Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam pertanian, selain iklim dan cuaca, curah hujan merupakan


merupakan unsur penting untuk tumbuh-kembangnya suatu tanaman . Tanaman
mendapatkan pasokan air secara alami melalui air hujan. Besarnya curah hujan
pada daerah tertentu mempunyai intensitas yang berbeda. Curah hujan juga
mempengaruhi jenis tumbuhan yang dapat tumbuh pada suatu wilayah.
Peran hujan sangat penting dalam siklus hidrologi. Hujan berasal dari
kondensasi uap air yang jatuh kembali ke permukaan bumi sehingga dalam
analisis siklus hidrologi curah huajn selalu diperhitungkan. Untuk mendapatkan
curah hujan rata-rata di seluruh daerah yang bersangkutan, perlu ditempatkan
beberapa penakar hujan di beberapa tempat yang berbeda, namun masih dalam
satu wilayah.
Pada praktikum acara IV dengan judul Analisa Curah Hujan Wilayah
praktikan akan mempelajari cara pengukuran curah hujan wilayah dengan tiga
metode, antara lain metode metoda rata-rata Aljabar, metoda Isohyet dan metoda
Polygon Thiessen.

1.1 Tujuan
Menentukan curah hujan dalam suatu wilayah (DAS) sebagai
masukan dalam analisis hidrologi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Parameter hujan yang sangat penting adalah intensitas, tebal, lama


kejadian, frekuensi, dan luas daerah penyebaran hujan. Intensitas hujan adalah
jumlah curah hujan dalam satu satuan waktu, satuan yang digunakan mm/jam.
Frekuensi hujan adalah jumlah kejadian hujan dalam satu satuan waktu tertentu.
Luas penyebaran hujan adalah luas daerah hujan yang dianggap mempunyai
intensitas hujan tertentu. Lama kejadian (durasi) hujan atau lama waktu hujan
yang terjadi untuk setiap kejadian hujan (Susanto, 2005).
Besarnya hujan yang dicatat oleh sebuah alat penakar hujan mewakili
daerah yang tidak begitu luas, karena itu untuk memperoleh hujan dari suatu
wilayah diperlukan alat – alat pengamatan yang cukup jumlahnya sehingga
diharapkan diperoleh data yang mewakili dari DAS yang bersangkutan. Tingkat
ketelitian ini berkaitan dengan kerapatan dan pola penyebaran dari penakar hujan
yang dipasang pada DAS tersebut (Anonim, 2008).
Menurut Seyhan (1990) terdapat tiga faktor utama yang menyebabkan
terjadinya hujan antara lain :
1. Adanya udara yang lembab.
2. Adanya sarana untuk menaikan udara yang lembab, sehingga kodensasi
dapat berlangsung sebagai akibat pendinginan udara.
3. Adanya kondensasi di sekitar inti sampai cukup massa untuk jatuh
Hujan adalah unsur iklim yang mempunyai variasi besar. Untuk data
rekaman yang pendek harus dicek apakah sudah cukup atau tidak dan syah
digunakan estimasi yang akan datang. Terdapat beberapa metode untuk
menentukan handal atau tidaknya data hujan, misalnya untuk menentukan jumlah
tahun pengamatan atau mengukur variasi hujan. Untuk mengetes homogenitas
data curah hujan digunakan beberapa cara yaitu (Sudira, 1999) :
a. Plotting data
Cara paling sederhana tetapi kurang terpercaya. Analisis ini dengan
membuat grafik curah hujan terhadap waktu. Dari bentuk grafik akan terlihat
apakah bentuk – bentuk pola hujan musiman reguler atau tidak, apabila tidak,
maka perlu diperbaiki.
b. Run test
Run test dapat digunakan untuk menentukan tingkat dan periode data yang
tidak homogen.
c. Analisis kurva massa ganda
Perubahan lokasi penakar hujan, keterbukaan, dan cara pengamatan dapat
menyebabkan suatu perubahan relatif dalam penangkapan hujan. Analisis kurva
massa ganda digunakan untuk menguji konsistensi hasil pengukuran pada suatu
stasiun dan membandingkan hujan akumulasi tahunannya atau musimannya
dengan stasiun lainnya atau kumpulan stasiun yang mengelilinginya dan hujannya
bersamaan dengan topografi yang sama .
Perhitungan Hujan wilayah dapat dilakukan dengan metode sebagai berikut
(Anonim, 2008) :
a. Cara rata-rata Aljabar
Hujan wilayah didapat dengan menjumlahkan curah hujan pada semua
tempat pengukuran selama satu periode tertentu dan membaginya dengan
banyaknya tempat pengukuran. Persamaan yang digunakan yaitu :
n

