Anda di halaman 1dari 9

Seri Pelaksanaan CWSHP (ADB‐ETESP) di Kab Nagan Raya, NAD (April‐2009)

Pelaksanaan CWSHP (ADB-ETESP) di desa Kuta Teungoh,


Beutong Ateuh, Kabupaten Nagan Raya

Desa Kuta Teungoh merupakan salah satu dari 4 desa yang ada di Kecamatan (persiapan) Beutong
Ateuh yang dalam terjemahan bahasa Indonesia berarti Betung Atas. Secara geografis desa Kuta
Teungoh terletak pada koordinat 40 271 LU, 960 301 BT persis di antara himpitan pegunungan Bukit
Barisan dengan titik tertingginya Puncak Gunung Singgahmata (4.000 dpl).
Daerah ini memiliki sejarah yang cukup panjang, dimana daerah ini dibangun sejak zaman belanda.
Dalam kurun ratusan tahun tersebut terdapat beberapa peristiwa penting yang terjadi. Salah satunya
adalah kisah Cut Nyak Dien dan Tengku Cik Citiro yang pernah bertahan menempuh hidup di hutan
belantara Beutong Ateuh selama enam tahun. Menurut catatan sejarah, pada tanggal 4 November 1905
atas perintah Kapten Veltman, pasukan Belanda mendatangi Cut Nyak Dien dan menawannya sebelum
akhirnya dikirim ke Sumedang di Jawa Barat sampai akhir hayatnya.
Walaupun terisolir, berhutan lebat, medannya yang berat, selalu dibungkus kabut dingin, jalan‐jalan
penuh batu cadas serta jurang terjal, Beutong Ateuh tetaplah merupakan daerah yang menarik karena
memiliki potensi kekayaan alam yang luar biasa. Tanahnya subur, airnya jernih dan melimpah, dan
dibawah tanahnya sebagian mengandung emas. Tambang emas telah dieksplorasi yang dirintis oleh
Nippon Foundation dan diteruskan oleh salah satu pengusaha asal Aceh terkenal, Surya Paloh.
Sebelum dibangun jalan untuk kendaraan roda empat, warga yang ingin ke dalam dan keluar kecamatan
ini harus berjalan kaki dua sampai empat hari lamanya dengan menelusuri hutan dan naik‐turun lembah
tutur Kepala Mukim Beutong Ateuh. Pada saat ini lintasan sepanjang 75 km dari Jeuram‐Nagan Raya ke
Beutong Ateuh dapat ditempuh dalam waktu 3 jam, melalui jalan yang sebagian sudah beraspal dan
sebagian dalam tahap pembangunan, ber kelok‐kelok naik turun menembus hutan alam di punggung
Gunung Singgamata yang sering kali dibungkus kabut dingin, penuh batu cadas serta jurang terjal.
Desa Kuta Teungoh terpilih menjadi desa CWSHP karena berbagai alasan. Pertama, walaupun air bersih
melimpah di gunung‐gunung yang mengelilinginya, namun karena letaknya yang jauh dari pemukiman,
maka untuk kegiatan yang terkait dengan air seperti mandi, cuci dan buang air besar dilakukan di
sungai yang ada di pinggir desa. Cukup berbahaya memang karena sungai tersebut memiliki arus sangat
kuat dan dasarnya berbatu sehingga dalam beberapa kejadian, ada penduduk yang hanyut dan
meninggal pada saat melakukan kegiatan tersebut di sungai. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan air
untuk keperluan makan dan minum, diperoleh dari lubang galian sekedarnya di samping rumah
sehingga kurang hygienis khususnya di musim hujan, dimana lubang tersebut dapat terkontaminasi oleh
kotoran hewan (sapi, kerbau, kambing, ayam, bebek) yang dibiarkan berkeliaran di desa. Kedua, sarana
Buang Air Besar tidak ada sama sekali, karena semua warga melakukannya di sungai.

