Anda di halaman 1dari 16

Obat batuk berjalan melalui sirkulasi darah menuju ke pusat batuk dan hasilnya batuk menjadi reda.

Bagaimanakah obat itu mengenal target sel atau organnya? Dapat diibaratkan sebagai pesawat radio atau televisi yang menerima signal dari jarak jauh. Pengaruh terapeutik atau toxik obat-obatan adalah sebagai akibat interaksi obat itu dengan molekul-molekul dalam tubuh pasien. Molekul obat berassosiasi dengan makromolekul khusus yang kemudian mempengaruhi biokemikal maupun biofisikal makromolekul tersebut. Wacana yang perkembangannya lebih seabad itu, kini memperkenalkan konsep makromolekul sebagai konsep reseptor. reseptor merupakan komponen sel atau organ yang bila berinteraksi dengan molekul obat akan segera berinisiasi merangsang serangkaian peristiwa biokimia yang akhirnya menghasilkan pengaruh obat.

reseptor menentukan hubungan kuantitatif antara dosis dengan konsentrasi obat dan pengaruh farmakologiknya. Affinitas reseptor dalam mengikat molekul obat menentukan kuantitas ikatan obat dengan reseptor yang merupakan faktor pem-batas dalam menimbulkan efektivitas obat. reseptor bertanggung jawab dalam seleksi aksi obat. Besar molekul, bentuk, dan muatan listerik obat akan menentukan affinitas dan arahnya ke binding site molekul reseptor yang berbeda-beda dan tersedia di dalam sel atau organ. Oleh karena itu, perubahan struktur kimia obat secara dramatis dapat meningkatkan atau menurunkan affinitas obat terhadap reseptor, yang selanjutnya akan mempengaruhi tingkat terapeutik ataupun toxiknya.

reseptor memediasi agonists dan antagonists. Beberapa hormon dan neurotransmitter bekerja sebagai agonist dalam meregulasi tugas makromolekul. Agonist adalah agent yang mengikat reseptor dan menimbulkan respons, dan antagonist adalah sebaliknya, yaitu menekan fungsi reseptor.
Beberapa obat berfungsi sebagai antagonists yaitu berikatan dengan reseptor namun tidak melaksanakan aktivitas suatu signal, sehingga apabila diperkenalkan dengan agonists, reseptor tidak mrespons.

Makromolekul reseptor Obat


Sebagian besar reseptor adalah protein, yang mungkin disebabkan struktur polypeptida yang bervariasi tinggi dan memiliki muatan listrik serta bentuk maupun ukuran yang diperlukan untuk kekhususan fungsionalnya. reseptor merupakan jenis protein yang berfungsi regulator (regulatory protein) yang memediasi signal-signal kimiawi seperti neurotransmitter, autacoid dan hormon. Jenis reseptor seperti ini memediasi pengaruh-pengaruh sebagian besar senyawa kimia yang dipergunakan dalam pengobatan. Jenis protein lain yang telah diidentifikasi sebagai reseptor obat adalah enzim-enzim yang fungsinya kebanyakan menghambat (hanya sedikit sekali yang merangsang) bila berikatan dengan obat. Misalnya dihydrfolate reductase fungsinya akan terhambat bila diberikan antineoplastik methotrexate, atau dengan trimethoprim (anti inflammasi). Dactinomycin atau juga dikenal sebagai actinomycin bekerja pada asam nukleat, yaitu menghambat enzim polymerase yang diperlukan dalam proses transkripsi DNA.

Selain menghambat, jenis protein seperti di atas ada juga yang berfungsi sebagai transpor. Misalnya Na+ / K+ ATPase, yang terdapat pada membran sel-sel jantung yang spesifik bekerja untuk glikosida digitalis sebagai obat jantung.
Protein struktural, seperti tubulin adalah reseptor untuk cholchicine yaitu obat antiinflammasi.

