Anda di halaman 1dari 17

I.

PENDAHULUAN Pemantapan ketahanan pangan mempunyai peran strategis dalam agenda pembangunan nasional karena: (1) akses terhadap pangan dengan gizi yang cukup merupakan hak yang paling azasi bagi manusia; (2) kualitas pangan dan gizi yang dikonsumsi merupakan unsur penentu yang penting bagi

pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas; (3) ketahanan pangan merupakan salah satu pilar utama yang menopang ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan. Oleh karena itu, diperlukan ketersediaan pangan yang cukup setiap waktu, aman, bermutu, bergizi dan beragam dengan harga yang terjangkau masyarakat, dan diutamakan berasal dari pangan lokal. Diversifikasi pangan lokal sangat penting untuk meningkatkan ketahanan pangan masyarakat. Sebagai negara agraris yang dianugerahi sumber daya alam melimpah, Indonesia memiliki sumber daya kacang-kacangan lokal yang potensial. Beragam jenis kacang-kacangan lokal yang potensial memiliki kandungan nutrisi hampir sama dengan kedelai. Namun, potensi tersebut sampai saat ini belum dikembangkan secara optimal sehingga pemanfaatannya relatif terbatas. Diversifikasi pangan lokal khususnya kacang-kacangan lokal diperlukan dan potensial untuk dikembangkan, mengingat produksi kedelai nasional belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi nasional. Sampai saat ini, pemerintah masih mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhan kedelai nasional. Namun, krisis kedelai yang terjadi pada akhir tahun 2007 telah mengakibatkan gangguan terhadap stabilitas ketahanan pangan. Hal tersebut harus dihadapi sebagai konsekuensi ketergantungan pada kedelai impor.

Page | 1

Diversifikasi ini tidak bertujuan untuk menggantikan kedelai, namun memberikan ruang dan alternatif kepada masyarakat untuk memilih komoditas pangan local yang memiliki kualitas gizi, rasa, cita rasa, dan citra yang tidak kalah dengan kedelai. Disadari, kedelai memiliki citra superior, mengungguli kacang-kacangan lainnya. Masyarakat Indonesia tidak bisa lepas dari kedelai karena sejak dulu sampai sekarang masyarakat telah memanfaatkannya sebagai bahan baku tempe dan tahu. Sekitar 80% konsumsi kedelai dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan industri tahu dan tempe, sedangkan sisanya untuk berbagai macam industri seperti kecap, susu kedelai, dan makanan ringan (Departemen Pertanian 2004). Kandungan gizi tahu dan tempe mampu bersaing dengan bahan pangan hewani seperti daging, telur dan ikan, baik kandungan protein, vitamin, mineral maupun karbohidratnya. Rasa yang enak dan harga yang relatif murah menyebabkan kedua produk olahan kedelai tersebut disukai dan terjangkau masyarakat. Peningkatan kesadaran masyarakat terhadap manfaat kesehatan dari kedelai juga merupakan faktor pendorong meningkatnya konsumsi produk olahan berbasis kedelai. Studi pola konsumsi pangan menunjukkan bahwa tempe dan tahu dikonsumsi minimal tiga kali dalam satu minggu oleh masyarakat. Konsumsi tempe dan tahu masing-masing meningkat dari 4,42 kg dan 4,63 kg/kapita/tahun pada tahun 1990 menjadi 7,70 kg dan 8,27 kg/kapita/tahun pada tahun 2002 (Soejadi et al. 1993). Selanjutnya pada tahun 2006, laju konsumsi kedelai per kapita meningkat rata-rata 6,3%/ tahun sehingga konsumsi kedelai mencapai 8,31 kg/kapita/tahun. Kondisi konsumsi ini kontradiktif dengan produksi. Pada satu sisi produksi demikian rendah, pada sisi lain konsumsi meningkat 4,3%/ tahun (Nuryanti dan Kustiari 2007). Pemerintah terus berupaya meningkatkan produktivitas dan produksi kedelai melalui berbagai langkah strategis untuk mengatasi kekurangan pasokan di

