Anda di halaman 1dari 25

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Masalah Undang Undang Dasar 1945 (selanjutny a disebut UUD 1945) Pasal 33 ayat (3) sebagaimana yang dinyatakan dalam Undang U ndang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutny a disebut UUPA) Pasal 2 ayat (1), yaitu menyatakan Atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingk atan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) merupakan landasan konstitusional bagi pembentukan p olitik dan Hukum Agraria nasional, yang berisi perintah kepada negara agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang diletkkan dalam penguasa an negara itu digunakan untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rak yat Indonesia. Tanah merupakan sarana vital bagi hidup dan kehidupan manusia. Ol eh karena itu, tanah telah diatur di dalam UUPA Pasal 9 ayat (2) yang menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara baik pria maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas 1

tanah serta untuk mendapatkan manfaat dan hasilnya bagi diri sendiri maupun kelu arganya. Politik menentukan hukum berhubungan hukum dengan yang kebijaksanaan de ngan untuk ideologi kaidah-kaidah sesuai penguasa. Oleh karena itu banyak istilah yang digunakan untuk politik hukum sepe rti: pembangunan hukum, pembaharuan hukum, pembentukan hukum dan perubahan hukum. Sedangkan masalah yang dikaji dalam polit ik hukum menurut Rahardjo : a) tujuan yang hendak dicapai; b) cara apa yang dipa kai untuk mencapai tujuan tersebut dan cara mana yang paling baik untuk mencapai tujuan tersebut; c) mengapa hukum itu perlu diubah dan apa dampaknya; d) cara b agaimanakah perubahan itu sebaiknya dilakukan. Politik hukum pertanahan merupaka n kebijakan pemerintah di bidang pertanahan yang ditujukan untuk mengatur pengua saan/pemilik tanah, peruntukan dan penggunaan tanah untuk lebih menjamin perlind ungan hukum dan peningkatan kesejahteraan serta mendorong kegiatan ekonomi melal ui pemberlakuan undang-undang pertanahan dan peraturan pelaksanaannya. Jadi poli tik hukum pertanahan harus dilandasi dengan itikad baik pemerintah dan pejabat/a paratnya untuk mencapai tujuan yang baik pula, baik pada saat ini maupun pada sa at mendatang. 2

Dengan diundangkannya UUPA, terjadi perombakan Hukum Agraria di Indonesia, yaitu penjebolan Hukum Agraria kolonial dan pembangunan Hukum Agraria nasional. Denga n diundangkannya UUPA, Bangsa Indonesia telah mempunyai Hukum Agraria yang sifat nya nasional, baik ditinjau dari segi formal maupun dari segi materilnya. Sifat nasional UUPA dari segi formalnya dapat dilihat dalam Konsiderannya di bawah per kataan menimbang yang menyebutkan tentang keburukan dan kekurangan dalam Hukum Agr aria yang berlaku sebelum UUPA. Segi materiilnya, Hukum Agraria yang baru harus bersifat nasional pula, artinya berkenan dengan tujuan, asas-asas dan isinya har us sesuai dengan kepentingan nasional. Dalam hubungan ini UUPA menyatakan pula d alam Konsiderannya di bawah perkataan berpendapat salah satunya yakni bahwa Hukum Agraria yang baru harus didasarkan ata s hukum adat tentang tanah. Dengan dicabutnya peraturan dan keputusan agraria ko lonial, maka tercapailah unifikasi (kesatuan) Hukum Agraria yang berlaku di Indo nesia, yang sesuai dengan kepribadian dan persatuan Bangsa Indonesia. Dalam rang ka mewujudkan unifikasi hukum tersebut, Hukum Adat tentang tanah dijadikan dasar pembentukan Hukum Agraria nasional. Hukum Adat dijadikan dasar dikarenakan huku m tersebut dianut oleh sebagian besar rakyat Indonesia sehingga Hukum Adat tenta ng tanah mempunyai kedudukan yang istimewa dalam pembentukan Hukum Agraria nasio nal. 3

