Jakarta, 31 Juli 2008 Banyaknya stasiun televisi swasta di Indonesia menambah semaraknya dunia hiburan dalam keseharian. Namun demikian, tidak bisa dipungkiri kecemasan yang tumbuh baik langsung atau tidak terhadap dampaknya, terutama bagi anak-anak usia sekolah, maupun balita. Tayangan Kekerasan
Sejak media televisi mendominasi, secara dramatis, media lain terkena dampaknya. Ada kecenderungan meningkatnya jumlah waktu yang digunakan orang untuk menonton televisi. Tampilnya kekerasan di televisi telah lama menjadi perdebatan. Sekitar 80% dari program drama televisi berisi satu atau lebih episode kekerasan, sementara dalam beberapa musim, 100%program anak-anak dan kartun berisi episode kekerasan (Gerbner et al dalam Oskamp & Schultz,1998). Tayangan Seksualitas
Dalam suatu studi analisa kontent, ditunjukkan bahwa seksualitas dalam tayangan televisi meningkat sejak tahun 1975, khususnya setelah pukul 9 (sembilan) malam. Walaupun adegan hubungan seksual secara eksplisit jarang ada namun perilaku menggairahkan telah meningkat dalam 25 (dua puluh lima) tahun terakhir, dan hal ini terus mengalami peningkatan (Brown, et al dalam Oskamp & Schultz,1998). Tayangan Komersial
Anak-anak yang selama ini menjadi penonton berat televisi mengajukan permintaan dua kali lipat dari anak-anak yang bukan penonton berat, untuk membeli produk yang diiklankan pada orangtua mereka (Oskamp & Schultz,1998). Sebagai orangtua, apa yang bisa kita lakukan?
Tak
Sadar
Menonton
Kebanyakan kegiatan menonton TV cenderung tidak terencana dan bersifat tak sadar. Tiap kali mempunyai waktu luang, kita lansung merebahkan diri di sofa dan menekan tombol TV. Dalam banyak keluarga, TV dinyalakan begitu salah satu anggota bangun tidur atau memasuki rumah, tak peduli ada yang menonton atau tidak. Televisi jadi nyaris seperti radio,
peralatan yang memainkan video musik sementara para anggota keluarga keluar masuk ruangan, hilir mudik dari dan ke lemari es, dan mengobrol di televisi. Televisi hidup dari hari ke hari tanpa disadari (Chen,1996). Dalam studi penulis, ternyata ditemukan dua kecenderungan dalam menonton televisi pada remaja, yakni secara sadar dan tidak sadar. Penelitian yang melibatkan subyek dari usia 13-20 tahun ini mengungkapkan televisi sebagai media hiburan yang mereka nikmati tanpa melakukan aktivitas lain, sementara yang lain menikmati 'sambil lalu' atau seperti yang dikemukakan Chen yakni tanpa disadari. Selain itu, adanya acara televisi favorit membuat mereka harus menjadwal ulang kegiatan pada hari acara tersebut ditayangkan, sementara aspek kognisi, afeksi dan konasi juga terlibat pada saat menyaksikan acara televisi (Pitaloka, 2001). Perilaku pada remaja tersebut sedikit banyak merupakan refleksi perjalanan 'kebiasaan' mereka berperilaku terhadap pesawat televisi sejak dini. Untuk mencegah terbentuknya perilaku menonton televisi tak sadar hingga sang anak beranjak dewasa dan harus memutuskan banyak hal dalam kehidupan, salah satu sisi kehidupan yang nampaknya sepele; 'menonton televisi', seharusnya menjadi potensi yang dapat dikembangkan secara positif sejak dini.
Jadikan
pilihan,
bukan
kebiasaan
Membuang pesawat televisi atau sama sekali melarang mereka menonton nampaknya bukan jalan yang indah serta damai, selain akan menimbulkan konflik dengan buah hati, sisi positif televisi juga akan tersia-sia. Pemanfaatan televisi secara pintar menuntut agar kita mengendalikan pesawatnya, sebagaimana kita mengendalikan jam tidur anak-anak, mainan yang mereka geluti, dan makanan yang mereka makan. Apa yang bisa Anda lakukan bila keluarga Anda menggunakan televisi tanpa tujuan jelas, hanya terdorong oleh kebiasaan, atau secara tak sadar? Ini bisa diakali dengan menjadikan acara menonton televisi sebagai kegiatan sadar. Jadikan kegiatan menghidupkan televisi sebagai sesuatu yang merupakan pilihan anak-anak, bukan satu-satunya pilihan ketika mereka tidak mempunyai kesibukan lain (Chen,1996).
Chen mengusulkan beberapa langkah untuk mengubah kebiasaan tersebut dengan; 1. Ubahlah pola mereka. Bila anak Anda ingin menonton TV, suruhlah mereka meminta Anda terlebih dahulu, usahakan agar mereka menanyakan terlebih dahulu apakah mereka boleh menonton televisi? 2. Jawablah dengan pertanyaan. Jangan hanya menjawab dengan 'ya' atau 'tidak'. Tanyai anak-anak Anda, "Apa yang ingin kalian lihat? Acara apa yang ditayangkan?" Tanyakan apakah ada kegiatan lain yang mereka inginkan, misalnya membaca atau bermain diluar. 3. Ajukan beberapa pertanyaan pada diri Anda sendiri. Adakah kegiatan lain yang lebih pantas dilakukan daripada menonton televisi? Bisakah saya memberikan motivasi kepada mereka agar tidak menyalakan peawat televisi dan melibatkan mereka dalam kegiatan lain yang lebih berharga? 4. Dorong mereka agar memulai kegiatan lain. Luangkan waktu, kesampingkan apa yang sedang Anda kerjakan, dan libatkan diri Anda. Tungguilah mereka ketika mengawali kegiatan lain: memilih buku bersama-sama, menyiapkan bahan-bahan masakan untuk makan nanti dan sebagainya (Chen,1996) Dengan pertanyaan dan saran-saran ini, Anda bisa menanamkan gagasan di benak anak-anak bahwa "Kita tidak menonton televisi, tetapi kita memilih acara." Menonton televisi sebaiknya dijadikan masalah memilih acara bukannya masalah mengambil posisi di sepan pesawat televisi tanpa pertimbangan sama sekali. Setiap pemirsaan harus dibatasi waktunya; kesepakatan menonton jangan dijadikan alasan untuk duduk di depan pesawat TV selama berjam-jam. Usahakan agar anak-anak Anda benar-benar paham bahwa mereka harus mematikan pesawat setelah satu dua acara (Chen,1996).