Hubungan reseptor dan Respons


Hubungan dosis obat dengan respons klinik bukanlah sesuatu yang sederhana. Kesederhanaan hubungan hanya dapat diperoleh pada percobaan in vitro yang terkontrol dengan baik, bahkan dapat dijelaskan secara mathematik. Pada hewan percobaan ataupun pada pasien, respons berhubungan langsung secara proporsional terhadap dosis, namun suatu saat bagaimanapun dosis dinaikkan, respons tidak timbul lagi. Berdasarkan pengamatan in vitro, hubungan konsentrasi obat dengan respons adalah berbentuk kurva hiperbolik menurut persamaan: Emax x C

C + EC50

di mana E adalah efek yang timbul pada konsentrasi C, dan Emax adalah efek maksimum yang dapat ditimbulkan oleh obat. EC50 adalah konsentrasi obat yang dapat menimbulkan respons 50% dari efek maksimum. Hubungan hiperbolik di atas adalah mengikuti hukum pergerakan massa yang memprediksi hubungan antara dua molekul yang berbeda affinitas. Kesamaan ini menimbulkan asumsi kuat, bahwa obat-obat agonists juga berikatan atau menempati binding site molekul-molekul biologik yang memiliki karakteristik affinitas reseptor. Asumsi itu kemudian dikonfermasi dengan menggunakan reseptor ligan yang beradioaktif terhadap sistem ikatan reseptor dan obat tersebut.

Hasil penelitian itu menyimpulkan bahwa konsentrasi obat yang terikat dengan receptor, B berhubungan langsung dengan konsentrasi obat bebas, C menurut persamaan: Bmax x C B = C + KD

di mana Bmax adalah total konsentrasi dari binding site reseptor, KD adalah konstante dissosiasi equilibrium yang menggambarkan besarnya konsentrasi obat bebas pada saat 50% ikatan maximal dipcapai.

Effikasi
Adalah respons maksimal yang ditimbulkan obat. Dipengaruhi oleh ikatan kompleks antara obat dengan reseptor, dan oleh effisiensi reseptor menimbulkan aksi sellular. Effikasi analogi dengan kecepatan maksimum pada reaksi katalisasi enzim. Suatu senyawa mungkin saja berikatan dengan receptor, namun tidak menimbulkan respons. Keadaan itu disebut zero-efficasy dan dapat berfungsi sebagai antagonist. Pengaruh obat lebih mudah di analisa dengan memplot besarnya respons versus logorarithma dosis obat.

Kurva dose-response yang memperlihatkan perbedaan effikasi dan potensi

Potensi
Potensi adalah dosis konsentrasi yang effektif, yaitu merupakan ukuran seberapa banyak obat yang diperlukan untuk menimbulkan respons tertentu. Semakin rendah dosis obat dalam menimbulkan respons tertentu, maka semakin tinggi potensinya.
Potensi sering diexpresikan sebagai dosis yang dapat menimbulkan 50% respons maksimal, ED50. Obat yang memiliki ED50 kecil adalah obat yang berpotensi lebih tinggi dari pada obat yang memiliki ED50 besar. Affinitas reseptor terhadap obat, KD merupakan faktor penting dalam menentukan besarnya potensi obat. Namun, effikasi adalah lebih penting dari potensi, karena effikasi lebih terfokus kepada ukuran efektif atau tidak efektifnya obat. Misalnya suatu obat yang berpotensi tinggi mungkin saja tidak berhasil mencapai konsentrasi drug-reseptornya yang memadai, yang dikarenakan oleh suatu kondisi patologis.

Coupling
Bila reseptor diduduki oleh suatu agonist, maka terjadilah perubahan konfirmasi molekul. Perubahan konfirmasi ini merupakan langkah awal dari serangkaian langkah yang menuju respons farmakologik. Proses transduksi antara pendudukan reseptor dan respons obat sering disebut coupling. Effisiensi dari coupling sebagian ditentukan oleh permulaan perubahan konfirmasi pada reseptor, dan sebagian lagi ditentukan oleh peristiwa biokimia yang menimbulkan transduksi kependudukan reseptor menuju respons sel.