Jalan berkelok dan menanjak Anak‐anak ke sekolah SD Typical Rumah Kayu masyarakat
menuju desa Kuta Teungoh melalui jalan desa desa Kuta Teungoh
Ada cerita kecil pada saat pertama kali tim CWSHP diterjunkan ke desa, salah seorang warga bertanya,
“CWSHP ini hanya cerita manis namun tidak nyata atau benar‐benar bantuan seperti yang diharapkan
oleh masyarakat Kuta Teungoh”. Tudingan dan kecurigaan masyarakat terhadap CWSHP tersebut bukan
tanpa alasan. Berdasarkan pengalaman, sudah beberapa kali bantuan untuk pembangunan untuk
Beutong Ateuh sering "habis" di tengah pengunungan, yang dibangun disini hanya sisanya saja atau
bahkan tidak sampai sama sekali" seperti dituturkan oleh Yusuf (35 tahun) salah seorang warga desa
Kuta Teungoh. Kemana dan siapa yang menerimanya?. Wallahua’lam tutur beberapa warga desa Kuta
Teungoh saat itu. Oleh karenanya mereka berharap betul, CWSHP merupakan program yang benar‐
benar berwujud dan bermanfaat bagi masyarakat desa Kuta Teungoh, sebuah tantangan yang harus
dijawab dan dibuktikan oleh tim CWSHP.
Dengan daerahnya yang subur dan air melimpah hampir seluruh masyarakatnya berprofesi sebagai
petani padi. Karena kegiatan bertani padi di sawah tidak harus dilakukan setiap hari, maka masyarakat
memanfaatkan waktu luangnya untuk pergi ke hutan. Salah satu produk yang menonjol adalah produk
minyak nilam (patchouli oils) yang ditanam di hutan dan hasilnya disuling di sepanjang sungai yang ada.
Pada saat CWSHP masuk ke desa ini (2006), desa Kuta Teungoh dihuni sebanyak 416 jiwa dalam 118 KK
dan tinggal di 95 rumah. Walaupun memiliki sumber mata air yang melimpah namun masyarakat belum
memanfaatkannya sebagai sumber air bersih dan air minum karena beberapa kendala, diantaranya
adalah sumber tersebut terletak sekitar 300 meter diatas gunung yang terjal dan adanya sungai yang
membatasi desa dengan sumber tersebut dengan lebar sekitar 60 meter.
Berdasarkan survey awal dan dari keterangan masyarakat menyatakan bahwa mata air tersebut
merupakan mata air permanen, tidak pernah mati sepanjang tahun baik di musim hujan maupun
musim kemarau. Dari pengukuran yang dilakukan ternyata debit sangat mencukupi, sekitar 7 liter/detik
atau mampu melayani sekitar 7.000 jiwa untuk standar kebutuhan air minum masyarakat pedesaan.
Dari Hasil Analisa Air yang dilakukan oleh CRS (Catholic Relief Services) Meulaboh menyatakan bahwa
air dari sumber tersebut secara fisik, kimia dan bakteriologis layak dipakai sebagai air bersih maupun
air minum, secara fisik tidak berwarna, tidak berasa (odorless), pH 7,2 atau netral, kekeruhan nol, dari
segi kimia juga memenuhi syarat, semua masih dibawah batas yang ditentukan dalam Kepmenkes,
namun dari segi biologi, kandungan E Coli nya nol tetapi total bakteri nya diatas ambang batas.
Dengan kondisi tersebut maka mata air tersebut layak digunakan sebagai sumber air bersih dan air
minum, karena terpenuhi criteria ; 1. Mata air permanen, 2. Debit mencukupi, dan 3. Kualitas fisik dan
kimia terpenuhi. Namun karena adanya kandungan bakteri maka air tersebut tidak dapat langsung
diminum sehingga perlu dimasak dulu untuk mematikan bakteri yang ada. Karena sampel air yang
diperiksa diambil langsung dari mata air terbuka maka diharapkan bilamana telah dibuat bangunan
Penangkap Mata Air yang baik, akan menghilangkan atau mengurangi kandungan bakteri karena
interaksinya yang minimal dengan udara atau air rembesan sebelum sampai ke masyarakat.

Lokasi sumber mata air diatas Untuk sampai ke sumber harus Jernih dan tidak terpengaruh
gunung melalui sungai selebar ±60 meter musim, debit lebih dari cukup

Khusus untuk sarana air bersih, program yang direncanakan adalah penyediaan air bersih / minum
dengan perpipaan gravitasi, dengan memanfaatkan sumber mata air di gunung, meliputi ; pembuatan
penangkap mata air (PMA), trap pasir dan bak penampung di atas gunung, jaringan pipa transmisi
melalui tebing gunung yang menggunakan pipa GIP, jembatan penyeberangan pipa air bersih selebar 60
meter, pipa distribusi yang menggunakan pipa PVC, dan 11 buah kran umum.