Hukum Adat sebagai dasar pembentukan Hukum Agraria nasional memang menghadapi ke sulitan-kesulitan tertentu. Kesulitan tersebut berkaitan dengan sifat pluralisme Hukum Adat itu sendiri, masing-masing masyarakat hukum adat mempunyai Hukum Ada tnya sendiri-sendiri yang tentunya terdapat perbedaan. Perbedaan tersebut kesimp angsiuran pemahaman mengenai posisi hukum-hukum dan hak-hak adat kelompok-kelomp ok penduduk asli atas tanah dan sumber-sumber agraria secara tidak langsung tela h menghambat penentuan sikap di kalangan penduduk asli setempat mengenai sengketasengketa penguasaan tanah yang melibatkan kepentingan mereka. Salah satu bentuk kebimbangan yang mereka nyatakan selama in i, misalnya: apa bedanya tanah-tanah hak adat dan tanah Negara. Erat hubungannya dengan apa yang dipaparkan sebelumnya, maka dalam pembahasan makalah ini kami t ertarik untuk membahas mengenai PERSPEKTIF POLITIK HUKUM TANAH TERHADAP HAK NEGA RA DAN HAK ADAT ATAS TANAH. B. Rumusan Masalah Untuk menghindari tejadinya pemba hasan yang simpang siur dan guna memberikan pemecahan pokok masalah dari uraian teori secara sistematis sebagai suatu konsepsi yang utuh dalam suatu pemahaman 4

tentang materi pokok dari kajian ini, maka kami membatasi rumusan masalah sebaga i berikut: 1. Bagaimana bentuk sengketa yang timbul sebagai akibat pertentangan hak adat dengan hak negara atas tanah? 2. Bagaimana cara penyalesaian sengketa y ang timbul sebagai akibat pertentangan hak adat dengan hak negara atas tanah? C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan Sebagaimana layaknya suatu karya ilmiah, maka mak alah ini pun mempunyai tujuan dan kegunaan yang ingin dicapai, sehingga dalam pe mbahasannya menjadi sistematis dan terpola. 1. Penulisan ini dilakukan dengan tu juan sebagai berikut: a. Untuk mengetahui bentuk sengketa yang timbul sebagai ak ibat pertentangan hak adat dengan hak negara atas tanah. b. Untuk mengetahui car a penyalesaian sengketa yang timbul sebagai akibat pertentangan hak adat dengan hak negara atas tanah. 2. Kegunaan penulisan diharapkan dapat memberikan sumbang si antara lain: 5

a. Sebagai referensi bagi pihak yang membutuhkan dan yang berkepentingan dalam d isiplin ilmu hukum yang menyangkut tentang pertanahan. b. Sebagai perbandingan d alam melakukan analisis terhadap masalah pertanahan di Indonesia khususnya menge nai perspektif politik hukum tanah terhadap hak negara dan hak adat atas tanah. 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Politik Hukum Nasional 1. Politik Menurut Black politik adalah hal-hal yang berhubungan dengan kebijakan atau administrasi pemerintah, Negara dan bangsa, atau juga hal-hal yang berhubungan dengan penyel enggaraan pelaksanaan fungsi-fungsi penyelenggaraaan pemerintah, atau mengatur u rusan pemerintah. Menurut Badudu-Zain dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia politik di definisikan dengan segala macam urusan ketatanegaraan yang menyangkut pengaturan pemerintahan yang di dalamnya termasuk system, kebijaksanaan, serta siasat baik terhadap urusan dalam negeri maupun luar negeri 2. Hukum Definisi hukum memilik i banyak arti. Namun dalam kaitannya dengan masalah ini, Prof. Purnadi Purbacara ka dan Prof. Dr. Soerjono Soekanto S.H.,M.H., antara lain mengemukakan bahwa: a) Hukum sebagai kaidah atau norma; b) Hukum sebagai tindak yang ajeg atau teratur . 7