Kompetisi terhadap reseptor


Antagonists yang berikatan dengan reseptor tidaklah mengaktipkan reseptor, namun tetap mempertahankan ikatannya agar tidak diambil alih oleh agonists. Kompetisi ikatan terhadap reseptor dibedakan atas:

1. Kompetitif
Antagonists berinteraksi dengan reseptor pada tempat yang seharusnya dipersiapkan untuk agonists, sehingga dikatakan antagonists menyaingi (compete) kedudukan agonists. Antagonists kompetitif menggeser kurva dosis-respons ke kanan, yang menunjukkan obat adalah berpotensi rendah.

2. Non-kompetitif
Antagonists menghalangi agonist berikatan dengan reseptor dan juga menghalangi agonist mengaktifkan reseptor. Antagonists yang non-kompetitif menurunkan respons maksimal yang analogi dengan noncompetitive inhibitor pada reaksi katalisasi enzim.

3. Agonists partial
Agonists yang partial memblokade binding site pada reseptor, tetapi hanya menimbulkan respons yang rendah dibandingkan dengan full agonists. Agonist partial mungkin saja memiliki affinitas yang rendah, tinggi, maupun sama dengan full agonists.

Index Terapeutik
Index terapeutik obat adalah perbandingan antara dosis yang menimbulkan toksis dengan dosis yang menimbulkan respons efektif. Dosis toxis dosis efektif

Index terapeutik =

Index terapeutik, diperoleh dengan menghitung besarnya frequensi respons efektif dan respons toxik yang ditimbulkan obat dalam dosis yang berbedabeda. Misalnya warfarin, anticoagulant yang memiliki index terapuetik sempit dan penicillin yang index terapuetiknya luas.

Warfarin
Bila dosis warfarin dinaikkan, maka makin besar pula frequensi sampel populasi memberikan respons. Dosis dinaikkan terus hingga seluruh sampel meberi respons. Namun pada dosis yang tinggi, respons toxik timbul yaitu ditandai dengan hemorrhage. Bila index terapeutik sempit, maka dimungkinkan memperoleh retangan konsentrasi dimana respons efektif dan respons toxik bertumpang tindih (overlap), yaitu sebagian pasien hemorrhage, sementara lainnya mampu mencapai dua kali lipat waktu protrombin.

Variasi respons pasien sangat tinggi pada obat yang memiliki index terapeutik sempit, karena konsentrasi dosis toxik dan dosis efektif hampir sama. Oleh karena itu penggunaan obat-obat ber index terapeutik sempit haruslah sangat hati-hati, karena obat semacam itu juga sering bioinequivalence yang menimbulkan konsekwensi terapeutik.

Penicillin
Untuk obat yang memilki index terapeutik luas, seperrti penicillin, pemberiannya akan lebih aman karena dosis yang digunakan dapat melebihi takaran biasa (kadang-kadang sampai 10 X lipat, menururut kebutuhan). Dalam hal ini, bioavaillabilitas tidaklah secara kritis mempengaruhi proses penyembuhan.

Cara lain menghitung Index terapeutik


Dosis obat yang dapat menimbulkan kesembuhan atau respons efektif pada 50% hewan percobaan disebut median efective dose (ED50). Dosis yang menimbulkan efek toxis pada 50% hewan perco-baan atau disebut median toxic dose (TD50), dan bila pengaruh dosis obat sampai mematikan 50% hewan percobaan, maka dosis itu disebut median lethal dose (LD50). Index terapeutik = TD50 ED50

Obat Eliminasi
Eliminasi obat dari dalam tubuh dapat berlangsung melalui beberapa rute, namun yang terpenting adalah melalui ginjal ke dalam urin. Rute lainnya termasuk empedu, usus, paru-paru dan air susu. Pasien yang menderita gagal ginjal akan mungkin mengalami dialisis extracorporeal, yang akan mengevakuasi molekul-molekul kecil termasuk obat.

