Although implementation of decentralization has run for several years, but there
are some problems which are not solved. The major problem is management of the
natural resources. The delivery of revenue sharing of the natural resources is still late in
three months period. It will disturb the development planning system in each region. The
wealthy regions, which region budget (APBD) is dominated by revenue sharing, could
not optimally the advantage of revenue sharing.
Essay Ilmiah
Oleh: Isti’anah
Pegawai pada:
Direktorat Pelaksanaan Anggaran
Direktorat Jenderal Perbendaharaan
Departemen Keuangan RI
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang.
Desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara,
khususnya dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih baik dan menciptakan
proses pengambilan keputusan public yang lebih demokratis. Desentralisasi dapat
diwujudkan dengan pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan dibawahnya.
Kebijakan desentralisasi fiskal yang digulirkan pada awal tahun 2001 telah memberikan
berbagai implikasi baik nasional maupun regional. Pada tingkat regional, kebijakan ini
merupakan upaya kemandirian daerah untuk memberdayakan sumber daya yang tersedia.
Bagi daerah yang surplus, desentralisasi fiskal merupakan sumber kesejahteraan
masyarakat untuk lebih meningkatkan taraf hidupnya. Sebaliknya bagi pemerintah daerah
yang minus dan masih mengharapkan kucuran dana dari pemerintah pusat, kebijakan ini
sangat memberatkan
Dana Bagi Hasil (revenue sharing) atau DBH adalah dana yang bersumber
dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase
untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. DBH
dilaksanakan dengan prinsip menurut sumbernya, dalam arti bahwa bagian daerah atas
penerimaan yang dibagihasilkan didasarkan atas daerah penghasil. Prinsip tersebut
berlaku untuk semua komponen DBH, kecuali DBH perikanan yang dibagi sama rata ke
seluruh kabupaten/kota. Selain itu, penyaluran DBH baik pajak maupun SDA dilakukan
berdasarkan realisasi penerimaan tahun anggaran berjalan. Berdasarkan sumbernya DBH
dibedakan dalam DBH Perpajakan dan DBH Sumber Daya Alam (DBH SDA). DBH
yang bersumber dari pajak terdiri atas Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25
dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21
DBH yang bersumber dari penerimaan PPh WPOPDN (Wajib Pajak Orang
Pribadi Dalam Negeri) dan PPh Pasal 21 yang dibagikan kepada Daerah sebesar 20% dan
80% merupakan bagian pemerintah pusat. DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 sebesar
20% tersebut dibagi dengan rincian 8% untuk provinsi yang bersangkutan, 2% untuk
kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan, 8,4 % untuk kabupaten/kota tempat
wajib pajak terdaftar dan 3,6% untuk seluruh kabupaten/kota dalam provinsi yang
bersangkutan dengan bagian sama besar.
Sedangkan DBH yang bersumber dari Sumber Daya Alam (SDA) meliputi :
a. DBH SDA Kehutanan terdiri dari Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), Iuran Izin
Usaha Pemanfaatan (IIUPH) dan Dana Reboisasi (DR).
b. DBH SDA Pertambangan Umum yang terdiri dari Land Rent (Iuran tetap), Iuran
Eksplorasi dan iuran Eksploitasi (Royalty) dan Kontrak Karya Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
c. DBH SDA Perikanan berasal dari Pungutan Pengusahaan Perikanan dan Pungutan
Hasil Perikanan
Tabel
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka secara umum tujuan
roset ini adalah untuk melihat seberapa efektif mekanisme penyaluran DBH. Sedangkan
tujuan khusus adalah :
3. Menyusun mekanisme DBH yang tepat, cepat dan transparatif yang mengarah pada
transparasi good governance.
BAB II
KERANGKA TEORITIS
Hal itu sejalan dengan pemberian otonomi daerah yang diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan, dan peran serta masyarakat (Darise 2006 : 14). Pemberian otonomi
kepada daerah dituangkan dalam Undang-Undang No.22 tahun 1999 dan disempurnakan
dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Pelimpahan
wewenang ini dibarengi dengan pelimpahan keuangan dari pemerintah pusat kepada
daerah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 dan disempurnakan
dengan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah. Tanpa adanya otonomi keuangan daerah tidak akan pernah
ada otonomi bagi pemerintah daerah. Jadi kedua Undang-undang ini saling melengkapi
(Ismail, 2002).