Agar
Diet
Sukses
Berdasarkan gagasan Chen, dapat ditarik beberapa hal yang menjadi faktor untuk mendukung suksesnya 'diet televisi', selain itu penulis juga ingin menambahkan beberapa hal, diantaranya;
1. Orangtua adalah model bagi anak. Bagaimanapun bijaknya Anda mengemukakan alasan tentang perlunya pemilihan acara TV, tidaklah berguna jika mereka melihat perilaku Anda (ayah-ibunya) masih pada kebiasaan lama, hendaknya program ini dilakukan seluruh anggota keluarga. 2. Komunikasi. Suatu proses pertukaran informasi dan penyebaran makna (Hall,1991). Perlunya komunikasi dua arah dalam suasana hangat, terbuka dan bersahabat nampaknya memang menjadi syarat sebelum, pada saat serta setelah menjalankan program diet ini. Anda sebagai orangtua dapat lebih memahami mengapa sang anak ingin menonton satu acara, apa gunanya dan sebagainya. 3. Tabloid televisi. Akhir-akhir ini sudah cukup banyak media yang menyajikan tidak hanya daftar acara tiap televisi namun ditambah dengan ringkasan isi acara. Manfaatkanlah, setidaknya Anda jadi lebih bisa memilihkan yang terbaik bagi anakanak Anda, tayangan yang memang bermanfaat. Intinya, carilah informasi sebanyakbanyak tentang program televisi yang ditayangkan. 4. Jodohkan TV dan BUKU. Siapa bilang televisi musuh buku, jika jeli, Anda bisa memanfaatkan media TV untuk memancing anak lebih tertarik membaca. Keterbatasan televisi adalah pada kurang banyaknya muatan yang bisa didapatkan di buku. Misalnya film Doraemon, pancing sang anak tentang negara Jepang atau budayanya seperti peristiwa Tanabata, ajak anak untuk mencari buku yang membahas Jepang lebih luas. Dengan begini Anda tetap bisa menanamkan 'cinta membaca' pada anak-anak. Pada akhirnya semua memang kembali pada masing-masing pihak, namun kita harus ingat bahwa anak bukanlah orang dewasa mini. Mereka mempunyai persepsi sendiri, daya imajinasi sendiri, namun mereka juga masih belajar mengenal norma dan hal-hal baru di dunia ini. Siapa lagi kalau bukan para orangtua yang memilihkan 'makanan bergizi' bagi jiwa dan alam pikirnya. Televisi bukan makhluk yang penuh dosa, ia HANYA media yang seharusnya bisa dikendalikan oleh manusia (penciptanya), bukan sebaliknya. Bukankah setiap kemajuan diperuntukkan demi kebaikan manusia, jadi, temukan kebaikan itu, mulai sekarang.
Sumber:
Chen, 1996
Menonton TV; Gramedia Pustaka Utama; Jakarta; 1996 Oskamp, 1997 Stuart & Schultz, Wesley P.
Peran Keluarga Dalam Pembentukan Harga Diri Oleh : Raymond Tambunan, Psi.
Jakarta, 21 September 2001 Salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan harga diri adalah hubungannya dengan orang lain, terutama significant others seperti orang tua, saudara kandung dan teman-teman dekat. Di antara struktur sosial yang ada, keluarga merupakan hal yang paling penting, karena keluarga merupakan lingkungan yang paling dekat, baik secara fisik maupun dukungan sosial. Keluarga merupakan lingkungan yang pertama ditemui oleh individu dan menjadi tempat yang penting dalam perkembangan hidup seorang manusia.
Keluarga menjadi struktur sosial yang penting karena interaksi antar anggota keluarga terjadi di sini. Perilaku seseorang di dalam keluarga dapat mempengaruhi perilaku anggota keluarga yang lainnya. Di dalam keluarga seseorang dapat merasakan dirinya dicintai, diinginkan, diterima dan dihargai, yang pada akhirnya membantu dirinya untuk lebih dapat menghargai dirinya sendiri. Situasi keluarga yang tidak bahagia kurang dapat menghasilkan pribadi yang
memiliki harga diri yang positif. Kebahagiaan suatu keluarga sangat dipengaruhi oleh adanya hubungan antar anggota keluarga yang harmonis, baik hubungan antara orang tua dan anak maupun hubungan antara anak dengan saudaranya.
Masalah yang sering terjadi pada remaja di dalam hubungannya dengan keluarga adalah kebutuhan remaja yang tidak dipahami oleh anggota keluarga yang lain, yaitu pentingnya kehadiran teman-teman. Pada masa ini ketergantungan anak dengan keluarga mulai berkurang, dan seorang remaja akan lebih sering untuk menghabiskan waktunya dengan teman-temannya. Pada masa remaja, teman-teman (peer) menjadi figur contoh yang penting dan merupakan hal yang menjadi penekanan sosial bagi remaja, lebih dari orang tua.
Pengaruh Keluarga Dalam Perkawinan Oleh Jakarta, 06 Juli 2002 Sebelum menikah, saya sudah pacaran cukup lama lho dengan suami/istri saya...Tapi kenapa, ya, kok setelah menikah sepertinya sikapnya berubah dan tuntutannya pun sulit dipahami. Sepertinya, apapun yang saya kerjakan selalu salah dan tidak sesuai dengan keinginannya. Saya bingung...bagaimana sih "standard" atau kriteria yang benar buat dia ? : Jacinta F. Rini
Pertanyaan tersebut sering muncul dalam sebuah kehidupan perkawinan, tidak memandang usia perkawinan itu baru atau pun lama. Kenapa hal itu bisa terjadi sedangkan masa pacaran seakan dilewati tanpa masalah yang berarti?
Persatuan
Dua
Pribadi
Menikah dapat diartikan secara sederhana sebagai persatuan dua pribadi yang berbeda. Konsekuensinya, akan banyak terdapat perbedaan yang muncul. Mengapa saat pacaran hal itu tidak menjadi soal? Proses pacaran pada intinya adalah mekanisme untuk mempelajari dan menganalisis kepribadian pasangan serta belajar saling menyesuaikan diri dengan perbedaan tersebut. Dalam pacaran, akan dilihat, apakah perbedaan tersebut masih dapat ditolerir atau tidak. Namun masalahnya, selama masa pacaran orang sering mengabaikan realita sehingga kurang peka terhadap permasalahan atau perbedaan yang ada "bahkan seringkali mereka
memasang harapan bahwa semua itu "akan berubah" setelah menikah. Yang sering terjadi, banyak pasangan yang kecewa karena harapan mereka tidak terwujud dan tidak ada perubahan yang terjadi, bahkan setelah bertahun-tahun menikah.
