Anda di halaman 1dari 51

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang HIV singkatan dari Human Immunodeficiency Virus, adalah virus retrovirus.

Virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Bila virus HIV tersebut menjadi tidak terkendali dan telah menyerang tubuh dalam jangka waktu lama maka infeksi virus HIV tersebut dapat berkembang menjadi AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) (Fauziah dkk, 2010). Virus ini menyerang organ - organ vital sistem kekebalan tubuh manusia, dengan mengikat reseptor CD4+ pada sel T, makrofag, dan sel dendritik. Reseptor CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik. Berdasarkan data dari United Nation Program on HIV/AIDS (UNAIDS, 2008) 67% infeksi HIV di dunia terdapat di kawasan Sub Sahara Afrika. Menurut WHO, prevalensi HIV pada wilayah Asia pacific memikul beban terberat kedua setelah afrika, dengan perkiraan 4,9 juta dan 95% diantaranya berada di 9 negara asia, yaitu : Camboja, China, India, Indonesia,Myanmar,Nepal, Papua New Guinea (PNG), Thailand dan Vietnam. Pada laporan Michael R. Bloomberg (2011), pada tanggal 30 september 2011, sebanyak 110.736 orang telah di diagnosis dan dilaporkan terkena HIV di NEW YORK CITY dan ini merupakan kenaikan 1,7% dari tahun 2009, dan 12 % dari tahun 2006. Pada tahun 2010, ada 3481 didiagnosa HIV/AID di NEW YORK CITY 7,6% pada pria dan 48,3 pada wanita. Di Indonesia dari hasil statistik kasus HIV/AID (2011), jumlah kasus HIV dari tahun 2005 2011 meningkat pesat. Pada tahun 2005 ditemukan sebanyak 859 kasus, tahun 2006 meningkat menjadi 7195 kasus, tahun 2007 terjadi penurunan menjadi 6048 kasus, tetapi pada tahun 2008 terjadi peningkatan kembali yang sangat tinggi sebanyak 10462 kasus, pada tahun 2009 menurun menjadi 9793, hingga pada tahun 2010 kasus HIV mencapai 21591 dan tahun 2011 terdapat 21031 kasus.

HIV dapat ditularkan melalui cairan vagina, air mani ataupun darah penderita HIV yang masuk ke dalam tubuh. Hal ini biasanya terjadi melalui hubungan seksual, baik oral, anal maupun vaginal, transfusi darah yang terinfeksi HIV, pemakaian jarum suntik bersama sama ataupun dari ibu hamil yang terkena HIV kepada bayi yang dikandungnya pada saat hamil maupun saat melahirkan ( Baratawidjaja, Rengganis 2009). Transmisi HIV dari ibu kepada janin dapat terjadi saat interauterine ( 5 10% ) saat persalinan ( 10 20%) dan pascapersalinan ( 5 20% ). Kelainan yang dapat terjadi pada janin adalah berat badan lahir rendah, bayi lahir mati, partus preterm, dan abortus spontan (Daili, 2008). Khusus untuk resiko penularan dari ibu hamil yang terinfeksi HIV kepada bayi yang di kandungnya pada masa persalinan biasanya karena : adanya tekanan pada plasenta sehingga terjadi sedikit pencampuran antara darah ibu dengan darah bayi lebih sering terjadi jika plasenta terkena infeksi), bayi terpapar darah dan lendir dari serviks pada saat melewati jalan lahir atau karena bayi kemungkinan terinfeksi akibat menelan darah dan lendir serviks pada saat resusitasi (Fauziah dkk, 2010). B. Tujuan Tujuan dari pembuatan makalah presentasi kasus ini adalah untuk mengetahui faktor risiko, pathogenesis, tanda, gejala, komplikasi, hingga penatalaksanaan pada kasus HIV pada kehamilan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi HIV AIDS (Acquired Immunodeficiency Sindrom/ Sindrom imunodefisiensi didapat), adalah stadium akhir pada serangkaian abnormalitas imunologis dan klinis yang yang dikenal sebagai spektrum infeksi HIV. HIV yang dulu disebut sebagai HTLV-III ( Human T cell Lymphotropic Virus III) atau LAV (Lymphadenophaty Virus) adalah virus sitopatik dari famili retrovirus (Price, 2006) B. Etiologi Mola Hidatidosa Penyebab sindrom imunodefisiensi ini adalah DNA retrovirus yang dikenal sebagai human immunodeficiency virus, HIV-1 dan HIV-2. Pada tahun 1992 kebanyakan kasus di seluruh dunia disebabkan oleh infeksi HIV-1. Infeksi HIV-2 endemik di Afrika Barat, namun tidak umum ditemukan di AS (Beers, 1999). Luc Montagnier dkk tahun 1983 telah menemukan LAV (Lymphadenopathy Assosiated Virus) dari seorang dengan pembengkakan kelenjar limfe (PGL). Pada tahun 1984 sejenis virus yang disebut HTVL 3 (Human T cell Lymphotropic virus tipe 3) ditemukan dari pasien AIDS di Amerika oleh Robert Gallo dkk. Kemudian ternyata bahwa kedua virus tersebut sama, dan oleh Committee Taxonomy International pada tahun 1985 disebut sebagai HIV (human Deficiency Virus). Sampai tahun 1994 diketahui ada dua subtype yaitu HIV 1 dan HIV 2 (Sudoyo, 2006). HIV 1 dan HIV 2 merupakan suatu virus RNA yang termasuk retrovirus dan lentivirus. HIV 1 penyebarannya lebih luas di hampir seluruh dunia, sedangkan HIV 2 ditemukan pada pasien-pasien dari Afrika Barat dan Portugal. HIV 2 lebih mirip dengan monkey virus yang disebut SIV (Simian Immunodeficiency Virus). Antara HIV 1 dan HIV 2 initinya mirip, tetapi selubung luarnya sangat berbeda (Sudoyo, 2006).

HIV mempunyai enzim reverse transcriptase yang terdapat di dalam inti HIV dan akan mengubah RNA virus mejadi DNA, inti HIV merupakan protein yang dikenal dengan p24, dan bagian luar HIV yang berupa selubung glikoprotein terdiri dari selubung transmembran gp 41 dan bagian luar berupa tonjolan-tonjolan yang disebut gp 120. Gen yang selalu ada pada stuktur genetik virus HIV adalah gen untuk kode inti p24, dang en yang mengkode polymerase RTase. Sedangkan gen yang mengkode selubung luar akan sangat bervariasi dari satu strain virus dengan lainnya. Bahkan pada seseorang pengidap HIV selubung luar ini dapat berbeda-beda (Sudoyo, 2006). C. Struktur HIV Virion HIV berbentuk sferis dan memiliki inti berbentuk kerucut, dikelilingi oleh selubung lipid yang berasal dari membran sel hospes. Inti virus mengandung protein kapsid terbesar yaitu p24, protein nukleokapsid p7/p9, dua kopi RNA genom, dan tiga enzim virus yaitu protease, reverse transcriptase dan integrase . Protein p24 adalah antigen virus yang cepat terdeteksi dan merupakan target antibodi dalam tes screening HIV. Inti virus dikelilingi oleh matriks protein dinamakan p17, yang merupakan lapisan di bawah selubung lipid. Sedangkan selubung lipid virus mengandung dua glikoprotein yang sangat penting dalam proses infeksi HIV dalam sel yaitu gp120 dan gp41. Genom virus yang berisi gen gag, pol, dan env yang akan mengkode protein virus. Hasil translasi berupa protein prekursor yang besar dan harus dipotong oleh protease menjadi protein mature ( Jawetz, 2005). D. Patofisiologi Patofisiologi HIV-AIDS adalah kompleks. HIV diyakini memicu HIV-AIDS oleh depleting CD4 + limfosit T helper yang melemahkan sistem kekebalan tubuh dan memungkinkan infeksi oportunistik. Llimfosit T sangat penting untuk respon imun dan tanpa mereka, tubuh tidak dapat melawan infeksi atau membunuh sel kanker. Selama fase

akut, HIV-induced sel pecah dan membunuh sel yang terinfeksi oleh sel T sitotoksik untuk penipisan sel T CD4 +. Apoptosis (Suatu bentuk kematian sel di mana urutan peristiwa mengarah ke eliminasi sel-sel tanpa melepaskan zat berbahaya ke daerah sekitarnya) juga bisa menjadi faktor penyebab. Selama fase kronis, konsekuensi dari aktivasi kekebalan menyeluruh ditambah dengan hilangnya secara bertahap kemampuan sistem imunitas tubuh untuk menghasilkan selsel T baru muncul sehingga menyebabkan penurunan lamban dalam nomor sel T CD4 + (Kennedy, 2008). Meskipun karakteristik gejala dari defisiensi imun HIV-AIDS tidak muncul selama bertahun-tahun setelah seseorang terinfeksi, sebagian besar sel T CD4 + hilang yang terjadi selama minggu pertama infeksi, terutama di mukosa usus, yang mana tempat mayoritas muara limfosit ditemukan dalam tubuh. Respon imun yang kuat akhirnya mengendalikan infeksi dan memulai tahap laten. Namun, sel T CD4 + di jaringan mukosa tetap habis selama infeksi, walaupun tetap cukup untuk awalnya dalam melawan infeksi yang mengancam jiwa (Kennedy, 2008). Pembunuhan secara langsung sel T CD 4+ oleh HIV saja, tidak dapat dinilai untuk pengataman deplesi sel-sel karena hanya 0,010,10% dari sel CD4 di dalam darah yang terinfeksi. Penyebab utama hilangnya sel T CD4 + timbul dari meningkatnya kerentanan mereka untuk apoptosis ketika sistem kekebalan tubuh tetap diaktifkan. Dengan kata lain, mereka bunuh diri. Meskipun sel T yang baru terus diproduksi oleh timus untuk menggantikan yang hilang, kapasitas regeneratif timus ini perlahan hancur oleh infeksi langsung dari thymocytes dengan HIV. Akhirnya, jumlah minimal sel CD4 yang diperlukan untuk mempertahankan respon yang memadai kekebalan, hilang, sehingga menyebabkan HIV-AIDS ((Kennedy, 2008).