METODE RISET
A. Lokasi Riset ini berada di dalam lingkup Ditjen Perbendaharaan baik yang dipusat
maupun instansi daerahnya khususnya yang berkenaan dengan mekamisme
penyaluran Dana Bagi Hasil baik dana bagi hasil Pajak maupun Dana Bagi Hasil
Sumber Daya Alam.
Teknis pengumpulan data yang digunakan dalam riste ini adalah menggunakan
wawancara tidak terstruktur berupa pertanyaan pada responden. Selain itu, juga
menggunakan pengematan bebas terstruktur dengan pihak terkait guna memperdalam
hasil yang didapatkan dalam sebaran wawancara dari responden, sehingga
mempertajam dan memperjelas hasil dari wawancara.
PEMBAHASAN
Dari riset ini ditemukan bahwa Dana bagi hasil dalam pembangunan
daerah memiliki peranan yang sangat strategis, terutama daerah-daerah yang kaya akan
sumber daya alam. Dana bagi hasil yang merupakan bagian dari otonomi daerah memang
memberikan pengaruh yang signifikan atas daerah-daerah kaya sumber daya alam.
Daerah-daerah kaya sumber daya alam ini langsung melejit pembangunannya, dengan
uang yang berlimpah mereka langsung bisa membangun beragam fasilitas yang
diinginkannya. Namun sangat disayangkan hal itu hanya terjadi sesaat, karena dana
perimbangan dari pemerintah pusat sering terlambat turun.
Berikut adalah daftar DIPA Dana Bagi Hasil (DBH) yang telah diterbitkan oleh
Ditjen Perbendaharaan Departemen Keuangan selama tahun 2007.
Sampai dengan tahun 2007 hanya DBH PBB dan BPHTB yang dapat
disalurkan tepat waktu oleh pemerintah pusat, sedangkan DBH yang lainnya masih
mengalami keterlambatan. Untuk DBH Perpajakan bidang PPh masih ditemukan adanya
kurang bayar tahun 2005 dan 2006 sebesar Rp. 43.247.880.423, sehingga Direktorat
Jenderal Perbendaharaan menerbitkan DIPA untuk menutupi kekurangan tersebut pada
tanggal 18 Desember 2007. Problem lainnya juga terjadi atas DBH SDA bidang
Perikanan, migas dan kehutanan yang belum bisa disalurkan hingga tahun anggaran
hampir berakhir. Hal itu disebabkan belum adanya rekonsiliasi antara departemen teknis,
daerah penghasil dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan.
Karena sistem anggaran kita tidak membolehkan dana tahun lalu dicairkan tahun
berikutnya maka untuk menghindari hangusnya dana tersebut di ambil kebijakan untuk
menerbitkan DIPA ESCROW atas dana-dana tersebut, dengan rincian untuk bidang
perikanan sebesar Rp. 77.527.662.356, untuk bidang migas sebesar Rp.
3.370.055.298.506 dan bidang kehutanan sebesar Rp. 734.359.691.458.
Keterlambatan DBH dinilai membuat pembangunan di daerah tidak
berjalan lancar. Dana yang harusnya bisa dialokasikan untuk triwulan I, misalnya, baru
dibayarkan pada triwulan II dan begitu juga bila dana itu digunakan untuk triwulan II,
baru diberikan di triwulan III. Pembayaran yang seharusnya dilakukan per
triwulan atau per 1 April, selalu meleset. Bahkan keterlambatan bisa
mencapai enam bulan. Hal itu berdampak terhadap aliran dana atau
cash flow daerah, khususnya daerah dengan APBD yang mengandalkan
dari sektor dana bagi hasil yaitu daerah daerah yang kaya migas seperti (NAD, Papua,
Riau, dan Kaltim). Keterlambatan ini juga merupakan penyebab utama banyaknya dana
daerah yang tidak termanfaatkan secara optimal dan akhirnya ditemukan banyaknya dana
pemerintah daerah yang tersimpan di bank dalam berbagai bentuk. Bahkan seandainya
dilakukan survey mendalam mungkin akan ditemukan bahwa semua pemda mempunyai
SBI karena untuk menyimpan DBH mereka yang turun di akhir tahun dan tidak ada
waktu untuk memanfaatkannya karena tahun anggaran hampir atau segera berakhir.
