Anda di halaman 1dari 9

Me-refresh Pemahaman Bijak Pemeluk Agama dan Dunia Pendidikan tentang HIV/AIDS (Tinjauan Islam dan Pendidikan menuju

Anti Stigma dan Diskriminasi) Oleh: Husamah, S.Pd dan Dyah Worowirastri Ekowati, S.Pd. (Prodi Biologi dan Prodi Matematika FKIP-UMM) ABSTRAK HIV/AIDS telah menjadi ancaman biologis terbesar di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Cepatnya penyebaran HIV/AIDS di Indonesia didorong oleh berbagai sebab seperti minimnya pendidikan seks, ketimpangan jender, kasus narkotika dan obat-obat terlarang serta maraknya industri seks komersial. Ironisnya, berbagai upaya pencegahan atau perang terhadap HIV/AIDS menjadi tidak efektif akibat masih banyaknya stigma dan diskriminasi masyarakat, termasuk dari tokoh agama dan pelaku pendidikan. Dalam taraf tertentu dan berbagai kesempatan, sikap pemuka agama yang diikuti pula oleh pengikutnya menambah penderitaan ODHA. Ketidaktahuan pemeluk agama

menimbulkan kegelapan hati dan jauh dari tindakan bijak, tampak dalam aksi pengucilan terhadap para ODHA dan menganggap sebagai penyakit kutukan. Kondisi

memprihatinkan tersebut perlu segera diakhiri, dengan me-refresh kembali pemahaman agama dan melalui pendidikan. Peran Islam sebagai agama yang diturunkan dan diperuntukkan bagi seluruh umat manusia dan semesta alam (rahmatan lil `alamin) perlu dikembalikan. Islam memiliki seperangkat tata nilai yang menjadi pedoman hidup bagi umatnya untuk memperoleh keselamatan dan kebahagiaan dunia-akhirat. Dunia pendidikan pun perlu memiliki peran nyata. Pendidikan merupakan wahana sentral dalam menerjemahkan gagasan dan nilai bijak menjadi kenyataan perilaku yang menguat dalam masyarakat, terutama pada generasi muda. Pemahaman bijak dalam bentuk anti stigma dan anti diskriminasi harus disosialisasikan dan dikelola secara konsisten dalam pendidikan nasional, dari level pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Kata kunci: stigma, agama, pendidikan, HIV/AIDS

Latar Belakang Secara global, HIV/AIDS telah menjadi ancaman biologis terbesar di dunia tak terkecuali di Indonesia. Satu per satu manusia mati, jumlahnya tidak berkurang namun terus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut UNAIDS pada akhir 2005 terdapat 40,3

juta orang dengan HIV/AIDS di seluruh dunia. Sebanyak 17,5 juta (43%) diantaranya perempuan dan 2,3 juta (13%) anak-anak berusia kurang dari 15 tahun. Sejak tahun 2000 Indonesia termasuk negara dengan tingkat epidemi terkonsentrasi, yakni terdapat wilayah yang merupakan kantong-kantong dengan prevalansi HIV lebih dari 5%. Wilayah tersebut yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Papua, Riau, dan Bali (Dinayayati, 2006). UNAIDS/NAC dalam A Review of Vulnerable Populations to HIV and AIDS in Indonesia (2006) menyatakan bahwa jumlah penduduk Indonesia yang hidup dengan virus HIV diperkirakan antara 172.000 dan 219.000, sebagian besar (73%) adalah laki-laki. Jumlah itu merupakan 0,1% dari jumlah penduduk. Menurut Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPA), sejak 1987 yaitu saat HIV/AIDS ditemukan pertama kali di Indonesia, sampai Juni 2008, tercatat 12.686 kasus AIDS dan 2.479 di antaranya telah meninggal. Cepatnya penyebaran HIV/AIDS di Indonesia karena kurangnya pendidikan seks, ketimpangan jender, dan maraknya kasus narkotika serta obat-obat terlarang (KR, 3/05/2004). Sementara Sabrawi menengarai beberapa kondisi yang mempermudah penyebaran HIV/AIDS di Indonesia antara lain meluasnya industri seks komersial, prevelensi penyakit kelamin tinggi, proses urbanisasi berlangsung cepat dan migran penduduk yang tinggi. Selain itu dipermudah pula oleh hubungan seksual premarital dan ekstramarital, sarana kesehatan tidak selalu melakukan prosedur steril dengan jarum dan peralatan lain serta tes darah transfusi yang belum memenuhi persyaratan di beberapa daerah (Sabrawi, 1999). Selain itu yang perlu menjadi perhatian bersama bahwa berbagai upaya pencegahan atau perang terhadap HIV/AIDS menjadi tidak efektif karena adanya stigma dan diskriminasi masyarakat yang merupakan hambatan terbesar. Pembahasan 1. Islam dan HIV/AIDS Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia bahkan jumlahnya terbesar di dunia. Hal ini berarti bahwa posisi Islam sangat potensial bahkan harus terlibat dalam berbagai upaya menyangkut HIV/AIDS. Farid Essack dalam HIV/AIDS and Islam: Reflections based on Compassion, Responsibility, and Justice (2004) menyoroti sikap dan pandangan kaum Muslim pada ODHA. Menurut Essack, ada lima pandangan umum kaum Muslim. Pertama, menyangkal terjadinya kasus HIV/AIDS pada kaum muslim. Mereka ini berpegang pada Islam ideal. Mustahil seorang muslim

