUHAP). Sedang yang dimaksud dengan alat bukti yang sah adalah keterangan saksi,
keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa (pasal 184 KUHAP).
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka pada suatu kasus perkosaan dan kejahatan
seksual lainnya perlu diperjelas keterkaitan antara:
1) bukti-bukti yang ditemukan di tempat kejadian perkara,
2) pada tubuh atau pakaian korban,
3) pada tubuh atau pakaian pelaku dan
4) pada alat yang digunakan pada kejahatan ini (yaitu penis).

2.5.1 Kendala Pembuktian dalam Kasus Pemerkosaan


Keterkaitan antara berbagai faktor inilah yang seringkali dijabarkan dalam prisma
(segiempat) bukti dan merupakan salah satu hal yang dapat menimbulkan keyakinan
hakim. Pada banyak kasus perkosaan keterkaitan empat faktor ini tidak jelas atau tidak

- 10 -
dapat ditemukan sehingga mengakibatkan tidak timbul keyakinan pada hakim yang
bermanifestasi dalam bentuk suatu hukuman yang ringan dan sekadarnya.
Beberapa hal yang dapat mengakibatkan terjadinya hal ini adalah hal-hal sbb:
a. Masalah keutuhan barang bukti.
b. Masalah tehnis pengumpulan benda bukti
c. Masalah tehnis pemeriksaan forensik dan laboratorium
d. Masalah pengetahuan dokter pemeriksa
e. Masalah pengetahuan aparat penegak hukum

a. Masalah keutuhan barang bukti


Seorang korban perkosaan setelah kejadian yang memalukan tersebut umumnya
akan merasa jijik dan segera mandi atau mencuci dirinya bersih-bersih. Seprei yang
mengandung bercak mani atau darah seringkali telah dicuci dan diganti dengan seprei
yang baru sebelum penyidik tiba di TKP. Lantai yang mungkin mengandung benda bukti
telah disapu dan dipel terlebih dahulu agar "rapi" kelihatannya bila polisi datang. Ketika
korban akan dibawa ke dokter untuk diperiksa dan berobat seringkali ia mandi dan/atau
mengganti pakaiannya terlebih dahulu dengan yang baru dan bersih. Hal-hal semacam ini
tanpa disadari akan menyebabkan hilangnya banyak benda bukti seperti cairan/bercak
mani, rambut pelaku, darah pelaku dsb yang diperlukan untuk pembuktian di pengadilan.
Adanya kelambatan korban untuk melapor ke polisi karena perasaan malu dan ragu-ragu
juga menyebabkan hilangnya benda bukti karena berlalunya waktu.

b. Masalah teknis pengumpulan benda bukti


Pengolahan TKP dan tehnik pengambilan barang bukti merupakan hal amat
mempengaruhi pengambilan kesimpulan. Pada suatu kejadian perkosaan dan kejahatan
seksual lainnya penyidik mencari sebanyak mungkin benda bukti yang mungkin
ditinggalkan di TKP seperti adanya sidik jari, rambut, bercak mani pada lantai, seprei
atau kertas tissue di tempat sampah dsb.
Tidak dilakukannya pencarian benda bukti, baik akibat kurangnya pengetahuan,
kurang pengalaman atau kecerobohan, dapat mengakibatkan hilangnya banyak data yang
penting untuk pengungkanan kasus. Pada pemeriksaan terhadap tubuh korban cara

- 11 -
pengambilan sampel usapan vagina yang salah juga dapat menyebabkan hasil negatif
palsu. Pada persetubuhan dengan melalui anus (sodomi) pengambilan bahan usapan
dengan kapas lidi bukan dilakukan dengan mencolokkan lidi ke dalam liang anus saja
tetapi harus dilakukan juga pada sela-sela lipatan anus, karena pada pengambilan yang
pertama yang akan didapatkan umumnya adalah tinja dan bukan sperma.
Adanya bercak mani pada kulit, bulu kemaluan korban yang menggumpal atau
pakaian korban, adanya rambut pada sekitar bulu kemaluan korban, adanya bercak darah
atau epitel kulit pada kuku jari (jika korban sempat mencakar pelaku) adalah hal-hal yang
tak boleh dilewatkan pada pemeriksaan.

c. Masalah teknis pemeriksaan forensik dan laboratorium


Kemampuan pemeriksaan pusat pelayanan perkosaan berbeda-beda dari satu
tempat ke tempat lainnya. Suatu klinik yang tidak melakukan pemeriksaan sperma sama
sekali tentu tak dapat membedakan antara robekan selaput dara atau robekan akibat benda
tumpul pada masturbasi. Klinik yang hanya melakukan pemeriksaan sperma langsung
saja tentu tak dapat membedakan tidak adanya persetubuhan dengan persetubuhan
dengan ejakulasi dari orang yang tak memiliki sel sperma (pasca vasektomi atau mandul
tanpa sel sperma).
Suatu klinik yang hanya melakukan pemeriksaan sperma dengan uji fosfatase
asam saja misalnya tentu hanya dapat menghasilkan kesimpulan terbatas: ini pasti bukan
sperma atau ini mungkin sperma Tetapi jika klinik tersebut juga melakukan pemeriksaan
lain seperti uji PAN, Berberio, Florence, pewarnaan Baechi atau Malachite green maka
kesimpulan yang dapat ditariknya adalah: pasti sperma, cairan mani tanpa sperma
(pelakunya mandul tanpa sel sperma atau sudah disterilisasi) atau pasti bukan sperma.
Pemeriksaan pada kasus perkosaan untuk pencarian pelaku dilakukan dengan
melakukan pemeriksaan pada bahan rambut atau bercak cairan mani, bercak/cairan darah
atau kerokan kuku. Pemeriksaan yang dilakukan diantaranya adalah pemeriksaan pola
permukaaan luar (kutikula) rambut, pemeriksaan golongan darah dan pemeriksaan sidik
DNA. Pemeriksaan sidik DNA yang dilakukan pada bahan yang berasal dari usapan
vagina korban bukan saja dapat mengungkapkan pelaku perkosaan secara pasti, tetapi
juga dapat mendeteksi jumlah pelaku pada kasus perkosaan dengan banyak pelaku