E. Faktor Risiko Ada dua faktor utama untuk menjelaskan faktor risiko penularan HIV dari ibu ke bayi: 1. Faktor ibu dan bayi a. Faktor ibu Faktor yang paling utama mempengaruhi risiko penularan HIV dari ibu ke bayi adalah kadar HIV (viral load) di darah ibu pada menjelang ataupun saat persalinan dan kadar HIV di air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya. Umumnya, satu atau dua minggu setelah seseorang terinfeksi HIV, kadar HIV akan cepat sekali bertambah di tubuh seseorang (Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, 2006). Risiko penularan akan lebih besar jika ibu memiliki kadar HIV yang tinggi pada menjelang ataupun saat persalinan. Status kesehatan dan gizi ibu juga mempengaruhi risiko penularan HIV dari ibu ke bayi. Ibu dengan sel CD4 yang rendah mempunyai risiko penularan yang lebih besar, terlebih jika jumlah CD4 kurang dari 200 (Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, 2006). Jika ibu memiliki berat badan yang rendah selama kehamilan serta kekurangan vitamin dan mineral, maka risiko terkena berbagai penyakit infeksi juga meningkat. Biasanya, jika ibu menderita infeksi menular seksual atau infeksi reproduksi lainnya maupun malaria, maka kadar HIV akan meningkat (Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, 2006). Risiko penularan HIV melalui pemberian ASI akan bertambah jika terdapat kadar CD4 yang kurang dari 200 serta adanya masalah pada ibu seperti mastitis, abses, luka di puting payudara. Risiko penularan HIV pasca persalinan menjadi meningkat bila ibu terinfeksi HIV ketika sedang masa menyusui bayinya (Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, 2006). b. Faktor bayi i. bayi yang lahir prematur dan memiliki berat badan lahir rendah, ii. melalui ASI yang diberikan pada usia enam bulan pertama bayi,

iii. bayi yang meminum ASI dan memiliki luka di mulutnya (Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, 2006). 2. Faktor cara penularan a. menular saat persalinan melalui percampuran darah ibu dan darah bayi, b. bayi menelan darah ataupun lendir ibu, c. persalinan yang berlangsung lama, d. ketuban pecah lebih dari 4 jam Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan akan meningkatkan risiko transmisi antepartum sampai dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam sebelum persalinan (Juwantoro, 2006). e. penggunaan elektrode pada kepala janin, penggunaan vakum atau forceps, dan tindakan episiotomi f. bayi yang lebih banyak mengonsumsi makanan campuran daripada ASI Penularan di dalam kandungan didiagnosis jika pemeriksaan virologis negatif dalam 48 jam pertama setelah kelahiran, selanjutnya tes minggu pertama menjadi positif dan bayi tidak menyusui Ibu. Selama persalinan bayi dapat tercemar darah atau cairan servikovaginal ibu yang mengandung HIV melalui paparan trakeobronkial atau tertelan pada saat janin berada dijalan lahir (Juwantoro, 2006). Tabel 1 Faktor yang meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke bayi (Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, 2006; Anonim, 2006; Juwantoro, 2006). Masa kehamilan Masa persalinan Masa menyusui Ibu baru terifeksi HIV Ibu baru terinfeksi HIV Ibu baru terinfeksi HIV Ibu memiliki infeksi Ibu mengalami pecah Ibu memberikan ASI virus, bakteri, parasit ketuban lebih dari 4 jam dalam periode yang lama. sebelum persalinan ASI diketahui cukup banyak banyak. mengandung HIV dalam jumlah Konsentrasi median sel pada ibu yang terinfeksi HIV adalah 1 per 104 sel.

Berbagai dapat risiko mastitis puting mukosa

faktor transmisi atau susu, mulut

yang HIV di di bayi,

mempengaruhi

melalui ASI antara lain luka lesi

prematuritas dan respon Ibu memiliki imun bayi infeksi Terdapat tindakan medis Ibu memberikan makanan yang dapat meningkatkan campuran (mixed feeding) kontak dengan darah ibu untuk bayi atau cairan tubuh ibu (sepert elktrode atau Ibu penggunaan pada forceps, kepala dan janin Ibu suatu pada memiliki payudara, masalah seperti

menular seksual

janin, penggunaan vakum episiotomi menderita Bayi merupakan pertama dari

kekurangan gizi

kehamilan ganda (karena mastitis, abses, luka di lebih dekat dengan leher puting payudara rahim/serviks) Ibu memiliki Bayi memiliki luka di

korioamniositis (dan IMS mulut yang tak diobati atau infeksi lainnya)

F. GEJALA KLINIS Gejala-gejala dari infeksi akut HIV tidak spesifik, meliputi kelelahan, ruam kulit, nyeri kepala, mual dan berkeringat di malam hari.
8

AIDS ditandai dengan supresi yang nyata pada sitem imun dan perkembangan infeksi oportunistik berat yang sangat bervariasi atau neoplasma yang tidak umum (terutama sarcoma Kaposi). Gejala yang lebih serius pada orang dewasa seringkali didahului oleh gejala prodormal (diare dan penurunan berat badan) meliputi kelelahan, malaise, demam, napas pendek, diare kronis, bercak putih pada lidah (kandidiasis oral) dan limfadenopati. Gejala-gejala penyakit pada saluran pencernaan , dari esophagus sampai kolon merupakan penyebab utama kelemahan. Tanpa pengobatan interval antara infeksi primer oleh HIV dan timbulnya penyakit klinis pertama kali pada orang dewasa biasanya panjang, rata-rata sekitar 10 tahun (Jawetz, 2005). WHO menetapkan empat stadium klinik pada pasien yang terinfeksi HIV/AIDS, sebagai berikut (Sundaru, 2006): 1) Stadium 1 : asimtomatik, limfadenopati generalisata 2) Stadium 2 Berat badan turun < 10 % Manifestasi mukokutan minor (dermatitis seboroik, prurigo, infeksi jamur, kuku, ulkus oral rectum, cheilitis angularis) Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir Infeksi saluran nafas atas rekuren

3) Stadium 3 Berat badan turun > 10 % Diare yang tidak diketahui penyebab, > 1 bulan Demam berkepanjangan (intermitten atau konstan), > 1 bulan Kandidiasis oral Oral hairy leucoplakia Tuberculosis paru

Infeksi bakteri baru (pneumonia, piomiositis) 4) Stadium 4 HIV wasting syndrome Pneumonia Pneumocystis carinii Toksoplama serebral
9

Kriptosporodiosis dengan diare > 1 bulan Sitomegalovirus pada organ selain hati, limpa, atau kelenjar getah bening (misalnya retinitis CMV) Infeksi herpes simpleks, mukokutan (> 1 bulan) atau viseral Progressive multifocal leucoencephalopathy Kandidiasis esofagus, trakea, dan bronkus Mikobakteriosis atipik, diseminata atau paru Limfoma Sarkoma Kaposi Ensefalopati HIV

G. DIAGNOSIS Diagnosis ini ditegakkan melalui pemeriksaan laboratorium dengan petunjuk dari gejala-gejala klinis atau dari adanya perilaku risiko tinggi individu tertentu. Diagnosis laboratorium dapat dilakukan dengan dua metode: 1. Langsung yaitu isolasi virus dari sampel, umumnya dilakukan dengan menggunakan mikroskop elektron dan deteksi antigen virus. Salah satu deteksi antigen virus yang populer adalah PRC (Polymerase Chain Reaction) 2. Tidak langsung yaitu dengan melihat respon zat antigen spesifik dengan ELISA, Western Blot, Immunoflourescent Assay (IFA), atau Radioimunoprecipitation Assay (RIPA). Untuk diagnosis yang lazim dipakai adalah tes ELISA karena sensifitasnya tinggi 98,1-100% dan biasanya memberikan hasil positif selama 2-3 bulan setelah infeksi (Duarsa, 2005). Pemeriksaan dengan PCR atau kultur virus dapat dilakukan sejak lahir dan usia 1 atau 2 bulan. Jika dengan PCR kultur virus positif, maka pemeriksaan harus diulang segera untuk konfirmasi sebelum diagnosis HIV dibuat. Bila hasil PCR atau kultur virus dilakukan saat lahir dan usia

10

1-2 bulan tidak menunjukkan hasil positif dan bayi tidak menunjukkan gejala maka pemeriksaan diulang pada usia 4 bulan (Judarwanto, 2006). Pemeriksaan yang bisa dilakukan pada usia di bawah usia 18 bulan adalah pemeriksaan kultur HIV, tehnik PCR (Polymerase Chain Reaction) untuk mendeteksi DNA atau RNA HIV dan deteksi antigen p24. Infeksi HIV pada bayi di bawah 18 bulan dapat ditegakkan bila dua sampel dari dua kali pemeriksaaan yang berbeda dengan kultur, DNA HIV atau RNA HIV menunjukkan hasil positif. Infeksi HIV bisa disingkirkan bila 2 macam sampel tes yang berbeda menunjukkan hasil negatif (Judarwanto, 2006; Anonim, 2006). Imunoglobulin G (IgG) tidak dapat dipakai untuk mendiagnosis HIV pada bayi di bawah usia 18 bulan. Hal ini disebabkan karena masih ditemukannya IgG anti HIV ibu yang melewati plasenta di darah bayi, bahkan kadang hingga usia 24 bulan. Sedangkan IgA dan IgM anti HIV tidak dapat melalui plasenta sehingga dapat dijadikan konfirmasi diagnosis bila ditemukan pada bayi. Namun sensitifitas kedua pemeriksaan tersebut masih sangat rendah (Judarwanto, 2006). Uji HIV pada wanita hamil terintegrasi dengan pemeriksaan rutin kehamilan. Apabila sudah terdiagnosis AIDS perlu pula dilakukan pemeriksaan infeksi PMS lainnya, seperti gonorea, klamidia, hepatitis, herpes dan lainnya (Hanifa, 2002). H. PENCEGAHAN WHO dan PBB merekomendasikan empat kerangka strategi jangka panjang untuk mencegah transmisi HIV dari ibu ke Janin/bayinya. Adapun ke empat kerangka strategi tersebut adalah (Anonim, 2006; Best, 2006, Peckham, 2006; Peiperl, 2006; Hafkin, 2006): 1. Mencegah infeksi primer HIV a. Melakukan intervensi terhadap perubahan pola hidup. b. Memperbaiki penanganan penularan infeksi secara seksual c. Memastikan keamanan persediaan darah

11

d. Memperhatikan faktor-faktor konstitusional yang memudahkan seorang wanita terinfeksi HIV (cth: masalah ekonomi, pendidikan, dll) Pencegahan HIV pada wanita, terutama pada wanita muda dan pasangannya adalah jalan yang terbaik untuk menjamin bahwa penularan sekunder ke bayi tidak terjadi. Mayoritas infeksi HIV di seluruh dunia terjadi pada penduduk muda yang berusia 10-24 tahun. Diantara kelompok ini anak perempuan dan wanita muda tercatat paling banyak mendapat infeksi baru dan mayoritas wanita yang memeriksakan kehamilannya pada klinik MCH (Maternal and child health) berusia 15-24 tahun. Cara lain dalam pencegahan primer infeksi HIV adalah intervensi dengan skala luas terhadap sexual transmitted infection (STI). Seperti diketahui bahwa STI memiliki hubungan terhadap faktor resiko terjadinya infeksi HIV. Di Thailand prevalensi HIV yang sebelumnya tinggi menjadi berkurang dengan penanganan STI melalui pengobatan dan promosi pemakaian kondom terhadap pekerja-pekerja seksual. 2. Mencegah terjadinya kehamilan pada wanita yang terinfeksi HIV a. Memberikan informasi tentang KB dan konseling untuk membantu dalam pengambilan keputusan b. Mengintegrasikan pelayanan kontrasepsi pada konseling sukarela c. Memperkuat hubungan antara FP (Family Planning)dan pelayanan HIV d. Menjamin akses FP (Family Planning) ke pilihan yang aman. Upaya PMTCT (Prevention of mother-to-child transmission) berfokus hampir semata-mata pada pencegahan transmisi dari wanita hamil yang positif menderita HIV. Pendekatan ini diambil sebagai akibat tidak berhasilnya penggunan kontrasepsi dalam hal menurunkan MTCT (Mother-to-child transmission) dalam mencegah kehamilan pada wanita yang positif terinfeksi HIV. Karena kehamilan yang tidak diharapkan berjumlah lebih dari 50% pada semua kelahiran dibeberapa negara, kontrasepsi merupakan hal yang potensial untuk mencegah ribuan transmisi vertikal HIV.