mempraktekkan hubungan seksual di luar nikah atau menyuntikkan obat-obat terlarang ke tubuhnya, dua jalur utama penularan HIV/AIDS. Kedua, mendiamkan. Sebagaimana umumnya masyarakat tradisional, kaum Muslim sungkan dan tabu membicarakan secara terbuka sesuatu yang terkait dengan seksualitas, termasuk HIV/AIDS. Ketiga, bingung. Sebagian kaum Muslim bertanya, benarkah penyakit HIV/AIDS merupakan sebentuk hukuman dari Allah? Itukah harga yang harus dibayar akibat dosadosa yang diperbuat? Lantas, mengapa di negara-negara maju yang kemaksiatannya merajalela justru terjadi penurunan jumlah ODHA? Keempat, menyingkirkan. Pergi jauh-jauh dari kami! Pandangan ini erat kaitannya dengan stigma bahwa ODHA adalah pelaku promiskuitas seksual. Kelima, memberi simpati. Kaum muslim yang memilih sikap ini berpandangan bahwa infeksi HIV bukanlah akhir segalanya. Orang yang terinfeksi tetap bisa menjalani hidup. ODHA pun masih berkesempatan menjadi seorang muslim yang baik, sama seperti muslim lainnya. Sayangnya, kaum Muslim yang berada pada posisi kelima ini jumlahnya sangat sedikit bahkan langka. Pertanyaan yang perlu kita lontarkan adalah bagaimanakah sikap masyarakat muslim di Indonesia? Rupanya kutukan sebagai penyakit kaum pendosa itu secara kompak diamini oleh pemuka agama Islam. Seakan menutup mata, banyak di antara pemuka agama Islam-tentunya diikuti oleh para pemeluknya-yang tetap bersikukuh menolak cara-cara pencegahan, yang disebut bertentangan dengan ajaran agama Islam. Ironisnya, pada banyak kesempatan dan dalam taraf tertentu sikap pemuka agama yang diikuti pengikutnya menambah penderitaan ODHA dan keluarganya. Ketidaktahuan pemeluk agama menimbulkan kegelapan hati dan jauh dari tindakan bijak, yang terutama tampak dalam aksi pengucilan terhadap para ODHA. Masyarakat yang terlibat aksi pengucilan terhadap ODHA kemungkinan karena kekhawatiran akan tertular penyakit ini menyentuh atau bertatapan saja dapat menyebabkan terinfeksi virus ini. Selain itu sebagai kelanjutan dari anggapan bahwa ODHA adalah orang yang sedang menanggung akibat dari tindakan yang melanggar susila maka orang yang menemani ODHA pun dianggap sebagai bagian dari orang yang amoral atau orang yang setuju dengan tindakan-tindakan amoral. Ternyata prasangka melahirkan prasangka juga. Tanpa disadari akhirnya muncul anggapan pemikiran bahwa masalah HIV/AIDS adalah masalah moral. Masalah menjadi berlarut-larut karena tokoh