Page | 2

dalam negeri. Langkah strategis yang ditempuh antara lain adalah perluasan areal tanam, penyiapan bibit unggul, pemberian benih gratis kepada petani, dan insentif lainnya demi terwujudnya swasembada kedelai. Langkah-langkah strategis tersebut berhasil meningkatkan produksi kedelai pada tahun 2009 mencapai 974.512 ton dengan luas tanam 722.791 ha, dibandingkan 808.353 ton pada tahun 2005 (BPS 2010). Kebijakan peningkatan produksi kedelai tidak cukup ditempuh hanya melalui peningkatan produksi, tetapi juga perlu mengoptimalkan potensi kacangkacangan lokal selain kedelai. Upaya ini dirasa sangat rasional mengingat beragam jenis kacang-kacangan lokal yang potensial tumbuh di Indonesia. Kacang tunggak (Vigna unguiculata), misalnya, dapat tumbuh pada tanah sulfat masam. Kacang faba (Vicia faba), meskipun berasal dari wilayah sub-tropik, mampu tumbuh pada lahan kering dataran tinggi (>1.000 m dpl). Kacang bogor (Vigna subterranea) tumbuh di daerah tropis dengan ketinggian sampai 1.600 m dpl. Kacang komak (Dolichos lablab) sangat toleran terhadap kekeringan, beradaptasi baik pada lahan kering dengan ketinggian 0-2.100 m dpl. Kacang tunggak umumnya ditanam di lahan kering pada musim kemarau, namun dapat pula di lahan sawah setelah padi. Hal ini terkait dengan salah satu sifat unggul kacang tunggak yang lebih toleran terhadap kekeringan dibanding jenis kacang-kacangan lainnya. Ditinjau dari ketersediaan bibit, beberapa varietas unggul kacang tunggak telah tersedia (Kasno et al. 1991; Adisarwanto 2002; Marwoto dan Suhartina 2002; Trustinah dan Kasno 2002; Kurniawan et al. 2004). Salah satu kebijakan pembangunan pangan dalam mencapai ketahanan pangan adalah melalui diversifikasi pangan untuk memberikan alternatif bahan pangan sehingga mengurangi ketergantungan pada komoditas tertentu.

Page | 3

Penganekaragaman pangan juga diharapkan akan memperbaiki kualitas konsumsi pangan masyarakat, karena semakin beragam konsumsi pangan maka suplai zat gizi lebih lengkap daripada mengonsumsi satu jenis bahan pangan saja. Undang-undang No.7/1996 tentang Pangan menyebutkan ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik mutu maupun jumlahnya, aman, merata, dan terjangkau. Oleh karena itu, paradigm pembangunan ketahanan pangan difokuskan pada pengembangan komoditas tertentu menjadi lainnya yang sesuai dengan potensi dan sumber daya daerah. Secara tradisional, masyarakat Indonesia telah mengonsumsi beragam jenis pangan. Kacang-kacangan lokal dapat dimanfaatkan dalam membuat tempe, bahkan secara komersial sudah dikenal di beberapa tempat, misalnya tempe benguk (terbuat dari kacang koro benguk) di Yogyakarta, dan tempe gembus di Jawa Timur. Namun, pemanfaatannya masih terbatas pada daerah tertentu.

II.

PELUANG DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN KACANG- KACANGAN LOKAL

II.1. Peluang Setiap tahun Indonesia mengimpor kedelai dalam jumlah yang cukup besar untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri yang terus meningkat. Produksi kedelai domestik tidak sepesat pertumbuhan konsumsinya. Pemenuhan konsumsi kedelai lebih banyak berasal dari impor. Selain harga kedelai impor

Page | 4

lebih murah, keberlanjutan pasokan kedelai impor lebih terjamin dibanding kedelai nasional. Impor kedelai mencapai 2,3 juta ton setiap tahun (19962005). Separuh dari volume impor tersebut berasal dari negara maju. Amerika Serikat mendominasi impor kedelai Indonesia, mencapai hampir 50% dari total impor setiap tahun (Sawit et al. 2006). Volume dan nilai impor kedelai masing-masing tumbuh 8,4% dan 7,9%/tahun (1996-2006). Sampai dengan September 2006, volume impor kedelai mencapai 3,38 juta ton (BPS 2010). Kondisi ini mengharuskan upaya pemenuhan kebutuhan kedelai tidak dapat hanya dilakukan melalui peningkatan produksi, tetapi juga diperlukan kebijakan di bidang pengolahan atau diversifikasi pangan. Salah satu kebijakan dan strategi yang dapat ditempuh adalah

