Anda di halaman 1dari 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Bronkiolitis adalah infeksi akut pada saluran napas kecil atau bronkiolus yang pada umumnya disebabkan oleh virus, sehingga menyebabkan gejala-gejala obstruksi bronkiolus. Pedoman APP (American Academy of Pediatrics) mendefinisikan bronkiolitis sebagai sebuah kumpulan gejala-gejala dan tandatanda klinis termasuk prodromal virus pernafasan atas, diikuti peningkatan wheezing dan usaha bernafas dari anak-anak kurang dari 2 tahun. (1,10)

2.2 Epidemiologi Bronkiolitis sering mengenai anak usia dibawah 2 tahun dengan insiden tertinggi pada bayi usia 6 bulan. Pada daerah yang penduduknya padat insiden tertinggi pada bayi usia 2 bulan. Makin muda umur bayi menderita bronkiolitis, biasanya akan makin berat penyakitnya. Bayi yang menderita bronkiolitis berat mungkin oleh karena kadar antibodi maternal yang rendah. Selain usia, bayi dan anak dengan penyakit jantung bawaan, bronchopulmonary dysplasia,

prematuritas, kelainan neurologis dan immunocompromized mempunyai resiko yang lebih besar untuk terjadinya penyakit yang lebih berat. (1,7) Insiden infeksi RSV sama pada laki-laki dan wanita, namun bronkiolitis berat lebih sering terjadi pada laki-laki. Faktor resiko terjadinya bronkiolitis adalah jenis kelamin laki-laki, status ekonomi sosial rendah, jumlah anggota

keluarga yang besar, perokok pasif, berada pada tempat penitipan anak atau tempat-tempat umum yang ramai, rendahnya antibodi maternal terhadap RSV, dan bayi yang tidak mendapatkan air susu ibu.(1,2,8) RSV menyebar melalui droplet dan inokulasi/kontak langsung, seseorang biasanya aman apabila berjarak lebih 6 feet dari seseorang yag menderita infeksi RSV. Droplet yang besar dapat bertahan di udara bebas selama 6 jam, dan seorang penderita dapat menularkan virus tersebut selama 10 hari. (8)

2.3 Etiologi Bronkiolitis terutama disebabkan oleh Respiratory Syncitial Virus (RSV), 60-90% dari kasus, dan sisanya disebabkan oleh virus Parainfluenzae tipe 1,2 dan 3, Influenzae B, Adenovirus tipe 1,2, dan 5, atau Mycoplasma. RSV adalah penyebab utama bronkiolitis dan merupakan satu-satunya penyebab yang dapat menimbulkan epidemi. Hayden dkk (2004) mendapatkan bahwa infeksi RSV menyebabkan bronkiolitis sebanyak 45-90% dan menyebabkan pneumonia sebanyak 40%. (7) RSV adalah single stranded RNA virus yang berukuran sedang (80350nm), termasuk paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein permukaan bagian penting dari RSV untuk menginfeksisel, yaitu protein G (attachment protein) yang mengikat seldan protein F (fusion protein) yang menghubungkan partikel virus dengan sel target dan sel tetangganya. Kedua protein ini merangsang antibody neutralisasi protektif pada host. Terdapat dua macam strain antigen RSV

yaitu A dan B. RSV strain A menyebabkan gejala yang pernafasan yang lebih berat dan menimbulkan sekuele.(1,7,8)

2.4 Patogenesis dan Patofisiologi Masa inkubasi RSV 2-5 hari. Virus bereplikasi dalam nasofaring kemudian menyebar dari saluran nafas atas ke saluran nafas bawah melalui penyebaran langsung pada epitel saluran nafas dan melalui aspirasi sekresi nasofaring. RSV mempengaruhi system saluran nafas melalui kolonisasid anreplikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus yang member gambaran patologi awal berupa nekrosis sel epitel silia. Nekrosis sel epitel saluran nafas menyebabkan terjadi edema submukosa dan pelepasan debris dan fibrin ke dalam lumen bronkiolus. Virus yang merusak sel epitel bersilia juga mengganggu gerakan mukosilier. Mucus tertimbun dalam bronkiolus. Kerusakan sel epitel saluran nafas juga mengakibatkan saraf aferen lebih terpapar terhadap allergen/iritan. Sehingga dilepas beberapa neuropeptide (neurokinin, substance P) yang menyebabkan kontraksi otot polos saluran nafas. Pada akhirnya kerusakan epitel saluran nafas juga meningkatkan ekpresi Intercellular Adhesion Molecule1(ICAM-1) dan produksi sitokin yang akan menarik eosinophil dan sel-sel inflamasi. Jadi, bronkiolus menjadi sempit karena kombinasi dari proses inflamasi, edema saluran nafas, akumulasi sel-sel debris dan mucus serta spasme otot polos saluran nafas.(1,7,11) Adapun respon paru ialah dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu, menurunkan compliance. Meningkatkan tahanan saluran nafas, dead space serta

