Anda di halaman 1dari 29

Lusiana Andriani Lubis, PhD Ketua Magister Ilmu Komunikasi FISIP USU

Pendahuluan
Banyak referensi, seperti buku, majalah maupun surat kabar di Indonesia dan di luar negara merekamkan bahwa sejak masyarakat Tionghoa berada di Indonesia pada abad ke-7 hingga abad ke-15, antara etnis Tionghoa dengan pribumi hidup bersama dengan harmonis dan tidak ada prasangka ras (Siauw Tiong, 1998: 9). Komunitas dan masyarakat tempatan yang mayoritas dan dominan menekankan penggunaan prinsip di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung sebagai sesuatu yang harus dijadikan pedoman oleh para pendatang. Etnis Tionghoa yang telah dan terus datang selama berabad-abad ke berbagai destinasi di Indonesia dikelompokkan sebagai tetamu. Pada waktu itu juga konflik budaya antara etnis tempatan (pribumi) dengan etnis Tionghoa tidak pernah terjadi dan hubungan perkawinan juga turut mengubah status tetamu menjadi kerabat. Hal ini memungkinkan keturunan tersebut juga mempunyai hak terhadap tanah daripada kelompok kerabat setempat.

Ada beberapa hal yang dapat dicermati: 1. Masuknya Penjajahan Belanda


Berawal dengan kemasukan Belanda pada abad ke-16 dan penjajahan yang berlangsung selama 350 tahun, etnis Tionghoa dijadikan /kambing hitam dalam menghadapi kemarahan rakyat (pribumi) di seluruh Indonesia. Secara ringkas, sebagai dampak daripada tindakan Belanda tersebut, terdapat ratusan daerah pemukiman kelompok etnis Tionghoa yang disebut kawasan Pecinan. Hal ini menjadi suatu tanda bahwa hadirnya kawasan tersebut bukanlah semata-mata kehendak daripada masyarakat etnis Tionghoa melainkan dampak daripada sistem penjajah. Masyarakat Indonesia menjadi berkelompok dan etnis Tionghoa dipisahkan dari pribumi. Status undang-undangnya dan juga sekolah-sekolah dibedakan. Kemiskinan rakyat Indonesia sebagai efek daripada sistem penjajahan disalahkan pada etnis Tionghoa. Sebagai lanjutan daripada fenomena di atas, antara etnis Tionghoa dengan pribumi saling dihasut untuk dibenci dan membenci sehingga memunculkan benihbenih ketidaksukaan dalam kedua-dua etnis tersebut. Hal ini kelihatan pada waktu revolusi 1945-1949, Belanda selalu menggunakan masyarakat Tionghoa sebagai alat untuk memecahbelahkan (politik belah bambu) masyarakat dan sebagai alasan untuk merusakkan martabat Republik Indonesia

Contoh : Singkawang
Keadaan ini dapat dilihat pada kawasan Singkawang Kalimantan Barat, mereka merupakan komunitas yang berdikari berdasarkan peretnisan dan daerah asal mereka di Cina. Mereka menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat Pribumi di sekeliling, dengan kesultanan Sambas dan masyarakat Dayak. Namun awal dari penjajahan Belanda dan perjalanan waktu dengan peraturan kewarganegaraan yang ditetapkan terhadap etnis Tionghoa yang juga berlaku di Singkawang sehingga kelompok Tionghoa seperti tetamu di wilayah orang Melayu dan Dayak (Suparlan, 2003: 27-28 ; Siauw Tiong, 1998: 9).

2. Kebijakan Pemerintah
Pengamalan sistem kebijakan pemerintahan Indonesia yang berlangsung dari masa ke masa (berawal pada zaman penjajahan kolonial Belanda sehingga bertukar beberapa orang Presiden), dengan sengaja atau tanpa disengajakan menyebabkan diskriminasi sosial, politik, undang-undang dan ekonomi berlaku kepada masyarakat Indonesia, terutama golongan minoritas seperti etnis Tionghoa. Kesan daripada itu, masyarakat berbagai etnis yang kuat dari segi sosialnya menjadi rapuh. Hal ini dapat dilihat dari perlakuan sosial, politik dan ekonomi oleh masyarakat pribumi terhadap berbagai etnis. Ia merupakan tindakan-tindakan diskriminasi daripada yang paling ringan (seperti pribumi tetapi tidak pribumi asli) hingga kepada yang paling berat (seperti orang Tionghoa yang digolongkan sebagai asing). Selain itu, ideologi masyarakat secara sadar ataupun tidak sadar menjadi dasar kegiatan dalam sistem nasional. Seperti halnya ideologi Tionghoa adalah asing lebih dominan dibandingkan dengan kenyataan bahwa etnis Tionghoa telah menjadi warganegara Indonesia. Walhal, meskipun etnis Tionghoa sudah menjadi warganegara Indonesia tetapi masih juga didiskriminasikan secara undang-undang dan secara sosiobudaya masyarakat tempatan (Suryadinata, 2003: 1-11).

