Anda di halaman 1dari 3

Bisnis Dengan Sistem MLM

Oleh: Tim dakwatuna.com

Semua bisnis termasuk yang menggunakan sistem MLM dalam literatur syariah Islam pada dasarnya
termasuk kategori muamalah yang dibahas dalam bab Al-Muyu’ (Jual-beli). Hukum asalnya boleh.
Berdasarkan kaidah fiqih (al-ashu fil asy-ya’ al-ibahah; hukum asal segala sesuatu -termasuk muamalah-
adalah boleh) selama bisnis tersebut bebas dari unsur-unsur haram seperti riba (sistem bunga), gharar
(tipuan), dharar (bahaya) dan jahalah (ketidakjelasan), zhulm (merugikan hak orang lain). Selain itu,
barang atau jasa yang dibisniskan adalah halal. (Al-Baqarah: 29, Al-A’raf: 32, Al-An’am: 145, 151, lihat:
Al-Burnu, Al-Wajiz fi Idhah Qawa’id Al-Fiqh, hal. 191, 197, Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul, hal. 286, As-
Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzair, hal.60)Allah swt. berfirman, “Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275), “Tolong menolonglah atas kebaikan dan takwa dan jangan
tolong menolong atas dosa dan permusuhan.” (Al-Maidah: 2) Sabda Rasulullah saw, “Perdagangan itu
atas dasar sama-sama ridha.” (H.R. Al-Baihaqi dan Ibnu Majah), “Umat Islam terikat dengan persyaratan
yang mereka buka.”(H.R. Ahmad, Abu Daud, Hakim)

Persoalan bisnis MLM yang ditanyakan hukum halal-haram maupun status syubhatnya tidak bisa dipukul
rata. Tidak dapat ditentukan oleh masuk tidaknya perusahaan itu dalam keanggotaan APLI (Asosiasi
Penjual Langsung Indonesia), juga tidak dapat dimonopoli oleh pengakuan sepihak sebagai perusahaan
MLM Syariah atau bukan. Melainkan, tergantung sejauh mana prakteknya setelah dikaji dan dinilai sesuai
syariah. Menurut catatan APLI, saat ini terdapat sekitar 200-an perusahaan yang menggunakan sistem
MLM dan masing-masing memiliki karakteristik, spesifikasi, pola, sistem dan model tersendiri. Sehingga,
untuk menilai satu per satu perusahaan MLM sangat sulit sekali.

Sejak masuk ke Indonesia pada sekitar tahun 80-an, jaringan bisnis Penjualan Langsung (Direct Selling)
MLM terus marak dan subur menjamur. Model bisnis ini pun kian berkembang setelah adanya badai
krisis moneter dan ekonomi. Pemain yang terjun di dunia MLM memanfaatkan momentum dan situasi
krisis untuk menawarkan solusi bisnis bagi pemain asing maupun lokal. Yang sering disebut masyarakat
misalnya CNI, Amway, Avon, Tupperware, Sun Chlorella, DXN dan Propolis Gold serta yang berlabel
syariah atau Islam. Meskipun sampai saat ini, Dewan Syariah Nasional – MUI baru menyiapkan sistem,
mekanisme dan kriteria untuk penerbitan sertifikasi bisnis syariah termasuk MLM, yaitu seperti Ahad
Net, Kamyabi-Net, Persada Network dan lain-lain.

Praktek bisnis MLM banyak diminati kalangan di antaranya karena jumlah penduduk Indonesia yang
sangat besar mencapai 200 juta jiwa. Bayangkan, kalau rata-rata minimal belanja per bulan Rp 10 ribu per
jiwa, akan terjadi transaksi dan perputaran uang sejumlah Rp.2 trilyun per bulan.

Bisnis MLM ini dalam kajian fikih kontemporer dapat ditinjau dari dua aspek: produk barang atau jasa
yang dijual dan cara atau sistem penjualannya (selling/ marketing). Mengenai produk barang yang dijual,
apakah halal atau haram tergantung kandungannya. Apakah terdapat sesuatu yang diharamkan Allah
menurut kesepakatan (ijma’) ulama atau tidak, begitu pula jasa yang dijual. Unsur babi, khamr, bangkai,
darah, perzinaan, kemaksiatan, perjudian, contohnya. Lebih mudahnya sebagian produk barang dapat
dirujuk pada sertifikasi halal dari LP-POM MUI, meskipun produk yang belum disertifikasi halal juga
belum tentu haram tergantung pada kandungannya.