meningkatkan shunt. Semua faktor-faktor tersebut menyebabkan peningkatan kerja system pernafasan, batuk, wheezing, obstruksi saluran nafas, hiperaerasi, atelektasis, hipoksia, hiperkapnea, asidosis metabolic sampai gagal nafas. Karena resistensi aliran udara saluran udara berbanding terbalik dengan diameter saluran nafas pangkat 4, maka penebalan dinding bronkiolus sedikit saja sudah cukup besar pada aliran udara. Apalagi diameter saluran nafas bayi dan anak kecil lebih sempit. Resistensi aliran udara saluran nafas meningkat pada fase inspirasi maupun pada fase ekspirasi. Semua fase ekspirasi terdapat mekanisme klep sehingga udara akan terperangkap dan menimbulkan overinflasi dada. Volume dada pada akhir ekspirasi meningkat hamper 2 kali diatas normal. Atelectasis dapat terjadi bila obstruksi total.(12,13)

Gambar 2.1 Pembengkakan bronkiolus

Anak besar dan orang dewasa jarang mengalami bronkiolitis bilaterserang infeksi virus. Perbedaan anatomi antara paru-paru bayi muda dan anak yang lebih besar mungkin merupakan konstribusi terhadap hal ini. Respon proteksi imunologi terhadap RSV bersifat transien dan tidak lengkap. Infeksi yang berulang pada saluran nafas bawah akan meningkatkan resistensi terhadap penyakit. Akibat infeksi yang berulang-ulang. Terjadicumulatif immunity sehingga pada anak yang lebih besar dan orang dewasa cenderung lebih tahan terhadap infeksi bronkiolitis dan pneumonia karena RSV.(14) Penyembuhan bronkiolitis akut diawali dengan degenerasi epitel bronkus dalam 3-4 hari, sedangkan regenerasi dari silia berlangsung lebih lama dapat sampai 15 hari.(12,15,16) Ada 2 macam fenomena yang mendasari hubungan antara infeksi virus saluran nafas dan asma: (1) infeksi akut virus saluran nafas pada bayi atau anak kecil sering kali disertai wheezing. (2) Penderita wheezing berulang yang disertai dengan penurunan tes faal paru, ternyata sering kali mengalami infeksi virus saluran nafas pada saat bayi/ usia muda. Infeksi RSV dapat menstimulasi respon imun humoral dan selular. Respon antibody sistemik terjadi bersamaan dengan respon imun local. Bayi usia muda mempunyai respon imun yang lebih buruk. Glezendkk (dikutip dati Bar-on, 1996) mendapatkan bahwa terjadi hubungan terbalik antara titer antibody neutralizing dengan resiko infeksi.(17) Tujuh puluh sampai delapan puluh persen anak dengan infeksi RSV memproduksi IgE dalam 6 hari dalam perjalanan penyakit dan dapat bertahan

sampai 34 hari. IgE-RSV ditemukan dalam secret nasofaring 45% anak yang terinfeksi RSV dengan mengi, tapi tidak pada anak tanpa mengi. Bronkiolitis yang disebabkan RSV pada usia dini akan berkembang menjadi asma bila ditemukan IgE spesifik RSV.(9,17)

2.5 Manifestasi Klinis Mula-mula bayi menderita gejala ISPA atas ringan berupa pilek yang encer dan bersin. Gejala ini berlangsung beberapa hari, kadang-kadang disertai demam dan nafsu makan berkurang. Kemudian timbul distress nafas yang ditandai oleh batuk paroksismal, wheezing, sesak nafas. Bayi-bayi akan menjadi rewel, muntah serta sulit makan dan minum. Bronkiolitis biasanya terjadi setelah kontak dengan orang dewasa atau anak besar yang menderita infeksi saluran nafas atas yang ringan.(1,2,7,8) Bayi mengalami demam ringan atau tidak demam sama sekali dan bahkan ada yang mengalami hipotermi. Terjadi distress nafas dengan frekuensi nafas lebih dari 60 kali per menit, kadang-kadang disertai sianosis, nadi juga biasanya meningkat. Terdapat pernafasan cuping hidung, penggunaan otot bantu pernafasan dan retraksi. Retraksi biasanya tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru (terperangkapnya udara dalam paru). Terdapat ekspirasi yang memanjang, wheezing yang dapat terdengar dengan atau tanpa stetoskop, serta terdapat crackles. Hepar dan lien teraba akibat pendorongan diafragma karena tertekan olehparu yang hiperinflasi. Sering terjadi hipoksia dengan saturasi oksigen <92%

pada udara kamar. Pada beberapa pasien dengan bronkiolitis didapatkan konjungtivitis ringan, otitis media serta faringitis.(7,8) Ada bentuk kronis bronkiolitis, biasanya disebakan oleh karena adenovirus atau inhalasi zattoksis (hydrochioric, nitric acids, sulfur dioxide).