Bila disimak dari sorotan Komunikasi Antarbudaya bahwa salah satu penyebabnya adalah
Bermula daripada persoalan perbedaan cara pandang atau persepsi budaya yang diperkeruh lagi dengan kondisi ekonomi Indonesia yang semakin buruk sehingga menyebabkan prasangka sosial dan adanya jarak di antara etnis Tionghoa dan Pribumi di Indonesia. Walhal tidak dapat dielakkan pada bulan Mei 1998, gerakan massa yang mengamuk dengan sasaran masyarakat etnis Tionghoa tidak dapat dihentikan karena dianggap sebagai pendatang lebih sejahtera berbanding pribumi sebagai penduduk asli. Pada akhirnya menjalar kepada persoalan etnis, agama, ras dan antara Golongan (SARA) yang memandang bahwa golongan atau kebudayaan etnis sendiri lebih unggul daripada golongan atau kebudayaan etnis lain terutamanya pribumi yang terdiri daripada berbagai etnis (Suryadinata, 2003; Tan, 2004).

Teori Persepsi Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya menyoroti tiga hal penting :
1. Pandangan Dunia : Agama/kepercayaan, Nilainilai, Prilaku.
2. Organisasi Sosial : Keluarga, Sekolah, Kebijakan

Pemerintah. 3. Simbol : Verbal dan Non verbal ( Lihat Samovar, Larry.A., Richard E.Porter & Edwin R. McDaniel . Intercultural Communication. 2006 ; 12-14 )

Selain itu, referensi bacaan yang menguatkan penelitian ini dilakukan adalah seperti yang ditulis oleh Subanindyo (2006:26) yang berjudul Konflik Etnik di Indonesia: Penelitian Kasus di Kota Medan mendapati : Tidak terdapatnya dominasi etnis dan budaya tertentu dan fenomena berbagai budaya di Medan Sumatera Utara merupakan suatu hal yang unik. Budaya asli seperti Melayu dan Batak Karo berkecenderungan menghilang. Komunitas etnis Tionghoa dan/atau keturunannya sebenarnya terbentuk kemudian. Meskipun masyarakat etnis Tionghoa tidak juga dominan, tetapi mereka mampu membentuk budaya yang signifikan pengaruhnya bagi masyarakat kota Medan. Interaksi antara etnis Tionghoa dengan pribumi masih sukar berlangsung hingga kini di Medan. Ciri-ciri nyata ialah adanya kecenderungan yang kuat daripada setiap etnis untuk mempertahankan identitasnya seperti dalam penggunaan bahasa daerah apabila berjumpa dengan kelompok etnisnya, merasa etnisnya lebih baik berbanding etnis lain. Oleh karenanya, masing-masing etnis berkecenderungan memandang norma dan nilai-nilai kelompok budayanya (organisasi sosialnya) sebagai sesuatu yang mutlak dan dapat digunakan sebagai acuan untuk mengukur dan bertindak terhadap kelompok kebudayaan lain .

Suwardi Lubis (2001) dengan judul Komunikasi Antara Budaya: Kajian Kasus Etnik Batak Toba dan Etnik Tionghoa di Sumatera Utara, mengatakan bahwa : Integrasi sosial antara etnis di kota Medan masih diwarnai adanya unsur-unsur prasangka sosial, stereotip dan adanya jarak sosial. Setiap etnis tetap mempertahankan norma dan nilai-nilai etnisnya, tetapi secara terbuka juga mau menerima norma dan nilai positif daripada etnis lain. Peranan etnis memang tidak menonjol, namun rasa aku yang menganggap superior daripada rasa awak yang lainnya .