Perusahaan yang menjalankan bisnisnya dengan sistem MLM tidak hanya sekedar menjalankan penjualan
produk barang. Melainkan juga, produk jasa. Yaitu, jasa marketing yang berlevel-level (bertingkat-
tingkat) dengan imbalan berupa marketing fee, bonus dan sebagainya tergantung level, prestasi penjualan
dan status keanggotaan distributor. Jasa perantara penjualan ini (makelar) dalam terminologi fikih disebut
“Samsarah/simsar”. Maksudnya, perantara perdagangan (orang yang menjualkan barang atau mencarikan
pembeli) atau perantara antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual beli. (Sayyid Sabiq, Fiqh As-
Sunnah, vol. III/159)
Kemunculan trend MLM memang sangat menguntungkan pengusaha. Terutama, pada penghematan biaya
(minimizing cots) iklan, promosi dan lainnya. Di samping menguntungkan para distributor sebagai simsar
(makelar/broker/mitrakerja/agen/distributor) yang ingin bekerja secara mandiri dan bebas.

Pekerjaan samsarah/simsar berupa makelar, distributor, agen dan sebagainya, dalam fikih Islam termasuk
akad ijarah. Yaitu, transaksi memanfaatkan jasa orang dengan imbalan. Pada dasarnya, para ulama seperti
Ibnu ‘Abbas, Imam Bukhari, Ibnu Sirin, ‘Atha, Ibrahim, memandang boleh jasa ini. (Fiqh As-Sunnah,
III/159). Namun, untuk sahnya pekerjaan makelar ini harus memenuhi beberapa syarat di samping
persyaratan di atas. Syarat-syarat tersebut antara lain: 1. Perjanjian jelas kedua belah pihak (QS. An-Nisa:
29) 2. Obyek akad bisa diketahui manfaatnya secara nyata dan dapat diserahkan. 3. Obyek akad bukan
hal-hal yang maksiat atau haram.

Distributor dan perusahaan harus jujur, ikhlas, transparan, tidak menipu dan tidak menjalankan bisnis
yang haram dan syubhat (yang tidak jelas halal/haramnya). Distributor dalam hal ini berhak menerima
imbalan setelah berhasil memenuhi akadnya. Sedangkan pihak perusahaan yang menggunakan jasa
marketing harus segera memberikan imbalan para distributor dan tidak boleh menghanguskan atau
menghilangkannya (QS. Al-A’raf: 85). Ini sesuai dengan hadits Nabi: “Berilah para pekerja itu upahnya
sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibnu Majah, Abu Ya’la dan Tabrani). Tiga orang yang menjadi musuh
Rasulullah di hari kiamat di antaranya, “Seseorang yang memakai jasa orang, kemudian menunaikan
tugas pekerjaannya tetapi orang itu tidak menepati pembayaran upahnya.” (HR. Bukhari)

Jumlah upah atau imbalan jasa yang harus diberikan kepada makelar atau distributor adalah menurut
perjanjian, sesuai dengan firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad (perjanjian-
perjanjian) itu.” (QS. Al-Maidah:1) dan juga hadits Nabi: “Orang-orang Islam itu terikat dengan
perjanjian-perjanjian mereka.” (HR.Ahmad, Abu Dawud, Hakim dari Abu Hurairah). Bila terdapat unsur
dzulm (kezaliman) dalam pemenuhan hak dan kewajiban, seperti seseorang yang belum mendapatkan
target dalam batas waktu tertentu maka ia tidak mendapat imbalan yang sesuai dengan kerja yang telah ia
lakukan, maka bisnis MLM tersebut tidak benar.

Dalam menjalankan bisnis dengan sistem MLM, perlu mewaspadai dampak negatif psikologis yang
mungkin timbul sehingga membahayakan keperibadian. Ini seperti dilansir Dewan Syari’ah Partai
Keadilan melalui fatwa No.02/K/DS-PK/VI/11419, di antaranya: obsesi yang berlebihan untuk mencapai
target penjualan tertentu karena terpacu oleh sistem ini, suasana tidak kondusif yang kadang mengarah
pada pola hidup hedonis ketika mengadakan acara rapat dan pertemuan bisnis, banyak yang keluar dari
tugas dan pekerjaan tetapnya karena terobsesi akan mendapat harta yang banyak dengan waktu singkat,
sistem ini akan memperlakukan seseorang (mitranya) berdasarkan target-target penjualan kuantitatif
material yang mereka capai yang pada akhirnya dapat mengkondisikan seseorang berjiwa materialis dan
melupakan tujuan asasinya untuk dekat kepada Allah di dunia dan akhirat. (QS. Al-Qashash: 77 dan Al-
Muthaffifin: 26)