Satu hal yang sering kurang disadari oleh orang yang menikah adalah bahwa bersatunya dua pribadi bukanlah persoalan yang sederhana. Setiap orang mempunyai sejarahnya sendirisendiri dan punya latar belakang yang seringkali sangat jauh berbeda, entah itu latar belakang keluarga, lingkungan tempat tinggal atau pun pengalaman pribadinya selama ini.
Pengaruh
Keluarga
Asal
Para ahli mengatakan bahwa pola asuh orang tua atau pun kualitas hubungan yang terjalin antara orang tua dengan anak, merupakan faktor penting yang kelak mempengaruhi kualitas perkawinan seseorang, menentukan pemilihan pasangan, mempengaruhi pola
interaksi/komunikasi antara suami-istri dan dengan anak, mempengaruhi persepsi dan sikap terhadap pasangan, dan mempengaruhi persepsi orang tersebut terhadap perannya sendiri. Intinya, hubungan orang tua-anak ikut mempengaruhi seseorang dalam mengarungi kehidupan perkawinan di masa mendatang.
1.
Hubungan
orang
tua-anak
Menurut penelitian Henker (1983), segala sesuatu yang terjadi dalam hubungan antara orang tua-anak (termasuk emosi, reaksi dan sikap orang tua) akan membekas dan tertanam secara tidak sadar dalam diri seseorang. Selanjutnya, apa yang sudah tertanam akan termanifestasi kelak dalam hubungan dengan keluarganya sendiri. Jika hubungan dengan orang tuanya dulu memuaskan dan membahagiakan, maka kesan emosi yang positif akan tertanam dalam memori dan terbawa pada kehidupan perkawinannya sendiri. Orang demikian, biasanya tidak mengalami masalah yang berarti dalam kehidupan perkawinannya sendiri. Sebaliknya, dari pengalaman emosional yang kurang menyenangkan bersama orang tua, akan terekam dalam memori dan menimbulkan stress (yang berkepanjangan, baik ringan maupun berat). Berarti, ada the unfinished business dari masa lalu yang terbawa hingga kehidupan berikutnya, termasuk kehidupan perkawinan. Segala emosi negatif dari masa lalu, terbawa dan mempengaruhi emosi, persepsi/pola pikir dan sikap orang tersebut di masa kini, baik terhadap diri sendiri, terhadap pasangan dan terhadap makna perkawinan itu sendiri.
2.
Sikap
penolakan
orang
tua
Kurangnya perhatian orang tua yang konsisten, stabil dan tulus, seringkali menjadi penyebab kurang terpenuhinya kebutuhan anak akan kasih sayang, rasa aman, dan perhatian. Anak harus bersusah payah dan berusaha mendapatkan perhatian dan penerimaan orang tua "namun seringkali orang tua tetap tidak memberikan respon seperti yang diharapkan. Sikap penolakan yang dialami seorang anak pada masa kecilnya, akan menimbulkan perasaan rendah diri, rasa diabaikan, rasa disingkirkan dan rasa tidak berharga. Perasaan itu akan terus terbawa hingga dewasa, sehingga mempengaruhi motivasi dan sikapnya dalam menjalin relasi dengan orang lain. Pada saat menikah, bisa jadi seorang istri menikahi suaminya karena merindukan figur ayah yang melindungi dan mencurahkan perhatian dan kasih sayang "seperti yang tidak pernah didapatnya dahulu. Atau, bisa jadi seorang pria mencari wanita yang dapat menjadi substitusi dari ibunya dahulu, yang sangat ia dambakan cinta dan perhatiannya. Masalahnya, anak yang tumbuh dengan kondisi deprivasi emosional (kurang terpenuhinya kebutuhan emosional), di masa dewasanya, cenderung mentransferkan kebutuhan akan perhatian, cinta, penghargaan, penerimaan dan rasa aman kepada pasangannya. Mereka menuntut pasangannya untuk men-supply kebutuhan emosional mereka yang tidak terpenuhi waktu kecil. Biasanya, orang demikian menjadi sangat demanding, terlalu tergantung pada pasangannya, tidak mandiri, cari perhatian dan sangat manja.
3.
Identifikasi
figur
orang
tua
Seringkali tanpa sadar seseorang mencari pasangan yang seperti ibunya atau ayahnya. Mereka mengharapkan agar pasangannya memperlakukan dia seperti perlakuan ayah dan ibu terhadapnya. Harapan tersebut pada dasarnya tidaklah realistis dan sering mendatangkan persoalan yang besar. Ucapan "saya bukanlah ayahmu/ibumu, jadi berhentilah berharap saya akan menjadi seperti dia". Pernyataan ini merupakan cermin adanya tuntutan dan keinginan seseorang untuk menjadikan pasangannya seperti ayah/ibunya.
4.
Ketergantungan
yang
berlebihan
terhadap
orang
tua
Kelekatan yang berlebihan dan tidak sehat terhadap salah satu orang tua (biasanya terhadap
orang tua lawan jenis) di masa kanak-kanak, jika tidak berubah/mengalami perkembangan "dan jika setelah menikah masih tetap lengket dengan orang tuanya "maka hal ini akan menimbulkan persoalan besar dengan pasangan. Pasangan akan merasa diabaikan dan disingkirkan, sehingga timbul perasaan marah, kesal, iri, cemburu serta emosi negatif lainnya. Ketergantungan tersebut sering membuat pasangan jengkel karena hal-hal kecil sekali pun ditanyakan kepada orang tua dan tergantung pada respon atau pilihan orang tua. Tentu saja pasangan merasa tidak dihargai karena selalu berada di bawah bayang-bayang mertuanya. Pasangan merasa posisinya hanya sebagai pelengkap yang tidak signifikan dalam menentukan arah kehidupan keluarga. Pada beberapa kasus, ketergantungan tersebut bersifat dua arah. Artinya, anak menjadi sumber sense of self dari orang tua (karena keberadaan anak membuat dirinya merasa berguna, dibutuhkan, berarti), sehingga orang tua ingin terus berperan sebagai orang tua yang menentukan kehidupan sang anak meskipun sang anak telah dewasa dan berkeluarga. Bisa jadi, orang tua itu pun sejak anaknya masih kecil, menanamkan pengertian dan sikap-sikap yang menstimulasi ketergantungan anak terhadap orang tua. Salah satunya, orang tua yang over-protective dan terlalu dominan, malah menimbulkan rasa kurang percaya diri dan kemandirian pada anak. Anak akan memandang bahwa dirinya tidak dapat berbuat apa-apa tanpa orang tua, dan anak bukan siapa-siapa tanpa orang tuanya.