masyarakat (dan khususnya tokoh-tokoh agama) membiarkan diri dalam ketidakpahaman terhadap HIV/AIDS. Akibat aksi penghukuman masyarakat ini, jarang orang yang beresiko tertular virus ini dengan sukarela memeriksakan darah atas kesadaran sendiri, akibatnya para ODHA tidak dapat berperan aktif dalam menghambat penularannya kepada orang lain. Ketika masyarakat mulai menyaksikan dalam berbagai laporan media tentang anak-anak dan para istri yang setia-budiman menjadi ODHA, hal ini tidak dengan sendirinya menimbulkan dorongan pada masyarakat untuk mengoreksi sikap-sikap mereka. 2. Pendidikan dan HIV/AIDS Di kalangan remaja Indonesia, permasalahan HIV/AIDS sudah sangat mengkhawatirkan. Hal ini dapat dilihat dari data-data nasional kasus HIV/AIDS dalam kurun waktu 3 tahun terakhir. Tahun 2006, dari 13.424 kasus HIV/AIDS, sebanyak 54,76% kasus dari kalangan generasi muda. Sedangkan tahun 2007, dari 17.207 kasus HIV/AIDS (6.066 HIV- 11.141 Aids), sebanyak 6.301 kasus merupakan kaum muda usia produktif 15-29 tahun. Dan, pada tahun 2008, dari 22.664 kasus HIV/AIDS, 16.110 kasus AIDS yang mana sejumlah 8.682 kasus AIDS tersebut dari kelompok usia 15-29 tahun. Data yang dihimpun Dirjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas menyebutkan, dari sekitar 10.000 pengidap HIV/AIDS di Indonesia sekitar 5.000 diantaranya merupakan pelajar SMP/SMA yang tergolong usia remaja (Rakyat Merdeka, 4 Juli 2007). Keberadaan remaja ini dalam kaitannya dengan pencegahan HIV/AIDS tentunya sangat erat kaitannya dengan sektor pendidikan formal karena dari segi usia, remaja masih tergolong dalam usia sekolah. Integrasi penanggulangan HIV/AIDS ke dalam dunia pendidikan perlu menjadi perhatian serius bagi semua pihak terutama institusi pendidikan itu sendiri. Guna memaksimalkan penanggulangan HIV/AIDS di kalangan remaja, harus ada perluasan akses keterlibatan dan ruang peran yang lebih terbuka menjadi bagian dari proses penting yang mutlak dilakukan. Salah satu pencegahan penyebaran HIV/AIDS dapat dilakukan melalui sektor pendidikan dengan melibatkan peranan guru, masyarakat maupun ulama. 3. Kenapa Pendidikan? Pendidikan merupakan hal terpenting untuk membentuk kepribadian. Hal ini dapat terlihat karena dalam pendidikan merupakan upaya yang terencana dalam proses pembimbingan dan pembelajaran bagi individu agar berkembang dan tumbuh menjadi

manusia yang mandiri, bertanggungjawab, kreatif, berilmu, sehat, dan berakhlak mulia baik dilihat dari aspek jasmani maupun ruhani. Manusia yang berakhlak mulia, yang memiliki moralitas tinggi sangat dituntut untuk dibentuk atau dibangun. Bangsa Indonesia tidak hanya sekedar memancarkan kemilau pentingnya pendidikan, melainkan bagaimana bangsa Indonesia mampu merealisasikan konsep pendidikan dengan cara pembinaan, pelatihan dan pemberdayaan SDM Indonesia secara berkelanjutan dan merata. Ini sejalan dengan Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang menyebutkan bahwa, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berdasarkan definisi ini, dapat dipahami bahwa pendidikan nasional berfungsi sebagai proses untuk membentuk kecakapan hidup dan karakter bagi warga negaranya dalam rangka mewujudkan peradaban bangsa Indonesia yang bermartabat. Dengan melihat kondisi yang telah dipaparkan di atas mengenai pengidap HIV/AIDS di Indonesia sekitar 5.000 diantaranya merupakan pelajar SMP/SMA yang tergolong usia remaja (Rakyat Merdeka, 4 Juli 2007) maka perlu dilakukan suatu terobosan penting di sektor pendidikan. Salah satunya dengan mengusung pendidikan karakter. 4. Karakter dan Pendidikan Karakter Istilah karakter baru dipakai secara khusus dalam konteks pendidikan pada akhir abad ke-18. Pencetusnya FW Foerster. Terminologi ini mengacu pada sebuah pendekatan idealis-spiritualis dalam pendidikan yang juga dikenal dengan teori pendidikan normatif. Lahirnya pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme yang dipelopori oleh filsuf Prancis Auguste Comte. Karakter merupakan titian ilmu pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan tanpa landasan kepribadian yang benar akan menyesatkan dan keterampilan tanpa kesadaran diri akan menghancurkan. Karakter itu akan membentuk motivasi, dan pada saat yang sama dibentuk dengan metode dan proses yang bermartabat. Karakter bukan sekadar penampilan lahiriah, melainkan secara implisit mengungkapkan hal-hal tersembunyi. Oleh karenanya, orang mendefinisikan karakter