Suraya (2003:132-133) , dengan judul Peranan Komunikasi Dalam Penyatuan Budaya juga menemukan bahwa: Setiap orang yang berkomunikasi dalam konteks antara budaya setidaknya bersikap terbuka terhadap perbedaan nilai, kepercayaan dan sikap. Menempatkan diri pada posisi lawan bicara yang berasal dari budaya yang berbeda, bersikap spontan dan deskriptif, mengkomunikasikan secara positif, menganggap berkomunikasi setara, tetap percaya diri dan tenang dalam setiap situasi, serta menghindari sikap etnosentrisme dan streotip yang berlebihan.

Arifah Armi Lubis (2010:222) dengan judul Identitas Etnis dan Komunikasi Antarbudaya: Studi Kasus Peran Etnis dalam Komunikasi Antarbudaya pada Mahasiswa Asal Malaysia di Fakultas Kedokteran USU, menemukan bahwa:

Identitas etnis yang muncul pada kebanyakan informan adalah perasaan in-group, stereotip, sikap etnosentrisme, pengetahuan tentang budaya etnis, rasa kepemilikan serta evaluasi positif pada kelompok etnis. Para informan berupaya mempertahankan identitas etnis dengan menjaga nilai Melayu yang difahami. Di segi lain, mencoba untuk mengadakan peleburan dengan mahasiswa pribumi dengan berusaha agar dapat berbahasa Indonesia. Kesadaran identitas etnis akan tinggi pada masa etnosentrisme, prasangka dan streotip muncul, pada masa menemukan adanya perbedaan nilai dan pola perilaku budaya yang sangat jauh.

Dari uraian di atas, permasalahan kajian mencakupi beberapa faktor :


Sejauhmana pandangan dunia mempengaruhi interaksi komunikasi antarbudaya antara etnis Tionghoa dan Pribumi di Medan? 2. Sejauhmana peranan organisasi Sosial mempengaruhi interaksi komunikasi antarbudaya antara etnis Tionghoa dan Pribumi di Medan ? 3. Sejauhmana simbol verbal dimaknai oleh etnis Tionghoa dan Pribumi dalam kelangsungan Interaksi Komunikasi Antarbudaya antara etnis Tionghoa dan Pribumi di Medan ?
1.

NB: Pembahasan dibatasi pada faktor yang pertama

Metode Penelitian :
Metode penelitian adalah metode deskriptif kualitatif, yang menggunakan sudut pandang faham fenomenologis. Pada pandangan Edmund Husserl (1970: 2-12), faham fenomenologis berusaha memahami budaya melalui pandangan pemilik budaya atau pelakunya. Ilmu bukanlah bebas nilai dari apapun melainkan memiliki hubungan dengan nilai. Ketika fenomenologi mulai menjalaskan bagaimana fenomena tersebut tersusun. Secara alamiah penulis budaya akan menanyakan persepsi subjek budaya (informan) terhadap apa yang dialaminya. Dari interaksi subjek budaya tersebut, baik kesadaran subjek sebagai kesadaran makna dan fungsi dari suatu fenomena itu merupakan dasar terjadinya penafsiran. Intinya adalah fenomena budaya tidak lagi dijelaskan sebagaimana adanya, melainkan telah melalui penafsiran yang dilakukan oleh partisipan (informan) maupun penulis ketika memberikan umpan balik sehingga terjadi sebuah pemahaman yang lebih baik.

Format penulisan dalam bentuk penelitian kasus. Dalam studi kasus setiap analisis mengandung makna berdasarkan wawancara secara mendalam, pengamatan, analisis pustaka, dan pernyataan penulis mengenai kasus tersebut. Populasi berjumlah 2.770.395 orang yang terdiri laki-laki sebanyak 1.399.940 orang dan perempuan 1.370.455 orang atau 641.707 Kepala Keluarga, berasal dari 21 kecamatan yang ada di kota Medan dengan luas daerah 265,10 km dan kepadatan penduduk kisaran 7.860 orang per km (Sumber: Data Kependudukan Kota Medan, Desember 2010). Dengan demikian, unit analisis tidak terfokus atau terkonsentrasi pada suatu kawasan tertentu saja, baik secara Kecamatan maupun Kelurahan. Penulis berpedoman pada kriteria-kriteria tertentu dalam menelusuri informan penelitian. Adapun kriterianya adalah 1) penduduk Tionghoa dengan Pribumi yang merupakan warganegara Indonesia, 2) memiliki KTP (Kartu Tanda Penduduk), 3) hidup menetap di kawasan tersebut lebih dari dua tahun karena diperkirakan sudah saling mengenal dan berinteraksi sesama masyarakat, 4) informan dapat saja suami, isteri ataupun anak yang telah