Ter Haar Bzn dalam teorinya yakni beslissingenleer mengemukakan bahwa hukum sebagai keputusan penguasa. CJM Schuyt memberikan defin isi hukum sebagai jalinan nilai-nilai. Menurut Prof. Dr. Mertokusumo, S.H., berb icara hukum pada umumnya yang daimaksudkan adalah keseluruhan kumpulan peraturan atau kaidah dalam suatu kehidupan bersama. Keseluruhan peraturan tentang tingka h laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama. Hukum bukanlah sebagai tujuan , tetapi sarana atau alat untuk mencapai tujuan yang sifatnya non-yuridis dan be rkembang karena rangsangan dari luar hukum. 3. Tanah Nasional Dalam lingkup agra ria, tanah merupakan bagian dari bumi. Tanah yang dimaksudkan disini bukan menga tur dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu t anah dalam pengertian yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi d isebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA dinyatakan bahwa hak menguasai negara dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tan ah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maup un bersamasama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. Dengan demikian, jelaslah bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi, sedangkan h ak atas tanah adalah hak atas sebagian 8

tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Urip Santoso ( 2005:10). Boedi Harsono (2003:18) menjelaskan: mengenai h ak atas tanah, yang berarti hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berb atas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-hak yang disediakan oleh UUPA, adalah untuk digu nakan dan dimanfaatkan. Kemudian dalam Pasal 4 ayat (2) UUPA dinyatakan, bahwa h ak-hak atas tanah bukan hanya memberikan wewenang untuk mempergunakan sebagian t ertentu permukaan bumi yang bersangkutan, yang disebut tanah, tetapi juga tubuh bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya. 4. Politik Hu kum Tanah nasional Menurut B. Hukum Adat 1. Pengertian Menurut Maria R. Ruwiastu ti () menyatakan bahwa Hukum Adat adalah hukum tidak tertulis yang hidup dalam ma syarakat, tumbuh dari kesadaran hukum, menjelmakan rasa hukum yang nyata dari ra kyat serta pembentukan norma tidak bergantung pada penguasa rakyat. 2. Hak Ulaya t Masyarakat Hukum Adat UUPA Pasal 3 (Urip Santoso, 2005:79)menyatakan bahwa: 9

Dengan mengingat ketentuan-ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 pelaksanaan hak ulayat dan pelaksanaan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanj ang kenyataan masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentinga n nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi . Boedi Harsono (2005: 185-186) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hak ulayat masyarakat hukum adat adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyaraka t hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilay ahnya. C. Tanah Negara Menurut Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Per tanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata cara Pemberian Dan Pembatalan H ak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan, Pasal 1 Angka (2) menyebutkan bahwa Ta nah Negara adalah tanah yang langsung dikuasai oleh negara sebagaimana dimaksud dalam UUPA. 10

BAB III PEMBAHASAN A. Bentuk Sengketa Yang Timbul Sebagai Akibat Pertentangan Ha k Adat Dengan Hak Negara Atas Tanah Istilah "Masyarakat Hukum Adat" dan "Hak Ula yat" untuk pertama kali digunakan oleh Pembuat Undang-undang pada 1960 dalam UUP A Pasal 3. Inti dari UUPA Pasal 3 adalah bahwa pelaksanaan Hak Ulayat atau hak-h ak serupa itu dari Masyarakat Hukum Adat harus sesuai dengan kepentingan bangsa dan negara. Tidak ada penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan "Masyarakat H ukum Adat" baik dalam UUPA Pasal 3 maupun Penjelasan Umum/Khusus yang merupakan tafsir resmi dari Pembuat Undang-undang. Mengenai Hak Ulayat dikatakan bahwa yan g dimaksud adalah apa yang selama ini dikenal sebagai "beschikkingsrecht" dalam kepustakaan hukum Adat. Artinya dalam hal inipun Pembuat Undang-undang tidak men ciptakan istilah baru melainkan hanya menerjemahkan kata "beschikkingsrecht" ke dalam sebuah kata Indonesia: Hak Ulayat. Di kemudian hari pengambilalihan konsep "beschikkingsrecht" ke dalam UUPA itu menimbulkan masala h sebab, walaupun oleh Van Vollenhoven dikatakan bahwa konsep "beschikkingsrecht " dikenal luas hampir di 11