Sarana Air Bersih yang direncanakan

Sedangkan penempatan sarana yang akan dibangun disesuaikan dengan jumlah dan kepadatan
penduduk di masing‐masing area seperti pada gambar berikut

Peta Sarana Air Bersih Yang Direncanakan dan Realisasinya


Proses pelaksanaan kegiatan bukanlah hal yang mudah. Pada awalnya, situasi jalan menuju Beutong
Ateuh belum bagus dan material perpipaan khususnya pipa GIP maupun perlengkapan untuk jembatan
pipa belum ada di kota Meulaboh, kota terdekat dari Nagan Raya, sehingga direncanakan untuk
membeli material tersebut dari Medan. Hal kedua adalah belum percayanya pihak‐pihak terkait CWSH
terhadap kemampuan masyarakat desa untuk melaksanakan pembangunan sendiri jembatan pipa yang
diperlukan, sehingga dianjurkan untuk men kontrak kan pelaksanaannya kepada pihak ketiga atau
kontraktor professional dengan biaya yang cukup mahal.
Oleh karenanya dilakukanlah proses re‐engineering / value‐engineering terhadap desain awal dan
metoda pelaksanaan pekerjaan yang akan dilakukan sehingga seluruh bangunan yang direncanakan bisa
terbangun sesuai persyaratan dan biaya yang dialokasikan mencukupi. Diantaranya adalah ; 1.
Konstruksi bangunan dibuat lebih simpel dan sederhana namun tetap memenuhi persyaratan teknis
yang diperlukan, 2. Dilakukanya transfer of technology dan knowledge maupun pendampingan secara
lebih intensif khususnya untuk pekerjaan pipa dan jembatan, dan 3. Seluruh proses pembangunan akan
dilaksanakan sendiri oleh masyarakat desa Kuta Teungoh, termasuk pembangunan jembatan pipa
sehingga biaya bisa diminimalkan dan kontribusi dapat dilakukan secara optimal.
Dengan dilakukannya proses re‐engineering tersebut, maka Rencana Kerja Masyarakat (RKM) desa Kuta
Teungoh yang diajukan untuk keseluruhan program CWSHP meliputi ; kegiatan pemberdayaan
masyarakat, kegiatan PHBS (Pola Hidup Bersih dan Sehat), pembangunan sarana sanitasi sekolah,
pembangunan Sarana Air Bersih dan operasional panitia pelaksana kegiatan, secara keseluruhan
berjumlah Rp. 250.000.00,‐ dimana 84% atau Rp 210.000.000,‐ berasal dari CWSHP‐ADB dan sisanya
sebesar 16% atau Rp 40.000.000,‐ akan disiapkan masyarakat dalam bentuk material local dan upah
tenaga kerja.
Di desa Kuta Teungoh walau masyarakatnya kurang berpendidikan namun mereka cukup mengenal
teknologi sederhana yang dapat dilihat dari ketrampilan mereka mengoperasikan alat‐alat penyulingan
daun nilam yang tersebar disepanjang pinggir sungai maupun di atas gunung. Juga dari aspek konstruksi
bangunan rumah yang dapat dilakukan oleh tukang yang ada di desa. Permasalahannya adalah untuk
bangunan dan sarana air bersih merupakan hal yang baru untuk mereka, terkait dengan tempat
penyimpanan air (bak penangkap dan penampung). Apalagi untuk instalasi pipa, dan terlebih
pembuatan jembatan penyeberangan pipa air dengan bentangan yang cukup panjang. Tidaklah
mengherankan kalau berbagai pihak meragukan kemampuan masyarakat desa tersebut untuk mampu
melaksanakannya.
Karena prinsip program CWSHP‐ADB adalah dari‐oleh‐untuk masyarakat sehingga proses perencanaan‐
pelaksanaan‐menikmati hasil kerja harus dilakukan oleh masyarakat, maka untuk mengatasi
permasalahan tersebut dilakukanlah pelatihan dan pendampingan yang cukup intensif, khususnya
untuk metoda dan cara pembangunan sarana yang terkait dengan perpipaan dan jembatan. Karena
pada dasarnya masyarakat desa Kuta Teungoh cukup melek teknologi dan terbuka terhadap
pengetahuan baru, maka proses transfer knowledge maupun ketrampilan untuk kedua hal tersebut
dapat berjalan dengan baik.