sebagai "siapa anda dalam kegelapan". Karakter yang baik mencakup pengertian, kepedulian, dan tindakan berdasarkan nilai-nilai etika, meliputi aspek kognitif, emosional, dan perilaku dari kehidupan moral (Sirajuddin, 2010). Koesoema (2007) mengatakan bahwa karakter merupakan struktur antropologis manusia. Menurut Ezra (XXXX) karakter adalah kekuatan untuk bertahan dimasa sulit". Tentu saja yang dimaksud adalah karakter yang baik, solid, dan sudah teruji. Karakter yang baik diketahui melalui "respon" yang benar ketika kita mengalami tekanan, tantangan dan kesulitan. Karakter yang berkualitas adalah sebuah respon yang sudah teruji berkali-kali dan telah berbuahkan kemenangan. Seseorang yang berkali-kali melewati kesulitan dengan kemenangan akan memiliki kualitas yang baik. Tidak ada kualitas yang tidak diuji. Jadi jika ingin berkualitas, tidak ada cara yang lebih ampuh kecuali 'ujian'. Ujian bisa berupa tantangan, tekanan, kesulitan, penderitaan, hal-hal yang tidak kita sukai. Dan jika kita berhasil melewatinya, bukan hanya sekali tapi berkali-kali maka kita akan memiliki kualitas tersebut. Karakter terbentuk dengan dipengaruhi oleh paling sedikit 5 faktor, yaitu: temperamen dasar kita (dominan, intim, stabil, cermat), keyakinan (apa yang kita percayai, paradigma), pendidikan (apa yang kita ketahui, wawasan kita), motivasi hidup (apa yang kita rasakan, semangat hidup) dan Perjalanan (apa yang telah kita alami, masa lalu kita, pola asuh dan lingkungan). Karakter yang dapat membawa keberhasilan yaitu empati (mengasihi sesama seperti diri sendiri), tahan uji (tetap tabah dan ambil hikmah kehidupan, bersyukur dalam keadaan apapun, dan beriman (percaya bahwa Tuhan terlibat dalam kehidupan kita). Ketiga karakter tersebut akan mengarahkan seseorang ke jalan keberhasilan. Empati akan menghasilkan hubungan yang baik, tahan uji akan melahirkan ketekunan dan kualitas, beriman akan membuat segala sesuatu menjadi mungkin. Pendidikan karakter akan memberikan bantuan sosial agar individu dapat tumbuh dalam menghayati kebebasannya dalam hidup bersama dengan orang lain di dunia. Pendidikan karakter di Indonesia telah lama berakar dalam tradisi pendidikan. Ki Hadjar Dewantara, Soekarno, Hatta dan tokoh lainnya telah mencoba menerapkan semangat pendidikan karakter sebagai pembentuk kepribadian dan identitas bangsa sesuai dengan konteks dan situasinya (Koesoema, 2007).

Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Lickona (XXXX) tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif, dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Dengan pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis. Zins et al., (2001)

mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme yang dipelopori oleh filsuf Prancis Auguste Comte. Pendidikan karakter akan memberikan bantuan sosial agar individu dapat tumbuh dalam menghayati kebebasannya dalam hidup bersama dengan orang lain di dunia (Koesoema, 2007). 5. Langkah ke Depan: Me-refresh Pemahaman Lingkup persoalan HIV/ AIDS bukanlah semata-mata persoalan medis sehingga lembaga-lembaga keagamaan tidak mempunyai kompetensi untuk melakukan tindakan apapun terhadap masalah ini. Pada masalah ini terdapat dimensi sosial yang penting diperhatikan sebagai upaya menghambat laju penyebaran dan pendampingan ODHA. Mutlak dibutuhkan keterlibatan semua pihak termasuk Islam untuk bersama-sama menghadapi masalah terkait dengan kualitas hidup manusia dan komunitasnya. UNICEF pada 2004 telah menerbitkan buku berjudul Apa yang Dapat Diperbuat Para Pemuka Agama Terhadap Masalah HIV/AIDS? UNICEF menyatakan HIV/AIDS merupakan krisis spiritual, sosial, ekonomi dan politik yang sangat besar dan semakin menjadi permasalahan bagi kaum muda. Penanganan HIV/AIDS dan stigma yang mendorong penyebarannya merupakan salah satu tantangan terbesar dihadapi dewasa ini. Hal ini membutuhkan keberanian, komitmen dan kepemimpinan di semua tingkatan, khususnya di kalangan para pemuka agama yang dapat menggunakan kepercayaan dan wibawanya dalam komunitas mereka untuk merubah arah pandemik. Dalam merespon tantangan ini, para pemuka agama Islam harus menyegarkan kembali (refresh) cara pandang dan pemahaman mereka dalam menghadapi krisis HIV/AIDS, agar mampu menjadi suatu kekuatan perubahan dalam upaya