Berikut ini perhitungan APBD 2 (dua) di antara daerah yang kaya tersebut yaitu
ringkasan dari APBD sepropinsi Riau tahun 2007 dan APBD sepropinsi Kalimantan
Timur tahun 2007.
APBD Tahun 2007
Total Se-Provinsi Riau
Dari tabel diatas terlihat bahwa untuk wilayah se propinsi Riau sumber
APBDnya 66,88% adalah dana bagi hasil .Demikian halnya dengan Propinsi Kalimantan
Timur sumber APBD nya 64,27 % berasal dari dana bagi hasil. Karena begitu besarnya
presentase DBH terhadap APBD maka kelambatan atas penerimaan bagian DBH
dimaksud sangat mempengaruhi kelancaran pembangunan di daerah-daerah yang kaya
SDA. Bahkan banyak pengamat ekonomi mengatakan bahwa daerah-daerah yang surplus
bagi hasilnya justru mengalami kelambanan dalam pembangunan daerahnya yang
disebabkan kelambatan dari pemerintah dalam menyalurkan DBH bagian daerah.
Penyaluran ke daerah yang tidak on time mengakibatkan seringnya keluhan daerah yang
menganggap model serta mekanisme bagi hasil SDA tidak transparan. Daerah tidak dapat
mengetahui bagaimana mekanisme produksi, biaya produksi dan penjualan dari hasil
sumber daya alam..
Kalau di lihat dari hal-hal tersebut di atas, sampai saat ini PBB dan
BPHTB merupakan mekanisme yang dianggap paling bagus dan efektif sehingga sampai
saat ini memang tidak menimbulkan problem ataupun sudah dianggap sebagai
mekanisme yang paling bagus, namun jika dicermati lebih mendalam dan kajian khusus
maka bisa ditemukan belum tepatnya system tersebut. Perlu diketahui PBB sendiri
mempunyai beberapa sektor yi : Sektor pertambangan 70 % bag Direktorat Jenderal
Pajak, 30% bagian daerah, sektor kehutanan 65% Direktorat Jenderal Pajak dan 35%
bagian daerah, sektor perkotaan 20% Direktorat Jenderal Pajak, 80% bagian daerah,
sektor perdesaan 10% Direktorat Jenderal Pajak, 90% daerah, sector perkebunan 40%
bagian Direktorat Jenderal Pajak dan 60 % untuk bagian daerah. Tiga sektor terakhir dan
BPHTB layak di daerahkan karena sifat dan naturenya tetap. Pemerintah pusat hanya
mengadministrasikannya melalui KPPN selaku institusi Perbendaharaan di daerah, jadi
pemerintah pusat tahu seberapa besar kekuatan daerah.
Agar pembagian dan penyaluran DBH PPh pasal 21 dan PPh pasal 25/29
WPOPDN bagian pemerintah daerah tidak mengalami keterlambatan, hendaknya diikuti
model penyaluran DBH PBB dan BPHTB dengan sedikit modifikasi terutama untuk
DBH PPh pasal 25/29 karena adanya kemungkinan adanya restitusi kepada wajib pajak.
Dengan mengacu pada mekanisme PBB dan BPHTB maka akan dapat memperpendek
jalur penyaluran juga mempercepat proses penyaluran ke masing-masing rekening kas
daerah bersangkutan sehingga daerah dapat menerima DBH PPh tepat waktu serta
menghindari adanya kelebihan bayar sebagaimana saat ini lazim terjadi bagi daerah-
daerah yang alokasi definitifnya lebih rendah dari alokasi sementaranya.
Seperti halnya DBH yang lain, mekanisme SDA juga selayaknya
mengadopsi system PBB dan BPHTB dengan didahului pendalaman dan pengkajian yang
mendalam. Hendaknya peraturan tentang tatacara penghitungan dan pembagian diatur
secara terbuka dan transparan untuk dilaksanakan di KPPN dan diketahui oleh semua
pihak. Mekanismenya sebagai berikut :
1. Daerah penghasil/ rekanan menyetor hasil SDA ke rekening Kas Negara dan
melaporkan kepada KPPN selaku institusi perbendaharaan didaerah atas penyetoran
yang dilakukan.