semua tempat di seluruh Nusantara, belum tentu pernyataan itu cocok dengan kenya taan di lapangan. Suatu beschikkingsrecht meliputi berbagai kewenangan seperti: mengambil hasil-hasil alami dari hutan, berburu binatang-binatang liar, mengambi l untuk memiliki pohon-pohon tertentu dalam hutan, dan membuka tanah dalam hutan dengan izin kepala persekutuan hukum Adat. Dalam rangka beschikkingsrecht dapat t erjadi hak-hak perorangan atas tanah-tanah yang sudah dibuka dan diusahakan teru s-menerus; tapi ketika tanah itu ditelantarkan maka hak-hak perorangan itu akan lenyap dan tanahnya kembali menjadi beschikkingsrecht persekutuan. Pembuat UUPA se ndiri tidak menyediakan jawaban dalam tafsir resminya yang termuat dalam Penjela san Umum/Khusus, tapi praktik sehari-hari Pemerintah selaku Pelaksana Undang-und ang telah memukul rata penamaan "Hak Ulayat" itu terhadap semua hak-hak Adat yan g terdapat pada kelompok-kelompok Penduduk Asli setempat. Dalam praktik, semua t anah dan sumber-sumber agraria yang dikuasai secara bersama-sama dalam kelompok (entah klan entah gabungan dari beberapa klan) dianggap sebagai tanah-tanah Hak Ulayat. Penganggapan adanya Hak Ulayat oleh Pemerintah mengandung konsekuensi te rtentu yang sulit dipahami oleh kelompok-kelompok Penduduk Asli setempat karena tanah-tanah yang dianggap sebagai tanah Hak Ulayat itu secara otomatis masuk kat egori tanah-tanah Negara. 12

Mengenai hal ini Aparatus Pemerintah sering berlindung di balik ketentuan UUD 19 45 Pasal 33 ayat (3) dan menyimpulkan bahwa dengan demikian maka semua tanah di seluruh negeri ini adalah tanah negara, termasuk disitu tanah-tanah Hak Ulayat. Iman Soetiknjo, salah seorang tokoh pemrakarsa UUPA, mengatakan bahwa Hak Ulayat (beschikkingsrecht) sendiri merupakan hak-hak yang b ersifat publik yang dimiliki oleh Persekutuan-persekutuan Hukum Adat sebagai sat uan-satuan politik terkecil yang terdapat di wilayah Negara. Dengan kata lain Ha k Ulayat merupakan Hak Negara sehingga tanah-tanah yang dikuasai berdasarkan hak ini statusnya sama dengan tanah-tanah negara. Dalam tafsir resminya Pembuat Und ang-undang mengatakan bahwa di atas tanah-tanah Hak Ulayat itu Pemerintah berwen ang menerbitkan hak-hak baru seperti HGU. Padahal suatu HGU hanya bisa diberikan di atas tanah-tanah yang langsung dikuasai oleh Negara (atau disebut tanah nega ra). Berarti bahwa tanah-tanah Hak Ulayat dianggap sama nilainya dengan tanah-ta nah negara. Jelas hal ini merupakan kerugian bagi kelompok-kelompok Penduduk Asl i setempat kalau tanah-tanah mereka dikategorikan sebagai tanah-tanah negara. Me nurut Boedi Harsono, pakar hukum agraria, kelompok-kelompok Penduduk Asli yang t anahnya diserahkan kepada pemegang HGU tidak selalu harus menyerahkan Hak Ulayat nya kepada Negara. Artinya, Hak 13

