Anda di halaman 1dari 22

ABSTRACT

Although implementation of decentralization has run for several years, but there
are some problems which are not solved. The major problem is management of the
natural resources. The delivery of revenue sharing of the natural resources is still late in
three months period. It will disturb the development planning system in each region. The
wealthy regions, which region budget (APBD) is dominated by revenue sharing, could
not optimally the advantage of revenue sharing.
Essay Ilmiah

OPTIMALISASI PERAN DANA BAGI HASIL DALAM


PEMBANGUNAN DAERAH

Oleh: Isti’anah
Pegawai pada:
Direktorat Pelaksanaan Anggaran
Direktorat Jenderal Perbendaharaan
Departemen Keuangan RI
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang.

Desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara,
khususnya dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih baik dan menciptakan
proses pengambilan keputusan public yang lebih demokratis. Desentralisasi dapat
diwujudkan dengan pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan dibawahnya.
Kebijakan desentralisasi fiskal yang digulirkan pada awal tahun 2001 telah memberikan
berbagai implikasi baik nasional maupun regional. Pada tingkat regional, kebijakan ini
merupakan upaya kemandirian daerah untuk memberdayakan sumber daya yang tersedia.
Bagi daerah yang surplus, desentralisasi fiskal merupakan sumber kesejahteraan
masyarakat untuk lebih meningkatkan taraf hidupnya. Sebaliknya bagi pemerintah daerah
yang minus dan masih mengharapkan kucuran dana dari pemerintah pusat, kebijakan ini
sangat memberatkan

Implementasi kebijakan perimbangan keuangan dilakukan melalui alokasi


anggaran belanja untuk daerah termasuk didalamnya dana perimbangan.. Sejalan dengan
itu, selain dimaksudkan untuk membantu daerah dalam membiayai berbagai urusan dan
kewenangan pemerintahan yang telah dilimpahkan, diserahkan dan atau ditugaskan
kepada daerah, pengalokasian dana perimbangan juga bertujuan untuk mengurangi
ketimpangan sumber pendanaan antara pemerintah pusat dan daerah, serta mengurangi
kesenjangan pendanaan pemerintahan antar daerah. Dana Perimbangan merupakan
transfer dana yang bersumber dari APBN ke daerah, berupa dana bagi hasil (DBH), dana
alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK).

Dana Bagi Hasil (revenue sharing) atau DBH adalah dana yang bersumber
dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase
untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. DBH
dilaksanakan dengan prinsip menurut sumbernya, dalam arti bahwa bagian daerah atas
penerimaan yang dibagihasilkan didasarkan atas daerah penghasil. Prinsip tersebut
berlaku untuk semua komponen DBH, kecuali DBH perikanan yang dibagi sama rata ke
seluruh kabupaten/kota. Selain itu, penyaluran DBH baik pajak maupun SDA dilakukan
berdasarkan realisasi penerimaan tahun anggaran berjalan. Berdasarkan sumbernya DBH
dibedakan dalam DBH Perpajakan dan DBH Sumber Daya Alam (DBH SDA). DBH
yang bersumber dari pajak terdiri atas Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25
dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21

DBH yang bersumber dari Penerimaan PBB dibagikan dengan imbangan


90% untuk Daerah dan 10% untuk Pusat. DBH PBB sebesar 10% yang merupakan
bagian pusat dialokasikan kembali pada kabupaten/kota dengan rincian 6,5%
dibagiratakan kepada seluruh /kota dan 3,5 % dibagikan kepada kabupaten/kota yang
realisasi penerimaan PBB sektor Pedesaaan dan Perkotaan pada tahun anggaran
sebelumya mencapai/melampaui rencana penerimaan yang ditetapkan. Pengalokasian
atas DBH bagian pusat yang dibagikan lagi ke daerah dilakukan dengan penerbitan
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA,

Sedangkan 80 % yang merupakan bagian Daerah dibagi lebih jauh dengan


rincian 64,8 % untuk kabupaten/kota yang bersangkutan, 16,2% untuk provinsi yang
bersangkutan dan 9% digunakan untuk upah pungut. Bagian daerah ini dibagikan setiap
hari Rabu dan Jumat melalui Kantor Pelayananan Perbendaharaan Negara (KPPN) yang
merupakan salah satu instansi vertikal dari Direktorat Jenderal Perbendaharaan (Ditjen
Perbendaharaan) Departemen Keuangan. Atas pengeluaran tersebut akan diterbitkan
DIPA pengesahan berdasarkan data hasil rekonsiliasi Kuasa Pengguna Anggaran dan
Bendahara Umum Negara (BUN) pada awal tahun anggaran berikutnya.

Penerimaan Negara dari BPHTB diberikan kepada daerah dalam bentuk


DBH BPHTB dengan porsi 20% untuk pusat dan 80% untuk daerah. DBH BPHTB untuk
daerah sebesar 80% selanjutnya dibagi dengan imbangan 16% untuk provinsi yang
bersangkuan dan 64% untuk kabupaten/kota penghasil. Seperti halnya PBB bagian
daerah ini juga langsung dibagikan hari Rabu dan Jumat melalui KPPN. Sementara
bagian pemerintah pusat sebesar 20% dialokasikan kembali kepada seluruh
kabupaten/kota dengan porsi sama besar dengan mekanisme penerbitan DIPA.