- 12 -
(salome) - Pemeriksaan golongan darah dan sidik DNA atas bahan kerokan kuku (jika
korban sempat mencakar) juga dapat digunakan untuk mencari pelakunya.
Jika hanya pemeriksaan golongan darah yang akan dilakukan pada bahan usapan
vagina, maka bahan liur dari korban dan tersangka pelaku perlu juga diperiksa golongan
darahnya untuk menentukan golongan sekretor atau non sekretor. Orang yang termasuk
golongan sekretor (sekitar 85% dari populasi) pada cairan tubuhnya terdapat substansi
golongan darah. Kelompok orang ini jika melakukan perkosaan akan meninggalkan
cairan mani dan golongan darahnya sekaligus pada tubuh korban. Sebaliknya orang yang
termasuk golongan non-sekretor (15% dari populasi) jika memperkosa hanya akan
meninggalkan cairan mani saja tanpa golongan darah.
Dengan demikian jika pada tubuh korban ditemukan adanya substansi golongan
darah apapun, maka yang bersangkutan tetap harus dicurigai sebagai tersangkanya.
Adanya pemeriksaan sidik DNA telah mempermudah penyimpulan karena tidak dikenal
adanya istilah sekretor dan non~sekretor pada pemeriksaan DNA. Dalam hal tersangka
pelaku tertangkap basah dan belum sempat mencuci penisnya, maka secara konvensional
leher kepala penisnya dapat diusapkan ke gelas obyek dan diberi uap lugol.
Adanya sel epitel vagina yang berwarna coklat dianggap merupakan bukti bahwa
penis itu baru ‘bersentuhan' dengan vagina alias baru bersetubuh. Laporan terakhir pada
tahun 1995, menunjukkan bahwa gambaran epitel ini tak dapat diterima lagi sebagai bukti
adanya epitel vagina, karena epitel pria baik yang normal maupun yang sedang
mengalami infeksi kencing juga mempunyai epitel dengan gambaran yang sama.
Pada saat ini jika searang pria diduga baru saja bersetubuh, maka kepala dan leher
penisnya perlu dibilas dengan larutan NaCl. Air cucian ini diperiksa ada tidaknya sel
epitel secara mikroskopik dan jika ada maka pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan
pemeriksaan DNA dengan metode PCR (polymerase chain reaction)

d. Masalah pengetahuan dokter pemeriksa


Pada saat ini akibat kelangkaan dokter forensik, maka kasus perkosaan dan
kejahatan seksual lainnya ditangani oleh dokter kebidanan atau bahkan dokter umum.
Sebagai dokter klinik yang tugasnya terutama mengobati orang sakit, maka biasanya
yang menjadi prioritas utama adalah mengobati korban. Ketidaktahuan mengenai prinsip-

- 13 -
prinsip pengumpulan benda bukti dan cara pemeriksaannya membuat banyak bukti
penting terlewatkan dan tak terdeteksi selama pemeriksaan.
Umumnya dokter kebidanan hanya memeriksa ada tidaknya luka di sekitar
kemaluan, karena merasa hanya daerah inilah bidang keahliannya. Akibatnya tanda
kekerasan didaerah lainnya tidak terdeteksi. Pemeriksaan toksikologi atas bahan darah
atau urin untuk mendeteksi kekerasan berupa membuat korban pingsan atau tidak berdaya
dengan obat-obatan umumnya tak pernah dilakukan.
Pemeriksaan ada tidaknya cairan mani biasanya hanya dilakukan dengan
pemeriksaan langsung saja, sehingga adanya cairan mani tanpa sperma tak mungkin
dideteksi. Pemeriksaan kearah pembuktian pelaku seiauh ini boleh dikatakan tak pernah
dilakukan karena masih dianggap bukan kewajiban dokter. Dengan demikian selama ini
dasar dari tuduhan terhadap pelaku perkosaan umumnya adal,ah hanya dari kesaksian
korban dan pengakuan tersangka saja, padahal kedua alat bukti ini seringkali sulit
dipercaya karena sifatnya yang subyektif.

e. Masalah pengetahuan aparat penegak hukum


Pada kasus-kasus semacam ini arah penyidikan harus jelas arahnya agar
pengumpulan bukti menjadi terarah dan tajam pula. Kesalahan dalam membuat tuduhan,
misalnya akan dapat membuat tersangka menjadi bebas sama sekali. Jika penyidik, jaksa
serta hakim hanya menganggap perlu mencari alat bukti berupa pengakuan terdakwa dan
mengabaikan pembuktian secara ilmiah lewat pemeriksaan medis dan kesaksian ahli
maka tentunya pembuktian dilakukan seadanya.

2.5.2 Pemeriksaan dalam Kasus Pemerkosaan


Yang perlu diperhatikan sebelum pemeriksaan pada kasus pemerkosaan adalah
setiap pemeriksaan yang dimaksudkan untuk pengadilan harus berdasarkan permintaan
tertulis dari penyidik berwenang. Korban pada kasus ini sebaiknya harus diantar oleh
polisi karena tubuh korban merupakan barang bukti. Kalau korban datang sendiri dengan
membawa surat permintaan dari polisi, maka sebaiknya pemeriksaan tidak dilakukan, dan
sebaiknya korban disuruh kembali kepada polisi.

