Anda di halaman 1dari 11

BAB I PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang

Sindroma Stevens Johnson merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan kulit vesiko bulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Bentuk yang berat dapat menyebabkan kematian, oleh karena itu perlu penatalaksanaan yang tepat dan cepat sehingga jiwa pasien dapat ditolong. [1, 6] Sindroma Stevens Johnson merupakan reaksi hipersensitivitas yang diperantarai kompleks imun. Sindroma Stevens Johnson umumnya melibatkan kulit dan membrane mukosa. Sindroma Stevens Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik dianggap sebagai bentuk eritema multiformis yang berat. [2]

1.2. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan referat ini bertujuan untuk memenuhi tugas bagian Departemen Kesehatan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RST.dr. Soepraoen, Malang, serta untuk mendapatkan gambaran dan mengetahui tentang Sindroma Stevens Johnson.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Sejarah Eritema multiformis (EM) merupakan terminology pertama yang digunakan oleh

Von Hebra pada tahun 1866 untuk menjelaskan suatu penyakit, yang digambarkan tersebar secara simetris, pleomorfik, melibatkan lesi kutan, terjadi pertama kali di daerah ekstremitas dan mempunyai kecenderungan untuk berulang. Pada tahun 1992 kedua dokter bernama dr. Steven dan dr. Johnson menjelaskan mengenai dua anak laki- laki dengan gejala demam yang berhubungan dengan lesi kutan yang menyerupai EM. Kedua anak laki- laki tersebut juga menderita stomatitis dan konjungtivitis yang tampak pada pemeriksaan. Penyakit yang didiskripsikan oleh kedua dokter ini, kemudian lebih dikenal dengan nama Sindroma Stevens Johnson, secara umum dianggap bagian dari EM. Pada tahun1950, Thomas menunjukkan bahwa Sindroma Stevens Johnson dapat disebut sebagai EM mayor. Sementara itu perubahan yang lebihkecil yang di diskripsikan oleh Herba disebut EM minor.Sindrom yang lainseperti NET atau Sindroma Lyell yang melibatkan kerusakan epidermis secara menyeluruh pada area yang luas pada permukaan kulit, juga dapat dipertimbangkan masuk dalam kategori EM. Beragam jenis sindroma seperti Sindroma Stevens Johnson dan NET menunjukkan suatu kelanjutan atau kelaian yang secara etio patologis belum bisa dibuktikan. [8] 2.2. Definisi Sindroma Stevens Johnson merupakan sindroma yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat. [2]

2.3.

Sinonim Berbagai sinonim dipakai untuk penyakit ini, diantaranya yaitu eritema

multiformis mayor. Meskipun demikian yang umum digunakan ialah Sindroma Stevens Johnson. [2] 2.4. Epidemiologi Sindroma Stevens Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik didapatkan pada 1 sampai 6 kasus dari 1 juta orang per tahun. Epidermal Necrolysis dapat menyerang segala umur. Pasien yang terinfeksi HIV dan cacar air memiliki resiko lebih tinggi. Kasus kematian Epidermal Necrolysis mencapai 20- 25%, Stevens Johnson Syndrom 5- 12%, dan Toxic Epidermal Necrolysis 30%. [1] 2.5. Etiologi Etiologi yang pasti belum diketahui. Ada anggapan bahwa sindroma ini merupakan eritema multiforme yang berat dan disebut eritema multifome mayor. Salah satu penyebabnya ialah alergi obat biasanya secara sistemik pada beberapa kasus yang datang berobat disangka penyebabnya ialah penisilin dan semi sintetiknya, streptomisin, sulfonamida, tetrasiklin, antipiretik/analgetik (misalnya: derifat salisil/pirazolon, metamizol, metampiron dan parasetamol), klorpromasin, karbamazepin, kinin antipirin, tegretol dan jamu. Selain itu berbagai penyebab dikemukakan oleh beberapa kepustakaan lain misalnya infeksi oleh bakteri, virus, jamur dan parasit atau keadaan lain seperti neoplasma, paska vaksinasi, radiasi dan makanan. [1, 3, 4] Pada banyak kasus, pasien yang diterapi dengan antibiotik (umumnya penicillin atau eritromisin) menimbulkan kesulitan penemuan apakah penyebabnya antibiotic atau infeksi. Faktanya Mycoplasma telah dikultur pada lesi dermal pada pasien dengan Sindroma Stevens Johnson menunjukkan bahwa penyebaran dari organisme dan antigen mikoplasma di lesi, menyerupai kondisi yang dilaporkan pada HSV penginduksi EM. [8]