mengoptimalkan potensi kacang-kacangan lokal sebagai pengganti kedelai. Kebijakan ini sangat mungkin dilakukan mengingat berbagai penelitian menunjukkan kacang-kacangan lokal dapat dimanfaatkan sebagai bahan pensubstitusi dalam pembuatan tempe, seperti tempe dari kacang gude (Damardjati dan Widowati 1995; Indrasari et al. 1992) atau kacang tunggak (Richana dan Damardjati 1999). Substitusi kedelai dengan kacang gude hingga 30% masih dapat menghasilkan tempe yang diterima konsumen (Indrasari et al. 1992). Kacang tunggak tanpa dicampur kedelai dapat menghasilkan tempe dengan kualitas yang baik (Purwani et al. 2006). Berbeda dengan kedelai, kacang-kacangan lokal pada umumnya belum mampu berperan sebagai cash crop. Sebagian besar kacang-kacangan

lokal merupakan tanaman sampingan yang ditanam di pekarangan, pematang sawah atau ditumpangsarikan dengan tanaman pangan lain. Sampai saat ini, perluasan pertanaman secara optimal belum serius dilakukan sehingga produksi dan pemanfaatannya relatif terbatas. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan pengembangan tanaman kacang-kacangan lokal potensial. Pengembangannya sebaiknya diarahkan pada daerah

Page | 5

yang memiliki sumber daya alam dan manusia serta pasar bagi komoditas tersebut.

II.2. Sifat Fisik Kacang-kacangan Ketidakmampuan kacang-kacangan lokal (kacang tunggak, kacang komak, dan sebagainya) bersaing dengan kedelai tampaknya bukan disebabkan oleh ketidak mampuannya tumbuh, tetapi karena perbedaan sifat. Sifat fisik maupun kimia kacang-kacangan sangat menentukan fungsi dan pemanfaatannya lebih lanjut. Ukuran dan bentuk termasuk salah satu sifat fisik yang memiliki arti penting. Biji kedelai yang berukuran besar lebih disukai produsen tempe. Namun sifat tersebut tidak diperlukan pada pengolahan tahu maupun susu kedelai. Oleh karena itu, ukuran dan bentuk termasuk salah satu sifat yang member nilai tambah pada kedelai. Warna dan tingkat kekerasan biji kacang-kacangan lokal bervariasi, begitu pula warna dan ukurannya. Kendala yang sering ditemui pada pengolahan kacang- kacangan lokal (misalnya untuk tempe) adalah kulit biji sulit dikupas atau dipisahkan. Biji gude perlu dimasak (3 jam) dan direndam (18 jam) lebih lama dibandingkan dengan kedelai untuk membuang kulit sebelum diolah menjadi tempe (Sambudi dan Buckle 1992) karena biji gude lebih keras. Masalah biji keras juga ditemui pada biji kecipir dan komak. Kondisi ini menjadi alasan bagi petani untuk memanen kecipir atau kacang gude saat masih muda untuk dikonsumsi sebagai sayur.

II.3. Sumber Nutrisi Pangan

Page | 6

Ditinjau dari aspek gizi, kacang-kacangan merupakan sumber protein, lemak, dan karbohidrat. Kacang-kacangan lokal tidak kalah dalam kandungan protein, begitu pula kualitas protein yang ditentukan oleh susunan asam amino. Secara umum, kacang-kacangan lokal memiliki kelebihan asam amino esensial lisin, tetapi kekurangan asam amino sulfur seperti metionin dan sistin. Namun, kekurangan ini dapat dikompensasi dengan cara mengombinasikannya dengan protein serealia yang mengandung metionin dan sistin. Berdasarkan analisis kandungan zat gizi, tidak ada satu jenis pangan pun yang mengandung zat gizi lengkap yang mampu memenuhi semua zat gizi yang dibutuhkan manusia. Satu bahan pangan mungkin kaya akan zat gizi tertentu, namun kurang mengandung zat gizi lainnya. Padahal untuk dapat hidup sehat, seseorang paling tidak memerlukan 40 jenis zat gizi yang diperoleh dari makanan. Untuk hidup sehat, orang perlu mengonsumsi pangan yang beragam, termasuk pangan pokoknya. Pengertian penganekaragaman pangan mencakup peningkatan jenis dan ragam pangan, baik dalam bentuk komoditas (bahan pangan), pangan semiolahan dan olahan, maupun pangan siap saji. Pendekatan

penganekaragaman tersebut dalam program pembangunan nasional dikenal dengan istilah diversifikasi horisontal dan vertikal. Melalui pengembangan budi daya berbagai komoditas pangan (diversifikasi horisontal) akan dihasilkan beragam bahan pangan seperti kacang tunggak, gude, koro, dan komak. Dengan pengembangan aneka produk pangan olahan akan dihasilkan produk seperti tempe, tahu, susu, dan kecap (diversifikasi vertikal). Selain zat gizi, hampir semua kacang- kacangan, termasuk kedelai, mengandung senyawa antigizi seperti trypsin inhibitor, asam fitat, dan tanin. Trypsin inhibitor dapat menurunkan ketersediaan protein pada sistem