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik snowball sampling (teknik bola salju).
Dari teknik snowball sampling didapati seramai 36 orang informan Tionghoa dan Pribumi, yang terdiri dari keluarga, pendidik, mahasiswa/pelajar, pegawai pemerintahan dan swasta serta tokoh masyarakat. Kekuatan Alat pengumpulan data utama melalui wawancara mendalam. Disokong dengan pengamatan berperanserta dan analisis dokumen . Analisis data disajikan dalam bentuk naratif induktif yaitu kasus demi kasus berdasarkan kategori yang telah dirumuskan. Proses analisis data adalah seperti berikut: mengumpulakan keseluruhan data mentah dan menyusunnya berdasarkan kategori-kategori, menjelaskan hubungan-hubungan antara kategori, dan membangun atau menjelaskan teori melalui teknik triangulasi untuk memperoleh hasil yang boleh diandalkan (dalam Moleong, 2000: 178-179).

Hasil Penelitian dan Pembahasan


Faktor Agama
Agama/kepercayaan merupakan suatu yang hak bagi setiap manusia. Pada masyarakat etnis Tionghoa di kota Medan banyak di antaranya masih menganut kepercayaan Sinkretisme yang telah diwariskan turun temurun. Berbeda halnya dengan etnis pribumi yang pada umunya beragama Islam atau Kristen. Dari wawancara dan pengamatan berperanserta, terlihat adanya variasi yang menggambarkan karakter budaya masing-masing pengalaman informan dengan hal yang dirasakannya, dijalankannya dan diamatinya dari realitas sosial yang ada yang harus diakui dan dihormati. Agama/kepercayaannya dan nilai-nilai yang harus dipadukan tentang baik dan buruk, halal dan haram, serta yang boleh dan tidak boleh dilakukan menurut agama dan kepercayaannya. Untuk kasus keluarga dengan pasangan yang mualaf, jelas bahwa keluarga dengan pasangan yang berbeda agama akan memiliki kemungkinan yang lebih besar dalam menghadapi perbedaan kepercayaan dan kebiasaan-kebiasaan dalam peranannya sebagai orang tua berbanding pasangan yang berasal dari satu agama/kepercayaan. Terutama sekali tantangan yang lebih besar dihadapi dalam menyesuaikan perbedaan dan cara mengasuh anak. Seperti yang dirasakan Hadayani dan M.A Harahap, sehingga kedua-duanya mempercayai sekolah Islam untuk mendidik anak-anaknya agar pembentukan pengetahuan keagamaan anakanaknya lebih baik.

Dari wawancara dan pengamatan berperanserta, terlihat adanya variasi yang menggambarkan karakter budaya masing-masing pengalaman informan dengan hal yang dirasakannya, dijalankannya dan diamatinya dari realitas sosial yang ada yang harus diakui dan dihormati. Agama/kepercayaannya dan nilai-nilai yang harus dipadukan tentang baik dan buruk, halal dan haram, serta yang boleh dan tidak boleh dilakukan menurut agama dan kepercayaannya.

Untuk kasus keluarga dengan pasangannya mualaf, jelas

bahwa keluarga dengan pasangan yang berbeda agama akan memiliki kemungkinan yang lebih besar dalam menghadapi perbedaan kepercayaan dan kebiasaankebiasaan dalam peranannya sebagai orang tua berbanding pasangan yang berasal dari satu agama/kepercayaan. Terutama sekali tentangan yang lebih besar dihadapi dalam menyesuaikan perbedaan dan cara mengasuh anak. Seperti yang dirasakan Hadayani dan M.A Harahap, sehingga kedua-duanya mempercayai bahwa sekolah Islam untuk mendidik anak-anaknya agar pembentukan pengetahuan keagamaan anak-anaknya lebih baik.

Seterusnya, penemuan data wawancara mendapati bahwa etnis Tionghoa mualaf telah dipinggirkan dari keluarga inti maupun keluarga besar karena dianggap sial dan bahkan ada yang tidak dianggap anak lagi setelah bertukar ke agama Islam dan menikah dengan satu etnis pribumi (kasus Muhammad Fendy Leong dan Hadayani).