- 14 -
Setiap Visum et Repertum harus dibuat berdasarkan keadaan yang didapatkan
pada tubuh korban pada waktu permintaan Visum et Repertum diterima oleh dokter. Ijin
tertulis untuk pemeriksaan dapat diminta pada korban sendiri atau jika korban adalah
anak-anak, maka ijin dapat diminta pada orang tua atau walinya. Selain itu dalam
pemeriksaan sesorang dokter harus didampingi seorang perawat atau bidan, dan
sebaiknya pemeriksaan dilakukan secepat mungkin tanpa penundaan lagi untuk
menghindari perasaan cemas dan was-was si korban sendiri. Visum et Repertum
sebaiknya diselesaikan secepat mungkin, karena dengan adanya Visum et Repertum maka
perkara akan dapat cepat diselesaikan.

2.5.2.1 Pembuktian adanya persetubuhan


Persetubuhan adalah suatu peristiwa dimana terjadi penetrasi penis ke dalam
vagina, penetrasi tersebut dapat lengkap atau tidak lengkap dan dengan atau tanpa disertai
ejakulasi. Dengan demikian hasil dari upaya pembuktian persetubuhan dipengaruhi
berbagai faktor, diantaranya:
- besarnya penis dan derajat penetrasinya
- bentuk dan elastisitas hymen
- ada tidaknya ejakulasi dan keadaan ejakulat itu sndiri
- posisi persetubuhan
- keaslian barang bukti serta waktu pemeriksaan
Dengan demikian, tidak terdapatnya robekan pada hymen, tidak dapat dipastikan
bahwa pada wanita tidak terjadi penetrasi; sebaliknya adanya robekan pada hymen hanya
merupakan adanya suatu benda (penis atau benda lain), yang masuk ke dalam vagina.

- 15 -
Gambar 2.
Robekan hymen dengan dugaan kekerasan seksual
Apabila pada persetubuhan tersebut disertai dengan ejakulasi dan ejakulat tersebut
mengandung sperma, maka adanya sperma di dalam liang vagina merupakan tanda pasti
adanya persetubuhan. Apabila ejakulat tidak mengandung sperma maka pembuktian
adanya persetubuhan dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan terhadap ejakulat
tersebut.
Komponen yang terdapat di dalam ejakulat dan dapat diperiksa adalah enzim
asam fosfatase, kholin, dan spermin. Baik enzim asam fosfatase, kholin, maupun spermin
bila dibandingkan dengan sperma, nilai untuk pembuktian lebih rendaholeh karena ketiga
komponen tersebut tidak spesifik. Walaupun demikian enzim fosfatase masih dapat
diandalkan, oleh karena kadar asam fosfatase yang terdapat dalam vagina (berasal dari
wanita itu sendiri), jauh lebih rendah bila dibandigkan dengan asam fosfatase yang berada
dalam kelenjar prostat.
Dengan demikian apabila pada kejahatan seksual yang disertai dengan
persetubuhan itu tidak sampai berakhir dengan ejakulasi, dengan sendirinya pembuktian
adanya persetubuhan secara kedokteran forensik tidak mungkin dapat dilakukan secara
pasti. Sebagai konsekuensinya dokter tidak dapat secara pasti pula menentukan bahwa
pada wanita tidak terjadi persetubuhan; maksimal dokter dapat mengatakan bahwa pada
diri wanita yang diperiksanya tidak ditemukan tanda-tanda persetubuhan, yang mencakup
dua kemungkinan: pertama, memang tidak ada persetubuhan dan kedua persetubuhan ada
tetapi tanda-tandanya tidak dapat ditemukan.

- 16 -
Apabila persetubuhan telah dapat dibuktikan secara pasti, maka perkiraan saat
terjadinya persetubuhan, harus ditentukan; hal ini menyangkut masalah alibi yang sangat
penting di dalam proses penyidikan. Sperma di dalam vagina masih dapat bergerak dalam
waktu 4-5 jam post-coital, sperma masih dapat ditemukan tidak bergerak sampai 24-36
jam post-coital, dan bila wanitanya masih akan dapat ditemukan sampai 7-8 hari.
Perkiraan saat terjadinya persetubuhan juga dapat ditentukan dari proses penyembuhan
dari selaput dara yang robek. Pada umumnya penyembuhan tersebut akan tercapai dalam
waktu 7-10 hari post-coital.
Hal lain yang dapat diperiksa untuk menentukan terjadinya persetubuhan adalah
pemeriksaan adanya kehamilan dan adanya penyakit kelamin. Terjadinya kehamilan jelas
merupakan tanda adanya persetubuhan, akan tetapi oleh karena waktu yang dibuthkan
untuk itu cukup lama, dengan demikian nilai bukti ini menjadi kurang oleh karena
kemungkinan yang menadi tersangka pelaku kejahatan menjadi bertambah, hal mana
mempersulit penyidikan dan membutuhkan waktu yang lebih banyak untuk dapat
mengungkapkan kasusnya.
Terjangkitnya penyakit kelamin pada wanita hanya merupakan petunjuk bahwa
wanita itu telah mengalami persetubuhan dengan laki-laki yang menderita penyakit
kelamin sejenis. Penyakit kelamin yang masa inkubasinya singkat lebih bermakna di
dalam upaya pembuktian bila dibandingkan dengan penyakit kelamin yang masa
inkubasinya lama.
Tanda-tanda persetubuhan dengan berlangsungnya waktu akan menghilang
dengan sendirinya, luka-luka akan sembuh dan mayat akan menjadi hancur. Dengan
demikian pemeriksaan sedini mungkin merupakan keharusan, bila dari pemeriksaan
diharapkan hasil yang maksimal. Pakaian korban yang telah diganti, tubuh wanita yang
telah dibersihkan akan menyulitkan pemeriksaan oleh karena keadaannyasudah tidak asli.