Kenali
Diri
Sendiri
Melihat hal-hal di atas, maka amatlah disarankan bagi mereka yang akan menikah, untuk benar-benar mempelajari dinamika yang terjadi pada diri sendiri, kepribadian diri, sifat, karakter, kecenderungan positif maupun negatif, motivasi dalam mencari suami/istri, prioritas dan kebutuhan dalam hidup. Pelajarilah hubungan antara diri sendiri dengan orang tua, dan temukan "manakah dari hubungan dengan orang tua yang tidak ingin diulangi/terulang dalam kehidupan perkawinan di masa mendatang. Pelajari kesalahan-kesalahan atau kekeliruan yang tanpa sadar dilakukan orang tua di masa yang lalu, baik dalam memelihara kehidupan perkawinan, maupun dalam mengasuh dan membesarkan anak. Seringkali orang baru menyadari setelah bertahun-tahun, bahwa ternyata kehidupan perkawinannya hampir sama dengan kehidupan perkawinan orang tuanya. Dan, pasangan yang dipilih, mempunyai kesamaan karakteristik dengan salah satu figur orang tuanya. Jika hal ini berakibat positif
"tentunya tidak menjadi masalah. Namun, yang lebih sering terjadi justru yang sebaliknya. Oleh sebab itu, orang merasa hidup dalam "kesusahan dan penderitaan" yang tiada akhir; padahal, semua itu dimulai oleh dirinya serta berdasarkan pilihan dan tindakan dirinya sendiri. Bagi Anda yang akan maupun sudah menikah: mempelajari dan meneliti diri sendiri, memang lebih sulit dari meneliti orang lain. Namun, jika sudah mampu melihat kenyataan diri, maka orang akan lebih mampu bersikap bijaksana terhadap orang lain, termasuk pada pasangan. Ia akan melihat, mengapa dan bagaimana keadaan internal dalam dirinya bisa berpengaruh terhadap pasangan dan terhadap hubungan antara keduanya. Jadi, jika terjadi masalah, tidak langsung menyalahkan pasangan, melainkan introspeksi ke dalam dulu. Jika seseorang merasa pasangannya kurang memperhatikan, cobalah telaah, apakah keadaan itu riil atau kah cermin dari adanya kebutuhan dan kehausan akan perhatian? Apakah ada bentuk ketergantungan yang bersifat kekanak-kanakan, yang diharapkan dapat dipenuh oleh pasangan? Apakah tuntutan yang ada realistis, atau karena merasa ketakutan dan tidak aman terhadap hubungan itu sendiri (takut pasangan tidak setia, takut ditinggalkan, takut diabaikan, takut tidak diperhatikan). Melalui mekanisme tersebut, maka sebuah perkawinan dapat bertumbuh dengan lebih sehat "karena kedua belah pihak, mau melepaskan diri dari masa lalu dan belajar dari kesalahan untuk membangun kehidupan dan keluarga yang mandiri di masa sekarang ini. Sebagai penutup, ada satu hal yang tidak kalah pentingnya, seperti yang dikatakan oleh Rice, penulis buku "Intimate Relationship, Marriages and Families" (1990):
After marriage, the primary loyalty of a husband and wife should be to one another, rather than to parents, or else the primary relationship is weakened by conflicting loyalties and by the interference of parents
Pendidikan anak dewasa ini semakin menjadi perhatian utama dan prioritas para orang tua. Ada beberapa penyebab: Kesadaran akan pentingnya "bersekolah" dan kesadaran akan arti "sekolah", namun tidak jarang ada pula penyebab lain, yakni ingin menyerahkan beban pendidikan / tugas pendidikan ke sekolah (dan para pendidik) - entah karena memahami adanya "value added" di sekolah, atau karena frustrasi, sulit mengarahkan anaknya sendiri di rumah (jadi biar tidak pusing-pusing, anaknya di sekolahkan saja)... Apapun alasan kita para orang tua dalam menyekolahkan anak, seyogyanya kita memahami prinsip bahwa :
Keluarga adalah tempat pertama dan utama pendidikan seorang anak Keluarga = sekolah plus
Selama ini, kita mencari sekolah plus, untuk bisa mengatasi "kekurangan" yang ada di rumah atau di dalam pola asuh kita terhadap anak. Namun, kita sering lupa, setelah kita memasukkan anak ke sekolah "plus", kita tidak mempelajari dan mengambil "nilai plus"-nya untuk diterapkan di rumah. Akibatnya, di rumah tetap minus dan "plus"-nya tertinggal di sekolah.
Konsekuensi
Ketika musim sekolah telah berjalan, timbul beberapa kesulitan dan masalah - yang tanpa sadar merupakan dampak dari tertinggalnya nilai "plus" di sekolah. 1. Problem belajar 2. Problem motivasi 3. Problem perilaku 4. Problem emosional 5. Problem sosial 6. Problem nilai
1.
Problem Belajar Belajar di sekolah Pola belajar Belajar di rumah sistematik "bubar" di sekolah, ketika di
kongkrit, terhadap
anak
(tidak
tahan
sequencial dan sesuai dengan terhadap rengekan dan tantrum kemampuan/ kesiapan anak. anak). Pola ini mempermudah
penyerapan materi pelajaran dan instruksi, apalagi jika Pola short-cut, sering dilakukan orang tua, dengan memangkas proses yang seharusnya dilalui anak, karena orang tua sendiri yang tidak tahan menghadapi proses tersebut, yang di"bumbui" oleh rengekan anak.
2.