Namun untuk etnis Tionghoa yang menikah dengan pribumi dan beralih ke agama Kristen ataupun Buddha tidak mempunyai masalah atau hambatan yang serius seperti Tionghoa mualaf (kasus J Anto dan Sofyan Tan dan Vincen Wijaya). Dengan demikian, penulis bersetuju dengan penelitian yang dilakukan oleh Afif (1999: 1) dengan judul Etnik Cina dalam Kehidupan Sosial Masyarakat Majemuk bahwa pada masyarakat Tionghoa yang menganut agama Buddha dan Kristen tidak menemukan hambatan untuk tetap melaksanakan ajaran-ajaran leluhur yang telah diyakininya. Namun mengenai perpindahan kepercayaan/agama kepada Islam sangat berbeda, tidak hanya sekadar menyatakan perpindahan kepercayaan/agama tetapi mencakupi perubahan identitas budaya. Artinya keyakinan terhadap agama Islam merupakan bentuk kesadaran kehidupan keagamaan melalui proses yang panjang.

Ini sejalan dgn temuan Susiyanto dengan Tionghoa mualaf di Bengkulu bahwa perpindahan kepada Islam mensyaratkan khitan, pantang memakan makanan yang diharamkan (seperti daging babi) dan pantang meminum minuman keras (beralkohol), melacur, berbohong dan berjudi (Susiyanto, 2006: 93). Oleh sebab itu, proses pembauran budaya (melting pot) pada masyarakat yang berpindah ke agama Islam jauh lebih cepat. Melting Pot atau disebut juga asimilasi total, dipelopori oleh K. Sindhunata yang berpandangan bahwa masyarakat Tionghoa harus melebur dengan warga masyarakat tempat mereka tinggal (dalam Tan, 2004: 11). Oleh itu, dapat diterima kebenarannya bahwa warga Tionghoa mualaf disambut dengan sangat baik dan sukacita oleh keluarga (dalam kelompok) dan kelompok masyarakat dan lingkungannya. Mereka dianggap sebagai keluarga baru yang harus diterima dengan baik, tidak hanya di tengah-tengah keluarga tapi juga di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas Islam (kasus bapak Gunawan, ibu Hadayani dan isteri bapak MA Harahap). Oleh Junus Jahya dalam bukunya Muslim Tionghoa mengatakan bertukar ke agama Islam dilihat sebagai tindakan atau penyempurnaan terakhir dari proses integrasi. Secara otomatis proses pembauran akan lebih cepat jika agamanya sudah sama (dalam Tan, 2004: 11). Bahkan Ali mengatakan bahwa Tionghoa Muslim Jakarta sukar direkam jejaknya karena telah melebur, mereka telah menikah dengan pribumi dan menghilangkan identitas budaya leluhurnya (Gatra.com.2008).

Faktor Nilai-nilai
Semua kelompok budaya mengakui bahwa pola interaksi dalam

masyarakat dipengaruhi adat istiadat, norma susila (nilai-nilai sosial) dan berbagai peraturan yang dapat membentuk suatu sistem kehidupan bersama yang saling mengadakan penyesuaian. Dimulai dari kelompok masyarakat yang luas sehingga terdapat kelompok masyarakat dalam jumlah yang lebih kecil. Pengelompokkan tersebut disebabkan adanya faktor-faktor kepentingan dan tujuan tertentu dalam kelompok. Nilai-nilai budaya yang terbentuk dalam masyarakat Tionghoa maupun pribumi dapat dilihat dari kelompok primer (dalam kelompok) terutama dalam keluarga besar atau suku. Sepertimana pada masyarakat Minangkabau, ada suatu peristilahan yaitu Tali Tiga Sepelin yang bermakna Adat-Agama-Undang-undang. Ketiga-tiganya berkaitan dan menjadikan sebuah norma atau nilai-nilai yang harus dipatuhi (Amir, 2001: 157-158). Pada masyarakat Batak dengan sebutan Dalian Natolu. Pada masyarakat Tionghoa dengan Hubungan Segitiga yang bermakna hubungan antara ajaran Konfusius-Keluarga-Kerja (Lubis, 1999).

Wawancara dengan para informan dan juga pengamatan penulis , untuk kasus kota Medan peranan etnis tidak menonjol karena tidak adanya etnis yang dominan/mayoritas di sini. Namun demikian, terlihat adanya penonjolan rasa aku yang menganggap superior dari rasa kau pada etnis lainnya. Setiap etnis mempertahankan norma/nilai-nilainya, tetapi secara terbuka juga mau menerima nilai-nilai positif dari etnis lainnya.
1.