Page | 7

pencernaan, sedangkan asam fitat berikatan dengan mineral penting dan protein membentuk senyawa kompleks. Akibatnya kemampuan menyerap mineral menurun. Tanin membentuk senyawa kompleks dengan protein dan karbohidrat. Kadar zat antigizi pada setiap jenis kacang berbeda. Pada kacang-kacangan lokal, kandungan zat antinutrisi seperti tannin secara eksplisit terlihat dari warna kulit biji yang lebih gelap. Senyawa antigizi dapat dihilangkan atau dikurangi melalui proses pengolahan, antara lain fermentasi, pengecambahan, perendaman maupun pemasakan. Tanin umumnya

terkonsentrasi pada kulit biji sehingga dapat dihilangkan dengan cara mengupas kulit biji. Senyawa fenol termasuk salah satu senyawa fitokimia penting yang memiliki aktivitas antioksidan atau antimutagen. Senyawa fenol pada kedelai, terutama isoflavon, telah diteliti secara intensif. Sebaliknya informasi

senyawa fenol pada kacang-kacangan selain kedelai sangat terbatas. Kacang tunggak mengandung senyawa fenol berupa ester protokatekat (protocatechuic) yang selanjutnya terhidrolisis menjadi asam protokatekat bebas. Senyawa ini diduga memiliki fungsi tertentu dalam diet. Salah satu faktor penyebab petani enggan membudidayakan kacangkacangan lokal adalah terbatasnya pengetahuan dan kemampuan dalam mengolah maupun memanfaatkannya. Oleh karena itu, teknologi pengolahan dan pemanfaatan kacang-kacangan lokal perlu terus dikembangkan.

III. PENGEMBANGAN KACANG TUNGGAK SEBAGAI PENGGANTI KEDELAI

Salah satu teknologi yang sangat mungkin diterapkan untuk mengembangkan kacang- kacangan lokal adalah pengolahan menjadi tempe. Proses pembuatan

Page | 8

tempe cukup sederhana dan umumnya masyarakat Indonesia mengenal produk ini. Berbagai penelitian menunjukkan, kacang-kacangan lokal dapat diolah menjadi tempe, seperti tempe dengan bahan baku kacang gude (Indrasari et al. 1992; Damardjati dan Widowati 1995) atau kacang tunggak (Richana dan Damardjati 1999). Substitusi kedelai dengan kacang gude hingga 30% menghasilkan tempe yang diterima konsumen (Indrasari et al. 1992). Kacang tunggak tanpa dicampur kedelai dapat menghasilkan tempe dengan kualitas yang baik. Kacang tunggak, setelah diolah menjadi tempe, mempunyai kandungan nutrisi yang cukup tinggi. Setiap 100 g tempe kacang tunggak mengandung protein 34 g, lemak 3 g, karbohidrat 53 g, serat 3 g, dan abu 1 g. Kandungan asam amino esensial (asam amino yang tidak dapat disintesis tubuh) pada kacang tunggak relatif sama dengan kedelai. Asam ferulat yang terkandung dalam tempe mampu menurunkan tekanan darah dan kandungan glukosa darah. Senyawa fenilpropanoid lainnya, yaitu asap p-koumarik mampu melemahkan zat nitrosamin yang menjadi salah satu penyebab penyakit kanker. Uji preferensi terhadap responden yang berasal dari Bogor dan Mataram menunjukkan, tempe kacang tunggak dapat diterima dan disukai responden (Haliza et al. 2007)

Gambar 1 : Mencuci Kacang Tunggak

Page | 9

Ditinjau dari aspek produksi, kacang- kacangan lokal, khususnya kacang tunggak memiliki potensi cukup besar untuk dikembangkan lebih lanjut. Hasil kacang tunggak mencapai 1,5-2,0 t/ha, bergantung varietas, lokasi, musim tanam, dan teknologi budi daya yang diterapkan (Kasno et al. 1991). Benih unggul kacang tunggak dan galur-galur harapan hasil pemuliaan dalam negeri telah tersedia cukup banyak.

