Anda di halaman 1dari 10

.

Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa Negara wajib melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Seluruh kepentingan publik harus dilaksanakan oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara yaitu dalam berbagai sektor pelayanan, terutama yang menyangkut pemenuhan hak-hak sipil dan kebutuhan dasar masyarakat.Dengan kata lain seluruh kepentingan yang menyangkut hajat hidup orang banyak itu harus atau perlu adanya suatu pelayanan. Pemerintah mengandung arti suatu kelembagaan atau organisasi yang menjalankan kekuasaan pemerintahan, sedangkan pemerintahan adalah proses berlangsungnya kegiatan atau perbuatan pemerintah dalam mengatur kekuasaan suatu negara. Penguasa dalam hal ini pemerintah yang menyelenggarakan pemerintahan, melaksanakan penyelenggaraan kepentingan umum, yang dijalankan oleh penguasa administrasi negara yang harus mempunyai wewenang. Seiring dengan perkembangan, fungsi pemerintahan ikut berkembang, dahulu fungsi pemerintah hanya membuat dan mempertahankan hukum, akan tetapi pemerintah tidak hanya melaksanakan undang-undang tetapi berfungsi juga untuk merealisasikan kehendak negara dan menyelenggarakan kepentingan umum (public sevice). Perubahan paradigma pemerintahan dari penguasa menjadi pelayanan, pada dasarnya pemerintah berkeinginan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat. Penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah itu masih dihadapkan pada sistem pemerintahan yang belum efektif dan efisien serta kualitas sumber daya manusia aparatur yang belum memadai. Hal ini terlihat dari masih banyaknya keluhan dan pengaduan dari masyarakat baik secara Iangsung maupun melalui media massa. Pelayanan publik perlu dilihat sebagai usaha pemenuhan kebutuhan dan hak-hak dasar masyarakat. Dalam hal ini penyelenggaraan pelayanan publik tidak hanya yang di selenggarakan oleh pemerintah semata tetapi juga oleh penyelenggara swasta. Pada saat ini persoalan yang dihadapi begitu mendesak, masyarakat mulai tidak sabar atau mulai cemas dengan mutu pelayanan aparatur pemerintahan yang pada umumnya semakin merosot atau memburuk. Pelayanan publik oleh pemerintah lebih buruk dibandingkan dengan pelayanan yang diberikan oleh sektor swasta, masyarakat mulai mempertanyakan apakah pemerintah mampu menyelenggarakan pemerintahan dan atau memberikan pelayanan yang bermutu kepada masyarakat. Sudah sepatutnya pemerintah mereformasi paradigma pelayanan publik tersebut. Reformasi paradigma pelayanan publik ini adalah penggeseran pola penyelenggaraan pelayanan publik dari yang semula berorientasi pemerintah sebagai penyedia menjadi pelayanan yang berorientasi kepada kebutuhan masyarakat sebagai pengguna. Dengan begitu, tak ada pintu masuk alternatif untuk memulai perbaikan pelayanan publik selain sesegera mungkin