DBH yang bersumber dari penerimaan PPh WPOPDN (Wajib Pajak Orang
Pribadi Dalam Negeri) dan PPh Pasal 21 yang dibagikan kepada Daerah sebesar 20% dan
80% merupakan bagian pemerintah pusat. DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 sebesar
20% tersebut dibagi dengan rincian 8% untuk provinsi yang bersangkutan, 2% untuk
kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan, 8,4 % untuk kabupaten/kota tempat
wajib pajak terdaftar dan 3,6% untuk seluruh kabupaten/kota dalam provinsi yang
bersangkutan dengan bagian sama besar.

Alokasi DBH Perpajakan ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan.


Setiap awal tahun anggaran Menteri Keuangan menetapkan alokasi sementara DBH
Perpajakan yang menjadi dasar penerbitan DIPA untuk penyaluran Triwulan I, II dan III
atau Tahap I/II atas bagian pemerintah pusat yang disalurkan kembali ke daerah dan atas
bagian daerah. Pada akhir tahun anggaran Menteri Keuangan menetapkan Alokasi
Definitif DBH Perpajakan yang merupakan dasar penerbitan DIPA untuk penyaluran
pada Triwulan/Tahap akhir.

Sedangkan DBH yang bersumber dari Sumber Daya Alam (SDA) meliputi :

a. DBH SDA Kehutanan terdiri dari Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), Iuran Izin
Usaha Pemanfaatan (IIUPH) dan Dana Reboisasi (DR).

b. DBH SDA Pertambangan Umum yang terdiri dari Land Rent (Iuran tetap), Iuran
Eksplorasi dan iuran Eksploitasi (Royalty) dan Kontrak Karya Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).

c. DBH SDA Perikanan berasal dari Pungutan Pengusahaan Perikanan dan Pungutan
Hasil Perikanan

d. DBH SDA Pertambangan Minyak Bumi;

e. DBH SDA Pertambangan Gas Bumi; dan

f. DBH SDA Pertambangan Panas Bumi .

Tabel

Porsi pembagian Dana Bagi Hasil


Kab/Kota
N Nama DBH Pusat Provi
o SDA nsi Lainnya
Ybs Penghasil dalam Lai
Propinsi nnya
Ybs
1. Kehutanan
a. PSDH 20% 16% 32% 32% -
b. IIUPH 20% 16% 64% - -
c.DR 60% - 40% - -
2. Pertambangan
Kab/Kota
a. Land Rent 20% 16% 64% - -
b. Royalty 20% 16% 32% 32% -
Pertambangan
Prov
a. Lend Rent 20% 80% - - -
b. Royalty 20% 26% 54% - -
3. Perikanan 20% - - - 80%
4. Minyak Bumi 84,5% 3% 6% 6% -
Kab/Kota
Tambahan 5% 0,1% 0,2% 0,2% -
daerah
Minyak Bumi 84,5% 5% 10% - -
Provinsi
Tambahan 5% 0,17% - 0,33% -
daerah
5. Gas Bumi 69,5% 6% 12% 12% -
Kab/Kota
Tambahan 5% - 0,1% 0,2% 0,2% -
daerah
Gas Bumi 69,5% 10% 20% - -
Provinsi
- 0,17% 0,33% - -
6. Panas Bumi 20% 16% 32% 32% -

Alokasi DBH SDA ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan. Setiap


awal tahun anggaran Menteri Keuangan menetapkan alokasi sementara DBH SDA yang
menjadi dasar penerbitan DIPA untuk satu tahun anggaran. Penyaluran DBH SDA
berdasarkan realisasi penerimaan yang datanya bersumber dari hasil rekonsiliasi antara
departemen teknis, daerah penghasil dan Departemen Keuangan. Hasil rekonsiliasi
tersebut ditetapkan oleh Dirjen Perimbangan Keuangan atas nama Menteri Keuangan dan
dijadikan dasar bagi Ditjen Perbendaharaan untuk menerbitkan DIPA
Permasalahan yang sering muncul dalam mekanisme
penyaluran/pencairan DBH adalah praktek pembagian triwulanan yang tidak tepat waktu
merupakan keluhan bagi daerah penerima DBH PPh. Ketika sudah dibayarkanpun masih
muncul persoalan yaitu kelebihan ataupun kekurangan pembayaran untuk suatu daerah.
Ini terjadi karena penetapan alokasi sementara yang berdasarkan prognosa penerimaan
PPh lebih tinggi atau lebih rendah dari alokasi definitif yang berdasarkan realisasi
penerimaan PPh sesungguhnya.