Karakteristiknya: gambaran klinis dan radiologis hilang timbul dalam beberapa minggu atau bulan dengan episode atelectasis, pneumonia dan wheezing yang berulang. Proses penyembuhan, mengarah ke penyakit paru kronis. Histopatologi: hipertrofi dan timbunan infiltrate meluas ke peribronkial, destruksi dan deorganisasi jaringan otot dan elastic dinding mukosa. Terminal bronkiolus tersumbat dan dilatasi. Alveoli overdistensi, atelectasis dan fibrosis.(18)

2.6 Diagnosis Diagnosis bronkiolitis berdasarkan gambaran klinis, umur penderita dan adanya epidemic RSV di masyarakat. Kriteria bronkiolitis terdiri dari: (1) wheezing pertama kali, (2) umur 24 bulan atau kurang, (3) pemeriksaan fisik sesuai dengan gambaran infeksi virus misalnya batuk, pilek, demam, dan (4) menyingkirkan pneumonia atau riway atatopi yang dapat menyebabkan wheezing.(1,2) Untuk menilai kegawatan penderita dapat dipakai skor Respiratory

Distress Assessment Instrument (RDAI), yang menilai distress nafas berdasarkan 2 variabel respirasi yaitu wheezing dan retraksi. Bila skor lebih dari 15 dimasukkan kategori berat, bila skor kurang 3 dimasukkan dalam kategori ringan.(18,19)

Tabel.2.1 Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI) (dikutip dari klassen, 1991) (19) SKOR 2 Semua > 3 dari 4 lap paru Sedang Sedang Sedang Skor Maksimal 4 2 2

0 Wheezing -Ekspirasi -Inspirasi -Lokasi (-) (-) (-)

1 Akhir Sebagian < 2 dari 4 lap paru Ringan Ringan Ringan

3/4

Semua

Retraksi -Supra klavikular (-) -Interkostal (-) -Subkostal (-) TOTAL

Berat Berat Berat

3 3 3 17

Pluse oximetry merupakan alat yang tidak invasif dan berguna untuk menilai derajat keparahan penderita. Saturasi oksigen <95%, merupakan tanda terjadinya hipoksia dan merupaka indikasi untuk rawat inap. (2) Tes laboratorium rutin tidak spesifik. Hitung leukosit biasanya normal. Pada pasien dengan peningkatan leukosit biasanya disominasi oleh PMN dan bentuk batang. Gambaran radiologik masih mungkin normal bila bronkiolitis ringan. Umumnya terlihat paru-paru mengembang (hyperaerated). Bisa juga didapatkan bercak-bercak yang tersebar, mungkin atelektasis atau pneumonia. (1,2) Bayi-bayi dengan bronkiolitis mengalami wheezing untuk pertama kalinya, berbeda dengan asma yang mengalami wheezing berulang. Asma bronkiale merupakan diagnosis banding yang tersering. Diagnosis banding bronkiolitis adalah: asma bronkiale, pneumonia, aspirasi benda asing, refluks gastroesophageal, sistik fibrosis, gagal jantung, miokarditis.(1,2,20)

Tabel 2.2 Beberapa perbedaan antara bronkiolitis dan asma ASMA Penyebab Umur Sesak berulang Onset sesak ISPA atas Atopi keluarga Alergi lain Respon bronkodilator Eosinofil Hiperreaktivitas bronkus >2 tahun Ya Akut +/Sering Sering Cepat Meningkat BRONKIOLITIS Virus 6 bulan 2 tahun Tidak Insidious Selalu + Jarang Lambat Normal

2.7 Tatalaksana Prinsip dasar penanganan bronkiolitis adalah terapi suportif:oksigenasi, pemberian cairan untuk mencegah dehidrasi, dan nutrisi yang adekuat. Bronkiolitis ringan biasanya rawat jalan dan perlu diberikan cairan peroral yang adekuat. Bayi dengan bronkiolitis sedang sampai berat harus dirawat inap. Penderita resiko tinggi harus dirawat inap, diantaranya: berusia kurang dari 3 bulan, prematur, kelainan jantung, kelainan neurologi, penyakit paru kronis, defisiensi imun, distres napas. Tujuan perawatan di rumah sakit adalah terapi suportif, mencegah dan mengatasi komplikasi, atau bila diperlukan pemberian antivirus. (2,20)