mendengarkan suara publik itu sendiri. Inilah yang akan menjadi jalan bagi peningkatan partisipasi masyarakat di bidang pelayanan publik. Penyelenggaraan pelayanan publik yang buruk di Indonesia selama ini telah menjadi rahasia umum bagi setiap masyarakat sebagai penerima layanan, ungkapan ini tidaklah berlebihan ketika melihat fakta bahwa hak sipil warga sering dilanggar dalam proses pengurusan identitas penduduk seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP). Pembuatan KTP yang seharusnya mudah, dipersulit dengan banyaknya meja dan rangkaian prosedur yang harus dilalui. Keluhankeluhan seperti inilah yang sering muncul dari masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik terutama dari rendahnya kualitas penyelenggaraan pelayanan publik. Pelayanan publik masih diwarnai oleh pelayanan yang sulit untuk diakses, prosedur yang berbelit-belit ketika harus mengurus suatu perijinan tertentu, biaya yang tidak jelas serta terjadinya praktek pungutan liar (pungli), merupakan indikator rendahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia. Di mana hal ini juga sebagai akibat dari berbagai permasalahan pelayanan publik yang belum dirasakan oleh rakyat. Di samping itu, ada kecenderungan adanya ketidakadilan dalam pelayanan publik di mana masyarakat yang tergolong miskin akan sulit mendapatkan pelayanan. Sebaliknya, bagi mereka yang memiliki uang, dengan sangat mudah mendapatkan segala yang diinginkan. Untuk itu, apabila ketidakmerataan dan ketidakadilan ini terus-menerus terjadi, maka pelayanan yang berpihak ini akan memunculkan potensi yang bersifat berbahaya dalam kehidupan berbangsa. Potensi ini antara lain terjadinya disintegrasi bangsa, perbedaan yang lebar antar yang kaya dan miskin dalam konteks pelayanan, peningkatan ekonomi yang lamban, dan pada tahapan tertentu dapat meledak dan merugikan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Birokrasi pada pemerintahan sebagai penyelenggara pelayanan publik sering atau selalu dikeluhkan karena ketidak efisien dan efektif, birokrasi sering kali dianggap tidak mampu melakukan hal-hal yang sesuai dan tepat, serta sering birokrasi dalam pelayanan publik itu sangat merugikan masyarakat sebagai konsumennya. Hal ini sangat memerlukan perhatian yang besar, seharusnya birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik itu memudahkan masyarakat menerima setiap pelayanan yang diperlukannya, seharusnya pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan terhadap masyarakat itu mempermudahkannya, bukan mempersulit. Penyelenggaraan pemerintahan ditujukan kepada terciptanya fungsi pelayanan publik, pemerintahan yang baik cenderung menciptakan terselenggaranya fungsi pelayanan publik dengan baik pula, sebaliknya pemerintahan yang buruk mengakibatkan fungsi pelayanan publik tidak dapat terselenggara dengan baik. Dalam hal ini juga pemerintah diperbolehkan untuk melakukan intervensi dalam kehidupan masyarakat dengan konsep negara kesejahteraan (welvaartstaat) melalui instrumen hukum yang mendukungnya,

hal ini boleh dilakukan agar dapat terlaksananya pelayanan publik dengan baik serta terciptanya kesejahteraan bagi masyarakat. Sebagai konsumen dalam pelayanan publik welvaartstaat ini sangat berkaitan dengan kebijakan pemerintah sebagai penyelenggara dalam pelayanan publik. Sebelum lahirnya walvarestaat ada yang disebut atau dikenal dengannachtwachkerstaat (negara penjaga malam), dalam tipe negara ini, negara tidak dibenarkan untuk campur tangan dalam penyelenggaraan kepentingan rakyat. Dikatakan sebagai nachtwachkerstaat karena negara bertindak hanya sebagai penjaga malam saja, artinya negara hanya menjaga keamanan semata-mata, negara baru bertindak apabila keamanan dan ketertiban terganggu. Dalam hal ini negara tidak mencampuri segi-segi kehidupan masyarakat, baik dalam segi ekonomi, sosial, kebudayaan dan sebagainya, sebab dengan turut campurnya negara kedalam segi-segi kehidupan masyarakat dapat mengakibatkan kurangnya kemerdekaan individu. Akan tetapi dikarenakan oleh tuntutan masyarakat menghendaki faham ini tidak dipertahankan lagi, sehingga negara terpaksa turut campur tangan dalam urusan kepentingan rakyat. Dalam penyelenggaraan pemerintahan telah terjadi pergeseran paradigma darirule government menjadi good governance, dalam paradigma dari rule governmentpenyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik senantiasa menyandarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) tidak hanya terbatas pada penggunaan peraturan perundang-undangan yang berlaku, melainkan dikembangkan dengan menerapkan prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang tidak hanya melibatkan pemerintah atau negara semata tetapi harus melibatkan intern birokrasi maupun ekstern birokrasi. Citra buruk yang melekat dalam tubuh birokrasi dikarenakan sistem ini telah dianggap sebagai tujuan bukan lagi sekadar alat untuk mempermudah jalannya penyelenggaraan pemerintahan. Kenyataannya, birokrasi telah lama menjadi bagian penting dalam proses penyelenggaraan pemerintahan negara. Sistem kepemerintahan yang baik adalah partisipasi, yang menyatakan semua institusi governance memiliki suara dalam pembuatan keputusan, hal ini merupakan landasan legitimasi dalam sistem demokrasi, good governance memiliki kerangka pemikiran yang sejalan dengan demokrasi dimana pemerintahan dijalankan sepenuhnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Pemerintah yang demokratis tentu akan mengutamakan kepentingan rakyat, sehingga dalam pemerintahan yang demokratis tersebut penyediaan kebutuhan dan pelayanan publik merupakan hal yang paling diutamakan dan merupakan ciri utama dari good governance. Salah satu fungsi penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah adalah pelayanan publik. Peraturan perundangan Indonesia