Demikian juga proses penyaluran DBH SDA, adanya keterlambatan atas


penyaluran dalam setiap triwulannya sehingga mengganggu sistem perencanaan
pembangunan di daerah. Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut di atas
Pemerintah pusat dalam menetapkan Kebijakan dana bagi hasil dalam tahun 2007 lebih
menitikberatkan pada penyempurnaan dan percepatan dalam proses perhitungan,
pengalokasian, dan penetapan dana bagi hasil ke daerah. Hal ini dilakukan agar
penyaluran DBH ke daerah dapat dilakukan tepat waktu. Untuk mendukung kebijakan
tersebut, pemerintah akan melakukan langkah-langkah aktif dalam penyempurnaan
proses dan mekanisme penyaluran DBH ke daerah, antara lain melalui peningkatan
koordinasi antardepartemen/instansi terkait serta peningkatan akurasi data oleh
departemen/instansi terkait.

1.2. Perumusan Masalah.

Meskipun UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat


dan Daerah telah diterapkan beberapa tahun, namun berbagai permasalahan masih tetap
muncul, terutama soal desentralisasi fiskal dan kewenangan pengelolaan sumber daya
alam(SDA). Daerah-daerah yang APBDnya masih didominasi besarnya jumlah alokasi
dari DBH merasa belum bisa merasakan manfaat DBH. Bahkan mereka mengklaim
pembangunan di daerahnya menjadi tertinggal dibanding dengan daerah lainnya. Terkait
dengan masalah tersebut maka masalah dirumuskan dengan “ Bagaimana meningkatkan
optimalisasi peranan DBH dalam pelaksanaan pembangunan daerah, khususnya DBH
SDA bagi daerah kaya?”
1.3. Tujuan Riset.

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka secara umum tujuan
roset ini adalah untuk melihat seberapa efektif mekanisme penyaluran DBH. Sedangkan
tujuan khusus adalah :

1. Menilai kontribusi DBH bagi pembangunan daerah.

2. Mengindentifikasikan faktor-faktor pendorong dan penghambat efektifnya peran


DBH bagi pembangunan daerah.

3. Menyusun mekanisme DBH yang tepat, cepat dan transparatif yang mengarah pada
transparasi good governance.
BAB II

KERANGKA TEORITIS

Riset optimalisasi peran DBH dalam pembangunan daerah ini berbasis


pada konsep negara kesejahteraan. Beberapa ahli menyatakan bahwa peran negara juga
dimungkinkan untuk ikut serta dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Tujuan negara
dalam konsep negara kesejahteraan adalah mewujudkan kesejahteraan setiap warganya.
Upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat adalah dengan meningkatkan
pelayan umum. Tjosvold sebagaimana dikutip Wasistiono (2003 : 42) menyatakan
melayani masyarakat baik sebagai kewajiban maupun sebagai kehormatan merupakan
dasar bagi terbentuknya masyarakat yang manusiawi.

Hal itu sejalan dengan pemberian otonomi daerah yang diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan, dan peran serta masyarakat (Darise 2006 : 14). Pemberian otonomi
kepada daerah dituangkan dalam Undang-Undang No.22 tahun 1999 dan disempurnakan
dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Pelimpahan
wewenang ini dibarengi dengan pelimpahan keuangan dari pemerintah pusat kepada
daerah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 dan disempurnakan
dengan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah. Tanpa adanya otonomi keuangan daerah tidak akan pernah
ada otonomi bagi pemerintah daerah. Jadi kedua Undang-undang ini saling melengkapi
(Ismail, 2002).

Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana suatu


masyarakat menciptakan suatu lingkungan yang mempengaruhi hasil-hasil indikator
ekonomi seperti kenaikan kesempatan kerja. Lingkungan yang dimaksud adalah sumber
daya perencanaan yang meliputi lingkungan fisik, peraturan dan perilaku (Bakley, 1989).
Konteks perencanaan pembangunan ekonomi daerah bukanlah perencanaan dari suatu
daerah akan tetapi perencanaan untuk suatu daerah yang bisa dianggap sebagai
perencanaan untuk memperbaiki berbagai sumber daya publik yang tersedia di daerah
tersebut dan untuk memperbaiki kapasitas sektor swasta dalam menciptakan sumber-
sumber daya swasta yang bertanggung jawab (Kuncoro, 2004).
Pada era otonomi, terjadi pergeseran wewenang dan tanggung jawab
dalam pengalokasian sumber daya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Pergeseran baru dalam hal pertanggungjawaban masih belum sepenuhnya komplit (World
Bank, 2003). Desentralisasi “bing bang” mungkin telah meninggalkan perangkat checks
and balances yang belum memadai; sesuatu yang tidak mempertimbangkan kapasitas
dalam berbagai hal (Kaiser and Hofman, 2002). Dalam banyak hal, masih belum jelas
apakah konstituensi local benar-benar telah merefleksikan keinginan public yang
sesungguhnya (Usman, 2001).