Ulayat mereka bisa tetap hidup di atas tanah-tanah yang telah dibebani HGU itu. Keterangan semacam ini hanya ingin menghindar secara halus dari persoalan yang s esungguhnya. Bagaimanapun, di atas areal tanah yang sama tidak mungkin hidup dua hak sekaligus yaitu Hak Ulayat dan HGU, kecuali kalau Hak Ulayat itu dianggap s ama nilainya dengan Hak Negara. Kalau Hak Ulayat sama harganya dengan Hak Negara maka kelompok-kelompok Penduduk Asli setempat yang dianggap mempunyai Hak Ulaya t tersebut akan dirugikan sebab dengan demikian mereka akan kehilangan semua hak -hak Adatnya untuk mengurus dan mengatur pemanfaatan tanah-tanah dan sumber-sumb er agraria tersebut. Dengan menganggap bahwa tanah-tanah Penduduk Asli setempat itu adalah tanah-tanah Hak Ulayat yang masuk kategori tanah negara, maka negara mengambil alih semua wewenang untuk mengatur, mengurus dan mengadakan hubungan-h ubungan hukum (antara lain membuat perjanjian-perjanjian penggunaan tanah) dengan pihak ketiga. Dapat dipastikan ba hwa sengketa-sengketa struktural penguasaan tanah yang telah terjadi di kalangan Penduduk Asli setempat selama ini merupakan akibat logis dari penganggapan bahw a tanah-tanah kelompok Penduduk Asli setempat itu adalah tanah-tanah Hak Ulayat. Berikut ini beberapa contoh yang dapat dilihat. Kemarahan orangorang Asmat di S awa Erma terhadap praktik PT. Artika Optima Inti yang 14

mengambil kayu-kayu di dusun-dusun sagu mereka tanpa izin para pemilik dusun mem buktikan tiadanya otonomi untuk berunding dengan pihak perusahaan. Begitu pula d engan tuntutan-tuntutan orang-orang Amungme di Kwamki Lama untuk diikutsertakan dalam perundingan dan pembuatan perjanjian penyewaan tanah dengan PT. Freeport I ndonesia, dengan jelas menunjukkan bukti bagaimana otonomi mereka untuk membuat hubungan-hubungan hukum dengan pihak ketiga mengenai penggunaan tanah-tanah dan sumber-sumber agraria sesungguhnya telah beralih (tanpa mereka sadari) kepada ne gara. Strategi membatasi dan mengurangi tidak pernah berubah sungguhpun kemudian ditambahkan kata pemanis "diakui" dalam Penjelasan Umum unda ng-undang itu, sebab pengakuan semacam itu tidak punya implikasi juridis apapun manakala Pembuat undang-undang sendiri dalam tafsir resminya secara tersirat men empatkan Hak Ulayat senilai dengan hak negara. Selain mengakui Hak Ulayat agar d apat memasukkannya ke dalam kategori hak negara, Pembuat UUPA mengakui juga adan ya suatu Hak Milik Adat sebagai hak-hak perdata biasa yang dapat dipunyai oleh P enduduk Asli setempat. Istilah "Hak Milik Adat" secara tersurat tidak digunakan dalam teks undang-undang itu, tapi secara tak langsung rumusan Pasal II Ketentua n-ketentuan Konversi itu mengisyaratkan adanya pengakuan tersebut: "Hak-hak atas tanah yang memberi 15

wewenang sebagaimana atau mirip dengan Hak Milik yang dimaksud oleh undang-undan g ini, seperti: Hak Agrarisch Eigendom, Milik, Yasan, Andarbeni, Druwe, Druwe De sa, Pesini dan lain-lain hak dengan nama apapun yang akan ditegaskan lebih lanju t oleh Menteri Agraria, sejak saat diberlakukannya undang-undang ini akan dikonv ersi menjadi Hak Milik...". Istilah "Hak Milik Adat" digunakan untuk menyebut be rmacammacam hak milik atas tanah baik yang timbul dari tindakan membuka hutan ya ng diakui dan dijamin dalam hukum-hukum Adat setempat, yang diberikan oleh Pengu asa-penguasa Pribumi setempat maupun yang diciptakan oleh Penguasa Hindia Beland a bagi Penduduk Asli dan orangorang Timur Asing. Pengakuan tak langsung akan ada nya Hak Milik yang timbul dari pembukaan hutan primer yang dijamin oleh hukum-hu kum Adat setempat dapat diketahui dari rumusan pasal 22 UUPA. Nama Hak Yasan han yalah salah satu contoh yang sudah dikenal oleh Pembuat Undang-undang. Dalam tra disi masyarakat desa di Jawa Tengah, kalau petani-petani Jawa membuka hutan prim er untuk berladang disitu maka mereka akan memperoleh Hak Milik atas tanah-tanah yang dibukanya; inilah yang mereka sebut Hak Yasan. Pembuat UUPA memberi kesemp atan bagi setiap orang yang memegang Hak Milik Adat di seluruh Indonesia untuk m endaftarkan haknya dan akan memperoleh sertifikat Hak Milik melalui prosedur 16