Problem Motivasi
Belajar di sekolah
Belajar di rumah
Pola action-consequence dan sequence Pola action - consequence seringkali yang jelas (sesudah pelajaran ini, akan tidak konsisten yang bersumber dari dilanjutkan dengan kegiatan ketidakmampuan orangtua bersikap
"mengasikkan" berikutnya - jadi kalau konsisten pada anak dan toleransi yang sampai tidak selesai, nanti tidak bisa terlalu longgar dalam menerapkan pola ikut belajar yang selanjutnya), action-consequences maupun
membuat
anak
belajar
memahami apa akibatnya kalau dia bertindak (tidak tergantung orang lain tidak mengerjakan seperti seharusnya. autonomous & independent).
Akibatnya, anak jadi mudah frustrasi, kurang punya daya juang (gampang menyerah), malas, mengikuti impulsnya semata.
Rasa ingin tahu, kebutuhan eksplorasi dan keinginan anak untuk mencoba mudah "kalah" oleh keengganan, rasa malas atau pun tuntutan untuk dibantu orangtua.
3.
Problem Perilaku
kombinasi dari kegiatan fisik (heavy tersalur secara terarah. Banyak waktu, physical activity) dan non fisik tapi untuk bermain yang nonnamun
banyak
mainan,
interacting) kurang diberi makna/ arahan, sehingga anak (pada mainan yang ada pun tidak bermanfaat
produktif & efektif dalam rentang anak, dan hanya sekedar "for fun". waktu yang relative proporsional. Akibatnya, anak mudah bosan, tidak menghargai mainan, tidak kreatif
(pemain pasif dan penerima "mainan" pasif), tidak inovatif. Energi yang tidak tersalur, berputar di dalam, yang
menimbulkan
keresahan
4.
Problem Emosional
teman bermain, membuat anak belajar disekolah yang lebih "dewasa" tapi mengelola emosi-nya sendiri berikut ketika di rumah jadi "manja", tukang kebutuhan dan keinginan mereka merengek, mudah bisa menangis diteliti dan
kembali,
dilayani, dibantu, dsb. - yang bersifat bagaimana pola-pola di rumah. Sikap egosentris/ terpusat pada diri sendiri). orang tua yang sangat toleran dan tidak Kompleksitas situasi di sekolah, konsisten, tidak ber-prinsip (tidak
menghadapkan anak pada situasi yang didasari prinsip logika rasional dalam sering tak dapat dikendalikannya. Di menerapkan aturan) dalam menyikapi sekolah, mau tidak mau anak belajar tantrum anak atau pun emosi anak, mengelola frustrasi, kesedihan, pada akhirnya menyulitkan proses
perasaan marah, ketakutannya, iri hati, "pencerdasan emosional" anak. kebosanannya, atau pun kekesalannya
terhadap sesuatu. Kompleksitas situasi di sekolah, pada dasarnya membantu proses perkembangan kematangan Orangtua, seringkali salah memfokuskan perhatian, bukan pada tujuan akhir dari kebijakan, kebiasaan, aktivitas, pembelajaran-nya, namun
emosi anak.
lebih pada tantrum dan reaksi emosi anak. Contoh: mudah luluh/ kesal/ marah mendengar anak merengek tidak mau makan sendiri sehingga supaya tidak merengek dan mau makan
5.
Problem Sosial
Belajar di sekolah
Belajar di rumah
Banyaknya teman di sekolah, membuat Ketika di rumah, anak cenderung anak belajar perilaku sosial, seperti menjadi "prince - princess", di mana halnya berbagi (sharing), toleransi, semua kebutuhannya dilayani dan dia bergiliran, empati, menolong teman, menjadi pusat perhatian. Akhirnya,
dsb. Banyaknya jumlah anak di dalam jika di sekolah anak terlihat mandiri, kelas, membuat sang anak belajar tapi di rumah jadi anak super manja. menghadapi kenyataan bahwa bukan Ketidaksinkronan dia satu-satunya anak yang ketidakkonsistenan dengan di antara pola dan di
sekolah,
akan
diperhatikan oleh pak guru. Pola ini, menghambat secara positif dapat menumbuhkan kesadaran internal
dari
orang
lain,
tapi
mampu
mengusahakannya sendiri). Anak juga belajar, aksi-reaksi, dari sikap dan tindakannya sendiri. Lama kelamaan, anak akan berpikir sebelum bertindak, sehingga dia tidak lagi terlalu impulsif dan "mau menang sendiri" sebab ada akibat sosial yang akan dia alami.
6.
Problem Nilai
pelajaran nilai secara langsung dari seringkali sulit menanamkan nilai-nilai pengalaman misalnya : mereka kejujuran, sehari-hari, seperti halnya di sekolah, karena toleransi, banyaknya benturan nilai. Misalnya :
kedisiplinan, kemandirian, ketekunan, jika di sekolah anak harus bisa makan ketaatan, kepatuhan, kerja sama, "kerja sendiri, di rumah disuapi. Jika di keras" dan "usaha", tanggung jawab, sekolah menghargai teman, membereskan mainan
terima kasih, dsb. Lingkungan sekolah dibereskan mbak. Jika di sekolah yang sangat natural (memunculkan disiplin dalam hal waktu, di rumah instant reaction), memudahkan anak boleh nonton sepuasnya.. Jika
untuk belajar nilai secara konsisten di disekolah mengerjakan sesuatu hingga lingkungan sekolah. selesai, kalau di rumah bisa suka-suka sendiri. Jika di sekolah harus
mengambil mainan sendiri, kalau di rumah, tinggal teriak dan menjerit maka akan ada yang mengambilkan.
Akhirnya
hal
ini
pembentukan
nilai
moral pada anak. Anak akan "sukasuka" dan terbiasa bersikap "short cut", ambil jalan pintas - yang enak, yang mudah, tidak mau melalui proses-nya, tidak mau menerima konsekuensi-nya. Pola ini, memupuk mentalitas anak yang lembek, mudah frustrasi,
manipulatif dan narsisistik (merasa diri hebat dan layak untuk memperoleh apa yang dia inginkan). Selain itu, anak jadi taat, patuh, "baik" karena takut dimarahi - bukan karena kesadaran (yang akan terbangun melalui belajar nilai dari action-consequnces secara logis).