Penyelenggaraan otonomi daerah yang digulirkan pada awal tahun 2001


telah memberikan berbagai implikasi baik nasional maupun regional. Pada tingkat
regional, kebijakan ini merupakan upaya kemandirian daerah untuk memberdayakan
sumber daya yang tersedia. Bagi daerah yang surplus, otonomi daerah atau dikenal juga
desentralisasi fiscal merupakan sumber kesejahteraan masyarakat untuk lebih
meningkatkan taraf hidupnya. Sebaliknya bagi pemerintah daerah yang minus dan masih
mengharapkan kucuran dana dari pemerintah pusat, kebijakan ini sangat memberatkan.
(Siregar 2001 : 298) mengemukakan bahwa bagi banyak daerah, pengeluaran untuk
pembangunan tahun 2001 (setelah otonomi daerah/desentralisasi) lebih rendah dari pos
pengeluaran yang sama tahun anggaran 2000 (sebelum desentralisasi).

Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana Perimbangan, Pinjaman daerah dan


lain-lain pendapatan yang sah (hibah dan dana darurat) merupakan sumber-sumber
keuangan untuk pembiyaaan pembangunan ekonomi daerah. (Kuncoro, 2004). Setelah
tujuh tahun (2001-2008) pelaksanaan otonomi daerah, komponen dana perimbangan
masih mendominasi pendanaan pembangunan di daerah. Hal ini menunjukkan tingginya
ketergantungan fiskal pemerintah daerah terhadap uluran tangan pemerintah pusat.
Keberhasilan pengelolaan keuangan daerah mempunyai dampak langsung terhadap
keberhasilan otonomi daerah dan sumbangan yang besar dalam upaya mewujudkan good
governance.

Sejalan dengan upaya perwujudan otonomi daerah dan good governance,


maka tepatlah untuk memerhatikan masalah akuntabilitas. Dalam konteks birokrasi
pemerintah, akuntanbilitas adalah perwujudan kewajiban suatu instansi pemerintah untuk
mempertanggungjawabkan keberhailan atau kegagalan pelaksanaan misi instansi yang
bersangkutan (LAN dan BPKP, 2000). Hakikat otonomi daerah harus tercermin dalam
pengelolaan keuangan daerah yang dimulai dari perencanaan, pelaksanaan,
penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah.
BAB III

METODE RISET

A. Lokasi Riset ini berada di dalam lingkup Ditjen Perbendaharaan baik yang dipusat
maupun instansi daerahnya khususnya yang berkenaan dengan mekamisme
penyaluran Dana Bagi Hasil baik dana bagi hasil Pajak maupun Dana Bagi Hasil
Sumber Daya Alam.

B. Teknis Pengumpulan Data.

Teknis pengumpulan data yang digunakan dalam riste ini adalah menggunakan
wawancara tidak terstruktur berupa pertanyaan pada responden. Selain itu, juga
menggunakan pengematan bebas terstruktur dengan pihak terkait guna memperdalam
hasil yang didapatkan dalam sebaran wawancara dari responden, sehingga
mempertajam dan memperjelas hasil dari wawancara.

C. Teknik Analisis Data

Untuk menjawab Permasalahan, analisis riset ini menggunakan analisis data


kualitatif, untuk menghasilkan data deskriptif- analitis. (Soemitro, 1993 : 93).
Analisis ini dipilih karena sangat fleksibel dan tidak terstruktur sehingga
memudahkan pencarian ide serta petunjuk mengenai situasi permasalahan.
BAB IV

PEMBAHASAN

Dari riset ini ditemukan bahwa Dana bagi hasil dalam pembangunan
daerah memiliki peranan yang sangat strategis, terutama daerah-daerah yang kaya akan
sumber daya alam. Dana bagi hasil yang merupakan bagian dari otonomi daerah memang
memberikan pengaruh yang signifikan atas daerah-daerah kaya sumber daya alam.
Daerah-daerah kaya sumber daya alam ini langsung melejit pembangunannya, dengan
uang yang berlimpah mereka langsung bisa membangun beragam fasilitas yang
diinginkannya. Namun sangat disayangkan hal itu hanya terjadi sesaat, karena dana
perimbangan dari pemerintah pusat sering terlambat turun.

Keterlambatan atas penyaluran dana perimbangan ini sangat mengganggu


sistem perencanaan pembangunan di daerah. Baik mekanisme penyaluran/pencairan
DBH PPh maupun mekanisme pencairan SDA adalah praktek pembagian triwulanan
yang tidak tepat waktu merupakan keluhan utama bagi daerah-daerah. Pemerintah telah
berupaya untuk menyempurnakan berbagai peraturan atas mekanisme penyaluran Dana
Bagi Hasil antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, namun hingga tahun 2007
berakhir masih banyak kita temui keterlambatan-keterlambatan ini, bahkan kalau boleh
dibilang belum banyak kemajuan yang didapat dibanding dengan tahun-tahun
sebelumnya.

Berikut adalah daftar DIPA Dana Bagi Hasil (DBH) yang telah diterbitkan oleh
Ditjen Perbendaharaan Departemen Keuangan selama tahun 2007.

