Anda di halaman 1dari 2

Problem Pedet di Lobi Hotel Senin, 04 Maret 2013 Manufacturing Hope 67 Harga jual pedet (anak sapi) Rp 5 juta

per ekor. Untuk menghasilkan satu pedet, seorang peternak menghabiskan uang Rp 9 juta. Jelaslah: Mana ada petani yang mau memproduksi pedet. Kalau toh di desa-desa kin i masih ada orang yang memelihara sapi, itu karena mereka tidak menghitung biaya pakan dan biaya tenaga kerja. Dua tahun lamanya menghasilkan satu pedet. Dua tahun lamanya petani bekerja menc ari rumput serta menjaga dan memandikan sapi, hasilnya sebuah kerugian Rp 4 juta per pedet. Itulah akar paling dalam mengapa kita kekurangan sapi dan akhirnya harus impor d aging sapi setiap tahun. Kesimpulan itu saya peroleh ketika saya mengundang prof esor dan ahli peternakan dari berbagai perguruan tinggi pekan lalu: UGM, Undip, Unsoed, Unhas, Universitas Jambi, dan Universitas Udayana. Juga pakar dari LIPI. Di forum itu juga saya undang praktisi peternak sapi, lembaga-lembaga riset, dan pejabat Kementerian Pertanian. Dengan kesimpulan itu, saya harus mengakui bahwa program yang saya canangkan tahun lalu belum menjadi senjata pamungkas untuk me ngatasi kekurangan daging sapi. Tapi, tanpa program itu, saya tidak akan bisa be lajar banyak mengenai inti persoalan selama ini. Orang memang perlu kebentur tebing untuk bisa belajar yang mendasar. BUMN benarbenar kebentur tebing ketika mencanangkan program Sasa (sapi-sawit) tahun lalu. Waktu itu saya setengah memaksa agar perusahaan-perusahaan perkebunan sawit mili k BUMN ikut memelihara sapi. Membantu program Kementerian Pertanian. Saya minta setidaknya 100.000 sapi digemukkan di perkebunan sawit di Sumatera. Selama ini, yang saya tahu, peternak sapi kurang bergairah karena harga pakan ya ng mahal. Problem makanan ternak yang mahal itu teratasi di perkebunan sawit kar ena sapi bisa diberi makan daun sawit. Gratis. Setelah program Sasa itu mulai dijalankan, barulah ketahuan: Ada problem yang le bih mendasar. Sulit mencari pedet yang akan digemukkan di kebun-kebun sawit itu. Semula saya mengira teman-teman BUMN perkebunan merasa setengah hati. Merasa dip aksa. Merasa diberi beban tambahan. Tapi, saya tidak peduli dengan perasaan itu. Yang jelas, saya kecewa, mengapa program 100.000 sapi itu hanya mencapai 20.000 . Tapi, saya harus realistis. Ternyata bukan karena mereka setengah hati. Ternyata karena tidak mudah mencari anak sapi. Membeli 100.000 pedet, biarpun punya uang , ibarat mencari penari gangnam di kalangan penari dangdut. Bahkan, membeli hanya 20.000 pedet itu pun sudah dianggap mengguncangkan. Harga pasar pedet naik. Peternak kecil yang berbisnis penggemukan sapi merasa dirugika n. Maka para ahli yang hadir dalam diskusi itu; di antaranya Prof Syamsuddin Hasan (Unhas); Prof Damriyasa (Udayana); Prof Priyo Bintoro dan Prof Sunarso (Undip); Prof Ali Agus (UGM); Dr Ahmad Shodiq (Unsoed); Dr Saitul Fakhri (Universitas Jam bi); serta Dr Bess Tiesnamurti, Prof Syamsul Bahri, Prof Kusuma Dwiyanto, dan Ir Abu Bakar (keempatnya dari Kementan); sepakat minta BUMN tidak hanya fokus meng gemukkan sapi, tapi juga memproduksi pedet.

Para praktisi peternakan sapi dari berbagai daerah yang hadir juga menyuarakan h al sama. Yang diharapkan bukan BUMN yang membeli pedet peternak, tapi peternak m embeli pedet dari BUMN. Memang juga banyak data yang dipersoalkan hari itu. Terutama data jumlah sapi ya ng selama ini dianggap benar: 14 juta. Kalau angka itu benar, mestinya impor dag ing tidak diperlukan lagi. Demikian juga data produksi dan penyaluran sperma beku untuk perkawinan/pembuaha n buatan. Kalau benar data yang terpublikasikan selama ini, mestinya tidak akan kekurangan pedet. Kalaupun perkawinan buatan itu hanya berhasil 60 persennya (te orinya sampai 80 persen), mestinya ada 1,5 juta pedet yang lahir setiap tahun. Dari diskusi yang intensif tersebut, BUMN harus mau bekerja lebih keras, lebih n jelimet, lebih mendasar, dan lebih susah: memproduksi pedet dari kebun-kebun saw it. Dengan menggunakan daun sawit yang gratis, biaya membuat satu pedet yang mesti nya Rp 9 juta per ekor itu bisa ditekan menjadi Rp 4 juta per ekor. BUMN juga harus lebih sabar. Kalau menggemukkan sapi sudah bisa menjualnya enam bulan kemudian, memproduksi pedet baru bisa menghasilkan setelah dua tahun. Ternyata begitu sulit mengurus sapi. Lebih enak kalau tinggal makan dagingnya. Lebih enak lagi kalau tanpa susah-susah bisa dapat komisi Rp 5.000 per kg daging yang diimpor! Tidak perlu susah, tidak perlu mencium bau sapi, tidak perlu mencari rumput, tid ak perlu mikir. Cukup dengan bekerja di lobi hotel dan di kamar hotel, hasilnya langsung nyata! Peternak lobi hotel seperti itu akan terus tumbuh subur. Impor daging sangat mengu ntungkan. Harga daging di luar negeri sangat murah. Menteri Perdagangan Gita Wir jawan pernah mengatakan, harga daging di Singapura hanya Rp 45.000 per kg. Bandi ngkan dengan harga di Jakarta yang Rp 90.000 per kg. Padahal, daging di Singapur a itu juga daging impor. Proses perizinan untuk suatu perdagangan yang menghasilkan laba yang begitu besa r tentu tidak sehat. Karena itu, dalam diskusi tersebut kembali dibicarakan ide Dirut PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) Ismed Hasan Putro ini: Perusahaa n yang diberi izin impor daging harus menggunakan sebagian labanya untuk memprod uksi pedet di dalam negeri. Entah dengan impor pedet atau impor sapi betina prod uktif. Atau dibalik: Perusahaan-perusahaan/koperasi /kelompok tani yang selama ini rban rugi Rp 4 juta per pedet itulah yang diberi izin untuk impor daging! berko

Setiap persoalan ada jalan keluarnya. Setiap masalah ada hikmahnya. Tapi, betern ak sapi di lobi hotel jelas melanggar sunnatullah yang nyata! (*) Dahlan Iskan Menteri BUMN

Anda mungkin juga menyukai