PEMENANG II
Sayembara Cerpen Se-Jawa Barat
Balai Bahasa Bandung 2008 **
.
.
.
MARJO benar-benar tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Seluruh kota
didapatinya tanpa tulisan, tanpa huruf. Kosong. Di jalan-jalan tak lagi ia temui papan
reklame, pamflet, spanduk, terlebih lagi, kertas. Sebelumnya, ia terkejut mendapati dirinya
berada di antara puing-puing reruntuhan sebuah bangunan. Tadinya ia menganggap pastilah
suatu gempa dahsyat telah terjadi kala dirinya tertidur pulas. Ia panjatkan puji syukur kepada
Tuhan karena ia masih diberi nyawa. Lalu kemudian ia ingat anak-bininya. Bagaimana nasib
mereka? Ia coba cari, namun tak ia temukan. Dan ketika keluar, ia dapati pemandangan ganjil
itu. Sebuah kota yang lain saat sebelum ia tidur. Semuanya berubah.
Dimana aku?, pikirnya. Rumah tempat dimana ia tidur tadi, ia temukan telah menjadi
bangunan tua yang sudah bobrok. Gardu listrik yang semestinya tegak tak jauh di depan
rumahnya, kini ia dapati sebagai hotel tua dan kusam tanpa satu pun manusia di dalamnya.
Kebun singkong yang seharusnya masih tumbuh subur di belakang rumahnya, kini ia dapati
sebagai WC umum dengan bau menyengat tanpa setetes air pun. Semuanya berubah. Berbeda
jauh ketika ia hendak tidur tadi, ketika semuanya masih normal. Ia ingat istrinya masih
menanak nasi di dapur. Anak-anaknya masih memelototi atraksi goyangan artis berbusana
minim di televisi, di ruang tengah. Pun, suara-suara kambing miliknya di kandang masih
mengembik seperti hari-hari biasanya. Tapi kini semuanya berubah. Semua tempat menjelma
bangunan dan jalan yang sama sekali tak ia kenal. Ia gosok kedua matanya, barangkali ia
masih mimpi. Tapi kenyataannya tidak. Ini benar-benar riil. Kini ia benar-benar berada di
sebuah tempat lain.
Setelah lelah dan hampir putus asa berjalan dan tak menemukan seorang manusia pun,
samar-samar dari kejauhan ia melihat ada pergerakan kecil. Ia tajamkan pandangannya.
Sosok kerdil berjalan tak karuan, seperti orang mabuk. Bergegas Marjo mempercepat
langkahnya ke arah sosok tersebut. Setelah dekat, ia dapati seorang tua dengan rambut
gondrong, jenggot lebat acak-acakan tak karuan, pakaian dekil, dan sebotol minuman tanpa
label di tangannya. Bau busuk tercium dari mulut dan tubuhnya.
“Nhaaaa!! Akhirnya aku temukan juga ada orang lain di sini, hiks… huahahaha!!!,”
orang tua itu berteriak keras setelah menyadari Marjo ada di depannya. Marjo segera
mengambil posisi hati-hati, takut-takut kalau orang tua di depannya itu adalah orang yang tak
“Haks… haks…!! Kau jangan takut begitu, anak muda… Aku bukan orang gila, kota
inilah yang gila… Huahahahaha…!!! Hiks!,” kata orang tua itu dengan suara serak sambil
kembali meneguk minumannya, kemudian bersandar pada sebuah tembok, menggelosor, lalu
duduk.
Marjo sedikit mulai merasa bahwa orang tua di hadapannya tidaklah berbahaya. Justru
ia terkejut pikirannya bisa ditebak. Ia harus cepat-cepat menanyakan sesuatu pada orang tua
itu. Ia jongkok, dan mulai bertanya.
“Pak Tua, sebenarnya ini dimana? Kota apa ini?!,” tanya Marjo dengan suara pelan.
Orang yang dipanggilnya Pak Tua itu hanya mengernyitkan alis. Lalu tawanya meledak.
Marjo langsung berpikir, bahwa ia harus meralat anggapannya tadi. Sudah jelas orang tua di
hadapannya adalah seorang yang sinting. Ia berdiri, dan sudah hendak pergi ketika ia dengar
orang tua itu menyahut.
“Pastilah kau orang dari masa lalu yang kutunggu-tunggu”
Giliran Marjo yang mengernyitkan alis.
“Apa maksudmu, Pak Tua?”
“Hng…?? Huahahahahaha…!!! Do’aku ternyata Engkau kabulkan juga, Ya Tuhaaan!
Hahahahaha!!! Engkau kirim juga manusia abad lalu kemari!!!,” orang tua itu berteriak
girang sambil menatap langit dengan mata berbinar. Marjo masih berdiri dengan pandangan
tak mengerti. Tiba-tiba pandangannya membentur sebuah kertas kumal yang tersembul di
salah satu saku pakaian kumal orang tua itu. Dengan cepat Marjo menyambar kertas tersebut.
Tertera berbagai angka dengan kotak-kotak di sisinya. Matanya tak percaya. Orang tua itu
sedikit kaget, lalu tertawa lagi.
“Ini… kalender tahun sekarang?!,” Marjo bertanya lirih dengan suara serak.
“Huahahaha…!!! Itu kalender dua puluh delapan tahun lalu! Saat masih ada manusia-
manusia di negeri ini yang masih hidup dari usaha percetakan,” jawab orang tua tersebut.
Marjo kembali jongkok perlahan.
“Apa maksudmu dengan ’saat masih ada manusia’ itu?”
“Heh! Tenang… Akan aku jelaskan padamu, anak muda…”
Marjo bersiap menyimak apa yang bakal dikatakan orang tua itu.
“Empat puluhan tahun lalu, negeri ini sudah kehilangan para juru tulis dan koleganya,
haks! Kalau dalam istilah di zamanmu, barangkali namanya penulis dan penerbit ya, hiks!”
Sekonyong-konyong Marjo merampas botol yang masih menempel di mulut orang tua
itu, dan melemparnya jauh-jauh hingga terdengar suara pecahan yang cukup keras.
“Minumanmu sudah habis, Pak Tua! Sekarang cepat jelaskan semuanya padaku apa
yang telah terjadi dengan serius!,” ucap Marjo dengan suara meledak-ledak.
“Huahahahaha!! Jangan marah begitu, anak muda. Akan aku jelaskan, hiks! Sebab
kau memang wajib mengetahuinya. Haks!”
Marjo masih mampu menahan geram. Efek mabuk dan suara tawa orang tua itu membuatnya
sedikit muak.
“Semuanya berawal ketika sebuah kejumudan terjadi, hingga akhirnya menjadi status
quo berkepanjangan. Dimana hampir semua anak-anak generasi muda negeri ini sudah tak
lagi memiliki minat baca satu persen pun! Semua penulis negeri ini, baik para sastrawan,
esais, kolumnis, novelis, cerpenis, penyair, pokoknya semua penulis buku-buku, berhenti
massal dari kegiatannya menulis. Royalti yang mereka dapat teramat kecil, bahkan bisa
kukatakan nominalnya hanya mampu buat makan ala kadarnya selama satu minggu. Buku-
buku seluruh penulis di negeri ini, semuanya gagal pasar, lalu membusuk dimakan waktu,
______________________________________________________