telah memberikan landasan untuk penyelenggaraan pelayanan publik yang berdasarkan atas Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB). AsasAsas Umum Pemerintahan Yang Baik ini menjadi landasan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Asas ini merupakan jembatan antara norma hukum dan norma etika yang merupakan norma tidak tertulis, Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) merupakan suatu bagian yang pokok bagi pelaksanaan atau realisasi Hukum Tata Pemerintahan atau Administrasi Negara dan merupakan suatu bagian yang penting sekali bagi perwujudan pemerintahan negara dalam arti luas. Asas ini digunakan oleh para aparatur penyelenggaraan kekuasaan negara dalam menentukan perumusan kebijakan publik pada umumnya serta pengambilan keputusan pada khususnya, jadi Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik(AAUPB) ini diterapkan secara tidak langsung sebagai salah satu dasar penilaian. Asas ini merupakan kaidah hukum tidak tertulis sebagai pencerminan norma-norma etis berpemerintahan yang wajib diperhatikan dan dipatuhi, disamping mendasarkan pada kaidah-kaidah hukum tertulis. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa beberapa asas diantaranya dapat disisipkan dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjadi tolok ukur bagi hakim dalam hal mengadili perkara gugatan terhadap pemerintah mengenai perbuatan melawan hukum oleh penguasa. Asas ini juga dapat dipahami sebagai asas-asas umum yang dijadikan sebagai dasar dan tata cara dalam penyelenggaraan pemerintahan yang layak, yang dengan cara demikian penyelenggaran pemerintahan itu menjadi lebih baik, sopan, adil, terhormat, bebas dari kezaliman, pelanggaran peraturan, tindakan penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenang-wenang. Pelayanan publik merupakan program nasional untuk memperbaiki fungsi pelayanan publik, pelayanan publik diartikan sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah untuk memenuhi hak-hak warga masyarakat. Pelayanan publik dibatasi pada pengertian pelayanan publik merupakan segala bentuk pelayanan sektor publik yang dilaksanakan aparat pemerintah dalam bentuk barang dan atau jasa, yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelayanan publik merupakan sarana pemenuhan kebutuhan mendasar masyarakat untuk kesejahteraan sosial. Sehingga perlu memperhatikan nilai-nilai, sistem kepercayaan, religi, kearifan lokal serta keterlibatan masyarakat. Perhatian terhadap beberapa aspek ini memberikan jaminan bahwa pelayanan publik yang dilaksanakan merupakan ekspresi kebutuhan sosial masyarakat. Dalam konteks itu, ada jaminan bahwa pelayanan publik yang diberikan akan membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, masyarakat akan merasa memiliki pelayanan publik tersebut sehingga pelaksanaannya diterima dan didukung penuh oleh masyarakat.

Citra layanan publik di Indonesia, dari dahulu hingga kini, lebih dominan sisi gelapnya ketimbang sisi terangnya, selain mekanisme birokrasi yang bertele-tele ditambah dengan petugas birokrasi yang tidak profesional. Sudah tidak asing kalau layanan publik di Indonesia dicitrakan sebagai salah satu sumber korupsi dan sangat beralasan kalau World Bank, dalam World Development Report 2004, memberikan stigma bahwa layanan publik di Indonesia sulit diakses oleh orang miskin, dan menjadi pemicu ekonomi biaya tinggi (high cost economy) yang pada akhirnya membebani kinerja ekonomi makro, alias membebani publik (masyarakat). Jadi sangat dibutuhkan peningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik serta memberi perlindungan bagi warga negara dari penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dalam penyelenggaraan pelayanan publik oleh pemerintah. Secara konstitusional, juga merupakan kewajiban negara melayani warga negaranya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka pelayanan publik.