M.A.Harahap (48 tahun/Mandailing/Supir Taksi), mengatakan: Meskipun isteri saya asalnya Tionghoa, namun saya benci pada orang Tionghoa. Saya benci dengan rasa aku yang mereka miliki dan suka berkuasa di provinsi ini, mau menang sendiri dan menganggap rendah pribumi. Memang tidak semuanya seperti itu, contohnya isteri saya yang mualaf, mampu melebur dengan masyarakat pribumi dan banyak orang yang tidak menyangka dia adalah Tionghoa.

2. Mukti Sitompul (60 tahun/ Batak/Dosen USU), mengatakan: Saya sudah 56 tahun mempunyai rekan Tionghoa, nilai-nilai yang kurang baik saya lihat dari pribumi (tidak semua) adalah suka menekan dan memeras Cina serta memandang Cina sebagai ATM (mesin cetak uang). Sebaliknya nilai-nilai yang kurang baik dari orang Cina (tidak semua) adalah memandang pribumi itu sial, pemalas dan tidak menghargai waktu. Akhirnya kedua-duanya sukar melebur karena penilaian-penilaian yang sudah terbentuk sebelumnya.

Dua di antara etnis Cina mengatakan : 1. Harry Yaputra ( 45 tahun/ Tionghoa/Pedagang) mengatakan: Pada pandangan saya nilai-nilai yang diamalkan orang pribumi masih sangat kuat dalam menjunjung tinggi adat budaya. Hal ini juga sama dengan orang Tionghoa yang juga masih menjunjung tinggi budaya leluhur Tiongkok. Pemikiran orang pribumi itu kadang-kadang sempit yang menilai bahwa orang Tionghoa semua kaya, hidup semata-mata demi uang, tidak mau bergaul dengan pribumi dan tidak cinta kepada Indonesia. 2. Cristina (21 tahun/ Tionghoa/Mahasiswi USU) mengatakan: Menurut saya pribumi itu secara umum baik-baik. Saya dalam berhubungan tidak banyak masalah dan memiliki rekan pribumi dari berbagai etnis. Saya nyaman berkawan dengan masyarakat pribumi karena hal ini sudah dibiasakan orang tua saya semenjak kecil pada anak-anaknya. Bahkan dua orang dari saudara saya menikah dengan pribumi dan beragama Kristen dan diberi marga Batak Karo sebagaimana pribumi lainnya yang ada di Sidikalang yang mayoritias berketurunan Batak Karo.

Penemuan data mengenai nilai-nilai budaya, menurut penulis bahwa adanya semangat komunitas antara etnis Tionghoa dengan pribumi dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal dalam kelompok (in group) yaitu dengan adanya ikatan emosional berdasarkan rasa kekeluargaan, penyatuan dan kasih sayang khususnya pada keluarga bawah/biasa. Sedangkan faktor eksternal luar kelompok (out group) yaitu masyarakat yang berada di dalam satu kawasan tertentu yang saling berdekatan atau mempunyai kepentingan yang sama. Keduaduanya faktor internal dan eksternal tersebut akan menjadi baik apabila komunikasi antarbudaya aktif dilakukan secara berterusan sehingga membentuk kebersamaan sosial yang kokoh antara etnis Tionghoa dengan pribumi di Medan. Sebaliknya akan terjadi sekatan komunikasi antarbudaya apabila penilaian-penilaian dilakukan secara negatif sehingga membentuk prasangka, stereotip dan jarak sosial (Lubis, 2008; Liliweri, 2001 : 175-176).

Penulis juga menyedari bahwa nilai-nilai budaya yang berbeda dan tidak dapat difahami oleh berbagai kelompok akan menyebabkan konflik, yang berakhir dengan kekerasan, perang saudara/perang antara etnis, perilaku anarki dan lain-lain.

Kasus-kasus yang terjadi di Indonesia seperti peristiwa Malari, kekejaman Mei 1998, konflik di Ambon, Sampit, Sangauledo, Poso, Gerakan Aceh Merdeka dan Gerakan Anti Tionghoa merupakan suatu refleksi waktu hadapan. Terutama sekali kekejaman Mei 1998 yang merupakan satu peristiwa penting yang perlu diambil kira, yang tidak hanya mengambil korban etnis Tionghoa terutama atas perkosaan etnis perempuan Tionghoa yang sangat kejam, juga mengambil korban pribumi (lihat tulisan Ariel Heryanto, 2000; Rene Pattiradjawane , 2000; dan Parsudi Suparlan, 2001). Juga penelitian lepas lainnya yang berhubung kait dengan hal ini, seperti penelitian Latifah Pawanteh (2000), Suraya (2003:10) , Yohanna (2008:37-38) dan Arifah Armi Lubis (2010:222).