12

3. Mencegah transmisi HIV dari wanita yang terinfeksi ke bayinya a. Melakukan intervensi untuk menurunkan penularan selama kehamilan, persalinan dan kelahiran. b. Melakukan intervensi untuk menurunkan penularan melalui menyusui (tidak menyusui bayinya). Penelitian dan pengalaman yang telah terbukti aman, dapat dikerjakan dengan mudah dan efektif untuk menurunkan transmisi HIV dari wanita hamil yang terinfeksi ke bayi adalah dengan cara: a. Kemoprofilaksis antiretrovirus b. Praktek obstetri yang aman c. Konseling pemberian makanan pada bayi. Meskipun demikian, untuk keberhasilan dari intervensi ini, wanita hamil yang terinfeksi HIV harus melakukan ANC dan atau pelayanan maternal dan dia harus memiliki akses konseling dan pelayanan tes HIV. Dua pendekatan utama pada konseling dan tes HIV pada ANC yaitu : Optin dan Opt-out. a. Yang dimaksud dengan optimal-in (Opt-in) yaitu testing HIV yang ditujukan pada wanita hamil sebagai intervensi terpisah dari pelayanan ANC rutin dan harus bersedia untuk mendapat tes ini. b. Sedangkan optimal-out (Opt-out) yaitu testing HIV merupakan bagian dari pelayanan ANC rutin dan harus dilakukan kecuali wanita tersebut menolak. Kemoprofilaksis antiretroviral pada PMTCT Beberapa penelitian yang telah dilakukan memperlihatkan keberhasilan pemberian obat antiretroviral pada wanita selama hamil, persalinan dan kelahiran dan pada bayi setelah kelahiran secara signifikan menurunkan risiko MTCT. Obat antiretroviral seperti Zidovudine (ZDV), Lamivudine (3TC) dan Niverapine (NVP) telah diuji coba dan aman serta efektif saat digunakan tersendiri (ZDV atau NVP) atau dikombinasikan (ZDV+3TC, ZDV+NVP atau ZDV+3TC+NVP). Banyak protokol yang aman dan

13

efektif tapi keberhasilannya tergantung dari kecepatan wanita tersebut ditemukan pada pemeriksaan kehamilannya. Dikenal beberapa protokol pengobatan antiretroviral antara lain : a. Protokol 076 dari Pediatric AIDS Clinical Trials Group (PACTG) tahun 1994. Protokol ini memberikan Zidovudine (ZDV) oral 100 mg 5 kali sehari pada kehamilan 14-34 minggu dan diteruskan selama kehamilan, pada saat persalinan diberikan ZDV intravena 2 mg/kgBB dalam periode 1 jam pertama, kemudian dilanjutkan dengan pemberian infus ZDV 1 mg/kgBB/jam sampai melahirkan dan pemberian oral 2 mg/kgBB/6 jam ZDV pada bayi selama 6 minggu setelah kelahiran, menurunkan MTCT 23%. b. Di Thailand (RETRO-CI trial) dan Burkina Faso (DITRAME trial) memberikan oral ZDV 300 mg 2 kali sehari pada 4 minggu terakhir masa kehamilan tanpa memberikan antiretroviral pada bayi yang dilahirkan. Hasilnya terjadi transmisi 9% pada 6 minggu, 16,5% setelah 3 bulan. Beberapa variasi lain protokol ini memberikan ZDV pada bayi selama 1 minggu setelah kelahiran. c. Protokol HIVNET 012 yang dipakai di Uganda memberikan 200 mg oral NVP pada saat persalinan dan 2 mg/kgBB oral pada bayi 48-72 jam setelah dilahirkan. Regimen ini mengurangi transmisi hampir 50% dibandingkan pemberian singkat oral ZDV pada wanita saat persalinan dan pada bayi 1 minggu setelah dilahirkan. d. Protokol PETRA-B. Protokol ini memberikan ZDV-3TC pada : i. ii. antepartum : ZDV (300 mg 2x/hr) + (3TC (150 mg 2x/hr) pada usia kehamilan 36 minggu sampai saat melahirkan. Intrapartum : ZDV (300 mg saat persalinan dan setiap 3 jam sampai melahirkan) + 3TC (150 mg saat persalinan dan setiap 12 jam sampai melahirkan) iii. Postpartum : untuk ibu ZDV (300 mg 2x/hari) + 3TC (150 mg 2x/hari) selama 7 hari, untuk anak ZDV (4 mg /kgBB/2x/hari) + 3TC (2mg/kgBB/2x/hari) selama 7 hari.

14

Keberhasilannya 42% menurunkan transmisi HIV. Dukungan dan konseling pemberian makanan pada bayi Transmisi HIV postnatal melalui ASI pertama kali dilaporkan tahun 1985. Diperkirakan 15-20% dari MTCT terjadi melalui pemberian ASI, dan akan terus meningkat sampai 29% jika terjadi infeksi maternal yang baru. Penghentian pemberian ASI pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang terinfeksi HIV merupakan satu-satunya jalan untuk mencegah trasmisi HIV postnatal. Hasil penelitian di Kenya menyatakan bahwa ibu yang terinfeksi HIV yang menyusui mengalami mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan yang tidak menyusui. Praktek obstetri yang aman Beberapa intervensi obstetrik dipercayai atau terbukti menurunkan MTCT termasuk diantaranya adalah: a. Seksio sesarea elektif b. Pembilasan vagina dengan larutan chlorhexidine c. Memperpendek waktu antara pecahnya ketuban dan persalinan d. Menghindari episiotomi yang tidak perlu e. Menghindari pemakaian suction dan prosedur invasif lainnya dan f. Pengeringan sekresi maternal dan darah pada bayi baru lahir. Analisis beberapa penelitian pada negara-negara industri menunjukkan bahwa seksio sesarea elektif menurunkan transmisi HIV, meskipun demikian manfaat seksio sesarea akan menghilang jika dilakukan setelah persalinan dimulai. Seksio sesarea tidak memberikan keuntungan tambahan pada ibu dengan muatan virus (viral loads) < 1000 /ml dan CD4 > 500/l. Penelitian yang dilakukan di Malawi mengenai pembilasan vagina dengan chlorhexidine dilaporkan menurunkan MTCT, hal ini berlaku hanya pada ketuban pecah lebih dari 4 jam. Disinfeksi vagina juga memeperlihatkan penurunan morbiditas dan mortalitas bayi yang dilahirkan. Studi

15

retrospektif memperlihatkan bahwa mengurangi waktu pecahnya ketuban dengan persalinan menurunkan MTCT. 4. Memberikan perhatian kepada ibu yang terinfeksi HIV, bayi dan keluarganya. a. Menjamin penapisan untuk profilaksis dan penanganan infeksi oportunistik b. Memberikan pengobatan antiretroviral c. Memberikan perhatian terhadap nutrisi dan pelayanan pendukungnya d. Memberikan konseling seksual dan kesehatan reproduksi, termasuk pelayanan KB e. Memberikan pelayanan penanganan gejala awal dan terminal f. Memberikan pelayanan kesehatan mental dan dukungan pelayanan psikologi g. Memberikan dukungan sosial Selain hal-hal tersebut diatas maka perlu pula dilakukan skrining pada ibu hamil risiko tinggi seperti skema dibawah ini (Wibowo, 2004) I. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Pemeriksaan Laboratorium Sangat disarankan memeriksa darah untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dengan cara Elisa Reaktif seanyak 2 kali. Bila hasilnya tubuh. posotif, diperlukan pemeriksaan lebih lanjut dengan Immunofluoresensi Western Blot untuk memastikan adanya HIV di dalam Screening terutama dilakukan pada orang yang berperilaku berisiko tinggi, seperti sering berganti-ganti pasangan seks, pecandu narkoba suntikan, mendapati gejala penyakit yang khas karena infeksi HIV, menderita penyakit yang memerlukan transfuse darah terus-menerus seperi hemophilia dan sering berhubungan dengan cairan tubuh manusia (Nawaz, 2010). 2. Gambaran Radiologi Berikut ini adalah beberapa gambaran radiologi keadaan yang berhubungan dengan HIV :

16

Infeksi serebral 1) Toxoplasmosis Plain radiograf memainkan peran terbatas dalam diagnosis toksoplasmosis. Kekecualian adalah toksoplasmosis bawaan, di mana kalsifikasi dalam tengkorak kadang-kadang dapat digambarkan. Pada pasien dengan AIDS, keterlibatan paru kadang-kadang dapat ditampilkan sebagai paru-paru infiltrasi yang berhubungan dengan hilus / limfadenopati mediastinum. CT scan otak dapat menunjukkan tunggal (30%) atau beberapa lesi nodular. Oleh CT scan menunjukkan lesi cavitating berdinding tipis dengan berbentuk cincin. Edema bersubstansi putih sekitarnya Toksoplasmosis juga memiliki sering kecenderungan tampak. untuk melibatkan

ganglia basal. Kira-kira 75% dari nodul berada di ganglia basal. Selain itu, lesi dapat terjadi di dalam batang otak, otak kecil, dan sumsum tulang belakang. Perdarahan dan kalsifikasi dapat terjadi setelah perawatan medis, meskipun kalsifikasi cincin telah dijelaskan pada CT scan pada saat diagnosis pertama. Namun, kalsifikasi cincin adalah penyakit langka yang diperoleh dibandingkan dengan penyakit bawaan (Nawaz, 2010).

(Gambar 4 : dikutip dari Bellin, 2010 )

17

(A) CT Scan dengan kontras. Tampak lesi berupa cincin pada ganglia basal kanan dan tampak massa pada lobus frontal kiri dan edema perifer. (B) CT Scan dengan kontras. Sebuah lesi berupa cincin yang sangat besar dengan massa yang besar pada region parieto-occipitalis disertai edema perifer.