Pasal 3 Tujuan Undang-Undang tentang Pelayanan Publik adalah: a. terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik; b. terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik; c. terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan d. terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Pelayanan Publik Prima, Pro Orang Kaya? Pelayanan publik di negara kita disadari atau tidak saat ini masih mengalami stagnansi atau boleh dikatakan jalan di tempat. kinerja pelayanan birokrasi pada masa reformasi tidak banyak mengalami perubahan secara signifikan. Para aparatur negara atau birokrasi pemerintahan sebagai penyedia layanan masih tetap menunjukan derajat rendah pada akuntabilitas, responsivitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Hal tersebut dibuktikan dalam perolehan data dari daerah Yogyakarta bahwa meskipun persentase masyarakat yang mengajukan keluhan sesudah reformasi lebih rendah dari pada sebelum reformasi (13.7%berbanding 44.4%), tetapi persentase masyarakat yang

mengalami kekecewaan terhadap pelayanan publik yang dilakukan oleh aparatur negara atau birokrasi tetap tinggi (42.9% dan 69.1%). Kebijakan pemerintah berupa UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik tentunya membawa angin segar sekaligus telah menjawab penantian atas kegelisahan publik yang selama ini dirasakan. Akan tetapi hal tersebut tentunya tidak serta merta dapat menghapus begitu saja rasa kekecewaan publik terhadap pelayanan yang diterima dari penyedia layanan yakni pemerintah. Publik didefinisikan sebagai warga negara yang berhak mendapatkan pelayanan secara prima dari pemerintah yang telah dipercaya sebagai penyelenggara urusan dan kepentingan bersama (Indiahono, 2009: 70). Penyelenggaraan pelayanan kepada publik yang efisien, adil, responsif, dan akuntabel tentunya menjadi dambaan setiap warga masyarakat pengguna layanan. Apapun bentuk pelayanan yang diberikan kepada masyarakat wajib memberikan keadilan dan tidak membebani rakyat. Tidak hanya rasa adil, pelayanan publik juga harus dikelola dengan transparan dan memiliki standar pelayanan yang jelas. Salah satu fenomena atas sebuah ketidakadilan dalam playanan publikdapat terlihat dari layanan kereta api misalnya. Keberadaan kereta api sebagai salah satu media transportasi publik telah diakui memiliki peranan yang sangat penting. Dalam perkeretaapian, kenyamanan di lihat dari kelas penumpang. Kereta api memiliki tiga kelas dalam penempatan penumpangnya, yaitu kelas eksekutif, bisnis, dan ekonomi. Kenyamanan kelas eksekutif direpresentasikan dengan gerbong berpendingin ruangan, televisi, kursi yang bagus, toilet yang nyaman, pelayanan hidangan, dan lain-lain. Kenyamanan berkereta api lebih dipertanyakan pada kelas bisnis dan ekonomi. Gerbong yang kotor, keamanan dan fasilitas kereta api yang rusak merupakan keluhan yang sering dilontarkan para konsumen kelas bisnis dan terutama konsumen kelas ekonomi. Belum lagi soal buruknya kondisi kereta api kelas ekonomi yang tidak mampu memberikan kenyamanan bagi penumpang, sehingga tidak aneh jika muncul tindakantindakan kriminalitas di dalam kereta api. Kenyamanan dalam layanan kreta api tentunya tidak mutlak hanya milik penumpang kelas eksekutif. Semua penumpang berhak atas kenyamanan layanan yang telah disesuaikan dengan standar pelayanan. Lain halnya dengan pelayanan kereta api, penulis terkadang merasa iri ketika melihat kendaraan yang berplat nomor cantik. Di Indonesia di kenal ada plat

RI 1 untuk mobil dinas presiden, serta RI 2 untuk wakil presiden. Kemudian di daerah biasanya plat nomor 1 dimiliki oleh gubernur dan bupati atau walikota. Tidak hanya pejabat pemerintah, mobil dinas pejabat kampus pun ikut-ikutan menggunakan plat nomor cantik yang tentunya harus di beli dengan biaya yang cukup mahal harganya. Bahkan masyarakat umum pun ikut-ikutan latah menggunakan plat nomor yang nomornya dapat disesuaikan dengan selera atau keinginan si pemilik kendaraan dan tentunya nomor tersebut harus dibeli dengan biaya yang terbilang mahal harganya. Jadi ternyata memang di negara kita kepuasan dari sebuah pelayanan publik hanya dapat di peroleh bagi segelintir orang, sehingga nomor plat kendaraan pun pada akhirnya dapatdijadikan sebagai salah satu pengukur status sosial seseorang. Jika demikian permasalahannya, lantas dimanakah letak kesamaan hak dan persamaan perlakuan yang tidak diskriminatif dalam pelayanan publik saat ini? mampukah UU No. 25 Tahun 2009 mewujudkan pelayanan publik yang berkeadilan?