Orang tua perlu mencari benang merah dan sinkronisasi beberapa hal yang utama, yang membantu anak mengembangkan hal-hal dasar dalam kepribadiannya. Sebagaimana orang tua memilih sekolah yang sesuai dengan orientasi nilai dan harapan mereka, begitu juga orang tua seyogyanya mengadaptasikan pola-pola pendidikan yang konstruktif dan positif dari sekolah. Paling tidak, di antara keduanya, saling mengisi - dan bukan saling meniadakan. Untuk itu lah, komunikasi orang tua dengan anak, dan komunikasi antara orang tua dengan pihak sekolah, menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan. Kita tidak bisa bersikap "tahu beres" baik terhadap anak maupunn pihak sekolah. Karena, ketika terjadi ketidakberesan, kita tidak bisa semata-mata menunjuk pihak sekolah sebagai "biang keladi" dari persoalan yang dihadapi anak. Bisa saja persoalan dimulai/ terjadi di sekolah, namun kita harus melihatnya secara bijaksana, karena reaksi seorang anak terhadap sesuatu, sangat
dipengaruhi oleh proses belajar yang dilaluinya dan pola asuh yang paling mendominasi bentukan sikap dan kepribadiannya.
Jadi, keluarga, adalah tempat utama pendidikan dan pengembangan seorang anak. Sekolah, pada dasarnya mengarahkan, memberikan bimbingan dan kerangka - bagi anak untuk belajar, bertumbuh dan berkembang. Sementara keluarga, justru menjadi center of education yang utama, pertama dan mendasar. http://www.e-psikologi.com/epsi/artikel_detail.asp?id=355 Bagaimana Menyikapi Disfungsi Keluarga
Oleh : Jacinta F. Rini Jakarta, 28 Februari 2009 Adakah di antara Anda yang pernah tinggal bersama-sama dengan anggota keluarga atau famili dekat yang mengalami problem kejiwaan ? jika saya tanyakan bagaimana rasanya, saya yakin pertanyaan ini mengundang reaksi emosi yang spektrumnya mulai dari sedih sampai pasrah yang ignorant, alias berusaha tidak ambil pusing. Problem kejiwaan memang merupakan persoalan bukan hanya bagi penderitanya, tapi sekaligus orang-orang di sekelilingnya, dan yang hidup bersamanya. Tulisan ini bukan maksud ingin memojokkan orang-orang yang mengalami problem kejiwaan yang bisa saja saya sendiri atau bahkan Anda sendiri pernah mengalaminya. Pengalaman berada di dasar samudera (kalau bisa saya lukiskan demikian) bisa di jabarkan ketika kita sudah keluar dari situ dan setelah muncul kembali kita baru melihat bagaimana kondisi orang-orang terdekat kita selama kita berada di dasar samudera. Pengalaman ini lah yang ingin di sampaikan pula pada pembaca yang mungkin belum pernah berada di kedua tempat itu.
Tindakan ini sebenarnya memperparah keadaan, karena ia bisa bermain-main dan memutar pikiran negatif tanpa batas. Padahal dalam kondisi lemahnya self control, kans untuk menghentikan pikiran negatif atau menghadirkan tindakan yang proaktif, kemungkinannya jadi tipis. Tanpa koneksi dengan lingkungan, maka segala sesuatu yang 'bias' alias menyimpang dari kaidah kenyataan / fakta, tidak terkoreksi. Oleh karenanya tidak heran jika individu makin menarik diri dari lingkungan karena makin sulit percaya pada orang lain dan menemukan orang
Sesungguhnya keadaan ini membuat individu yang mengalami problem kejiwaan, makin tertekan dan terperangkap dalam kebuntuan dan dirinya pun sering tersesat dalam bilik pikiran. Frustrasi dan putus asa kerap menerjang pikiran dan perasaan mereka, sementara mereka merasa tidak berdaya. Saat inilah, individu mulai merasa mendengar ada suara-suara yang menyuruh mereka melakukan ini dan itu, atau suara-suara yang mengatakan hal-hal buruk mengenai pribadi mereka, dsb. Dalam psikologi klinis, pola ini di kenal dengan istilah delusi. Ada pula yang seperti melihat sebuah image yang tampak begitu nyata di mata mereka namun tidak nyata di mata orang lain. Kondisi ini dinamakan halusinasi.
Tidak banyak orang tahu apa yang dirasakan oleh para penderita problem kejiwaan ini, karena dari luar sikap mereka sering menjengkelkan dan memancing kemarahan, tidak rasional dan 'aneh'. Padahal, orang-orang yang mengalami problem kejiwaan sering dilanda ketakutan kehilangan rasionalitas, ('takut jadi gila'). Individu ini pun sering malu dan marah pada diri sendiri karena merasa tidak berguna. Dibalik sikapnya yang menjengkelkan, pribadi ini menyimpan semburat kesedihan saat ia menyakiti orang yang mengasihinya dan sangat ia kasihi. Sayangnya emosi-emosi tersimpan dalam bilik emosi yang sulit di eksplorasi.
Jarak emosi dan persepsi akhirnya membuat koneksi relasi tidak terjadi. Nothing happen. Sayangnya, seringkali moment ini tidak diketahui dan tidak di tindaklanjuti padahal inilah masa kritis di mana individu yang mengalami problem kejiwaan tiba di persimpangan jalan yang cukup menentukan, antara makin masuk ke dunianya, atau membuka diri terhadap rasionalitas. Pada saat ini lah penderita terkadang merasakan kesunyian dan kesepian yang sangat, sementara di dalam keputusasaan dan ketidakberdayaan yang ia rasakan, ia tidak melihat ada jalan keluar lain yang possible. Ini lah salah satu kondisi yang melandasi tindakan bunuh diri.
Emotional Exhaustion
Pola perilaku individu yang mengalami problem kejiwaan sering dianggap sumber masalah atau setidaknya potensi masalah bagi orang-orang di sekelilingnya. Sikap, tindakan atau pun pikiran mereka dinilai tidak rasional, tidak biasa, atau kekanak-kanakan. Belum lagi jika individu yang sedang mengalami masalah kejiwaan mengabaikan apa yang dianggap penting oleh orangorang di sekelilingnya. Misalnya, lupa menutup pintu depan, lupa mematikan lampu, mematikan kompor hingga memperlihatkan sikap negative yang terkadang memalukan, atau sulit di terima oleh orang tua, atau pasangan, atau anak-anak mereka. Berbagai kerepotan terkadang muncul dari sikap mereka, misalnya selalu mengunci pintu dan tidak boleh ada tamu, tidak mau ikut pergi ke acara keluarga, diam dalam pertemuan keluarga, atau emosi yang meledak-ledak atau membahas topik yang tidak biasa buat pendengarnya.