Obat penginduksi SJS ada beberapa litelatur yang mendokumentasikan hubungan antara SJS dengan sekumpulan obat- obatan. Beberapa di antara literature tersebut terdiri dari laporan kasus, tetapi hanya sedikit kasus yang berkelanjutan. Kelas obat yang tersering dilaporkan menyebabkan SJS adalah sulfonamide, khususnya obat jangka panjang. Sulfonamide penginduksi SJS umumnya tampak dalam 1 sampai 2 minggu setelah penggunaan sulfonamide. Difenildifantoin dan penicillin serta derivatnya dilaporkan juga berpengaruh kuat pada timbulnya SJS. Gejala non spesifik seperti demam, sakit kepala, rinitis, dan mialgia sampai pada lesi mukokutaneus berlangsung selama 1 samapi 3 hari. [ 1, 8] Tidak ada laporan yang mendokumentasikan keberadaan dari suatu obat atau metabolit- metabolitnya pada lesi Sindroma Stevens Johnson. Peningkatan dari metabolit yang terlibat di dalamnya, dalam pengurangan banyak obat mengakibatkan kesulitan dalam memunculkan Sindroma Stevens Johnson. [ 8] 2.6. Patogenesis Penyakit ini diakibatkan oleh reaksi hipersensivitas tipe II (sitolitik) menurut klasifikasi Coomb dan Gel. Gambaran klinis atau gejala reaksi tersebut bergantung kepada sel sasaran(target sel). Sasaran utama Sindroma Stevens Johnsosn dan NET ialah pada kulit berupa destruksi keratinosit. Pada alergi obat akan terjadi aktivasi sel T, termasuk CD4 dan CD8. Interleukim-5 meningkat, jugasitokin-sitokin yang lain. CD4 terutama terdapat di dermis, sedangkan CD8 pada epidermis. Keratinosit epidermal mengekspresi ICAM-1, ICAM-2, dan MHC II.Sel Langerhans tidak ada atau sedikit. TNF di epidermis meningkat. [2] Adanya kelainan metabolisme obat dapat menyebabkan terjadinya Sindroma Steven Johnson patogenesisnya belum jelas,diduga penyebabnya oleh karena reaksi hipersensitivitas tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat tebentuknya kompleks antigen-antibodi yang membentuk mikro-presipitasi sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi netrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersensitisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama, kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang. [1, 8]

2.7.

Gejala Klinis Sindroma ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun ke bawah. Keadaan umumnya

bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorok. Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa : a. Kelainan kulit. b. Kelainan selaput lendir di orifisium.
c. Kelainan mata.[ 4]

a. Kelainan kulit Kelainan kulit terdiri atas eritema, vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.Lesi target dan bula dengan Nikolsky sign positif sering didapatkan. Lesi membesar dan bertambah banyak. [4]

b. Kelainan selaput lendir di orifisium Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%), kemudian disusul dengan kelainan di lubang alat genital (50%), sedangkan di lubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%). Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dapat terbentuk pseudomembran. Dibibir

kelainan yang sering tampak ialah krusta yang berwarna hitam yang tebal. Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas dan esofagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar/tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernapas. [4]

c. Kelainan mata Kelainan mata, merupakan 80 % diantara semua kasus, yang tersering ialah konjugtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa konjugtivitis purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis. Disamping trias kelaianan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya nefritis dan onikolisis.[4]

2.7.

Komplikasi Komplikasi yang paling tersering ialah bronkopneumonia, yang didapati

sejumlah 16% diantara seluruh kasus yang datang berobat. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan/darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimasi. Tetapi komplikasi yang paling berbahaya dan turut meningkatkan angka mortalitas adalah sepsis. [1, 2, 4]

2.8.

Pemeriksaan Laboratorium Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas. Jika terdapat leukositosis,

penyebabnya kemungkinan karena infeksi. Kalau terdapat eosinofilia kemungkinan karena alergi. Jika disangka penyebabnya karena infeksi dapat dilakukan kultur darah. [2] 2.9. Histopatologi Gambaran histopatologiknya sesuai dengan eritema multiforme, bervariasi dari perubahan dermal yang ringan sampai nekrolisis epidermal yang menyeluruh, kelainan berupa : 1. Infiltrat sel mononuklear di sekitar pembuluh-pembuluh darah dermis superfisial. 2. Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar. 3. Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal. 4. Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang di adneksa. 5. Spongiosis dan edema intrasel di epidermis. [2, 3]