(Gambar : 5 dikutip dari kepustakaan Bellin, 2010) Pemeriksaan dengan MRI. Pada T1 tampak lesi nodul jelas terlihat di sebelah kiri frontal corticomedullar junction. Terdapat pembesaranventrikel. 2) Ensefalitis (HIV ensefalopati) Suatu sindrom yang ditandai oleh penurunan progresif lambat kontrol motorik halus, kefasihan verbal dan memori jangka pendek diikuti setelah beberapa bulan dengan kerusakan parah dan demensia subkortikal dengan keadaan vegetatif sebagai tahap akhir . Sindrom ini (ADC - kompleks demensia AIDS) mempengaruhi 33-67% dari pasien AIDS dan merupakan manifestasi neurologis yang paling sering dari infeksi HIV Gejala neuroradiologi meliputi atrofi otak muda,h digambarkan oleh CT dan MRI. Karakteristik perubahan parenkim sering terlewat oleh CT scan juga hadir. Pada MRI mereka muncul sebagai hyperintensity, sinyal halus nonfocal pada gambar T2 melibatkan l semiovale periventricular bilateral dan substansia

18

alba. Distribusi dan adanya lesi tersebut tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis dan tingkat tertentu, keterlibatan parenkim dapat terlihat pada pasien tanpa gejala. Namun keterlibatan luas substansia alba lebih mungkin, serta peningkatan Kontras biasanya tidak ada (Bellin, 2010).

(Gambar 6 : dikutip dari kepustakaan Bellin, 2010) CT Scan. Tampak hipodens difus yang simetris dan bilateral pada periventricular (white matter) tanpa adanya massa.

(Gambar 9: dikutip dari kepustakaan Lieberman, 2010) Pada Pemeriksaan MRI pada potongan axial T2, tampak pembesaran ventrikel dan sulcus yang prominen. Terdapat multiple

19

lesi (white matter). HIV ensefalitis dapat menunjukkan pembesaran ventrikel dan sulcus yang prominen dengan atau tanpa lesi. 3) Sitomegalovirus (penyakit CMV), infeksi umum yang mempengaruhi janin, terlihat pada sekitar 1% dari semua kelahiran. Dari jumlah tersebut sekitar 10% memiliki gejala, manifestasi paling umum berupa hepatosplenomegali dan petechiae. 55% dari janin yang terkena gejala sisa neurologis berat termasuk kalsifikasi intrakranial, mikrosefali, gangguan pendengaran, choreoretinitis dan gangguan kejang. infeksi janin dapat disebabkan infeksi ulang primer ibu, infeksi atau reaktivasi infeksi laten. Manifestasi pencitraan tergantung pada usia kehamilan pada saat infeksi. Jika infeksi terjadi pada paruh pertama dari trimester kedua mungkin ada lissencephali, kalsifikasi periventricular, mielinasi yang tertunda, dilatasi ventrikel dan hipoplasia cerebellar (Bellin, 2009).

(Gambar 8 : dikutip dari kepustakaan Lieberman, 2009) Para pemeriksaa MRI pada T1 menunjukkan sebuah focus yang jelas pada sentral vitreus kiri yang disebabkan oleh perdarahan. Terdapat tanda-tanda inflamasi pada traktus uveal. Infeksi pulmonal 1) Pneumocystis Carinii Pneumonia (PCP) PCP merupakan penyebab utama penyakit paru difus pada pasien AIDS atau mereka yang dalam keadaan imunosupresi. Didapatkan

20

perubahan perihilar difus akan berlanjut menjadi konsolidasi alveolus. Pneumocystis carinii telah diganti nama menjadi Pneumocystis jiroveci, tapi PCP masih digunakan untuk menunjukkan pneumonia yang disebabkan oleh organisme. Awal sejarah penularan AIDS, PCP bukan penyebab utama dari penyakit infiltrat paru difus. Biasanya penyakit ini tidak terjadi sampai jumlah CD4 sangat rendah, kurang dari 200/mm 3. Keadaan imunokopromais dapat dihindari jika HAART (highly active antiretroviral therapy) tersedia. Sebagai tambahan, terapi profilaksis untuk PCP sekarang diberikan untuk pasien dengan jumlah CD4 kurang dari 200/mm3 (Bellin, 2010).

(Gambar 9 : dikutip dari kepustakaan Nawaz, 2010) Pada foto thorax PA tampak bercak-bercak retikuler sebagai akibat pneumonia Pneumocystis carinii 2) TB Paru Gejala dan tanda TB pada pasien terinfeksi HIV sangat signifikan dengan keadaan imunodefisiensi. Gejala yang dimaksud seperti batuk, demam, penurunan berat badan, dan keringat malam. Penyakit ekstrapulmonal lebih sering terjadi pada pasien terinfeksi HIV daripada non-infeksi, dengan gejala-gejala yang muncul berikutnya berasal dari hati, sistem saraf pusat, atau melibatkan sistem limfatik. Radiografi paru kurang sering menunjukkan lesi lobus atas yang tipikal, dan hal ini normal pada hampir 10% penderita. Pada keadaan imunodefisiensi berat,

21

infiltrat milier dan mediastinum atau adenopati hilus dapat terjadi (Bellin, 2010). Ketika TB tervisualisasi pada radiografi paru, rangkaian kejadian biasanya mengikuti. TB primer terlihat sebagai konsolidasi fokal tengah atau lobus bawah dengan limfadenopati dan kadang-kadang terdapat efusi pleura. Kavitas jarang didapatkan. Adenopati hilus muncul pada 95% kasus dan lebih sering pada anak-anak daripada orang dewasa. Efusi pleura didapatkan pada 10% kasus. Reaktivasi fokus primer menyebabkan infiltrasi pada segmen posterior lobus atas dan segmen superior lobus bawah (Bellin, 2010).

(Gambar 11 : dikutip dari kepustakaan Catanzo, 2010) Foto toraks PA tampak limfadenopati, perselubungan kavitas pada lobus kanan atas, dan konsolidasi fokus di bagian medial paru-paru. 3) Sarkoma Kaposi Sarkoma Kaposi merupakan salah satu komplikasi AIDS, biasanya menunjukkan lesi kulit dan mukosa oral dengan melibatkan sistem limfatik dan traktus gastrointestinal. Hal ini terjadi pada 30% kasus paru, 10% menggambarkan komplikasi pulmonal dari paru. Manifestasi tipikal Sarkoma Kaposi adalah demam dan penurunan berat badan. Mengi, nyeri dada dan sputum berdarah bisa didapatkan. Stridor diduga akibat adanya stenosis trakea. Temuan radiologi berupa infiltrasi interstisial atau alveolus bilateral (Bellin, 2010).

22

(Gambar 12 : dikutip dari kepustakaan Nawaz, 2010) Foto thorax PA menunjukkan adanya penebalan peribronkial, nodul, dan garis-garis fibrosis pada pasien AIDS dengan sarkoma Kaposi J. KOMPLIKASI a. Penyakit Saluran Pernapasan (Kennedy, 2010) Pneumocystis Carinii Pneumonia (PCP jarang dijumpai pada orang sehat yang memiliki kekebalan tubuh yang baik, tetapi umumnya dijumpai pada orang yang terinfeksi HIV. Penyebab penyakit ini adalah fungi Pneumocystis jirovecii. Sebelum adanya diagnosis, perawatan, dan tindakan pencegahan rutin yang efektif di negara-negara Barat, penyakit ini umumnya segera menyebabkan kematian. Di negara-negara berkembang, penyakit ini masih merupakan indikasi pertama AIDS pada orang-orang yang belum dites, walaupun umumnya indikasi tersebut tidak muncul kecuali jika jumlah CD4 kurang dari 200 per L. Tuberkulosis (TBC) merupakan infeksi unik di antara infeksiinfeksi lainnya yang terkait HIV, karena dapat ditularkan kepada orang yang sehat (imunokompeten) melalui rute pernapasan (respirasi). Ia dapat dengan mudah ditangani bila telah diidentifikasi, dapat muncul pada stadium awal HIV, serta dapat dicegah melalui terapi pengobatan. Namun demikian, resistensi TBC terhadap berbagai obat merupakan masalah potensial pada penyakit ini. Meskipun munculnya penyakit ini di negara-negara Barat telah berkurang karena digunakannya terapi dengan pengamatan langsung dan metode terbaru lainnya, namun tidaklah demikian yang terjadi di negara-

23

negara berkembang tempat HIV paling banyak ditemukan. Pada stadium awal infeksi HIV (jumlah CD4 >300 sel per L), TBC muncul sebagai penyakit paru-paru. Pada stadium lanjut infeksi HIV, ia sering muncul sebagai penyakit sistemik yang menyerang bagian tubuh lainnya (tuberkulosis ekstrapulmoner). Gejala-gejalanya biasanya bersifat tidak spesifik (konstitusional) dan tidak terbatasi pada satu tempat.TBC yang menyertai infeksi HIV sering menyerang sumsum tulang, tulang, saluran kemih dan saluran pencernaan, hati, kelenjar getah bening (nodus limfa regional), dan sistem syaraf pusat. Dengan demikian, gejala yang muncul mungkin lebih berkaitan dengan tempat munculnya penyakit ekstrapulmoner. b. Penyakit Saluran Pencernaan (Kennedy, 2010) Esofagitis adalah peradangan pada kerongkongan (esofagus), yaitu jalur makanan dari mulut ke lambung. Pada individu yang terinfeksi HIV, penyakit ini terjadi karena infeksi jamur (jamur kandidiasis) atau virus (herpes simpleks-1 atau virus sitomegalo). Ia pun dapat disebabkan oleh mikobakteria, meskipun kasusnya langka. Diare kronis yang tidak dapat dijelaskan pada infeksi HIV dapat terjadi karena berbagai penyebab; antara lain infeksi bakteri dan parasit yang umum (seperti Salmonella, Shigella, Listeria, Kampilobakter, dan Escherichia coli), serta infeksi oportunistik yang tidak umum dan virus (seperti kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, Mycobacterium avium complex, dan virus sitomegalo (CMV) yang merupakan penyebab kolitis). Pada beberapa kasus, diare terjadi sebagai efek samping dari obatobatan yang digunakan untuk menangani HIV, atau efek samping dari infeksi utama (primer) dari HIV itu sendiri. Selain itu, diare dapat juga merupakan efek samping dari antibiotik yang digunakan untuk menangani bakteri diare (misalnya pada Clostridium difficile). Pada stadium akhir infeksi HIV, diare diperkirakan merupakan petunjuk terjadinya perubahan cara saluran pencernaan menyerap nutrisi, serta mungkin merupakan komponen penting dalam sistem pembuangan yang berhubungan dengan HIV.