Rasa enggan keluarga untuk melibatkan mereka sebenarnya bukan hanya karena alasan 'kenyamanan' tapi seringkali faktor keamanan. Sikap agresif atau pun pernyataan negative yang terlontar dari individu yang sedang mengalami masalah emosional atau problem kejiwaan tanpa sadar bisa membahayakan keselamatan mereka sendiri karena belum tentu lawan bicara mengenalnya dan mengerti keadaannya. Tidak jarang anggota keluarga merasa tegang ketika
bepergian bersamanya, karena takut jika sikap dan kata-katanya memancing keributan dengan orang lain.
Lemahnya self control dan rendahnya kemampuan mengelola frustrasi membuat individu berproblem ini jadi super sensitive terhadap banyak hal yang terjadi di luar keinginan mereka. Mereka jadi mudah marah, kesal, sedih, dsb dan faktanya, situasi ini sangat menguras emosi dan energy orang-orang di sekeliling mereka, yang berusaha untuk memahami dan memaklumi atau mentoleransi sikap mereka.
Kelelahan fisik dan emosi sering melanda anggota keluarga, bisa menyebabkan problem kesehatan karena menurunnya daya tahan tubuh, problem interpersonal karena berkurangnya stress tolerance, berkurangnya prestasi kerja karena menurunnya konsentrasi dan persistensi, sampai problem dengan diri sendiri karena makin banyak hal dalam hidup yang tidak berjalan dengan lancar atau seperti yang di harapkan; banyak keinginan dan kebutuhan tidak tercapai atau harus ditunda karena situasi tidak memungkinkan; sementara mereka merasa bersalah kalau berusaha bergembira atau bersantai atau sedikit having fun time sekedar menghibur diri.
Ketika pihak keluarga merasa sudah mengupayakan berbagai cara untuk 'menyembuhkan' dan mengembalikan keadaan seperti sedia kala, tapi hasilnya tampak sia-sia. Dalam situasi seperti ini lebih mudah merasa pesimis dari pada optimis, lebih mudah menyerah atas nama pasrah ketimbang melanjutkan perjuangan. Kenapa saya katakan ini sebuah perjuangan ?
Ketidakmampuan kita untuk melihat apa yang salah dalam keluarga kita, atau pola manakah yang sudah tidak bisa diterapkan karena mengalami perubahan konteks, membuat keluarga kita menjalani siklus kehidupan dan problem yang serupa dari generasi ke generasi. Karena, ketidakmampuan melihat problem dari paradigma yang berbeda menghasilkan nilai, persepsi, reaksi, tindakan, kebiasaan, dan solusi-solusi yang tidak jauh berbeda dari generasi sebelumnya yang sering dijadikan benchmark. Inilah yang menjadi problem turun temurun, bukan problem karena 'keturunan'.
Tidak ada yang salah dengan menggunakan pola lama selama pola tersebut masih mensupport pertumbuhan di dalam setiap generasi / keluarga dan terbukti menghasilkan orang-orang yang berkarakter, integral, positif dan memberikan kontribusi nyata pada lingkungannya.
Ketika salah seorang anggota keluarga yang sangat kita sayangi mengalami stress berat, depresi atau perlahan tapi pasti mengalami kemunduran fisik dan psikis, hingga tidak bisa beraktivitas seperti sedia kala, kejadian itu sudah pasti membawa pengaruh besar buat yang lain, meski ada yang pura-pura tidak merasa atau pura-pura tidak mau tahu. Kenapa saya katakan 'pura-pura' karena hati tidak pernah bisa menipu manusia, tapi manusia bisa menipu diri sendiri dan manusia lainnya. Atmosfer kesedihan, kemarahan, kepahitan, ketakutan, kecemasan, kelelahan, kegetiran, kebencian dan keputusasaan yang beredar secara intensif, mempengaruhi angggota keluarga yang lain.
Setiap orang punya mekanisme yang berbeda dalam menangkap dan menyikapi tekanan emosi yang dirasakan baik dari dalam diri atau dari luar. Mekanisme yang di peroleh lewat proses belajar dari lingkungan ini membawa persoalan tersendiri ketika pilihan yang ada sangat terbatas dan bahkan tidak sehat seperti istilahnya orang jawa mendem jero, menyembunyikan perasaan, disimpan rapat-rapat supaya tidak kelihatan dari luar, ada pula yang jadi pasrah, seakan nasib sudah menggariskan demikian.
Memang, jika kita tidak / belum pernah mengakses paradigma lain, melihat dari perspektif lain, situasi ini hanya akan dijadikan sebuah konfirmasi nasib 'benar kan dugaan saya...' atau 'ya memang keluarga kita nasibnya begini.....' Dengan perspektif seperti ini, pilihan sikap yang ada, adalah pasrah atau marah. Kepasrahan jadi masalah (yang pasif karena menyerah) karena melahirkan apatisme dan sikap fatalistic, memposisikan diri sebagai korban dari orang lain / keadaan. Kita menyalahkan si A atau B yang dianggap jadi biang keladi, atau kita salahkan orang tua / keluarga, atau kita salahkan anggota yang sedang berproblem itu, sementara diri kita tidak tahu harus berbuat apa. Kalau pun ada, tidak punya energy dan courage untuk mewujudkan perubahan. Sedangkan, reaksi marah bisa muncul kalau kita merasa hidup tidak memberi pilihan, dan kita adalah korban dari hidup. Sama saja, reaksinya akan menyalahkan orang lain yang dianggap jadi biang kerok kesulitan dan persoalan.
Seandainya dinamika keluarga bisa di putar seperti film dimana kita bisa duduk bersama menyaksikan 'film keluarga', besar kemungkinannya kita akan memberikan reaksi yang berbeda. Kita bisa melihat kalau problem emosional atau problem kejiwaan yang dialami orang yang kita sayangi itu, bukan semata-mata disebabkan si A atau si B. Si A atau B hanya menjadi trigger memicu runtuhnya ilusi yang selama ini tertata seperti realita. Kita menemukan seperti apa paradigma berpikir dan nilai yang membatasi perspektif anggotanya untuk menatap realita dan menjalaninya secara utuh. Dengan melihat kebenaran ( the truth), kita urung menyalahkan orang tua, yang ternyata sama-sama terperangkap di perangkap yang sama. Pada akhirnya kita tidak perlu terjebak dalam urusan salah menyalahkan, melainkan menganalisa standing position kita dan melihat apa saja possibility bisa di lakukan untuk diri sendiri dan menolong anggota keluarga yang saat itu paling membutuhkan bantuan.