Tabel 2.3Terapi Bronkiolitis (RSV): rekomendasi dari Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ) (8)

a. Terapi Oksigen Oksigen harus diberikan kepada semua penderita kecuali untuk kasuskasus yang sangat ringan. Saturasi oksigen menggambarkan kejenuhan afinitas hemoglobin terhadap oksigen di dalam darah. Terapi oksigen dihentikan bila pemeriksaan saturasi oksigen dengan pulse oximetry pada suhu ruangan stabil diatas 94%. Pemberian oksigen pada saat masuk sangat beroengaruh pada skor beratnya penyakit dan lama perawatan di rumah sakit. (123,20) b. Terapi Cairan

Pemberian cairan dan kalori yang cukup (bila perlu dapat dengan infuse dan diet sonde/nasogastrik). Jumlah cairan disesuaika dengan berat badan, kenaikan suhu dan status hidrasi. Cairan intravena diberikan bila pasien muntah dan tidak dapat minum, panas, distress napas untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Dapat dibenarkan pemberian retriksi cairan 2/3 dari kebutuhan rumatan, untuk mencegah edema paru dan edema otak akibat SIADH (Syndrome of Inappropriate Anti Diuretic Hormone). Selanjutnya perlu dilakukan koreksi terhadap kelainan asam basa dan elektrolit yang mungkin timbul.(8,20) c. Antibiotika Apabila terdapat perubahan pada kondisi umum penderita, peningkatan leukosit atau pergeseran hitung jenis, atau tersangka sepsis maka diperiksa kultur darah, urine, feses dan cairan serebrospinal, secepatnya diberikan antibiotika yang memiliki spectrum luas. Pemberian antibiotik secara rutin tidak menunjukkan pengaruh terhadap perjalanan bronkiolitis. Akan tetapi keterlambatan dalam mengetahui virus RSV atau virus lain sebagai penyebab bronkiolitis dan menyadari bahwa infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder dapat menjadi alasan diberikan antibiotika.(20,21,22) d. Antivirus Ribavirin adalah purin nucleoside derivate guanosine sintetik, bekerja mempengaruhi pengeluaran messenger RNA (mRNA). Ribavirin

menghambat translasi mRNA virus kedalam protein virus dan menekan

aktivitas polymerase RNA. Titer RSV bisa meningkat dalam tiga hari setelah gejala timbul atau sepuluh hari setelah terkena virus. Karena mekanisme ribavirin menghambat replikasi virus selama fase replikasi aktif, maka pemberian ribavirin lebih bermanfaat pada fase awal infeksi. (7,8) e. Bronkodilator Penggunaan bronkodilator untuk terapi bronkiolitis telah lama

diperdebatkan selama hampir 40 tahun.Terapi farmakologis yang paling sering diberikan untuk pengobatan bronkiolitis adalah bronkodilator dan kortikosteroid. Obat-obat beta 2 agonis sangat berguna pada penyakit dengan penyempitan saluran napas karena menyebabkan efek

bronkodilatasi, mengurangi pelepasan mediator dari sel mast, menurunkan tonus kolinergik, mengurangi sembab mukosa dan meningkatkan pergerakan silia saluran napas sehingga efektivitas dari mukosilier akan lebih baik. (23,24) Dapat diberikan nebulasi agonis (salbutamol 0,1mg/kgBB/dosis, 4-6 x/hari) diencerkan dengan salin normal untuk memperbaiki kebersihan mukosilier. f. Kortikosteroid Kortikosteroid yang digunakan adalah prednison, metilprrednisolon, hidrokortison, dan deksametason. Untuk penyamaan dilakukan konversi rata-rata dosis per hari serta rata-rata total paparan obat tersebut dengan ekuivalen mg/kgBB prednison. Rata-rata dosis per hari berkisar antara 0,6-

6,3 mg/kgBB, dan rata-rata total paparan antara 3,0-18,9 mg/kgBB. Cara pemberian adalah secara oral, intramuskular, dan intravena. Tidak ada efek merugikan yang dilaporkan

Gambar 2.2 Algoritma Tatalaksana Bronkiolus

2.8 Pencegahan Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari faktor paparan asap rokok dan polusi udara, membatasi penularan terutama di rumah sakit misalnya dengan membiasakan cuci tangan dan penggunaan sarung tangan dan masker, isolasi penderita, menghindarkan bayi/anak kecil dari kontak dengan penderita ISPA. (23)

Anda mungkin juga menyukai