24

c. Penyakit Syaraf dan Jiwa (Kennedy, 2010) Infeksi HIV dapat menimbulkan beragam kelainan tingkah laku karena gangguan pada syaraf (neuropsychiatric sequelae), yang disebabkan oleh infeksi organisma atas sistem syaraf yang telah menjadi rentan, atau sebagai akibat langsung dari penyakit itu sendiri. Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit bersel-satu, yang disebut Toxoplasma gondii. Parasit ini biasanya menginfeksi otak dan menyebabkan radang otak akut (toksoplasma ensefalitis), namun ia juga dapat menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada mata dan paru-paru. Meningitis kriptokokal adalah infeksi meninges (membran yang menutupi otak dan sumsum tulang belakang) oleh jamur Cryptococcus neoformans. Hal ini dapat menyebabkan demam, sakit kepala, lelah, mual, dan muntah. Pasien juga mungkin mengalami sawan dan kebingungan, yang jika tidak ditangani dapat mematikan. Leukoensefalopati multifokal progresif adalah penyakit demielinasi, yaitu penyakit yang menghancurkan selubung syaraf (mielin) yang menutupi serabut sel syaraf (akson), sehingga merusak penghantaran impuls syaraf. Ia disebabkan oleh virus JC, yang 70% populasinya terdapat di tubuh manusia dalam kondisi laten, dan menyebabkan penyakit hanya ketika sistem kekebalan sangat lemah, sebagaimana yang terjadi pada pasien AIDS. Penyakit ini berkembang cepat (progresif) dan menyebar (multilokal), sehingga biasanya menyebabkan kematian dalam waktu sebulan setelah diagnosis. Kompleks demensia AIDS adalah penyakit penurunan kemampuan mental (demensia) yang terjadi karena menurunnya metabolisme sel otak (ensefalopati metabolik) yang disebabkan oleh infeksi HIV; dan didorong pula oleh terjadinya pengaktifan imun oleh makrofag dan mikroglia pada otak yang mengalami infeksi HIV, sehingga mengeluarkan neurotoksin. Kerusakan syaraf yang spesifik, tampak dalam bentuk ketidaknormalan kognitif, perilaku, dan motorik, yang muncul bertahun-tahun setelah infeksi HIV terjadi. Hal ini berhubungan dengan keadaan rendahnya jumlah sel T CD4+ dan tingginya muatan virus pada plasma darah. Angka

25

kemunculannya (prevalensi) di negara-negara Barat adalah sekitar 1020%, namun di India hanya terjadi pada 1-2% pengidap infeksi HIV. Perbedaan ini mungkin terjadi karena adanya perbedaan subtipe HIV di India. d. Kanker dan Tumor Ganas (Kennedy, 2010) Pasien dengan infeksi HIV pada dasarnya memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap terjadinya beberapa kanker. Hal ini karena infeksi oleh virus DNA penyebab mutasi genetik; yaitu terutama virus Epstein-Barr (EBV), virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV), dan virus papiloma manusia (HPV). Sarkoma Kaposi adalah tumor yang paling umum menyerang pasien yang terinfeksi HIV. Kemunculan tumor ini pada sejumlah pemuda homoseksual tahun 1981 adalah salah satu pertanda pertama wabah AIDS. Penyakit ini disebabkan oleh virus dari subfamili gammaherpesvirinae, yaitu virus herpes manusia-8 yang juga disebut virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV). Penyakit ini sering muncul di kulit dalam bentuk bintik keungu-unguan, tetapi dapat menyerang organ lain, terutama mulut, saluran pencernaan, dan paru-paru. Kanker getah bening tingkat tinggi (limfoma sel B) adalah kanker yang menyerang sel darah putih dan terkumpul dalam kelenjar getah bening, misalnya seperti limfoma Burkitt (Burkitt's lymphoma) atau sejenisnya (Burkitt's-like lymphoma), diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL), dan limfoma sistem syaraf pusat primer, lebih sering muncul pada pasien yang terinfeksi HIV. Kanker ini seringkali merupakan perkiraan kondisi (prognosis) yang buruk. Pada beberapa kasus, limfoma adalah tanda utama AIDS. Limfoma ini sebagian besar disebabkan oleh virus Epstein-Barr atau virus herpes Sarkoma Kaposi. Kanker leher rahim pada wanita yang terkena HIV dianggap tanda utama AIDS. Kanker ini disebabkan oleh virus papiloma manusia. Pasien yang terinfeksi HIV juga dapat terkena tumor lainnya, seperti limfoma Hodgkin, kanker usus besar bawah (rectum), dan kanker anus. Namun demikian, banyak tumor-tumor yang umum seperti kanker payudara dan

26

kanker usus besar (colon), yang tidak meningkat kejadiannya pada pasien terinfeksi HIV. Di tempat-tempat dilakukannya terapi antiretrovirus yang sangat aktif (HAART) dalam menangani AIDS, kemunculan berbagai kanker yang berhubungan dengan AIDS menurun, namun pada saat yang sama kanker kemudian menjadi penyebab kematian yang paling umum pada pasien yang terinfeksi HIV. e. Infeksi oportunistik lainnya (Kennedy, 2010) Pasien AIDS biasanya menderita infeksi oportunistik dengan gejala tidak spesifik, terutama demam ringan dan kehilangan berat badan. Infeksi oportunistik ini termasuk infeksi Mycobacterium avium-intracellulare dan virus sitomegalo. Virus sitomegalo dapat menyebabkan gangguan radang pada usus besar (kolitis) seperti yang dijelaskan di atas, dan gangguan radang pada retina mata (retinitis sitomegalovirus), yang dapat menyebabkan kebutaan. Infeksi yang disebabkan oleh jamur Penicillium marneffei, atau disebut Penisiliosis, kini adalah infeksi oportunistik ketiga yang paling umum (setelah tuberkulosis dan kriptokokosis) pada orang yang positif HIV di daerah endemik Asia Tenggara.

K. PENGOBATAN
Sampai saat ini tidak ada vaksin atau obat untuk HIV atau AIDS. Metode satu-satunya yang diketahui untuk pencegahan didasarkan pada penghindaran kontak dengan virus atau, jika gagal, perawatan antiretrovirus secara langsung setelah kontak dengan virus secara signifikan, disebut post-exposure prophylaxis (PEP). PEP memiliki jadwal empat minggu takaran yang menuntut banyak waktu. PEP juga memiliki efek samping yang tidak menyenangkan seperti diare, tidak enak badan, mual, dan lelah.

Terapi antivirus Penanganan infeksi HIV terkini adalah terapi antiretrovirus yang sangat aktif (highly active antiretroviral therapy, disingkat HAART). Terapi ini telah sangat bermanfaat bagi orang-orang yang terinfeksi HIV

27

sejak tahun 1996, yaitu setelah ditemukannya HAART yang menggunakan protease inhibitor. Pilihan terbaik HAART saat ini, berupa kombinasi dari setidaknya tiga obat (disebut "koktail) yang terdiri dari paling sedikit dua macam (atau "kelas") bahan antiretrovirus. Kombinasi yang umum digunakan adalah nucleoside analogue reverse transcriptase inhibitor (atau NRTI) dengan protease inhibitor, atau dengan non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Karena penyakit HIV lebih cepat perkembangannya pada anak-anak daripada pada orang dewasa, maka rekomendasi perawatannya pun lebih agresif untuk anak-anak daripada untuk orang dewasa. Di negara-negara berkembang yang menyediakan perawatan HAART, seorang dokter akan mempertimbangkan kuantitas beban virus, kecepatan berkurangnya CD4, serta kesiapan mental pasien, saat memilih waktu memulai perawatan awal. Perawatan HAART memungkinkan stabilnya gejala dan viremia (banyaknya jumlah virus dalam darah) pada pasien, tetapi ia tidak menyembuhkannya dari HIV ataupun menghilangkan gejalanya. HIV-1 dalam tingkat yang tinggi sering resisten terhadap HAART dan gejalanya kembali setelah perawatan dihentikan. Lagi pula, dibutuhkan waktu lebih dari seumur hidup seseorang untuk membersihkan infeksi HIV dengan menggunakan HAART. Meskipun demikian, banyak pengidap HIV mengalami perbaikan yang hebat pada kesehatan umum dan kualitas hidup mereka, sehingga terjadi adanya penurunan drastis atas tingkat kesakitan (morbiditas) dan tingkat kematian (mortalitas) karena HIV. Tanpa perawatan HAART, berubahnya infeksi HIV menjadi AIDS terjadi dengan kecepatan rata-rata (median) antara sembilan sampai sepuluh tahun, dan selanjutnya waktu bertahan setelah terjangkit AIDS hanyalah 9.2 bulan. Penerapan HAART dianggap meningkatkan waktu bertahan pasien selama 4 sampai 12 tahun. Bagi beberapa pasien lainnya, yang jumlahnya mungkin lebih dari lima puluh persen, perawatan HAART memberikan hasil jauh dari optimal. Hal ini karena adanya efek samping/dampak pengobatan tidak bisa ditolerir, terapi antiretrovirus sebelumnya yang tidak efektif, dan infeksi HIV tertentu yang resisten obat.

28

Ketidaktaatan dan ketidakteraturan dalam menerapkan terapi antiretrovirus adalah alasan utama mengapa kebanyakan individu gagal memperoleh manfaat dari penerapan HAART. Terdapat bermacam-macam alasan atas sikap tidak taat dan tidak teratur untuk penerapan HAART tersebut. Isyu-isyu psikososial yang utama ialah kurangnya akses atas fasilitas kesehatan, kurangnya dukungan sosial, penyakit kejiwaan, serta penyalahgunaan obat. Perawatan HAART juga kompleks, karena adanya beragam kombinasi jumlah pil, frekuensi dosis, pembatasan makan, dan lain-lain yang harus dijalankan secara rutin. Berbagai efek samping yang juga menimbulkan keengganan untuk teratur dalam penerapan HAART, antara lain lipodistrofi, dislipidaemia, penolakan insulin, peningkatan risiko sistem kardiovaskular, dan kelainan bawaan pada bayi yang dilahirkan. Obat anti-retrovirus berharga mahal, dan mayoritas individu terinfeksi di dunia tidaklah memiliki akses terhadap pengobatan dan perawatan untuk HIV dan AIDS tersebut. Penanganan eksperimental dan saran Telah terdapat pendapat bahwa hanya vaksin lah yang sesuai untuk menahan epidemik global (pandemik) karena biaya vaksin lebih murah dari biaya pengobatan lainnya, sehingga negara-negara berkembang mampu mengadakannya dan pasien tidak membutuhkan perawatan harian. Namun setelah lebih dari 20 tahun penelitian, HIV-1 tetap merupakan target yang sulit bagi vaksin. Beragam penelitian untuk meningkatkan perawatan termasuk usaha mengurangi efek samping obat, penyederhanaan kombinasi obat-obatan untuk memudahkan pemakaian, dan penentuan urutan kombinasi pengobatan terbaik untuk menghadapi adanya resistensi obat. Beberapa penelitian menunjukan bahwa langkah-langkah pencegahan infeksi oportunistik dapat menjadi bermanfaat ketika menangani pasien dengan infeksi HIV atau AIDS. Vaksinasi atas hepatitis A dan B disarankan untuk pasien yang belum terinfeksi virus ini dan dalam berisiko terinfeksi.