Gambar 2 : Biji Kacang Tunggak

Budi daya kacang tunggak sudah dikenal petani, meskipun hasilnya masih terbatas untuk konsumsi sendiri. Harga jualnya pun cukup baik; harga kacang tunggak di tingkat petani berkisar antara Rp.3.500-Rp.4.000/ kg, hampir sama dengan harga kedelai local di tingkat petani. Namun, saat panen raya, harga kacang tunggak lebih murah, sekitar Rp. 2.500/kg. Penanaman secara monokultur biasanya dilakukan setelah panen Jagung.Tumpang sari kacang tanah dan kacang tunggak dilaksanakan dengan mengatur waktu dan jarak tanam, seperti yang dipraktekkan petani di Desa Rejing Kecamatan Tiris, Kabupaten Probolinggo. Komoditas ini menjadi pilihan petani di wilayah tersebut karena harga jualnya sangat baik dan dapat meningkatkan pendapatan di luar usaha tani padi atau kacang tanah.

Page | 10

IV. STRATEGI IMPLEMENTASI

IV.1.

Kebijakan Penyediaan Sarana Pengolahan

Pemanfaatan kacang-kacangan lokal sebagai bahan baku tempe memiliki peluang cukup besar. Substitusi kedelai dengan kacang-kacangan lokal dapat dilaksanakan pada berbagai tingkatan. Teknologi pengolahannya telah tersedia dan dikenal masyarakat. Namun, perlu diperhatikan ketersediaan sarana dan prasarana proses. Pengolahan tempe dari kacang-kacangan lokal membutuhkan sarana pengupasan kulit.

Gambar 3 : Kacang Kedelai


IV.2. Penguatan Kelembagaan Pengolah Tempe

Pengupasan kulit biji menjadi titik kritis dalam pengembangan industri pengolahan pangan berbasis kacang-kacangan lokal. Tidak semua petani dapat melaksanakan pengupasan kulit. Bila hal ini tidak dapat diterapkan di tingkat petani, perlu memanfaatkan Kopti. Produsen tempe umumnya bergabung dalam Kopti sehingga lembaga tersebut dapat berperan dalam penyediaan

Page | 11

kacang tanpa kulit. Cara lain yang dapat ditempuh adalah menumbuhkembangkan lembaga jasa pengupasan kulit kacang- kacangan. IV.3. Sosialisasi Produk Tempe Nonkedelai

Saat ini masyarakat belum terbiasa mengonsumsi tempe selain dari kedelai. Produsen juga perlu diinformasikan bahwa substitusi kedelai dengan kacangkacangan lokal bukan merupakan pemalsuan. Sosialisasi dapat dilakukan dengan memberdayakan peran penyuluh.

Gambar 4 : Tempe Kacang Tunggak IV.4. Dukungan Penelitian

Produk fermentasi seperti tempe kacang- kacangan lokal sebagian sudah dikenal masyarakat dan secara komersial sudah ada di beberapa tempat, seperti tempe benguk di Yogyakarta dan tempe gembus di Jawa Timur. Penelitian sifat dan karakteristik kacang-kacangan lokal untuk menghasilkan produk khas (tempe) perlu dilakukan terus sebagai pendukung diversifikasi pangan. Di samping itu, pola dan tingkat penerimaannya oleh masyarakat terhadap produk tersebut perlu menjadi acuan penelitian. Penelitian juga perlu dilakukan untuk mempelajari kualitas dan manfaat kesehatan produk fermentasi berbasis kacang- kacangan lokal. Kesadaran masyarakat terhadap kesehatan akan membuka peluang peningkatan penerimaan pangan berbasis kacang-kacangan lokal.

Page | 12

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

V.1. Kesimpulan 1. Kacang-kacangan lokal, khususnya kacang tunggak mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai pengganti kedelai. Salah satu produk olahan pangan yang berpeluang dikembangkan untuk mengurangi konsumsi kedelai dan mendukung diversifikasi pangan adalah tempe nonkedelai. 2. Diversifikasi pangan melalui pemanfaatan kacang-kacangan lokal

membermanfaat bagi kesehatan karena kandungan unsur-unsur gizi, protein, lemak, dan karbohidrat yang cukup tinggi. 3. Diversifikasi pangan melalui pengolahan tempe nonkedelai membutuhkan dukungan lembaga jasa pengupas kulit biji serta kebijakan yang memungkinkan petani/pengolah memperoleh sarana pengupas kulit biji dengan mudah. V.2. Implikasi Kebijakan 1. Pada saat ini, areal pertanaman kacang-kacangan lokal masih terbatas sehingga harganya relatif mahal. Oleh karena itu, perlu adanya kebijakan pengembangan areal pertanaman kacang-kacangan lokal yang

berpotensi tinggi untuk dimanfaatkan. 2. Perlunya melengkapi program penyuluhan dengan materi pengetahuan pengolahan kacang-kacangan local dan manfaatnya. 3. Menyusun skim kredit atau melengkapi kebijakan bantuan peralatan pasca- panen dengan alat pengupas kulit kacang-kacangan lokal.