Eliminasi melalui ginjal 1. Filtrasi glomerulus


Molekul obat memasuki ginjal melalui arteri renalis yang bercabang-cabang dan kemudian membentuk plexus kapiler glomerulus. Obat bebas, yaitu yang tidak berikatan dengan albumin, langsung menembus slit kapiler dan masuk ke rongga Baowman, yang merupakan bagian dari rongga filtrasi. Kecepatan filtrasi glomerulus ( GFR= glomerular filtration rate) dalam keadaan normal adalah 125 ml/menit, setara dengan 20% dari aliran plasma renal ( RPF=renal plasma flow) yang besar-nya sekitar 600 ml/menit. Kelarutan lemak dan pH tidak mempengaruhi perjalanan obat ke dalam rongga filtrasi glomerulus.

2. Sekresi tubulus proximalis


Molekul obat yang tidak masuk ke dalam filtrat glomerulus akan meninggalkan glomerulus melalui arteriole efferent yang cabang-cabangnya membentuk plexus kapiler di sekitar lumen nephricus di dalam tubulus proximalis.

Sekresi sebagian besar berlangsung dalam tubulus proximalis. Sekresi ini berupa sistem transport aktif karena membutuhkan energi. Pertama ditujukan untuk anion-anion, seperti bentuk-bentuk deprotonasi asam lemah dan kedua ditujukan untuk kation-kation seperti bentuk-bentuk protonasi basa lemah.
Sistem-sistem transport itu memperlihatkan spesifisitas yang rendah yang dapat mengangkut banyak senyawa, sehingga kompetisi antara molekul obat dengan protein carrier dapat terjadi pada saat transportasi, misalnya probenecid, yang bekerja sebagai inhibitor asam-asam organik pada proses sekresi di tubulus proximalis. Bayi yang baru lahir (neonate) dan balita yang dilahirkan prematur perkembangan mekanisme sekresi tubularnya belum sempurna sehingga obat-obat tertentu dapat tertahan dan menimbulkan penimbunan.

3. Reabsorbsi tubulus distalis


Setelah obat memasuki tubulus convulatio distalis konsentrasinya akan meningkat dan lebih tinggi dari konsentrasi cairan pada rongga perivaskular. Oabat-obat yang tidak bermuatan akan berdiffusi keluar dari lumen nephricus dan kembali ke sistem sirkulasi. Memanipulasi pH urine untuk meningkatkan ionisasi obat di dalam lumen dimungkinkan untuk meminimalisasi jumlah obat yang berdiffusi kembali dan akan meningkatkan proses clearence obat-obat yang tidak dibutuhkan lagi oleh tubuh. Misalnya pasien yang menerima dosis phenobarbital yang berlebihan dapat diberikan bikarbonat yang akan membuat urine menjadi basa sehingga memungkinkan obat berionisasi, dan dengan demikian, maka obat-obat yang tergolong basa lemah akan dapat ditekan reabsorbsinya. Asidifikasi urine dengan memberikan NH4Cl dapat menimbulkan protonisasi obat yang akan meningkatkan clearancenya. Proses ini disebut perangkap ion atau ion trapping

4. Peranan metabolisme
Sebagian besar obat yang larut dalam lemak akan berdiffusi ke luar dari lumen-lumen tubulus ginjal a-pabila konsentrasi obat di dalam filtrat lebih tinggi dari konsentrasi dalam cairan perivaskular.