29

Pasien yang mengalami penekanan daya tahan tubuh yang besar juga disarankan mendapatkan terapi pencegahan (propilaktik) untuk pneumonia pneumosistis, demikian juga pasien toksoplasmosis dan kriptokokus meningitis yang akan banyak pula mendapatkan manfaat dari terapi propilaktik tersebut. Pengobatan alternatif Berbagai bentuk pengobatan alternatif digunakan untuk menangani gejala atau mengubah arah perkembangan penyakit. Akupuntur telah digunakan untuk mengatasi beberapa gejala, misalnya kelainan syaraf tepi (peripheral neuropathy) seperti kaki kram, kesemutan atau nyeri; namun tidak menyembuhkan infeksi HIV. Tes-tes uji acak klinis terhadap efek obat-obatan jamu menunjukkan bahwa tidak terdapat bukti bahwa tanaman-tanaman obat tersebut memiliki dampak pada perkembangan penyakit ini, tetapi malah kemungkinan memberi beragam efek samping negatif yang serius. Beberapa data memperlihatkan bahwa suplemen multivitamin dan mineral kemungkinan mengurangi perkembangan penyakit HIV pada orang dewasa, meskipun tidak ada bukti yang menyakinkan bahwa tingkat kematian (mortalitas) akan berkurang pada orang-orang yang memiliki status nutrisi yang baik. Suplemen vitamin A pada anak-anak kemungkinan juga memiliki beberapa manfaat. Pemakaian selenium dengan dosis rutin harian dapat menurunkan beban tekanan virus HIV melalui terjadinya peningkatan pada jumlah CD4. Selenium dapat digunakan sebagai terapi pendamping terhadap berbagai penanganan antivirus yang standar, tetapi tidak dapat digunakan sendiri untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas. Penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa terapi pengobatan alteratif memiliki hanya sedikit efek terhadap mortalitas dan morbiditas penyakit ini, namun dapat meningkatkan kualitas hidup individu yang mengidap AIDS. Manfaat-manfaat psikologis dari beragam terapi alternatif tersebut sesungguhnya adalah manfaat paling penting dari pemakaiannya.

30

L. PROGNOSIS Tidak ada obat untuk infeksi HIV. Sebelum kita memiliki pengobatan apapun untuk virus, penderita AIDS hidup hanya untuk beberapa tahun. Untungnya, obat telah secara substansial meningkatkan tingkat prospek dan kelangsungan hidup. Upaya pencegahan telah seignifikan mengurangi infeksi HIV pada anak muda dan memiliki potensi untuk membatasi secara signifikan infeksi baru pada populasi lainnya (Conrad, 2010). Obat-obatan telah memperpanjang harapan hidup, dan banyak orang yang mengidap HIV dapat berharap untuk hidup selama puluhan tahun dengan pengobatan yang tepat. Harapan hidup normal akan semakin meningkat jika mereka mengikuti pengobatan secara disiplin (Conrad, 2010). Obat-obatan membantu pemulihan sistem kekebalan tubuh pulih dan melawan infeksi dan mencegah kanker terjadi. Nantinya, virus bisa menjadi resisten terhadap obat yang tersedia, dan manifestasi AIDS bisa terjadi (Conrad, 2010).

BAB III PRESENTASI KASUS A. IDENTITAS Nama No. CM Umur Agama Pendidikan Alamat : Ny. A : 86-07-76 : 24 tahun : Islam : SMA : Candinata Rt 8 Rw4 Kutasari Purbalingga.

Pekerjaan : Wiraswasta

Periksa Poli Kandungan dan Kebidanan: 28 Januari 2013 / pukul 09.00 WIB

31

Masuk Flamboyan: 28 Januari 2013 / pukul 14.00 WIB B. ANAMNESA Autoanamnesa Tanggal 28 Januari 2013 1. Keluhan Utama 2. Keluhan Tambahan : Kontrol hamil dengan HIV (+) : Lemas dan tidak ada nafsu makan

3. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien baru datang ke Poli Kandungan dan Kebidanan RSMS. Pasien rutin kontrol ke klinik VCT setiap bulan sejak satu tahun yang lalu dan mengatakan bahwa pasien didiagnosis HIV. Berdasarkan keluhan yang dirasakan pasien adalah pasien mengeluhkan lemas dan tidak nafsu makan. Pasien belum merasa kenceng-kenceng, belum ada pengeluaran air, gerakan janin masih aktif. Riwayat Obstetri : G3P2A0. Riwayat persalinan pasien tersebut adalah An I : Laki-laki/ meninggal usia 6 bulan karena sesak nafas/ Bidan/ spontan/ 3800gram. An II : Laki-laki/ 3 tahun/ Rumah Sakit/ sectio caesaria atas indikasi pengapuran plasenta. An III: Hamil ini. HPHT: 05-05-2012 HPL :12-02-2012. Usia kehamilan: 38 minggu 2 hari. Keadaan umum pasien sedang dan tidak ada tanda-tanda gangguan hemodinamik. Tidak terdapat mual dan muntah, serta gangguan pada BAK dan BAB. Di Poli Kandungan dan Kebidanan RSMS dilakukan pemeriksaan fisik secara general maupun lokal untuk mengetahui keadaan pasien. a. Riwayat Menstruasi Pasien mengalami menstruasi pertama saat berusia 13 tahun. Menstruasi terjadi 1 bulan sekali, selama 7 hari, ganti pembalut 2-3 kali per hari. b. Riwayat Menikah Pasien menikah 1x selama 7 tahun. c. Riwayat Obstetri Gravida 3 Para 2 Abortus 0.. d. Riwayat Persalinan

32

An I : Laki-laki/ meninggal usia 6 bulan karena sesak nafas/ Bidan/ spontan/ 3800gram. An II : Laki-laki/ 3 tahun/ Rumah Sakit/ sectio caesaria atas indikasi pengapuran plasenta. An III: Hamil ini. e. Riwayat ANC (Antenatal Care) Pasien rutin memeriksakan kehamilannya ke bidan dan RSMS. f. Riwayat KB Pasien tidak pernah menggunakan KB. g. Riwayat Penyakit Dahulu 1. Riwayat penyakit tekanan darah tinggi disangkal 2. Riwayat penyakit kencing manis disangkal 3. Riwayat penyakit asma disangkal 4. Riwayat alergi disangkal 5. Riwayat HIV diakui Pasien memiliki riwayat HIV h. Riwayat Penyakit Keluarga 1. 2. 3. 4. 5. Riwayat penyakit tekanan darah tinggi disangkal Riwayat penyakit kencing manis disangkal Riwayat penyakit asma disangkal Riwayat alergi disangkal Riwayat HIV diakui (suami)

C. PEMERIKSAAN FISIK 1. Pemeriksaan Fisik Umum tanggal 28 Januari 2013 Keadaan Umum Kesadaran Vital Sign N : 80 x/menit Mata Thorax: : Sedang : Compos mentis : R : 20 x/menit S : 36,8 C

TD : 110/70 mmHg

: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

33

Paru Palpasi Perkusi

: Inspeksi : dinding dada simetris, tidak ada ketinggalan gerak, sela iga tidak melebar : vocal fremitus apex : dextra = sinistra vocal fremitus basal : dextra = sinistra : sonor pada semua lapang paru Sinistra : SD vesikuler + basal : dextra : SD vesikuler +, RBH sinistra: SD vesikuler +, RBH - RBK Whz parahiler -. parahiler -,

Auskultasi : apex : dextra : SD vesikuler +

Jantung

: Inspeksi : ictus cordis terlihat di SIC 2 jari medial LMCS Palpasi : ictus cordis teraba di SIC 2 jari medial LMCS Perkusi : kanan atas kiri atas : SIC II LMCD : SIC II LMCS

kanan bawah : SIC IV LMCD kiri bawah : SIC V 2 jari medial LMCS Auskultasi Extremitas Superior Inferior : : Edema (-/-), akral hangat (+/+) : Edema (-/-), akral hangat (+/+) : S1 > S2, reguler, murmur (-), gallop (-)

2. Pemeriksaan Lokalis Regio Abdomen Inspeksi Auskultasi Perkusi Palpasi : Cembung gravid : DJJ 136x/menit : Pekak janin : TFU : 31 cm, Nyeri tekan (-) balotement (+), Leopold I Leopold II Leopold III Leopold IV Regio Genitalia : Bulat lunak : Memanjang kanan : Bulat keras : Divergen

34

Inspeksi

: Rambut pubis tersebar merata Edema vulva tidak ada Benjolan tidak ada Varises tidak ada Fluor tidak ada Fluxus tidak ada

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 28 Januari 2013 Darah Lengkap Hb Leukosit Hematokrit Eritrosit Trombosit MCV MCH MCHC RDW MPV Hitung Jenis Eosinofil Basofil Batang Segmen Limfosit Monosit PT APTT : 11,7 % (H) : 0,1 % : 0.0 % (L) : 61,4 % (H) : 19,7 % (L) : 7,1 % (H) : 12,4 detik : 33,5 detik Normal: 2-4 % Normal: 0-1 % Normal: 2-5 % Normal: 40-70% Normal: 25-40% Normal: 2-8 % Normal : 11,5-15,5 detik Normal : 25-35 detik : 11,1 gr/dl (L) : 9690/l (H) : 32 % (L) : 3,2 juta/l (L) : 370.000/l : 98,4 fL : 34,6 pg : 35,1 gr/dl : 18,8 % : 8,7 fL Normal: 12-16 gr/dl Normal: 4.800-10.800/l Normal: 37%-47% Normal: 4,2-5,4 juta/l Normal: 150.000-450.000/l Normal: 79-99 fL Normal: 27-31 pg Normal: 33-37gr/dl Normal: 11,5-14,5 Normal: 7,2-11,1

Pemeriksaan CTG

35

Pemeriksaan USG

E. DIAGNOSIS Gravida 3, Para 2, Abortus 0, Usia 24 Tahun, Hamil 38 Minggu 2 Hari, dengan HIV. F. PENATALAKSANAAN POLI Sikap: Konservatif dan Observatif 1. Tirah baring (rawat inap) 2. USG (Ultrasonography) 3. CTG (Cardio Tocography) 4. Cek DL 5. Program SC elektif Sikap: Pasien dirawat di Bangsal Flamboyan dan direncanakan sectio caesarea. 1. Konsul dokter Sp.OG 2. Konsul dokter VCT G. PROGNOSIS
36