2.5.2.2 Pembuktian adanya kekerasan


Pada KUHP pasal 285 disebutkan kata kekerasan atau ancaman kekerasan. Pada
tindak pidana di atas perlu dibuktikan telah terjadi paksaan dengan kekerasan atau dengan
ancaman kekerasan. Seorang dokter dapat menentukan apakah ata tanda-tanda

- 17 -
kekerasan. Tetapi ia tidak dapat menentukan apakah terdapat unsur paksaan pada
tindakan ini.
Ditemukannya tanda kekerasan pada tubuh korban tidak selalu merupakan kibat
paksaan, mungkin juga disebabkan oleh hal-hal lain yang tidak ada hubungannya dengan
paksaan. Demikian pula jika dokter tidak menemukan tanda kekerasa, maka hal itu
belum merupakan bukti bahwa paksaan tidak terjadi. Pada hakekatnya, seorang dokter
tidak dapat menentukan unsur paksaan yang terdapat pada tindak pidana ini. Oleh karena
hal ini pada bagian kesimpulan suatu visum et repertum hanya dituliskan ada tidaknya
tanda-tanda kekerasan serta jenis kekerasan yang menyebabkan.
Pada pemeriksaan perlu diperhatikan apakah korban menunjukkan tanda-tanda
bekas kehilangan kesadaran, atau tanda-tanda telah berada di bawah pengaruh alkohol,
hipnotik, narkotik. Apabila ada petunjuk bahwa alkonol, hipnotik, atau narkotik telah
dipergunakan, maka dokter perlu mengambil urin dan darah untuk pemeriksaan
toksikologi. Pemeriksaan akan keadaan pingsan atau tidak berdaya ini merupakan hal
yang penting karena sebagaimana yang tercantum di dalam KUHP pasal 89 bahwa
membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.

2.5.2.3 Perkiraan umur


Penentuan umur bagi wanita yang menjadi korban kejahatan seksual seperti yang
dikehendaki pasal 284 dan pasal 287 KUHP adalah merupakan hal yang tidak mungkin
dapat dilakukan. Dengan teknologi kedokteran yang canggih pun hanya sampai pada
perkiraan umur saja.
Dokter perlu menyimpulkan apakah wajah dan bentuk bada korban sesuai dengan
umur yang dikatakannya. Keadaan perkembangan payudara dan pertumbuhan rambut
kemaluan perlu dikemukakan. Ditentukan apakah gigi geraham belakang ke-2 sudah
tumbuh atau belum;yang terjadi pada usia kira-kira 12 tahun, sedangkan gigi geraham ke-
3 akan muncul pada usia 17-21 tahun atau lebih. Untuk wanita yang telah tumbuh gigi
geraham 2-nya, perlu dilakukan foto ronsen gigi. Jika setengah sampai seluruh mahkota
geraham 3 sudah mengalami mineralisasi (terbentuk), tapi akarnya belum maka usianya
kurang dari 15 tahun. Kriteria sudah tidaknya wanita mengalami haid pertama atau

- 18 -
menarche tak dapat dipakai untuk menentukan umur karena usia menarch saat ini tidak
lagi pada usia 15 tahun tetapi seringkali jauh lebih muda.

2.5.2.4 Penentuan sudah atau belum waktunya dikawin


Bila pernikahan dimaksudkan sebagai perbuatan yang suci dan baik, dimana
tujuan utamanya adalah untuk dapat menghasilkan keturunan maka penentuan apakah
seorang wanita itu sudah atau belum waktu untuk dikawin, semata-mata atas dasar
kesiapan biologis saja (yang dapat dibuktikan oleh ilmu kedokteran), dalam hal ini
menstruasi. Bila pada wanita itu telah mengalami menstruasi, maka sudah waktunya
untuk dikawin.
Bila seorang wanita menyatakan belum pernah menstruasi, maka penentuaan ada
atau tidaknya ovulasi masih diperlukan. Muller menganjurkan agar dilakukan observasi
selama 8 minggu di rumah sakit untuk menentukan adakah selama itu wanita tadi
mendapatkan menstruasi. Untuk menentukan apakah seorang wanita sudah pernah
mengalami ovulasi atau belum, dapat dilakukan pemeriksaan vaginal smear.

2.5.2.5 Pemeriksaan tersangka pelaku persetubuhan melawan hukum


Pemeriksaan terhadap tersangka pelaku kejahatan kesusilaan dapat dilakukan
melalui pemeriksaan langsung dan pemeriksaan laboratorium, setelah sebelumnya dapat
dilakukan wawancara. Pemeriksaan langsung dapat dilakukan terhadap pakaian. Perlu
dicatat adanya bercak semen, darah, dll. pada pakaian tersangka. Penentuan golongan
darah penting untuk dilakukan. Mungkin dapat ditentukan tanda-tanda bekas kekerasan
akibat perlawanan oleh korban.
Pemeriksaan laboratorium terhadap tersangka pelaku dilakukan untuk
menentukan apakah seorang pria baru melakukan persetubuhan dengan mencari ada
tidaknya sel epitel vagina pada glans penis. Bahan pemeriksaan yang digunakan adalah
cairan yang masih melekat di sekitar corona glandis.
Pemeriksaan dilakukan dengan cara menekankan kaca objek pada glans penis,
daerah korona, atau frenulum, kemudian diletakkan terbalik di atas cawan yang berisi
larutan lugol. Uap yodium akan mewarnai lapisan pada kaca objek tersebut. Sitoplasma
sel epitel vagina akan berwarna coklat tua karena mengandung glikogen. Warna coklat

- 19 -
tadi cepat hilang namun dengan meletakkan kembali sediaan di atas cairan lugol maka
warna coklat akan kembali lagi. Pada sediaan ini dapat pula ditemukan adanya
spermatozoa.