Faktor Perilaku
Faktor perilaku merupakan penjelmahan dari nilai-nilai yang dikukuhkan oleh masing- masing kelompok budaya. Perilaku budaya suatu etnis merupakan suatu kecenderungan yang diperolehi dengan cara belajar untuk merespon suatu objek secara konsisten.
Data seterusnya adalah mengenai perilaku budaya masing- masing etnis dalam berinteraksi dengan sesama etnisnya, maupun di luar kelompok etnis. Antara lain adalah : Eka (35 tahun/Jawa/ bekerja sebagai pembantu rumah kepada etnis Tionghoa lebih dari tiga tahun) . Dia mengatakan: Pada awal saya bekerja sebagai pembantu rumah kepada etnis Tionghoa, saya diperlakukan secara kasar, setahun kemudian mulai baik kepada saya. Majikan saya memandang pribumi (tidak semuanya) sebagai pemalas, kerja sedikit uang mau banyak. Maka beliau suka pelit kepada pribumi, termasuk kepada saya (pelitnya melihat keadaan). Dalam perilaku bermasyarakat, beliau lebih memilih hidup berkelompok dengan sesama orang Tionghoa di kompleks perumahan agar tidak terganggu dan lebih nyaman katanya. Begitu pula dalam hal pemilihan sekolah anak, berkecenderungan memilih sekolah swasta yang mayoritas Tionghoa untuk anak-anaknya agar tidak timbul permasalahan dengan anak-anak pribumi dan guru di sekolah negeri (pemerintah).

Lia Dahmalia (43 tahun/ Sunda), sebagai ibu rumah tangga dan berjiran dengan etnis Tionghoa di kompleks Setia Budi Indah lebih dari sepuluh tahun). Beliau mengatakan : Tidak semua orang Tionghoa itu jelek, tetapi di Medan terkesan mereka mendominasi (tidak seperti di Padang, Makasar dan Bandung mereka melebur) sehingga terkesan ada jarak sosial antara Tionghoa dengan pribumi. Umumnya mereka individualis dan tidak mau berinteraksi dengan pribumi dan lebih memilih tempat perumahan sesama kelompoknya. Begitupun mereka dapat dipercayai untuk urusan perdagangan. Rum Abu Huzaifah (30 tahun/Jawa/bekerja sebagai wirausaha). Pengalamannya bekerjasama dalam berdagang dengan etnis Tionghoa adalah: Kepada pribumi orang Tionghoa selalu berkata kasar kepada bawahannya, suka memerintah dan tidak mau menolong, pelit dengan uang dan informasi, selalu curiga pada pribumi, menganggap pribumi itu bodoh dan tidak tahu apa-apa, sangat terbelenggu (berpihak pada etnisnya) dan acuh tak acuh terhadap lingkungannya. Mendiskriminasikan jenis pekerjaan yang lebih mudah untuk Tionghoa berbanding pribumi, juga kalaupun jenis pekerjaannya sama namun upah yang lebih tinggi diberikan kepada Tionghoa berbanding pribumi (selalu diberikan sembunyi-sembunyi dalam menambah upah). Begitupun saya mengakui bahwa orang Tionghoa lebih ulet, gigih dan hemat dalam penggunaan keuangan.