Proses transfer of technology dan knowledge untuk pekerjaan perpipaan dan jembatan

Pelatihan Teknik ‐ Pemasangan Pelatihan Teknik ‐ Pekerjaan Pendampingan Teknik ‐


kawat sling jembatan pipa Perpipaan Konstruksi Jembatan Pipa
Karena adanya perubahan‐perubahan tersebut, baik perubahan desain maupun perubahan biaya,
mengakibatkan proses persiapan pelaksanaan dan persetujuan RKM menyita waktu yang cukup
panjang. Namun dibalik lamanya proses tersebut, terdapat situasi yang menguntungkan untuk
pelaksanaan pekerjaan. Pertama jalan Medan‐Meulaboh maupun jalan menuju Beutong Ateuh sudah
kembali normal sehingga seluruh material dapat diperoleh di Meulaboh maupun Jeuram di Nagan Raya.
Kedua proses transfer of technology & knowledge khususnya untuk bangunan air, perpipaan maupun
jembatan pipa dapat dilaksanakan dengan mantap.
Dalam pelaksanaannya, pengadaan material‐material standard seperti semen‐pasir‐besi beton‐kayu
tidak menjadi masalah karena mereka sudah kenal dan sudah biasa dengan material tersebut. Namun
untuk material‐material perpipaan dan jembatan yang baru untuk mereka, dilakukan pendampingan
yang intensif, mulai dari pemilihan dan pembelian material (pipa GIP, pipa PVC, kawat sling untuk
jembatan gantung pipa, accessories perpipaan). Hal ini penting dilakukan karena disamping merupakan
barang baru untuk mereka yang belum pernah dilihat, disentuh dan belum tahu mengenai standard
kualitas maupun harga dari material yang diperlukan, juga menjaga mereka dari kemungkinan ditipu
(maaf) oleh toko penjual material‐material tersebut. Tidak semua toko mau memberikan informasi
barang dan harga yang benar kepada orang yang belum kenal barang.

Ketua, bendahara dan UP Teknik Ketua dan UPT Teknik Memilih Pipa GIP sampai di desa Kuta
TKM didampingi CFT dalam pipa GIP Teungoh dan di cek secara
memilih material di toko langsung oleh PMC, DIT & CFT

Gotong royong membuat titi


Perempuan ikut partisipasi Rame‐rame mengangkat kayu
(jembatan) untuk menyeberangkan
kelapa untuk penahan kabel
material
jembatan material

Pandangan dari ketinggian Pengukuran elevasi dan Jarak dari Keucik desa Kuta Teungoh
sumber mata air ke desa Kuta mata air ke desa ikut serta mengukur elevasi
Teungoh & jarak tiang jembatan pipa
Pada pertengahan tahun 2008, selesailah seluruh pekerjaan CWSHP di desa Kuta Teungoh. Dan saat ini
seluruh rumah yang ada di desa Kuta Teungoh telah menikmati air bersih / air minum yang diperoleh
dari mata air pegunungan. Beberapa catatan menarik selama proses pelaksanaan CWSHP di desa Kuta
Teungoh diantaranya ;

Proses Transfer of technology & knowledge. Dengan pola pendekatan yang tepat, pengenalan,
pemahaman dan empati terhadap masyarakat desa yang dengan segala keterbatasanya, serta strategi
dan proses transfer of technology dan knowledge dengan cara yang sesuai dengan budaya dan
kebiasaan masyarakat, mereka ternyata mampu untuk menjalankan CWSHP dengan baik, dari
merencanakan sampai melaksanakan pembangunan sarana, walau dengan teknologi, metoda dan
material yang relatif baru untuk mereka. Bukan hanya mampu mengerjakan, mereka bahkan mampu
mengembangkan dan menerapkan pengetahuan barunya tersebut secara mandiri dengan membuat
sebuah sistem baru yang terdiri dari bak penangkap air, pemasangan perpipaan dan pembuatan kran
umum di dusun Padang Reu untuk meningkatkan keandalan sistem air bersih yang sudah dibangun.

In‐kind atau kontribusi masyarakat. Terpicu oleh telah mengalirnya air bersih ke pinggir desa mereka,
masyarakat menghendaki agar seluruh rumah yang ada di desa Kuta Teungoh dapat memperoleh satu
buah kran air sehingga CWSHP benar‐benar bermanfaat secara adil dan merata bagi seluruh warga desa
Kuta Teungoh. Untuk itu masyarakat meningkatkan kontribusi mereka untuk menambah kran umum
dari rencana awal sebanyak 11 buah dengan 66 titik keran air menjadi 14 buah dengan 96 titik sesuai
dengan jumlah rumah yang ada. Demikian juga kebutuhan dana untuk pembangunan sistem PMA‐
Perpipaan‐KU tambahan untuk dusun Padang Reu, dimana material utama merupakan material dari
CWSHP sedangkan material local maupun tenaga kerja sepenuhnya berasal dari in‐kind atau iuran
masyarakat.