Gambar 3.
Pemeriksaan laboratorium pria tersangka pelaku kejahatan seksual

2.5.2.6 Pemeriksaan pada korban persetubuhan melawan hukum


Seperti halnya pemeriksaan terhadap tersangka pelaku kejahatan kesusilaan,
pemeriksaan terhadap korban kejahatan kesusilaan juga dapat dilakukan melalui
pemeriksaan langsung dan pemeriksaan laboratorium yang didahului dengan wawancara.
Berbeda dengan memeriksa pasien klinik seperti yang biasa dilakukan seorang
dokter, memeriksa korban kejahatan kesusilaan harus dilakukan dengan lebih hati-hati
dan seksama mengingat tubuh korban merupakan barang bukti dan korban mungkin
mengalami gangguan psikologis setelah apa yang dialaminya. Untuk itu terdapat
beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum pemeriksaan. Hal-hal tersebut adalah:
(1) Setiap pemeriksaan untuk pengadilan harus berdasarkan permintaan tertulis dari jaksa
atau magistrat pembantu. Lazimnya yang bertindak sebagai magistrat pembantu
adalah polisi. Polisi yang berpangkat serendah-rendahnya pembantu letnan satu
berwenang mengajukan permintaan tersebut.
(2) Korban harus diantar oleh polisi, karena tubuh korban merupakan korpus delikti
(barang bukti).
(3) Setiap visum et repertum harus dibuat berdasarkan keadaan yang didapatkan pada
tubuh korban pada waktu permintaan untuk visum et repertum diterima. Jika dokter
telah memeriksa seorang yang datang ke rumah sakit, atau di praktik atas inisiatif
sendiri, bukan atas permintaan polisi, dan beberapa waktu kemudian polisi
mengajukan permintaan untuk dibuatkan visum et repertum, dokter harus menolak.

- 20 -
Karena segala sesuatu yang diketahui dokter tentang diri korban sebelum ada
permintaan untuk dibuatkan visum et repertum, merupakan rahasia kedokteran, dan ia
wajib untuk menyimpannya.
(4) Izin tertulis untuk pemeriksaan dapat diminta pada korban sendiri, atau ika korban
seorang anak, dari orang tua atau walinya. Jelaskan terlebih dahulu tindakan-tindakan
apa yang akan dilkukan pada pemeriksaan dan jelaskan bahwa keterangan-keterangan
yang diberikan korban dan hasil pemeriksaan akan disampaikan kepada pengadilan.
(5) Seorang perawat mendampingi dokter sewaktu korban diperiksa.
(6) Pemeriksaan jangan ditunda terlalu lama
(7) Segala sesuatu harus dicatat, jangan mengandalkan pada ingatan.
(8) Visum et repertum diselesaikan secepat mungkin.
(9) Kadang-kadang dokter yang berpraktik pribadi diminta oleh seorang ibu atau ayah
untuk memeriksa anak perempuannya, karena ia merasa sangsi apakah anaknya masih
perawan, atau karena ia curiga kalau-kalau atas diri anaknya baru terjadi
persetubuhan. Dalam hal seperti itu sebaiknya ditanyakan dahulu maksud
pemeriksaan apakah karena ia ingin mengetahui saja, atau ada maksud untuk
mengadakan penuntutan. Kalau yang tersebut belakangan yang dimaksud, sebaiknya
dokter jangan memeriksa anak itu.
Apabila hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum melakukan pemeriksaan telah
terpenuhi, maka dokter dapat memulai pemeriksaan terhadap korban. Pemeriksaan
hendaknya dilakukan secara sistematis dan cepat agar korban tidak terlalu lama
menunggu dalam perasaan cemas. Hal-hal yang harus ada dalam pemeriksaan korban
adalah sebagai berikut:
(1) Data-data
Data yang perlu dicantumkan dalam bagian pendahuluan visum et repertum adalah:
a. Polisi yang meminta pemeriksaan
b. Nama, umur, alamat, pekerjaan korban (seperti tertulis dalam surat permintaan)
c. Nama dokter yang memeriksa, tempat, tanggal, dan pukul pemeriksaan dilakukan
d. Nama dan pangkat petugas polisi yang mengantar korban
e. Nama perawat yang menyaksikan pemeriksaan
(2) Anamnesis

- 21 -
Pada umumnya anamnesis yang diberikan oleh orang sakit dapat dipercaya.
Sebaliknya anamnsesis yang diperoleh dari korban tidak selalu benar. Terdorong oleh
berbagai maksud atau perasaan, korban mungkin mengemukakan hal-hal yang tidak
benar. Anamnesis merupakan sesuatu yang tidak dilihat dan tiemukan oleh dokter,
bukan hasil pemeriksaan objektif, jadi seharusnya anamnesis tidak dimasukkan dalam
visum et repertum. Anamnesis dibuat terpisah dan dilampirkan pada visum et
repertum di bawah kalimat keterangan yang diperoleh dari korban. Dalam
mengambil anamnesis dokter meminta kepada korban untuk menceritakan segala
sesuatu tentang kejadian itu. Anamnesis terdiri atas bagian yang sifatnya umum dan
yang sifatnya khusus.
a. Umum
• Umur, tanggal lahir
• Status perkawinan
• Haid: siklus haid, haid terakhir
• Penyakit kelamin dan penyakit kandungan
• Penyakit lain
• Apakah pernah bersetubuh, kapan persetubuhan terakhir, apakah
menggunakan kondom.
b. Khusus
Waktu kejadian
Kalau antara kejadian dan dilaporkannya kejadian pada berwajib terpisah
beberapa hari atau minggu, orang sudah dapat mengira bahwa peristiwa itu
bukan peristiwa perkosaan, tetapi persetubuhan yang pada dasarnya telah
disetujui oleh perembuan yang bersangkutan.
Dimana terjadinya
Informasi ini dapat memberi petunjuk dalam pencarian trace evidence yang
berasal dari tempat kejadian.
Apakah korban melawan
Jika korban mengadakan perlawanan, pada pakaian mungkin didapatkan
robekan, dan pada tubuh korban mungkin ditemukan tanda-tanda kekerasan.