DAFTAR DIPA DANA BAGI HASIL

NO JENIS DIPA JUMLAH Tanggal

1 DBH PBB TAHAP I & II 1,036,767,117,785 9 Maret 2007

2 DBH BPHTB TAHAP I & II 808,484,998,847 9 Maret 2007

3 DBH PPh TRW I 4,483,224,000,000 9 Maret 2007


4 DBH PSDH TRW I (KEHUTANAN) 30,318,098,264 13 Juni 2007

5 DBH IIUPH TRW I (KEHUTANAN) 7,398,361,520 13 Juni 2007

6 DBH MINYAK BUMI TRW I (MIGAS) 2,750,292,766,859 13 Juni 2007

7 DBH GAS TRW I (MIGAS) 2,074,439,061,931 13 Juni 2007

8 DBH PERIKANAN TRW I 26,006,572,684 25 Juni 2007

9 DBH KUASA PERTAMBANGAN TRW I 170,587,254,579 25 Juni 2007

10 DBH PKP2B TRW I 426,285,841,953 25 Juni 2007

KURANG BAYAR KEHUTANAN PSDH 179,015,882,498 26 Juni 2007


11
KURANG BAYAR KEHUTANAN IIUPH 12,035,219,193 26 Juni 2007
12
KURANG BAYAR KP 35,320,817,841 28 Juni 2007
13
KONTRAK KARYA PERTAMBANGAN UMUM
509,639,233,224 27 Agustus 2007
14 TRW I
DBH MINYAK BUMI TRW II (MIGAS) 2,589,945,697,793 31 Juli 2007
15
DBH GAS TRW II (MIGAS) 2,141,804,618,266 31 Juli 2007
16
DBH PERIKANAN TRW II 11,610,764,000 16 Agustus 2007
17
DBH PSDH TRW II (KEHUTANAN) 126,793,224,250 15 Agustus 2007
18
DBH IIUPH TRW II (KEHUTANAN) 17,381,897,880 15 Agustus 2007
19
DBH SDA-DR (KEHUTANAN) TR II 182,182,737,933 11 September 2007
20
DBH KUASA PERTAMBANGAN TRW II 176,401,586,148 28 Agustus 2007
21
DBH PKP2B TRW II 530,713,914,947 28 Agustus 2007
22
DBH PERIKANAN TRW III 28,338,208,800 5 Nopember 2007
23
DBH MINYAK BUMI TRW III (MIGAS) 3,167,671,708,885 5 Nopember 2007
24
DBH GAS TRW III (MIGAS) 2,110,170,316,845 5 Nopember 2007
25
KONTRAK KARYA PERTAMBANGAN UMUM
374,322,842,667 5 Nopember 2007
26 TRW II
DBH PKP2B TRW III 445,263,314,038 5 Nopember 2007
27
DBH KUASA PERTAMBANGAN TRW III 171,549,526,358 5 Nopember 2007
28
DBH PSDH TRW III (KEHUTANAN) 118,558,094,459 1 Nopember 2007
29
DBH SDA-DR (KEHUTANAN) TR III 106,775,956,491 1 Nopember 2007
30
KONTRAK KARYA PERTAMBANGAN UMUM
490,848,252,890 6 Desember 2007
31 TRW III
DBH PERIKANAN TRW IV 16,516,792,160 10 Desember 2007
32
DBH MINYAK BUMI TRW IV (MIGAS) 3,679,345,654,699 10 Desember 2007
33
DBH GAS TRW IV (MIGAS) 2,573,272,516,218 10 Desember 2007
34
DBH KUASA PERTAMBANGAN TRW IV 165,278,588,170 13 Desember 2007
35
DBH PSDH TRW IV (KEHUTANAN) 85,011,634,112 13 Desember 2007
36
DBH SDA-DR (KEHUTANAN) TR IV 89,119,915,673 13 Desember 2007
37
DBH IIUPH TRW IV (KEHUTANAN) 21,300,395,000 13 Desember 2007
38
KONTRAK KARYA PERTAMBANGAN UMUM
285,854,710,969 18 Desember 2007
39 TRW IV
DBH PKP2B TRW IV 424,786,581,062 18 Desember 2007
40
41 DBH PPh TRW IV 3,458,187,182,946 18 Desember 2007
DBH KURANG BAYAR PERPAJAKAN TA 2005
42 43,247,880,423 18 Desember 2007
DAN 2006
43 DBH PBB TAHAP III 1,243,002,482,215 19 Desember 2007

44 DBH BPHTB TAHAP III 2,627,201,153 19 Desember 2007

45 ESCROW Perikanan 77,527,662,356 28 Desember 2007

46 ESCROW Migas 3,370,055,298,506 28 Desember 2007

47 ESCROW Kehutanan 734,359,691,458 28 Desember 2007


Sumber : Direktorat Pelaksanaan Anggaran, Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Departemen Keuangan 2008.