Bekerja, berkarya Bekerja dan bertemu dengan orang-orang yang berbeda dunia, sebenarnya bermanfaat untuk recharging energy karena dengan bekerja, kita memutar energi untuk menghasilkan karya (produksi) yang at the end of the day, kita mendapat energi dari rasa puas dan syukur karena bisa memberikan makna pada hari itu.
Sharing Berada di luar orbit keluarga, bertemu dengan orang-orang, bertukar pikiran dan berbagi pengalaman perlu dan penting untuk melihat kehidupan dan persoalan dari perspektif yang berbeda. Oleh sebab itu, rugi jika kita menutup diri karena malu atau takut akan stigma sosial, dsb karena kita menutup diri terhadap opportunity untuk mendapatkan sharing pengalaman dari orang-orang yang lebih dahulu menjalani hidup seperti kita dan berhasil mengatasinya. Problem kejiwaan bukanlah sebuah aib atau pun kesalahan yang memalukan, karena bisa dialami oleh siapa saja tidak pandang bulu, kaya miskin, tua muda, wanita atau pria. Mendengarkan sharing orang lain, seringkali memberikan kekuatan dan harapan yang tidak terbayangkan sebelumnya. Apalagi, jika kita menemukan orang yang membuat kita 'malu hati' karena ternyata masalah kita tidak sebanding dengan penderitaannya, and yet orang itu masih mampu memberikan kontribusi yang besar buat keluarganya dan orang lain.
Care for the soul Caring for our soul, bukanlah sebuah kesalahan apalagi dosa, sehingga kita tidak perlu merasa bersalah kecuali kita melakukannya dengan melalaikan tanggung jawab. Kita bisa ngobrol dengan Tuhan, di bemo, di becak, di tempat antrean ATM, di terminal, atau di dalam bis kota. Tuhan ada di mana-mana, sehingga di mana pun kita berada Dia pasti ada; penting untuk chatting denganNya. Atau kalau kita jalan ke tempat yang tenang, atau sekedar menikmati bulan, bintang, angin, hujan, atau pun hijaunya pepohonan serta mendengarkan kicau burung. Berjalan kaki di sore hari tanpa keharusan-keharusan, masak makanan yang kita suka, membaca buku di tempat favorit kita, menulis diary / journal di coffee shop, sekedar duduk di tepi pantai, pergi ke tempat yang kita sukai, atau mengunjungi teman lama, adalah cara-cara sederhana to care for our soul. Hal ini merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi jiwa tiap orang. Pengabaian terhadap kebutuhan jiwa, adalah awal dari problem kejiwaan itu sendiri. Sebab, jiwa kita membutuhkan energi-energi positif yang di peroleh melalui koneksi langsung dengan alam semesta dan Sang Penciptanya. Koneksi yang buruk mengakibatkan kekacauan dalam 'system navigasi' manusia, karena sebenarnya dalam jiwa kita lah letak petunjuk, instruksi dan SOP (Standard Operation and Procedure) 5W Who, When, Why, What, Where. Ketika
system navigasi terganggu, kita bingung membaca dan mengartikan tanda-tanda (jawaban dan arah) di sekeliling kita. Kita lebih percaya pada 'apa kata orang' dari pada 'kata hati'.
Pasti masih banyak alternative lain yang bisa kita lakukan untuk recharge our soul dan strengthening our spirit. Ada kalanya kita perlu mengkritisi pikiran yang kerapkali menghakimi diri sendiri bahkan sebelum melakukan tindakan. Rasional atau tidaknya akan terjawab jika kita mau menelaah dan mencari sejauh mana implikasi dari tindakan kita terhadap orang lain. Ketika kita memutuskan untuk tidak berbuat apa-apa, demi acungan jempol untuk nilai 'berbakti dan ikut prihatin', kita patut bertanya apakah sikap saya bermanfaat untuk keluarga, terutama yang sedang berproblem ataukah semata-mata demi melindungi citra saya ? Demikian pula sebaliknya, ketika kita memilih menjaga jarak dengan keluarga, apakah demi sebuah tujuan yang baik atau menghindari tanggung jawab ? Hanya kita masing-masing yang bisa menjawab saat nurani kita dihadapkan pada situasi di atas.
Kalau kita bisa merasakan dan mengerti 'chemistry ' penderita, di situlah muncul empati yang sejati. Memang rasa lelah dan tertekan akan terus datang dan pergi, tapi kalau kita sudah sampai pada titik dimana kita bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi dalam jiwa penderita, banyak pula yang bisa kita pelajari untuk mencegah agar hal yang sama tidak terjadi pada yang lain, atau pada diri kita.
Satu hal perlu kita ingat dan sikapi adalah setiap persoalan membawa pelajaran yang sangat berharga. Jangan sampai kita missed the lesson yang akhirnya problem ini akan terulang / terjadi akibat kelalaian kita. Sikap ignorant atau tidak ambil pusing malah menjadi boomerang karena ignorant adalah awal problem disorientasi dari diri sendiri, lingkungan dan realita.
Hidup bersama dengan anggota keluarga yang sedang berproblem, merupakan blessing in disguise. Bagaimana tidak, kita patut bersyukur karena masalah ini memaksa kita untuk belajar, berpikir, mencari tahu dan bahkan ganti pola pikir untuk bisa melihat jelas, pola apa yang salah pakai pada diri kita, sejauh mana kontribusi kita masing-masing baik secara langsung atau pun tidak atas munculnya persoalan ini atau pun atas terbentuknya relasi dan situasi yang semacam ini di dalam keluarga. Kasus ini memaksa kita untuk ganti paradigma pikir dan ganti cara hidup karena cara hidup lama tidak menyediakan referensi bagi solusi karena dibatasi oleh perspektif yang sempit dan nilai-nilai yang tidak lagi tepat untuk di aplikasikan.
Setelah melihat semua ini, apakah kita masih berpikir untuk bersikap ' who cares....?' bersikap ignorant pada diri sendiri, keluarga dan pada 'guru' kehidupan kita, yang tidak lain adalah anggota keluarga yang saat ini sedang mengalami problem kejiwaan. Membantunya, berarti membantu diri kita dan membantu generasi anak-anak kita untuk lepas dari persoalan yang polanya sama dari masa ke masa.