- 22 -
Nail scrapping (goresan kuku) menunukkan adanya sel-sel epitel dan darah
yang berasal dari penyerang. Pada penyerang mungkin dapat ditemukan
tanda-tanda bekas dilawan.
Apakah korban pingsan
Ada kemungkinan korban menjadi pingsan karena ketakutan, tetapi mungkin
juga korban dibuat pingsan oleh pelaku dengan pemberian obat-obatan.
Dalam hal ini pengambilan sampel urin dan darah untuk pemeriksaan
toksikologi wajib dilakukan.
Apakah telah terjadi penetrasi dan ejakulasi
Apakah setelah kejadian korban mencuci, mandi, dan mengganti pakaian.
(3) Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan pakaian
Pakaian dalam keadaan rapi atau tidak. Helai demi helai diteliti apakah terdapat
robekan: baru atau lama, sepanjang jahitan, atau melintang pada bahan pakaian,
kancing putus, bercak darah, air mani, lumpur, dan sebagainya, benda-benda yang
menempel. Pakaian yang mengandung trace evidence dikirim ke laboratorium
kriminologi untuk diperiksa lebih lanjut.
b. Pemeriksaan badan
• Umum
 Lukisan rupanya (rambut, wajah) rapi atau kusut. Keadaan emosi: tenang,
sedih, gelisah, dan sebagainya.
 Adakah tanda-tanda bekas hilag kesadaran atau tanda-tanda bekas berada
di bawah pengaruh alkohol, obat tidur, atau obat bius. Apakah ada tanda-
tanda needle mark, bila ada maka merupakan indikasi untuk mengambil
sampel darah dan urin. Adakah tanda-tanda bekas kekerasan.Memar atau
luka lecet pada daerah mulut, leher, pergelangan tangan, lengan, paha
bagian dalam, punggung.
 Adakah trace evedence yang menempel pada tubuh
 Perkembangan alat seks sekunder
 Pupil
 Tekanan darah, kor, pulmo, abdomen, refleks

- 23 -
• Khusus (pemeriksaan daerah genital)
 Adakah rambut kemaluan yang melekat menjadi satu karena air mani yang
mengering. Bila ada, rambut tadi digunting untuk diperiksa.
 Adakah bercak air mani di sekitar alat kelamin. Bila ada, hapus dengan
lidi berkapas yang dibasahi larutan garam fisiologis.
 Pada vulva teliti adanya tanda bekas kekerasan seperti hiperemi, edema,
memar, dan luka lecet.
 Periksa jenis selaput dara, adakah ruptur atau tidak. Bila ada, tentukan
ruptur lama atau baru dan catat lokasi ruptur tersebut, teliti apakah sampai
insertio atau tidak. Tentukan besar orifisium.
 Periksa frenulum labiorum pudendi dan comissura labiorum posterior utuh
atau tidak.
 Periksa vagina dan spekulum bila keadaan alat genital memungkinkan.
 Periksa tanda-tanda adanya penyakit kelamin.
 Periksa tanda-tanda kehamilan
(4) Pemeriksaan laboratorium cairan vagina
Sebelum dilakukan pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan pengambilan
sampel. Sampel didapat dari cairan vagina untuk pemeriksaan air mani dan sekret
uretra untuk pemeriksaan penyakit kelamin.
Cairan vagina disedot dengan pipet Pasteur, atau diambil dengan ose. Pada
anak-anak, atau jika selaput dara utuh sebaiknya pengambilan bahan dibatasi sampai
vestibulum.
a. Penentuan spermatozoa
• Tanpa pewarnaan
Setetes cairan vagina diletakkan di atas kaca benda dan diperiksa dengan
pembesaran 500x dengan kondensor diturunkan. Perhatikan apakah
spermatozoa bergerak. Dapat diambil sebagai patokan bahwa spermatozoa
masih bergerak kira-kira 4 jam postkoital.
• Dengan pewarnaan

- 24 -
Buat sediaan apus dari cairan vagina pada kaca benda, keringkan di udara,
fiksasi dengan api, warnai dengan Malachite-green 1% dalam air, tunggu 10-
15 menit, cuci dengan air, warnai dengan eosin-yellowish 1% dalam air,
tunggu 1 menit, cuci dengan air, keringkan dan diperikasa di bawah
mikroskop. Hasil yang diharapkan adalah bagian basis kepala sperma
berwarna ungu, bagian hidung berwarna merah muda.
b. Penentuan cairan mani
• Reaksi asam fosfatase
Cairan mani menunjukkan aktitifitas enzim fosfatase yang tinggi, rata-rata
2500 unit K.A. sedangkan dalam sekret vagina, setelah 8 hari abstinensia
seksualis, ditemukan 0-6 unit.
Sebagai reagen digunakan brentamin fast blue b yang dilarutkan di dalam
larutan buffer yang telah ditambah sodium a-naphtyl fosfat. Enzim asam
fosfatase menghidrolisis a-naphty fosfat; a-naphtol yang telah dibebaskan
bereaksi dengan brentamine di atas kertas saring, disemprot dengan reagen,
ditentukan dalam berapa detik warna violet timbul (reaction time). Davis dan
Wilson menyatakan bahwa bila waktu reaksi kurang dari 30 detik dapat
dianggap indikasi baik dan adanya cairan mani, jika kurang dari 65 detik dapat
dianggap sebagai indikasi cukup, tetapi masih perlu dikuatkan dengan
pemeriksaan elektroforetik. Waktu reaksi yang lebih dari 65 detik belum
dapat menyingkirkan sepenuhnya adanya cairan mani, karena pernah
ditemukan waktu reaksi yang lebih dari 65 detik, tetapi spermatozoa
ditemukan.
• Tes Florence
Cairan vagina ditetesi larutan yodium. Kristal yang terbentuk diamati di
bawah mikroskop. Hasil yang diharapkan tampak kristal-kristal kholin-
peryodida tampak berbentuk arum-jarum yang berwarna coklat.
• Tes Berberio
Cairan vagina ditetesi larutan asam pikrat, kemudian kristal yang terbentuk
diamati di bawah mikroskop. Hasil yang diharapkan adalah terbentuknya