The Islamic Food and Nutrition of America (IFANCA) telah mengeluarkan edaran tentang produk MLM
halal dan dibenarkan oleh agama yang diteken langsung oleh M. Munir Chaudry, Ph.D, selaku Presiden
IFANCA. Dalam edarannya, IFANCA mengingatkan umat Islam untuk meneliti dahulu kehalalan suatu
bisnis MLM sebelum bergabung ataupun menggunakannya. Yaitu, dengan mengkaji aspek:

1. Marketing Plan-nya, apakah ada unsur skema piramida atau tidak. Kalau ada unsur piramida yaitu
distributor yang lebih duluan masuk selalu diuntungkan dengan mengurangi hak distributor
belakangan sehingga merugikan down line di bawahnya, maka hukumnya haram.
2. Apakah perusahaan MLM, memiliki track record positif dan baik. Ataukah tiba-tiba muncul dan
misterius, apalagi yang banyak kontroversinya.
3. Apakah produknya mengandung zat-zat haram ataukah tidak, dan apakah produknya memiliki
jaminan untuk dikembalikan atau tidak.
4. Apabila perusahaan lebih menekankan aspek targeting penghimpunan dana dan menganggap
bahwa produk tidak penting atau hanya sebagai kedok, apalagi uang pendaftarannya cukup besar
nilainya, maka patut dicurigai sebagai arisan berantai (money game) yang menyerupai judi.
5. Apakah perusahaan MLM menjanjikan kaya mendadak tanpa bekerja ataukah tidak demikian.

Selain kriteria penilaian di atas perlu diperhatikan pula hal-hal berikut:

1. Transparansi penjualan dan pembagian bonus serta komisi penjualan, disamping pembukuan yang
menyangkut perpajakan dan perkembangan networking atau jaringan dan level, melalui laporan
otomatis secara periodik.
2. Penegasan motif dan tujuan bisnis MLM sebagai sarana penjualan langsung produk barang
ataupun jasa yang bermanfaat, dan bukan permainan uang.
3. Meyakinkan kehalalan produk yang menjadi objek transaksi riil (underlying transaction) dan tidak
mendorong kepada kehidupan boros, hedonis, dan membahayakan eksistensi produk muslim
maupun lokal.
4. Tidak adanya excesive mark up (ghubn fakhisy) atas harga produk yang dijualbelikan di atas
covering biaya promosi dan marketing konvensional.
5. Harga barang dan bonus (komisi) penjualan diketahui secara jelas sejak awal dan dipastikan
kebenarannya saat transaksi.
6. Tidak adanya eksploitasi pada jenjang manapun antar distributor ataupun antara produsen dan
distributor, terutama dalam pembagian bonus yang merupakan cerminan hasil usaha masing-
masing anggota.

Mengenai beberapa bisnis yang memakai sistem MLM atau hanya berkedok MLM yang masih
meragukan (syubhat) ataupun yang sudah jelas ketahuan tidak sehatnya bisnis tersebut baik dari segi
kehalalan produknya, sistem marketing fee, legalitas formal, pertanggung jawaban, tidak terbebasnya dari
unsur-unsur haram seperti; riba (permainan bunga ataupun penggandaan uang), dzulm dan ghoror
(merugikan nasabah dengan money game), maysir (perjudian), seperti kasus New Era 21, BMA, Solusi
Centre, PT BUS (Republika, 25/7/1999, Adil, No.42 21-27 Juli 1999) sebaiknya ditinggalkan mengingat
pesan Rasulullah saw: “Janganlah kalian membuat bahaya pada diri sendiri dan orang lain.” (HR. Ibnu
Majah dan Daruquthni), “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas dan di antara
keduanya ada hal-hal yang syubhat di mana sebagian besar manusia tidak tahu. Barangsiapa menjaga dari
syubhat maka telah menjaga agama dan kehormatannya dan barangsiapa yang jatuh pada syubhat berarti
telah jatuh pada yang haram.” (H.R. Bukhari dan Muslim). Dan sebagaimana pesan Ali bin Abi Thalib ra,
“Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan untuk melakukan pada sesuatu yang tidak meragukan.” (H.R.
Tirmidzi dan Nasai)

Dengan demikian, seluruh masyarakat, khususnya stakeholders, para praktisi bisnis ini, para prospek dan
pemerhati yang telah menyimak presentasi sistem MLM perlu secara objektif, mandiri dan proaktif
mempelajari batasan-batasan umum syariah sebagai panduan dan dasar penilaian kesesuaian ataupun
pelanggaran syariah demi memastikan kehalalan masing-masing perusahaan MLM sebagaimana
dijelaskan di atas.

Anda mungkin juga menyukai