Ad vitam Ad sanam Ad functionam

: ad bonam : ad bonam : ad bonam

Tabel 3.2 Catatan Perkembangan Pasien di Flamboyan Tanggal 29-1-2013 Perawatan H+1 S Lemas O KU: Baik/CM TD: 90/60mmHg N: 88x/menit RR: 20x/menit S: 36,7oC Mata: CA-/-, SI -/Thorak: Cor dan Pulmo dbn Abdomen: I: gravid A: 136x/menit Per: pekak janin Pal: TFU 31 cm, balotemen preskep, (+), belum DJJ cembung A Gravida 3 Para 2 Abortus 0 24 Tahun Hamil 38 Minggu 2 Hari dengan B24 (+) P Pro SC elektif Konsul dokter VCT Konsul Sp.An

masuk panggul Genitalia externa: PPV (-), FA (-) Vegetatif : BAB (+),BAK (+), Flt 30-1-2013 Perawatan H+2 Lemas (+) KU: Baik/CM TD: 110/80mmHg N: 76x/menit RR: 24x/menit Gravida 3 Para 2 Abortus 0 24 Tahun Hamil 38 minggu 2 SC Infus RL 20 tpm ( 2 flabot + 10 IU

37

S: 36,9oC Mata: CA-/-, SI -/Thorak: Cor dan Pulmo dbn Abdomen: I: gravid A: 144x/menit Per: timpani Pal: TFU 31 cm, balotemen preskep, (+), belum DJJ cembung

Hari dengan B24 (+)

oxytocin) Inj Inj Inj ampicilin kalnex ketorolac 4x2 gr 3x500 mg 3x30 mg Cek Hb post SC

masuk panggul Genitalia externa: PPV (-), FA (-) Vegetatif : BAB (+),BAK (+), Flt 31-1-2013 Perawatan H+3 Lemas (+) KU: Baik/CM TD: 120/90mmHg N: 80x/menit RR: 20x/menit S: 36,5oC Mata: CA-/-, SI -/Pulmo dbn Abdomen: I: datar A: bising usus (+) normal Per: timpani Pal: TFU
38

Para 3 Abortus 0 24 Tahun post SCTP + MOW hari pertama atas indikasi B24

Ampicilin lanjut Asam mefenamat 3x500 mg Lain-lain stop

Thorak: Cor dan (+)

di

pertengahan simfisis (+) luka Genitalia externa: PPV (-), FA (-) Vegetatif : BAB (-),BAK (+), Flt (+) Operasi dilakukan tanggal 30 Januari 2013 dimulai pukul 12.50 WIB di IBS RSMS. Ketuban pecah warna jernih pukul 13.00 WIB. Bayi lahir pukul 13.02 WIB: APGAR score Jenis kelamin BB PB LK LD Anus Kelainan Bayi diberikan terapi : 8-9-10 : Perempuan : 2350 gram : 45 cm : 32 cm : 28 cm :+ :: Duviral 1/6 tab Neviral 1/6 tab Dibuat dalam bentuk puyer dan diminumkan pada bayi sebelum 4 jam setelah lahir Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 30 Januari 2013 Darah Lengkap Hb Leukosit Hematokrit Eritrosit : 10,6 gr/dl (L) : 12100/l (H) : 30 % (L) : 3,1 juta/l (L) Normal: 12-16 gr/dl Normal: 4.800-10.800/l Normal: 37%-47% Normal: 4,2-5,4 juta/l di dan sekitar pusat, nyeri tekan

39

Trombosit MCV MCH MCHC RDW MPV Hitung Jenis Eosinofil Basofil Batang Segmen Limfosit Monosit

: 290.000/l : 98,0 fL : 34,6 pg (H) : 35,3 gr/dl : 18,4 % : 8,8 fL : 5,5 % (H) : 0,2 % : 0.0 % (L) : 71,9 % (H) : 15,5 % (L) : 6,9 % (H)

Normal: 150.000-450.000/l Normal: 79-99 fL Normal: 27-31 pg Normal: 33-37gr/dl Normal: 11,5-14,5 Normal: 7,2-11,1 Normal: 2-4 % Normal: 0-1 % Normal: 2-5 % Normal: 40-70% Normal: 25-40% Normal: 2-8 %

BAB IV PEMBAHASAN

A. Diagnosis Diagnosis awal pasien adalah Gravida 3, para 2, abortus 0, usia 24 tahun, hamil 38 minggu 2 hari, dengan HIV, Diagnosis tersebut didapatkan dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan. Diagnosis pasien dengan Gravida 3, Para 2, Abortus 0. Pasien memiliki dua orang anak, anak pertama pasien yaitu seorang laki-laki berusia 6 bulan yang meniggal dikarenakan sesak nafas yang dilahirkan oleh pasien di bidan desa, secara spontan. Anak ke dua pasien seorang laki-laki berusia 3 tahun yang dilahirkan pasien di rumah sakit secara sectio cesaria yang dibantu oleh dokter spesialis dengan indikasi pengaturan plasenta. Anak ke 3 yaitu anak yang dikandung pasien saat ini.

40

Diagnosis HIV pada pasien ini ditegakkan melalui pemeriksaan yang dilakukan pasien pada tanggal 27 januari 2011 di klinik VCT RSMS didapatkan hasil bahwa pasien positif mengidap penyakit HIV, selain itu pasien rutin mengunjungi klinik VCT sejak satu tahun yang lalu. Pada penyakit keluarga pengidap HIV lainnya yaitu adalah suami pasien, pasien mengaku bahwa suami pasien dahulu adalah seorang alkoholik dan pecandu narkoba jenis suntik, seperti yang telah diketahui bahwa cara penularan HIV bermacam-macam salah satunya adalah pemkaian jarum suntik yang bergantian dan yang mengandung darah yang telah terinfeksi virus HIV, selain itu HIV juga terdapat pada beberapa cairan tubuh antara lain, darah, air mani, cairan vagina,dan air susu ibu, dengan begitu HIV bisa ditularkan melalui senggama yang dilakukan tanpa pengaman melalui vagina. Pada pasien ini dilakukan tindakan sectio cesaria untuk melahirkan bayi yang dikandung pasien dikarenakan resiko dari penyakit yang diderita oleh pasien yaitu HIV (+), yang beresiko ditularkan oleh ibu kepada bayi yang dikandung. Ada beberapa cara penularan yang dapat ditularkan oleh ibu terhadap bayi yang akan dilahirkan yaitu :

a. b. c.

Menular saat persalinan melalui percampuran darah ibu dan darah bayi Bayi menelan darah atapun lender ibu Persalinan yang berlangsung lama

Ny 24 tahun Poli kandungan dan kebidanan 28 januari 2013

41

Diagnosis awal Gravida 3 Para 2 Abortus 0, usia 24 tahun, hamil 38 minggu 2 hari, dengan HIV.

Pemeriksaan Fisik Abdomen: I : Cembung gravid A : BU + Normal djj 136x/mnit Pe : Pekak janin Pa : TFU 31cm, balotemen +42 Genitalia: Fluksus/PPV (+)

B. Penatalaksanaan Sampai saat ini tidak ada vaksin atau obat untuk HIV atau AIDS. Metode satu-satunya yang diketahui untuk pencegahan didasarkan pada penghindaran kontak dengan virus atau, jika gagal, perawatan antiretrovirus secara langsung setelah kontak dengan virus secara signifikan, disebut post-exposure prophylaxis (PEP). PEP memiliki jadwal empat minggu takaran yang menuntut banyak waktu. PEP juga memiliki efek samping yang tidak menyenangkan seperti diare, tidak enak badan, mual, dan lelah. Terapi antivirus Penanganan infeksi HIV terkini adalah terapi antiretrovirus yang sangat aktif (highly active antiretroviral therapy, disingkat HAART). Terapi ini telah sangat bermanfaat bagi orang-orang yang terinfeksi HIV sejak tahun 1996, yaitu setelah ditemukannya HAART yang menggunakan protease inhibitor. Pilihan terbaik HAART saat ini, berupa kombinasi dari setidaknya tiga obat (disebut "koktail) yang terdiri dari paling sedikit dua macam (atau "kelas") bahan antiretrovirus. Kombinasi yang umum digunakan adalah nucleoside analogue reverse transcriptase inhibitor (atau NRTI) dengan protease inhibitor, atau dengan non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Karena penyakit HIV lebih cepat perkembangannya pada anak-anak daripada pada orang dewasa, maka rekomendasi perawatannya pun lebih agresif untuk anak-anak daripada untuk orang dewasa. Di negara-negara berkembang yang menyediakan perawatan HAART, seorang dokter akan mempertimbangkan kuantitas beban virus, kecepatan berkurangnya CD4, serta kesiapan mental pasien, saat memilih waktu memulai perawatan awal. Perawatan HAART memungkinkan stabilnya gejala dan viremia (banyaknya jumlah virus dalam darah) pada pasien, tetapi ia tidak

43

menyembuhkannya dari HIV ataupun menghilangkan gejalanya. HIV-1 dalam tingkat yang tinggi sering resisten terhadap HAART dan gejalanya kembali setelah perawatan dihentikan. Lagi pula, dibutuhkan waktu lebih dari seumur hidup seseorang untuk membersihkan infeksi HIV dengan menggunakan HAART. Meskipun demikian, banyak pengidap HIV mengalami perbaikan yang hebat pada kesehatan umum dan kualitas hidup mereka, sehingga terjadi adanya penurunan drastis atas tingkat kesakitan (morbiditas) dan tingkat kematian (mortalitas) karena HIV. Tanpa perawatan HAART, berubahnya infeksi HIV menjadi AIDS terjadi dengan kecepatan rata-rata (median) antara sembilan sampai sepuluh tahun, dan selanjutnya waktu bertahan setelah terjangkit AIDS hanyalah 9.2 bulan. Penerapan HAART dianggap meningkatkan waktu bertahan pasien selama 4 sampai 12 tahun. Bagi beberapa pasien lainnya, yang jumlahnya mungkin lebih dari lima puluh persen, perawatan HAART memberikan hasil jauh dari optimal. Hal ini karena adanya efek samping/dampak pengobatan tidak bisa ditolerir, terapi antiretrovirus sebelumnya yang tidak efektif, dan infeksi HIV tertentu yang resisten obat. Ketidaktaatan dan ketidakteraturan dalam menerapkan terapi antiretrovirus adalah alasan utama mengapa kebanyakan individu gagal memperoleh manfaat dari penerapan HAART. Terdapat bermacam-macam alasan atas sikap tidak taat dan tidak teratur untuk penerapan HAART tersebut. Isyu-isyu psikososial yang utama ialah kurangnya akses atas fasilitas kesehatan, kurangnya dukungan sosial, penyakit kejiwaan, serta penyalahgunaan obat. Perawatan HAART juga kompleks, karena adanya beragam kombinasi jumlah pil, frekuensi dosis, pembatasan makan, dan lain-lain yang harus dijalankan secara rutin. Berbagai efek samping yang juga menimbulkan keengganan untuk teratur dalam penerapan HAART, antara lain lipodistrofi, dislipidaemia, penolakan insulin, peningkatan risiko sistem kardiovaskular, dan kelainan bawaan pada bayi yang dilahirkan. Obat anti-retrovirus berharga mahal, dan mayoritas individu terinfeksi di dunia tidaklah memiliki akses terhadap pengobatan dan perawatan untuk HIV dan AIDS tersebut.