Konversi Hak Adat. Di pulau Jawa, prosedur Konversi Hak Adat dilaksanakan sebaga imana mestinya hingga saat ini. Tapi hal ini tidak lagi diindahkan sesudah tahun 1990 di daerah-daerah luar Jawa seperti di Tinombo, Tomini dan Galela. Dalam ke adaan tanpa keterangan-keterangan tertulis maka perlu dilakukan suatu tahapan ya ng disebut "Pengakuan Hak Adat" yang partisipatif mendahului prosedur Konversi H ak Adat tersebut. Praktis, tahapan "Pengakuan Hak Adat" itu selain makan waktu j uga memerlukan kesungguhan, rasa hormat, ketelitian, keahlian dan partisipasi masyarakat; enam faktor yang biasanya tidak disukai oleh pegawaipegawai BPN. Dar i segi kualitas dan nilai hak yang diterima sepintas lalu memang tidak ada perbe daan antara "Hak Milik Adat" dan "Hak Milik yang berasal dari tanah Negara". Tap i sebaliknya, dari segi otonomi kelompok yang semula dijamin oleh hukum-hukum Ad at setempat sesungguhnya telah terjadi pencabutan yang sangat mendasar. Karena b ukan saja kelompokkelompok Penduduk Asli setempat tidak lagi berkuasa mengurus p enggunaan sumber-sumber agraria yang selama berabad-abad mereka akui sebagai mil iknya, tapi lebih dari itu negara lalu mendapatkan kewenangan yang luas untuk me ngatur penggunaan sumber-sumber agraria di situ, termasuk wewenang untuk memberi kan izin bagi orangorang luar seperti perusahaan-perusahaan bermodal besar untuk 17

membuka hutan dengan luasan yang berlipat ganda dari yang mampu dilakukan oleh p enduduk Asli setempat sendiri. Melihat implikasinya yang mengancam masa depan ke hidupan sosial ekonomi penduduk Asli setempat, patut diduga bahwa ketentuan UUPA Pasal 22 itu secara sistemik berkait dengan UUPA Pasal 3, yang intinya melalui undang-undang itu dibuka peluang terjadinya proses yang sah bagi beralihnya keku asaan atas tanah dan sumber-sumber agraria dari Rakyat kepada Negara. Walaupun d iakui dan diberi kesempatan untuk didaftarkan secara resmi sebagai Hak Milik men urut undang-undang, ancaman hukum yang diarahkan kepada tanah-tanah Hak Milik Ad at relatif besar dan membahayakan karena melalui UUPA suatu Hak Milik dianggap b erakhir bilamana tanahnya ditelantarkan. Walaupun Pembuat Undang-undang hanya me nentukan bahwa sebidang tanah disebut telantar bilamana dengan sengaja tidak dip ergunakan sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan haknya namun praktik Pemerinta h (c.q. BPN) menganggap perlu adanya suatu pegangan yang lebih riil untuk dapat menentukan kapan atau setelah berapa lama hak atas tanah-tanah demikian dapat di anggap hapus. Untuk itu Pemerintah memegang keputusan Pengadilan, pendapat Pengu asa dan Ahli sebagai pedoman. 18