P
i 1
i
P
n
Dimana :
P = hujan wilayah
Pi = hujan pada stasiun i
n = jumlah stasiun dalam suatu DAS
i = 1,2,3,...,n
Cara ini paling mudah, tetapi ketelitiannya sangat rendah, dan
umumnya digunkaan unutk daerah dengan variasi hujan yang kecil.
b. Cara Poligon Thiessen
Metode ini dapat dilakukan pada daerah yang mempunyai distribusi
penakar hujan yang tidak seragam ( non uniform ) dengan
mempertimbangkan luas daerah pengaruh dari masing – masing penakar.
Pada cara ini, dianggap bahwa data curah hujan dari suatu tempat
pengamatan dapat dipakai untuk daerah pengaliran di sekitar tempat itu.
Cara Pengukuannya yaitu :
1. Stasiun penakar diplot pada sebuah peta.
2. titik penakar hujan terluar saling dihubungkan.
3. dari maing-masing stasiun terluar dihubungkan dengan stasiun
yang paling dekat.
4. mencari titik tengah dari tiap garis pengubung antar stasiun,
kemudian menarik garis tegak lurus terhadap garis penghubung
pada titik tengah yang diperoleh.
5. menentukan garis polygon, yaitu garis yang terbetuk dari langkah
4. Garis Polgon merupakan batas wilayah yang dipengaruhi oleh
penakar hujan.
6. hitung luas daerah yang dibatasi oleh polygon dengan
menggunakan planimeter.
7. curah hujan wilayah dihitung dengan persamaan :
n

A
i 1
1  P1
P n

A
i 1
i

P = hujan wilayah
Ai = luas areal poligon di titik i
Pi = curah hujan di stasiun penakar i
n = jumlah stasiun penakar
i = 1, 2, 3, ..., n
Cara ini lebih baik dibandingkan metode aljabar karena telah
memasukkan faktor daerah pengaruh stasiun hujan. Cara ini paling banyak
digunakan dalam praktek, karena mudah dan unsur subjektivitasnya kecil,
meskipun masih mengandung kelemahan bahwa faktor topografi tidak
termasuk di dalamnya .
c. Metode Isohyet (Garis ketinggian hujan yang sama)
Peta isohyet digambar pada peta dengan perbedaan (interval) 10 sampai 20
mm berdasarkan data curah hujan pada titik – titik pengamatan.
Caranya yaitu :
1. menghubungkan masing-masing stasiun terdekat dengan
gais lurus.
2. Garis isohyt dibuat dengan cara menginterpolasi garis
penghubung antar stasiun sesuai isohyt yang dibuat
sehingga diperoleh titik-titik interpolasi yang merupakan
titik dengan ketinggian hujan tertentu.
3. menghubungkan titik-titik interpolasi yang mempuyai
ketinggian hujan yang sama.
4. menghitung luas antara dua isohyt yang berurutan
dengan planimter.
5. menghitung tebal hujan rerata antara dua isohyt yang
berurutan.
6. menghitung curah hujan wilayah dengan persamaan :
n

A
i 1
1  P1
P n

A
i 1
i

Dimana :
P = hujan wilayah
Ai = luas areal antara 2 isohyet yang berurutan
Pi = curah hujan antara 2 isohyet yang berurutan
n = jumlah isohyet
i = 1, 2, 3, ..., n
Jika tiap pengamatan mencakup beberapa ratus km2 maka penggunaan peta
skala 1 : 20000 sampai 1 : 500000 cukup memadai. Cara ini secara teoritis sangat
baik karena pengaruh topografi dapat tercakup di dalamnya, yaitu dalam
penggambaran garis isohyetnya. Akan tetapi cara ini hanya baik apabila dilakukan
oleh analis yang telah mengenal secara umum sifat – sifat hujan di daerah
tersebut, sehingga interpretasi dalam penggambaran dapat lebih baik.
Subyektifitas dengan cara ini dapat menjadi sangat besar, terutama sekali dalam
penetapan isohytnya.
Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul dalam
tempat yang datar, tidak menguap, tidak meresap, dan tidak mengalir. Curah
hujan 1 (satu) millimeter, artinya dalam luasan satu meter persegi pada tempat
yang datar tertampung air setinggi satu millimeter atau tertampung air sebanyak
satu liter. (www.aphi-net.com)