Peningkatan Sarana Secara Mandiri Paska Konstruksi. Dari kunjungan terakhir yang dilakukan tim
CWSHP ke desa Kuta Teungoh, terdapat beberapa perkembangan yang cukup menggembirakan.
Pertama, karena semua rumah mendapatkan sebuah kran air, saat ini sebagian penduduk telah
menyambungkan kran air nya tersebut ke dalam rumah masing‐masing dengan menggunakan selang
plastik yang dibeli secara mandiri, sehingga kebutuhan air untuk makan‐minum telah “tersedia di
dalam rumah”. Kedua, beberapa rumah telah membuat penampungan air bersih dan ruangan
tersendiri untuk kegiatan‐kegiatan yang terkait dengan air bersih, seperti untuk membersihkan diri
sehabis kerja, mandi dan tidak kalah pentingnya untuk cuci pakaian dan piring dan gelas setelah
digunakan makan minum, sehingga keluarga mereka tidak harus kerepotan ke sungai untuk melakukan
kegiatan‐kegiatan tersebut.

Iuran untuk OM. Walaupun telah terbentuk Badan Pengelola Sarana (BPS), iuran untuk OM sarana yang
ada tetaplah menjadi permasalahan yang harus ditangani dengan hati‐hati dan strategi yang tepat.
Barangkali kita dapat belajar dari kisah kecil berikut sebelum masuk ke iuran untuk OM sarana‐sarana
yang telah dibangun CWSHP.
Bersamaan dengan pelaksanaan CWSHP, dengan memanfaatkan sungai yang mengalir dari atas gunung,
BRR membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hydro (PLTMH) di desa Kuta Teungoh.
Pengoperasian PLTMH tersebut dilakukan bekerja sama dengan PLN yang melengkapinya dengan
jaringan listrik dan masyarakat sebagai penerima manfaat Listrik yang dihasilkan. Paska pembangunan
PLTM telah selesai, diadakan pertemuan antara tokoh‐tokoh masyarakat, BRR, PLN dan unsur
Pemerintah Daerah. Dari pertemuan tersebut disepakati bahwa untuk PLTMH, jaringan listrik dan
sambungan sampai ke rumah, teknis pemeliharaanya akan dilakukan oleh PLN, sedangkan biaya
pengoperasian sistem khususnya tenaga kerja yang mengatur dan memelihara air maupun peralatan
PLTMH menjadi tanggung jawab masyarakat yang dikumpulkan melalui Kelompok Pemakai Listrik.
Paska kesepakatan, beroperasilah PLTMH tersebut sehingga masyarakat menikmati listrik dan
mendapatkan kenyamanan layaknya penduduk kota. Pada malam hari desa Kuta Teungoh terang
benderang dimana sebelumnya gelap gulita. Untuk keluarga yang relatif kaya, mereka membeli
peralatan‐peralatan elektronik seperti audio dan TV + parabola. Selama kurang lebih 3 bulan, biaya
pengoperasian PLTMH masih ditanggung BRR sehingga masyarakat menikmatinya dengan gratis.
Namun untuk masalah iuran dari masyarakat yang telah disepakati, masyarakat tidak mau melakukan
nya dengan berbagai alasan.
Akhir perioda percobaan, masyarakat tetap belum mau mengumpulkan iuran sehingga tidak ada biaya
yang dapat digunakan untuk membayar operator dan pemelihara PLTM yang ada. Akibatnya PLTMH
tidak dapat beroperasi secara optimal, mati‐hidup tidak jelas dan lebih banyak matinya dari pada hidup
karena tiadanya orang yang khusus mengoperasikan PLTMH. Saat itulah masyarakat tersentak.
Kenyamanan yang mereka peroleh selama ini dengan adanya aliran listrik seakan tercabut. Rupanya
aliran Listrik yang bersumber dari PLTHM bukan hanya memberi kemudahan dan kenikmatan, namun
sudah meningkat derajadnya menjadi kebutuhan sehingga mereka berusaha untuk mendapatkan
kembali kenikmatan tersebut.
Saat ini mereka telah menjalankan iuran tersebut dan mereka kembali menikmati aliran listrik dari
PLTMH yang ada, sehingga bilamana mereka “turun” ke Jeuram di Nagan Raya, kadang meledek
penduduk Nagan Raya yang aliran listriknya hidup‐mati seperti layaknya desa Kuta Teungoh sebelum
dilakukannya iuran untuk biaya OM PLTMH. “Listrik kami lebih bagus dan handal dari kota Jeuram.
Kalaupun mati, paling lama 15 menit sudah hidup lagi karena sudah ada yang mengurusnya”, ujar bang
Baharudin dan bang Ucup sambil tersenyum‐senyum bangga pada saat berkunjung ke kantor CWSHP
Nagan Raya.
Belajar dari pengalaman iuran untuk OM PLTMH, belajar dari proses transfer of technology dan
knowledge yang telah dilakukan, belajar dari karakter masyarakat yang walaupun tingkat pendidikannya
rendah namun cukup mandiri, ulet, cerdas dan terbuka terhadap hal‐hal baru, belajar dari karakter air
bersih yang identik dengan listrik dimana mulai dari kenyamanan dan meningkat menjadi kebutuhan
sehingga mereka tidak ingin kebutuhan dan kenikmatannya tercabut, barang kali tidak harus menunggu
berhentinya supply air bersih dari mata air karena terjadinya kerusakan pipa misalnya, masyarakat
secara bertahap akan memiliki kesadaran melakukan iuran untuk biaya OM bagi sarana yang telah
dibantu oleh CWSHP sehingga dapat terpelihara dan beroperasi dengan baik.
Dan saat ini telah dimulai adanya iuran rutin khususnya untuk dusun Padang Reu sebesar Rp 5.000,‐ per
bulan per rumah. Dana yang terkumpul pertama akan digunakan untuk membeli selang plastik dari
Kran‐Umum yang ada ke masing‐masing rumah bagi yang belum memiliki. Yang kedua direncanakan
untuk membuat sebuah Kran‐Umum tambahan sehingga lebih mendekatkan ke rumah. Yang ketiga
antisipasi bilamana terjadi kerusakan pada sistem air bersih yang ada (PMA‐perpipaan‐KU). Keempat
barang kali mereka merencanakan untuk membuat sambungan rumah secara permanen dengan
menggunakan pipa bilamana dana yang terkumpul telah mencukupi.
Kita berharap bang Bahar dan bang Ucup sambil tersenyum‐senyum bangga juga akan mengatakan “Air
bersih kami lebih bagus dari kota Jeuram, sudah masing‐masing rumah dapat sambungan, airnya jernih,
sejuk lagi dari mata air gunung” pada saat berkunjung lagi ke kantor CWSHP Nagan Raya
Semoga
Sukses CWSHP Nagan Raya