Sampai dengan tahun 2007 hanya DBH PBB dan BPHTB yang dapat
disalurkan tepat waktu oleh pemerintah pusat, sedangkan DBH yang lainnya masih
mengalami keterlambatan. Untuk DBH Perpajakan bidang PPh masih ditemukan adanya
kurang bayar tahun 2005 dan 2006 sebesar Rp. 43.247.880.423, sehingga Direktorat
Jenderal Perbendaharaan menerbitkan DIPA untuk menutupi kekurangan tersebut pada
tanggal 18 Desember 2007. Problem lainnya juga terjadi atas DBH SDA bidang
Perikanan, migas dan kehutanan yang belum bisa disalurkan hingga tahun anggaran
hampir berakhir. Hal itu disebabkan belum adanya rekonsiliasi antara departemen teknis,
daerah penghasil dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan.
Karena sistem anggaran kita tidak membolehkan dana tahun lalu dicairkan tahun
berikutnya maka untuk menghindari hangusnya dana tersebut di ambil kebijakan untuk
menerbitkan DIPA ESCROW atas dana-dana tersebut, dengan rincian untuk bidang
perikanan sebesar Rp. 77.527.662.356, untuk bidang migas sebesar Rp.
3.370.055.298.506 dan bidang kehutanan sebesar Rp. 734.359.691.458.
Keterlambatan DBH dinilai membuat pembangunan di daerah tidak
berjalan lancar. Dana yang harusnya bisa dialokasikan untuk triwulan I, misalnya, baru
dibayarkan pada triwulan II dan begitu juga bila dana itu digunakan untuk triwulan II,
baru diberikan di triwulan III. Pembayaran yang seharusnya dilakukan per
triwulan atau per 1 April, selalu meleset. Bahkan keterlambatan bisa
mencapai enam bulan. Hal itu berdampak terhadap aliran dana atau
cash flow daerah, khususnya daerah dengan APBD yang mengandalkan
dari sektor dana bagi hasil yaitu daerah daerah yang kaya migas seperti (NAD, Papua,
Riau, dan Kaltim). Keterlambatan ini juga merupakan penyebab utama banyaknya dana
daerah yang tidak termanfaatkan secara optimal dan akhirnya ditemukan banyaknya dana
pemerintah daerah yang tersimpan di bank dalam berbagai bentuk. Bahkan seandainya
dilakukan survey mendalam mungkin akan ditemukan bahwa semua pemda mempunyai
SBI karena untuk menyimpan DBH mereka yang turun di akhir tahun dan tidak ada
waktu untuk memanfaatkannya karena tahun anggaran hampir atau segera berakhir.
Berikut ini perhitungan APBD 2 (dua) di antara daerah yang kaya tersebut yaitu
ringkasan dari APBD sepropinsi Riau tahun 2007 dan APBD sepropinsi Kalimantan
Timur tahun 2007.
APBD Tahun 2007
Total Se-Provinsi Riau

(dalam juta rupiah)

KODE DESKRIPSI NILAI


1 PENDAPATAN DAERAH 14.915.545,70
1.1 Pendapatan asli daerah 1.691.632,74
1.1.1 Pajak daerah 930.763,14
1.1.2 Retribusi daerah 174.102,65
1.1.3 Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan 246.573,19
1.1.4 Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah 340.193,77
1.2 Dana perimbangan 12.884.828,17
1.2.1 Dana bagi hasil pajak/bagi hasil bukan pajak 9.974.351,86
1.2.2 Dana alokasi umum 2.629.743,40
1.2.3 Dana alokasi khusus 280.732,91
1.2.4 Lain-lain 0,00
1.3 Lain-lain pendapatan daerah yang sah 339.084,79
1.3.1 Hibah 2.000,00
1.3.2 Dana darurat 2.000,00
1.3.3 Dana bagi hasil pajak dari Propinsi dan Pemda lainnya 251.634,62
1.3.4 Dana penyesuaian dan otonomi khusus 61.862,17
1.3.5 Bantuan keuangan dari Propinsi atau Pemda lainnya 21.500,00
1.3.6 Lain-lain pendapatan daerah yang sah 88,00
2 BELANJA DAERAH 20.075.815,40
2.1 Belanja tidak langsung 5.465.594,17
2.1.1 Belanja pegawai 3.467.351,20
2.1.2 Belanja bunga 1.753,51
2.1.3 Belanja subsidi 17.547,02
2.1.4 Belanja hibah 14.958,05
2.1.5 Belanja bantuan sosial 1.186.230,61
2.1.6 Belanja bagi hasil kpd Prop/Kab/Kota dan Desa 329.803,19
2.1.7 Belanja bantuan keuangan kpd Prop/Kab/Kota dan Desa 390.717,10
2.1.8 Belanja tidak terduga 57.233,50
2.1.9 Lain-lain 0,00
2.2 Belanja langsung 14.610.221,23
2.2.1 Belanja pegawai 1.972.274,04
2.2.2 Belanja barang dan jasa 3.357.096,13
2.2.3 Belanja modal 9.280.851,06
Surplus/(Defisit) -5.160.269,70
3 PEMBIAYAAN DAERAH 6.945.406,38
3.1 Penerimaan pembiayaan 7.935.811,01
3.2 Pengeluaran pembiayaan 990.404,63

Sumber: Ringkasan Buku APBD

APBD Tahun 2007


Total Se-Provinsi Kalimantan Timur

(dalam juta rupiah)