Hujan merupakan bentuk endapan yang sering dijumpai, dan di Indonesia


dimaksud dengan endapan adalah curah hujan. Curah hujan dan suhu merupakan
unsur iklim yang sangat penting. Jumlah curah hujan dicatat dalam inci atau
milimeter. Jumlah curah huajn 1 mm menunjukkan tinggi air hujan yang menutupi
permukaan 1 mm, jika air tersebut tidak meresap kedalam tanah atau menguap ke
atmosfer (Bayong, 1999).
BAB III
METODOLOGI
3.1 Alat dan Bahan
1. Peta Stasiun curah hujan
2. Alat Tulis
3. Kalkulator
4. Kertas
5. Software ArcView GIS 3.2

3.2.Cara Kerja
A. Metode Rata-rata Aljabar
1. Peta penempatan stasiun penangkar hujan disiapkan
1. Dihitung jumlah penenpatan alat/stasiun penangkar hujan
2. Dijumlahkan besar semua curah hujan pada semua stasiun
3. Hasil penjumlahan seluruh curah hujan dibagi dengan banyaknya tempat
penempatan stasiun hujan

B. Metode Polygon Thiessen


1. Stasiun penakar hujan diplotkan pada peta yang telah tersedia.
2. Titik-titik penakar hujan terluar dihubungkan dengan pola segitiga.
3. Stasiun terluar dengan stasiun paling dekat dihubungkan.
4. Dicari titik tengah dari setiap garis penghubung antar stasiun kemudian
ditarik garis tegak lurus terhadap garis penghubung pada titik tengah yang
diperoleh.
5. Garis polygon ditentukan( garis yang terbentuk dari langkah 4).
6. Luas daerah yang dibatasi oleh poligon dengan diukur menggunakan
ArcView GIS 3.2 (scan terlebih dahulu peta hujan dengan scanner dan
rubah ke format JPG atau JPEG).
7. Curah hujan wilayah dapat dihitung.
C. Metode Isohyt (garis ketinggian hujan yang sama)
1. Masing-masing stasiun terdekat dihubungkan dengan garis lurus.
2. Garis isohyt dibuat dengan cara menginterpolasi garis penghubung antar
stasiun sesuai isohyt yang dibuat sehingga diperoleh titik-titik interpolasi
yang merupakan titik dengan ketinggian hujan tertentu.
3. titik-titik interpolasi yang mempunyai ketinggian hujan yang sama
dihubungkan .
4. Dihitung luas antara dua isohyt yang berurutan dengan ArcView GIS 3.2
(scan terlebih dahulu peta hujan dengan scanner dan rubah ke format JPG
atau JPEG).
5. Dihitung tebal hujan rerata antara dua isohyt yang berurutan.
6. Dihitung curah hujan wilayah.
a. Analisa Data
Hujan wilayah metode Rata-rata Aljabar
n

 Pi
P i 1

n
dimana : P : hujan wilayah
Pi : hujan pada stasiun i
n : jumlah stasiun dalam suatu DAS
i : 1, 2, 3, ......, n
Hujan wilayah metode Polygon Thiessen
n

 Pi. Ai
P i 1
n

 Ai
i 1

dimana : P : hujan wilayah


Pi : hujan pada stasiun i
Ai : luas areal poligon dititik i
n : jumlah stasiun penakar dalam suatu DAS
i : 1, 2, 3, ......, n
Hujan wilayah metode Isohyt
n

 Pi. Ai
P i 1
n

 Ai
i 1

dimana : P : hujan wilayah


Pi : hujan antara dua isohyt yang berurutan
Ai : luas areal antara dua isohyt yang berurutan
n : jumlah isohyt
i : 1, 2, 3, ......, n
Contoh perhitungan :
Hujan wilayah metode Rata-rata Aljabar
n

 Pi
P i 1

n

150  130  125  .........  145  140
19
P  117,6316mm

Hujan wilayah metode Polygon Thiessen


n

 Pi.Ai
i 1
P n

 Ai
i 1


125x 0,021  .........  (120x0,358)
0,021 .........  0,358
 108,7001mm
Hujan wilayah metode Isohyt
n