2.10.Imunologi Beberapa kasus menunjukkan deposit IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superfisial dan pada pembuluh darah yang mengalami kerusakan. Pada sebagian besar kasus terdapat kompleks imun yang mengandung IgG, IgM, IgA secara tersendiri atau dalam kombinasi. [1] 2.11.Diagnosis Banding Sebagai diagnosis banding ialah Nekrolisis Epidermal Toksik (N.E.T). Penyakit ini sangat mirip dengan sindrom Stevens-Johnson. Pada N.E.T terdapat epidermolisis yang menyeluruh yang tidak terdapat pada sindrom Stevens-Johnson. Perbedaan lain biasanya keadaan umum pada N.E.T lebih buruk. [ 2] 2.12. Pengobatan Obat yang tersangka sebagai kausanya segera dihentikan, termasuk jamu dan aditif. Jika keadaan umum penderita sindrom Stevens-Johnson baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednison 30-40 mg sehari. Kalau keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat dan pasien harus dirawat inap. Penggunaan obat kortikoseroid merupakan tindakan live-saving. Biasanya digunakan deksametason secara intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5mg sehari. Pada umumnya masa krisis dapat diatasi dalam beberapa hari. Agar lebih jelas maka berikut ini akan diberikan contoh seorang penderita Stevens-Johnson yang berat harus segera dirawat-inap dan diberikan deksametason 6 x 5 mg intravena. Biasanya setelah beberapa hari (2-3 hari), masa krisis telah teratasi, keadaan umum membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama tampak mengalami involusi. Dosisnya segera diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg, setelah dosis mencapai 5 mg sehari lalu diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednison, yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Jadi lama pengobatan kira-kira 10 hari.

Pada waktu penurunan dosis kortikosteroid sistemik dapat timbul miliaria kristalina yang yang sering disangka sebagai lesi baru dan dosis kortikosteroid dinaikkan lagi, yang seharusnya tetap diturunkan. [2] Dengan dosis kortikosteroid setinggi itu maka imunitas penderita akan berkurang, karena itu harus diberikan antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi, misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan kematian. Antibiotik yang dipilih hendaknya yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak atau sedikit nefrotoksik.Obat yang memenuhi sayarat tersebut misalnya siprofloksasin 2 x 400 mg i.v dan klindamisisn 2 x 600 mg i.v sehari. Biasanya digunakan gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg. Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid diberikan diet yang miskin garam dan tinggi protein, karena kortikosteroid bersifat katabolik. Setelah 1 minggu diperiksa pula kadar elektrolit dalam darah. Jika terjadi penurunan K, dapat diberikan obat anabolik dan KCL 3 x 500 mg sehari. [2] Hal yang perlu diperhatikan ialah mengatur keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi, terlebih-lebih karena penderita sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan di tenggorokan dan kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya berupa glukosa 5 % dan larutan darrow. [2] Jika dengan terapi di atas belum tampak perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut, terlebih-lebih pada kasus yang disertai purpura yang luas dan leukopenia. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vit C 500 mg atau 1000 mg sehari I.V dan hemostatik. [2] Terapi topikal tidak sepenting terapi sistemik. Untuk lesi di mulut dapat diberikan kenalogin orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat dierikan sofratulle ataukrim sulfadiazin perak. Untuk lesi di mulut dapat diberikan kenalog in orabase dan betadine gargle. Untuk bibir yang biasanya kelainannya berupa krusta tebal kehitaman dapat diberikan omolien misalnya krim urea 10 %. [2]

2.13. Prognosis Kalau kita bertindak cepat dan tepat maka prognosisnya cukup memuaskan. Bila terdapat purpura yang luas dan leukopenia prognosisnya lebih buruk. Pada keadaan umum yang buruk dan terdapat bronkopneumonia penyakit ini dapat mendatangkan kematian. Dalam kepustakaan angka kematian berkisar antara 5-15 %. Sindrom Stevens Johnson (dengan 10%, permukaan tubuh terlibat) memiliki angka kematian sekitar 5 %. [2]

10

BAB III PENUTUP

3.1.

Rangkuman

Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi kulit, kelainan mukosa dan konjungtivitis dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat. Kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/ bula dapat disertai purpura. Beberapa factor pemicu yang dapat dianggap sebagai penyebab Sindroma Stevens Johnson infeksi virus, jamu, bakteri, obat, makanan, dan lain- lain. Sindrom ini terlihat adanya trias kelainan kulit, kelainan selaput lendir, kelainan mukosa, kelainan mata. Adapun diagnosanya berupa gangguan integritas kulit, gangguan nutrisi, gangguan intoleransi aktivitas, gangguan persepsi sensori.

3.2.

Saran Penanganan Stevens Johnson secara cepat dan benar sangat diperlukan dan kita

sebagai tenaga medis diharapkan lebih hati- hati dalam memberikan terapi obat baik secara oral maupun topikal. Selain itu kita harus bias menerapkan pola hidup sehat agar kesehatan kita tetap terjaga.

11

Anda mungkin juga menyukai