Vebie Arica (20 tahun/Tionghoa/mahasiswi USU) mengatakan: Hubungannya dengan pribumi seperti rekan-rekan di sekolah dan universitas, jiran dan pembantu rumah yang bekerja di rumahnya cukup baik, saling menghargai dan menghormati dan bersikap seadanya. Hal ini diperlukan untuk melandasi hubunganhubungan antara peribadi. Saya merasakan diskriminasi itu ada dengan menganggap orang Tionghoa itu asing. Saya tidak kecil hati dan mengatakan tidak semua Tionghoa mengelompokkan dirinya (eksklusif). Contohnya saya dan orang tua, dalam memilih tempat tinggal tidak mesti harus sesama etnis Tionghoa. Dengan pribumi juga boleh selama kawasan perumahan tersebut aman dan nyaman serta etnis pribumi mau berkawan dengan saya. Diskriminasi dan stereotip itu muncul karena kurangnya interaksi dan komunikasi dengan etnis yang lain. Karen (22 tahun/ Tionghoa/ mahasiswi USU), mengatakan: Pada mulanya saya mempersepsikan pribumi (tidak semuanya) berperilaku kasar, kurang mau bersahabat dengan Tionghoa, kami suka diejek dengan kata Cina Luh, diperas dan diperlakukan tidak adil. Seiring dengan waktu dan pergaulan saya dengan pribumi, persepsi saya sudah banyak berubah dalam memandang pribumi. Banyak antaranya pribumi berperilaku ramah dan sopan serta saling menghargai, tidak mau memeras dan menipu. Hal yang saya fikirkan adalah stereotip itu terbentuk bergantung lama atau tidaknya seseorang bergaul dan mau bersikap terbuka dengan etnis lain. Sekarang ini saya mempunyai teman yang mayoritasnya etnis pribumi selain keluarga inti. Kalaupun ada pendiskriminasian sudah semakin kecil, yang utama adalah harus pandai membawakan diri dimanapun anda berada.

Dari temuan data tersebut, analisis penulis jika dikaitkan dengan pandangan Samovar, et al. (2006, 2007) dan Sarbaugh (1988) ada kebenarannya yaitu perilaku terbentuk merupakan sebuah proses belajar dari kebudayaan yang melibatkan tiga komponen yaitu kognitif, afektif dan psiko motorik berupa penilaian atau kekerapan/intensitas atau komponen harapan. Ketiga-tiganya membentuk perilaku sebagai wujud objektif terhadap hal yang ada di sekitar kita.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Samovar, et al. (2007: 17-19) bahwa: .... kebiasaan-kebiasaan berbagai etnis merupakan sesuatu kekuatan kebudayaan yang mempengaruhi bentuk perilaku manusia termasuk perilaku komunikasinya. Oleh karenanya, penulis mendapati bahwa suatu hal yang dapat diterima bahwa perilaku diskriminatif, stereotip dan adanya jarak sosial merupakan sebagai cerminan adanya perbedaan cara pandang etnis Tionghoa dengan warga etnis pribumi. Dengan demikian amat diperlukan interaksi komunikasi antarbudaya secara berterusan agar terbinanya hubungan yang harmonis.

Simpulan :
Faktor agama sebagai satu aspek budaya telah turut berperanan dalam mengubah cara pandang antara etnis di kota Medan sehingga mendorong interaksi sosial dan komunikasi antarbudaya serta rasa kebersamaan hidup dalam masyarakat. Dalam konteks tersebut agama yang berperanan adalah agama Islam, Protestan dan Katolik sebab ketiga-tiga agama tersebut sebagai agama rakyat (folk religion) oleh masyarakat pribumi di Sumatera Utara dan di kota Medan khususnya. Dengan demikian, agama/kepercayaan merupakan satu yang hak dan tidak dapat dipaksa namun dalam satu waktu melalui interaksi komunikasi antarbudaya yang berterusan antara etnis akan meningkatkan pandangan dunia dan kualitas beragama di Medan. 2. Interaksi komunikasi antarbudaya yang berkelanjutan dan pemahaman terhadap nilai-nilai budaya yang dimiliki masing-masing etnis mampu mengubah cara pandang yang semula miring menjadi lebih baik sehingga sekat-sekat komunikasi antarbudaya berkurangan. Maknanya adalah faktor nilai-nilai budaya mengubah pandangan dunia melalui interaksi komunikasi antara budaya yang berkelanjutan dengan berbagi pengalaman budaya setiap etnis. 3. Faktor perilaku sosial apabila tidak dikontrol secara baik melalui interaksi komunikasi antarbudaya yang berterusan di antara berbagai etnis akan berdampak kepada konflik budaya, kepentingan-kepentingan dan menciptakan jarak sosial dengan kemajemukan etnis yang ada di kota Medan. Oleh karena cara pandang yang telah terbentuk dari generasi sebelumnya tidaklah mudah untuk mengubahnya, diperlukan usaha dan upaya yang saling berkesinambungan melalui semua aspek seperti peranan keluarga, pemerintah dan perkawinan antar etnis, pendidikan. Dengan demikian, apabila komunikasi antarbudaya dilakukan secara terus-menerus antara etnis maka ia mendorong perilaku individu menjadi positif dan sekaligus pandangan dunia terhadap individu lain juga positif.
1.

Terima kasih
Semoga Berkenan Dihati

Anda mungkin juga menyukai