 Pi .Ai
P i 1
n

 Ai
i 1


136,25x 0,0747  ......  (96,25x 0,0952)
0,0747  .....  0,0952
P  116,8965mm
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
.1. Metoda rata-rata Aljabar
no Pi (mm)
1
150
2
130
3
125
4
125
5
110
6
130
7
100
8
95
9
95
10
90
11
120
12
100
13
105
14
110
15
120
16
120
17
125
18
140
19
145
jumlah
2235
Rata-rata
117,6316
2. Metoda Polygon Thiessen
Data pengukuran luas area (skala 1 : 10000)
No P (mm)
Pi Ai(m²) Pi X Ai
0,02102385
1 125 2,627981
0,04045096
2 120 4,854115
0,0559558
3 130 7,274254
0,07518598
4 140 10,52604
0,08525591
5 125 10,65699
0,08525638
6 145 12,36217
0,1068693
7 125 13,35866
0,15347121
8 95 14,57976
0,1558134
9 90 14,02321
0,17938042
10 110 19,73185
0,25371868
11 100 25,37187
0,2537897
12 100 25,37897
0,26822669
13 105 28,1638
0,31496482
14 110 34,64613
0,35325442
15 95 33,55917
0,35839365
16 120 43,00724
rerata
2,76101114 300,1222
Hasil
108,7001
3.Metode Isohyt
Data pengukuran luas area (skala 1 : 10000)
no P1 P2 Pi(mm) Ai(m²) Pi X Ai P (mm)
1 142,5 130 136,25 0,074797 10,19112
2 125 110 117,5 0,183004 21,50298
3 131,25 130 130,625 0,180008 23,51356
4 127,5 127,5 127,5 0,253266 32,29139
5 123,75 126 124,875 0,198892 24,8366
6 120 120 120 0,237353 28,48233
7 60 115 87,5 0,44406 38,85529
8 145 125 135 0,330382 44,60157
9 70 122,5 96,25 0,095202 9,163221
rata-rata 1,996964 233,4381
hasil 116,8965
4.2 Pembahasan
Dalam praktikum acara IV ini praktikan diminta untuk menghitung jumlah
curah hujan wilayah yang mewakili wilayah yang luas. Metode yang digunakan
antara lain metode rata-rata Aljabar, metode Polygon Thiessen, dan metode garis
Isohyt. Ketiganya mempunyai cara yang berbeda dalam menentukan jumlah curah
hujan suatu wilayah. Pada metode rata-rata Aljabar, curah hujan (P) diperoleh
dengan menjumlahkan curah hujan dari masing-masing stasiun kemudian dibagi
dengan banyaknya jumlah stasiun penangkar hujan. Dari ketiga metode pengukur
curah hujan wilayah, metode rata-rata Aljabar merupakan cara yang paling
sederhana dan mudah digunakan. Namun, tingkat ketelitian dari metode ini sangat
rendah. Metode rata-rata Aljabar pada umunya hanya dipergunakan untuk daerah
dengan variasi hujan yang sekecil mungkin. Dari hasil pengamatan sebanyak 19
stasiun penangkar hujan diperoleh hasil curah hujan (P) adalah 117,6316 mm.
Hasil perhitungan yang diperoleh dengan cara rata-rata Aljabar ini hampir sama
dengan cara lain apabila jumlah stasiun pengamatan cukup banyak dan tersebar
merata di seluruh wilayah. Keuntungan perhitungan dengan cara ini adalah lebih
obyektif.
Metode yang kedua adalah Polygon Thiessen. Langkahnya adalah
menghubungkan tiga stasiun penakar terdekat dengan pola segitiga, kemudian
diambil garis tegak lurus terhadap masing-masing sisi kemidian garis tegak lurus
tersebut dihubungkan dengan garis lainnya sehingga membentuk sebuah pola
wilayah yang masing-masing mempunyai satu stasiun penakar hujan. Setelah pola
terbentuk kemudian di scan dan di konvert dalam format .jpg/.jpeg kemudian
gunakan software Arcc View Gis 3.2 untuk menentukan luas poligon. Setelah luas
diperoleh maka dicari besarnya curah hujan tiap poligon dengan besarnya curah
hujan yang ada pada masing-masing poligon. Kemudian hasilnya dijumlah dan
dibagi dengan total luas wilayah. Dari hasil perhitungan diperoleh curah hujan
wilayah 108,7001 mm. Metode poligon Thiessen dapat dilakukan pada daerah
yang memiliki distribusi penakar hujan yang tidak merata atau seragam dengan
mempertimbangkan luas daerah pengaruh dari masing-masing penakar. Pada
metode ini dianggap bahwa pada data curah hujan dari suatu tempat pengamatan
dapat dipakai pada daerah pengaliran di sekitar tempat itu. Metode poligon
Thiessen ini akan memberikan hasil yang lebih teliti daripada cara rata-rata
aljabar, akan tetapi penentuan stasiun pengamatan dan pemilihan ketingggian
akan mempengaruhi ketelitian hasil. Metode ini termasuk memadai untuk
menentukan curah hujan suatu wilayah, tetapi hasil yang baik akan ditentukan
oleh sejauh mana penempatan stasiun pengamatan hujan mampu mewakili daerah
pengamatan.
Metode yang ketiga adalah Isohyt (garis ketinggian hujan yang sama).
Metode ini dipandang lebih baik tetapi bersifat subyektif dan tergantung pada
keahlian, pengalaman dan pengetahuan pemakai terhadap sifat curah hujan di
wilayah setempat. Perhitungan dilakukan dengan menghitung luas wilayah yang
dibatasi garis isohyet dengan planimeter. Curah hujan wilayah dihitung
berdasarkan jumlah perkalian antara luas masing-masing bagian isohyet (Ai)
dengan curah hujan dari setiap wilayah yang bersangkutan (Ri) kemudian dibagi
luas total daerah tangkapan air (A).Caranya adalah mencari interpolasi bagi jarak
yang tidak sama sehingga akan didapat titik-titik yang akan mempunyai curah
hujan yang sama. Kemudian titik-titik tersebut dihubungkan dan pada akhirnya
akan membentuk garis-garis yang memilah masing-masing ketinggian. Untuk
mencari luasannya sama dengan metode Poligon Thiessen yaitu peta di scan,
kemudian gunakan Arc View GIS 3.2 untuk mencari luasannya. Setelah itu
didapat hasil perhitungan curah hujan yaitu sebesar 116,8965 mm. Metode ini
dapat menjadi tidak akurat jika garis isohyet tidak teliti dalam membuatnya dan
pengukuran luas dengan Arc View GIS 3.2.
Hasil yang bebeda dengan data yang sama diperoleh dari ketiga metode
tesebut. Untuk metode rata-rata Aljabar dan metode Isohyt selisih hasilnya cukup
tipis, sedangkan dengan hasil dari metode Polygon Thiessen diperoloeh selisih
hasil yang cukup banyak. Dari sini kita dapat mengetahui adanya kesalahan dalam
penghitungan ketiga metode tersebut. Dalam menentukan luas dengan Arc View
GIS 3.2 kesalahan bisa terjadi saat menggambar polygon. Kesalahan juga bisa
terjadi saat menentukan garis-garis isohyt dan polygon pada saat menentukan
banyaknya luasan pada gambar sketsa.
BAB V
KESIMPULAN