menyembuhkan, memberi harapan, dan mendampingi ODHA. Bukankah Islam sebagai agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW diperuntukkan bagi seluruh umat manusia dan semesta alam (rahmatan lil `alamin)? Bukankah Islam memiliki seperangkat tata nilai yang menjadi pedoman hidup bagi umatnya untuk memperoleh keselamatan dan kebahagiaan dunia-akhirat? Menurut Anshor (2004) salah satu tata nilai yang dimiliki Islam adalah mengenai etika dan moral (akhlak) yang mengajarkan bagaimana bersikap dan berperilaku terhadap sesama makhluk Tuhan, termasuk di dalamnya memperlakukan orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA). Mereka tidak boleh didiskriminasi dalam hal apapun karena samasama memiliki derajat sebagai manusia yang dimuliakan Tuhan. Dalam Al-Qur'an surat Al Isra ayat 70 disebutkan "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan". Pandangan pemuka agama Islam yang meyakini bahwa fenomena HIV/AIDS adalah penyakit kutukan Tuhan atau identik dengan kaum Luth yang menyukai homoseksual (QS. Al-A'raf: 80-84 dan QS An Naml: 56) harus diluruskan dengan informasi yang benar mengenai HIV/AIDS supaya tidak dianggap sebagai norma masyarakat. Jika tidak, maka akan berbahaya karena terjebak pada lingkaran normatif yang tidak menguntungkan ODHA. Pandangan kontroversial mengenai kondom yang dikhawatirkan disalahgunakan oleh pasangan di luar nikah, dianggap melegalisisir perzinahan dan sebagainya harus diakhiri. Pandangan tersebut justru tidak menyelesaikan persoalan karena membiarkan orang yang terinfeksi HIV berhubungan seks tanpa kondom berarti membiarkan penularan HIV. Jika hubungan seksual dilakukan dengan berganti-ganti pasangan, semakin banyak pasangan semakin banyak yang tertular dan lebih berbahaya (madlarat) dibandingkan menggunakan kondom. Pandangan tersebut hendaknya diubah dengan pendekatan solutif menggunakan kaidah fiqhiyyah yaitu "memilih bahaya yang lebih ringan di antara dua bahaya untuk mencegah yang lebih membahayakan". Dalam hal ini mensosialisasikan pemakaian kondom sebagai salah satu cara pencegahan HIV/AIDS jauh lebih ringan bahayanya dibandingkan dengan melarang kondom disosialisasikan. Meskipun tidak menutup kemungkinan bisa saja disalahgunakan, tetapi tidak bisa digeneralisir dengan suatu

kemungkinan yang belum terjadi. Sedangkan hubungan seks tanpa kondom dengan orang yang sudah terinfeksi pasti terjadi penularan. Selain itu, dalam penanggulangan HIV/ AIDS perlu pendekatan yang holistik, yaitu selain strategi umum harus ada strategi khusus dengan pendekatan yang berbasis pada kondisi-kondisi spesifik yang melekat pada penderita HIV/ AIDS dan problemproblem sosial yang mereka hadapi seperti kemiskinan, kesehatan lingkungan dan sebagainya. Bahkan faktor kemiskinan harus dilihat sebagai bagian di dalam penanggulangan HIV/ AIDS karena termasuk yang rentan tertular HIV/AIDS. Penutup Saat ini Indonesia mungkin masih beruntung karena HIV/AIDS belum mencapai kondisi seperti yang terjadi di Afrika dan beberapa negara Asia Tenggara. Namun, epidemi HIV/AIDS di Indonesia diperkirakan masih akan berlangsung terus dan memberikan dampak yang tidak mudah diatasi. Menurut estimasi nasional, orang yang tertular HIV akan menjadi jutaan orang dalam 10 tahun ke depan kalau kita tidak melakukan upaya penanggulangan yang serius serta didukung oleh semua pihak. Kondisi ini berbahaya terutama karena penyakit ini dapat membawa dampak yang menghancurkan, bukan hanya terhadap kesehatan masyarakat namun juga terhadap negara secara keseluruhan. Jika keadaan di atas masih belum juga dianggap sebagai suatu persoalan bersama semua pihak termasuk pemeluk agama Islam maka dapat diperkirakan apa yang akan terjadi di masa-masa mendatang. Oleh karena itu patutlah disadari dan aktualkan kembali pentingnya peran agama untuk mengatasi masalah HIV/AIDS. Tentunya semua kembali kepada itikad baik dan komitmen para pemuka agama tersebut untuk melaksanakannya. Semoga saja.

Anda mungkin juga menyukai