B. Cara Penyalesaian Sengketa Yang Timbul Sebagai Akibat Pertentangan Hak Adat Dengan Hak Negara Atas Tanah Keputusan Pengadilan Negeri P adang Lawas di Sumatera Barat menetapkan bahwa sesuai tradisi setempat sawah-saw ah yang ditinggalkan selama satu tahun akan kembali menjadi Hak Ulayat. Menurut hukum Ad at Sulawesi Selatan, tanah-tanah sawah yang ditinggalkan selama sepuluh tahun at au lebih, atau bilamana semua pematang maupun tanda-tandanya telah hilang seluru hnya, dianggap sudah menjadi tanah liar; sungguhpun demikian kepada orang yang m embukanya pertama diberikan prioritas untuk mengerjakannya kembali dalam waktu s atu tahun. Pegangan yang dibutuhkan oleh Pelaksana Undang-undang umumnya mengacu pada kebiasaan-kebiasaan masyarakat setempat yang biasanya telah diatur pula dalam hukumhukum Adat di tem pat-tempat itu. Selain itu, kebutuhan setempat yang sifatnya sangat khas juga bi sa dijadikan pedoman. Namun praktik Pemerintah (c.q. BPN) di lapangan, terutama di daerah-daerah luar Jawa, membuktikan lain. Secara pukul rata BPN Sulawesi Ten gah menentukan bahwa tanah-tanah pertanian yang ditinggalkan selama dua tahun be rturut-turut akan diambil alih menjadi tanah-tanah Negara. Penentuan batas waktu dua tahun, yang di daerah-daerah dimana masyarakatnya hidup dalam tradisi persa wahan beririgasi dan padat penduduknya 19

dianggap wajar, akan menjadi bumerang bagi masyarakat yang hidup dalam tradisi p erladangan berputar. Dalam tradisi masyarakat perladangan berputar dikenal suatu sistem penyuburan alamiah dimana tanah-tanah ladang "dibiarkan/ditinggalkan unt uk beberapa tahun lamanya". Jumlah tanah-tanah yang semula ladang itu pasti jauh lebih besar dibandingkan ladang-ladang yang tengah dikerjakan. Dengan tuduhan m enelantarkan tanah dan a-sosial, berjuta-juta hektar tanah-tanah bekas ladang mi lik kelompok-kelompok Penduduk Asli setempat yang tengah disuburkan itu telah be ralih secara sah menjadi tanah-tanah Negara, nyaris tanpa perlawanan. Perlawanan , kalaupun ada, mungkin baru dimulai manakala diatas tanah-tanah "terlantar" itu diberikan hak-hak baru seperti HPHTI kepada perusahaan-perusahaan. Sengketaseng keta struktural penguasaan tanah yang melibatkan kelompokkelompok Penduduk Asli di Lelobatan, Biloe, Gamlaha dan Umaa Telivaq adalah beberapa contoh dari jenis ini. Hanya dengan membaca sepintas lalu rumusan UUPA Pasal 5, banyak orang mempe rcayai bahwa hukum-hukum Adat tetap diakui bahkan dijadikan dasar bagi pembentuk an UUPA. Sebenarnya kepercayaan itu sudah ada dan akan tetap ada, juga sekiranya tidak terdapat rumu san apapun dalam undang-undang, sebab pada dasarnya masyarakat awam mempercayai itikad baik dari Pembuat Undang-undang. 20

Pada masyarakat yang religius sekaligus naif seperti masyarakat Indonesia, hukum masih diyakini sebagai sakral dan perpanjangan perintah Tuhan, sehingga yang be rnama hukum dengan sendirinya adil dan baik. Kekeliruan yang selama ini kita lak ukan adalah menafsirkan kata-kata dalam undang-undang sesuai keinginan dan keyak inan sendiri. Pembuat Undang-undang bahwa pertumbuhan hukum Adat tidak terlepas dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalistik dan masyarakat S wapraja yang feodal, Kalau demikian maka hukumhukum Adat yang dihidupkan oleh ke lompok-kelompok Penduduk Asli setempat, seperti misalnya hukum Adat Asmat, yang tidak memenuhi persyaratan terpengaruh politik kolonial, kapitalistik dan feodal istik, tidak masuk dalam kategori ini. Umumnya sengketa-sengketa struktural di a tas dapat "diselesaikan" dengan pendekatan-pendekatan khas oleh Pemerintah Daera h dalam bentuk-bentuk: himbauan kepada perusahaan supaya lebih bermurah hati, pe nyadaran kepada masyarakat agar mereka lebih berpartisipasi dalam pembangunan, j anji-janji akan diikutsertakannya mereka ke dalam perusahaan dan lain-lain, yang intinya mengalihkan perhatian masyarakat setempat dari pokok persoalannya. Prak tis tidak pernah terjadi penyelesaian sengketa dalam arti kata sebenarnya. 21

BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN 1. Bentuk sengketa yang timbul sebagai akibat perte ntangan hak adat dengan hak negara atas tanah adalah sengketa struktural dimana kelompok-kelompok Penduduk Asli setempat berhadapan dengan kekuasaan Negara baik sebagai pelaku maupun penjamin (pemberi hak). Bahwa sengketa-sengketa struktura l penguasaan tanah yang telah terjadi di kalangan Penduduk Asli setempat selama ini merupakan akibat logis dari penganggapan bahwa tanah-tanah kelompok Penduduk Asli setempat itu adalah tanah-tanah Hak Ulayat. 2. Cara penyalesaian s engketa yang timbul sebagai akibat pertentangan hak adat dengan hak negara atas tanah, umumnya diselesaikan" dengan pendekatan-pendekatan khas oleh Pemerintah Da erah dalam bentuk-bentuk: himbauan kepada perusahaan supaya lebih bermurah hati, penyadaran kepada masyarakat agar mereka lebih berpartisipasi dalam pembangunan , janji-janji akan diikutsertakannya mereka ke dalam perusahaan dan lain-lain, y ang intinya mengalihkan perhatian masyarakat setempat dari pokok persoalannya. P raktis tidak pernah terjadi penyelesaian sengketa dalam arti kata sebenarnya. 22

DAFTAR PUSTAKA Harsono, Boedi. 2005. Hukum Agraria Indonesia. Penerbit Djambatan. Jakarta Suted i, Adrian. 2009 Tinjauan Hukum Pertanahan. Penerbit Pradnya Paramita.Jakarta Sut edi, Adrian. 2007 Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya. Penerbit Sinar Gr afika. Jakarta R, Subekti dan Trjitrosudibio, R. 1999. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Penerbit PT. Pradnya Peramita. Jakarta ________. 1994, Hukum Agraria I ndonesia (Himpunan Peraturan peraturan Hukum Tanah). Djambatan. Jakarta Santoso Urip. 2005. Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah. Prenada Media. Jakarta 23

24

Anda mungkin juga menyukai

  • Contoh Sertifikat Toefl
    Contoh Sertifikat Toefl
    Dokumen1 halaman
    Contoh Sertifikat Toefl
    Willy Saputra Nugraha
    Belum ada peringkat
  • Makalah Politik
    Makalah Politik
    Dokumen27 halaman
    Makalah Politik
    Willy Saputra Nugraha
    Belum ada peringkat
  • Bahan Hukum
    Bahan Hukum
    Dokumen16 halaman
    Bahan Hukum
    Willy Saputra Nugraha
    Belum ada peringkat
  • BSM 2
    BSM 2
    Dokumen2 halaman
    BSM 2
    Willy Saputra Nugraha
    Belum ada peringkat
  • Bahan Hukum
    Bahan Hukum
    Dokumen16 halaman
    Bahan Hukum
    Willy Saputra Nugraha
    Belum ada peringkat
  • BSM 2
    BSM 2
    Dokumen2 halaman
    BSM 2
    Willy Saputra Nugraha
    Belum ada peringkat
  • Bahan Hukum
    Bahan Hukum
    Dokumen16 halaman
    Bahan Hukum
    Willy Saputra Nugraha
    Belum ada peringkat
  • BSM 2
    BSM 2
    Dokumen2 halaman
    BSM 2
    Willy Saputra Nugraha
    Belum ada peringkat
  • Memulai Print To Go
    Memulai Print To Go
    Dokumen1 halaman
    Memulai Print To Go
    Willy Saputra Nugraha
    Belum ada peringkat
  • BSM 2
    BSM 2
    Dokumen2 halaman
    BSM 2
    Willy Saputra Nugraha
    Belum ada peringkat
  • Undangan Srsrsseleksi MDP Bank Syariah Mandiri.
    Undangan Srsrsseleksi MDP Bank Syariah Mandiri.
    Dokumen2 halaman
    Undangan Srsrsseleksi MDP Bank Syariah Mandiri.
    TicTicTica
    Belum ada peringkat