- 25 -
kristal-kristal spermin pikrat berbentuk rhombik atau jarum kompas yang
berwarna kuning kehijauan.
• Elektroimmunodifusi
Digunakan serum anti air mani manusia. Selain spesifik terhadap antigen
manusia, serum ini juga mengandung zat anti terhadap enzim fosfatase.
Apabila serum ini direaksikan dengan air mani akan terbentuk enzim antibodi
kompleks yang ternyata masih memiliki sifat enzimatik dan dapat dinyatakan
dengan reagen asam phospatase. Sebagai medium digunakan plat agar yang
mengandung serum anti dalam konsentrasi kecil.
• Elektroforetik
Digunakan plat akrilamide, dikembangkan dalam suatu larutan buffer pH 3
dan dilihat di bawah sinar ultraviolet. Asam fosfatese seminal bergerak sejauh
4 cm dan asam fosfatase vaginal sejauh 3 cm.
(5) Pemeriksaan air mani yang terdapat pada pakaian
a. Visual
Tampak sebagai bercak yang berbatas jelas dan lebih gelap dari sekitarnya.
Bercak yang sudah agak tua berwarna sedikit kekuning-kuningan. Pada bahan
sutera atau nilon batasnya sering tidak jels, tetapi selalu lebih gelap dari
sekitarnya.
b. Sinar ultraviolet
Menunjukkan flouresensi putih. Apa yang menyebabkan hal ini tidak diketahui.
Cara ini kurang memuaskan. Bercak air mani pada sutera buatan, nilon, biasanya
tidak memberikan flourosensi.bahan makanan, urine, sekret vagina juga sering
menimbulkan flourosensi.
c. Taktil
Diraba dengan ari-ari tangan terasa kaku seperti cairan kanji yang tidak menyerap.
Bila diraba permukaan bercak terasa kasar.
d. Penapisan dengan reagen asam fosfatase
Selembar kertas saring yang dibasahi dengan aqua destilata dilekatkan di atas
pakaian atau sprei yang diperiksa. Setelah 5-10 menit kertas saring diangkat,
didiamkan sampai hampir kering dan disemprot dengan reagen. Ika terbentuk

- 26 -
bercak violet, kertas saring diletakkan kembali di atas bahan sesuai dengan
letaknya semula. Dengan demikian letak bercak mani pada bahan dapat dilokasi.
e. Pencairan spermatozoa
Konsentrasi spermatozoa yang terbesar terdapat di bagian sentral dari bercak.
Dari bagian itu diambil sebagian kecil, dipulas dengan pewarnaan Baeechi.
Bahan dipulas selama 2 menit, dicuci di dalam HCl 1&, dihidrasi dalam alkohol
70%, 80%, dan 95-100%, dan dijernihkan dengan xilol. Kemudian dikeringkan
dengan meletakkannya di atas kertas saring.Dengan jarum preparir atau jarum
suntik diambil sehelai atau dua benang, diletakkan di atas kaca mikroskopik dan
diurai sampai menjadi serabut-serabut. Ditutup dengan balsem Kanada dan
diperiksa dengan pembesaran 500x.

2.5.2.7 Pemeriksaan DNA


Pertama kali diperkenalkan oleh Jeffrey pada tahun 1985. Beliau menemukan
bahwa pita DNA dari setiap individu dapat dilacak secara simultan pada banyak lokus
sekaligus dengan pelacak DNA (DNA probe) yang diciptakannya. Pola DNA ini dapat
divisualisasikan berupa urutan pita-pita yang berbaris membentuk susunan yang mirip
dengan gambaran barcode pada barang di supermarket. Uniknya ternyata pita-pita DNA
ini bersifat spesifik individu, sehingga tak ada orang yang memiliki pita yang sama persis
dengan orang lain.
Pada kasus perkosaan ditemukannya pita-pita DNA dari benda bukti atau karban
yang ternyata identik dengan pita-pita DNA tersangka menunjukkan bahwa tersangkalah
yang menjadi donor sperma. Adanya kemungkinan percampuran antara sperma pelaku
dan cairan vagina tidak menjadi masalah, karena pada proses kedua jenis DNA ini dapat
dipisahkan satu sama lain. Satu-satunya kesalahan yang mungkin terjadi adalah kalau
pelakunya memiliki saudara kembar identik.
Perkembangan lebih lanjut pada bidang forensik adalah ditemukannya pelacak
DNA yang hanya melacak satu lokus saja (single locus probe). Berbeda dengan tehnik
Jeffreys yang menghasilkan banyak pita, disini pita yang muncul hanya 2. Penggunaan
metode ini pada kasus perkosaan sangat menguntungkan karena ia dapat digunakan untuk
membuat perkiraan jumlah pelaku pada kasus perkosaan dengan pelaku lebih dari satu.