(Jeuram, 18April09, Bambang Pur, DIT Nagan, cipandan44@yahoo.com)


Gotong royong membangun Bak Air dari sumber mata air sangat Debit Air bersih yang keluar dari
Penangkap Mata Air di gunung jernih dan sudah terkumpul di Penangkap Mata Air, sangat
bak penangkap mata air mencukupi

Air dari sumber mata air ditangkap, disaring kotoran pasirnya dan ditampung di Bak Penampung

Dari bak penampung air disalurkan melalui Pipa Transmisi (pipa GIP) menyusuri tebing gunung

Jembatan pipa sepanjang 60 meter hasil kerja masyarakat telah Air bersih dari mata air gunung
selesai dikerjakan dan siap digunakan sudah mengalir ke tepi jalan desa
Anak‐2 menikmati air dari kran Kran Umum siap digunakan Kunjungan ADB, Dirjen, Direktur,
(8 buah kran air) CPMU, BRR, Bappenas, Aquatik
dll

Pak Dirjen dan ibu Upi mencoba air Anak‐anak mandi dan menikmati Lumayan tinggi air yang
yang memancar pada saat air yang memancar dipancarkan walau valve
peninjauan tidak dibuka penuh

Spanduk PHBS di SD Kuta Jak ta Toh ek ‐ Mari kita BAB


Teungoh di kakoh ‐ di Jamban
Jeut Jioh Peunyaket ‐ Agar Jauh Penyakit
Udep Sehat Seujahtra ‐ Hidup Sehat Sejahtera

Bapak Rusli ditengah kebun Penyulingan minyak nilam Produk Minyak Nilam Kuto
Nilam (Patchouli Oils) dengan Teungoh termasuk kualitas
peralatan sederhana terbaik didunia

Anda mungkin juga menyukai