Page | 13

DAFTAR PUSTAKA 1. Adisarwanto, T. 2002. Manfaat dan prospek pengembangan kacang faba. hlm. 60-90. Dalam Pengembangan Kacang- kacangan Potensial Mendukung

Page | 14

Ketahanan Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. 2. Departemen Pertanian. 2004. Statistik Pertanian 2004. Departemen Pertanian, Jakarta. 3. B P S (Badan Pusat Statistik). 2010. Luas tanam, produktivitas dan produksi kedelai seluruh provinsi. http://www. bps.go.id/tnmn_pgn. php?eng=0. 4. Damardjati, D. dan S. Widowati. 1995. Prospek pengembangan kacang gude di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian IV(3): 53-59. 5. Haliza, W., E.Y. Purwani, I. Agustinisari,Triyantini, H. Setiyanto, dan E. Savitri.2007. Teknologi pemanfaatan kacang-kacangan untuk produk tempe. Laporan Hasil Penelitian. Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Pasca- panen Pertanian, Bogor. 6. Indrasari, S.D., D.K. Sadra, and D.S. Damardjati. 1992. Evaluation of producer acceptance on soy-pigeon pea tempe production in Puwakarta District, Indonesia. p. 604-615. Proc. the 4th Asean Food Conference 1992. IPB Press, Bogor. 7. Kasno, A., Trustinah, dan T. Adisarwanto. 1991. Kacang tunggak: Tanaman yang mudah dibudidayakan, toleran terhadap kekeringan dan mempunyai prospek sebagai alternatif pemenuh kebutuhan akan kacang-kacangan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian XIII(1): 6-7. 8. Kurniawan, I.H. Somantri, T.S. Silitonga, S.E. Pudiarti, Hadiatmi, Asadi, S.A. Rais, N. Zuraida, Sutoro, T. Suhartini, N. Dewi, dan M. Setyowati. 2004. Katalog data paspor plasma nutfah tanaman pangan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor.

Page | 15

9.

Marwoto dan Suhartina. 2002. Kacang bogor: Budidaya, potensi dan pengembangan. hlm. 83-92. Dalam Pengembangan Kacang-kacangan Potensial Mendukung Ketahanan Pangan. Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Pusat Penelitian dan

10. Nuryanti, S. dan R. Kustiari. 2007. Meningkatkan kesejahteraan petani kedelai dengan kebijakan tarif optimal. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. 12 hlm. 11. Purwani, E.Y., W. Haliza, E. Sukasih, I. Agustinisari. H. Herawati, Triyantini, S. Usmiati, T. Marwati, Haeruddin, H. Setiyanto, dan Widaningrum. 2006. Teknologi pemanfaatan kacang-kacangan sebagai substitusi kedelai untuk produk tempe. Laporan Hasil Penelitian. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor. 12. Richana, N. dan D.S. Damardjati. 1999. Karakteristik fisiko-kimia biji kacang tunggak (Vigna unguiculata L. Walp) dan pemanfaatannya untuk tempe. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 18(1): 72-77. 13. Sambudi, S.H.E and K.A. Buckle. 1992. Soaking and boiling on microstructure of winged bean seeds. p. 503-517. In O.B. Liang, A. Buchanan, and D. Fardiaz (Eds.). Development of Food Science and Technology in South East Asia. Proc. the 4th Bogor. 14. Sawit, H.M., S. Bachri, S. Nuryanti, dan F.B.M. Dabukke. 2006. Fleksibilitas Penerapan Special Safe-guard Mechanism (SSM) dan Kaji Ulang Kebijakan Domestic Support (DS) untuk Special Product (SP) Indonesia. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Asean Food Conference 1992. IPB Press,

Page | 16

15. Soejadi, E.Y. Purwani, dan D.S. Damardjati. 1993. Studi pola konsumsi dan tata menu masyarakat di beberapa daerah di Indonesia. Reflektor 6(1-2): 1825. 16. Trustinah dan A. Kasno. 2002. Pengembangan dan kegunaan kacang komak. hlm. 70-82. Dalam Pengembangan Kacang-kacangan Potensial

Mendukung Ketahanan Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.

Page | 17

Anda mungkin juga menyukai