KODE DESKRIPSI NILAI


1 PENDAPATAN DAERAH 16.889.409,93
1.1 Pendapatan asli daerah 1.520.267,50
1.1.1 Pajak daerah 856.718,42
1.1.2 Retribusi daerah 247.612,42
1.1.3 Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan 90.759,26
1.1.4 Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah 325.177,40
1.2 Dana perimbangan 14.225.429,33
1.2.1 Dana bagi hasil pajak/bagi hasil bukan pajak 10.853.824,21
1.2.2 Dana alokasi umum 3.017.915,00
1.2.3 Dana alokasi khusus 353.690,12
1.2.4 Lain-lain 0,00
1.3 Lain-lain pendapatan daerah yang sah 1.143.713,09
1.3.1 Hibah 6.100,81
1.3.2 Dana darurat 3.500,00
1.3.3 Dana bagi hasil pajak dari Propinsi dan Pemda lainnya 286.668,14
1.3.4 Dana penyesuaian dan otonomi khusus 24.500,00
1.3.5 Bantuan keuangan dari Propinsi atau Pemda lainnya 820.599,82
1.3.6 Lain-lain pendapatan daerah yang sah 2.344,32
2 BELANJA DAERAH 22.260.455,01
2.1 Belanja tidak langsung 5.585.198,69
2.1.1 Belanja pegawai 2.930.098,24
2.1.2 Belanja bunga 24.481,64
2.1.3 Belanja subsidi 9.375,00
2.1.4 Belanja hibah 129.825,74
2.1.5 Belanja bantuan sosial 947.651,73
2.1.6 Belanja bagi hasil kpd Prop/Kab/Kota dan Desa 423.598,05
2.1.7 Belanja bantuan keuangan kpd Prop/Kab/Kota dan Desa 1.030.514,04
2.1.8 Belanja tidak terduga 89.654,25
2.1.9 Lain-lain 0,00
2.2 Belanja langsung 16.675.256,32
2.2.1 Belanja pegawai 1.598.185,99
2.2.2 Belanja barang dan jasa 4.093.128,11
2.2.3 Belanja modal 10.983.942,22
Surplus/(Defisit) -5.371.045,08
3 PEMBIAYAAN DAERAH 5.775.231,16
3.1 Penerimaan pembiayaan 6.531.946,82
3.2 Pengeluaran pembiayaan 756.715,66

Sumber: Ringkasan Buku APBD

Dari tabel diatas terlihat bahwa untuk wilayah se propinsi Riau sumber
APBDnya 66,88% adalah dana bagi hasil .Demikian halnya dengan Propinsi Kalimantan
Timur sumber APBD nya 64,27 % berasal dari dana bagi hasil. Karena begitu besarnya
presentase DBH terhadap APBD maka kelambatan atas penerimaan bagian DBH
dimaksud sangat mempengaruhi kelancaran pembangunan di daerah-daerah yang kaya
SDA. Bahkan banyak pengamat ekonomi mengatakan bahwa daerah-daerah yang surplus
bagi hasilnya justru mengalami kelambanan dalam pembangunan daerahnya yang
disebabkan kelambatan dari pemerintah dalam menyalurkan DBH bagian daerah.
Penyaluran ke daerah yang tidak on time mengakibatkan seringnya keluhan daerah yang
menganggap model serta mekanisme bagi hasil SDA tidak transparan. Daerah tidak dapat
mengetahui bagaimana mekanisme produksi, biaya produksi dan penjualan dari hasil
sumber daya alam..

Model Baru Penyaluran DBH.