- 27 -
Ditemukannya metode penggandaan DNA secara enzimatik (Polymerase Chain
Reaction atau PCR) membuka lebih banyak kemungkinan pemeriksaan DNA. Dengan
metode ini bahan sampel yang amat minim jumlahnya tidak lagi menjadi masalah karena
DNAnya dapat diperbanyak jutaan sampai milyaran kali lipat di dalam mesin yang
dinamakan mesin PCR atau thermocycler. Dengan metode ini waktu pemeriksaan juga
banyak dipersingkat, lebih sensitif serta lebih spesifik pula. Pada metode ini analisis DNA
dapat dilakukan dengan sistim dotblot yang berbentuk bulatan berwarna biru, sistim
elektroforesis yang berbentuk pita DNA atau dengan pelacakan urutan basa dengan
metode sekuensing.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
Pemerkosaan adalah suatu tindakan kriminal di mana si korban dipaksa untuk
melakukan aktivitas seksual, khususnya penetrasi dengan alat kelamin, di luar
kemauannya sendiri. Pemerkosaan sekarang dikenal sebagai sebuah tindak kriminal
perilaku penyerangan terhadap suatu anggota dari suatu kelompok seksual oleh suatu
anggota kelompok seksual lainnya. Dalam pengertian lain, pemerkosaan adalah segala
bentuk pemaksaan hubungan seksual. Dalam perundang-undangan yang ada di Indonesia,
Suatu kasus yang dapat menunjukkan bahwa pihak penyidik membutuhkan
keterangan ahli dalam tindakan penyidikan yang dilakukannya yaitu pada pengungkapan
kasus perkosaan. Kasus kejahatan kesusilaan membutuhkan bantuan keterangan ahli
dalam penyidikannya. Keterangan ahli yang dimaksud ini yaitu keterangan dari dokter
yang dapat membantu penyidik dalam memberikan bukti berupa keterangan medis yang
sah dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai keadaan korban.
Kekerasan seksual masih merupakan hal yang tabu dan memalukan di lingkungan
masyarakat. Karena tindak pemerkosaan dapat memberi dampak psikologis yang besar
bagi korbannya, kasus perkosaan seringkali gagal terungkap dan terdapat banyak
kesulitan dalam pembuktiannya, terutama di Indonesia. Pembuktian secara kedokteran
pada setiap kasus kejahatan kesusilaan, seperti perkosaan, sebenarnya terbatas di dalam

- 28 -
upaya pembuktian ada tidaknya tanda-tanda persetubuhan, tanda-tanda kekerasan,
perkiraan umur, serta pembuktian apakah seseorang itu memang sudah pantas atau sudah
mampu untuk dikawini atau tidak.
Proses pemeriksaan tersebut harus dilakukan dengan teliti dan sewaspada
mungkin, pemeriksa juga harus yakin akan semua bukti yang ditemukannya karena tidak
lagi mempunyai kesempatan untuk melakukan pemeriksaan ulang guna memperoleh
lebih banyak bukti, karena semuanya berhubungan dengan bukti-bukti yang akan menjadi
dasar untuk membebaskan atau menuntut tersangka pelaku pemerkosaan tersebut.

3.2 Saran
Pada saat ini akibat kelangkaan dokter forensik, maka kasus perkosaan dan
kejahatan seksual lainnya ditangani oleh dokter kebidanan atau bahkan dokter umum.
Sebagai dokter klinik yang tugasnya terutama mengobati orang sakit, maka biasanya
yang menjadi prioritas utama adalah mengobati korban. Ketidaktahuan mengenai prinsip-
prinsip pengumpulan benda bukti dan cara pemeriksaannya membuat banyak bukti
penting terlewatkan dan tak terdeteksi selama pemeriksaan.
Selain itu, akan lebih baik apabila dalam kasus perkosaan dapat dilengkapi
dengan visum yang melibatkan psikiater dan psikolog yang dapat menelaah salah satu
gejala jangka panjang seperti post traumatic stress disorder atau post traumatic rape
syndrome. Keterlibatan psikiater atau relawan pendamping (umumnya psikolog, sosiolog,
atau sarjana keperawatan) sebagai "lingkaran dalam" korban karena berkesempatan
menangkap aktualitas penderitaan korban. Adapun dokter forensik sering berkesempatan
memeriksa lewat dari tiga hari kejadian perkosaan.
Semoga kedepannya penanganan kasus perkosaan dapat semakin ditingkatkan,
karena perkosaan merupakan pelanggaran inti dasar sekaligus keseluruhan dari trias
HAM perempuan. Trias HAM perempuan tersebut yaitu hak atas persamaan, hak atas
otonomi, dan hak integritas pribadi.

- 29 -
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1994, Peraturan Perundang-Undangan Bidang Kedokteran, Bagian Kedokteran


Forensik Fakultas Kedokteran Indonesia, Jakarta.

Budiyanto A, Widiatmaka W, et al, 1997, Ilmu Kedokteran Forensik, Bagian Kedokteran


Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Idries A, 1997 Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Binarupa Aksara, Jakarta

Khumaini K, 2009, Lemahnya Sanksi Bagi Pelaku Pemerkosaan & Pelecehan Seksual,
[online], The Aceh Institute. Dari http://id.acehinstitute.org [07 Mei 2009]

Kompas, 2003: Hukum Tak Berpihak pada Korban Perkosaan. [online] Dari:
URL:http://www.kompas.com/ [07 Mei 2009]

Syamsudin K, 2004, Persetubuhan Melawan Hukum, Departemen Obstetri dan


Ginekologi Universitas Sriwijaya, Palembang.

Wikipedia : Perkosaan. [online] Dari: URL:http://www.wikipedia.org/ [05 Mei 2009]

Wikipedia : Rape. [online] Dari: URL:http://www.wikipedia.org/ [05 Mei 2009]

- 30 -

Anda mungkin juga menyukai