1. Hasil perhitungan dengan metode aljabar sebesar 117,6316 mm.


2. Hasil perhitungan dengan metode poligon Thiessen sebesar
108,7001mm.
3. Hasil perhitungan dengan metode Isohyet sebesar 116,8965 mm.
4. Metode Isohyt merupakan metode yang mempunyai hasil yang paling
valid. Dalam metode ini besarnya luas daerah yang mempunyai tebal
curah hujan yang sama sangat diperhitungkan sehingga hasil yang
diperoleh lebih teliti.
5. Metode rata-rata Aljabar mempunyai tingkat ketelitian yang paling
rendah. Metode ini cocok untuk daerah yang curah hujannya merata
dan mempunyai perbedaan curah hujan yang kecil.
6. Pada metode Polygon Thiessen terdapat sedikit kesalahan saat
menentukan luasan dengan menggunakan Arc View GIS 3.2 sehingga
selisih hasil yang diperoleh terpaut jauh antara metode pertama dan
ketiga. Secara teori, metode ini lebih teliti jika dibandingkan dengan
metode rata-rata Aljabar karena perhitungan hujan wilayah
memperhatikan luas area tangkapan hujan pada masing-masing stasiun
sehingga hujan wilayah yang didapat meruakan rata-rata hujan wilayah
per luas area tangkapan.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Panduan Praktikum Agroklimatologi. Laboratorium Teknik Sumber


Daya Alam Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.

Sudira,Putu. 1999. Klimatologi. Universitas Gadjah Mada:Yogyakarta

Susanto, Sahid. 2005. Handout Hidrologi. Fakultas Teknologi Pertanian. UGM.


Yogyakarta.

Tjasyono, Bayong. 1999. Klimatologi umum. Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Anonim.2008.Istilah dan Pengertian dalam Perkiraan Prakiraan Musim. www.aphi-


net.com.

Anda mungkin juga menyukai