Kalau di lihat dari hal-hal tersebut di atas, sampai saat ini PBB dan
BPHTB merupakan mekanisme yang dianggap paling bagus dan efektif sehingga sampai
saat ini memang tidak menimbulkan problem ataupun sudah dianggap sebagai
mekanisme yang paling bagus, namun jika dicermati lebih mendalam dan kajian khusus
maka bisa ditemukan belum tepatnya system tersebut. Perlu diketahui PBB sendiri
mempunyai beberapa sektor yi : Sektor pertambangan 70 % bag Direktorat Jenderal
Pajak, 30% bagian daerah, sektor kehutanan 65% Direktorat Jenderal Pajak dan 35%
bagian daerah, sektor perkotaan 20% Direktorat Jenderal Pajak, 80% bagian daerah,
sektor perdesaan 10% Direktorat Jenderal Pajak, 90% daerah, sector perkebunan 40%
bagian Direktorat Jenderal Pajak dan 60 % untuk bagian daerah. Tiga sektor terakhir dan
BPHTB layak di daerahkan karena sifat dan naturenya tetap. Pemerintah pusat hanya
mengadministrasikannya melalui KPPN selaku institusi Perbendaharaan di daerah, jadi
pemerintah pusat tahu seberapa besar kekuatan daerah.
Agar pembagian dan penyaluran DBH PPh pasal 21 dan PPh pasal 25/29
WPOPDN bagian pemerintah daerah tidak mengalami keterlambatan, hendaknya diikuti
model penyaluran DBH PBB dan BPHTB dengan sedikit modifikasi terutama untuk
DBH PPh pasal 25/29 karena adanya kemungkinan adanya restitusi kepada wajib pajak.
Dengan mengacu pada mekanisme PBB dan BPHTB maka akan dapat memperpendek
jalur penyaluran juga mempercepat proses penyaluran ke masing-masing rekening kas
daerah bersangkutan sehingga daerah dapat menerima DBH PPh tepat waktu serta
menghindari adanya kelebihan bayar sebagaimana saat ini lazim terjadi bagi daerah-
daerah yang alokasi definitifnya lebih rendah dari alokasi sementaranya.
Seperti halnya DBH yang lain, mekanisme SDA juga selayaknya
mengadopsi system PBB dan BPHTB dengan didahului pendalaman dan pengkajian yang
mendalam. Hendaknya peraturan tentang tatacara penghitungan dan pembagian diatur
secara terbuka dan transparan untuk dilaksanakan di KPPN dan diketahui oleh semua
pihak. Mekanismenya sebagai berikut :
1. Daerah penghasil/ rekanan menyetor hasil SDA ke rekening Kas Negara dan
melaporkan kepada KPPN selaku institusi perbendaharaan didaerah atas penyetoran
yang dilakukan.
2. KPPN melakukan verifikasi atas penyetoran tersebut, dan melakukan rekonsiliasi
dengan dinas terkait dengan waktu yang ditentukan, misalnya seperti yang dilakukan
saat ini. Rekonsiliasi dilakukan dengan instansi terkait dengan KPPN tiap bulan.
Setelah rekonsiliasi dilakukan dibuat berita acara dan ditanda-tangani oleh masing-
masing pihak.
3. Hendaknya dengan berita acara tersebut KPPN diberi wewenang untuk melakukan
transfer atas bagian-bagian pihak yang terkait : pemerintah daerah penghasil, non
penghasil dan pemerintah pusat sesuai dengan porsi pembagian dana bagi hasil.
4. KPPN dan instansi terkait melaporkan berita acara dimaksud ke menteri keuangan
dan menteri Energi Sumber Daya Mineral dan Pemerintah daerah terkait.
5. Di akhir tahun pemerintah pusat (Departemen Keuangan dan Departemen Energi
Sumber Daya Mineral) melakukan penetapan atas pagu difinitif dan melakukan
rekonsiliasi data berapa sebenarnya hak atas DBH SDA, jika ditemukan adanya
kekurangan penyaluran maka pemerintah pusat akan melalukan klarifikasi atas
kekurangan tersebut. Kalau hal ini disebabkan kelebihan target maka atas pemerintah
daerah dimaksud berhak atas insentif dan melakukan transfer atas kekurangan
dimaksud. Sebaliknya jika ada kelebihan penyaluran maka bisa diperhitungkan tahun
berikutnya.
Dengan system tersebut diharapkan tranparasi good governance terjadi, begitu juga
ketepatan dan kecepatan atas penyaluran DBH pun terjadi sehingga daerah dapat
menghitung dengan tepat berapa dana yang dimiliki untuk melakukan pembangunan di
daerahnya. Selanjutnya DBH bisa termanfaatkan secara optimal dalam pembangunan
daerah. Wallahu alam.

Referensi:
1. Blakley, E, (1989), Planning Local Economic Development : Theory and
Practices “ California : Sage Oublication, Inc
2. Darise N (2006), Pengelolaan Keuangan Daerah, PT Indeks 2006.
3. Depkeu, Nota Keuangan dan UU RI No. 19 tahun 2001 tentang APBN Ta.2002.
4. Depkeu, Nota Keuangan dan UU nomor 18 tahun 2006 tentang APBN 2007
5. Hofman, B and Kaiser, K, (2004) “ The Making of Big Bang and its Aftermath : A
Political Economy Perpective” Georgia : Andrew Young School of Policy Studies.
Georgia State University
6. Ismail, M, (2002). “ Pendapatan Asli Daerah Dalam Otonomi Daerah”. Malang :
FE Unibraw
7. Kuncoro, M., (2004) “ Otonomi Daerah : Reformasi, Perencanaan, Strategi dan
Peluang”. Jakarta : Penerbit Erlangga
8. Lembaga Administrasi Negara dan BPKP (2000), Akuntabilitas dan good
governance.
9. Sadu Wasistiono (2003), Kapita Selekta Manajemen Pemerintah Daerah,
Fokusmedia, Bandung
10. Siregar, R.Y., (2001) “ Survey of Recent Developmenta” Bulletin of Indonesia
Economic Studies, Vol 37, No.3 (Desember 2001)
11. Soemitro RH, (1994), Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,
Jakarta.
12. Usman, S., (2001) “ Indonesia’s Decentralizing Policy : Initial Experiences and
Emerging Problems” Semetu Working Paper.
13. World Bank., (2003 A). “ Decentralizing Indonesia : A Regional Public
Expenditure Review Overview Report” Report No.26191
Tulisan ini telah dimuat dalam Jurnal Informasi Perpajakan Akuntansi dan
Keuangan Publik, Universitas Trisakti, Vol 3 No.1, Januari, 2008

Anda mungkin juga menyukai