44

Penanganan eksperimental dan saran Telah terdapat pendapat bahwa hanya vaksin lah yang sesuai untuk menahan epidemik global (pandemik) karena biaya vaksin lebih murah dari biaya pengobatan lainnya, sehingga negara-negara berkembang mampu mengadakannya dan pasien tidak membutuhkan perawatan harian. Namun setelah lebih dari 20 tahun penelitian, HIV-1 tetap merupakan target yang sulit bagi vaksin. Beragam penelitian untuk meningkatkan perawatan termasuk usaha mengurangi efek samping obat, penyederhanaan kombinasi obat-obatan untuk memudahkan pemakaian, dan penentuan urutan kombinasi pengobatan terbaik untuk menghadapi adanya resistensi obat. Beberapa penelitian menunjukan bahwa langkah-langkah pencegahan infeksi oportunistik dapat menjadi bermanfaat ketika menangani pasien dengan infeksi HIV atau AIDS. Vaksinasi atas hepatitis A dan B disarankan untuk pasien yang belum terinfeksi virus ini dan dalam berisiko terinfeksi. Pasien yang mengalami penekanan daya tahan tubuh yang besar juga disarankan mendapatkan terapi pencegahan (propilaktik) untuk pneumonia pneumosistis, demikian juga pasien toksoplasmosis dan kriptokokus meningitis yang akan banyak pula mendapatkan manfaat dari terapi propilaktik tersebut. Pengobatan alternatif Berbagai bentuk pengobatan alternatif digunakan untuk menangani gejala atau mengubah arah perkembangan penyakit. Akupuntur telah digunakan untuk mengatasi beberapa gejala, misalnya kelainan syaraf tepi (peripheral neuropathy) seperti kaki kram, kesemutan atau nyeri; namun tidak menyembuhkan infeksi HIV. Tes-tes uji acak klinis terhadap efek obat-obatan jamu menunjukkan bahwa tidak terdapat bukti bahwa tanaman-tanaman obat tersebut memiliki dampak pada perkembangan penyakit ini, tetapi malah kemungkinan memberi beragam efek samping negatif yang serius. Beberapa data memperlihatkan bahwa suplemen multivitamin dan mineral kemungkinan mengurangi perkembangan penyakit HIV pada orang dewasa, meskipun tidak ada bukti yang menyakinkan bahwa tingkat kematian

45

(mortalitas) akan berkurang pada orang-orang yang memiliki status nutrisi yang baik. Suplemen vitamin A pada anak-anak kemungkinan juga memiliki beberapa manfaat. Pemakaian selenium dengan dosis rutin harian dapat menurunkan beban tekanan virus HIV melalui terjadinya peningkatan pada jumlah CD4. Selenium dapat digunakan sebagai terapi pendamping terhadap berbagai penanganan antivirus yang standar, tetapi tidak dapat digunakan sendiri untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas. Penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa terapi pengobatan alteratif memiliki hanya sedikit efek terhadap mortalitas dan morbiditas penyakit ini, namun dapat meningkatkan kualitas hidup individu yang mengidap AIDS. Manfaat-manfaat psikologis dari beragam terapi alternatif tersebut sesungguhnya adalah manfaat paling penting dari pemakaiannya. Ibu hamil dengan HIV Pada kasus ibu hamil dengan HIV ini, di konsulkan terlebih dahulu ke dokter VCT, dan diberi Duviral dan Neviral. Duviral adalah analog thymidin dan merupakan obat HIV yang pertama kali ditemukan. Sampai saat ini masih diteruskan sebagai obat pilihan pertama pada terapi kronis HIV dan juga sebagai rejimen profilaksis. Obat ini juga dapat masuk dengan baik dalam SSP (susunan syaraf pusat). Sedangkan Neviral adalah obat ART yang paling sering diresepkan dalam golongan NNRTI. Obat ini juga berhasil digunakan sebagai profilaksis dalam program PMTCT (Prevention mother to child transmition). Mutasi dapat terjadi dengan sangat mudah karena hanya membutuhkan perubahan di satu titik DNA saja. Obat ini sangat mudah ditoleransi tubuh dan baik untuk digunakan sebagai terapi jangka panjang. Persalinan sebaiknya dipilih dengan menggunakan metode Sectio Caesaria karena metode ini terbukti mengurangi resiko penularan HIV dari ibu ke bayi sampai 80%. Apabila pembedahan ini disertai dengan penggunaan terapi antiretroviral, maka resiko dapat diturunkan sampai 87%. Walaupun demikian, pembedahan ini juga mempunyai resiko kondisi imunitas ibu yang rendah yang bisa memperlambat penyembuhan luka.

46

PROGNOSIS Tidak ada obat untuk infeksi HIV. Sebelum kita memiliki pengobatan apapun untuk virus, penderita AIDS hidup hanya untuk beberapa tahun. Untungnya, obat telah secara substansial meningkatkan tingkat prospek dan kelangsungan hidup. Upaya pencegahan telah seignifikan mengurangi infeksi HIV pada anak muda dan memiliki potensi untuk membatasi secara signifikan infeksi baru pada populasi lainnya (Conrad, 2010). Obat-obatan telah memperpanjang harapan hidup, dan banyak orang yang mengidap HIV dapat berharap untuk hidup selama puluhan tahun dengan pengobatan yang tepat. Harapan hidup normal akan semakin meningkat jika mereka mengikuti pengobatan secara disiplin (Conrad, 2010). Obat-obatan membantu pemulihan sistem kekebalan tubuh pulih dan melawan infeksi dan mencegah kanker terjadi. Nantinya, virus bisa menjadi resisten terhadap obat yang tersedia, dan manifestasi AIDS bisa terjadi. Obat yang digunakan untuk mengobati HIV dan AIDS tidak menghilangkan infeksi. Hal ini penting diingat bagi pengidap HIV bahwa dia masih menularkan virus HIV bahkan setelah menerima pengobatan yang efektif (Conrad, 2010).

47

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Pada kasus ini diagnosis akhir pasien adalah Gravida 3, para 2, abortus 0, usia 24 tahun post sectio caesaria transperitoneal profunda atas indikasi riwayat HIV. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan dan mencegah komplikasi maka segera dilakukan pemeriksaan terhadap pasien ke bagian VCT untuk diberikan terapi untuk HIV. Pasien menjalani perawatan di RSMS selama 3 hari dan pulang dengan keadaan yang membaik. B. Saran Pengenalan secara cepat tanda dan gejala dari HIV. Pemeriksaan dan sosialisasi penyakit HIV di klinik VCT untuk mendeteksi HIV secara lanjut.

48

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2006. Preventing mother-to-child transmission of HIV.Diakses dari http://www.fhi.org pada tanggal 1 Februari 2013 Anonim. 2006. Preventing mother-to-child transmission of HIV. Diakses dari http://www.who.int/hiv/pub/mtct/en/strategicApproachesE.pdf. pada tanggal 1 Februari 2013 Baratawidjaja, Karnen Garna, Rengganis Iris. 2009. Imunologi dasar edisi 8. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, (hal: 499 507). Beers MH, Berkow R. 1999. Human immunodeficiency virus infection. Dalam: The Merck Manual of Diagnosis and Theraphy. 17 th ed. West Point: Merck and co Conrad, Melissa. 2010. HIV/AIDS. [online]. Diakses dari: http://www.emedicinehealth.com/hivaids/page11_em.htm#Authors%20and %20Editors pada tanggal 1 Februari 2010 Cunningham FG, Gant NF, Lereno KJ, Gilstrap III LC, Hanth JC, Wenstrom KD. 2001. Infection. In : William obstetric. 21 st ed. New York: Mc Graw-Hill Cunningham GF, Gant FN, Leveno JK, Gilstrap CL, Hauth JC, Wenestrom DK. 2006. Obstetri Williams Volume 2. Edisi 21. Jakarta : EGC, ( hal: 5, 6, 23). Davey, Patrick. 2006. Infeksi HIV dan AIDS. At A Glance Medicine, Jakarta : Erlangga. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. 2006. Faktor risiko penularan HIV dari ibu ke bayi. Dalam: Pratomo H. et al. (eds). Pedoman pencegahan penularan HIV dari ibu dan bayi . Jakarta: Departemen Kesehatan RI Duarsa NW. 2005. Infeksi HIV & AIDS Edisi III. Jakarta: Balai Penerbit FKUI Fauci, A., Braunwald, E., Kasper, D., Hauser, S., Longo., D., Jameson, J., Loscalzo. 2008. Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th . ed. USA: McGraw Hill. Hafkin JS, Ferris MG. 2006. Prevention of Mother-to-child Transmission of HIV: Progress and Challenges. Diakses dari http://www.medscape.com. pada tanggal 1 Februari 2013
49

Hanifa W. 2002. Ilmu Kebidanan Edisi 3. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Robiharjo. Henderson, L. E., and Larry Arthur, Viral Targets, www.niaid.nih.gov, diakses tanggal 13 februari 2013. Jawetz, Melnick, Adelberg. 2005. Mikrobiologi Kedokteran Buku 2. Jakarta: Salemba Medika. Judarwanto W. 2006. HIV Mengancam anak Indonesia. Diakses dari http://www.depkes.com pada tanggal 1 Februari 2013 Kennedy, Ron. 2008. HIV AIDS. Diakses dari: http://www.medicallibrary.net/hiv_aids.html pada tanggal 1 Februari 2013 Muhaimin, Toha. 2011. Prevalensi HIV pada ibu hamil di delapan kota Provinsi di Indonesia. Makara, Kesehatan vol. 15 no 2. Diakses dari: journal.ui.ac.id/health/article/download/943/877,diakses tanggal 10 Februari 2013. Peckham C,MD, Gibb D, MD. 2006. Mother-to-Child Transmission of the human immunodeficiency virus. Diakses dari http://www.nejm.org. pada tanggal 1 Februari 2013 Peiperl L MD. 2006. Antiretroviral Treatment to reduce Mother-to-Child Transmission of HIV. Diakses dari http://www.hivinsite.com/insite.jps? page=kbr.07.02.03&doe=3098.00098#i. pada tanggal 1 Februari 2013 Price SA, Wilson LM. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 2 Edisi 6. Jakarta: EGC Ramaiah, Savitri, 2000, All You Wanted To Know About HIV and AIDS , Sterling Publisher Pvt. Ltd., New Delhi Sudoyo AW. 2006. Respon Imun Infeksi HIV. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI Sundaru H, Djauzi S, Mahdi D, Sukmana N, Renggaris I, Karyadi TH. 2006. Infeksi HIV/AIDS. Dalam: Rani AA, Soegondo S, Nazir AU, Wijaya IP, Nafrialdi, Mansjoer A (eds). Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta: PB PAPDI Wibowo N. 2004. Pencegahan Transmisi HIV Maternal ke janin/Bayi . Dalam Pertemuan Ilmiah Tahunan Feto-Maternal ke-V, Jakarta

50

51

Anda mungkin juga menyukai