Tantangan dan Jawaban untuk Pelayanan Publik Prima Permasalahan masyarakat sebagaimana sangatlah kompleks. Hal ini terkait dengan banyaknya kepentingan publik (public interest) yang harus diakomodir. Sementara itu, kepentingan publik mempunyai peran yang sangat signifikan dalam sebuah negara. Pemerintah sebagai penyelenggara negara tentunya memiliki tugas untuk melayani kepentingan rakyatnya sebagai warga negara. Warsito Utomo (2007: 129) mengungkapkan bahwa pemerintah atau birokrasi belum dengan sungguh dapat memahami fungsinya sebagai pelayan publik. Terkait dengan kebijakan publik (public policy), secara umum kebijakan publik diarahkan sebagai solusi atas permasalahan-permasalahan publik (public affairs) yang muncul dan berkembang dalam masyarakat. Pelayanan publik sebagai aktifitas pemerintah untuk mendistribusikan hak-hak asasi warga negara seharusnya memang tercenter kepada sebuah kepentingan publik. Organisasi publik seharusnya dipahami sebagai sebuah entitas yang berjasa untuk melayani kepentingan publik (Indiahono, 2006: 58). Pemerintah dalam upaya memperbaiki kualitas layanan publik pada tahun 2009 telah mengalokasikan anggaran untuk mendukung berbagai prioritas reformasi birokrasi yakni sebesar Rp 774 miliar. Sedangkan untuk tahun 2010 ini

pemerintah meningkatkan alokasi anggaran belanja pegawai menjadi Rp 161,7 triliun (aparaturnegara.bappenas.go.id di akses 10 Februari 2010). Dalam hal ini tentunya tidak ada tawar menawar lagi bagi publik untuk mendapatkan pelayanan yang berkualitas dan berkeadilan. Diakui memang saat ini sudah ada regulasi yang sah tentang pelayanan publik. Namun demikian, dalam kenyataannya kebanyakan instrumen legal yang telah disahkan belum dapat sepenuhnya menjawab permasalahan yang ada. Bahkan kebanyakan instrumen legal hanyalah menjadi tumpukan dokumen yang belum dapat di implementasikan secara efektif. UU No. 25 Tahun 2009 menjadi pijakan baru dalam hal pelayanan publik di negara kita. Dalam pasal 3 disebutkan bahwa UU ini berasaskan pada kepentingan umum, adanya kepastian hukum, adanya kesamaan hak, adanya keseimbangan hak dan kewajiban, keprofesionalan, partisipatif, persamaan dalam perlakuan atau tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan waktu dan kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan dan bertujuan agar batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik, menjalankan sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik dalam penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam mendapatkan penyelenggaraan pelayanan publik. Bambang Wicaksono (dalam Spirit Publik, 2007: 107) memaparkan bahwa peraturan yang ada sering kali tidak mudah dipahami oleh warga pengguna yang sebagian besar berpendidikan rendah, sehingga banyak terjadi miskomunikasi antara birokrasi dengan warga masyarakat pengguna layanan. Selain itu, Bambang juga menyebutkan hasil penelitian Indonesia Rapid Decentralization Appraisal (IRDA) yang menunjukan bahwa kesulitan-kesulitan teknis seperti ini dialami oleh warga pengguna di berbagai tempat di seluruh Indonesia. Tidak terkecuali dengan penulis sendiri. Penulis merasakan hal yang sama ketika harus mengurus surat pengesahan dari kelurahan dengan waktu yang tidak jelas (2 Februari 2009). Hal tersebut menjadi wajar ketika warga pengguna layanan masih merasakan kegelisahan atas sebuah jawaban pemerintah dalam menjawab permasalahan pelayanan publik melalui produk kebijakannya berupa UU No. 25 Tahun 2009. Rendahnya kualitas dan

efektifitas pelayanan publik dengan disertai pelayanan yang terkesan pilih bulu tentunya dapat menimbulkan erosi kepercayaan dan sinisme warga terhadap pemerintahsebagai penyedia layanan.