2. KPPN melakukan verifikasi atas penyetoran tersebut, dan melakukan rekonsiliasi
dengan dinas terkait dengan waktu yang ditentukan, misalnya seperti yang dilakukan
saat ini. Rekonsiliasi dilakukan dengan instansi terkait dengan KPPN tiap bulan.
Setelah rekonsiliasi dilakukan dibuat berita acara dan ditanda-tangani oleh masing-
masing pihak.
3. Hendaknya dengan berita acara tersebut KPPN diberi wewenang untuk melakukan
transfer atas bagian-bagian pihak yang terkait : pemerintah daerah penghasil, non
penghasil dan pemerintah pusat sesuai dengan porsi pembagian dana bagi hasil.
4. KPPN dan instansi terkait melaporkan berita acara dimaksud ke menteri keuangan
dan menteri Energi Sumber Daya Mineral dan Pemerintah daerah terkait.
5. Di akhir tahun pemerintah pusat (Departemen Keuangan dan Departemen Energi
Sumber Daya Mineral) melakukan penetapan atas pagu difinitif dan melakukan
rekonsiliasi data berapa sebenarnya hak atas DBH SDA, jika ditemukan adanya
kekurangan penyaluran maka pemerintah pusat akan melalukan klarifikasi atas
kekurangan tersebut. Kalau hal ini disebabkan kelebihan target maka atas pemerintah
daerah dimaksud berhak atas insentif dan melakukan transfer atas kekurangan
dimaksud. Sebaliknya jika ada kelebihan penyaluran maka bisa diperhitungkan tahun
berikutnya.
Dengan system tersebut diharapkan tranparasi good governance terjadi, begitu juga
ketepatan dan kecepatan atas penyaluran DBH pun terjadi sehingga daerah dapat
menghitung dengan tepat berapa dana yang dimiliki untuk melakukan pembangunan di
daerahnya. Selanjutnya DBH bisa termanfaatkan secara optimal dalam pembangunan
daerah. Wallahu alam.
Referensi:
1. Blakley, E, (1989), Planning Local Economic Development : Theory and
Practices “ California : Sage Oublication, Inc
2. Darise N (2006), Pengelolaan Keuangan Daerah, PT Indeks 2006.
3. Depkeu, Nota Keuangan dan UU RI No. 19 tahun 2001 tentang APBN Ta.2002.
4. Depkeu, Nota Keuangan dan UU nomor 18 tahun 2006 tentang APBN 2007
5. Hofman, B and Kaiser, K, (2004) “ The Making of Big Bang and its Aftermath : A
Political Economy Perpective” Georgia : Andrew Young School of Policy Studies.
Georgia State University
6. Ismail, M, (2002). “ Pendapatan Asli Daerah Dalam Otonomi Daerah”. Malang :
FE Unibraw
7. Kuncoro, M., (2004) “ Otonomi Daerah : Reformasi, Perencanaan, Strategi dan
Peluang”. Jakarta : Penerbit Erlangga
8. Lembaga Administrasi Negara dan BPKP (2000), Akuntabilitas dan good
governance.
9. Sadu Wasistiono (2003), Kapita Selekta Manajemen Pemerintah Daerah,
Fokusmedia, Bandung
10. Siregar, R.Y., (2001) “ Survey of Recent Developmenta” Bulletin of Indonesia
Economic Studies, Vol 37, No.3 (Desember 2001)
11. Soemitro RH, (1994), Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,
Jakarta.
12. Usman, S., (2001) “ Indonesia’s Decentralizing Policy : Initial Experiences and
Emerging Problems” Semetu Working Paper.
13. World Bank., (2003 A). “ Decentralizing Indonesia : A Regional Public
Expenditure Review Overview Report” Report No.26191
Tulisan ini telah dimuat dalam Jurnal Informasi Perpajakan Akuntansi dan
Keuangan Publik, Universitas Trisakti, Vol 3 No.1, Januari, 2008