Dalam upaya meminimalkan reabsorbsi obat, maka obat harus menjalani modefikasi oleh tubuh, agar molekul obat menjadi lebih polar, yaitu dengan menggunakan dua macam reaksi:
Reaksi Phase-I yang berperan dalam penambahan gugus-gugus hidroxil atau membuang gugus yang menutupi (memblokade) gugus-gugus hidroxil. Reaksi Phase-II yang bertugas mengkonjugasikan molekul obat dengan sulfat, glycine atau asam glukoronat untuk meningkatkan polaritas obat. Konjugat akan berionisasi, dan molekul-molekul yang bermuatan tidak akan berdiffusi kembali keluar dari lumen-lumen tubulus ginjal.

Aspek Quantitatif Eliminasi


Plasma Clearance adalah volume plasma ke dalam mana seluruh obat yang terlarut akan di eliminasi dalam waktu tertentu seperti ml/menit.
Clearance (CL) adalah sama dengan jumlah plasma yang mengalir melalui ginjal dikalikan dengan rasio extraksi, dan karena secara normal tidak pernah menunjukkan perbe-daan, maka clearance selalu konstan setiap saat.

Rasio Extraksi
Rasio ini adalah penurunan konsentrasi obat dalam plasma dari daerah arterial ke daerah venous di dalam ginjal. Obat memasuki ginjal pada konsentrasi C1 dan keluar minggalkan ginjal dengan konsentrasi C2, maka:

Rasio Extraksi =

C2 C1

Kecepatan Exresi
Kecepatan exresi mg/menit = (clearance) (konsentrasi plasma) ml/menit mg/ml

Eliminasi obat mengikuti kinetik firdt order, yaitu konsentrasi obat dalam plasma turun secara exponensial dengan jalannya waktu. Hal ini digunakan untuk menghitung paruh umur (half life) obat (waktu untuk menurunkan koncentrasi obat dari C menjadi C.
0.5 t = ln = 0,693 Vd

ke

CL

TOTAL

Clearance

Total body (sistemik) clearance (CLtotal) merupakan penjumlahan clearance dari berbagai organ yang melakukan metabolisme dan eliminasi obat. Ginjal merukan organ exresi utama, namun hati juga berkontribusi mengeliminasi obat melalui metabolisme, atau melakukan exresi melalui empedu. Eliminasi melalui hati, empedu, usus dan feses juga dapat membantu pasien yang mengalami gangguan fungsi ginjal. Sebagian obat juga diresorbsi melalui sirkulasi enterohepaticum sehingga memperpanjang half lifenya. Total clearance dapat dihitung dengan menggunakan rumus: CLtotal = CLhepatik + CLrenal + CLpulmonum + CLlain Rumus di ataas kelihatan sederhana, namum kecil sekali kemungkinannya untuk dapat menghitung seluruh clearance dari organ-organ lainnya. Clearance total dapat dihitung dengan menggunakan rumus steady-state:

CLtotal = ke Vd

Vd dan half life


Paruh umur (hal life) obat berbanding terbalik dengan clearancenya dan secara proporsional berhubungan langsung dengan volume distribusinya. t = 0.693 Vd CLtotal

Jika volume distribusi meningkat, maka half life obat bertambah panjang. Semakin besar volume distribusi, maka semakin banyak obat berada di luar kompartemen plasma sehingga tidak tersedia untuk exresi melalui ginjal atau untuk imetabolisme di hati.

Paruh Umur menjadi panjang


Half life obat dapat bertambah panjang pada: 1. Aliran plasma ginjal menurun, misalnya terdapat pada shock cardiogenik, gangguan fungsi jantung atau hemorrhage. 2. Pemberian obat kedua yang dapat menggantikan ikatan obat pertama terhadap albumin plasma yang mengakibatkan kenaikan volume distribusi obat. 3. Menurunnya rasio extraksi yang sering terjadi pada penderita sakit ginjal. 4. Menurunnya metabolisme, misalnya pada pemberian obat yang dapat menghambat proses biotransformasi di hati, gangguan faal hati atau cirrhosis hati.

Anda mungkin juga menyukai