Analisis UU No. 25 Tahun 2009 Kekuatan (strength) yang pertama dalam pasal 4 UU Pelayanan Publik menjamin kesamaan hak, kesamaan perlakuan atau tidak diskriminatif, kepastian hukum dan fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok yang rentan. Sehingga masyarakat tidak lagi merasa khawatir atau gelisah terhadap layanan yang hendak diberikan kepada warga masyarakat pengguna layanan.Kedua, dalam pasal 18 dan 19 tentang hak dan kewajiban masyarakat,masyarakat cenderung lebih diberdayakan untuk menikmati dan memanfaatkan pelayanan publik sebaik-baiknya sesuai hak dan kewajibannya. Ketiga, dalampasal 35 diatur pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan melalui pengawasan internal dan eksternal. Sehingga dalam pelaksanaannya dapat mengarah pada pelayanan publik yang berkeadilan. Keempat, dalampasal 46 semakin mempertegas fungsi dan peranan Ombudsman sebagai lembaga pengaduan untuk penyelesaian pengaduan masyarakat. Kelemahan (weackness), budaya birokrasi pemerintahan kita yang masih bersifat patrilineal. Sehingga dapat mengakibatkan pemberian layanan memakan waktu yang lama. Hal ini sekaligus dapat menjadi ancaman (threats)bagi pemerintah sebagai penyedia layanan publik untuk keluar dari belenggubudaya birokrasi yang masih bersifat patrilineal. Keberadaan Kabupaten Jembrana dan Sragen yang menjadi best practice yang banyak dijadikan acuan oleh berbagai daerah tentunya menjadi suatu peluang (opportunities) yang dapat dijadikan sebagai percontohan bagi daerahdaerah lain untuk melakukan perbaikan kualitas pelayanan publiknya.Sehingga inovasi-inovasi yang diterapkan di Jembrana dan Sragen dapat di ikuti oleh daerah-daerah lain dalam rangka mencapai pelayanan publik yang berkualitas dan berkeadilan.

Catatan Penting dalam Implementasi UU No. 25 Tahun 2009 Kepuasan dan kenyamanan atas sebuah layanan publik tentunya tidak mutlak hanya dapat dimiliki oleh segelintir orang saja. Penyelenggaraan pelayanan publik yang berkeadilan sudah menjadi dambaan dan harapan atas penantian warga masyarakat sebagai pengguna layanan. Sudah menjadi sebuah keharusan bagi para elit birokrasi dan aparatur pemerintah untuk terus menapaki proses belajar sosial yang mengarah pada kualitas layanan publik sesuai dengan apa yang telah diamanatkan dalam UU No. 25 Tahun 2009Tentang Pelayanan Publik. Perumusan strategi yang efektif dalam menelaah UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik dapat dilakukan melalui analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman (SWOT Analysis). Berangkat dari analysis tersebut, berikut penulis rekomendasikan beberapa saran. Pertama, mengingat budaya birokrasi pemerintahan kita yang masih bersifat patrilineal, pemerintah harus dapat membangun komitmen para pimpinan dari setiap lembaga birokrasi yang menyediakan layanan bagi masyarakat. Kedua, diperlukan adaya motivasi birokrasi dari pimpinan birokrasi untuk meningkatkan kinerja dalam penyelenggaraan layanan. Ketiga, menggunakan Community Control melalui kontrol optimal sebagai bentuk pengawasan yang memodelkan biaya pengadaan pelayanan secara just in time yang dapat diakomodasi melaluiCitizen Charter atau Service Charter. Community Control penulis artikan sebagaikesatuan kelompok yang melakukan pengawasan secara bersama terhadap pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan publik yang di dalamnya terdapat multi stakeholders, terdiri dari tokoh masyarakat, LSM dan akademisi serta dari pihak birokrasi pemberi layanan yang secara langsung terlibat dalam pembuatan kontrak pelayanan. Sehingga diharapkan implementasi daripada UU No. 25 Tahun 2009 dapat mewujudkan pelayanan publik yang berkeadilan bagi seluruh warga masyarakat pengguna layanan.

Anda mungkin juga menyukai